ASAL USUL - Minggu, 27 April 2003

advertisement
1 of 3
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
Naper
Rubrik
Minggu, 27 April 2003
Berita Utama
Latar
Surat Pembaca
ASAL USUL
Seni & Budaya
Olahraga
International
Keluarga
Sedia Hujan Sebelum Payung
Nasional
Ariel Heryanto
Iptek
Foto dan Komik
Naper
Hiburan
Berita Yang lalu
Otonomi
Pergelaran
Audio Visual
Ekonomi Rakyat
Muda
Bentara
Sorotan
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar
Negeri
Bahari
Ekonomi
Internasional
Ilmu Pengetahuan
Pustakaloka
Investasi &
Perbankan
DALAM sebuah diskusi radio pertengahan April ini pengamat televisi Arswendo
Atmowiloto mengkaji nasib TVRI. Seperti biasa, komentarnya jitu, bagai kilau
belati yang terasah tajam oleh pengalaman berpuluh tahun dalam industri media.
Tapi ada soal lain yang tak kalah menarik, walau bukan pokok utama
pembicaraannya.
Kata Arswendo dalam diskusi itu: "TVRI itu seperti istri tua yang tidak seksi tapi
kaya". Pernyataan ini kemudian dijadikan judul berita oleh Tempo Interaktif.
Pernyataan ini bisa dianggap seperti menjungkir-balik peribahasa "sedia payung
sebelum hujan" menjadi "sedia hujan sebelum payung".
Bukankah lebih banyak pria ketimbang perempuan yang kaya tapi tidak seksi
ketika lewat setengah umur? Mungkin tidak terlalu sulit untuk menunjukkan fakta
dan angkanya. Arswendo pun pasti tahu ini. Kenapa tidak mengibaratkan TVRI
seperti "suami tua yang tidak seksi tapi kaya"?
Bisa dimaklumi bila Arswendo berkomunikasi lancar dengan pendengarnya. Tidak
ada yang protes, seperti ketika ia dituduh melecehkan sebuah agama di tahun
1990. Tempo Interaktif melaporkan diskusi itu, menggunakan pernyataan
Arswendo sebagai judul, tanpa maksud apa-apa selain bersikap objektif dan
profesional dalam menyajikan sebuah laporan dalam bahasa Indonesia baku
yang "baik dan benar".
Telekomunikasi
Fokus
Wisata
Properti
Dana Kemanusiaan
Swara
Dalam diskusi yang dilaporkan itu, peserta digiring mengambil posisi seorang pria
dewasa yang menikah. Mungkin akan lebih tepat dikatakan menikah dengan
beberapa perempuan. Di antara para istri ini ada sebagian yang berstatus "istri
tua", ada pula "istri muda". Ada yang seksi, ada yang tidak seksi. Ada yang kaya,
ada yang miskin.
Teknologi Informasi
Teropong
Rumah
Kesehatan
Jendela
Info Otonomi
Jadi, yang punya kelamin bukan hanya orang dan binatang atau tumbuhan.
Bahasa juga. Dalam bahasa Indonesia seperti yang sekarang dominan, subyek
yang bertutur nyaris selalu berkelamin pria. Tidak penting apa jenis kelamin
penuturnya secara biologis. Dalam jagad raya yang dibentang bahasa nasional
ini, perempuan dan benda-benda menempati posisi sebagai obyek pembahasan.
Tentang Kompas
Kontak Redaksi
Bahasa juga punya ideologi, rasisme, dan agama. Dalam bahasa Inggris, istilah
"terrorist" nyaris selalu berarti komunis sebelum tahun 1990, dan berarti Islam
sesudah tahun 1990. Padahal, boleh jadi kenyataannya tidak demikian, malahan
mungkin sebaliknya.
