BAB V PEMBANGUNAN DAN MEMUDARNYA NILAI BARI Bab ini menguraikan bahwa perkembangan masyarakat dan desa atau kampong sebagaimana diuraikan di bab sebelumnya karena berkaitan dengan modernisasi melalui pembangunan yang memudarkan bari sebagai nilai sosial yang melandasi kelembagaan mabari. Meskipun, diketahui proses memudarnya bari dan melemahnya kelembagaan mabari berbeda intensitasnya di dua lokasi penelitian. Hal yang jelas ditemukan adalah selama di desa atau kampong masih mempunyai tokoh-tokoh adat, maka bari sebagai dasar kelembagaan mabari akan lebih dapat dipertahankan dan difungsikan selaras dengan berbagi intervensi kegiatan akibat pembangunan. 5.1. Hadirnya Pembangunan Orde baru mengusung pembangunan sebagai arus pemikiran utamanya. Pembangunan bertumpu pada strategi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Stabilitas politik ditempuh dengan politik hegemoni termasuk di antaranya adalah penyeragaman struktur dan kelembagaan sosial hingga di tingkat desa. Salah satunya adalah penyeragaman desa. Modernisasi kehidupan mulanya dilakukan dengan meletakkan pembangunan infrastruktur dan perluasan birokrasi hingga tingkat desa. Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk membuka akses dan mempermudah kegiatan perekonomian. Mempermudah modal masuk dan mengambil resources. Infrastruktur jalan, selalu punya hubungan dengan perdagangan, pembukaan jalan di Jawa pada masa kolonial juga dimaksudkan untuk percepatan lalu-lintas perdagangan (Lombard, Dennys, 2005).1 Dengan gencar orde baru mendorong seluruh pola produksi masyarakat ke arah modernisasi dengan mengintrodusir penggunaan teknologi pertanian dan perikanan. Inilah mula awal penetrasi modal secara besar-besaran ke basis pedesaan. Upaya mengintrodusir pola produksi masyarakat tani dilakukan dengan memasukkan pupuk pabrikan, bibit hasil rekayasa genetika,2 irigasi teknis, teknologi pemanenan, traktor. 1 Lombard, menulis secara lengkap mengenai proses pembangunan perdagangan kolonial di Indonesia. Pembangunan infrastruktur jalan dilakukan pemerintah kolonial untuk semata-mata kepentingan memperlancar arus pengambilan sumber daya dari pedalaman Jawa keluar (ekspor) kolonial. 2 Perekayasaan genetika ini dikembangkan oleh IRRI yang bertempat di Philipina. 43 Modernisasi disebut sebagai tanda-tanda dari kemajuan masyarakat, kenyataannya setelah beberapa dekade, perubahan modernisasi pola produksi tersebut dikritik berbagai kalangan, terutama karena dampak-dampak buruknya bagi lingkungan hidup. Degradasi lahan, menurunnya daya dukung lahan, dan lain-lain kerusakan lanjutan dari penggunaan bahan-bahan kimia yang merusak lingkungan. Namun dampak revolusi hijau tak hanya pada aspek lingkungan saja, melainkan juga perubahan terhadap pola sosial dari produksi. Relasi produksi di sektor pertanian mengalami perubahan secara mendasar. Scoot (1985) dalam Weapon of The Weak,3 mendeskripsikan setiap perubahan masyarakat akibat revolusi hijau, di antaranya adalah mobilisasi tanah vertikal, yang menyebabkan akumulasi tanah ke tangan petani yang lebih kaya, diikuti kehilangan akses terhadap tanah terus-menerus oleh sebagian yang lain. Penggunaan teknologi yang dimaksudkan untuk efisiensi tenaga kerja menyebabkan perubahan pola relasi (hubungan produksi). Perubahan anai-anai sebagai teknologi pemotongan padi menjadi sabit berpengaruh pada akses tenaga kerja yang dapat mengakses lahan. Perempuan banyak disisihkan dari aksesnya terhadap lahan.4 Ringkasnya penggunaan teknologi pertanian memperkecil jumlah tenaga kerja yang mampu mengakses lahan. Berubahnya pola hubungan produksi di sektor pertanian selanjutnya mempengaruhi pula relasi sosial lainnya di masyarakat. Penetrasi modal memberikan pengaruh terhadap pola produksi rakyat yang selanjutnya berpengaruh pula hubungan sosial di masyarakat. Penelitian Hefner (1990) terhadap masyarakat pegununggan Tengger, Jawa Timur menunjukkan hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi perkebunan sayur secara intensif memupuk sejumlah surplus ekonomi (cash money) keluarga tani yang pada gilirannya mempengaruhi hubungan-hubungan sosial lainnya bahkan termasuk pula hubungan gender. Oleh karena itu, sangat penting melihat bagaimana perubahan sosial berlangsung selama proses pembangunan pada masyarakat petani kelapa di dua desa di KecamatanSahu, Halmahera Barat 3 Scoot, James, Weapon of The Weak : Everyday Form of Peasant Resistence, Yale University Press, 1985, diterjemahkan dalam bahas Indonesia dengan judul Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. 