BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengaruh perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) , dapat dirasakan di berbagai instansi, baik instansi swasta maupun pemerintah. Perkembangan TIK yang ada, selalu memaksa seseorang untuk segera melakukan perubahan yang fundamental dalam pekerjaaan mereka. Bagi sebagian orang yang bisa mengikuti, perubahan tersebut dinilai sangat positif, tapi bagi sebagian lagi akan sangat menyulitkan [1] dan dapat mengganggu kenyamanan sehingga menyebabkan munculnya resistensi dalam organisasi. Masalah lain yang timbul dari resistensi adalah kegagalan dalam mengadopsi TIK, merusak hubungan kerja organisasi dan terhambatnya komitmen untuk berubah. Organisasi yang tidak mau untuk berubah mengikuti perkembangan lingkungan, yang salah satunya adalah perkembangan TIK, hampir dapat dipastikan tidak akan mampu berkembang dan bertahan. Lingkungan organisasi yang dinamis akan selalu menuntut untuk terus fleksibel dan mengadaptasi suatu perubahan yang ada [2]. Begitu juga kondisi yang dialami di pemerintahan saat ini, bahwa perubahan bentuk layanan pemerintah menuju e-government, memerlukan kondisi atau keadaan tertentu (pre-condition) yang mendukung terwujudnya tujuan egovernment. Pre-condition dapat diartikan sebagai kesiapan (readiness) dan perlu diukur dari sisi penyedia maupun pengguna layanan, untuk mengetahui peluang keberhasilan implementasi e-government [3]. Salah satu perubahan menuju ke egovernment adalah pelayanan kepegawaian menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG), yang artinya kesiapan individu dalam menghadapi perubahan sangatlah dibutuhkan untuk mampu mengimplementasikan SIMPEG dengan baik. SIMPEG merupakan salah satu perwujudan e-government yang berfungsi sebagai pencatatan, pengelolaan, penyimpanan dan pelaporan data dan informasi di bidang kepegawaian. Keberadaan SIMPEG diperkuat oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2000 [4], yang menyebutkan bahwa untuk pelaksanaan 1 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, perlu diselenggarakan dan dipelihara sistem informasi, yang dikembangkan dan dioperasikan melalui Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG). Keputusan tersebut juga mendefinisikan SIMPEG sebagai totalitas yang terpadu terdiri atas perangkat pengolah meliputi pengumpul, prosedur, tenaga pengolah dan perangkat lunak, perangkat penyimpan meliputi pusat data dan bank data serta perangkat komunikasi yang saling berkaitan, berketergantungan dan saling menentukan dalam rangka penyediaan informasi di bidang kepegawaian. Kedudukan dan pengelolaan SIMPEG juga diatur dalam peraturan ini, yang menyebutkan bahwa SIMPEG Kabupaten/Kota berkedudukan di Kabupaten/Kota, yang pengelolaannya secara fungsional dilaksanakan oleh Bagian Kepegawaian Kabupaten/Kota. Bagian Kepegawaian di Kabupaten Wonosobo adalah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). BKD mempunyai wewenang dan berkewajiban dalam mengelola data dan informasi kepegawaian, hal ini adalah tugas dari sub bidang informasi dan pengolahan data, dibawah bidang umum kepegawaian. Tugas pokok dan fungsi utama adalah pemutakhiran data yang output setiap bulan menjadi laporan ke Bupati sebagai pertimbangan kebijakan kepegawaian. Selain itu, sub bidang informasi dan pengolahan data, juga bertugas untuk memenuhi segala permintaan data kepada semua stakeholder sesuai dengan kebutuhan dan jenis data yang mereka inginkan. Stakeholder tersebut diantaranya adalah BAPPEDA, DPPKAD, BKN Kanreg I Yogyakarta, BKN Pusat, BKD Provinsi Jawa Tengah. Data tersebut juga berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan. Hal tersebut membuktikan bahwa data kepegawaian merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan dan sebagai pendukung keputusan-keputusan strategis di bidang kepegawaian. Data yang baik adalah data yang bisa dipercaya kebenarannya (reliable), tepat waktu dan mencakup ruang lingkup yang luas atau bisa memberikan gambaran tentang masalah secara menyeluruh (relevan). Menyediakan data kepegawaian yang reliable dan tepat waktu adalah tugas dari BKD Kabupaten Wonosobo. Kondisi saat ini, BKD Kabupaten Wonosobo mengadopsi sistem aplikasi pengolahan data kepegawaian yang fungsi dan kegunaannya masih dalam lingkup 2 internal BKD. Yang artinya, segala proses pengolahan data, dari proses input sampai output