BAB 16 PENYAKIT HEMATOLOGI PROSES HEMATOPOIESIS

advertisement
BAB 16
PENYAKIT HEMATOLOGI
PROSES HEMATOPOIESIS
Produksi dari semua jenis sel darah terjadi di sumsum tulang
sebagai hasil diferensiasi dari prekursor pluripotensial atau sel induk
primitif. Hal ini merupakan proses self-regulasi, dengan distrubusi normal
target jenis sel dan pemeliharaan steady state dari keseimbangan
produksi dengan natural senescence dan pembuangan dari sistem.
Sistem hematopoietik dapat merespon permintaan yang diterima oleh
trigger seperti infeksi, penolakan imun, hemorrhage, atau hipoksia dengan
mengubah distribusi dari jenis sel, melalui peningkatan atau penurunan
produksi jenis sel tertentu. Sinyal timbal balik disediakan oleh sitokin
terhadap sel induk untuk memproduksi sel dewasa dari tipe tertentu yang
lebih banyak dalam jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Contohnya,
trombopoietin adalah sitokin primer yang diketahui menjadi pencetus bagi
megakaryosit untuk berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi tambahan
platelet, eritropoietin untuk eritrosit, dan granulocyte colony-stimulating
factor (G-CSF) untuk granulosit, walaupun simulasi silang juga masih
mungkin terjadi.1 Terdapat pengecualian untuk limfosit, dimana dapat
diproduksi dalam jumlah yang lebih besar tiap hari dari yang diperlukan
oleh tubuh, yang mana banyak dihancurkan selama produksi.
Sel induk pluripoten akan dewasa dalam dua jalan prekursor
utama, yaitu limfopoietik dan hematopoietik. Prekursor utama sel
limfopoietik yaitu sel B maupun sel T, yang mana mengalami diferensiasi
seluler secara berturut-turut menjadi sel B memori, sel B plasma, dan sel
T memori helper supresor serta limfosit granular. Prekusor utama sel
hematopoietik
yaitu sel megakaryositik yang akan mature menjadi
platelet, sel eritroid yang akan mature menjadi eritrosit, atau sekelompok
sel myelomonositik, yang mengalami diferensiasi seluler dan maturasi
menjadi jenis sel-sel berikut: monosit, eosinofil, neutrofil, dan basofil.
Pemeriksaan hitung lengkap sel darah perifer (CBC) dan differential
white blood cells dan hapusan darah tepi dilakukan untuk mendeteksi
morfologi eritrosit, adanya ketidaknormalan atau sel darah putih yang tidak
matang, dan ukuran platelet, dikombinasikan dengan pemeriksaan
sumsum tulang dengan biopsi, dapat mengungkap banyak hal tentang
homeostasis yang penting dalam diagnosis serta manajemen dari
bermacam-macam kelainan klinis. Kelainan tersebut adalah kelainan
neoplastik dan non-neoplastik. Identifikasi morfologi dan biokimia mungkin
dibutuhkan untuk membedakan jenis sel primitif yang telah mengalami
kelainan dalam leukemia akut. Subtipe leukemia dan limfoma juga dapat
dibedakan dengan menggunakan antibodi monoklonal berlabel yang akan
melawan sel antigen atau dengan menggunakan teknik imunohistokimia
untuk mendemonstrasikan antigen sitoplasmik dalam potongan jaringan.
Elektron mikroskopi, sitogenetik, dan demonstrasi defek genetik serta
penyusunan ulang gen juga dapat menjadi nilai diagnostik.
Sewaktu terbentuk, jenis sel yang berbeda mempunyai masa hidup
yang berbeda pula (contoh, 120 hari untuk eritrosit, 5-10 hari untuk
platelet,
6 jam sampai 3 hari untuk neutrofil) sebelum mereka
tersenescent. Senescent atau dengan kata lain eritrosit yang rusak
dikenali dan dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial. Setidaknya
separuh senescent eritrosit dihancurkan dalam limpa oleh splenik
makrofag dan sel merah sisanya dihancurkan dalam hati, sumsum tulang,
atau tempat lain dari sistem fagosit manonuklear. Neutrofil akan mati
melalui apoptosis; tetapi pencetusnya tidak diketahui. Platelet yang menua
juga diangkut ke limpa dan akan difagosit oleh makrofag.
