BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Basil ini berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih, dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet. Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab (Alsagaff dan Mukty, 2010). Kuman ini dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam (Rab, 2010). 2.1.2. Epidemiologi WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1.9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita baru TB dengan kematian sebesar tiga juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus (Ratnasari, 2012). Sepanjang tahun 2010, sebanyak 73.8% penderita TB paru BTA (+) di Sumatera Utara. Berdasarkan survey, dari jumlah tersebut, kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderitanya. Data yang dilaporkan melalui Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) mengatakan, sebanyak 15.614 orang positif Tuberculosis (TB) paru BTA (+) di Sumatera Utara. Sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang (Widyastuti, 2011). 2.1.3. Patogenesis dan Patologi Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang Universitas Sumatera Utara lain yang sehat, droplet tersebut akan terdampar pada dinding sistem pernafasan. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi (Djojodibroto, 2009). Didalam alveoli yang kemasukan kuman terjadi penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pula dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses infeksi yang terjadi di lobus bawah paru yang disertai dengan pembesaran dari kelenjar limfe yang terdapat di hilus disebut dengan kompleks Ghon yang sebenarnya merupakan permulaan infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Kuman tuberkulosis akan mengalami penyebaran secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut (Rab, 2010). 2.1.4. Gejala Klinis Menurut Rab (2010), tanda-tanda klinis yang tampak dari penyakit tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan berupa: Batuk Sputum mukoid atau purulen Nyeri dada Hemoptisis Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari Berat badan berkurang Anoreksia Malaise Ronki basah di apeks paru Wheezing (mengi) yang terlokalisir Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi tergantung pada umur dan keadaan penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Universitas Sumatera Utara Demam dapat mencapai 40o-41oC dan bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Gejala respiratorik berupa batuk kering maupun batuk produktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar (Djojodibroto, 2009). 2.1.5. Diagnosis Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama (Menkes RI, 2009). Menurut Kowalak (2011), diagnosis juga dapat ditegakkan melalui: 1. Foto rontgen toraks memperlihatkan lesi nodular, bercak-bercak infiltrat (terutama pada lobus atas paru), pembentukan kavitas, jaringan parut, dan timbunan kalsium. 2. Tes kulit tuberkulin mengungkapkan infeksi hingga taraf tertentu tetapi tidak menunjukkan aktivitas penyakit. 3. Sediaan apus dengan pewarnaan dan pemeriksaan kultur pada sputum, cairan serebrospinal, cairan drainase dari abses atau cairan pleura memperlihatkan bakteri basil tahan asam yang sensitif-panas, tidak bergerak, dan bersifat aerob. 4. CT scan atau MRI memungkinkan evaluasi kerusakan pada paru dan dapat memastikan diagnosis yang sulit ditegakkan. 5. Bronkoskopi memperlihatkan inflamasi dan perubahan pada jaringan paru. Pemeriksaan ini dapat pula dilakukan untuk mendapatkan sputum jika pasien tidak dapat mengeluarkan spesimen sputum dalam jumlah cukup. Universitas Sumatera Utara 2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu: a) paling sedikit menggunakan dua obat, dan b) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh. Kini semua pasien tuberkulosis diobati dalam jangka pendek, antara 6-8 bulan (Zubaidi, 2007). Menurut Menkes RI (2009), paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia: o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3 o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT dan peruntukannya: 1. Kategori-1 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif • Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru 2. Kategori-2 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: • Pasien kambuh • Pasien gagal • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) 2.2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. OAT sekunder adalah etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin (Zubaidi, 2007). Universitas Sumatera Utara Isoniazid dan rifampisin merupakan dua obat yang paling aktif. Kombinasi