Dialog - Kambing UI

advertisement
Dialog
Bagian Dua: Ekologi Inovasi
Inovasi berkenaan dengan kebaruan, yang lebih
baik. Kebaruan itu merupakan nilai, dan
bermakna. Dalam Dialog Bagian Dua ini para
partisipan berbicara tentang nilai-nilai dan
makna-makna, yang terpaut dengan inovasi.
Good governance merupakan nilai,
juga
entrepreneurship,
kelestarian
lingkungan,
efisiensi produksi, kesetaraan sosial, dan
kemajuan iptek. Nilai-nilai ini saling berbeda
satu dengan yang lain.
Bagaimana cara perbedaan ini diberi makna,
dan nilai-nilai dipersandingkan, menentukan
apakah inovasi berlangsung secara harmonis,
atau diiringi konflik.
The aim of an argument or discussion should not be
victory,
but progress.
— Joseph Joubert; Filosof Perancis
Governance yang Pro-Inovasi
Dialog dengan Setiyono Djuandi Darmono (SDD)
Pelaku di Bidang Industri
Direktur Utama PT. Jababeka
Topik: • Implikasi good-governance •
Liberalisasi pasar
SDD: Kalau bagi saya, sebetulnya Pak, suasana
sekarang ini lebih baik. Komunikasi antara para
akademisi dan pelaku pemerintahan itu jauh lebih
bagus daripada di masa sebelum krisis. Saluran
komunikasi itu lebih mudah diakses. Hanya saja
masih ada hambatan mindset. Masih berbeda-beda
cara teman-teman saya merespon perubahan yang
berlangsung. Jadi, menghela 'gerbong' ini yang
sulit, baik para karyawan itu sendiri maupun para
pelanggan.
Di zaman dulu kita semua seolah-olah dituntun,
karena sistemnya berdasarkan komando dari atas.
Kan enak kalau ada komando begitu. Apa-apa
sudah jadi, tinggal diikuti. Sekarang ini, mendadak
apa-apa harus ditentukan sendiri. Jadinya, banyak
yang masih bersikap menunggu. Orang-orang di
lingkungan akademik juga banyak yang bersikap
menunggu. Ini berarti kita memerlukan sarana
pertemuan yang lebih banyak.
Sekarang para birokrat bersikap sangat terbuka.
Para akademisi juga. Saya lihat sebenarnya
kesempatan untuk berkomunikasi sekarang ini
malahan luar biasa. Hanya, bagaimana bergerak
menuju ke implementasi, itu yang lambat sekali.
Jadi, semua pihak masih berpikir besar, think big.
Jadinya statik. Harusnya kan, boleh semua berpikir
besar. Tapi dilanjutkan dengan memulai yang kecil,
start small. Dengan begini kita akan bisa bergeak.
Terlalu banyak sekarang ini yang akhirnya berhenti
pada tahap analisis.
RP: Kalau saya lihat sih kebanyakan BUMN
belum berani melangkah. Kalau terlihat ‘aneh’
sedikit bisa disalahkan. Mungkin malah ditangkap
pula nanti kita.
SDD: Good corporate government sekarang ini
tengah ramainya digembar-gemborkan. Padahal
kan, seharusnya peraturan itu kita yang buat juga.
Sekarang, kalau suatu langkah itu membawa
manfaat bagi orang banyak, seharusnya bisa
menjadi bahan pertimbangan. Nah, keberanian ini
yang lambat tumbuhnya. Biasanya kalau kita
kurang berani kan mengajak temannya, beramairamai menghadapi masalah. Nah, beramai-ramai
ini kan perlu waktu.
RP: Banyak kasus di mana waktu orang mau
melangkah, lantas merasa takut, karena banyak
orang beraksi layaknya polisi. Mungkin yang harus
ditata aturan mainnya, Pak, supaya tidak
sembarangan menyalahkan orang.
Misalnya begini. Saya pernah dipanggil oleh
seorang penyidik. Saya dibilang begini, "Ini surat
kalengnya begini, Pak Rama. Ini Pak Rama
membuat invenstment holding dan implementasi
GCG, semata-mata untuk mempermudah korupsi."
Waduh, mati saya! Jadi, dianggap kita membuat
Standard Operating Procedure atau SOP segala,
yang merupakan bagian dari implementasi GCG,
hanya untuk memudahkan dan mensahkan
korupsi. Mati tidak, Pak? Padahal GCG itu untuk
transparansi, dan ada lembaga yang membuat
penilaiannya. Misalnya seperti itu, Pak.
Dan kalau saya sudah dipanggil, Pak, seluruh
staf jadi tahu. Karena saya sudah biasa berbicara
terbuka, tetap kan saya berbagi cerita dengan para
direksi yang lain dan para staf. Mereka bertanya:
"Pak, tadi ditanya apa?" Saya ceritakan, "Begini ... ,
begitu ...". Lalu jadi bingung semua orang.
Kejadian ini membuat ketakutan yang lain-lain,
sehingga timbul keraguan untuk menjalankan
perusahaan.
KK: Paralyzed! Jadi, antara kita mengalami
kelumpuhan, paralyzed. Presiden SBY sudah
mengetahui situasi ini. Jadi, dengan tidak
terkoordinasikannya
dengan
baik
antara
kepolisian, kejaksaan, KPK, Timnas Tipikor, BPK,
dan BPKP, situasi yang berkembang adalah
kelumpuhan. Kita kehilangan daya untuk bergerak.
Kalau
di
bidang
rekayasa
sistem
itu
ada
parameter yang namanya negative response.
Sebagai ilustrasi, bayi itu waktu lahir beratnya
turun dulu, sampai bayi itu mampu tumbuh. Baru
setelah itu beratnya naik lagi. Nah, akibat
lembaga-lembaga tadi masuk dengan satu motif
yang sama, yakni anti-korupsi, kinerja semua
lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi lain
menjadi turun. Kalau di ekonomi, ini namanya Jcurve, kurva yang berbentuk seperti huruf J.
Indonesia itu sekarang sedang menurun.
Sempat mengalami paralyzed. Pertanyaannya, kita
sudah menyentuh dasar atau belum? Yang
mengkhawatirkan itu kalau kita belum hit the
bottom. Jangan-jangan justru terus tenggelam! Kita
kan maunya begitu menyentuh dasar, langsung
memantul, dan naik ke atas lagi, kan? Kawankawan di Bank Indonesia yakin kita sudah hit the
bottom.
Nah, negative response itu bisa kita buat, atau
tidak? Pemerintah melakukan intervensi lagi,
supaya nanti kurvanya naik ke atas lagi. Salah satu
langkahnya, menurut saya sih, lembaga-lembaga
itu tadi dikoordinasikan dengan baik. Kemudian
pemeriksaan di setiap lembaga seperti BUMN, atau
lembaga pemerintah, hanya lewat satu pintu yang
namanya inspektorat. Jadi, kalau ada apa-apa,
bukan pimpinan eksekutifnya yang dipanggil, tapi
inspektoratnya lebih dulu, untuk mendapatkan
klarifikasi.
Ada
beberapa
contoh
kasus
di
mana
eksekutifnya sudah dipanggil, diperiksa selama
beberapa waktu, sudah begitu ternyata tidak
ketemu
yang
dicari.
Mengapa
bukan
inspektoratnya yang dipanggil? Kan inspektoratnya
yang tahu semuanya.
SDD: Untuk menghadapi situasi seperti ini
memang dibutuhkan kesabaran yang luar biasa!
KK: Betul, Pak, ... tapi we must go beyond!
SDD: Ini kan seperti pendulum, Pak. Dulu itu
apa-apa boleh ditabrak, itu di zamannya Presiden
Soeharto. Sekarang ini apa-apa tidak boleh
disenggol. Ini ujung ekstrim yang lain. Pendulum
itu baru sampai di ujung ekstrim yang lain. Lalu,
kapan pendulum ini mencapai posisi di tengahtengah?
KK: Betul! Ada contoh menarik dari Pak Rama,
Pak. Di BUMN beliau itu kreatif. Misalnya, selama
ini bagas itu dibakar, atau dibuang. Bagas itu
ampas dari tebu, batangnya. Oleh beliau, dengan
kreativitasnya, dibuat bagas itu menjadi kanvas
rem, dan dijual ternyata laku. Disalahkan itu, Pak!
SDD: Being creative disalahkan? (Ha ... ha ...
ha.)
RP: Salah satu yang sekarang ini ramai
dibicarakan, Pak, inovasi kanvas rem dari ampas
tebu dipersoalkan. Pada tahun 2003 keuangan kita
masih defisit besar, tidak punya uang. Salah satu
program saya adalah peningkatan efisiensi dengan
menekan harga pokok. Salah satu caranya dengan
program Transfer Pricing. Sebagian harga pokok ini
dipindahkan
ke
produk
yang
lain.
Untuk
memindahkan ini kan saya butuh wadah.
Wadahnya ini barang dagangan, yang diciptakan
dari sumber yang sama dengan produk utamanya,
yaitu tebu. Selanjutnya saya menciptakan kanvas
rem itu, Pak. Untuk pembuatan kanvas rem itu
saya patungan dengan pihak ke tiga, karena pihak
ke tiga itu yang punya ilmunya, sedangkan
ampasnya saya yang punya.
Di tahun 2003 saya tidak punya uang. Makanya
saya gunakan besi-besi tua yang sudah tidak
dipakai, yang berasal dari sebuah pabrik yang
sudah tutup sejak 1982. Jadi, pada 2003 itu sudah
23 tahun pabrik itu tutup, ya. Pabriknya sendiri
sudah beroperasi sejak 1898. Bayangkan saja,
besinya sudah seperti apa! Saat itu pabrik tersebut
hanya menjadi beban, karena harus membayar
untuk para petugas Satpam, PBB dan biaya
pemeliharaan. Saya tanya pada pelaku pasar
berapa harga pasaran besi. Harganya 1000 rupiah.
Maka saya tawarkan di atas harga pasaran, 1100
rupiah. Sekarang yang dipersoalkan begini, Pak,
"Itu Pak Rama, katanya menyertakan besi.
Seandainya besi itu dijual dulu baru disertakan,
mungkin dapatnya bisa lebih dari 1100 rupiah."
Jadi, dengan berpijak pada pengandaian, saya
diduga berpotensi merugikan negara. Logika
'seandainya', Pak! (Ha... ha... ha…). Padahal, kita
waktu itu berupaya jalan dengan segala
keterbatasan yang ada. Kita tidak punya uang.
Tapi pabrik harus jalan dengan cara peningkatan
efisiensi. Itu salah, Pak.
Yang membuat saya heran, waktu diaudit pada
tahun 2003, 2004, dan 2005, tidak ada yang bilang
salah, karena pabrik tersebut sudah menjadi objek
penjarahan oleh warga di sekitarnya. Justru
Departemen Pertanian waktu itu senang sekali.
Kata mereka, "Wah, sudah bisa bikin rem, ya. Ini
yang pertama lo, Pak!" Saya bukannya minta
penghargaan. Tapi harusnya temuan ini jadi
kebanggan kita, kan.
~0~
KK: Kembali ke A-B-G. Jadi, saya ingin dengar
dari Bapak, yang bergerak di kawasan industri
yang menampung para industriawan. Apa sih yang
diharapkan para industriawan itu dari para
akademisi?
SDD: Jadi begini, Pak. Sebetulnya kalau dulu itu
kita kan punya strong government. Sekarang ini
kita seolah-olah tidak punya government. Buat
pelaku-pelaku
tertentu
situasi
seperti
ini
menguntungkan. Meminjam uang dari bank
menjadi lebih mudah, dan bunganya lebih rendah.
Untuk orang-orang yang betul-betul bagus
kerjanya, situasi seperti sekarang ini memberikan
kemudahan. Hanya sekarang, menarik 'gerbong
kereta' ini yang susah kan, Pak? Karena mereka
belum siap.
Kemudian kalau di kawasan industri, kita
berbicara mengenai pengusaha-pengusaha yang
ada di sana. Kalau itu pengusaha asing, mereka
cenderung melihat sisi kompetitifnya. Ini yang
menurun jauh dibandingkan dulu. Mengapa? Dulu
itu ada monopoli, ada proteksi. Sekarang kan
proteksi
hilang
semua.
Sehingga
secara
mendadak, pengusaha-pengusaha yang dulu
terlindungi
dengan
tarif-tarif
yang
tinggi,
mendadak sekarang harus bersaing.
Situasi makin berat ketika barang-barang dari
Cina itu makin murah harganya. Dulu pesaing
seperti ini kita bisa hadapi dengan import duty,
kan. Sekarang tidak bisa lagi. Lalu penyelundupan
ke dalam negara kita makin hebat. Jadi, banjirlah
barang-barang dari luar, tanpa ada yang bisa
mengendalikan. Dalam situasi seperti ini, sisi
kompetitif dari industri manufaktur kita jauh
menurun. Ini terjadi hampir di semua sektor, kan.
Sekarang, industri apa yang masih bisa bertahan
hidup?
Misalnya, perusahaan-perusahaan yang punya
saluran distribusi yang bagus, itu masih kompetitif.
Lalu, apa yang diharapkan perusahaan-perusahaan
seperti itu dari Pemerintah? Saya kira, yang
diharapkan adalah meningkatnya daya beli
masyarakat. Begitu juga dengan PT. Jababeka.