KELAINAN SEL DARAH MERAH
Level eritrosit dapat meningkat atau menurun pada berbagai
keadaan penyakit. Tabel 1 menunjukkan tes laboratorium penting untuk
kelainan sel darah merah.
TABEL 1 Test Laboratorium Penting untuk Kelainan Sel Merah
Nama Tes
Batas normal
Peningkatan
Penurunan
(unit SI)
Penemuan
dalam Rongga
Mulut
Sel darah
Pria dewasa:
Polisitemia;
Anemia
Pucat, mukosa
merah (RBC)
4,5-9,0x106/μ
eritrositosis;
oral atrofi;
Wanita
kehilangan
pada anemia
dewasa: 4,5-
cairan due to
kronis,
5,1x106/ μ
dehidrasi;
mungkin
diuretik; diare;
terdapat pola
luka bakar
trabekular
yang besar
pada dental
radiograf dari
sumsum
hipertrofi
Index RBC
Makrositosis
Mikrositosis
Mean
Dewasa: 80-
Defisiensi
Anemia
corpuscular
93 μm2
vitamin B12 dan
defisiensi
folat
besi;
volume
talassemia
Mean
27,5-33,2 pg
Hiperkromia
corpuscular
Anemia
hipokromik
hemoglobin
Mean
33,4-35,5%
corpuscular
(konsentrasi
hemoglobin
fraksi 0,334-
concentration
0,335)
Hemoglobin
Pria dewasa:
Sama seperti
Sama seperti
Sama seperti
14,0-17,5 g/dL
hasil RBC
hasil RBC
hasil RBC
Wanita
dewasa: 12,3-
Hiperkromia
Anemia
hipokromik
15,3 g/dL
Hematocrit
Pria dewasa:
Sama seperti
Sama seperti
Sama seperti
41,5-50,4%
hasil RBC
hasil RBC
hasil RBC
Wanita
dewasa: 35,944,6%
Eritrositosis
Eritrositosis menggambarkan keadaan dimana terjadi peningkatan
sel darah merah (RBCs) dalam sirkulasi, dicirikan oleh adanya hematokrit
(HCT) yang secara konsisten meningkat. Kondisi meningkatnya RBCs
dalam sirkulasi meliputi apparent eritrositosis, eritrosisotsis relatif dan
absolut (baik kasus primer maupun sekunder), dan eritrositosis idiopatik
(IE).
Pengukuran massa RBC harus dilakukan untuk mengevaluasi
pasien dengan HCT vena yang meningkat secara persisten (>52% untuk
pria, >48% untuk wanita dalam waktu lebih dari 2 bulan).2 Apparent
erotrositosis didiagnosa ketika seseorang mengalami peningkatan HCT
vena tetapi massa RBC di bawah batas yang direkomendasikan.
Eritrositosis relatif secara umum muncul dengan keadaan dehidrasi yang
signifikan, penggunaan diuretik, diare, atau luka bakar, dimana terjadi
hemokonsentrasi, seperti massa RBC dalam referensi batas normal,
sedangkan volume plasma berada di bawah batas yang direferensikan.
Eritositosis absolut didiagnosis ketika pengukuran massa RBC seseorang
lebih dari 25% di atas nilai prediksi rata-rata. Saat eritrositosis absolut
telah didiagnosis, sangat penting untuk mengidentifikasi etiologi dasarnya.
Eritrositosis absolut biasanya dibagi menjadi bentuk primer dan
sekunder. Eritrositosis primer adalah kondisi dimana ruang eritropoietik
mengembang secara bebas atau merespon secara inadekuat terhadap
pengaruh dari luar. Eritrositosis primer meliputi familial primer dan
kongenital polisitemia karena mutasi reseptor gen eritropoietin (Epo) dan
kelainan myeloproliferatif polisitemia vera (PV).3
Eritrositosis sekunder dikendalikan oleh faktor ekstinsik hormonal
(secara predominan oleh Epo) terhadap ruang eritroid. Peningkatan
sekresi Epo mungkin mewakili respon fisiologi terhadap hipoksia jaringan,
produksi Epo yang tidak normal, atau disregulasi dari oxygen-dependent
Epo synthesis.3 Eritrositosis sekunder juga terbentuk dari congenital highoxygen affinity hemoglobin, hipoksia karena merokok dan penyakit paru
kronis, penyakit sianotik jantung kongenital dengan intracardiac shunts,
sindrom hipoventilasi, chronic high altitude, dan transplantasi post-renal.4
IE juga ditandai oleh meningkatnya massa RBC karena sebab yang
tidak diketahui. Hal ini didiagnosis berdasarkan pengeluaran PV dan
bermacam eritrositosis kongenital primer dan eritrositosis sekunder
dapatan. Frekwensi kejadian IE telah diperkirakan
110 per 100.000
subjek, dimana angkanya lebih tinggi daripada observasi pada PV.5
Mekanisme heterogen yang mendasari IE telah diusulkan, termasuk ‘early’
PV dan polisitemia sekunder yang tak dikenali atau polisitemia kongenital.
IE adalah suatu penyakit tetap dengan resiko trombotik rendah dan
perkembangan spontan menjadi leukemia akut atau myelofibrosis yang
jarang. Plebotomi menjadi hal yang kontroversial, dan obat-obatan
myelosupresif sebaiknya dihindari.
Polisitemia Vera
PV adalah penyakit myeloproliferatif kronis yang ditandai oleh
proliferasi predominan dari deretan sel eritroid dan disfungsi sumsum
tulang
primer
yang
menghasilkan
hemorrhage,
thrombosis,
dan
peningkatan massa RBC. Baik eritrosit maupun megakaryosit memainkan
peranan
penting
dalam
menyebabkan
komplikasi
penyakit.
PV
menunjukkan spektrum histopatologi dari 2 tahap yang dikenal, yaitu fase
polisitemik dan fase postpolisitemik.6 Diagnosis dari PV didasarkan pada
kriteria klinis.
Pertama kali dideskripsikan oleh Vasques pada tahun 1892
sebagai eritrositosis autonom, penyebab PV tidak diketahui. PV adalah
kelainan yang jarang, dengan insidensi minimum 2,6 per 100.000 kasus,
dan terutama umum ditemukan pada penduduk keturunan Ashkenazi
Jewish.7 Puncak insidensi terjadi pada dekade keenam, kira-kira dengan
distribusi gender yang setara. Ciri-ciri khas dari PV adalah pembentukan
koloni eritroid in vitro Epo-independent dan hipersensitivitas terhadap
banyak hormon pertumbuhan hematopoietik lainnya. 7 Baru-baru ini poin
mutasi spesifik (V617F) dalam gen Janus tirosin kinase 2 (JAK)
digambarkan dalam sebagian besar penderita PV.6,7
DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh
Polycythemia Vera Study Group. Kriteria mayor meliputi peningkatan
massa RBC, saturasi oksigen normal, dan splenomegali yang teraba.8
Screening untuk JAK2 V617F sekarang ditambahkan pada kedua
diagnostic algoritma.
MANIFESTASI KLINIK
PV biasanya asimptomatik. Ketika gejala muncul, dapat berupa
pruritus, vertigo, nyeri pencernaan, sakit kepala, parestesia, lelah otot,
kelemahan, gangguan penglihatan, tinnitus, plethora, dan gusi berdarah.
PV dapat dicurigai pada pasien dengan peningkatan level hemoglobin
atau HCT, splenomegali, atau thrombosis vena porta.
MANIFESTASI ORAL
PV dapat bermanifestasi dalam intra oral dengan adanya eritema
(warna merah keunguan) pada mukosa, glossitis, dan eritematus,
pembengkaan gusi.9 Perdarahan spontan dapat terjadi karena adanya
lokasi utama perdarahan, walaupun jarang, hal tersebut dilaporkan terjadi
pada kulit, membran mukosa, dan saluran pencernaan.
PERAWATAN
Prognosis secara kuat dikaitkan dengan resiko thrombosis dan
perkembangan penyakit; dengan demikian, perawatan ditujukan ke arah
meminimalisir komplikasi koagulopatik dan mencegah metaplasia myeloid
dengan myelofibrosis atau transformasi menjadi leukemia myeloid akut.
