Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka Untuk

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Industri Tapioka
Industri pengolahan tapioka, menghasilkan limbah cair yang berasal
dari proses pencucian, ekstraksi dan pengendapan. Limbah yang berasal
dari
proses
pencucian
pati
dan
pengendapan,
sebagian
besar
mengandung pati terlarut, sianida, nitogen dan fosfor dalam konsentrasi
rendah. Sedangkan limbah cair dari proses pencucian ubi kayu
mengandung kotoran tanah, serpihan kulit dan kemungkinan pati terlarut.
Berikut disajikan Gambar. 2 proses produksi tapioka untuk skala industri
kecil.
Ubi kayu segar
Air
Pencucian dan
pengupasan
Limbah cair
Kulit
Pupuk
Penggilingan
Air
ekstraksi
Limbah serat
Proses
pengendapan (I)
Limbah cair
Proses
pengendapan (II)
Limbah cair
Lumpur tapioka
Pemutih
Air
Tepung kasar
Tangki pengaduk
Bubur
Tapioka
basah
Proses
pengendapan (III)
Pakan
ternak
Limbah cair
Instalasi pengolah
Gambar 2. Proses produksi tapioka (Phuong, 2006)
9
Karakteristik limbah cair industri tapioka sangat erat hubungannya
dengan dampak pencemaran terhadap kulitas perairan karena limbah cair
industri tapioka mengandung BOD, COD, padatan terlarut, pH dan sianida
(CN). Menurut Tjiptadi (1985) diacu dalam Priyono (2002), limbah cair
tapioka dari hasil pengendapan memiliki nilai BOD sebesar 1450,8 –
3030,3 mg/l dengan rata-rata 2313,54 mg/l, COD sebesar 3200 mg/l dan
padatan terlarut 638,0 – 2.836,0 mg/l serta kandungan sianida (CN)
sebesar 19,58 – 33,75 mg/l. Phuong (2006) menyatakan biasanya indstri
berskala kecil memiliki kapasitas produksi sebesar 4 – 5 ton per harinya.
Dalam memproduksi 1 ton tapioka akan dihasilkan sekitar 12 m3 limbah
cair dengan kandungan 11,000 – 13,500 mg O2/l, COD 4,200 – 7,600 mg
SS/l dengan pH 4,5 – 5,0 pada industri skala kecil.
Melihat karakteristik limbah cair pengolahan tapioka tersebut, maka
dengan kadar nilai BOD dan padatan terlarut yang tinggi, menunjukkan
bahwa limbah tersebut memiliki bahan organik yang tinggi sehingga
memungkinkan dapat diolah dengan secara biologis yaitu pengolahan
anaerob. Berikut disajikan, karakteristik limbah cair tapioka pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik limbah cair industri tapioka
Karakteristik
Bahan baku
Debit
BOD
COD
SS
pH
Sianida
Satuan
ton/hari
m3/hari
ppm
ppm
ppm
ppm
Kecil
5
22
5055
16202
3415
5,5
0,1265
Industri tapioka
Menengah
20
80
5439
25123
3442
4,5
0,117
Besar
200-600
1200
3075
5158
1342
5,0
0,22
Sumber: BPPI Semarang, Laporan Teknologi Pengolahan Air Limbah Bungan Industri
Tapioka diacu dalam Priyono, 2002.
Limbah cair industri tapioka yang masih baru berwarna putih
kekuning-kuningan, sedangkan limbah yang sudah busuk berwarna abuabu gelap. Kekeruhan yang terjadi pada limbah cair industri tapioka
disebabkan oleh adanya zat organik, seperti pati yang terlarut, jasad renik
dan zat koloni lainnya yang tidak dapat mengendap dengan cepat.
Kekeruhan merupakan sifat fisik yang paling mudah diamati untuk menilai
kualitas limbah cair pabrik tapioka.