ASAL USUL - Minggu, 27 April 2003
Se
2 of 3
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
Bahasa tidak pernah menjadi milik pribadi. Jadi, persoalannya bukan pada
seorang Arswendo. Di dalam keluarga, boleh jadi ia seorang ayah yang sangat
baik terhadap anak. Suami yang maha penyayang istri. Atau anak laki-laki yang
hormat pada ibu, dan keponakan yang sayang bibi.
Arswendo bukan yang pertama dan satu-satunya menggambarkan TVRI sebagai
perempuan. Sebuah karikatur dari tahun 1991 menggambarkan beda status
RCTI, TPI, dan TVRI sebagai tiga peragawati berjalan di atas catwalk sebuah
pentas peragaan busana yang disaksikan penonton (kebanyakan pria, tapi
sebagian perempuan). Di situ RCTI ditampilkan sebagai perempuan langsing
dalam busana renang atau bikini minim. TPI tampil dengan seragam sekolah atau
pegawai negeri. TVRI tampil belakangan dalam busana tradisional keraton Jawa.
Contoh lain? Dalam sebuah upacara keagamaan di Jawa, seorang pengkhotbah
menjelaskan tiga sumber dosa bagi "manusia", semuanya berakhir dengan "-ta",
yakni harta, takhta, dan wanita. Jelas yang dimaksudkan sang pengkhotbah
adalah manusia berjenis kelamin pria dan heteroseksual. Bagaimana bagi kaum
perempuan, anak-anak atau orang lanjut usia? Tidak diperhitungkan sang
pengkhotbah, entah karena semua golongan ini tidak dianggap termasuk
"manusia", tidak dianggap rentan bahaya dosa, atau tidak relevan dalam sebuah
khotbah yang suci.
Ada contoh lain yang lebih publik, politis, dan kontemporer. Sejak bulan Maret
yang lalu tersiar berita tentang rencana pembangunan monumen untuk
memperingati kekerasan di Jakarta dan beberapa kota lain di bulan Mei 1998.
Kebetulan dalam artikel berjudul "Monumen" untuk Asal-Usul, Kompas Minggu,
26 Juli 1998, saya pernah melontar gagasan serupa walau tidak sama. Tentu
saja, rencana pembangunan monumen di tahun 2003 ini tidak ada sangkut
pautnya dengan artikel itu. Tapi, sebagai orang yang pernah mengangankan,
saya ikut gembira dengan rencana belakangan. Sayangnya, rencana
pembangunan monumen itu membangkitkan kembali kecemasan yang saya tulis
di tahun 1998.
Kekerasan Mei 1998 pada intinya merupakan kekerasan sistematik, berwatak
jantan terhadap kaum perempuan, warga miskin kota, dan warga negara
berdaulat. Tapi, berkat mukjizat bahasa dan ideologi yang dominan, peristiwa itu
dipropagandakan ke publik seakan-akan sebagai kekerasan rasial. Di bulan-bulan
berikutnya, perdebatan tentang peristiwa itu dikuasai kaum pria, warga kota kelas
menengah, dan elite politik dari sejumlah organisasi massa, agama, dan ras.
Sosok perempuan, sang korban utama, mendadak "lenyap", kecuali sebagai
obyek debat, obyek bahasan, obyek belas kasihan dan pembelaan.
Pembangunan patung yang akan didirikan di Jakarta tahun ini, disponsori sebuah
partai yang dipimpin kaum pria, dirancang seorang seniman tenar pria, dan
menggambarkan dua pria menggotong Garuda Pancasila (yang mungkin juga
berkelamin jantan). Perempuan "lenyap". Menurut laporan koran berbahasa
Inggris The Jakarta Post, monumen itu disebut Brotherhood Monument
(monumen persaudaraan pria).
Indonesia dan bahasanya berkelamin pria, tapi biasanya tidak sadar kelakilakiannya. Maka bersiaplah hujan, sebelum payung. Biar selamat, asal terlambat,
sebab bangsa menunjukkan bahasa. ***
ASAL USUL - Minggu, 27 April 2003
3 of 3
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>
Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
ASAL USUL - Minggu, 27 April 2003
Download