Pasien yang tidak dirawat dapat bertahan selama 6 samapi 18 bulan,
padahal dengan perwatan yang adekuat dapat memperpanjang harapan
hidup penderita menjadi lebih dari 10 tahun.8 Perawatan sitoreduktif
hiperviskositas darah dengan plebotomi (untuk membersihkan RBCs) atau
kemotrapi adalah pilihan perwatan. Target level umum untuk HCT yang
dapat diterima adalah <45% untuk pria dan <42% untuk wanita.10 Terapi
aspirin dosis rendah (80-100 mg/d) berhasil dilakukan pada profilaksis
primer dari komplikasi vaskuler. Teknik-teknik tersebut jika digunakan
bersama secara dramatis mengurangi jumlah komplikasi trombotik dan
pada hakikatnya meningkatkan angka untuk bertahan hidup. 11
Kebanyakan penderita membutuhkan terapi myelosupresif selama
menghadapi penyakit mereka karena adanya myeloproliferasi yang
profgresif. Hydroxyurea adalah obat primer yang digunakan sepanjang
masa hidup, dan α-interferon adalah alternatif bagi pasien yang lebih
muda. Kedua agen tersebut mempunyai efek samping yang potensial
walaupun sudah digunakan sesuai dengan kebutuhan. Radioaktif fosfor
(32P) telah digunakan pada masa lalu, dengan angka keberhasilan
mencapai 80-90%; bagaimanapun, penggunaannya terbatas jika dikaitkan
dengan peningkatan insidensi transformasi leukemia akut parah. Dengan
pengecualian transplantasi sumsum tulang yang langka, tidak ada
perawatan kuratif yang diketahui untuk PV.12
PERTIMBANGAN KESEHATAN ORAL
Kontrol
perdarahan
setelah
operasi
dental
sebaiknya
dipertimbangkan. Perdarahan pada pasien dengan PV mungkin dikaitkan
dengan platelets counts yang tinggi, penyakit von Willebran’s dapatan,
dan terapi obat antiplatelet dosis tinggi. Dosis aspirin yang rendah jarang
dihubungkan dengan kompliksi pedarahan dari pencabutan gigi.13
Walaupun tidak diperkirakan adanya perdarahan, variasi luas dari defek
fungsi platelet dilaporkan pada PV. Perdarahan yang signifikan secara
klinis mungkin bertentangan dengan kebutuhan transfusi platelet14 dan
peran asam ε-aminokaproat dan traneksamat telah diusulkan oleh
beberapa orang.15 Ukuran lain sebagai pertimbangan dalam persiapan
pasien PV untuk operasi dental rutin meliputi kontrol blood counts dengan
plebotomi atau terapi obat dan penyesuaian yang cocok dalam terapi
antiplatelet dan/atau antikoagulan.16
Anemia
Anemia adalah proses kelainan dimana jumlah produksi sel merah
gagal menyesuaikan dengan jumlah sel yang dihancurkan, sehingga
menghasilkan pengurangan konentrasi hemoglobin. Hal ini dapat terjadi
sebagai hasil dari perdarahan diathesis akut atau penyakit kronis.
Transfusi sel merah dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin dalam
jangka pendek untuk anemia akut tetapi tidak berguna untuk mengatasi
kelainan yang dikaitkan dengan anemia kronik. Tujuan dari manajemen
anemia kronis adalah untuk mengembalikan kemampuan penderita dan
kualitas hidupnya dengan mengembalikan produksi efektif sel merah.
Pasien anemia kronis mungkin berhasil jika diterapi zat besi intravena atau
oral dan/atau agen stimulasi eritropoiesis.17
Anemia karena Kehilangan darah: Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan total zat besi dalam
tubuh dimana cadangan zat besi telah sepenuhnya habis dan munculnya
beberapa penurunan zat besi dalam jaringan. Dalam kajian epidemiologi,
telah ada hal umum untuk menentukan prevalensi defisiensi besi ringan
tanpa anemia dan anemia defisiensi besi tingkat lanjut. 18 Secara umum,
defisiensi besi adalah ancaman kesehatan yang serius. Defisiensi besi
tiap tahunnya berkontribusi 841.000 kematian dan 35.057.000 mengalami
kecacatan, dimana defisiensi besi ini merupakan faktor resiko kematian
pada ibu hamil dan paska melahirkan dan berkontribusi langsung pada
kegagalan fungsi kognitif, penurunan produktivitas kerja, dan kematian
akibat anemia berat.19
DIAGNOSIS
Diagnosis dari anemia defisiensi besi adalah adanya anemia
hipokromik mikrositik karena persediaan zat besi yang tidak adekuat untuk
sintesis hemoglobin normal dalam perkembangan sel eritroid di sumsum
tulang, mencakup deretan berbagai tes. Anemia sebagai manifestasi
penurunan hemoglobin dan HCT pada CBC adalah petunjuk khas
defisiensi besi. Ditambah lagi, pengukuran iron-deficient eritropoiesis,
seperti saturasi besi transferrin, konsentrasi rata-rata hemoglobin
korpuskuler, eritrosit seng protoporfirin, persentase eritrosit hipokromik,
atau konsentrasi retikulosit hemoglobin,diperlukan sebagai bantuan dalam
diagnosis, dimana sulit dibedakan dari anemia penyakit kronis.18
Pengukuran screening mengidentifikasi iron-deficient eritropoiesis dengan
mendemonstrasikan
penurunan
pasokan
zat
besi
plasma
atau
hemoglobinisasi yang buruk dari sirkulasi RBCs. Hal teresebut meliputi
hemoglobin, saturasi transferrin, mean corpuscular hemoglobin, seng
protoporfirin, dan retikulosit hemoglobin.18 Hapusan darah tepi dan
pemeriksaan eritrosit menunjukkan hipokromik mikrositik RBCs dalam
anemia defisiensi besi kronis.