Hingga saat ini peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia untuk industri tapioka, menurut Surat Keputusan Menteri Negara
10
Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991, tentang baku mutu limbah
industri tapioka dengan karakteristik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Baku mutu limbah cair industri tapioka
Debit limbah maksimum sebesar 60 m3/ton produk
Parameter
Kadar maksimum (mg/l)
Beban pencemaran maksimum
(kg/ton produk)
BOD
200
12,0
COD
400
24,0
TS
150
9,0
CN
0,5
0,003
pH
6-9
2.2 Proses Pembentukan Biogas
Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material
organik dengan bantuan baketri. Proses degradasi material organik ini
berlangsung pada kondisi tanpa oksigen atau anerobik. Material yang
terkumpul di dalam reaktor (digester) akan diuraikan menjadi dua tahap
dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama, material organik akan
didegradasi menjadi asam lemak dengan bantuan bakteri pembentukan
asam. Bakteri ini akan menguraikan bahan organik pada tingkat hidrolisis
dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau
senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi
senyawa sederhana. Sedangkan asidifikasi yaitu proses pembentukan
asam dari senyawa sederhana tersebut. Setelah material organik dirubah
menjadi asam, maka tahap kedua adalah proses pembentukan gas metana
dengan
bantuan
bakteri
pembentuk
metan
seperti
methanococus,
methanosarcina, methano bacterium. Sehingga dihasilkan gas metan, gas
metan ini dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan menggunakan
turbin gas atau dapat langsung digunakan untuk pembakaran.
Ostrem (2004) menyatakan, untuk menghasilkan biogas, maka
material atau bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam digester akan
melewati beberapa tahapan, yaitu:
1. Hidrolisis
Pada tahap awal ini, bahan organik kompleks akan dicerna menjadi
bagian-bagian kecil yang mudah larut atau soluble monomers;
dimana protein akan dikonversi menjadi asam amino; lemak
menjadi asam lemak; gliserol menjadi asam gliserol; karbohidrat
komplek termasuk ke dalamnya polisakarida, selulosa, lignin,
11
glukosa dan serat. Proses hidrolisis ini di katalis oleh bakteri
dengan menggunakan ekstrak enzim dari bakteri yaitu selulase,
protease dan lipase. Reaksi dimana bahan organik di hidrolisis
menjadi gula sederhana yang dapat digambarkan sebagai berikut:
2. Asidogenesis
Setelah
proses
hidrolisis
selesai,
dilanjutkan
dengan
fase
asidogenesis. Pada proses ini, bakteri asidogenik memproses hasil
hidrolisis menjadi rangkaian bahan organik sederhana yang
memiliki rantai pendek (volatile acids) seperti propionic, formic,
lactic, butyric dan asam suksinat, (kethone) seperti etanol, metanol,
gliserol dan aseton, dan (alcohol). Pada fase ini keberhasilan
bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, temperatur dan
pH. Reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut:
3. Asetogenesis
Fase asetagenesis BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD
(Chemical Oxygen Demand) akan dibentuk pada fase ini. Pada
tahap ini, karbohidrat akan difermentasikan, dengan produk utama
yang dihasilkan adalah asetat dan hasil proses metabolis lainnya.
Hasil yang didapatkan berupa kombinasi dari asetat, CO2 dan H2O.
Asam lemak berantai panjang akan dihidrolisis dari lipids, kemudian
dioksidasi menjadi asetat atau propionat dan hidrogen kedalam
bentuk gas. Reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut:
Dan beberapa reaksi penting yang terjadi pada fase asetagenesis
yaitu proses perubahan glukosa, etanol dan bikarbonat menjadi
asetat
12
4. Metanogenesis
Bakteri anaerobik metanogenesis meliputi tiga (3) bagian, yaitu
pertama; metanogenesis atau fermentasi metan, prosesnya sama
seperti bakteri yang terdapat di dalam rumen herbivora. Bakteri ini
akan merubah bahan material mudah larut menjadi metan. Kedua;
proses perubahan aseta, atau fermentasi alkohol, termasuk metil
alkohol, seperti pada gambar reaksi di bawah ini:
Dan yang ketiga; hidrogen akan mereduksi karbon dioksida, seperti
pada reaksi berikut:
Bakteri metanogen sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Jika pH nya berada di bawah 6, maka bakteri metanogen tidak
dapat bertahan hidup. Metanogenesis memiliki porsi kontrol, karena
metanogen memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibanding
asidogen. Lebih jauh prosesnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
Secara bagan alir proses fermentasi anaerobik dapat digambarkan sebagai
berikut, pada Gambar 3.