4 Penelitian yang dilakukan oleh Paulson, Susan dalam Gendered Practices and Landscape in Andes : The Shape of Assymmetrical Exchange, menunjukkan bagaimana introduksi programprogram pemberdayaan pertanian di masyarakat pegunungan Andes, termasuk di dalamnya sekaligus introduksi pengetahuan dan teknologi, justru menyempitkan akses peremmpuan dalam pertanian. Hal ini disebabkan karena pemberdayaan diakses oleh laki-laki. 44 5.2. Pembangunan Dan Perubahan Organisasi Pertanian di Dua Desa Pada tahun 1960-an, belum terdapat infrastruktur pembangunan yang memadai di desa Susupu dan Lako Akelamo. Akses Jalan yang dilalui kendaraan menuju Jailolo (saat ini sebagai Ibu kota Kabupaten Halmahera Barat) belum terbuka. Sama halnya dengan jalan menuju ke kebun kelapa para petani, membutuhkan waktu yang cukup lama. Berjalan harus melewati hutan, dan menyeberangi beberapa sungai dengan menggunakan goceva. Goceva adalah sejenis transportasi sungai tradisional yang digunakan masyarakat sebagai pengganti perahu untuk melewati sungai. Proses pembuatan goceva sangat sederhana, dengan mengumpulkan pohon bambu kurang lebih 30 pohon disusun dan kemudian diikat. Selain gocefa, masyarakat kedua Desa mengenal transportasi tradisional yang dinamakan gerobak (goroba). Goroba merupakan angkutan tradisonal para petani dengan memakai sapi sebagai penarik. Umumnya gerobak dimiliki oleh pengusaha kopra (orang Cina). Orang Cina meminjamkan gerobak untuk membantu kebutuhan petani kelapa sebagai cara memelihara hubungan baik secara ekonomi dengan petani. Untuk menuju ke lokasi kebun kelapa membutuhkan waktu yang cukup lama, mereka sering berjalan secara berkelompok menuju kebun dengan menggunakan gerobak, atau melawati sungai dengan goceva.. Pergi ke kebun secara berkelompok memperkuat rasa kebersamaan, solidaritas, saling peduli di antara petani selalu ada di setiap saat. Terdapat fala adat gura (rumah adat kebun) yang dapat digunakan sebagai tempat istirahat para petani. Fala adat gura berbentuk lebar dan tinggi, di setiap sudut memiliki empat tiang yang mengandung makna filosofi bagi masyarakat kedua Desa. Bekerja di lahan kebun, biasanya para petani memilih menginap di fala adat gura sebelum pekerjaannya selesai. Selain berfungsi sebagai tempat istirahat, fala adat gura sering dilaksanakan musyawarah terkait dengan kegiatan mabari, serta menyelesaikan konflik antar para petani kelapa. Hadirnya pembangunan melalui introduksi perubahan yang sangat mendasar terhadap teknologi membawa organisasi pertanian pada masyarakat petani di dua desa. Penggunaan sepeda, sepeda motor, dan perahu motor dengan sendirinya telah menggeser alat transportasi tradisional seperti goroba dan goceva. Masyarakat petani tidak lagi memilih untuk menetap atau bermalam di kebun, namun lebih memilih kembali ke perkampungan. Selain alasan sepeda motor, dan perahu motor, listrik masuk Desa merupakan salah 45 satu alasan para petani memilih untuk kembali ke perkampungan . Kehadiran Listrik masuk desa telah menggeser penggunaan loga-loga dan pancona.. Dampak dari perubahan ini adalah hilangnya tradisi fala adat gura. Fala adat gura menjadi tidak terurus dan tidak terpakai karena para petani lebih memilih kembali ke kampung. Hubungan kekerabatan antar sesama petani kebun kelapa menjadi semakin kabur. Fenomena perubahan organisasi pertanian yang dilihat pada masyarakat di dua Desa ini, seperti yang diteliti oleh Christianita L. Day dalam Cristina Eghenter dan Bernard Selatto (1999) tentang perubahan sosial ekonomi dan dampaknya terhadap organisasi pertanian di Loang Pujungan dan Long Alango. Chirtianita L. Day melihat bahwa terjadi perubahan pada organisasi perladangan. Dengan adanya perahu bermotor memungkinkan masyarakat untuk pulang pergi ke ladang setiap hari. ini mengakibatkan hilangnya pengorganisasian dibawah pimpinan seorang ketua, dan tidak mengenal lagi rumah panjang. Cristianita L Day tidak melihat masuknya infrastruktur listrik di pedesaan seperti yang terjadi di desa susupu, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih kembali di perkampungan dan sebagai penyebab hilangnya tradisi fala adat gura. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa perubahan organisasi pertanian yang menyebabkan hilangnya fala adat gura bukan karena bergesernya moda transportasi akibat modernisasi (perahu motor, sepeda motor dll), namun dipengaruhi juga oleh listrik masuk pedesaan. Hilangnya fala adat gura berpengaruh besar terhadap keberadaan nilainilai bari itu sendiri. Karena fala adat gura disamping sebagai tempat peristirahatan, di tempat ini pula digunakan sebagai wadah bermusyawarah, silaturahmi antar sesama komunitas petani yang berada di kebun. Intinya bahwa kebersamaan, kekompakan, kerukunan yang di temukan dalam fala adat gura telah hilang. Para petani hanya membangun sabua kecil (rumah kecil) yang bersifat sementara. Pengelompokan rumah kebun tidak lagi berdasarkan kekerabatan, melainkan lebih didasarkan pada alasan praktis saja. Sabua kecil yang dibangun