Kami juga terus mempertahankan sisi kompetitif,
malah jauh lebih bagus dari dulu, Pak! Dulu kami
tidak ada pendidikan. Sekarang kami sediakan
kepada pelanggan kami. Mau berapa puluh bis pun
kami bisa sediakan tenaga trampil kami. Tapi yang
menjadi masalah sekarang ini adalah daya beli.
Daya beli kita menurun. Nah, bagaimana
supaya daya beli kita bisa meningkat? Itu yang kita
harapkan
dari
Pemerintah,
bagaimana
menciptakan persepsi bahwa di negara ini layak
dilakukan investasi besar-besaran. Nah, dalam hal
ini, Presiden SBY dan Wapres JK sering ke luar
negeri untuk membangun citra bahwa Indonesia
pantas untuk investasi. Hanya pertanyaannya
sekarang, apakah persepsi bahwa di Indonesia itu
banyak korupsi, sudah hilang atau belum?
Kita baru pada tahap menghajar korupsi. Tapi di
media massa banyak diberitakan bahwa korupsi
kita makin merata. Ini mungkin bukan hanya
persepsi, mungkin juga realitas. Tapi surat kabar
itu kalau menyampaikan berita juga kurang
berpiihak. Surat kabar itu selalu menyampaikan
berita yang negatif, kan?
Sebetulnya, pandangan bahwa “bad news is a
good news” itu tidak 100% betul. Kalau itu betul,
buku-buku bagus tidak akan laku. Kita beli bukubuku yang bagus, kan. Mengapa? Karena kualitas
kan, Pak. Isinya itu membuat kita tambah pandai,
tambah kaya, tambah kuasa. Tapi kalau negative
news itu kan hanya bersifat sensasional. Lamalama juga bosan kita membacanya. Nah, ini perlu
ada keberpihakan dari para pelaku media. Dulu itu
media massa terlalu diatur oleh Pemerintah.
Sekarang
ini
seolah-olah
semua
kerjaan
Pemerintah disalahkan oleh media massa. Hal ini
juga menimbulkan masalah bagi pengusaha.
Ujung-ujungnya, masalah bagi dunia usaha itu kan
bagaimana meningkatkan kembali daya beli di
dalam negeri.
Yang bagus mungkin aktivitas riset kita
meningkat, Pak. Nah, aktivitas riset ini meningkat
mungkin karena memang impornya berkurang.
Ekspor bahan-bahan mentah kita meningkat, riset
meningkat. Tapi sebaliknya, daya beli justru
menurun, lapangan pekerjaan berkurang. Jadi,
kalau dari sudut pandang pengusaha, yang
diharapkan adalah stronger government. Namun di
sisi lain, suasana seperti sekarang ini ada baiknya
juga. Meminta izin usaha lebih mudah, suasana
berbicara lebih enak, mengkritik juga ada
salurannya.
KK: Menurut Pak Dar, mengapa kita masih
berada di 'papan atas' dalam urutan peringkat
country risk? Kita masih paling atas, lo! Di daftar
investasi, Indonesia belum masuk ke kategori
negara yang menarik untuk investasi. Kita masih di
bawah sekali, Pak, karena country risk-nya tinggi
sekali.
SDD: Ini masalah kepastian, certainty, Pak!
Seseorang yang merencanakan usaha itu maunya
bisa berhitung di awal kan, Pak. Berapa biaya yang
harus dikeluarkan. Sekarang, kepastian hukum di
sini masih dipertanyakan. Terus hal-hal perizinan,
dan yang macam itu. Meski sekarang lebih bagus,
tetap birokrasinya bergerak lambat kan, Pak.
Prosesnya tetap lambat. Ini semua adalah biaya.
Terus, yang paling utama adalah sisi kompetitif
kita banyak yang hilang. Dulu masalah ini bisa
diatasi, karena ada proteksi. Biayanya itu bisa kita
hitung. Sekarang itu tidak ada. Jadi kepastian
dipermasalahkan terus, Pak. Padahal kalau
dibandingkan zaman dulu dan sekarang, zaman
sekarang ini kepastiannya lebih baik, Pak. Hanya
saja dulu dikompensasi dengan adanya proteksi.
Sekarang tidak ada proteksi.
Jadi, sekarang ini kalkulasi biaya menjadi lebih
tidak pasti. Kalau dulu lebih pasti. Sekarang
menjadi tidak pasti. Proteksinya sudah hilang. Nah,
jadi memang segmentasi pasarnya harus berubah.
Segmen pasarnya berubah, kita harus berubah.
Nah, kalau perusahaan-perusahaan yang besar,
yang mempunyai 'otot' yang besar, mereka mulai
menanamkan modalnya di Vietnam. Ini karena di
dalam negeri sudah tidak ada ruang untuk
bergerak. Padahal pencarian sumber dana dari luar
negeri masih mudah. Mengapa? Karena kalau
investasinya di India, Eropa akan memberi dana.
Kalau investasi di Indonesia tidak diberi dana.
Bukan hanya karena faktor kepastian, tapi juga
tidak
kompetitif.
Return-nya
tidak
jelas.
Penyebabnya, sisi kompetitif kita menurun,
proteksi menghilang.
Dulu biaya buruh itu pasti. Sekarang, biaya
karyawan
itu
tinggi
sekali,
karena
uang
pesangonnya tinggi. Dulu itu pertumbuhan
ekonomik kita terus melaju, sehingga daya beli
meningkat terus. Dalam prediksi bisnis, kita bisa
rencanakan bahwa setelah satu tahun ke depan
kita bisa menaikkan volume penjualan sekian
persen. Sekarang, kita harus memprediksi
penurunan,
bukan
kenaikan.
Nah,
untuk
mengurangi penurunan yang diprediksi, kita harus
cari bahan baru. Kita jadi keratif kan, Pak?
Kerativitas itu memerlukan waktu untuk
menjadi barang. Nah, itu memerlukan holding
power. Apakah kita punya holding power untuk
menjadikan barang tertentu? Sebetulnya masalah
kita itu tidak buruk. Hanya kita perlu berubah,
karena sekarang pasarnya berubah. Untuk bisa
berubah ini memerlukan waktu.
Misalnya, dulu biasa PT. Jababeka itu berjualan
lahan industri. Sekarang kami berjualan rumah.
Kan orang-orangnya harus dilatih ulang untuk bisa
membuat rumah. Saya mulai masuk ke sektor
pendidikan. Teman-teman saya sedang menunggu.
Mereka tidak bisa langsung menjadi dosen.
Padahal, dengan belajar sebentar saja, untuk jadi
dosen pasti bisa. Gelar sarjana S1 sudah dipunyai.
Belajar sebentar saja bisa, kan. Tapi mereka
enggan.
Tapi di lain pihak, yang tumbuh kemudian
adalah
entrepreneur-entrepreneur
baru.
Itu
jumlahnya sekian kali lipat dari dulu. Terbukti
sekarang, dana yang bersirkulasi tiap tahun, lebih
dari 50% adalah ke usaha kecil-menengah (UKM).
Timbul inovasi-inovasi yang berskala kecil. Pada
jangka panjang, saya rasa ini menjadi tulang
punggung perekonomian Indonesia, yang mulai
meningkat lagi. Pengusaha kelas menengah kita
saat ini, saya rasa jauh lebih besar daripada di
periode 1990-an.
Orang-orang yang kaya tidak sekaya dulu,
sementara angka kemiskinan bertambah. Jadi,
kalau dilihat di statistiknya, saya yakin kelas
menengah kita bertambah banyak. Tapi yang kaya
ini, jumlah kekayaannya menurun. Yang miskin,
tingkat kemiskinannya meningkat, dan lebih parah
karena pengangguran dan tidak disubsidi lagi oleh
keluarga. Tapi sebaliknya, TKI-TKI yang ke luar
negeri itu jumlahnya meningkat. Itu juga menjadi
kelas menengah yang baru, yang jumlahnya besar.
Manusia-manusia Indonesia sekarang menjadi
lebih tangguh. Dulu mungkin kita sedikit manja,
Pak. Ini sekarang pasti jauh lebih tangguh. Hanya
saja, kuat tidak ini semua bertahan? Dengan
adanya berbagai persoalan yang kita hadapi, ini
semua juga membantu Indonesia untuk mampu
bertahan dalam jangka panjang. Sebetulnya situasi
seperti yang kita alami sekarang ini, walaupun
tidak enak, membantu kita untuk maju, kan?
Mengenai dialog antara akademisi dan pelaku
bisnis, itu juga sebetulnya berjalan dengan lebih
bagus. Mulai diterima bahwa yang diperlukan
industri itu sangat berbeda dari yang diajarkan di
sekolah. Dan mulai banyak kritikan ke sektor
pendidikan. Ini akan membuat sistem pendidikan
kita menjadi lebih baik. Sekarang mulai diakui
bahwa kita menghasilkan terlalu banyak geeks,
yaitu sarjana-sarjana yang mengalami kesulitan
untuk berinteraksi sosial. Fakta itu mulai diakui.
Saya kira, ketrampilan vokasional akan makin
mendapatkan perhatian. Pelan tapi pasti, akan
lebih banyak lagi. Ini karena pelaku swasta mulai
terlibat. Misalnya, perusahaan media massa sudah
mau mendirikan perguruan tinggi, dengan
rektornya seorang yang profesional di bidang
pendidikan.
Ini kan sekarang kita mulai bergeser dari
ekonomi yang direncanakan secara terpusat oleh
Pemerintah, menuju ekonomi pasar bebas.
Dengan ekonomi bebas, pendidikan menjadi
bagian dari bisnis. Berikutnya adalah rumah sakit.
KK: Sudah, kok. Kalau ada rumah sakit yang
merugi, pasti ada yang salah. Bukan karena nilai
pasar, murni karena keliru dalam manajemen.
Tenaga dokter banyak, paramedik banyak, dan
pasien banyak.
SDD: Mestinya media massa dan sebagainya itu
menyuarakan hal-hal yang optimistis, bukan
pesimistis. Sebab bangsa kita perlu bertahan. Kita
perlu
menciptakan
suasana
dialogis
yang
optimistis antara para pelaku A-B-G. Kita kan bisa
saling membantu. Kalau bertemu dengan orangorang yang sama-sama optimis, kan energi kita
bertambah. Kalau bertemu dengan orang yang
pesimis, lemas badan ini.
SY:
Untuk
bertahan
itu
tadi,
bagaimana
caranya?
SDD: Untuk bertahan itu tadi, misalnya, kalau
kita tahu barang Cina murah, kita jangan
menyerah. Karena kita sebetulnya di dunia
internasional sudah lebih dulu masuk. Distribusi di
Indonesia tetap dikuasai oleh orang Indonesia.
Contoh yang ada di sini adalah otomotif. Otomotif
itu suku cadangnya di dalam negeri ini kan
meningkat produksinya. Ini karena dari dulu kita
menerima semua mobil, sehingga semua merek
mobil kita tahu suku cadangnya. Kalau mau
bersaing membuat mobil, memang kita tidak akan
menang. Tapi dalam suku cadang kita jagoan.
Nah, akan terjadi hal yang sama kalau kita
menguasai pemasaran. Kalau menguasai pasar,
kita dapat uang. Kalau dapat uang, kita bisa
membeli paten. Jadi yang paling penting, kuasai
pasar. Masalah kita belum kompetitif, tidak usah
khawatir. Kita kuasai dulu jalur distribusinya. Cina
bisa maju dengan cara begitu. Ya, kita pergi ke
Cina, kita belajar.
Kalau perlu kita tingkatkan ekspor. Ekspor kita
masih dominan kok. Untuk daerah Timur Tengah
kita dominan, untuk tekstil. Itu sekarang kita bisa
pergi ke Cina. Saya beli Armani, dari Kashmir,
harganya 200.000 rupiah. Kalai kita membuat
sendiri, Pak, kainnya saja 100.000 rupiah semeter.
Lebih baik saya beli di sana, lalu kita ekspor ke
Saudi Arabia. Indonesia sudah terkenal di sana.
Tidak usah bikin pabrik, kan?
KK: Seperti yang dilakukan Singapura ya, Pak?
SDD: Iya, re-brand. Terus beraliansi dengan
Australia. Mereka branding-nya bagus-bagus.
Australia ini negara 'kulit putih' yang paling dekat
dengan Indonesia. Tiga jam dari sini. Orangnya
sedikit. Financing-nya bisa akses ke seluruh dunia.
Branding-nya diterima di seluruh dunia. Nah, kalau
kita memanfaatkan Australia, kalau perlu impor
benang wol dan susu dari sana. Brand-nya kita
buat di sini, lalu kita ekspor ke Cina. Ini
memerlukan optimisme.
Nalar Ekonomi vs. Nalar Teknologi
Dialog dengan Thee Kian Wie (TKW)
Pelaku di Bidang Ekonomi dan Industri
Staf Ahli di Pusat riset Ekonomi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI).