Pengujian yang pasti mengidentifikasi anemia defisiensi besi
dengan mengukur protein-protein yang berkaitan dangan zat besi baik dari
cadangan zat besi di makrofag maupun di perkursor sel merah. Hal
tersebut termasuk serum ferritin, reseptor serum transferrin, dan zat besi
di sumsum tulang. Diagnosis pasti defisiensi besi memerlukan bukti
bahwa cadangan zat besi telah sepenuhnya habis dan menunjukkan
defisiensi zat besi di jaringan. Pendekatan diagnosa yang optimal adalah
untuk mengukur serum ferritin sebagai index dari cadangan zat besi dan
reseptor serum transferrin sebagai index dari defisiensi besi jaringan.
Pada peningkatan resiko karena defisiensi besi akibat kebutuhan fisiologi
zat besi yang tinggi, level serum ferritin 30 μg/L pada seseorang dengan
anemia didiagnosa sebagai anemia defisiensi besi, tetapi nilai yang lebih
tinggi juga ikut mempengaruhinya.18
Diagnosis dari defisiensi besi harus selalu diikuti oleh alasan
penaksiran yang hati-hati atas penyebab dasar atau etiologinya.
Bermacam-macam penyebab anemia defisiensi besi deklasifikasikan
menjadi 2 kategori utama: fisiologi dan patologi. Penyebab paling sering
adalah fisiologi dan berkaitan dengan defisiensi nutrisi. Prevalensi
defisiensi besi yang meningkat pada wanita selama usia remaja mereka
ketika sedang menstruasi superimpose dengan kebutuhan pertumbuhan
dan di antara wanita hamil dengan kebutuhan zat besi tambahan untuk
fetus. Penyebab umum lain yang lebih jarang dari anemia defisiensi besi
adalah peningkatan kehilangan darah di pencernaan akibat gastritis
karena penggunaan kronis aspirin atau obat-obatan non-steroid anti
inflamasi dan donor darah regular pada wanita premenopause. Anemia
defisiensi zat besi patologi selalu dikarenakan oleh hilangnya darah yang
terlalu banyak. Pada kebanyakan penderita, sumber perdarahan adalah
pada saluran pencernaan akibat hemorrhoids, ulkus peptikum, varises
esophageal, atau karsinoma atau dari perdarahan uterin berlebih pada
wanita.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis paling penting adalah kelelahan otot kronis. Gejala ini
mungkin disertai dengan penemuan klinis tertentu, seperti kepucatan pada
konjuntiva, bibir, dan mukosa oral; lempeng kuku yang rapuh, retak
(cracking), pecah (splitting), dan berbentuk seperti sendok (spooning); dan
keriput pada telapak tangan biasa digunakan oleh dokter dalam
mendiagnosis anemia. Di antara 50 calon penderita yang akan diperiksa,
secara statistik tercatat korelasi signifikan antara konsentrasi hemoglobin
dengan hal-hal berikut ini: warna pada konjungtiva kelopak mata bawah,
rubor pada lempeng kuku, lempeng kuku pucat, dan rubor pada lipatan
palmar. Hasil dari studi ini mendukung anggapan bahwa timbulnya dan
derajat anemia dapat diperkirakan secara klinis oleh pemeriksaan fisik
yang teliti.20 Penemuan lain mungkin termasuk palpitasi, napas yang
pendek, mati rasa dan geli pda jari tangan dan kaki, serta nyeri tulang.
Download