di manfaatkan oleh lingkunan di dalam keluarga inti saja, sementara keluarga kerabat antara sesama petani menjadi kabur akibat hilangnya tradisi fala adat gura penjelasan tersebut di atas. sebagiamana dimaksud dalam 46 Pada halaman berikut ini adalah sebuah gambar yang mencoba menggambarkan dan menjelasakan terkait dengan kehadiran pembangunan dan perubahan organisasi pertanian di Desa Susupu dan Lako Akelamo. Perubahan pada organisasi pertanian masyarakat Hilangnya Transportasi Goceva/Geroba dan tradisi tagi gura LogaLoga/pancona Di ganti dengan sepeda motor, perahu ketinting Hilangnya Tradisi Fala adat Gura ( Rumah adat Kebun) Menguatnya Inividualitas Para Petani Memudarkan nilai bari/kelembagaan mabari Di ganti dengan lampu listrik Alur kekerabatan antar petani semakin kabur Gambar 6. Pengaruh teknologi membawa perubahan pada organisasi pertanian 5.3. Introduksi Teknologi Pertukangan dan Melemahnya Mabari Tahun 1980-an akses jalan sudah terbuka, memperlancar masuknya bahan bangunan serta peralatan pertukangan rumah seperti, mesin skaf listrik, gergaji listrik dan lain-lain, terasa ada perubahan yang sangat signifikan pada perkembangan masyarakat di dua Desa. Bila mulanya pembuatan rumah dengan konstruksi rumah gaba dan batu karang, saat ini masyarakat telah meninggalkan konstruksi tersebut dan memilih semen hasil olahan industri sebagai bahan utama pembangunan rumah. Bila dahulu masyarakat masih menggunakan atap 47 rumah dengan bermodal katu yang dibuat dari daun sagu, sekarang telah di gantikan dengan seng maupun genteng. Pada sisi lain keberadaan peralatan mesin pertukangan sangat mempengaruhi spesialisasi kerja masyarakat setempat. Mereka yang memiliki keterampilan sebagai tukang kayu berkeinginan memiliki teknologi pertukangan. Sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai tukang, berpendapat bahwa penggunaan teknologi pertukangan dapat mempermudah dan mempercepat pekerjaan serta menambah ketrampilan. Dibandingkan dengan cara-cara tradisonal, sangat lambat, tidak efisien, serta menguras tenaga yang cukup besar. Untuk mengerjakan pintu, jendela, para tukang di desa susupu dibayar dengan harga 7-10 juta. Pembayaran itu termasuk juga pemasangan rangka atap rumah. Harga bisa saja berubah sesuai banyaknya kosen, pintu dan jendela. Situasi ini sangat berbeda dengan masyarakat Desa Susupu pada era sebelumnya tahun 50-an hingga tahun 1970-an. Proses pembuatan rumah seperti yang dijelaskan sebelumnya masih mengandalkan tradisi mabari. Pekerja tukang yang dulu terlibat dalam aktifitas bari pada pembangunan rumah, sekarang mereka bekerja untuk mengejar nilai lebih dari pekerjaan itu. Bila pada bari hampir semua orang diharapkan mampu memiliki keterampilan yang sama, namun semakin kuatnya akses pada teknologi, lama-kelamaan mulai terjadi spesialisasi kerja, di mana mereka yang menyukai pekerjaan tertentu mampu mengasah keterampilannya dengan semakin baik. Disinilah gejala spesialisasi kerja dimulai. Pada fase perkembangan selanjutnya mereka yang memiliki spesialisasi kerja, di pekerjakan pada proyek-proyek pemerintah seperti pembuatan sekolah, kantor, dan lain sebagainya. Sejak itulah keahlian mereka dibayar dengan uang. Keterlibatan mereka dalam proyek pembangunan fasilitas pemerintah mengenalkan mereka pada hubungan produksi atas dasar keterampilan spesifik mereka. Mereka kemudian menerima upah uang, sesuatu penggantian/penukaran atas kerja yang mereka lakukan, di mana sebelumnya mereka tidak mendapatkannya penukaran material (uang) tersebut dalam bari. Pada halaman berikut ini adalah gambar skema yang memberikan penjelasan, terkait dengan kehadiran pembangunan yang membawa perubahan pada komunitas, khususnya yang terjadi didesa akelamo oleh unsur-unsur perubahan seperti halnya teknologi pertukangan rumah. Masyarakat terutama di Desa Susupu lebih memilih penggunaan teknologi pertukangan untuk pembuatan 48 rumah, karena alasan lebih efisien dan efektif, serta tidak menguras tenaga yang lebih besar. Di bandingkan dengan penggunaan alat tradisional yang dianggap lambat, tidak efektif, menguras waktu dan tenaga yang lebih besar. Situasi seperti ini memunculkan beberapa dampak ikutan, termasuk memudarnya mabari Pembangunan introduksi teknologi pertukangan rumah Penggunaan Alat tradisional pertukangan Penggunaan Mesin pertukangan Keahlian dan tenaga telah dibayar dengan uang Spesialisasi pekerjaan/va riasi pekerjaan 1. Mempermudah Pekerjaan/lebih efisien/efektif 2. Menambah skill. 1. Sangat lambat, 2. Tidak efisien 3. Menguras tenaga. Memudarkan nilai bari dan mabari. Dalam aktifitas membangun rumah Pekerjaan Pertukangan dikendalikan oleh mesinmesin Gambar. 