Topik: • Insentif fiskal •
Deindustrialisasi •OEM dan OBM
•Lembaga ventura
KK: Salah satu yang menarik adalah, saya melihatnya, belum ada keselarasan antara ‘nalar teknologi’ dan ‘nalar ekonomi.’ Kawan­kawan dari bidang ekonomi, walaupun mereka dari kampus, begitu berada di lingkungan birokrasi mereka seolah­olah terjebak dalam perangkap­perangkap yang ada. Misalnya, mereka menjadi cenderung pada transaksi jangka pendek, dan cenderung membebani pajak pada setiap transaksi. Padahal banyak transaksi yang kalau ditunda, mungkin justru menghasilkan nilai ekonomik yang jauh lebih tinggi. Kalau saya angkat hal yang lebih spesifik, misalnya, kalau sebuah perguruan tinggi yang dibiayai oleh Pemerintah itu bekerja sama dalam riset atau studi dengan pihak­pihak dari luar perguruan tinggi tersebut. Setiap uang yang terlibat dalam kerja sama ini harus disetorkan ke Pemerintah, sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dengan alasan, itu adalah ketentuan undang­undang. Padahal dalam undang­undang yang terkait sudah ada klausul bahwa kementerian keuangan itu bisa mengeluarkan surat keputusan menteri, dengan Lex Specialis bahwa PNBP itu bisa dipakai. Jadi situasinya menjadi lucu, Pak. Sebuah unit dalam perguruan tinggi memang sudah memperoleh dana dari Pemerintah, untuk melakukan hal­hal yang telah terdefinisi. Tapi begitu unit tersebut bekerja sama dengan pihak lain, kan sudah berada di luar definisi itu, sehingga memerlukan lagi input yang lain. Salah satunya adalah dana. Kalau input ini diserahkan ke Pemerintah, bagaimana perguruan tinggi itu bisa bekerja dengan menggunakan modal kerja? Padahal dana yang disetorkan ke Pemerintah itu tidak akan membuat Pemerintah meningkat pendapatannya. Kalau dana itu dibolehkan untuk dimanfaatkan oleh perguruan tinggi, maka mereka para akademisi akan punya kemampuan yang makin tinggi untuk berkontribusi dalam pembangunan. Dalam jangka panjang, pendidikan nasional akan menjadi lebih baik, kegiatan riset akan menjadi lebih baik, dan bahkan riset ini pun berpotensi menumbuhkan ekonomi. Hal seperti ini yang mengherankan, kok ‘nalar’­nya begitu? Mungkin salah kalau saya sebut itu 'nalar ekonomi'? Tapi itu yang saya lihat. Belum lagi kalau kita bicara tentang pajak. Sampai hari ini saya terus mengupayakan diberlakukannya insentif pajak bagi perusahaan­perusahaan swasta yang membelanjakan uang mereka untuk aktivitas riset. Oleh karena riset itu berpotensi untuk membawa manfaat bagi bangsa, perusahaan tadi itu kan sepantasnya mendapat insentif pajak. Paling tidak anggaran riset yang mereka alokasikan bisa diperhitungkan sebagai kewajiban mereka membayar pajak. Dengan demikian, dunia riset nasional akan lebih hidup dan bergairah. Perusahaan­perusahaan swasta bisa melakukan riset sendiri, atau mengajak lembaga riset pemerintah seperti LIPI, atau melibatkan perguruan­perguruan tinggi. Nah, mari kita hitung. Kalau perusahaan tadi mengalokasikan anggaran riset hanya untuk dia hasilnya, dan dilakukan oleh dia sendiri, tentu tidak 100% dari anggaran itu yang bisa diperhitungkan sebagai pembayaran pajak. Tapi kalau pelaksanaan riset diserahkan ke perguruan tinggi, kemudian hasilnya bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, maka seluruh anggaran itu bisa diperhitungkan sebagai pembayaran pajak. Nah, gagasan insentif pajak seperti ini yang sudah diberlakukan di negara­negara berindustri maju. Tapi gagasan seperti ini tidak dapat tempat dalam penalaran kawan­kawan di bidang ekonomi. Padahal mereka juga berasal dari perguruan tinggi. Bukankah mereka mengerti pentingnya skema insentif pajak bagi kegiatan riset dan inovasi? TKW: Perbedaan dasar antara para teknolog dan para ekonomi itu, yang satu menekankan kelayakan teknis dari suatu proyek pembangunan, sedangkan yang lain menekankan kelayakan ekonomik. Bagi seorang ekonom, kalau biaya proyek tersebut, seperti biaya subsidi, proteksi, dan kedudukan monopoli melebihi manfaatnya, proyek itu dianggap tidak layak dilaksanakan. Tentang insentif pajak agar perusahaan swasta mau mengalokasikan lebih banyak dana untuk riset, itu kurang efektif. Indonesia, seperti juga negara­negara berkembang lainnya, adalah pengimpor teknologi dari negara­negara maju. Oleh karena ini, upaya teknologi dari perusahaan­
perusahaan swasta, khususnya yang bergerak di sektor manufaktur, harus berfokus pada upaya untuk memahami, mengasimilasi dan menguasai teknologi yang mereka telah beli. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk menggunakan teknologi itu secara efektif dan efisien. Kemampuan atau penguasaan teknologi ini tidak bisa dicapai secara otomatis, tapi harus dengan upaya teknologi, yaitu investasi dari seluruh sumber daya perusahaan yang terfokus dan berkelanjutan. Efektivitas dari upaya tersebut pada dasarnya bergantung pada sistem insentif yang kondusif. Ini mencakup kebijakan makroekonomi yang sehat, kebijakan yang pro­persaingan, tersedianya sumber daya manusia yang terampil, akses ke investasi asing langsung, persetujuan lisensi teknis, impor mesin­mesin modern, akses ke pembeli asing melalui ekspor, akses ke sumber pendanaan, serta akses ke lembaga­lembaga riset domestik dan lembaga penunjang teknologi, khususnya penyedia jasa metrologi, standardisasi, uji coba, dan jaminan mutu (metrology, testing, standardisation, and quality assurance; MTSQ).
~0~
KK: Masih ada kasus lain yang lebih signifikan, Pak, yaitu masalah energi. Berlimpahnya sumber energi di Indonesia itu, apakah merupakan berkah atau kutukan, tergantung bagaimana kita melihatnya. Kalau kita pandai dan bijaksana dalam mengelolanya, itu menjadi berkah. Tapi yang sekarang terjadi, sepertinya lebih merupakan kutukan, kan? Kita terperangkap, atau memerangkapkan diri, dalam hitung­hitungan ekonomik jangka pendek. Setiap kali kita mau menghasilkan sumber energi baru atau terbarukan, selalu ditanya, "Dibandingkan dengan minyak bumi, itu lebih kompetitif tidak?" Jadi, ukurannya itu. Jangka pendek, dan dilawankan dengan minyak bumi! Jelas tidak ada satu sumber energi lain mana pun yang bisa mengalahkan minyak bumi dalam jangka pendek. Tapi jangan kita lupa bahwa industri minyak bumi itu sudah berumur beberapa abad, sehingga wajar kalau sudah efisien. Faktanya sekarang seperti itu, kan? Kita belum mau memperhitungkan, atau melakukan valuasi (valuation) secara seksama terhadap sumber­sumber energi yang terbarukan. Kita belum sungguh­sungguh mempertimbangkan nilai­nilai 'akrab lingkungan,' yang ditawarkan oleh sumber­sumber energi terbarukan. Kalau divaluasi dengan mengacu pada dua nilai, nilai ekonomik dan nilai lingkungan, saya percaya panas bumi (geothermal) akan bersaing dengan sumber energi fosil. Kelemahan sumber fosil dalam pencemaran lingkungan tidak terdapat pada panas bumi. Panas bumi itu terbarukan dan tidak menimbulkan polusi. Tapi tidak mau kawan­kawan dari ekonomi itu untuk melakukan valuasi. Selalu saja mengukur segala sesuatu itu dengan ukuran yang kasat mata, dan jangka pendek. Mereka lupa bahwa dengan membakar minyak bumi dan batu bara, kita mencemari udara dengan karbon, dan pelan­
pelan memanaskan bumi.
Seperti itu, Pak Thee, kasus­kasus mulai dari yang paling sederhana sampai yang lebih kompleks. Itu memperlihatkan bahwa ada yang tidak selaras antara 'nalar ekonomi' dan 'nalar teknologi.' Bagaimana menurut Pak Thee? TKW: Dalam literatur, berlimpahnya sumber daya alam (SDA) memang lebih sering dilihat sebagai suatu ‘kutukan,’ ketimbang ‘berkah.’ Misalnya minyak bumi, gas alam atau kayu keras tropis yang relatif langka ditinjau dari segi global, ini semua memberikan penghasilan rente, yaitu penghasilan yang tidak diperoleh melalui pekerjaan, melainkan karena kelangkaan SDA tersebut. Pengalaman dari banyak negara yang kaya SDA menunjukkan bahwa boom SDA seperti timber boom dan oil boom pada 1970­an, menghasilkan rente yang amat besar. Oleh pemerintah di negara­negara yang kaya SDA, pajak atas penghasilan rente tersebut sering tidak dibelanjakan untuk kesejahteraan rakyat, tapi justru dikorupsi, atau dibelanjakan untuk proyek­proyek monumental yang tidak bermanfaat bagi rakyat. Penghasilan rente dari timber boom juga tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk menjamin kelestarian hutan tropis dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi juga dikorupsi. Sebenarnya, Pak, salah seorang ekonom yang selalu berpikir jangka panjang dan memiliki visi ke depan adalah almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo, yang menjabat sebagai Menteri Negara Riset selama 1973­1978. KK: Ya, saya tahu hal itu. Beliau itu boleh dibilang 'Sang Begawan.' Tidak kita ragukanlah ketokohan beliau.
TKW: Berbicara mengenai sumber energi yang terbarukan, beliau pada tahun 1973 memprakarsai sebuah proyek riset nasional tentang Perspektif Pertumbuhan Indonesia Jangka Panjang (Proyek PJP). Tujuannya untuk melihat implikasi dari tiga determinan pokok dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang, yaitu sumber daya manusia (SDM), SDA, dan perkembangan teknologi, terhadap pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan internasional. Hal ini pada gilirannya berdampak pada lapangan kerja, pendapatan nasional dan neraca pembayaran internasional, dan akhirnya berdampak pada tingkat hidup bangsa Indonesia dalam jangka panjang, ekologi dan tata lingkungan. Pelaksanaan Proyek PJP itu diserahkan kepada saya selaku project officer dengan didampingi oleh pakar­pakar ekonomi, sosiologi dan teknologi. Dalam rangka Proyek PJP ini dilaksanakan beberapa kajian, yaitu penyusunan model makroekonomi jangka panjang periode 1975­1985 dan 1985­
2000, perbaikan angka­angka statistik pendapatan nasional, kemiskinan dan pola pembagian pendapatan di Indonesia, perkembangan internasional dan regional, dan beberapa kajian sektoral, termasuk kajian kebutuhan dan penggunaan energi dalam jangka panjang. Economic law itu sudah menjadi ciri Orde Baru, sampai sekarang. Mungkin juga karena waktu itu, tahun 1970­an, kita menikmati 'oil boom,' dan tidak pernah memikirkan untuk membangun industri. Sektor industri, bisa dikatakan, dikuasai oleh para insinyur. Ada 'pertarungan' antara teknolog dengan teknokrat. KK: Saya tidak akan menyerah! Makanya saya mengundang Bapak, untuk mencari jalan bagaimana kita keluar dari kebuntuan ini. Tentu saya yakin, saya sealiran dengan Bapak, bahwa kita tidak akan diamkan kebuntuan ini. Let's do something! TKW: Saya bukan ahli teknologi. Saya hanya menaruh perhatian terutama pada teknologi industri. Fokus riset saya pada sektor industri manufaktur. Yang seperti kita tahu, sektor ini sekarang terpuruk sekali. KK: Ya, yang menurut istilah Bung Chatib Basri, kita tengah mengalami 'de­industrialisasi’!
TKW: Kekhawatiran bahwa Indonesia mengalami ‘de­
industrialisasi,’ yang artinya kontraksi sektor industri manufaktur, kurang berdasar karena baik peran absolut maupun relatif dari sektor industri manufaktur tidak mengalami kontraksi. Tapi yang memang terjadi adalah bahwa pertumbuhan sektor industri manufaktur lamban sekali. Hanya satu digit sesudah krisis ekonomi Asia. Sedangkan sebelum krisis, laju pertumbuhan industri manufaktur selama tiga dasawarsa Orde Baru selalu dua digit. Dalam kurun 1986­1996 sektor industri manufaktur merupakan motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setelah krisis, sektor itu tumbuh hanya satu digit, sehingga tidak lagi menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Ini memprihatinkan.