Priyono (2002) menambahkan, jumlah gas metan yang dilepaskan
selama proses anaerobik dapat diperkirakan dengan persamaan reaksi
CH4+2O2
CO2 + 2H2O. Jadi 1 mol (16 gram) metan
sebanding dengan 2 mol (64 gram) COD atau 1/64 mol CH4 sebanding
dengan 1 gram COD. Volume gas metan yang dihasilkan dari setiap 1 lb
COD atau BOD dapat ditentukan dengan mengingat bahwa pada suhu dan
tekanan standar (0o C, 1 atm), 1 mol gas sebanding dengan 22,4 liter.
Maka 1/64 mol CH4 menghasilkan 22,4/64 = 0,35 liter atau 0,35 liter CH4
akan terbentuk dari tiap gram COD. Junus (1987) diacu dalam Priyono
(2002) menambahkan komposisi biogas terdiri dari 54 – 70% gas metan,
13
27 – 35% karbondiokasida, 0,5 – 2,0% nitrogen, 0,1% karbon monoksida,
0,1% oksigen dan 0,1% sulfida.
Polisakarida
Lignin
Lemak
Protein
Bahan organik
kompleks
Fase Hidrolisis
Bakteri Hidrolisis dan Celulisis
Gula, asam lemak dan asam
amino
Partikel-partikel kecil
yang mudah larut
Bakteri fermentasi
Fermentasi
Asetat
H2 + CO2
Propionat
Butirat
Suksinat
Alkohol
Homo-asetogen Asetogenesis
Oksidasi
fermentasi
anaerobik
Asetat
Asetotropik
Metanogen
Metanogenesis
H2 + CO2
Hidrogenotropik
Metanogens
Asetat
Asetotropik
Metanogen
Metanogenesis
CH4 + CO2
Gambar 3. Proses fermentasi secara anaerobik
2.3 Produksi Biogas Pada Beberapa Penelitian
Produksi biogas yang dihasilkan dari limbah oraganik, akan sangat
tergantung pada jenis limbah yang digunakan, kandungan limbah organik
terutama COD dan BOD. Bardiya et al (1996) melaporkan hasil
penelitiannya mengenai biometanasi pada kulit pisang bahwa bentuk
bahan yang digunakan dan dan lama waktu fermentasi memberikan
14
pengaruh terhadap produksi biogas yang dihasilkan. Kulit pisang yang
diberi perlakuan pencacahan dan kulit pisang dalam bentuk tepung dengan
waktu lama fermentasi 25 hari menghasilkan produksi biogas secara
berurutan adalah 1210 ml/hari dan 1160 ml/hari, dengan degradasi total
solid (TS) dan volatile solid (VS) yang tidak jauh berbeda yaitu 36 dan 35
pada TS, 41 dan 40 pada VS.
Hasil penelitian Saravanane, Murthy dan Krishnaiah (2001),
menunjukkan bahwa produksi biogas dari limbah cair sagu yang dicampur
kotoran ternak sapi dengan sistem kontinyu, menunjukkan bahwa
penambahan
substrat
(kg/m3/hari)
memberikan
pengaruh
terhadap
produksi biogas yang dihasilkan. Penambahan substrat sebesar 66,3
kg/m3/hari menghasilkan biogas sebesar 74,2 liter/hari. Dari hasil
penelitiannya, juga dapat disimpulkan bahwa volatile fatty acid (VFA)
selama masa fermentasi jumlahnya akan mengalami peningkatan hingga
ke akhir masa fermentasi, ini sebagai bukti untuk melihat sejauh mana
perombakan yang dilakukan mikroba di dalam biorekator.