7. Pembangunan dan introduksi teknologi pertukangan membawa perubahan pada komunitas Lain Susupu, lain pula Lako Akelamo. Di Lako Akelamo, pekerjaan pembuatan rumah masih menggunakan semangat kebersamaan kelompok dengan mengandalkan tenaga orang-orang yang berada dalam kelompok, sebagaimana yang kita kenal dengan sebutan kelompok bari. Jamrud, salah seorang warga desa Lako Akelamo mengatakan, perubahan model konstruksi rumah mengalami beberapa fase periodisasi yang tidak berbeda jauh dengan Susupu. 49 Fase masuknya infrastruktur dan teknologi juga dialami masyarakat Desa Lako Akelamo. Di desa ini terdapat banyak orang, khususnya kaum muda yang berprofesi sebagai petani kelapa, mereka juga memiliki keahlian lain seperti keahliannya dalam pertukangan, namun tidak semua memiliki fasilitas teknologi (alat) pertukangan. Hanya terdapat satu orang yang memiliki peralatan teknologi pertukangan, yaitu pak Husain. Menurut Husain, memiliki alat-alat pertukangan baru itu sejak 1991, hingga saat ini, cukup mendapat orderan pekerjaan pembuatan mebelair rumah dari masyarakat di luar desa Lako Akelamo. Sementara di Desa Lako akelamo sebagai Desanya sendiri belum pernah mendapatkan orderan. Menurut pak Husain, disebabkan karena di Desa Lako Akelamo proses pembuatan rumah selalu dilaksanakan bersama melalui kelompok bari. Mabari di Lako Akelamo tidak hanya dipahami sebagai mobilisasi tenaga untuk tolong-menolong, saling membantu dalam suatu pekerjaan, tetapi juga masyarakat saling membantu memberikan kayu balok, papan, dan seng (atap rumah). Saling menanggung bersama bahan-bahan bangunan rumah,dengan istilah lokal disebut sebagai kegiatan jojobo. Jojobo adalah suatu kegiatan tolong menolong dan membantu mendahulukan yang lainnya secara bergiliran. Dalam pembuatan rumah, jojobo sangat berperan aktif, jika salah satu dari anggota bari tersebut mendapat jojobo seperti kayu, balok semen, maka kelompok bari di Desa Lako Akelamo datang bersama-sama untuk menyelesaikan pekerjaan pembuatan kosen pintu, jendela, rangka rumah dan lainnya. Bari dan jojobo juga muncul dalam aktivitas lainnya, seperti memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang sakit. Umumnya masyarakat di Desa Lako Akelamo tidak bersikap tertutup terhadap kehadiran teknologi, namun mereka membentengi diri dan masyarakatnya dengan mengandalkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada dalam mengatasi berbagai problem yang mereka hadapi. Kelembagaan lokal di Lako Akelamo tak hanya bari dalam pembuatan rumah dan pekerjaan pertanian/perkebunan, terdapat kelembagaan yang di kenal dengan rorio. Kegiatan rorio digunakan pada kegiatan perkawinan, dan kedukaan. Artinya, respon masyarakat kedua desa yang mengalami pula proses pembangunan yang ditandai dengan masuknya infrastruktur jalan, listrik, dan teknologi pada akhir 1980-an berbeda. Bari di Susupu mengalami pergeseran salah satunya ditunjukkan oleh gejala menguatnya spesialisasi pekerjaan, 50 pergantian kerja dengan upah yang dengan demikian mengubah kolektifikas menjadi hubungan produksi berdasar spesialisasi keahlian. Sementara di Lako Akelamo pembangunan tidak serta merta menghilangkan kelembagaan sosial yang berintikan kolektivisme. Penjelasan berikut ini adalah fase pembangunan rumah di Dua Desa yang mengalami beberapa perubahan konstruksi dari masa ke masa, . Pertama, model rumah ”gaba” (berbahan pelepah pohon sagu). Model rumah ini cukup sederhana, murah, nyaman, tetapi tidak bertahan lama. Tembok rumah ini dibuat dengan mengunakan pelepah pohon sagu, atau “gaba”. Sementara atap rumah menggunakan katu. Katu adalah daun pohon sagu yang kemudian diambil dan di anyam berbentuk seperempat segi dengan panjang kurang lebih satu meter.Lantai rumah gaba digunakan bambu tua yang dibelah kemudian dianyam. Kedua, rumah batu karang. Model rumah dengan konstruksi permanen ala batu karang. Dampak dari pembangunan rumah ala batu karang ini berdampak terhadap hancurnya ekosistem terumbu karang di pesisir Sahu. Rumah ini dapat bertahan cukup lama, hingga pada tahun 1970-an masyarakat kemudian diperkenalkan dengan bahan bangunan beton berbahan semen. Dimulai saat inilah konstruksi bangunan masyarakat di Desa Susupu dan Lako Akelamo kemudian mengalami perubahan dari rumah gaba, rumah batu karang menjadi rumah permanen. Di Desa Susupu dan Lako Akelamo orang yang ingin membuat rumah permanen ala batu karang maupu rumah gaba harus membicarakan dengan pihak keluarga tentang keinginan dan kesiapannya untuk membangun rumah. Pertemuan keluarga adalah salah satu media untuk menyampaikan maksud tersebut. Apa yang dibicarakan pada pertemuan keluarga itu terkait dengan pembagian kerja, konsumsi, transportasi, dan siapa-siapa yang akan terlibat di dalamnya. Biasanya pekerjaan mengangkut material bahan bangunan dilaksanakan secara bari terdiri dari keluarga, kerabat, maupun orang-orang yang secara sukarela ingin melibatkan diri. Kerja mabari dapat di laksanakan saat bahan-bahan banguannnya sudah disiapkan. 5.4. Bari Pasca Kerusuhan 1999 Pada saat mengunjungi panen kelapa di kebun, sambil melakukan mabari, para angota mabari bercerita mengenai kerusuhan yang terjadi di kampongnya pada tahun 1999. Menurut pak Ibrahim, kerusuhan tersebut 51 merupakan imbas dari konflik Ambon, karena pada dasarnya masyarakat yang berbeda agama (Kristen dan islam) di Kec. Sahu adalah bersaudara. Umumnya masyarakat melihat konflik bukan dari sisi SARA, melainkan provokasi orangorang yang tidak bertangungjawab. Pada saat kerusuhan berlangsung semua warga muslim yang berada di Sahu di evakuasi di Ternate selama 2 tahun, dan kembali lagi ke Susupu pada tahu 2001. Pada saat itu keadaan desa masih hancur, sehingga banyak masyarakat memilih masjid sebagai tempat tinggal sementara. Terdapat beberapa barak yang dibangun oleh pihak kontraktor, namun pekerjaan itu belum selesai, sehingga belum siap untuk di huni. Penduduk berada di barak rata-rata hingga 3 bulan. Pemerintah menyediakan makanan selama masa pemulihan konflik. Pembangunan rumah kembali dilakukan dalam 3 tahap dengan bantuan pemerintah yang menyediakan bahan bangunan, kecuali kayu yang tidak disediakan pemerintah, sebagai ganti pemerintah menyediakan uang pengganti kayu. Dalam pembangunan rumah tahap kedua, rumah Pak Ibm termasuk dalam daftar rumah yang turut dibantu untuk dibangun. Dalam proses pembangunan rumah pasca konflik milik Pak Ibm sebagai contoh, masyarakat menggunakan mabari. Mereka berkelompok 10 hingga 15 keluarga saling bergantian membangun rumah. Mereka adalah kelompok bari yang didasarkan pada keberadaan rumah yang saling berdekatan. Dalam waktu 1 bulan Ibm dapat membangun kembali rumahnya, atas bantuan kerja dari kelompok bari tersebut. 5.5. Penetrasi Program Pemerintah Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan salah satu upaya Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. PPK telah dimulai sejak Indonesia mengalami krisis multidimensi dan perubahan politik pada tahun 1998. Namun di Maluku Utara program pengembangan Kecamatan sempat terhenti pada tahun – tahun berikutnya ketika konflik horizontal sedang melanda daerah itu pada tahun 1999 hingga penghujung tahun 2000. Program tersebut dilanjutkan pada tahun 2001/2002. Melalui PPK dapat dilaksanakan program-program pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan,Oleh karenya PPK telah menyediakan dana bantuan secara langsung bagi masyarakat (BLM) sekitar Rp 500 juta hingga Rp 52 1 miliar per kecamatan, tergantung dari jumlah penduduk. Masyarakat desa kemudian bersama-sama terlibat dalam proses perencanaan partisipatif dan pengambilan keputusan untuk mengalokasikan sumber dana tersebut. Perencanaan itu dilakukan atas dasar kebutuhan pembangunan dan prioritas yang ditentukan bersama dalam sejumlah forum musyawarah di Kecamatan pada tingkat masing-masing desa. Sementara itu, yang ingin dicapai oleh PPK sendiri adalah memperkuat kelembagaan masyarakat dalam menyelenggarakan pembangunan desa atau antar desa; yakni pengadaan sarana dan prasarana dasar perdesaan yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya masyarakat miskin, paling prioritas dan mendesak, serta mendorong kegiatan sosial dan ekonomi sesuai kebutuhan masyarakat. Desa Lako Akelamo dan Susupu merupakan dua desa yang juga tersentuh dengan PPK. Di Desa Susupu wujud dari kehadiran program ini, dapat dilihat dari direnovasinya sebuah bangunan fisik Puskemas ( Pusat Kesehatan Masyarakat) dan terbentuknya kelompok usaha kecil (pengumpul hasil bumi) yang modalnya didapat dari program bantuan simpan pinjam yang merupakan bagian dari salah satu program PPK. Berbeda dengan Desa Susupu yang tidak mendapatkan bantuan simpan pinjam dari program pengembangan kecamatan, Desa Lako Akelamo mendapatkan bantuan simpan pinjam oleh PPK yang di berikan kepada asosiasi ibu rumah tangga yang menggalakkan usaha kecil menengah yaitu usaha anyaman tikar yang dibuat dari daun bobo, dan para pengusaha kecil lainnya seperti usaha pembelian hasil-hasil bumi masyarakat setempat. Menurut Koordinator PPK Kecamatan Sahu Bernat Barulia, di Desa Lako Akelamo adalah salah satu contoh desa penerima program PPK yang sukses mempergunakan anggarannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di desanya. Ketrampilan kelompok ibu-ibu rumah tangga dalam membuat anyaman tikar, hasilnya telah mereka pasarkan sampai ke Ternate. Sementara polindes merupakan program prioritas yang dibutuhkan oleh masyarakat Desa Lako Akelamo diputuskan melalui mekanisme musyawarah di tingkat RT yang kemudian dibawa pada pengambilan keputusan tingkat musyawarah desa. Melalui musyawarah desa, program-program yang digodok pada tingkat RT ditetapkan menjadi