Meski pertumbuhan sektor industri manufaktur kini lamban sekali, ada beberapa industri yang tetap tumbuh cukup pesat, seperti industri barang­barang logam (termasuk mesin listrik dan non­listrik). Mereka mampu mengekspor produk dalam jumlah yang cukup besar. Industri garmen dapat tetap mengekspor dalam jumlah yang cukup lumayan, bahkan setelah dihapusnya Persetujuan Multi­Serat pada awal 2005. Tapi pertumbuhan sektor industri manufaktur yang pesat hanya akan terwujud jika iklim usaha dapat diperbaiki secara berarti, sehingga bisa menarik investasi domestik dan investasi asing langsung. Untuk mencapai pertumbuhan industri manufaktur yang tinggi dan berkelanjutan, Indonesia tidak bisa terus­menerus mengandalkan sumber keunggulan komparatif yang tradisional, seperti tenga kerja yang murah, namun tidak berketrampilan, dan sumber daya alam. Industri manufaktur Indonesia harus mengembangkan sumber keunggulan komparatif yang lebih berkelanjutan (sustainable), yaitu kemampuan teknologi industri (industrial technological capability; ITC) dalam arti yang luas, termasuk kemampuan manajerial dan organisasional. Ini memerlukan sistem insentif yang tepat, yang dapat merangsang perusahaan­perusahaan manufaktur untuk melakukan investasi dalam pengembangan kemampuan teknologi mereka. Di samping ini juga diperlukan investasi besar­besaran dalam peningkatan kemampuan para pelaku usaha (supply­side capabilities) melalui perluasan dan perbaikan sistem pendidikan pada semua tingkat, khususnya dalam sekolah menengah teknik, politeknik dan fakultas teknik dan ilmu alam. KK: Tapi sistem insentif itu kan sebuah means, Pak? Masih ada sesuatu yang juga penting, satu strata di atasnya, yaitu kebijakannya sendiri. TKW: Sistem insentif yang kondusif bagi pelaku usaha meliputi kebijakan yang menjamin stabilitas makroekonomi, yang dicirikan oleh laju inflasi yang rendah, dan kebijakan pro­
persaingan. Kebijakan makroekonomi yang sehat berfokus pada pengendalian tekanan inflasi. Ini sangat penting bagi pelaku usaha, karena kalau inflasi tinggi, di atas 10 persen setahun, kalkulasi tentang keuntungan usaha menjadi sulit dilakukan. Kebijakan pro­persaingan terdiri atas kebijakan niaga (trade regime) yang tidak proteksionis, dan kebijakan persaingan domestik yang memberikan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha. Kebijakan pro­persaingan yang sehat akan mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi mereka, sehingga mampu menghadapi persaingan dari barang impor, maupun persaingan dengan pelaku domestik.
Selama dasawarsa terakhir Orde Baru, Presiden Soeharto mendukung pengurangan proteksi terhadap barang­barang impor, seperti tercermin pada Deklarasi APEC di Bogor pada akhir 1994. Namun selama masa itu juga, persaingan domestik yang sehat justru menghadapi banyak rintangan dari dalam negeri, seperti munculnya Proyek Mobil Nasional, dominasi kartel, dan dominasi BUMN yang tidak efisien. Dalam lingkungan bisnis yang tidak kondusif ini pelaku usaha yang bonafide tidak berpeluang untuk beroperasi. Lingkungan seperti ini hanya memberi peluang bagi para pemburu rente.
Menurut hemat saya, para teknokrat ekonomi selama Orde Baru terlampau berfokus pada pengamanan stabilitas makroekonomi saja. Mungkin karena terancam oleh pihak­pihak tertentu. Mereka kurang memperhatikan masalah peningkatan ‘supply­side capabilities,’ terutama sektor pendidikan, yang penting untuk membangun daya saing sektor industr manufaktur. Di sisi lain, para teknolog di bawah pimpinan Pak Habibie lebih menekankan peningkatan dalam ‘supply­side capabilities.’ Sebagai seorang non­ekonom, Pak Habibie kurang memperhatikan pentingnya sistem insentif yang tepat, karena fokus beliau adalah pengembangan ‘industri­industri strategis’ saja.
Karena Indonesia merupakan pengimpor teknologi dari negara­negara berindustri maju, akses ke teknologi asing sangat penting bagi para pelaku usaha Indonesia. Ada beberapa saluran yang penting untuk alih atau impor teknologi asing. Pertama, investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI). Ke dua, persetujuan lisensi teknis atau technical licensing agreements. Ke tiga, impor mesin­mesin modern yang disertai pelatihan oleh ahli­ahli teknis dari pemasok mesin itu dalam pengoperasian, pemeliharaan dan perbaikan teknis. Ke empat, informasi dari pembeli asing barang­barang ekspor Indonesia, terutama melalui Original Equipment Manufacturing (OEM). Dalam OEM, si pembeli menetapkan desain, spesifikasi produk, spesifikasi bahan­bahan yang harus digunakan, dan sebagainya. Dalam OEM barang yang dihasilkan dijual dengan brand name si pembeli. Cara OEM ini dilakukan oleh keempat negara industri baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura. KK: Dalam OEM itu kan, perusahaan­perusahaan asing dan perusahaan­perusahaan domestik saling melakukan outsorcing. Katakanlah, Taiwan, sebagai pelaku OEM. Bagi perusahaan­
perusahaan dari luar, perusahaan Taiwan merupakan outsource mereka dalam manufacturing. Tapi dari sisi Taiwan sendiri, perusahaan­perusahaan asing itu merupakan outsource dalam brand. Perusahaan­perusahaan Taiwan kan tidak punya brand, Pak. Selama perusahaan­perusahaan asing mau pesan produk dalam kuantitas tertentu, brand­nya terserah mereka. Hebat sekali Taiwan! TKW: Lonjakan ekspor industri garmen kita sejak 1986, termasuk industri garmen di Bali, juga terjadi melalui OEM. Tapi sayang sekali belum berhasil meningkat menjadi ODM (original design manufacturing), seperti yang sudah dicapai industri­industri elektronika Korea Selatan dan Taiwan, yang telah menyusun sendiri disain produk mereka. Apalagi mencapai tahap Original Brand Manufacturing (OBM), yang sudah dicapai perusahaan­perusahaan Korea Selatan dan Taiwan. Bahkan ada perusahaan Korea Selatan yang sudah berhasil menjalin aliansi strategis (strategic alliance) dengan perusahaan Amerika Serikat sebagai mitra bisnis yang setara. Sayang sekali industri­industri Indonesia pada umumnya masih jauh dari tahap perkembangan ini, terutama karena kemampuan teknologi mereka masih rendah.
KK: Kita sudah mulai dengan OBM, Pak. Contohnya saja, produk­produk garmen Cina didatangkan oleh Indonesia, dilakukan re­brand, lalu di ekspor, kan? Melalui, entah namanya Faktory Outlet­nya Bandung, atau Mangga Dua di Jakarta, itu kan bukan produk kita, Pak. Menurut saya, mayoritas itu produk dari Cina. Datang kapal kontainer ke sini, membawa produk tanpa brand. Kalau perlu, sudah ada brand­
nya pun dibuang, lalu diberi brand Indonesia. Ini karena untuk produk tekstil, citra Indonesia di pasar internasional lebih bagus. Apalagi kalau pasar seperti Malaysia dan negara­negara Timur Tengah, citra Indonesia itu lebih bagus. Karena itu kita bisa melakukan OBM. TKW: Kalau di sektor garmen, beberapa tahun yang lalu saya melakukan riset. Hal yang sama terjadi di Bali. Itu pembeli asing, turis Australia, yang melihat produk Bali sangat indah, lalu mereka mau tinggal lebih lama. Dan mereka membuat dengan brand dari mereka. Namun ada kelemahannya. Mereka sampai sekarang masih tergantung pada pembeli asing. Jadi, waktu peristiwa ‘bom Bali’ itu, saya lihat ekspor garmen Bali menurun. Contoh perusahan Indonesia yang sudah meningkat pada OBM adalah perusahaan Animale yang berkedudukan di Bali, dan mempunyai gerainya di Jl. Kemang Raya. Itu dijalankan oleh pengusaha wanita Indonesia, wanita Bali yang menikah dengan orang Perancis. Waktu saya kunjungi ke sana, sedang ada proses peradilan, karena ada pengusaha Amerika Serikat yang menjiplak produk mereka. ~0~
KK: Kalau boleh saya bicara sedikit ke hulu, tentang lembaga modal ventura, Pak. Ventura itu yang saya mengerti kan dalam dalam hal kapital, atau dukungan teknologi, atau dukungan manajemen. Nah, mengapa di Indonesia belum pernah ada lembaga modal ventura, Pak? Maksudnya, ventura yang sejati! Kalaupun ada ventura, itu semu. Tidak pernah ada satu pun di Indonesia ventura yang sejati. Ada lembaga finansial yang mengaku lembaga ventura, tapi dia lebih berperan sebagai banker. Bahkan lebih dari sebuah bank. Contohnya begini, Pak. Ketika dia bilang mau memberi ventura, dia bertanya, "Apa kolateral yang Anda punya?" Begitu dia mempertanyakan kolateral, artinya dia berperan sebagai banker. Kalau penyedia ventura itu seharusnya berkata, "OK, Anda mulai menjalankan perusahaan baru. Bantuan apa yang Anda butuhkan?" Lembaga ventura itu kan mestinya berperan seperti itu. Mereka berperan dalam memberikan dukungan. Dalam bentuk apa? Kapital, teknologi, atau manajemen? Tujuan dari tiga­tiganya ini kan sama, yaitu mengurangi bunga pinjaman, sehingga perusahaan­perusahaan baru itu bisa tumbuh. Kan begitu?! Nah, bagaimana Bapak melihat ini, mengapa di Indonesia ini orang begitu enggan membuat ventura? TKW: Memang perkembangan lembaga­lembaga modal ventura di Indonesia belum sebagaimana mestinya. Mungkin karena masih ada salah persepsi mengenai modal ventura itu sendiri. Pemberian modal ventura pada usaha tertentu kan berupa partisipasi saham (equity) dalam usaha tersebut, dan bukan pinjaman yang memerlukan agunan. KK: Itu kan bertolak dari gagasan yang Bapak maksudkan tadi ... . Jadi, seperti yang saya bilang tadi, dua nalar itu, nalar ekonomi dan nalar teknologi, belum bisa bertemu dan bersandingan. Yang satu berpikir bagaimana mendapatkan profit secepatnya, dalam waktu yang sesingkat­singkatnya. TKW: Orientasi pada laba dalam waktu sesingkat mungkin memang mencerminkan orientasi pada ‘quick­yielding projects,’ yaitu proyek yang menghasilkan laba sebesar­besarnya dalam waktu sesingkat mungkin tanpa perlu menanggung resiko besar. Saya kira hal ini erat berkaitan dengan iklim usaha kita yang buruk, yang belum memberikan kepastian hukum, termasuk penegakan hukum yang benar. Akibatnya, para pengusaha swasta domestik dan asing yang bonafide belum berani melakukan investasi berjangka panjang di Indonesia. Ini tercermin pada laju pertumbuhan investasi Indonesia yang sejak krisis ekonomi Asia hanya satu digit. Ini berbeda dengan laju pertumbuhan dua digit selama Orde Baru, meski pada akhir Orde baru iklim usaha makin memburuk, karena hanya memberikan peluang pada para pemburu rente, bukan pada wiraswasta sejati.
