Sektor pariwisata di Indonesia sungguh sangat menarik untuk disimak, pasalnya berdasarkan data yang diperoleh dari Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) mempublikasikan ranking daya saing global (The Global Competitiveness Report/GCR) tahun 2015-2016. Indonesia menempati peringkat ke 50 dan masih kalah bersaing dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura yang menduduki peringkat 11, Malaysia peringkat 25 dan Thailand peringkat 35 (World Economic Forum, 2015). Selain itu, jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia sebanyak 10 juta orang setiap tahunnya dan angka ini jauh lebih kecil dibanding wisatawan asing yang berkunjung ke Malaysia dengan jumlah 24 juta orang pertahunnya (National Geographic, 2016). Tidak hanya persaingan antar negara, di Indonesia sendiri sektor pariwisata masih menduduki peringkat ke empat, dan masih kalah bersaing dengan sektor lainnya seperti dengan minyak dan gas yang menduduki peringkat pertama, batu bara peringkat kedua dan kelapa sawit peringkat ke empat (Kementrian Pariwisata, 2014). Padahal jika dilihat lebih dalam target pemerintah pada tahun 2020, sektor pariwisata diharapkan menjadi penghasil devisa terbesar (Firdaus, 2015), namun kenyataannya sampai saat ini sektor pariwisata Indonesia masih kalah saing di dalam maupun diluar Indonesia. Kondisi-kondisi tersebut membuat sektor pariwisata di Indonesia perlu melakukan usaha-usaha untuk menghadapi tantangan-tantangan agar organisasi dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang ada, hal ini agar organisasi dapat bertahan didunia bisnis (Kotter, 1996). Mengingat pentingnya perubahan, organisasi harus merubah cara berfikirnya mengenai suatu bisnis, tidak bisa lagi mengandalkan apa yang telah diraih, tetapi bagaimana mencari peluang untuk mengembangkan bisnis menjadi lebih baik lagi (Cummings & Worley, 2009). Demi memenangkan persaingan bisnis pariwisata, seluruh instansi baik negeri maupun swasata harus mampu menggali keunggulan-keunggulan kompetitif (competitive advantage) dengan melihat apa saja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia namun tidak dimiliki oleh bangsa lain. Proses perubahan berkelanjutan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh kondisi dan karakteristik organisasi. Ada organisasi yang mudah menerima perubahan, ada pula yang menolak terhadap perubahan. Perbedaan penerimaan perubahan di sebuah organisasi salah satunya dipengaruhi oleh budaya organisasi (Furnham, 2005). Keunggulan-keunggulan kompetitif (competitive advantage) dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan secara berkelanjutan (Robberts & Ammit, 2003) yaitu dengan melakukan pengendalian mutu, inovatif, berorientasi terhadap pelanggan, menjalankan sistem saran yang bagus, dan melakukan perbaikan hubungan interpersonal berbagai level didalam organisasi (Cole, 2001). Hubungan interpersonal di dalam organisasi sendiri dapat dilihat dari hubungan antar berbagai level, salah satunya adalah atasan dan bawahan (Stum, 2001). Seperti pada tingkatan terendah level supervisor dan staff (Ahmad, 2008; Han & Altman, 2009; Cheung, dkk. 2009; Werbel & Henriques, 2009; Lin & Huang, 2013; Thisera, 2013), pada level ini relasi atasan dan bawahan banyak mempengaruhi stres kerja dan peningkatan kinerja bawahannya (Rhoades & Eisenberger, 2002), hal ini dikarenakan tugas pada level ini lebih menjalankan pada tugas-tugas harian atau tugas-tugas rutin. Pada level manager-supervisor cenderung lebih banyak mengkomunikasikan kebijakan, tujuan dan rencana kerja perusahaan (Tepper, Uhl-Bien, Kohur, Lockhart, Ensley, 2006; Holtzhausen & Fourie, 2009; Tansel & Gazioglu, 2014). Selain itu, manajer lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk berkomunikasi dengan bawahannya (Mitntzberg, 1973) dan salah satu acuan yang membedakan kesuksesan manajer dapat dilihat dari keberhasilan berkomunikasi dengan bawahannya (Luthans, 1973). Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada relasi sosial manager dan supervisor dengan alasan yaitu karena pada level ini lebih banyak mentransfer kebijakan dan tujuan. Tujuan dan kebijakan harus disampaikan dengan penuh kejelasan karena ketika kesalahpahaman dalam mentransfer suatu kebijakan tentunya akan berdampak pada tujuan yang ingin dicapai perusahaan (Griffith, 2002). Pada dasarnya, relasi antara atasan dan bawahan merupakan suatu interaksi interpersonal yang dapat terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Fiske (1992) mengemukakan bahwa dalam berbagai macam konteks maupun konten yang berbeda, interaksi manusia tetap mengacu pada empat model relasi yang sama yaitu: Communal Sharing Authority Ranking Equality Matching Market Pricing Gambar 1. Relasi Empat Model (Fiske, 1992) Communal sharing lebih menjelaskan hubungan yang menjaga kualitas dalam kelompoknya, authority ranking menunjukkan kepemilikan status sosial atau posisi kekuasaan, equality matching lebih merujuk kepada rekan sabaya “peer’ sedangkan market pricing individu akan menjalin hubungan karena merasa akan mendapatkan keuntungan (Fiske, 1992). Pada umumnya individu akan akan mengkombinasikan model-model relasi tersebut dalam bentuk perilaku untuk memahami individu lain pada waktu yang berbeda-beda, menilai perilakuperilaku sosial tertentu, mengantisipasi dampak dari perilaku individu lain, hingga berkoordinasi dengan individu-individu lain. Keempat model relasi tersebut biasanya digabungkan secara bersamaan dan diaplikasikan secara bertahap sesuai dengan fase interaksi yang sedang dijalin ataupun aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada suatu organisasi (Fiske, 1992). Beberapa peneliti menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan dapat dilihat dari berbagai motif yang ada. Homans (1961) menjelaskan pertukaran sosial baru akan terjadi ketika tercapai tujuan dari kedua belah pihak. Pertukaran sosial (Social Exchange) berkaitan dengan sistem hubungan, termasuk beberapa komponen di dalamnya yang melibatkan kedua pihak (pimpinan dan bawahan) dalam hubungan dyad perilaku yaitu hubungan antara dua orang yaitu pemimpin dan bawahan (Scandura, dkk. 1986). Hubungan dyad pada pertukaran sosial mementingkan adanya asas timbalbalik (reciprocity) sebagai ukuran kualitas hubungan yang dijalin (Uhl-Bien & Maslyn, 2003; Moody, 2008). Reciprocity merupakan proses interaksi sosial yang erat kaitannya dengan beberapa elemen seperti kesetaraan (equivalence), immediacy, serta ketertarikan (interest). Prinsip kesetaraan lebih mengarah kepada seberapa seimbang antara jumlah yang akan didapatkan dengan yang diberikan. Prinsip immediacy lebih mengarah kepada rentang waktu timbal balik diterima, seperti hak diterima setelah memenuhi kewajiban. Prinsip ketertarikan (interest) lebih mengarah kepada motif orang lain untuk menjalin hubungan dan proses pertukaran. Ketiga elemen dari reciprocity saling dikombinasikan sehingga membentuk mekanisme stabilitas sistem sosial (Uhl-Bien & Maslyn, 2003). Teori pertukaran sosial tersebut sangat melekat pada konsep LMX (Leader Member Exchange) sehingga LMX dikatakan sebagai variasi teori pertukaran sosial (Yukl, 1994). Sparrowe dan Liden (1997) berpendapat bahwa pimpinan berperan dalam masa orientasi dan sosialisasi karyawan baru. Pada tahap awal, pimpinan dan bawahan mempunyai informasi masing-masing yang masih sangat terbatas. Pimpinan sendiri sejak awalnya telah mulai terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dan perkenalan dengan karyawan melalui kontrak jaringan kerja (Bauer & Green, 1996). LMX juga menyarankan agar pemimpin dan anggota berkontribusi pada pertukaran informasi untuk mengembangkan hubungan kerja yang berkualitas tinggi (Breukelen, Schyns, Blanc, 2006) yaitu saling mendukung, kepercayaan dan rasa hormat (Werbel & Henriques, 2009; Wharton, Brunetto & Shacklock, 2011). Liden dan Maslyn (1998) menjelaskan LMX yang terdiri dari empat komponen yang berbeda, yaitu (a) afeksi, merupakan sikap saling mempengaruhi satu sama lain antara atasan dan bawahan berdasarkan daya tarik interpersonal dan tidak hanya dari nilai professional, (b) loyalitas, merupakan ekspresi dan ungkapan untuk mendukung penuh tujuan dan karakter pribadi anggota lainnya dalam hubungan timbal balik pimpinan dan bawahan (c) kontribusi, merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama (eksplisit atau implisit), (d) Respek profesional, adalah persepsi dimana setiap anggota dalam hubungan tersebut telah menciptakan reputasi didalam atau diluar organisasi. Komponen lain yang mendukung terbentuknya pertukaran sosial antara atasan dan bawahan bisa saja terjadi karena adanya rasa saling ketergantungan antara atasan dan bawahan. Hubungan saling ketergantungan tersebut terjadi ketika pencapaian tujuan masing-masing individu dipengaruhi oleh tindakan