program prioritas. Dengan demikian hadirnya PPK pada kedua desa ini setidaknya merupakan pelajaran berharga bagi masyarakat mengenai cara pengambilan 53 keputusan, yaitu bahwa keputusan tersebut diambil di antara berbagai macam pilihan keputusan. Sebelumnya masyarakat telah mengenal mekanisme pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat, namun demikian musyawarah mufakat yang menjadi ciri khas masyarakat di Desa Lako Akelamo dan Susupu, dalam banyak hal menunjukkan bahwa tokoh agama, tokoh adat, pegawai adalah orang-orang yang begitu dominan untuk memaksakan kehendak terhadap suatu keputusan yang diambil. Oleh karena itu maka belum tentu keputusan yang diambil melalui musyawarah mufakat tersebut dapat dikatakan representatif bagi masyarakat. Masyarakat di Desa Lako Akelamo menganggap Polindes sangat dibutuhkan bagi masyarakat setempat, karena membantu kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih efektif. Kehadiran Polindes akan memperpendek akses pelayanan kesehatan yang dulunya masih berpusat di Kecamatan. Walau pun dari sisi sarana dan prasarana kesehatan belum memadai, namun aktivitas pelayanan di polides dengan kehadiran dua orang petugas kesehatan, dianggap sangat membantu melayani kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat setempat. Sebagai Ibu Kota Kecamatan, Desa Susupu memiliki sebuah puskesmas dilengkapi dengan peralatan medis yang modern. Masuknya metode pengobatan modern, perlahan-lahan menggeser praktek pengobatan tradisional masyarakat setempat. Masyarakat di Desa Susupu masih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan, daun-daunan, kulit pohon, sebagai ramuan obat. Masyarakat masih percaya pada kekuatan doa “orang pintar” untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit. Masyarakat saat ini mengenal mantri atau bidan. mereka lebih Pada masa lalu, mengenal dengan nama “sou-sou” atau tukang obat. Yang termasuk dalam kategori tukang obat di Desa Susupu adalah, para dukun, tokoh agama termasuk imam, ustad, dll. Mereka mendapatkan kedudukan khusus sebagai tukang obat. Pengetahuan tenaga medis menurut anggapan masyarakat seringkali menjadikan pasien sebagai kelinci percobaan, selalu gonta-ganti obat tapi penyakit tidak berakhir sembuh, sementara biaya pengobatan terus mengalir. Situasi perebutan tugas dan fungsi pelayanan kesehatan dapat diamati pada kedua wilayah ini antara dukun dan mantri, Terkadang terjadi “pelarian pasien” dari pengobatan modern/tenaga medis (puskesmas) ke pengobatan ala 54 dukun, maupun sebaliknya, namun ada pula pasien yang menggunakan kedua metode pengobatan dimaksud. Walaupun demikian sebagian masyarakat meyakini bahwa sakit mebutuhkan pelayanan medis namun harus disertai juga dengan pengobatan tradisonal seperti halnya dukun, karena sakitnya sesorang biasanya sering dikaitkan dengan faktor gangguan kekuatan roh-roh halus dan guna-guna/pelet. Kepercayaan terhadap dukun, dan kekuatan-kekuatan roh halus lainnya seperti, wonge (jin, dll) telah menciptakan kehidupan masyarakat yang penuh kecurigaan antara satu dengan yang lain. Misalnya setelah didiagnosa oleh dukun A, orang kemudian saling mencurigai atau menuding dukun A atau B yang telah membuat keluarga atau saudaranya menjadi sakit. Situasi ini kadang menjadi kericuhan antara keluarga pasien dengan keluarga dukun. Menurut mereka, faktor ini jugalah yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi bari di Desa Susupu. Saling curiga dan menuding antar sesama kelompok/keluarga yang membuat semangat bari hari demi hari kian memudar. Hubungan kekerabatan antara masyarakat menjadi terancam, akibat dari saling menuding, mencurigai antara keluarga dukun dengan masyarakat pengguna jasa pengobatan alternative itu. Fenomena di Desa Susupu tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Desa Lako Akelamo. Desa yang juga kebagian program pengembangan Kecamatan menggunakan dana PKK dalam bentuk pembangunan polindes (poli klinik desa). Walaupun sedikit masih mempercayai pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan namun dengan berdirinya sebuah instutusi polindes, sedikit demi sedikit telah mengubah atau menggeser sistem pengobatan alternatif yang dahulu sering dilakukan masyarakat. Ungkapan seorang tokoh masyarakat bahwa;, torang kalo tetap pertahankan torang pa model ba obat deng dukun, torang pe desa akan tara maju, karena saling baku curiga ( artinya, jika kita tetap mempertahankan tradisi pengobatan dengan menggunakan dukun, desa kita tidak akan maju, karena saling curiga antara satu dengan yang lainnya). Dahulu sebelum adanya polindes dan puskesmas menurut Jamrud di desanya terdapat beberapa orang dukun tanpa menyebutkan namanya, tetapi mereka sudah hijrah keluar desa. Kehadiran polindes bukanlah salah satu alasan” kabur”nya