KK: Iya! Kalau kita lihat Pak Habibie, misalnya. Sekiranya Pak Habibie sukses, akan lain arah perkembangan negara kita ini. Beliau membangun industri pesawat terbang. Dalam piramida industri pesawat terbang, yang dibangun Pak Habibie itu bagian puncak dari piramida tersebut. Tapi kan bawahnya juga perlu dibangun, Pak? Kalau kita lihat Boeing, ada industri­
industri kecil yang tumbuh di sekitarnya. Industri­industri kecil ini memasok komponen­komponen ke Boeing. Artinya, bangunan piramida industri itu terisi di seluruh bagiannya. TKW: Bapak benar sekali, bahwa perkembangan industri­
industri pendukung yang esensial kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Termasuk juga industri­industri pendukung bagi perusahaan perakit pesawat terbang, industri perakitan otomotif dan industri elektronika konsumser. Sewaktu Pak Ir. Soehoed menjadi Menteri Perindustrian pada 1978, beliau sudah menyadari bahwa perkembangan industri manufaktur lebih bersifat perluasan industri yang dangkal, dan kurang menekankan pendalaman struktur industri (industrial deepening). Tapi upaya untuk mendorong perkembangan industri­industri pendukung dan industri barang modal lainnya, seperti melalui ‘program penanggalan wajib (mandatory deletion programs), kurang berhasil. Tidak terbangun industri­industri pendukung domestik yang ‘economically viable,’ yaitu yang bisa mengalami pertumbuhan berkelanjutan tanpa proteksi, atau subsidi pemerintah. Ini dikarenakan adanya paksaan dalam konteks industrialisasi berpola substitusi impor. Akibat dari ini adalah bahwa industri­industri pendukung tidak bisa menikmati skala ekonomi yang efisien dalam konteks pasar domestik yang kecil. Selain ini, terjadi fragmentasi karena banyaknya perusahaan perakit mobil yang menghasilkan berbagai merek dan model mobil. Perusahaan perakit mobil tidak bisa menikmati keuntungan dari skala ekonomi yang besar. Meski demikian, industri auto parts Indonesia akhir­akhir ini bisa berkembang karena perkembangan industri perakit mobil yang pesat. Malahan industri auto parts Indonesia tingkat pertama (first­tier auto parts firms), yang kebanyakan merupakan usaha patungan dengan industri­industri auto parts Jepang, bisa mengekspor produk­produk mereka melalui jaringan dagang dengan prinsipal mereka di Jepang. KK: Tapi tumbuh, Pak, di satu sisi. Gagalnya Astra dengan gagalnya PTDI berbeda. Astra memang efek trickling down­nya tidak terjadi. Mengapa? Karena trickling down­nya hanya di antara sesama mereka. Tapi auto parts companies di Indonesia tumbuh subur lo, Pak. Kita ini ada yang sudah bisa membuat ruang bakar, dan segala macam komponen. Sehingga, kalau nanti kita mau membuat industri mobil, itu kalau mau, tidak harus, tumbuhkan saja kompetensi yang sudah ada. Itu yang saya maksud tadi, tumbuhnya industri­industri kecil. Kita lihat di Jababeka. Di kawasan Bekasi saja sudah mulai tumbuh pabrik­pabrik yang dengan bangga mengatakan, "Saya menghasilkan produk ini untuk memasok perusahaan otomotif terkemuka." Masih pemasok komponen, Pak. Belum produk otomotif keseluruhannya. Sedangkan Pak Habibie belum berhasil menumbuhkan trickling down seperti ini. TKW: Kalau kita lihat, negara seperti Thailand, misalnya, sangat memperhatikan pengembangan industri pendukung. Mereka membangun pusat riset industrial untuk perusahaan otomotif terkemuka Jepang. KK: Suksesnya Thailand menjadi pusat riset industrial dikarenakan adanya intervensi pemerintah. Pemerintah memberikan insentif yang sangat baik pada perusahaan otomotif Jepang itu, untuk masuk ke Thailand. Ini juga yang sedang dilakukan Singapura. Pimpinan eksekutif perusahaan asing diundang ke Singapura. Mereka janjikan segala yang dibutuhkan perusahaan itu di Singapura, dengan satu syarat: pusat riset perusahaan itu dipindahkan ke Singapura. Intervensi pemerintah seperti ini efektif dalam memacu alih teknologi. TKW: Kalau iklim perusahaan kita lebih baik, tentu mereka akan pilih Indonesia, karena pangsa pasarnya lebih besar. Yang saya jadi frustasi itu, saya lihat dalam pengalaman kita banyak peluang yang kita lewatkan. Sekarang Thailand, Malysia, apalagi Taiwan dan Korea Selatan, sudah maju dalam bidang high­tech. Waktu de­regulasi di tahun 1986, kita mengalami lonjakan ekspor. Tapi kemudian mulai normal pada 1993. Dan waktu itu terjadi debat yang sengit antara futurolog dan teknokrat. Deperindag kemudian meminta konsultasi dari HIB. Juga Bappenas meminta saran dari Sanjay Lall, yang belum lama ini meninggal. Kedua laporan ini diserahkan pada waktu yang sama, tahun 1995. Kedua laporan itu sama­sama memberi rekomendasi untuk memperkuat industri padat karya. Selain itu, local content juga perlu diperkuat. Bukan loncatan jauh yang disarankan. Tapi lambat laun akan berkembang menjadi industri yang lebih padat ketrampilan, dan teknologi. Perkembangan ini disesuaikan dengan perluasan sumber­sumber daya kita, terutama manusia yang trampil. Setelah paket­paket de­reguasi yang diluncurkan Pemerintah Indonesia sejak pertengahan 1980­an, setelah berakhirnya boom minyak bumi pada 1982, iklim usaha bagi sektor swasta (domestik dan asing) mengalami perbaikan yang berarti. Di samping ini, pembaruan kebijakan perdagangan yang diluncurkan Pemerintah Indonesia sejak pertengahan 1980­an berhasil mengurangi ’bias anti­ekspor,’ yang melekat pada kebijakan niaga sebelumnya. Kebijakan de­regulasi dan pembaruan kebijakan perdagangan ini berhasil mendorong lonjakan dalam investasi domestik dan asing yang berorientasi ekspor, sehingga sejak 1987 Indonesia mencapai kinerja ekspor yang mirip dengan negara­negara industri baru Asia Timur.
Sewaktu pertumbuhan ekspor hasil industri manufaktur melamban sejak 1993, timbul kekhawatiran di antara pejabat tinggi kita bahwa ini akan berdampak buruk bagi kinerja ekonomi Indonesia. Oleh karena ini, Departemen Industri dan Perdagangan meminta saran pada Harvard Intitute for International Development (HIID). Ekspor ini penting karena sektor industri manufaktur, sejak berakhirnya boom minyak bumi pada 1982, telah tampil sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia. Perkembangan sektor ini sangat bergantung pada pertumbuhan ekspor yang berkelanjutan.
Di samping ini Bappenas juga meminta bantuan konsultasi dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank; ADB) . ADB kemudian meminta almarhum Profesor Sanjaya Lall dari Universitas Oxford, Inggis, dan rekannya Kishore Rao, untuk menyusun langkah­langkah bagi Indonesia untuk menjamin pertumbuhan ekspor industri manufaktur yang berkelanjutan. Rekomendasi yang diberikan oleh Sanjaya Lall dan Kishore Rao adalah: (i) memperkuat industri­industri ekspor tradisional yang padat karya (industri tekstil, garmen, alas kaki) dengan memperbaiki kemampuan teknologi dan desain; (ii) mendorong perkembangan industri­industri pendukung yang efisien dan berdaya saing tinggi sehingga kandungan lokal barang rakitan bisa ditingkatkan, atau dengan kata lain, agar nilai tambah domestik dapat ditingkatkan secara efisien; (iii) secara beretahap mengembangkan industri yang lebih padat ketrampilan tinggi dan padat teknologi, seiring dengan perluasan dan perbaikan sumber daya Indonesia, khususnya sumber daya manusia. Meskipun rekomendasi ini disusun lebih dari 12 tahun yang lalu, masih tetap relevan bagi Indonesia masa kini. Pertambangan: Potensi yang
Terpendam
Dialog dengan Noke Kiroyan (NK)
Pelaku di Bidang Pertambangan dan Lingkungan
Mantan Presiden Direktur PT. Rio Tinto
Topik: • Kotak-kotak sektoral
•Tanggung jawab individual •Potensi
sektor pertambangan
KK: Kami percaya bahwa di negara-negara
berindustri
maju,
keselarasan
antara
academicians,
businessmen/women
dan
government agencies (A-B-G) menjadi katalisator
inovasi. Sekarang kita mau lihat bagaimana situasi
di Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Khususnya dalam sektor pertambangan dan
lingkungan, bagaimana Pak Noke memahami
situasi ini? Kami tahu Bapak sudah berkeliling ke
mancanegara, dan melihat perbedaannya dengan
situasi di Indonesia. What can we do about it ?
NK:
Saya
kira
kalau
di
negara
kita,
'pengkotakan' itu luar biasa. Masing-masing
kelompok
hidup
dalam
kotak-kotak
yang
sepertinya tidak bisa dibuka. Para birokrat hidup
dalam kotaknya sendiri, sembari tidak mau tahu
apa yang terjadi di luar kotak itu. Dan dalam
kelompok birokrat itu sendiri terpecah lagi
berdasarkan sektornya. Itu yang saya bilang
sebagai ‘arogansi sektoral.’
Kalau ada kotak birokrat, ada juga kotak
pebisnis dan kotak akademisi, walaupun yang
terakhir ini dindingnya sudah mulai mencair.
Pengkotakan seperti ini terkait dengan mobilitas
yang masih terbatas. Kalau di negara-negara maju,
antara birokrat, pebisnis dan akademisi bisa saling
bertukar peran. Tapi di negara kita mobilitas
seperti itu terkadang dipersoalkan, lantaran
dipandang tidak sesuai dengan prinsip kesetiaan
pada kelompok sendiri. Padahal, selain melihat
kepentingan kelompok, kita juga harus bisa
melihat kepentingan nasional.
KK: Kalau Pak Noke melihat adanya gejala
pengkotakan, masih ada yang lebih parah lagi.
Ketika bergerak pun, ketiga kelompok itu satu
sama lain hampir sempurna membentuk sudut 120
derajat. Mereka saling menjauhi satu sama lain.
Berarti di samping masalah membongkar kotak,
masih ada hal yang lain lagi. Bagaimana situasinya
menurut pandangan Pak Noke?
NK: Di sektor-sektor pemerintahan juga tidak
jauh berbeda situasinya. Antara Kementerian
Lingkungan Hidup dan Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral boleh dikatakan tidak saling
berbicara. Belum lagi dengan Departemen
Kehutanan. Masing-masing melihat sektornya
sendiri, tanpa melihat titik singgung antara sektorsektor: kalau bangsa kita mau maju mesti ke mana
arah yang harus dituju bersam. Saya kira
fenomena ini sudah berlangsung dari dulu. Tapi
paling tidak di zamannya Presiden Soeharto, masih
bisa
digerakkan.
Memang
tidak
secara
institusional, melainkan oleh Presiden Soeharto
pribadi. Begitu presidennya diganti, inilah yang
terjadi. Apakah kita perlu ‘Presiden Soeharto yang
baru,’ saya kira tidak. Saya kira insitusi inilah yang
harus dibangun dan digerakkan. Hanya dengan
cara ini kita bisa menjadi negara yang modern.
~0~
Belakangan ini saya banyak membaca literatur
tentang India. Di India dulu pengkotakannya juga
luar biasa, sekarang sudah mulai mencair. Dan kita
lihat kini hasilnya. India adalah penggerak ekonomi
di Asia, setelah Cina! Saya yakin dalam waktu
dekat India akan menyusul Cina, karena India
punya dinamika yang dari dulu sudah ada. Cina
tidak punya. Bangsa Cina sangat disiplin, tapi
digerakkan oleh kekuatan dari puncak pimpinan.
India tidak. Mereka punya dinamika yang tumbuh
dari bawah.
KK: Ambil kasus India, Pak. Apa sih faktorfaktor yang membuat mereka bisa membongkar
kotak itu tadi?
NK: Saya lihat mungkin adanya kejenuhan, dan
orang mulai bertanya, “Kok kita begini terus, ya?”
Kejenuhan seperti itu mulai ada di kita, dan
mudah-mudahan makin jenuh, sehingga kita bisa
bilang,”Now let’s do something!”
Selama puluhan tahun pengkotakan itu juga
terjadi di India. Baru mungkin 10-15 tahun
belakangan ini mulai lepas. Dengan lepasnya
mereka dari pengkotakan, akan kita lihat bhwa
kekuatan internal yang ada di India akan
mengalahkan Cina.
KK: Lepasnya pengkotakan itu simultan ketigatiganya, atau salah satu pihak mengambil inisiatif
terlebih dahulu?
NK: Saya melihat bangsa India itu tingkat
intelektualnya tinggi. Bukannya saya melebihlebihkan. Tidak ada satu pun universitas di AS yang
tidak memiliki tenaga pengajar orang India. Coba
lihat semua perguruan tinggi di AS. Selalu ada
nama–nama India. Kita ke Wall Street, nama India
juga ada. Kekuatan intelektual mereka didukung
oleh bahasa Inggris yang memang boleh dikatakan
bahasa kedua India setelah Bahasa Ibu mereka.
Beberapa hari yang lalu saya sempat berdebat
dengan seseorang dari sebuah perusahaan asing.
Kami
menyelenggarakan
seminar
mengenai
corporate social responsibility (CSR), dalam bahasa
Inggris. Kami berdebat tentang peran bahasa
Inggris, yang dianggap tidak ada hubungannya
dengan nasionalisme. Tapi saya tetap merasa
sebagai orang Indonesia, walau saya memakai
bahasa Inggris. Justru saya merasa sebagai orang
Indonesia yang lebih baik, karena saya bisa
melawan orang yang berbahasa Inggris dengan
menggunakan bahasa Inggris yang tidak kalah
bagusnya.
Bahasa itu menjadi kekuatan bangsa India.
Lihat saja sendiri bagaimana India sekarang. Dan
tidak ada orang yang bilang bahwa bangsa India
tidak
nasionalis.
Mereka
sangat
kuat
nasionalismenya.
KK: Kalau dulu banyak orang India
dianggap sebagai brain-drain.
yang
NK: Kita lihat pimpinan Boston Consulting
Group di India. Dia lama di sana, lalu bekerja di AS
selama sepuluh tahun, dan kembali lagi ke India.
Boston mengangkat dia sebagai chairman.
Sama dengan Cina, yang mengirimkan ribuan
orang ke luar negeri untuk belajar. Seperti
Malaysia juga. Dan mereka kembali. Jadi, dengan
begitu banyak orang India di luar negaranya
sendiri, itu merupakan suatu kekuatan yang luar
biasa bagi India. Dan hal ini membuat mereka lebih
mampu mencapai kaliber internasional. Riset
mereka sudah ada dari segala bidang. Di bidang
ekonomi, fisika, orang-orang India cukup mampu.
Saya kira daripada melihat ke Cina, lebih baik kita
melihat ke India kalau kita mau mencari suatu
contoh kemajuan.
KK: Kelihatannya India memang akan menyusul
Cina, ya?
NK: Dengan pertumbuhan ekonomik 8 persen
setahun, saya yakin business sense mereka lebih
kuat.
KK: Berapa banyak budaya berperan di situ,
Pak? Kita lihat Cina dan India punya kultur yang
unik.
NK: Saya kira kultur mereka mendukung.
Karena ada kebanggaan atas kulturnya itu, kan?
Kalau orang Cina bangga dengan kultur mereka,
orang India bangga juga dengan kultur mereka.
Dan ini tidak menahan gerakan-gerakan mereka.
Dengan budaya yang sudah ribuan tahun
umurnya, itu memberi kebanggaan tersendiri.
Kalau Cina relatif lebih lama, karenanya merasa
dirinya superior.
KK: Saya lihat di India itu ada sesuatu yang
kalau kita bandingkan dengan Cina, berbeda
mencolok. Tapi dua-duanya berperan dalam
memajukan bangsanya. Orang India saya lihat
memiliki kebanggaan yang luar biasa sebagai
individu India. Sementara Cina kan tidak punya
kebanggaan sebagai individu Cina. Sebagai
individu, orang-orang Cina terkesan bersikap
inferior. Mereka baru akan bersikap berani kalau
tampil sebagai kelompok. Tapi kedua bentuk
kebanggaan ini akhirnya membuat mereka
menjadi hebat?