masih ditangani oleh BKD. Selama ini proses waktu pengerjaanya masih dianggap lama, karena mekanisme yang dipakai saat ini, dalam pengajuan usulan administrasi kepegawaian, pengguna masih memberikan berkas usulan berupa data kertas, yang kemudian diterima oleh masing-masing bidang yang bersangkutan dan barulah proses input dilakukan. Harapan kedepan, BKD Kabupaten Wonosobo ingin merubah mekanisme tentang pemutakhiran dan pengolahan data, yang tadinya dilakukan oleh internal BKD Kabupaten Wonosobo, kemudian untuk mekanisme baru melibatkan pengguna luar dalam proses entri data. Pengguna luar adalah petugas yang berkedudukan di luar BKD Kabupaten Wonosobo yang ditunjuk untuk menangani urusan kepegawaian yang bearada di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Ada 60 SKPD di Kabupaten Wonosobo [5], dan di setiap SKPD ada beberapa petugas yang terlibat dalam kepengurusan kepegawaian dan merekalah yang dipersiapkan untuk menjadi petugas pemutakhiran data SIMPEG. Harapannya adalah dengan melibatkan pengguna tersebut, proses pemutakhiran data akan terealisasi secara tepat waktu sehingga mampu mendukung kebijakan strategis dalam pengambilan keputusan di bidang kepegawaian dan kecepatan proses layanan akan menjadi keuntungan tersendiri bagi pengguna. Dengan melibatkan pengguna luar, dalam pengolahan data SIMPEG, konsekuensinya harus mempersiapkan pengguna tersebut secara matang agar sistem baru yang diadopsi bisa tepat guna dan tepat sasaran. Menurut Desplaces, kesiapan individu untuk menghadapi perubahan (Readiness for Change) akan menjadi daya pendorong yang membuat perubahan itu akan memberikan hasil yang positif [6]. Kesiapan individu untuk menghadapi perubahan akan mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan perhatian individu sebagaimana tercermin dalam sikap dan perilakunya. Selain itu, rasa percaya diri harus ditanamkan terhadap pengguna SIMPEG. Dengan rasa percaya diri, maka keyakinan seseorang dalam mengadopsi teknologi yang diperkenalkan secara mantap, bahkan dengan kemauan sendiri akan menyebarkan pengalamannya kepada orang lain agar ikut mengadopsi teknologi baru tersebut [7]. Selain itu, dengan di online kan secara luas ke pengguna luar, 3 otomatis pengguna akan semakin banyak, permasalahan yang timbul juga akan semakin komplek, karena setiap individu memiliki mental map yang berbeda, sehingga tidak jarang saling bersinggungan bahkan bertentangan. Secara psikologis, masing-masing individu memiliki karakteristik dan pola pikir yang berbeda terhadap cara pandang mengenai TIK. Karakteristiklah yang mendukung individu untuk berubah [6] dan karakteristik pula yang akan membedakan ciri dan sifat setiap individu. Perbedaan perkembangan berbagai karakteristik individual itu tampak di beberapa aspek, diantaranya aspek fisik, aspek intelek, aspek emosi, aspek sosial, aspek bahasa, aspek bakat. Dalam mengadopsi SIMPEG, kesiapan individu merupakan faktor yang sangat penting, hal itu sebagai respon terhadap perubahan budaya organisasi di pemerintah. Kesiapan individu lebih cenderung ke keyakinan, optimis dan rasa percaya diri dalam mengadopsi teknologi baru. Individu dikatakan siap dalam mengadopsi SIMPEG, apabila individu tersebut memiliki keyakinan terhadap kemampuannya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan serta memiliki rasa optimis dan percaya diri bahwa teknologi akan meningkatkan kontrol, fleksibilitas dan efisien dalam pekerjaan sehari-hari. Ada beberapa metode untuk menganalisis tingkat kesiapan individu dalam menghadapi perubahan untuk mengadopsi teknologi, diantaranya Technology Readiness Index (TRI) yang dikembangkan oleh Parasuraman [8], yaitu indeks untuk mengukur kesiapan pengguna terhadap teknologi baru. Metode ini memiliki empat variabel yang digunakan sebagai variabel analisis terhadap tingkat kesiapan, yaitu rasa optimis (Optimism), memiliki inovasi (Innovativeness), rasa tidak nyaman (Discomfort) dan rasa tidak aman (Insecurity). Alat ukur lainnya menggunakan indikator yang ada pada Self efficacy Theory yang merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu [9], artinya self efficacy merupakan tingkat keyakinan seseorang terhadap dirinya sendiri mengenai kemampuannya dalam mengerjakan tugas untuk mencapai hasil tertentu. Self efficacy memiliki tiga 4 variabel untuk menganalisis tingkat kesiapan, yaitu tingkatan/level (Magnitude), percaya diri (Strength) dan keluasan (generality). Framework STOPE (Strategy, Technology, Organization, People and Environtment) merupakan pengembangan dari metode Linstone yang meneliti perkembangan teknologi di masyarakat dengan memperhatikan tiga domain utama, yaitu T : Technology, O : Organization / Institution, P : People / Individuals, kemudian Bakry, mengembangkan metode Linstone dengan menambah dua domain lagi, yaitu S : Strategy dan E : Environment. Sehingga STOPE memiliki lima domain utama yang digunakan dalam indeks pengukuran terhadap analisis kesiapan [10]. CID (Center for International Development) yang dikembangkan oleh Harvard University, yang menggunakan lima domain pengukuran, yaitu Networked Access, Networked Learning, Networked Society, Networked Economy dan Networked Policy. Mekanisme pengukuran tingkat kesiapan menggunakan model perangkingan (stage), yaitu setiap indikator diberi rangking sebagai cara untuk mengetahui tingkat kesiapan. Stage 1 (not ready – belum siap), stage 2 (almost ready – cukup siap), stage 3 (ready - siap) dan stage 4 (completely ready – sangat siap) [11]. Dari contoh metode yang digunakan untuk menganalisis kesiapan individu dalam mengadopsi teknologi, maka penelitian ini akan menggunakan Technology Readiness Index (TRI) dan teori self efficacy, karena metode tersebut memiliki variabel-variabel pengukuran yang fokus pada kesiapan individu dalam menggunakan SIMPEG. Kelebihan yang didapat dari dari kedua metode tersebut adalah mengenai fokus sasaran yang dikaji, TRI menggunakan pendekatan penggunaan teknologi dalam menganalisis kesiapan individu, sedangkan self efficacy menggunakan pendekatan sosial. Kajian yang dilakukanpun berbeda, metode TRI lebih ke kesiapan seseorang/individu dalam mengadopsi teknologi baru, sedangkan self efficacy lebih ke faktor keyakinan individu dalam menghadapi tugas / tantangan yang diberikan. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka dalam penelitian ini, ingin menggabungkan kedua pendekatan tersebut dalam menganalisis kesiapan 5 individu dalam mengadopsi Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG). 1.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : a. Belum diketahuinya kesiapan individu dalam menghadapi perubahan untuk mengadopsi aplikasi kepegawaian. b. Belum diketahuinya variabel-variabel yang mempengaruhi kesiapan individu dalam menghadapi perubahan untuk mengadopsi aplikasi kepegawaian. 1.3. Keaslian Penelitian Penelitian terhadap teori self efficacy, Technology Readiness Index serta mengenai kesiapan dalam menghadapi perubahan (Readiness for Change) pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya : 1. Florestiyanto telah meneliti kesiapan pengguna dalam mengadopsi Sistem Informasi Keuangan dengan menggunakan Technology Readiness Index. Penelitian ini menggunakan metode quota sampling yang dilakukan kepada 100150 responden. Kesimpulan penelitian ini adalah rata-rata pengguna SI Keuangan di UGM merupakan individu-individu dengan Optimisme tinggi, tetapi memiliki rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang tinggi, sehingga masuk dalam kategori Paranoid, yaitu percaya pada teknologi dan memiliki tingkat Optimisme yang tinggi tetapi tidak memiliki kecenderungan untuk berinovasisi, serta memiliki rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang tinggi [12]. 2. Analisis kesiapan juga pernah diteliti oleh Bramanti [13], dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Rosnberg dan model Chapnick. Penelitian kesiapan dengan model tersebut mencakup kesiapan organisasi dan lingkungan organisasi. Model chapnick bisa mengukur kesiapan individu, karena di dalamnya terdapat aspek kesiapan pesikologi. Model chapnick fokus pada pengukuran kesiapan organisasi dalam implementasi e-Learning. Sehingga metode tersebut tidak cocok digunakan untuk mengukur kesiapan individu secara khusus. 6 3. Penelitian menggunakan metode TRI juga pernah dilakukan oleh Ling dkk [14], yang meneliti mengenai kesiapan mahasiswa di Malaysia dalam menerima teknologi e-Learning. Responden penelitian ini adalah mahasiswa yang kuliah di bidang akuntansi profesional dan yang sedang studi tentang sekretaris, sehingga jumlah total responden adalah 2.189. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang kembali sejumlah 453 dan sudah dapat digunakan untuk menganalisis data, sehingga tingkat respon adalah 20,7 % (453/2.189). Hasil dari penelitian ini telah menemukan kesiapan teknologi bervariasi dari masing-masing responden (siswa). Sekitar 9% dari mahasiswa telah menggunakan e-Learning dengan baik, sementara 3% memiliki sikap yang negatif dan masih lamban. Rata-rata, siswa memiliki niat cukup kuat untuk menggunakan sistem e-Learning. Terutama, penggunaan internet dan e-mail. Namun, penggunaan perangkat lunak akuntansi dan paket statistik masih relatif rendah. 4. Abdullah [15] meneliti mengenai hubungan antara kesiapan dalam mengadopsi teknologi dengan kepuasan pengguna terhadap penggunaan Self-Service Technology (SSL). Penelitian ini menggunakan Technology Readiness Index (TRI) yang dikembangkan oleh Parasuraman [8] untuk menganalisis mengenai kesiapan pengguna dalam mengadopsi SSL, selain itu Abdullah juga menganalisa tentang hubungan karakteristik demografis pengguna dengan kesiapan dalam mengadopsi SSL. Lokasi penelitian ini berada di bandar udara di Malaysia yaitu di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) and L ow Cost Carrier Terminal (LCCT) di Sepang, Selangor, Malaysia. Responden penelitian berjumlah 383 orang, yang merupakan sampel dari jumlah penumpang dari kedua bandar udara per hari. Penelitian ini menggunakan model penelitian kuantitatif dengan metode survei untuk mengumpulkan data. Hasil dari penelitia ini adalah optimisme dan inovasi secara signifikan berkorelasi dengan kepuasan pengguna dalam penggunaan SSL. Inovasi memiliki efek positif dan berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepuasan penggunaan teknologi baru, namun pengguna SSL memiliki perasaan tidak nyaman dan merasa tidak aman untuk menggunakan SSL. Hubungan antara karakteristik demografi pengguna dan kesiapan menggunakan teknologi disebutkan bahwa 7 usia dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada tingkat kesiapan mengadopsi teknologi SSL di bandara. Namun pada kelompok jenis kelamin disebutkan bahwa laki-laki cenderung lebih siap dalam menggunakan teknologi inovatif dibandingkan wanita dan lebih merasa kurang aman dibandingkan dengan perempuan dalam menagdopsi teknologi baru. 5. Wahyudi [16], meneliti tingkat kesiapan dalam pengembangan layanan Learning Gateway. Tingkat kesiapan diukur menggunakan metode yang dikembangkan oleh Center for International Development (CID) dari Havard University. Metode pengumpulan data dilakukan dengan penyusunan kuesioner dan hasil survei. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengembangan layanan learning gateway, berdasarkan indikator kriteria masih belum “ready”. 6. Penelitian mengenai Self Afficacy pernah dilakukan oleh Bay [16]. Penelitian ini menganalisis mengenai sikap karyawan dalam penerpan perencanaan karir berbasis kompetensi dengan metode simple random sampling yang dilakukan kepada 148 responden dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa self efficacy dan sikap karyawan berpengaruh terhadap Turnover intention. 7. Febriandy [17], meneliti mengenai pengaruh support computer self efficacy dan computer anxiety dalam penggunaan teknologi informasi. Dalam penelitian ini membahas mengenai refleksi sikap organisasi terhadap perilaku individual karyawan di dalam organisasi, sehinga diharapkan mampu mempengaruhi hasil ekspektasi yang diinginkan. Dalam teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan tujuan agar responden yang dipakai benarbenar menggunakan Teknologi Informasi. 8. Nugraheni [18], meneliti mengenai Pelatihan Self efficacy untuk meningkatkan kesiapan dalam menghadapi perubahan pada karyawan di PT. PLN Pusdiklat. Penelitian ini mencoba menganalisis mengenai pengaruh self efficacy dan transformational leadership dengan kesiapan untuk berubah (Readiness for Change). Penelitian ini menggunakan metode lapangan, yaitu yaitu penyelidikan ilmiah non eksperimental yang bertujuan untuk menemukan hubungan dan interaksi antara variabel-variabel sosiologis, psikologis, dan pendidikan dalam struktur sosial yang nyata dan dilakukan kepada 51 orang responden di PT PLN 8 (Persero) Pusdiklat Kantor Induk. Hasil perhitungan dengan menggunakan uji regresi ganda menunjukkan bahwa self efficacy dan transformational leadership secara bersama–sama memberikan pengaruh sebesar 66,9% terhadap kesiapan menghadapi perubahan dengan taraf signifikasi 0,000. Self efficacy memberikan sumbangan sebesar 43,6% dan transformational leadership sebesar 23,3%. Berdasarkan hasil tersebut, subyek diintervensi melalui pelatihan self efficacy untuk meningkatkan kesiapan menghadapi perubahan. 