para dukun itu, akan tetapi beberapa kejadian rumah dukun dibakar oleh massa karena dianggap meresahkan masyarakat di Desa Lako 55 Akelamo. Tekanan sosial masyarakat di Lako Akelamolah yang membuat dukun hengkang keluar dari desa. Berbagai macam penyuluhan kesehatan gencar dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas kesehatan dan Puskesmas setempat. Kepala Puskesmas Sahu mengatakan bahwa dengan penyuluhan kesehatan pihaknya akan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat di tingkat Kecamatan dan desa tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan pelayanan kesehatan modern. Topik kesehatan yang diungkap masyarakat in, menunjukkan, bahwa modernisasi melalui metode dan praktek pengobatan modern sesungguhnya tidak serta-merta diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat menunjukkan reaksi yang beragam atas masuknya unsur modern ini. Sebagian menerima metode pengobatan modern ditunjukkan dengan perubahan perilaku mereka dengan memilih berobat ke polindes atau pun puskesmas. Sebagian lainnya menolak dan membangun resistensi dengan alasan bahwa pengobatan modern yang dilakukan dokter seringkali tidak tepat diagnosanya dan mereka merasa digunakan sebagai ujicoba saja. Sementara sebagian lainnya mengadopsi kedua metode pengobatan baik tradisional maupun medis. Menurunnya perilaku masyarakat yang mendatangi dukun di saat sakit di mana mereka mempraktekkan metode pengobatan mistis melalui mantra-mantra, disebabkan oleh tercederainya kepercayaan sosial masyarakat. Hal ini ditambah dengan segera masuknya metode pengobatan modern. Keberadaan fisik puskesmas, polindes, adanya tenaga kesehatan medis, dokter dan bidan medis, kemudian kegiatan penyuluhan kesehatan serta praktek pengobatan medis telah mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Segala yang baru dan datang dari luar itu tak hanya membawa serta atribut modernitas melainkan lebih dari itu mereka membawa serta pengetahuan. Pengetahuan sesungguhnya adalah hal yang sangat penting mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat. Pengetahuan bahkan menyimpan power (kekuasaan). Proses transformasi pengetahuan modern itu menggeser posisi pengetahuan lokal masyarakat yang selama ini ditunjukkan dengan mantra-mantra, do’a-do’a, dan tradisi ramuan obat-obatan tradisional. Sebagaimana Foucoult (1980) mempercayai bahwa pengetahuan adalah juga alat hegemoni bagi kekuasaan. Dalam kenyataannya ini ditunjukkan oleh semakin melunturnya metode pengobatan lama. 56 Masuknya program-program pemerintah termasuk melalui pembangunan infrastruktur, birokrasi, bantuan donasi melalui pembangunan jalan, penempatan kantor-kantor pemerintah beserta perangkat sumber daya manusianya, program PPK dan sejenisnya dalam kasus ini menunjukkan bahwa penetrasi negara ke dalam masyarakat terjadi menggunakan unsur-unsur birokrasi, donasi dana bantuan, dan bahkan penetrasi pengetahuan baru yang dianggap lebih logis, masuk akal dan karenanya disebut modern. Sikap masyarakat yang menerima, menolak, menerima sebagian, atau memadukannya, menunjukkan bahwa penetrasi unsur-unsur baru tersebut tidak serta merta dapat diadaptasi, melainkan dapat pula diresistensi. Resistensi dilakukan masyarakat dalam kasus ini disebabkan oleh persoalan akses masyarakat terhadap unsur-unsur baru tersebut terbatas. Dalam kasus praktek pengobatan, penolakan pada pengobatan modern (dokter) disebabkan akses terhadap lokasi dan mahalnya biaya pengobatan medis dibanding non medis yang jauh lebih murah. 5.6. Tragedi Bantuan Subsidi dan Uang Saku. Diketahui bahwa sekitar tahun 2005 disaat kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, dan memberikan bentuk subsidi pada tingkatan desa seperti halnya subsisdi desa yang lebih dikenal dengan ADD, dan Raskin, sepertinya menyeret desa ke dalam persoalan baru yang meresahkan. Keputusan menaikan harga BBM dan Bantuan Subsidi desa , bagi Pemerintah adalah suatu kebijakan populis dan subsidi diperuntukan untuk meningkatkan kesejahteraan desa dan aparatur desa dalam melakukan tugas dan fungsinya, namun harus dikatakan, fenomena ini justru menempatkan pemerintah ibarat sinterklas yang membagikan uang tanpa memikirkan persoalan-persoalan yang bermunculan di tingkat desa. Kegelisahan atas bantuan raskin maupun keberadaan Bantuan Subsidi di tingkat desa, membuat banyak kepala desa maupun RT berperan sebagai primus interparus dalam komunitas desa justru dihakimi oleh warga desa karena di anggap telah bertindak sewenang –wenang dalam melakukan rekruitmen penerima bantuan berdasarkan kolusi dan nepotisme. Fenomena ini terjadi di Kecamatan Sahu khususnya di Desa Susupu, dimana Kepala Desa dan salah satu kaurnya yakni kaur pemerintahan diduga masyarakat telah memakai sebagian Dana Bantuan ( ADD) untuk