NK: Saya lihat orang India itu individualismenya
kuat, tapi perasaan berkelompoknya juga ada.
Kalau Cina, individualismenya kurang. Perasaan
berkelompoknya yang lebih kuat, sama seperti
Jepang. Jadi, mungkin orang-orang Asia Timur lebih
banyak berorientasi pada kelompok.
KK: India seperti itu, ya. Kalau dibandingkan
dengan kita, speak out mereka itu luar biasa, ya.
Itu merupakan cerminan budaya mereka, ataukah
sistem pendidikannya yang menyebabkan mereka
begitu? Speak out mereka itu kan luar biasa!
NK: Memang budaya mereka, saya rasa. Orang
Indonesia kan kalah dalam hal speak out. Pernah
Anda melihat orang India berdebat?
KK: Oh, luar biasa! Tidak ada ujungnya, Pak.
NK: Saya pertama kali itu mengalami di tahun
1972, saat saya masih menjabat manajer
keuangan di sebuah perusahaan Jerman. Saya
mengikuti sebuah rapat di India. Saya lihat orangorang India lancar berbahasa Inggris semua, walau
logatnya unik. Tapi itulah hebatnya mereka saat
berdebat. Saat ada satu orang bicara, langsung
didebat oleh yang lain.
KK:
Dan
tidak
aneh
mereka
sering
mengatakan, “OK I go, down to your level, so we
can talk. ”
NK: Tapi, mengapa tidak? Bangsa kita mungkin
lebih pemalu, shy. Kita mungkin harus lebih tegas
dalam menyatakan pendapat.
KK: Tapi, shy di kita itu saya masih ragukan.
Kalau seorang Indonesia itu pendiam, itu sebab
atau akibat, saya masih ragu lo, Pak. Saya
cenderung melihat sikap pendiam itu sebagai
akibat. Ini karena masyarakat kita kalau
‘menghukum,’ kejam sekali. Coba saja, kalau ada
seorang anak bertanya, bukan saja di keluarga, di
kelas
juga
situasinya
seperti
itu.
Kalau
pertanyaannya konyol, orang tuanya akan berkata,
“Kok, yang begini saja kamu tanyakan sih?”. Di
kelas bahkan dipermalukan juga, kan?
NK: Itu contoh yang paling baik. Ada seorang
anak yang mengalami kesulitan di sekolah. Kita
mengajarkan dia untuk speak out, agar kalau tidak
setuju, katakan saja tidak setuju. Nah, ketika
gurunya mengajar dan dia mendebat, dia dimarahi
habis-habisan.
KK: Nah, ini yang saya bilang akibat, kan? Di
sisi lain, ada kasus di mana saya sendiri
‘menghukum’ diri saya sendiri. Misalnya, ini terjadi
kalau saya berpikiran, “Kalau saya tanya nih, nanti
pertanyaan ini dianggap hebat atau tidak, ya?”
Ada perasaan ingin hebat. Padahal kalau ingin
tanya, ya, tanya aja. Itulah budaya Indonesia. Saya
tidak bermaksud memisah-misahkan, apakah ini
sebab atau akibat. Tapi ini harus dibenahi, kan?
NK: Itu mungkin saling memperkuat terus.
Sebab dan akibat makin lama makin saling
memperkuat.
KK: Guru sendiri juga akan mengalami
kesulitan kalau ketika dia mengajar, muridnya
diam semua. Itu pertanda dua situasi ekstrim yang
mungkin: semua murid mengerti atau semua
murid tidak mengerti.
Itu yang harus dibenahi. Kotak-kotak harus
dibenahi, individu-individu di dalam masing-masing
kotak mesti dibenahi juga.
NK:
Berarti
kita
harus
membangkitkan
individualisme. Ini sebuah tema yang ingin saya
tekankan. Kita tidak mengenal individualisme. Ini
dimatikan, karena kita tenggelam dalam gotongroyong. Artinya, tidak ada tanggung jawab
individual. Jadi, kalau ada kesalahan seseorang,
selalu diangap sebagai tanggung jawab bersama.
Saya rasa hal ini ikut menimbulkan dampak
negatif. Kita tidak dilatih untuk bersikap, “Saya
harus bertanggung jawab atas apa yang saya
lakukan.” Ini bukan berarti bahwa kita perlu
meninggalkan kehidupan berkelompok. Tapi harus
ada individualisme dalam kehidupan berkelompok.
Saya paling tidak setuju kalau setiap ada
kesalahan, dianggap sebagai kesalahan bersama.
Kalau ada yang salah, memang tidak lantas diberi
hukuman
berat.
Hanya
kita
minta
saja
pertanggungjawabannya. Jangan kelompok yang
menanggung kesalahan individu. Itu tidak benar.
Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar dengan
bersikap begitu.
~0~
KK: Kita kembali ke isu pertambangan dan
lingkungan, Pak. Kalau kita bawa isu-isu global ke
dalam sektor pertambangan, apa masalah yang
harus dijawab? Apakah dari risetnya, atau
regulasinya?
NK: Yang paling menonjol, menurut saya,
adalah bahwa kalangan birokrat menganggap kita
seperti hidup dalam ruang hampa, tidak melihat
adanya kompetisi dengan dunia luar. Jadi, seolaholah kita melihat diri kita hidup sendirian saja.
Padahal, mau atau tidak mau, kita harus
berinteraksi dengan dunia luar. Itu yang paling
menonjol, kalau kita bicara soal pertambangan.
Akibat kurang melihat dunia luar, ya, kebijakan
menjadi tidak jelas. Padahal banyak negara lain
yang mengacu pada Indonesia, puluhan tahun
yang lalu, dan menjadikannya landasan untuk lebih
maju. Saya rasa kita harus melihat bagaimana
situasinya di luar, siapa saja pesaing-pesaing kita
di luar sana.
Jangan selalu melihat ke dalam. Tapi harus
juga melihat ke luar, dan mencermati bagaimana
hal-hal yang ada di luar itu mempengaruhi kita. Itu
yang saya lihat tidak jelas sekarang ini: akan ke
mana kita bergerak? Jadi, akhirnya jalan sendiri-sendiri. Arah gerak bersama itu yang harus kita
tentukan. Apa yang perlu kita buat agar sektor
pertambangan ini lebih menarik? Kalau tidak ada
yang ingin dicapai, ya, ditutup saja.
Di
zaman
Bung
Karno
kan
sektor
pertambangan itu tidak boleh dikerjakan oleh
swasta asing ataupun swasta dalam negeri.
Sepenuhnya harus dikerjakan oleh Pemerintah. Itu
kebijakan beliau, yang akhirnya membuat sektor
pertambangan tidak bergerak. Tapi kebijakannya
jelas. Kalau sekarang, tidak jelas. Di satu sisi
dibilang kita terbuka terhadap pelaku swasta. Tapi
di sisi lain, yang kita lakukan seperti menutup diri.
Jadi, ada suatu disonansi antara apa yang
dikatakan dan apa yang terjadi di lapangan. Itu
sangat menonjol di sektor pertambangan.
Kalau kita lihat argumentasinya, logikanya
terbalik. Sumbangan sektor pertambangan ke
produk domestik bruto (PDB) itu hanya 3 persen.
Ini dijadikan alasan untuk tidak mengembangkan
sektor pertambangan. Tapi seharusnya bisa lebih
dari itu, kan? Dan ini yang harus diupayakan.
Padahal seharusnya bisa 6 persen. Saya yakin.
Kalau dikatakan mengganggu lingkungan, semua
tindakan manusia di masa modern ini pasti
mengganggu lingkungan. Tinggal kita lihat, apakah
dampak itu bisa dikendalikan atau tidak, apakah
benefitnya lebih tinggi daripada kerugian yang
ditimbulkan? Begitu, kan.
Kalau
sektor
pertambangan
tidak
dikembangkan,
sektor
industri
tidak
bisa
berkembang. Yang terjadi adalah de-industrialisasi.
Industri
kita
tidak
bisa
menjadi
konkret.
Seharusnya yang menjadi sumber nilai tambah di
sini adalah pertambangan. Yang menjadi masalah
hanya pada peralatan teknologis. Tapi, bahannya
semua diolah di sini. Tapi mengapa sektor
pertambangan ini tidak dipakai sebagai modal
awal untuk menguatkan ekonomi, sebelum kita
bangun basis industrialnya?
Jadi, sudah ada karunia Tuhan di sini. Mengapa
tidak dimanfaatkan? Memang betul bahwa anakcucu kita juga membutuhkan sumber-sumber
pertambangan.
Jadi
kita
tidak
boleh
menghabiskannya.
KK: Saling mempengaruhi, luar-dalam, interconnectedness. Ya, seorang filsuf pernah berkata
bahwa kepakan seekor kupu-kupu di Afrika itu ada
dampaknya di Kutub Utara.
NK: Antara pelaku industri dan Pemerintah, di
bidang pertambangan, tidak ada keselarasan. Nilai
penting dari sektor ini tidak dilihat. Indonesia
adalah negara yang under explored dari segi
pertambangannya. Lain halnya dengan negara-negara yang sudah matang seperti Australia,
Amerika Serikat, atau Kanada, yang boleh
dikatakan sudah diketahui lokasi mineral-mineral
mereka. Indonesia kan belum. Papua, saya yakin,
kalau kita eksplorasi benar-benar, potensinya
masih luar biasa. Tempat-tempat lain juga sama.
Tapi kegiatan eksplorasi dalam 10 tahun ini sudah
tidak ada lagi.
Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial
Dialog dengan Mayling Oei-Gardiner (MOG)
Pelaku di Bidang Sosio-Ekonomi
Periset di Insan Hitawasana Sejahtera (IHS)
Topik: • Corporate social
responsibility •Partisipasi masyarakat
•Penghargaan dan hukuman
KK: Isunya tentang jalinan hubungan-hubungan
antara academicians, government agencies dan
business people. Bagaimana hubungan-hubungan
mereka bisa menjadi selaras, ini masalah yang
saya ingin perbincangkan. Bukan sebatas promosi
teknologi. Kalau ini yang dilakukan, justru semakin
menjauh ketiga pihak itu terpisah. Jadi, bagaimana
menjalin hubungan-hubungan antara mereka,
ditengok dari perspektif sosial.
Kalau kita tengok, misalnya, citra mencolok
tentang teknologi yang tercipta melalui kebijakan
teknologi di era Orde Baru, seolah-olah teknologi
itu lepas dari bungkus sosial-ekonomik. Ada
kecenderungan mengabaikan dimensi sosioekonomi dari teknologi. Ini sebuah faktor yang
membuat program Pak Habibie kurang berhasil.
MOG: Okay,…, in a way, Pak Habibie
menempatkan teknologi dalam ‘menara gading,’
ivory tower, menjauhkan teknologi dari bukan saja
kehidupan sosial, tapi juga ekonomi. Biayanya
begitu tinggi, tapi tidak menyentuh siapa pun.
Kalau saya sendiri, bertolak dari posisi saya,
salah satu pertanyaannya adalah: kapan teknologi
dapat mengambil peran yang sektor bisnis dapat
lakukan, yakni corporate social responsibility
(CSR). Ini pertanyaan tentang technological social
responsibility.
Bukankah teknologi itu, seharusnya, oleh dan
untuk
manusia.
Bukankah
begitu?
Seperti
penerbangan oleh NASA, pada akhirnya untuk
manusia. Teknologi dilaksanakan oleh manusia,
dan juga untuk kemanfaatan manusia. Dan CSR itu
sendiri belum lama perkembangannya.
KK: Formulasi formal CSR mungkin memang
belum lama.. Tapi melalui perjalanan hidup, ketika
di masa kecil tinggal di pedalaman Riau, saya
sudah menyaksikan praktik-praktik yang kemudian
dinamai CSR ataupun community development.
Bukankah CSR ini suatu formulasi formal dari apaapa yang sudah lama dipraktikkan?
MOG: Boleh dibilang begitu. Tapi dulu, bisnis
cenderung lebih inward looking, dan cenderung
berfokus pada bagaimana menghasilkan profit.
KK: Tidak sepenuhnya betul seperti itu. Ketika
belakang ini sebagian pihak mengatakan dirinya
pelopor CSR, saya tanggapi bahwa yang mereka
pelopori itu tidak betul-betul baru. Sebagai contoh,
misalnya, apa-apa yang dilakukan oleh perusahaan
minyak di Riau. Mereka membangun sekolah dan
masjid di luar kompleks perusahaan itu, dan
memberikan pelatihan dan layanan kesehatan.
Program-program
ini
sebagian
didukung
Pemerintah Daerah, tapi ada juga yang diinisiasi
oleh pegawai-pegawai perusahaan tersebut.
Ayah saya, misalnya, sebagai seorang teknisi
mobil, pada hari-hari tertentu pergi mengunjungi
rumah-rumah penduduk lokal, dan memberikan
layanan teknis secara cuma-cuma. Misalnya,
dengan layanan tune-up mesin, oplet-oplet bisa
beroperasi lebih baik. Atau mereka membawa suku
cadang yang diambil dari perusahaan minyak tadi,
yang sudah tidak dipergunakan, dibawa untuk
memberikan layanan teknis pada penduduk. Jadi,
para pegawai perusahaan minyak tersebut
didorong untuk melakukan aktivitas seperti ini.