isoniazid-rifampisin yang diberikan selama sembilan bulan akan menyembuhkan 95-98% kasus tuberkulosis. Penambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazidrifampisin selama 2 bulan pertama membuat durasi total terapi dapat dipersingkat hingga enam bulan tanpa terjadinya penurunan efektivitas. Baik etambutol maupun streptomisin tidak menambah aktivitas regimen secara keseluruhan (artinya, durasi terapi tidak dapat dikurangi meskipun salah satu dari kedua obat tersebut digunakan), tetapi obat tersebut memberikan perlindungan tambahan jika isolat mikobakterium terbukti resisten terhadap isoniazid, rifampin, atau keduanya (Chambers, 2010). Tabel 2.2. Antimikroba yang digunakan dalam terapi tuberkulosis (Chambers, 2010). Dosis biasa pada dewasa1 Obat Agen lini-pertama Isoniazid 300 mg/hari Rifampisin 600 mg/hari Pirazinamid 25 mg/kg/hari Etambutol 15-25 mg/kg/hari Streptomisin 15 mg/kg/hari Agen lini-kedua Amikasin 15 mg/kg/hari Paraaminosalisilat 8-12 g/hari Kapreomisin 15 mg/kg/hari Etionamid 500-750 mg/hari Sikloserin 500-1000 mg/hari, terbagi 1fungsi ginjal dianggap normal. 2.2.1. Streptomisin Universitas Sumatera Utara Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas (Zubaidi, 2007), melintasi sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila meningens meradang. Penetrasi streptomisin ke dalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada basil tuberkel ekstrasel (Chambers, 2010). Resistensi terjadi akibat mutasi titik pada gen rpsL yang mengode gen protein ribosomal S12 atau gen rss yang mengode rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi pengikatan ribosomal (Chambers, 2010). Penggunaan streptomisin bersama anti tuberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi (Zubaidi, 2007). Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kirakira sepertiga streptomisin yang berada didalam plasma terikat protein plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal (Zubaidi, 2007). Mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut terjadi segera setelah injeksi. Reaksi hipersensitivitas kulit dapat terjadi (WHO, 2009). Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranialis ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama (Zubaidi, 2007). Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat permanen (Chambers, 2010). Ototoksisitas dan nefrotoksisitas dihubungkan dengan pemberian obat ini, terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut. Gangguan vestibular lebih sering terjadi dibandingkan dengan kerusakan auditori (Hershfield, 1999). Streptomisin tidak boleh diberikan pada masa kehamilan karena dapat menembus sawar plasenta dan menyebabkan gangguan saraf auditorius dan nefrotoksisitas pada bayi (WHO, 2009). 2.2.2. Isoniazid Universitas Sumatera Utara Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikobakterium (Zubaidi, 2007). Isoniazid larut dengan bebas dalam air. Isoniazid dapat mempenetrasi makrofag sehingga aktif terhadap organisme intrasel dan ekstrasel. Isonizid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan prekursor obat yang diaktifkan oleh KatG, suatu katalase-peroksidase milik mikobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa beta keto-asil (AcpM) dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasetil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel (Chambers, 2010). Resistensi terhadap isoniazid disebabkan mutasi yang mengakibatkan ekspresi berlebihan inhA, yang mengode reduktase untuk protein pembawa asil yang dependen-NADH; mutasi atau delesi gen katG; mutasi promotor yang menyebabkan ekspresi berlebih ahpC, suatu gen virulens putatif yang terlibat dalam perlindungan sel mikobakterium terhadap stres oksidatif; dan mutasi kasA (Chambers, 2010). Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar cairan plasma. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam Universitas Sumatera Utara nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali berupa N-metil isoniazid (Zubaidi, 2007). Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadinya lupus eritematous sistemis yang dipicu oleh obat (Chambers, 2010). Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik juga dapat terjadi. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini di antaranya euforia, kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri, dan psikosis. Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin (Zubaidi, 2007). Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin. Berbagai reaksi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna (Chambers, 2010). 