9. Muafi [19] meneliti tentang Readiness for Change dengan judul Pengaruh Kesiapan Perubahan Organisasional terhadap Pembelajaran Organisasional. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan menggunakan kuesioaner secara cross sectional, yang dilakukan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah menjadi perusahaan publik, dengan responden antara lain Dirktorat Utama yang terdiri dari lima divisi, direktorat produksi yang terdiri dari dua divisi, direktorat litbang dan operasi yang terdiri dari tiga divisi, direktorat pemasaran yang terdiri dari tiga divisi dan direktorat keuangan yang terdiri dari empat divisi. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan manajer, yang diharapakan mampu memahami kuesioner tentang kesiapan karyawan untuk berubah. Target responden sebanyak 180 manajer dan 165 responden menjawab dengan lengkap sehingga layak untuk dianalisis. Penelitian ini menggunakan teknik stastistik analisis regresi parsial. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa karyawan yang memiliki kesiapan organisasional untuk berubah yang dikaji dari sikap agresif, pasif dan sikap karyawan dalam mengkoordinasikan perubahan akan memilki dampak positif terhadap pembelajaran organisasional. Penelitian tentang Analisis Kesiapan Individu dalam Mengadopsi Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian memiliki beberapa perbedaan dengan apa yang sudah dilakukan peneliti-peniliti sebelumnya, perbedaan itu diantaranya adalah ada beberapa peneliti yang sudah memasukkan faktor pengaruh organisasi dan faktor kepemimpinan dalam kesiapan menghadapi perubahan, sementara penelitian ini fokus pada pengkajian kesiapan individu dalam menghadapi perubahan, perbedaan hasil penelitian dimungkinkan karena faktor metode yang 9 digunakan, lingkungan dan responden yang memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda, dari beberapa penelitian, belum ada yang menggabungkan antara TRI dan self efficacy untuk meneliti tentang kesiapan individu (pengguna suatu teknologi). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan TRI dan self efficacy, yang menjelaskan bahwa domain penelitian TRI mengacu pada kesiapan penggunaan teknologi. Sedangkan self efficacy, lebih cenderung ke sifat individu untuk bisa menjalankan dan melaksanakan tugas yang diberikan, sehingga TRI dan self efficacy mampu menganalisis, menilai dan mempengaruhi kesiapan individu dalam menghadapi perubahan organisasi, baik berdasarkan penyelesaian tugas yang diberikan maupun dalam penggunaan teknologi baru. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesiapan individu dalam mengadopsi SIMPEG di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Wonosoobo. Beberapa isu utama dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis tingkat kesiapan dalam mengadopsi SIMPEG dilihat dari perspektif kesiapan dalam menggunakan teknologi (Technology Readiness) dan keyakinan diri untuk bisa menjalankan dan melaksanakan tugas yang diberikan (Self Efficacy). 2. Mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh dari Technology Readiness dan Self Efficacy dalam kesiapan mengadopsi SIMPEG. 3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam upaya menentukan kebijakan strategis dalam hal layanan kepegawaian. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaaf bagi Badan Kepegawaian Daerah kabupaten Wonosobo adalah : a. Sebagai gambaran kondisi individu terkini untuk menghadapi perubahan sistem layanan kepegawaian berbasis IT. 10 b. Sebagai rekomendasi dalam menentukan kebijakan strategis dalam rangka peningkatan pelayanan kepegawaian terutama dilihat dari aspek individu sebagai pengguna SIMPEG. 2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan adalah memberikan suatu pengetahuan dan pemahaman mengenai analisis kesiapan pengguna TIK pada instansi pemerintah dengan memberikan bukti empiris dengan menggunakan pendekatan self efficacy dan metode TRI. 3. Manfaat bagi penulis adalah sebagai media untuk mengaplikasikan teori yang didapat dari perkuliahan untuk diterapkan di lapangan dalam hal ini adalah instansi pemerintah. Meningkatkan kapabilitas diri, merupakan manfaat lain yang dapat diperoleh. 11