Menurut
hemat
saya,
praktik-praktik
ini
menyerupai CSR.
MOG: Tapi ada juga cerita-cerita di sisi yang
lainnya. Baru-baru ini saya ke Pulau Belitung, dan
sempat melihat area pertambangan timah. Di situ
terlihat lubang besar yang berisi timah. Dan itu
sangat berbahaya. Kalau seseorang terperosok ke
dalam lubang itu, bisa terluka dia.
KK: Belum tentu timah. Kalau khusus di Pulau
Bangka dan Belitung, yang parah adalah dampak
dari apa yang disebut PETI, atau penambangan
tanpa izin. Kalau perusahan penambangan yang
sah, itu perusahaan besar dan memiliki CSR yang
sangat baik. Yang menjadi persoalan adalah yang
muncul di sekelilingnya. Perusahaan yang sah
mengambil timah tidak dari darat, tapi dari laut.
Mereka gunakan kapal laut yang besar untuk
menambang urat timah yang besar di dasar laut,
karena sumber di darat tidak ekonomis.
Kalau PETI tadi, disebut tanpa izin oleh
kementerian energi dan sumber daya mineral.
Namun oleh Pemerintah setempat justru 'dizinkan.'
Saya sebut Pemerintah daerah memberi izin,
karena
Pemerintah
daerah
membolehkan
sekelompok investor membangun unit pemisahan
timah (thin smelter unit). Tapi, bagaimana
mungkin mengoperasikan unit pemisahan timah
kalau
tidak
mempunyai
raw
cent
yang
mengandung konsentrasi timah yang cukup tinggi?
Maka tumbuh suburlah penambangan kecilkecilan, yang kemudian menjadi tak terkendalikan.
Kalau perusahaan besar, sebelum beroperasi
mereka harus melakukan semacam analisis
dampak lingkungan. Ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari kontrak. Jadi, perusahaan besar
itu bukan ancaman. Kalaupun suatu perusahaan
besar menghasilkan kerusakan, kerusakan ini akan
besar sekali sehingga mudah ketahuan. Misalnya,
apa yang terjadi dengan beberapa perusahaan
pertambangan besar yang lain, yang kemudian
menjadi sorotan dan para kritikus. Pada jangka
panjang, dampak dari aktivitas perusahaanperusahan itu sangat besar. Tapi kalau kita lihat
perusahaan minyak di Riau tadi, ketika mereka
buka area eksplorasi yang baru, sesudah itu
mereka hutankan kembali. Paling tidak ini dengan
cara re-vegetasi.
Jadi terdapat perbedaan antara pengoperasian
berskala besar dan berskala kecil. Di sini yang sulit
dikendalikan itu adalah yang berskala kecil.
Diperiksa juga sulit. Kalau didatangi untuk
pemeriksaan, mereka menyambut dengan sikap
perlawanan. Saya tidak bermaksud membela pihak
mana pun. Tapi di situlah problematika yang kita
hadapi. Tak jarang bahwa yang sulit dikendalikan
justru para pemain yang kecil-kecil itu.
Pemain besar justru takut. Pengelolaan
lingkungan
sudah
menjadi
bagian
dari
perencanaan dan perhitungan bisnis mereka. Ini
masuk ke dalam komponen biaya produksi.
Perusahaan-perusahaan
multinasional
yang
beroperasi di Indonesia juga berhati-hati, karena
mereka terkait dengan principal mereka. Kalau
mereka tercatat dan dilaporkan tidak ramah
lingkungan, nilai stock market mereka akan turun.
Sebagai
contoh,
mengapa
kemudian
Pemerintah Swedia menarik investasi modalnya
dari sebuah perusahaan pertambangan yang
beroperasi di Indonesia, yang dari sudut pandang
bisnis sangat menguntungkan? Ini karena mereka
memandang
perusahaan
pertambangan
itu
bertentangan dengan nilai yang mereka anut,
yakni pelestarian lingkungan. Nah, karena
perusahaan tersebut berulang kali diadukan,
Pemerintah Swedia mencabut investasi mereka.
MOG:
Pertanyaannya
lantas
apa
yang
kementerian ristek dapat lakukan? Bagaimana
dengan perusahaan Indonesia sendiri, yang
umumnya bukan perusahaan besar.
KK: Kuncinya adalah penegakan hukum. Hukum
dan aturan telah ada. Yang kurang itu penegakan
hukum.
MOG: Tapi bagaimana persoalan itu dikaji?
Bukan hanya bagian enforcement-nya saja yang
penting.
KK: Yang diperlukan adalah pendidikan.
Bagaimana memberikan pendidikan yang tepat
bagi
masyarakat,
pemerintah
daerah
dan
pengusaha lokal, khususnya bagi mereka yang
berwenang menerbitkan surat izin.
MOG: Lalu bagaimana kementerian riset
mengambil peran? Khususnya di sisi sosial dari
persoalan ini.
KK: Pendidikan, itu kuncinya! Apakah melalui
proses pendidikan formal, di sekolah, atau juga
yang non-formal. Banyak program pemerintah
yang kurang optimal hasilnya, karena kurangnya
kesiapan masyarakat. Dan ini karena kita kurang
memperhatikan aspek pendidikan.
~0~
Saat ini kita juga menghadapi persoalan serupa
dalam implementasi Tsunami Early Warning
System, atau TEWS. Kita bisa anggarkan dana
untuk pengadaan infrastruktur dan pengembangan
teknologi deteksi. Tapi ketika warning itu
terjadi ... ?
MOG: Lalu, apa yang terjadi?
KK: Masyarakat tidak bereaksi. Ini yang saya
maksudkan. Di sini letaknya aspek sosial dari
persoalan. Bagi saya, sebagai teknolog, aspek
sosial ini merupakan kesulitan tersendiri. Tentang
hal inilah saya ingin mendengar pandangan Ibu,
sebagai sosiolog. Bahwa social values itu
seharusnya embodied atau tertanamkan pada
teknologi.
MOG: Okay. Jadi pertanyaannya adalah, apa
yang harus dilakukan agar rakyat bereaksi. Apakah
Anda mengalokasikan uang untuk mencari
jawaban ini...
KK: Iya... , oleh karena itu dalam Tsunami Early
Warning System itu kita bedakan dua aspek
persoalan. Pertama, struktur, yang kandungan
teknologinya paling besar. Ke dua, kultur, mulai
dari membuat media informasi seperti spanduk,
leaflett sampai dengan dialog-dialog serupa
KELOMPENCAPIR, program yang diperkenalkan di
Departemen Penerangan semasa Pak Harmoko
menjabat menteri.
Di Padang kita selenggarakan seperti itu. Sekali
seminggu diadakan acara di televisi yang
mempertemukan gubernur dan para tokoh
masyarakat setempat membicarakan hal-hal
terkait Tsunami. Mulai dari menumbuhkan
kesadaran
sampai
meningkatkan
kesiapan.
Memang ini baru pada skala terbatas, di Padang.
Tentu dengan harapan bahwa kalau orang lain
melihat ini bagus, mereka mereplikasi program ini.
MOG: Lalu bagaimana hasilnya?
KK: Saya kira cukup bagus. Sampai saat ini
diberbagai tempat orang sudah mulai sadar.
Hanya saja kesiapannya itu yang belum cukup
tinggi. Dan ini perlu proses.
Kalau kita lihat Jepang, misalnya, kesiapan
mereka sudah tinggi. Tapi itu setelah menempuh
berbagai upaya selama bertahun-tahun.
MOG: Bagaimana dengan sektor yang lain?
Bagaimana dengan program bahan bakar nabati?
Sampai seberapa jauh Anda berharap masyarakat
akan siap untuk itu? Secara teknologis hal ini
gampang-gampang susah. Seperti kasus Lapindo
misalnya.
KK: Aspek sosialnya sangat susah. Persoalan
utamanya adalah greediness.
MOG: Iya. Karena ingin murah,
risikonya ditanggung oleh orang lain.
kemudian
KK: Sudah jelas duduk perkaranya. Itu malpractice.
MOG: Jadi, pada dasarnya Anda sudah tahu
semua jawabannya. Lalu, mengapa Anda bertanya
ke saya?
KK: Saya baru sampai pada tahapan hipotetik.
Saya menduga, itu jawabannya. Untuk itulah saya
ingin kita mendiskusikannya.
MOG: In a way, you're right. Tapi, seperti dalam
hal-hal lain, apakah hipotesis itu sudah diuji. Pada
akhirnya suatu hipotesis harus diuji, apakah
bekerja atau tidak. Persoalan utama yang
beberapa kali terjadi di Indonesia, kita membuat
langkah besar, lalu kemudian akhirnya kita semua
masuk ke dalam kekacauan.
Sebagai suatu contoh, ini kasus yang saya
sendiri terlibat. Itu sekitar 4 atau 5 tahun yang
lalu. Saya terlibat dalam suatu riset tentang
desentralisasi, dan bidang yang saya ikuti adalah
bidang pendidikan. Kami sebagai periset, memulai
dengan menengok literatur. Kami melihat apa-apa
yang negara lain lakukan untuk mendesentralisasi
sektor pendidikan. Tentu di literatur yang
disampaikan banyak yang bagus-bagus. Dan di
situ dinyatakan bahwa untuk desentralisasi
pendidikan, satu hal yang diperlukan adalah
Komite Sekolah. Dan pada tingkat yang lebih tinggi
ada Dewan Pendidikan. Ketika kami sedang
menimbang-nimbang, ada sebagian pihak yang
marah, "Untuk apa membuat yang seperti itu!"
Anda tentu tahu apa yang kita bisa dapat dari
literatur, kan. Kita bisa menguji itu apakah
memberikan jawaban yang benar atau tidak. Tapi,
sementara ada kelompok yang marah-marah
terhadap gagasan itu, sebelum saya ketahui asal-
usulnya, muncul surat keputusan tingkat nasional.
Anda tahu di mana kegilaannya, kan? Mana ada
Surat Keputusan yang jalan!? Mengapa bukan
badan BP3 saja yang diganti namanya. SK itu
hanya mengatakan bahwa harus ada Komite
Sekolah. Sudah, itu saja isinya. Lalu, apa yang
diciptakannya?
Inilah satu dari persoalan besar kita di
pemerintahan. Kita membuat keputusan besar,
sebelum kita paham betul duduk persoalannya.
Lalu juga soal institusi yang kita ingin bangun.
Di bidang ekonomi, ini soal Bank Dunia dan IMF.
Mereka
meminta
kita
untuk
melakukan
desentralisasi, liberalisasi pasar dan lain-lain. Tapi
mereka tidak pernah menyiapkan kita. Yang harus
dipersiapkan adalah institusinya. Dalam ekonomi,
itu kelembagaan ekonomi. Persoalan institusi ini
yang tidak pernah dikaji. Ini persoalan yang saya
pikir kita harus mengkaji, apa-apa yang bisa
bekerja, dan apa-apa yang tidak bekerja.
Berkenaan dengan institusi ini, saya punya
hipotesis sendiri. Sebelum tahun 1998, di bawah
pemerintahan yang represif, kita hanya punya
tanggung jawab, tapi tidak punya hak. Sesudah
1998, kita hanya punya hak. Setiap orang boleh
melakukan apa yang dia ingin lakukan, tapi kurang
dituntut tanggung jawab. Jadi, persoalannya, kita
tidak punya sistem yang di situ ada stick dan
carrot sekaligus.
Misalnya, baru-baru ini direktorat bea dan cukai
meminta gaji mereka dinaikkan empat kali lipat.
Tapi tidak ada stick. Apakah ini bukan kesalahan?
KK: Itu bukan yang pertama kali. Ada
departemen lain yang juga pernah melakukan hal
yang serupa.
MOG: Sembilan kali! Itu yang mereka minta.
Dan lalu yang terjadi, korupsinya sembilan kali
juga. Nah, mengapa kita tidak punya stick?
Mengapa kita hanya berbicara carrot. Ini, sekali
lagi, merupakan persoalan sosial.
Jadi, apa pun yang Anda lakukan, kalau Anda
tidak mengatur sistem, semuanya menjadi trial
and error, dan terus menerus begitu. Jadi, pada
dasarnya yang ingin saya katakan adalah kita
perlu mengkaji: stick apa yang kita perlukan, di
mana stick perlu ditempatkan, dan pada akhirnya
untuk mencapai apa. Merit, itu hal yang kita
kurang hargai.
KK: Saya setuju dalam beberapa hal. Kita sering
kali memukul rata, mulai dari Sabang sampai
Merauke. Termasuk juga Ujian Nasional seperti itu.
Kadang-kadang kita berada di satu ujung ekstrim,
kadang-kadang diujung ekstrim yang lain. Kita
ingin memberlakukan satu solusi untuk semua,
atau kita ingin segalanya diserahkan ke masingmasing.
Saya pernah menerapkan di ITB, walaupun
tidak untuk keseluruhan, bahwa tidak perlu tes
untuk masuk ITB. Tunjukkan saja rapor pada tiga
tahun terakhir. Mereka yang menjadi top ten
dalam tiga tahun terakhir, tidak perlu mengikuti
tes masuk ITB. Ini contoh di satu ujung ekstrim.