2.2.3. Rifampisin Rifampisin menghambat pertumbuhan kuman gram-positif dan gramnegatif (Zubaidi, 2007). Rifampisin adalah bahan ampuh untuk melawan secara aktif pembelahan mikroorganisme intraseluler dan ekstraseluler dan memiliki aktivitas melawan basil semi dormant. Obat ini bekerja terutama dengan menghambat DNA-dependentRNApolimerase, menghalangi transkripsi RNA (Hershfield, 1999). Rifampisin dapat larut dalam lemak. Dengan pemberian oral, rifampisin dapat diserap dengan cepat dan didistribusikan melalui jaringan dan cairan tubuh. Dosis tunggal 600 mg menghasilkan konsentrasi serum puncak sekitar 10 mcg / ml dalam 2-4 jam, yang kemudian meluruh dengan waktu paruh 2-3 jam (WHO, 2009). Obat ini cepat mengalami deasetilasi, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas bakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pemberian berulang. Sekitar 75% rifampisin terikat pada protein Universitas Sumatera Utara plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan otak. Eksresi melalui urin mencapai 30%, setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dibuang lewat ASI (Zubaidi, 2007). Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa, kurang dari 4% penderita tuberkulosis mengalami efek toksik. Yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi (Zubaidi, 2007). Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) harus dilakukan selama perawatan semua pasien dengan penyakit hati yang sudah ada, yang akan meningkatkan risiko kerusakan hati (WHO, 2009). Rifampisin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata, dan lensa kontak. Efek samping yang sesekali muncul meliputi ruam, trombositopenia, dan nefritis (Chambers, 2010). 2.2.4. Etambutol Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati (Zubaidi, 2007). Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium, yang dikode oleh operon embCAB. Arabinosil transferase terlibat dalam reaksi polimerasi arabinoglikan, suatu komponen esensial dinding sel mikobakterium (Chambers, 2010). Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol tetap diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian sebanyak 25 mg / kg. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, Universitas Sumatera Utara berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk etambutol kira-kira 8.6 ml / menit / kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli (Zubaidi, 2007). Etambutol melintasi sawar darah otak hanya jika meningens mengalami radang. Seperti semua OAT, resistensi terhadap etambutol segera timbul jika obat ini digunakan secara tunggal. Oleh sebab itu, etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan OAT lain (Chambers, 2010). Dosis harian sebesar 15 mg / kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, bingung, disorientasi dan mungkin juga halusinasi. Reaksi kaku dan kesemutan di jari sering terjadi. Efek samping yang paling penting adalah gangguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapangan pandang, dan skotoma sentral maupun lateral. Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% penderita. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal (Zubaidi, 2007). 2.2.5. Pirazinamid Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik (Zubaidi, 2007), yang dikode oleh pncA. Obat ini tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel dan beberapa mikobakterium lain pada kadar sekitar 20 mcg/ml. Pirazinamid diambil oleh makrofag dan memunculkan aktivitasnya terhadap mikobakterium yang tinggal dalam lingkungan lisosom yang bersifat asam. Resistensi dapat disebabkan oleh gangguan ambilan ambilan pirazinamid atau mutasi pada pncA yang mengganggu konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Chambers, 2010). Universitas Sumatera Utara Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mcg/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam (Zubaidi, 2007). Pirazinamid merupakan obat lini-pertama penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin pada regimen jangka pendek (yakni, 6 bulan) sebagai agen “sterilisasi” yang aktif terhadap organisme intrasel residual yang dapat menimbulkan relaps (Chambers, 2010). Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita), mual, muntah, demam karena obat, dan hiperurisemia (Chambers, 2010). 2.2.6. Etionamid Etinonamid secara kimiawi terkait dengan isoniazid dan juga menyekat sintesis asam mikolat. Etionamid sulit larut dalam air dan hanya tersedia dalam bentuk oral. Obat ini dimetabolisme di hati. Meskipun secara teoritis bermanfaat, dosis sebesar 1 g / hari ditoleransi dengan buruk karena sering menimbulkan iritasi lambung yang hebat dan gejala neurologis. Etionamid juga bersifat hepatotoksik (Chambers, 2010). Etionamid sering menyebabkan efek samping pada gastrointestinal, seperti nyeri perut, mual, muntah dan anoreksia (Hershfield, 1999). Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental, mengantuk, dan astenia. Efek samping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parastesia, sakit kepala, rasa lelah, dan tremor (Zubaidi, 2007). 2.2.7. Paraaminosalisilat Asam aminosalisilat adalah antagonis sintesis folat yang hampir hanya aktif terhadap M. tuberculosis. Asam amiosalisilat cepat diserap dari saluran Universitas Sumatera Utara cerna. Obat ini didistribusi secara luas dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh kecuali cairan serebrospinal. Asam aminosalisilat cepat diekskresi dalam urin, sebagian dalam bentuk asam aminosalisilat aktif dan sebagian lagi dalam bentuk senyawa terasetilasi dan produk metabolik lainnya. Kadar asam aminosalisilat yang sangat tinggi dicapai dalam urin, yang dapat menimbulkan kristaluria (Chambers, 2010). 2.2.8. Sikloserin Sikloserin merupakan penghambat dinding sel (Chambers, 2010). Sikloserin sering menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatri, mencakup sakit kepala, kantuk, bingung, kejang dan psikosis. Gangguan ginjal menurunkan ekskresi obat (Hershfield, 1999). Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disartria, vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat-obat itu. Penggunannya harus bersama dengan obat lain yang efektif (Zubaidi, 2007). 2.2.9. Amikasin dan Kanamisin Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Efeknya pada M. tuberkulosis hanyalah bersifat supresif. Pada pemberian IM obat ini diserap dengan cepat dan sempurna. Metabolismenya dapat diabaikan, ekskresinya melalui ginjal kira-kira 90% dan dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam. Kanamisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan hilangnya fungsi labirin. Kanamisin juga mempunyai efek nefrotoksik sedang (Zubaidi, 2007). Kanamisin telah digunakan dalam terapi tuberkulosis yang disebabkan oleh galur resisten-streptomisin. Efek toksik ginjal biasanya terjadi kadang-kadang, dimana efek toksik auditori lebih sering terjadi. Pemeriksaan reguler terhadap pendengaran dan fungsi ginjal dianjurkan (Chambers, 2010). Universitas Sumatera Utara 2.2.10. Kapreomisin Kapreomisin adalah antibiotik injeksi poliptida dan mekanisme belum diketahui (Chambers, 2010). Obat ini terutama digunakan untuk infeksi paru oleh M. tuberculosis yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Kapreomisin kurang toksik dan efek bakteriostatiknya lebih besar. Kapreomisin juga merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audiometri dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberian obatnya. Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya fungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia, serta trombositopenia (Zubaidi, 2007). 2.3. Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda: koklea, yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar; dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood, 2001). Telinga luar terdiri dari pinna (bagian daun telinga, auricula), meatus auditorius eksternus (saluran telinga), dan membrana timpani (gendang telinga) (Sherwood, 2001). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit (Soetirto et al., 2007), mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran telinga luar. Karena bentuknya, daun telinga secara parsial menahan gelombang suara yang mendekati telinga dari arah belakang dan, dengan demikian, membantu seseorang membedakan apakah suara datang dari arah depan atau belakang. Korteks pendengaran mengintegrasikan semua petunjuk tersebut untuk menentukan lokasi sumber suara (Sherwood, 2001). Menurut Sherwood (2001), pintu masuk ke kanalis telinga (saluran telinga) dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit yang melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi yang menghasilkan serumen (kotoran Universitas Sumatera Utara telinga), suatu sekresi lengket yang menangkap partikel-partikel asing yang halus. Membrana timpani, yang teregang sewaktu menutupi pintu masuk ke telinga tengah, bergetar sewaktu terkena gelombang suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar-masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Tekanan udara istirahat di kedua sisi membrana timpani harus setara agar membrana dapat bergerak bebas sewaktu gelombang suara mengenainya. Bagian luar gendang telinga terpajan ke tekanan atmosfer yang mencapainya melalui saluran telinga. Bagian dalam gendang telinga yang berhadapan dengan rongga telinga tengah juga terpajan ke tekanan atmosfer melalui tuba Eustachius (auditoria), yang menghubungkan telinga tengah ke faring (bagian belakang tenggorokan). Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea (Soetirto et al., 2007). Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat bergerak atau osikula (maleus, inkus, dan stapes), yang berjalan melintasi telinga tengah. Tulang pertama, maleus, melekat ke membran timpani, dan tulang terakhir, stapes, melekat ke jendela oval, pintu masuk ke koklea yang berisi cairan. Ketika membran timpani bergetar sebagai respon terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membran timpani ke jendela oval. Namun, seperti dinyatakan sebelumnya, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan. Terdapat dua mekanisme yang berkaitan dengan sistem osikuler yang memperkuat tekanan gelombang suara dari udara untuk menggetarkan cairan di koklea. Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luas permukaan jendela oval, terjadi peningkatan tekanan ketika gaya yang bekerja di membrana timpani disalurkan ke jendela oval (tekanan = gaya/satuan luas). Kedua, efek pengungkit tulang-tulang pendengaran menghasilkan keuntungan mekanis tambahan. Kedua mekanisme ini bersama- Universitas Sumatera Utara sama meningkatkan gaya yang timbul pada jendela oval sebesar dua puluh kali lipat dari gelombang suara yang langsung mengenai jendela oval. Tekanan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea. Bagian koklearis telinga dalam yang berbentuk seperti siput adalah suatu sistem tubulus bergelung yang terletak di dalam tulang temporalis. Di seluruh panjangnya, koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklearis yang buntu, yang juga dikenal sebagai skala media, membentuk kompartemen tengah. Saluran ini berjalan di sepanjang bagian tengah koklea, hampir mencapai ujungnya. Kompartemen atas, yakni skala vestibuli mengikuti kontur bagian dalam spiral, dan skala timpani, kompartemen bawah, mengikuti kontur luar spiral. Cairan di dalam duktus koklearis disebut endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung cairan yang sedikit berbeda, yaitu perilimfe. Daerah di luar ujung duktus koklearis tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan disebut helikotrema. Skala vestibuli disekat dari rongga telinga tengah oleh jendela oval, tempat lekatnya stapes. Lubang kecil berlapis membran lainnya, yakni jendela bundar, menyekat skala timpani dari telinga tengah. Membran vestibularis yang tipis memisahkan duktus koklearis dari skala vestibuli. Membran basilaris membentuk lantai duktus koklearis, memisahkannya dari skala timpani. Membran basilaris sangat penting karena mengandung organ Corti, organ untuk indra pendengaran. Organ Corti, yang terletak di atas membran basilaris, diseluruh panjangnya mengandung sel-sel rambut, yang merupakan reseptor untuk suara. Sel-sel rambut menghasilkan sinyal listrik jika rambut di permukaannya secara mekanis mengalami perubahan bentuk berkaitan dengan gerakan cairan didalam telinga. Rambut-rambut ini secara mekanis terbenam didalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda-rumah yang menggantung di atas. Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat ditekan, menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam: (1) perubahan posisi jendela bundar dan (2) defleksi membran basilaris. Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen atas, Universitas Sumatera Utara kemudaian mengelilingi helikotrema, dan ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar ke dalam rongga telinga tengah untuk mengompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan menarik jendela oval ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam. Jalur ini tidak menyebabkan timbulnya persepsi suara; tetapi hanya menghamburkan tekanan. Gelombang tekanan di kompartemen atas dipindahkan melalui membran vestibularis yang tipis, ke dalam duktus koklearis, dan kemudian melalui membran basilaris ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar-masuk bergantian. Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui membran basilaris menyebabkan membran ini bergerak ke atas dan ke bawah, bergetar, secara sinkron dengan gelombang tekanan. Karena organ Corti menumpang pada membran basilaris, sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbenam di dalam membran tektorial. Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju-mundur ini menyebabkan saluran-saluran rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian—potensial reseptor—dengan frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula. Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan jung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membrana basilaris bergeser ke atas) meningkatkan kecepatan pengeluaran zat perantara mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membran basilaris bergerak ke bawah). Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang Universitas Sumatera Utara menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara. 2.4. Fisiologi Keseimbangan Menurut Sherwood (2001), selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea, telinga dalam memiliki komponen khusus lain, yakni aparatus vestibularis, yang memberikan informasi yang penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan-gerakan kepala dengan gerakangerakan mata dan postur tubuh. Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang terletak di dalam tulang temporalis di dekat koklea—kanalis semisirkularis dan organ otolit, yaitu utrikulus dan sakulus. Aparatus vestibularis mendeteksi perubahan posisi dan gerakan kepala. Seperti di koklea, semua komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Juga, serupa dengan organ Corti, komponen vestibular masing-masing mengandung sel-sel rambut yang berespon terhadap perubahan bentuk mekanis yang dicetuskan oleh gerakan-gerakan spesifik endolimfe. Seperti sel-sel rambut auditorius, reseptor vestibularis juga dapat mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi, bergantung pada arah gerakan cairan. Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi anguler atau rotasi kepala. Tiap-tiap telinga memiliki tiga kanalis semisirkularis yang secara tiga dimensi tersusun dalam bidang-bidang yang tegak lurus satu sama lain. Selsel reseptif di setiap kanalis semisirkularis terletak diatas suatu bubungan (ridge) yang terletak di ampula. Rambut-rambut terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa, yaitu kupula, yang menonjol ke dalam endolmfe didalam ampula. Kupula bergoyang sesuai arah gerakan cairan. Akselerasi (percepatan) atau deselerasi (perlambatan) selama rotasi kepala ke segala arah menyebabkan pergerakan endolimfe. Ketika kepala mulai bergerak, saluran tulang dan bubungan sel rambut yang terbenam dalam kupula bergerak mengikuti gerakan kepala. Namun, cairan di dalam kanalis, yang tidak melekat ke Universitas Sumatera Utara tengkorak, mula-mula tidak ikut bergerak sesuai arah rotasi, tetapi tertinggal di belakang karena adanya inersia (kelembaman). Ketika endolimfe tertinggal saat kepala mulai berputar, endolimfe yang terletak sebidang dengan gerakan kepala pada dasarnya bergeser dengan arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala. Gerakan cairan ini menyebabkan kupula condong ke arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala, membengkokkan rambut-rambut sensorik yang terbenam didalamnya. Apabila gerakan kepala berlanjut dalam arah dan kecepatan yang sama, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepala, sehingga rambut-rambut kembali ke posisi tegak mereka. Ketika kepala melambat dan berhenti, keadaan yang sebaliknya terjadi. Endolimfe secara singkat melanjutkan diri bergerak searah dengan rotasi kepala sementara kepala melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara sementara membengkok sesuai dengan arah rotasi semula, yaitu berlawanan dengan arah membengkok ketika akselerasi. Pada saat endolimfe secara bertahap berhenti, rambut-rambut kembali tegak. Dengan demikian, kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasi kepala. Kanalis tidak berespon jika kepala tidak bergerak. Rambut-rambut pada sel rambut vestibularis terdiri dari dua puluh sampai lima puluh stereosilia, yaitu mikrovilus yang diperkuat oleh aktin, dan satu silium, kinosilium. Setiap sel rambut berorientasi sedemikian rupa, sehingga sel rambut tersebut mengalami depolarisasi ketika stereosilianya membengkok ke arah kinosilium; pembengkokan ke arah berlawanan menyebabkan hiperpolarisasi sel. Sel-sel rambut membentuk sinaps zat perantara kimiawi dengan ujung-ujung terminal neuron aferen yang akson-aksonnya menyatu dengan akson struktur vestibularis lain untuk memberntuk saraf vestibularis. Saraf ini bersatu dengan saraf auditorius dari koklea untuk membentuk saraf vestibulokoklearis. Depolarisasi sel-sel rambut meningkatkan kecepatan pembentukan potensial aksi di serat-serat aferen; sebaliknya, ketika sel-sel rambut mengalami hiperpolarisasi, frekuensi potensial aksi di serat aferen menurun. Sementara kanalis semisirkularis memberikan informasi mengenai perubahan rotasional gerakan kepala kepada SSP, organ otolit memberikan Universitas Sumatera Utara informasi mengenai posisi kepala relatif