kepentingan pribadinya dan keluarganya. Kegelisahan warga inipun kemudian berujung pada kemarahan yang 57 menyebabkan rumah milik kaur pemerintahan dilempari batu. Oleh karenanya, banyak masyarakat di desa Susupu khususnya menghendaki tidak perlu adanya bantuan subsidi seperti yang mereka terima, karena dana dan batuan itu bukan digunakan untuk kepentingan desa dan masyarakat, tetapi kebanyakan di ”sunat oleh pemerintah terkait. Pandangan sebagian masyarakat di desa Susupu mengaggap pemerintah selalu terus membudayakan budaya uang khususnya bagi mereka yang duduk sebagai aparat desa. Bahkan tokoh-tokoh masyarakat pun ikut di manjakan oleh pemerintah dengan budaya uang. Mereka mencontohkan bagaimana proses Musyawarah Pembangunan Desa (Musrembangdes), panitia musrembangdes (Bappeda) selau menyediakan uang saku bagi aparat desa maupun tokoh-tokoh masyarakat yang di undang. Bagi mereka ini praktek buruk, terkadang tercipta kecemburuan bagi mereka yang disebut tokoh masyarakat namun tidak di undang, karena tidak direkomendasikan, tetapi bagi panitia musrembang (Bappeda) menganggap bahwa, penyediaan uang saku ini sudah ditetapkan anggarannya untuk diberikan, sebagai pengganti pendapatan kesehariannya, karena telah menyita waktu mereka untuk hadir dalam kegiatan itu. Praktek uang saku semacam ini, menjadi sebuah kebiasaan pada akhirnya dalam setiap pertemuan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah daerah, LSM, yang menyangkut dengan kepentingan desanya sendiri, jika tidak disediakan uang saku maka mereka tidak akan datang untuk mengikuti pertemuan tersebut, terkecuali pemerintah desa. Kekesalan dengan wajah kecewa kembali di rumah, jika dalam pertemuan itu tidak diberikan uang saku. Selanjutnya, di Desa Akelamo tidak ditemui sikap protes masyarakat terhadap penyaluran bantuan ADD maupun Bantuan Raskin kepada masyarakat. Mekanisme penggunaan dan petangungjawaban bantuan tersebut yang transparan dan tidak diskriminatif oleh aparat desa, membuat mereka di desa ini tidak mendapat hujatan/di hakimi oleh maasyarakat seperti yang terjadi di desa tetangganya (Susupu). Kepala desa yang diwawancari seputar penggunaan dana ADD, mengatakan bahwa sebagaian dananya digunakan untuk pembuatan pagar permanen pada setiap rumah masyarakat di desanya, akan tetapi bahan bakunya saja yang disediakan pemerintah desa dengan anggaran ADD, seperti semen, besi, batu dan pasir. Pekerjaan pembuatan pagar dilakukan secara bari sehingga pada akhirnya proyek pagar pemukimanpun selesai, tanpa menggunakan ”tukang batu”. Pekerjaan pagar rumah beton permanen di desa 58 Lako Akelamo secara bari bagi mereka sangat meringankan beban biaya, akan tetapi bagi kepala desa setempat, bukan soal biaya pekerjaan tukang yang menjadi masalah, namun bekerja dengan semangat bari lebih memperkuat semangat kebersamaan, kerjasama, saling peduli di desa, dan yang paling penting adalah mereka warga masyarakat desa Lako Akelamo merasa memiliki terhadap pagar beton permanen yang merupakan hasil kerjaan mereka sendiri. Jika kita berdiri dari ujung perkampungan (desa) Lako Akelamo ini, dapat dilihat desa yang benar-benar tertata dengan rapi, dan memiliki pagar beton yang seragam (satu model). Pandangan mereka seputar pemberian bantuan/subsidi dari pemerintah, bagi masyarakat desa Lako Akelamo tidak ada kesempatan yang harus dilewatkan untuk tidak menerima bantuan yang diberikan,karena bagi mereka yang penting pemerintah desa (aparat desa) dapat mengelolanya secara transparan, amanah dan bertanggungjawab, serta bantuan tersebut tidak membuat hancur kehidupan didesa Lako Akelamo yang sarat dengan adat budaya se atorang. Kalau dilihat, program bantuan subsidi (ADD) dan sejenisnya, telah melahirkan dan memperkuat budaya mengemis, bukan bekerja keras dan kritis. Bila mengemis menjadi membudaya di tubuh masyarakat, ketergantungan terhadap pemerintah adalah sesuatu sikap yang dapat di elakan. Tidak memiliki sikap kritis terhadap program pemerintah boleh jadi menyebabkan mereka menjadi miskin. Program seperti ini pernah bermunculan pada zaman Orde Baru. Dana pembangunan mengalir ke desa-desa yang mengabdi ke pemerintah dengan memenangkan partai pemerintah dalam setiap pemilu. Akibatnya inisitatif lokal untuk berswadaya dan mengkritisi program pemerintah menjadi lemah. Hal lain yang terkait dengan masalah desa akibat dari hadirnya bantuan dan praktek uang saku tersebut perlahan-lahan megikis nilai bari dan melemahkan kelembagaan mabari di tingkat komunitas desa, khususnya desa Susupu. Solidaritas dan kerjasama warga didesa Susupu sebagai bagian dari proses hidup bertetangga dan bermasyarakat mulai rapuh. Masyarakat di Desa Susupu, tidak memiliki rasa kepercayaan lagi terhadap pemerintah desa (apartur desa) dan sebagian tokoh masyarakatnya.