Selanjutnya Cereda dan Barana (2000), memperlihatkan hasil
penelitian tentang produksi gas metan dari limbah cair tapioka dengan
pemberian loading rate yang berbeda dengan menggunakan dua fase yaitu
fase acidogenenic pada batch reaktor dan fase methanogenic pada up-flow
anaerobic fixed bed reaktor secara kontinyu, hasil penelitian tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan produksi metan dengan tingkat pemasukan bahan
organik
Perlakuan
A
B
C
D
E
COD (gO2/l)
Pemasukan
Konsumsi
1.00
0.66
3.30
2.88
6.75
6.00
15.72
13.47
25.44
13.98
Metan
l/gCODchari-1
%biogas
0.88
80.85
0.53
69.08
0.69
69.02
0.52
67.93
1.04
56.80
CODc (consumed COD)
Sumber: Cerada dan Barana, 2000
Anunputtikul dan Rodtong (2004) dalam hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Total solid (TS) memiliki pengaruh terhadap produksi
biogas dari limbah cair tapioka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
dengan kandungan TS kering sebesar 1,00% (w/v) dan penambahan urea
0,04% (w/v) dihasilkan produksi gas sebanyak 1,95 L/hari dengan
15
kandungan metan 67,92% pada 10 hari masa fermentasi dengan volume
bioreaktor 5 liter, dan 5,50 L/hari dengan kandungan metan 55,70% pada
10 hari masa fermentasi dengan ukuran bioreaktor 20 liter dan 3,38 L/hari
dengan kandungan metan 67,57% pada 14 hari masa fermentasi pada
ukuran bioreaktor 50 liter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran
bioreaktor juga memiliki pengaruh terhadap produksi biogas.
Sedangkan Mulyanto dan Titiresmi (2008), dalam penelitiannya
tentang produksi biogas dari campuran limbah cair tapioka dengan kotoran
ternak dengan menggunakan bioreaktor ukuran 2,25 m3 yang terbuat dari
polyethylene. Dari hasil penelitian didapatkan substansi organik diawal
rata-rata berkisar pada 10,062 ppm untuk COD dan 5,649 untuk BOD, ratarata maksimum organic loading 7,8 kg/m3 hari. Rata-rata efisiensi
degradasi adalah 76% untuk COD dan 95,8% untuk BOD. Kandungan
metan dari biogas berkisar pada 53,5% hingga 71%, dengan rata-rata
produksi biogas sebesar 1,2 m3/ m3 limbah cair tapioka.
Pada penelitian lainnya berbahan limbah olive oil yang dicampur
dengan kotoran domba dan kambing oleh Al-Masri (2000), menyatakan
produksi gas yang tinggi terjadi pada hari ke 29 hingga 40. Disisi lain
produksi
gas
akan
menurun
secara
signifikan
apabila
dilakukan
penambahan limbah olive oil pada media fermentasi. Produksi gas sangat
tergantung pada pH, EC (Electric Conductivity) dan TDS (Total Disolved
Solid) dan variasi yang diberikan.
Selanjutnya Manhokwe, Parawira, Tekere (2009) dalam penelitian
pengolahan limbah cair dari pengolahan kentang didapatkan bahwa
produksi gas metan akan turun dengan penambahan g COD/L/hari dengan
penurunan metan sebesar 0,1 L/g penurunan COD. Dari 6,6 g COD/L/hari
tereduksi secara maksimum sebesar 90% menghasilkan gas metan
sebesar 0,3 l/g penurunan COD, penelitian ini jauh lebih rendah bila
dibandingkan penelitiannya sebelumnya oleh ( Kalyuzhnyi et al., 1998)
pada kondisi yang sama menghasilkan 0,35 l/g COD total, dan jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian (Parawira et al., 2006)
dimana penelitiannya menghasilkan 0,23 l CH4/g degradasi COD. Sehingga
akumulasi asam organik dan penurunan pH ketika terjadi penigkatan
organik loading akan memberikan tekanan pada aktivitas bakteri
metanogenik yang akhirnya akan mematikan bakteri tersebut.
Download