orang lain, sehingga memunculkan tiga jenis dari hubungan saling ketergantungan yaitu pertama saling ketergantungan positif, dimana individu merasa bahwa mereka dapat mencapai tujuan jika mereka bekerja sama dengan individu lain yang disebut dengan promotive interaction. Pada penelitian yang dilakukan oleh Crant dan Berry (2000) saling ketergantungan yang tinggi akan mempengaruhi kualitas hubungan interpersonal seseorang. Promotive interaction digambarkan pada bagan saling keterkaikatan antara hubungan usaha saling menghargai, hubungan interpersonal yang positif dan penyesuaian psikologi. Berbanding terbalik dengan interdependensi positif, hubungan saling ketergantungan negatif justru terjadi ketika individu merasa bahwa mereka dapat memperoleh tujuan dengan cara berkompetisi yang disebut dengan oppositional interaction. Oppositional intercation didefinisikan sebagai tindakan individu yang memungkinkan akan menghambat keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuannya. Oppositional interaction ini lebih memfokuskan tindakan individu untuk meningkatkan produktivitas diri sendiri dengan cara menghalangi orang lain untuk mencapai produktivitas yang lebih baik dari yang individu tersebut lakukan. Hal ini terdiri dari variabel seperti terhalangnya orang lain dalam mencapai tujuan, taktik untuk mengancam serta memaksa, komunikasi yang tidak efektif, ketidakpercayaan dan perjuangan untuk menang dalam konflik. Ketiga yaitu no interaction didefinisikan sebagai seseorang yang fokus pada tujuannya sendiri, tidak membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuannya (Johnson & Johnson, 2005). Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan interpersonal dikehidupan sosial baik didunia kerja maupun diluar dunia kerja dipengaruhi oleh budaya. Budaya sendiri mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang menghasilkan perbedaan aspek-aspek dalam kehidupan seseorang yaitu keyakinan, nilai, sikap, dan perilaku (Hofstede & Hofstede, 2005; Daryanto, 2013). Indonesia sendiri salah satu negara yang mendapatkan pengaruh besar dari peradaban budaya Cina. Seperti di Cina, Ho (1998) mengungkapkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Cina baik di instansi maupun keluarga dianggap sebagai unit sosial dasar sejak jaman kuno. Hwang (2000) sendiri mengungkapkan bahwa Cina memiliki konsep relationalism yang terbentuk dari tradisi-tradisi budaya Confucian. Masyarakat Cina menganggap kehidupan sosial anak atau individu dimulai dari adanya relasional yang sangat dekat diantaranya dari orangtua dan saudara kandung. Namun disisi lain masyarakat di Cina tidak hanya melihat suatu hubungan yang sangat dekat saja dalam lingkungan sosial, melainkan juga melihat bagaimana relasional interpersonal memiliki kegunaan bermanfaat dalam kehidupan sosial yang lebih luas, lebih menekankan hubungan interpersonal jangka panjang serta mementingkan hubungan timbal balik antara individu dengan individu lainnya. Hwang (2000) juga berpendapat bahwa pada masyarakat budaya timur dalam tradisi budaya confucian yang lebih merepresentasikan konsep kolektivisme daripada individualisme dalam memaknai kehidupan sosial serta konsep relasionalisme dalam lingkungan sosial (Ho dkk, 2001). Secara otomatis hasil penelitian lebih sesuai dengan konsep masyarakat budaya timur daripada konsep budaya barat yang lebih mengedepankan konsep individualisme daripada kolektivisme dalam memaknai kehidupan sosial. Hubungan interpersonal di Cina dikenal dengan istilah Guanxi. Istilah ini terus dikembangkan dalam dunia kerja maupun diluar kerja (Cheung dkk. 2009) yang didasarkan pada beberapa jenis yaitu berdasarkan ikatan keluarga (kekerabatan), hubungan yang akrab (pertemanan) dan orang asing (atribut demografis) (Farh, Earley, Lin, 1997); Zhang & Zhang, 2006). Guanxi sendiri tidak hanya dikembangkan di Cina, tetapi juga sudah digunakan dinegara Taiwan, dalam penelitian yang dilakukan oleh (Lin & Huang, 2013), Guanxi yang lebih kearah hubungan negatif seperti menyuap, melobi atau menignginkan pencapaian tujuan tertentu justru akan merusak kefektivitasan dan merugikan organisasi. Salah satu perusahaan pariwisata yang sangat kental dengan hubungan interpersonal karyawannya yaitu PT. Taman Wisata Candi. Pada dasarnya peerusahaan ini memiliki nilai kekeluargaan yang sangat kental dan mempengaruhi hubungan interpersonal yang terjalin didalam perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu Board of Director PT. TWC, nilai kekeluargaan pada perusahaan ini sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan nilai kepercayaan yang tinggi pula. “Budaya kekeluargaan yang kental ternyata tidak diimbangi dengan kepercayaan yang tinggi, dimana hubungan antara atasan dan bawahan atau sesama pegawai membentuk kelompok-kelompok (S1, w1, 24-28).” Nilai kekeluargaan ini tidak seerta merta muncul begitu saja, ini dimulai ketika PT. TWC yang dulunya membutuhkan karyawan untuk mengisi kekosongan-kekosongan jabatan dimulai dengan merekruit para penjual lahan yang berada disekitar kaawasan candi sehingga proses perekruitan didasarkan pada faktor kedekatan seperti sanak keluarga, teman dan lain-lain (S1, 304-307). Dampak beruntun yang dirasakan oleh perusahaan sampai saat ini yaitu nilai kekeluargaan yang menjadi faktor pembentukan hubungan interpersonal antara atasan dan bawahan di PT. TWC membuat penilaian kinerja menjadi lebih subjektif. “KPI akan dipertanggung jawabkan oleh atasan dan bawahan, menggunakan DP4 dengan proses penilaian yang subjektif, jadi jika hubungan atasan bawahan gak baik nilainya juga ga baik kalau hubungannya baik ya nilainya baik (S1, W1, 317-326)” Tidak hanya sampai disitu, penilaian kinerja yang subjektif ternyata berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan (Cheung, Wu, Wong, 2009; Tansel & Gazioglu, 2014). “Karyawan tentunya mengikuti apa yang diinginkan atasan, walaupun mereka merasa tidak puas terhadap keputusan yang diambil oleh atasan” (S2, w1, 563) Lebih jauh, penelitian yang dilakukan oleh Baumeister dan Leary (1995) menunjukkan bahwa relasi sosial yang tidak terbangun dengan baik antara atasan dan bawahan akan berdampak ke hal-hal negatif seperti kecemasan, depresi, dan rasa kesendirian. Dampak lain yang dirasakan hubungan interpersonal yang tidak adil akan berpengaruh terhadap sikap kontra produktif yang justru membahayakan perusahaan (Yang, Johnson, Zhang, Spector & Xu, 2013). Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai relasi sosial atasan dan bawaham lebih banyak dihubungkan dengan meningkatnya kinerja karyawan (Zhou, Xue & Qing, 2007; Han & Altman, 2009; Steele & Plenty, 2015), prestasi kerja karyawan (Thisera 2013; Michael, 2014), menurunkan turnover dan menurunkan stres kerja (Ahmad, 2008; Song & Olshfski, 2008; Volmer, Niessen, Spurk, Linz & Abele, 2011; Malik, Ahmad, Naseem & Rehman, 2015). Downs dkk. (1998) menyatakan bahwa hubungan struktural atasan dan bawahan adalah link komunikasi yang paling penting dalam organisasi, dimana selanjutnya hubungan atasan-bawahan adalah hubungan utama yang diartikulasikan oleh organisasi (Zalabak, 1988). Berdasarkan pemaparan diatas, walaupun penelitian mengenai relasi sosial manager dan supervisor sudah diteliti dibeberapa negara, namun penelitian relasi sosial manager dan supervisor dengan latar belakang PT. Taman Wisata Candi yang memiliki nilai-nilai kekeluargaan belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat konsep relasi sosial yang terjalin antara manager dan supervisor serta dimensi-dimensi apa saja yang membentuk relasi sosial manager-supervisor tersebut di PT. Taman Wisata Candi. 1. Apa saja dimensi relasi sosial antara manager dan supervisor PT. Taman Wisata Candi pada nilai kekelurgaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan ? 2. Bagaimana dinamika relasi sosial yang terjalin antara manager dan supervisor PT. Taman Wisata Candi pada nilai kekelurgaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan? 3. Bagaiman bentuk relasi sosial yang terjalin antara manager dan supervisor PT. Taman Wisata Candi pada nilai kekelurgaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan? Implikasi empiris dari penelitian ini adalah adalah membantu perusahaan dalam melihat bagaimana bentuk relasi sosial yang terjalin antara manager dan supervisor di PT. TWC, sehingga hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan dan gambaran kepada manajemen untuk menciptakan strategi pengembangan Sumber Daya Manusia. Implikasi teoritis dari pelaksanaan penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan ilmu bagi peneliti, praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan masyrakat umum mengenai toeri relasi sosial pada level manage dan supervisor serta dimensi-dimensi yang membentuk relasi sosial antara manager dan supervisor.