terhadap gravitasi dan juga mendeteksi perubahan dalam kecepatan gerakan linier (bergerak lurus tanpa memandang arah). Utrikulus dan sakulus adalah struktur seperti kantung yang terletak didalam rongga tulang yang terdapat di antara kanalis semisirkularis dan koklea. Rambutrambut pada sel-sel rambut reseptif di organ-organ ini juga menonjol ke dalam suatu lembar gelatinosa di atasnya, yang gerakannya menyebabkan perubahan posisi rambut serta menimbulkan perubahan potensial di sel rambut. Terdapat banyak kristal halus kalsium karbonat—otolit—yang terbenam dalam lapisan gelatinosa, sehingga lapisan tersebut lebih berat dan lebam (inert) daripada cairan sekitarnya.Ketika seseorang berada dalam posisi tegak, rambut-rambut di dalam utrikulus berorientasi secara vertikal dan rambut-rambut sakulus berjajar secara horizontal. Massa gelatinosa yang mengandung otolit berubah posisi dan membengkokkan rambut-rambut dalam dua cara: 1. Ketika kepala digerakkan ke semua arah selain vertikel (yaitu, selain tegak dan menunduk), rambut-rambut membengkok sesuai arah gerakan kepala karena gaya gravitasi yang mendesak bagian atas lapisan gelatinosa yang berat. Di dalam utrikulus tiap-tiap telinga, sebagian berkas sel rambut diorientasikan untuk mengalami depolarisasi dan sebagian lagi mengalami hiperpolarisasi ketika kepala berada dalam segala posisi selain tegak lurus. Dengan demikian SSP menerima pola-pola aktivitas saraf yang berlainan bergantung pada posisi kepala dalam kaitannya dengan gravitasi. 2. Rambut-rambut utrikulus juga berubah posisi akibat setiap perubahan dalam gerakan linier horizontal (misalnya bergerak lurus ke depan, ke belakang, atau ke samping). Ketika seseorang mulai berjalan ke depan, bagian atas membran otolit yang berat mula-mula tertinggal di belakang endolimfe dan sel-sel rambut karena inersianya yang lebih besar. Dengan demikian rambut-rambut menekuk ke belakang, dalam arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala yang ke depan. Ketika orang tersebut berhenti berjalan, lapisan otolit secara singkat Universitas Sumatera Utara terus bergerak ke depan ketika kepala melambat dan berhenti, membengkokkan rambut-rambut ke arah depan. Dengan demikian, selsel rambut utrikulus mendeteksi akselerasi atau deselerasi linear horizontal. Sinyal-sinyal yang berasal dari berbagai komponen aparatus vestibularis dibawa melalui saraf vestibulokoklearis ke nukleus vestibularis, suatu kelompok badan sel saraf di batang otak, dan ke serebelum. Di sini informasi vestibular diintegrasikan dengan masukan dari permukaan kulit, mata, sendi, dan otot untuk: mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan, mengontrol otot mata eksternal sehingga mata tetap terfiksasi ke titik yang sama walaupun kepala bergerak, dan mempersepsikan gerakan dan orientasi. 2.5. Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apa pun, dan sering mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri (Soetirto et al., 2007). Menurut Sherwood (2001), gangguan (kehilangan) pendengaran, atau ketulian, dapat bersifat sementara atau menetap, parsial atau total. Ketulian diklasifikasikan menjadi dua jenis—tuli konduktif (hantaran) dan tuli sensorineural (saraf)—bergantung pada bagian mekanisme pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat. Tuli konduktif terjadi apabila gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan melalui telinga luar dan tengah untuk menggetarkan cairan di telinga dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran telinga oleh kotoran telinga, ruptur gendang telinga, infeksi telinga tengah disertai penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikula karena adhesi antara stapes dan jendela oval. Pada tuli sensorineural, gelombang suara disalurkan ke telinga dalam, tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin terletak pada organ Corti, pada saraf auditorius atau jalur auditorius asendens, atau pada korteks auditorius itu sendiri. Menurut Miyoso et al. (1985) dalam Supramaniam (2011), tuli campuran adalah kombinasi dari gangguan Universitas Sumatera Utara pendengaran jenis konduktif dan sensorineural. Mula-mula gangguan ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural, dapat pula sebaliknya. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam. 2.5.1. Mekanisme Ototoksik pada Telinga Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas terhadap koklea dan vestibular. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga dalam. Akumulasi terjadi bila akumulasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh aminoglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otak daripada di dalam plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat irreversibel dan terjadi akibat destruksi progresif sel-sel epitel sensorik (Chambers, 2007 dalam Hardman, 2007). Aminoglikosida menimbulkan kehilangan pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini (Reiter et al., 2011). Saat molekul aminoglikosida memasuki sel rambut yang ada di dalam koklea dan utrikulus telinga bagian dalam melalui mekanisme mechano-electrical transducer channels, aminoglikosida akan membentuk suatu ikatan kompleks dengan ion logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe ini mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS) / Reactive Nitrogen Species yang mencakup superoxide anion radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical, peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut mengaktifkan JNK (cJun-N-terminal kinase) yang akan membuat mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Di dalam sitosol, Cyt c menginisiasi proses apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel rambut pada organ Corti (Reiter et al., 2011). Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama, kerusakan berkembang mulai dari dasar koklea, tempat suara frekuensi tinggi diproses, lalu ke apeks, tempat suara berfrekuensi rendah diproses. Aminoglikosida juga diduga mengganggu sistem transport aktif yang penting untuk mempertahankan Universitas Sumatera Utara kesetimbangan ion pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti dengan degenerasi saraf yang memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran secara irreversibel (Chambers, 2007 dalam Hardman, 2007). 2.5.2. Mekanisme Ototoksik pada Sistem Vestibular Menurut Reiter (2011), penggunaan aminoglikosida selain merusak sel rambut pada koklea yang bersifat irreversibel, juga merusak sel rambut pada sistem vestibular. Sel rambut yang terdapat pada vestibular aparatus telinga bagian tengah menjadi target utama yang dirusak oleh aminoglikosida. Vestibulotoksisitas, sama halnya dengan ototoksisitas, berhubungan dengan menumpuknya radikal bebas yang toksik di sel rambut, radikal bebas juga bukan hanya merusak sel rambut tetapi juga membuat apoptosis menjadi lebih sering. Sekali sel-sel rambut mengalami kerusakan, sel-sel tersebut tidak dapat digantikan karena kerusakan dan disfungsi sistem vestibular tersebut bersifat permanen. Pada vestibular aparatus, kerusakan disebabkan oleh aminoglikosida yang tidak terdistribusi secara merata. Pada awalnya terjadi dengan merusak sel rambut pada bagian puncak krista ampularis dan pada bagian stria makula. Kerusakan ini kemudian berlanjut merusak sel rambut tipe I dan selanjutnya sel rambut tipe II. 2.6. Pemeriksaan Telinga Pemeriksaan telinga menurut Soepardi (2007) diantaranya adalah anamnesis dan uji pendengaran. Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan lebih luas keluhan utama pasien. Keluhan utama telinga dapat berupa 1) gangguan pendengaran/pekak (tuli), 2) suara berdenging (tinitus), 3) rasa pusing berputar (vertigo), 4) rasa nyeri di dalam telinga (otalgia), dan 5) keluar cairan dari telinga (otore). Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garpu penala dan dari pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli perseptif (sensorineural). Uji penala yang dilakukan sehari-hari adalah uji pendengaran Rinne dan Weber. Uji Rinne dilakukan dengan menggetarkan garpu Universitas Sumatera Utara penala 512 Hz dengan jari atau mengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garpu penala tersebut diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa. Kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama 2-3 detik. Pasien menentukan ditempat mana yang terdengar lebih keras. Jika bunyi terdengar lebih keras pada garpu penala yang diletakkan di depan liang telinga berarti telinga yang diperiksa normal atau menderita tuli sensorineural. Keadaan ini disebut Rinne positif. Bila bunyi yang terdengar lebih keras di tulang mastoid, maka telinga yang diperiksa menderita tuli konduktif. Hal ini disebut Rinne negatif. Uji Weber dilakukan dengan meletakkan kaki penala yang telah digetarkan pada garis tengah wajah atau kepala. Ditanyakan pada telinga mana yang terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien mendengar suara ditengah atau tidak dapat membedakan telinga mana yang mendengar lebih keras. Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga yang sakit menderita tuli sensorineural. Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit (lateralisasi ke telinga yang sakit) berarti telinga yang sakit menderita tuli konduktif. Universitas Sumatera Utara