Komunitas Asia Timur Selasa, 27 Oktober 2009 | 05:39 WIB Anak Agung Banyu Perwita Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand, gagasan membentuk Komunitas Asia Timur kembali diutarakan PM Jepang Yukio Hatoyama. Gagasan yang digulirkan sejak KTT Ke-11 ASEAN (2005) ini memunculkan banyak pertanyaan, bahkan penolakan, di lingkungan ASEAN. Bagaimana komunitas ini akan dibentuk dalam kerangka regionalisme baru/hubungan internasional kontemporer? Apakah ASEAN + 3 akan jadi pendorong pembentukan komunitas Asia Timur? Dari banyak literatur yang membahas regionalisme di Asia Pasifik, upaya membentuk forum dan institusi regional sudah berlangsung sejak 1960-an. Ini ditandai dengan pembentukan Pacific Basin Economy Cooperation yang melibatkan para pemimpin bisnis kawasan. Kerja sama ini dilanjutkan dengan pembentukan forum tripartit Pacific Economic Cooperation Council. Puncak forum ekonomi Asia Pasifik ini ditandai oleh pembentukan Asia Pacific Economic Cooperation. Dalam bidang politik keamanan, forum kerja sama kawasan termanifestasi dalam ASEAN Regional Forum (ARF) yang digulirkan tahun 1994 di Bangkok. Upaya membentuk aneka forum kerja sama regional ini merupakan kelanjutan gejala regionalisme baru ketika dimensi ekonomi mengemuka. Meski demikian, gagasan komunitas Asia Timur tak dapat mengabaikan kepentingan geostrategis dan geopolitik kawasan. Beberapa tahap Ada beberapa tahap pertumbuhan regionalisme. Pertama ialah tahap praregional: beberapa negara sepakat membentuk interaksi sosial bersama dalam satu unit geografis tertentu. Tahap kedua berupa upaya bersama menciptakan saluran formal dan informal untuk menggalang kerja sama regional yang tertata dan sistematis. Tahap ini biasanya berlangsung agak lama karena negara-negara akan mengonsolidasikan kebijaksanaan domestik dan luar negerinya menyesuaikan diri dengan kebutuhan regionalnya. Pada konteks ini ASEAN + 3 patut mengedepankan beberapa alternatif kebijakan jangka panjang: senantiasa membangun kemitraan global berdasarkan kepentingan regional, memperkuat kerja sama regional ASEAN + 3, dan memperluas cakupan bidang kerja sama, termasuk bidang politik keamanan. Tahap terakhir adalah hasil proses regionalisasi ketika pembentukan identitas bersama, kapasitas institusional, dan legitimasi telah mencapai tingkat yang sangat tinggi sehingga eksistensi regional mereka diakui secara internasional. Banyak teoretikus hubungan internasional yang memberikan uraian tentang tiga elemen utama regionalisme. Elemen pertama adalah pengalaman kesejarahan masalah bersama yang dihadapi sekelompok negara dalam sebuah lingkungan geografis. Elemen ini akan memengaruhi derajat interaksi antaraktor negara di suatu kawasan. Semakin tinggi kesamaan sejarah dan masalah yang mereka hadapi semakin tinggi pula derajat interaksinya. Rupanya kesamaan pengalaman sejarah dan masalah yang dihadapi akan mendorong terciptanya kesadaran regional dan identitas yang sama. Respons dingin Australia dan Selandia Baru terhadap gagasan komunitas Asia Timur menjadi indikator cukup jelas mengenai elemen di atas. Elemen kedua adalah keterkaitan geografis yang sangat erat di antara mereka. Dengan kata lain, terdapat sebuah ”batas” kawasan dalam interaksi di antara mereka. Elemen ini merujuk pada pertanyaan: berapa luas kawasan yang akan tercakup dan bagaimana suatu wilayah didefinisikan? Cakupan wilayah yang dimiliki komunitas Asia Timur, misalnya, meliputi kawasan geografis Asia Pasifik yang amat luas. Ilustrasi ini sekaligus pula menunjukkan bahwa definisi kawasan lebih merupakan konstruksi sosial dan, oleh karena itu, secara politis dapat terus diperdebatkan. Elemen ketiga adalah kebutuhan menciptakan organisasi yang dapat membentuk kerangka legal dan institusional untuk mengatur interaksi di antara mereka. Elemen ini akan mendorong terciptanya derajat institusionalisasi di sebuah kawasan. Beberapa kawasan (di Eropa) memiliki struktur organisasi yang cukup ketat. Di Asia Pasifik, struktur dan derajat institusionalisasi masih cukup longgar. Ketiga elemen di atas akan menghasilkan cakupan isu interaksi di kawasan. Ada beberapa institusi kawasan yang mencakup kerja sama dalam banyak bidang. Namun, banyak pula institusi kawasan yang hanya memusatkan perhatian pada bidang tertentu, termasuk kemungkinan perubahan titik sentral ASEAN sebagai organisasi regional utama di kawasan. Maka, regionalisme merupakan sebuah fenomena hubungan internasional yang terus berkembang. Konsep ini tidak semata-mata membicarakan unsur geografis. Dalam banyak kasus regionalisme, elemen yang terkait begitu beragam, dari ekonomi hingga politik keamanan. Ini tentu saja akan menambah kompleksitas regionalisme sebagai sebuah konsep dan fenomena dalam hubungan internasional, khususnya di Asia Tenggara. Dalam kaitan komunitas Asia Timur, pengelompokan regional baru ini perlu mempertimbangkan secara matang kondisi kawasan dan modalitas yang selama ini sudah terbentuk di Asia Tenggara dan Pasifik. Tanpa mempertimbangkan elemen di atas, komunitas Asia Timur hanya akan menjadi sebuah imagined community di Asia Pasifik. Anak agung Banyu Perwita Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung