1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus akibat ketidakmampuan insulin yang menggunakan adalah suatu pankreas penyakit memproduksi cukup atau ketidakmampuan insulin yang diproduksi di kronis jumlah tubuh tubuh untuk secara efektif. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan kenaikan kadar konsentrasi glukosa di dalam tubuh (hiperglikemia). Ada dua macam tipe diabetes, tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 adalah kondisi di mana jumlah produksi insulin berkurang, sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin yang ada dengan efektif. Diabetes tipe 2 kebanyakan kelebihan berat adalah badan dan manifestasi kurangnya lanjut akibat aktivitas fisik (WHO, 2014). Retinopati diabetika adalah salah satu komplikasi mikrovaskular diabetes mellitus yang merupakan penyebab kebutaan pada orang dewasa (Fong et al., 2004). Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 2 menjadi 154,9 antaranya juta terancam pada tahun mengalami 2030 kebutaan 2012). The DiabCare Asia 2008 Study penderita sekunder DM di pada 18 Indonesia dengan (Yau 30% et di al., melibatkan 1785 pusat kesehatan primer dan dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferative (Soewondo et al., 2010). Risiko menderita retinopati diabetika (RD) akan meningkat seiring dengan lamanya seseorang menyandang diabetes. Menurut American Diabetic Association, hampir semua penyandang DM tipe 1 akan mengalami RD dengan berbagai derajat setelah 20 tahun dan 60% pada DM tipe 2 (Sitompul, 2011). Retinopati diabetika jika tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kebutaan. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang akhirnya dapat menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah utama dalam tata kelola retinopati diabetika sebagian adalah besar keterlambatan penderita pada diagnosis tahap awal karena tidak mengalami gangguan pengelihatan (Sitompul, 2011). Menurut The American Diabetes Association, terdapat beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini Retinopati Diabetika (RD). Pemeriksaan funduskopi 3 merupakan pemeriksaan diagnosis RD. baku emas Rekomendasi untuk tersebut menegakkan antara lain: Pertama, pada pasien dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang pemeriksaan menderita mata lengkap DM tipe oleh 1 harus dokter menjalani spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan. Kedua, penderita DM tipe 2 harus menjalani pemeriksaan lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata pada penderita DM tipe 1 dan 2 harus dilakukan rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan normal dan ditingkatkan apabila ada tanda retinopati progresif. Kelima, pada wanita hamil yang menderita DM harus melakukan pemeriksaan rutin sejak trisemester pertama sampai satu tahun pasca persalinan (American Diabetes Association, 2010). Tata dilakukan Kelola baik Retinopati oleh dokter Diabetika umum maupun (RD) dokter dapat mata terhadap pasien diabetes yang belum terdeteksi dengan RD ataupun pada pasien diabetes yang sudah terdiagnosis RD. Menurut American Association of Ophthalmology, pasien RD non proliferative derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Pasien RD non proliferative derajat ringan-sedang tanpa macula edema harus 4 menjalani pemeriksaan rutin tiap 6-12 bulan. Pasien RD dengan edema photocoagulation macula merupakan selanjutnya indikasi dilakukan laser evaluasi 2-4 bulan. Pasien RD non proliferative derajat berat perlu dilakukan panretinal laserphotocoagulation. Pasien RD proliferative juga diindikasikan untuk segera melakukan panretinal laser photocoagulation (Sitompul, 2011). Peranan dokter umum dalam tata kelola retinopati DM adalah mengendalikan faktor risiko yaitu kadar gula, kadar lipid, dan tekanan darah yang abnormal dengan tujuan menghambat progestivitas dan menurunkan risiko retinopati DM. Target optimal yang harus dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density lipoprotein <100 mg/dL, kadar high-density lipoprotein (LDL) >50 mg/dL, kadar trigliserida <150 mg/dL dan tekanan darah <130/80 mmHg. Selain itu juga melakukan edukasi umum mengenai DM dan komplikasi retinopati yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan penderita DM untuk melakukan pemeriksaan mata rutin. Yang terakhir adalah melakukan rujukan ke dokter spesialis mata (American Diabetes Association, 2010). Kepatuhan melakukan kontrol kesehatan mata adalah salah satu poin terpenting dalam penatalaksaan pasien DM dengan atau tanpa retinopati sehingga dapat menurunkan angka kebutaan akibat retinopati DM (Garg 5 and Davis, 2009). Kepatuhan yang rendah untuk melakukan tatalaksana beberapa pencegahan negara kebutaan berkembang. sering ditemukan Kepatuhan untuk di rutin melakukan kontrol gula darah dan tekanan darah sangat rendah di Indonesia. Sedikit yang menyadari pentingnya melakukan kontrol kesehatan pada pasien penderita DM di Indonesia (Adriono et al., 2011). Beberapa peneliti menyebutkan tidak tersedianya waktu dan tidak mampu membayar adalah salah satu alasan penyandang DM tidak memeriksakan matanya apalagi rutin setiap tahun (Moss et al., 1995). Di bahwa kawasan <50% urban Indonesia, penyandang DM Jakarta, yang pernah diketahui diinformasikan oleh dokter nya untuk melakukan pemeriksaan mata secara rutin. Alasan utama penyandang DM tidak melakukan pemeriksaan mata adalah kurangnya pengetahuan mengenai perlunya pemeriksaan tersebut. Masalah ekonomi hanya diutarakan 13,6% penderita (Adriono et al., 2011). Kondisi di pedesaan yang diidentikkan dengan tingkat ekonomi keluarga rendah menyebabkan akses ke pelayanan kesehatan kesehatan menjadi Kedung kecil. Sukodani, penduduknya dan bekerja pengetahuan akan Penderita diabetes Sidoarjo di sektor yang pentingnya sebagian pertanian dan di desa besar tingkat pendapatan penduduknya tidak terlalu tinggi, mengaku 6 jarang melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan karena minimnya dana dan hanya mengandalkan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah (Cahyanto, 2015). Sehingga, frekuensi kontrol kesehatan mata sangat berpengaruh pada dalam penderita perkembangan diabetes. Dalam retinopati diabetika penelitian ini akan dicari perbandingan frekuensi kontrol kesehatan mata pada pasien diabetes dengan atau tanpa retinopati di desa dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan harapan dapat memperkaya pengetahuan penulis tentang penatalaksanaan penderita diabetes retinopati dalam mencegah komplikasi lebih lanjut. I.2. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan frekuensi kontrol kesehatan mata pada penderita diabetes dengan atau tanpa retinopati diabetika di Kota dan Desa DIY? I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan frekuensi kontrol kesehatan mata penderita diabetes dengan atau tanpa retinopati di kota dan desa DIY. 7 I.4. Keaslian Penelitian Sudah ada beberapa penelitian dan studi mengenai kontrol kesehatan mata pada penderita diabetika retinopati, antara lain: 1) Adriono et al. (2010) dengan judul “Use of eye care services among diabetic patients in urban Indonesia” menyatakan bahwa alasan utama ketidakpatuhan pasien penyandang DM yang diinformasikan untuk memeriksakan mata secara rutin karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan dini. 2) Sitompul (2011) dengan judul “Retinopati Diabetik” menyatakan bahwa deteksi dini, pengendalian faktor risiko, dan terapi yang memadai merupakan kunci utama tata laksana retinopati DM. Dua dari tiga hal tersebut dapat dilaksanakan Peranan optimal di dokter pelayanan umum kesehatan sangat primer. diperlukan dalam tata laksana retinopati DM. 3) Craig et al. (2007) dengan judul “Diabetes care, glycemic control, and complications in children with type 1 diabetes from Asia and the Western Pacific Region”, disimpulkan bahwa pasien penderita diabetes 8 yang berasal dari area Pasifik Barat pada umumnya tidak memiliki kepatuhan dalam pengaturan kadar glukosa dan tekanan darah yang seharusnya rutin diperiksakan ke dokter. 4) Zoega et al. (2005) dengan judul “Screening compliance and visual outcome in diabetes” menyimpulkan bahwa pada ketidakpatuhan pasien untuk penderita melakukan diabetes screening dengan atau mata tanpa retinopati sangat berpengaruh terhadap outcome klinis pasien. 5) Mowatt (2013) dengan judul “Diabetic Retinopathy and its risk factors at the University Hospital in Jamaica” menyimpulkan bahwa screening diabetes meliputi deteksi dini dan rujukan, pemberian edukasi untuk mengkontrol gula darah, hipertensi, obesitas, dan dispilipiemia, serta screening dilakukan oleh mata dokter pada penderita umum dan diabetes dokter mata yang sangat berpengaruh untuk menurunkan kejadian retinopati akibat penyakit diabetes di Jamaica. 6) Wang et al., (2010) dengan judul “Use of Eye Care Services among Diabetic Patients in Urban and Rural China” menyimpulkan bahwa hanya sepertiga pasien di 9 kawasan urban pemeriksaan melakukan dan mata sedangkan pemeriksaan rekomendasi dari rural rutin China yang sisanya karena melakukan tidak tidak pernah diberikan dokter untuk melakukan pemeriksaan mata secara rutin. Sampai perbandingan saat ini, frekuensi belum ada kontrol penelitian kesehatan mengenai mata pada penderita diabetes dengan atau tanpa retinopati di kota dan desa, khususnya di Indonesia. I.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui prevalensi dan manajemen penyakit retinopati diabetika.