Ujung ekstrim yang lain, semua siswa harus
mengikuti ujian yang sama, tanpa peduli apakah
siswa itu di SMA-nya pandai atau tidak, rajin atau
tidak.
~0~
Baik, kembali lagi. Yang saya ingin dapatkan
gambaran adalah bagaimana agar masyarakat
menjadi lebih terlibat. Kembali pada kasus TEWS.
Misalnya di Padang, kita sudah buat konstruksi
sistemnya. Kita ingin masyarakat menjadi sadar
dan siap. Tapi kemudian mereka meminta
dananya. Lo, saya jadi balik bertanya, bukankah
mereka sendiri menyatakan bahwa TEWS itu
penting. Lalu, mengapa kemudian meminta dana
dari kami? Bukankah mereka punya PAD sendiri.
Mengapa mereka tidak mengalokasikan dana dari
sumber itu?
MOG: Itu persoalan tata kelola sistem, atau
system governance. Apa yang terjadi adalah, kalau
di bidang pendidikan, kalau Pemerintah Pusat yang
kasih uang, ya, Pemerintah Daerah tidak mau
mengeluarkan uang.
KK: Nah, padahal mereka sudah menyatakan
bahwa program itu penting, kan?
MOG: Mungkin menurut Pemerintah Daerah,
pentingnya itu bagi Pemerintah Pusat, bukan bagi
mereka.
Bukankah
program
itu
keinginan
Pemerintah Pusat?
KK: Tapi dalam kasus TEWS, semua pihak
sepakat itu penting. Berdasarkan itu kami yang di
Jakarta ini membuat sistemnya, strukturnya, Early
Warning System. Tapi pada sisi kultur, pada sisi
orang-orang, kami ajak semuanya untuk samasama meningkatkan kesiapan. Ini yang sulit.
MOG: Mungkin itu karena memulainya tidak
sama-sama. Jadi, kalau semua menginginkannya,
buatlah perjanjian, siapa melakukan apa, dan
bertangung jawab atas apa. Dan kalau mereka
mau TEWS itu dijalankan, sistemnya dipasang.
Kalau tidak mau, pasang di tempat lain.
KK: Tidak bisa dengan cara begitu. Maksud
saya, sesudah sistem ini diberikan, mestinya ada
tindak lanjut oleh semua pihak, karena ini
menyangkut aksi mereka sendiri untuk merespon
warning.
MOG: Bukankah dalam sistem pemerintahan
terpusat memang seharusnya semua itu dari
pusat?
KK: Sekarang kan sudah bukan terpusat lagi,
sudah di era desentralisasi?
MOG: Di situlah, Anda harus buat deal terlebih
dahulu. Bukankah dari dulu begitu, semuanya
serba dari pusat? Anda harus mengubah dulu
persepsi itu.
KK: Iya ... sekarang ini yang lucu, begitu
menyangkut tanah longsor, bencana, semuanya
diminta dari Pemerintah Pusat. Tapi begitu
menyangkut PAD, semuanya berdiam.
MOG: Kalau Anda menginginkan meningkatnya
partisipasi, Anda harus punya sistem yang di situ
ada stick dan carrot. Kalau mereka tidak mau,
untuk apa diberi? Dalam sistem pemerintahan kita
tidak ada carrot dan stick. Yang ada hanya
memberi.
KK: Khusus mengenai bencana, seandainya
terjadi lagi, katakanlah di suatu tempat yang
belum ada penyiapan atau pelatihan. Kalau terjadi
sesuatu, yang kena akibatnya bukan penduduk
setempat saja, tapi kita semua. Jadi, persoalannya
adalah bagaimana mereka bisa menerima, setelah
itu mereka menindaklanjutinya.
MOG: Anda bicara tentang tanggung jawab.
Tapi bagaimana Anda bisa bicara tanggung jawab
kalau tidak ada stick? Anda hanya punya carrot!
Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam
situasi seperti ini.
KK: Kalau kita bicara
enforcement.
Tapi,
lalu
menggerakkan?
stick,
apa
berarti law
yang
bisa
MOG: Saya tidak yakin bahwa itu soal
enforcement. Sebab enforccement itu, kalau dari
sudut pandang Pemerintah, secara historis, itu
adalah kontrol. Dan kalau sudah kontrol, muncul
KKN.
KK: Ya. Apalagi sekarang ini PILKADA. Sekarang
ini lihatlah hubungan antara gubernur, bupati,
walikota dan mendagri. Seorang gubernur,
misalnya, bisa bilang pada mendagri, "Mengapa
saya mesti patuh pada Anda, toh yang memilih
saya bukan Anda!"
MOG: Di situ terletak persoalan stick. Kalau
mereka tidak melaksanakan tugas, harus ada
pihak tertentu yang bisa memberhentikan mereka.
Mereka dipilih oleh rakyat. Karena itu harus
bertanggung jawab pada rakyat. Masalahnya DPR
kita bukan perwakilan rakyat. Mereka lebih
merupakan perwakilan partai. Pada akhirnya,
mestinya yang menyatakan dirinya sebagai wakil
rakyat, harus bisa diberhentikan oleh rakyat.
KK: Betul. Satu-satunya wakil yang bukan
penurut adalah wakil rakyat itu, kan? Wakil
menteri misalnya, menurut pada menterinya.
MOG: Iya. Lalu, bagaimana mengubah sistem
politik ini. Itu pekerjaan rumah yang besar.
KK: Jadi, kerangka kerja yang ingin saya
bicarakan itu adalah bagaimana mendapatkan
partisipasi masyarakat. Bukan saja individuindividu, tapi sampai ke tingkat kota, kabupaten
dan
propinsi.
Jika
tidak,
program-program
pemerintah itu tidak akan ada yang berjalan.
Persoalan ini yang tidak bisa dijawab hanya
dengan teknologi.
Seperti yang tadi Ibu katakan, esensinya
teknologi itu dari manusia dan untuk manusia.
Nah, ini yang masih kurang berhasil dicapai.
Memaknai Perbedaan lewat Live-In
Dialog dengan Aristides Kastopo (AK) dan Mudji
Soetrisno (MS)
Pelaku di Bidang Sosial Budaya ;
Topik: •Budaya sebagai kekuatan •
Karakter bangsa •Praktik live-in
KK: Belum lama ini saya berbincang dengan Pak
Hermawan Kartajaya, tentang pemasaran atau
marketing.
Saya
angkat
masalah
beyond
marketing. Menurut saya, setiap orang secara
sadar atau bawah sadar melakukan pemasaran.
Sebagai contoh yang sederhana, lewat penampilan
dan pakaian, sebenarnya saya memposisikan diri
saya di pasar, iya kan? Semua orang ingin
memposisikan dirinya berbeda. Bahkan ada yang
bersikap ekstrim. Ketika ketahuan ada yang sama
pakaiannya, dia pulang lagi lalu ganti baju, to look
different. Ini merupakan bagian dari pemasaran.
Diferensiasi atau positioning di pasar itu penting
sekali. Dan sadar atau tidak kita melakukannya
lewat cara berpakaian, cara berbicara, berbahasa
tubuh. Ini semua pemasaran tapi bukan dalam
artian yang sempit. Dalam arti yang sempit,
pemasaran itu menurut saya adalah bagaimana
kita meletakkan produk di pasar. Tapi, apa sih
yang namanya produk itu? Arti produk itu sendiri
sudah bergeser, kan?
MS: Ini masalah antara yang tidak kasat mata
dan yang kasat mata, intangible dan tangible.
Yang intangible, misalnya, bagaimana cara
berpakaian itu disebut pantas. Hanya saja oleh
sebagian orang, nilai tukar di pasar itu
diterjemahkan sebatas money-nya saja. Ini
sebenarnya kita sudah diingatkan oleh Karl Marx,
mengenai kekritisan kebudayaan, bahwa nilai
tukar itu, telah mengikis nilai sesuatu menjadi
yang melulu tangible.
KK: Itu kan penyempitan arti. Kembali masalah
uang tadi, sebetulnya uang itu suatu wujud
primitif. Yang saya ingin kemukakan adalah
masalah value.
AK: Kita terjebak dalam situasi di mana kita
tahu the price of everything, but the value of
nothing! Tidak lantas nilai segala sesuatu itu
terukur, dan menjadi rupiah, kan? Sebaliknya,
jangan sampai juga lantaran tidak tahu cara
sesuatu dirupiahkan, sesuatu itu dianggap tidak
ada nilainya atau priceless.
KK: Ada dua isu yang ingin saya diskusikan
pada kesempatan ini. Yang pertama, saya telah
menggulirkan riset itu dalam enam tema prioritas.
Sebagian orang bilang itu fokus riset. Bagi saya itu
tema. Yang pertama, pangan. Permasalahannya,
bagaimana
Indonesia,
melalui
segenap
kemampuan anak bangsa, mencukupi kebutuhan
akan pangan. Kalau pun impor, itu merupakan
pilihan, bukan keterpaksaan. Yang ke dua tentang
obat, dan hal-hal yang terkait dengan kesehatan
dan kecantikan. Yang ke tiga, teknologi informasi
dan komunikasi (TIK). Yang ingin dijawab adalah
bagaimana rakyat Indonesia bisa berkomunikasi
dengan mudah. Ketersediaan (accessibility) dan
keterjangkauan (affordability) menjadi isu yang
saya kaitkan dengan TIK.
Ke empat tentang teknologi dan manajemen
transportasi. Sekali lagi, bagaimana rakyat
Indonesia bisa melakukan transportasi dengan
mudah. Yang ke lima tentang energi. Saya ingin
bahwa rakyat Indonesia mampu keluar dari
perangkap mental bahwa sumber energi itu hanya
minyak dan gas bumi. Tanaman bisa menjadi
sumber energi, angin dan gelombang laut juga.
Yang terakhir, sampai batas-batas tertentu, kita
perlu mencukupi kebutuhan teknologi pertahanan
dan keamanan kita. Bukankah terlau jauh kalau
sepatu dan seragam militer kita mesti impor?
Beberapa ilmuwan mempertanyakan, mengapa
ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu sosial tidak masuk
ke dalam tema-tema prioritas itu. Menurut saya,
munculnya pertanyaan seperti ini bersumber pada
penafsiran yang sempit terhadap tema-tema itu.
Semua ilmu masuk ke dalam tema-tema itu. Yang
enam tadi itu bukan dari bidang ilmu, tapi
permasalahan. Baik sekarang mau pun ke depan.
Bidang-bidang ilmu itu ibaratnya 'pasokan
amunisi.' Tema-tema itu 'lawan' yang harus
dihadapi.
Dalam masalah pangan misalnya, ilmu sosial
sangat berperan. Saya sampaikan persoalan
bahwa di masyarakat ini ada persepsi, kalau
seseorang tidak mengkonsumsi nasi, dia itu warga
negara kelas 2, kelas 3, atau bahkan kelas 4.
Bukankah ini masalah sosial-budaya yang terkait
dengan
tema
pangan?
Masalah
risetnya,
bagaimana caranya agar pilihan-pilihan sumber
pangan itu dilepaskan dari 'kasta'-isasi, atau pengkasta-an masyarakat. Mengapa seseorang yang
makan jagung diposisikan pada kasta yang
rendah? Mengapa masyarakat justru meninggalkan
sagu, yang sudah turun-temurun dikonsumsi? Ini
kan contoh-contoh bahwa tanpa perubahan sosialbudaya susah, solusi teknologis yang mana pun
tidak akan bekerja. Artinya, solusi sosialbudaya
dan
solusi teknologis
perlu dikembangkan
bersama, secara selaras. Itu berlaku di semua
sektor.
Dalam
kasus
rekonstruksi
Aceh,
dari
perbincangan dengan pimpinan program, mereka
sudah bangun banyak rumah di sana. Tapi kan
kosong, tidak dihuni. Salah satu faktornya,
komunitas setempat menganggap bahwa rumah
itu adalah yang biasa dia tinggali turun-temurun.
Jadi, yang dibangun itu bukan rumah mereka,
dalam persepsi mereka itu. Lalu mereka
mempertanyakan mengapa disuruh pindah ke
situ? Dari sisi teknis ada beberapa alasan.
Misalnya, ada kasus di mana daerah tempat asal
mereka itu kawasan penyangga atau buffer zone,
atau dalam kasus lain merupakan daerah yang
rawan bencana. Sekali lagi, kalau hanya
menggunakan pendekatan teknologis, itu tumpul.
Misalnya juga masalah transportasi. Mengapa
sampai hari ini transportasi kita masih didominasi
oleh jalan dan kendaraan? Bukankah biayanya
menjadi
mahal?
Jalan
sepanjang
Pantura,
misalnya, sekarang sudah bukan jalan lagi, tapi
killing field. Mengapa orang dan barang semuanya
boleh lewat Pantura, dengan kecepatannya
masing-masing? Mengapa tidak kita kembangkan
transportasi multi-moda yang cocok dengan
kondisi masyarakat dan bentuk negara kepulauan?
Permasalahan yang ke dua, terkait dengan
yang pertama, bagaimana kita meletakkan slogan
"aku cinta produk Indonesia" ke dalam kehidupan
yang nyata. Kan sekarang ini slogan itu berhenti di
bibir saja. Sekali lagi, aspek sosialbudaya terkait
dengan masalah ini cukup mendasar.
AK: Saya kira itu semua kekurangannya selama
ini, berbagai persoalan yang kurang diperhatikan.
Misalnya dampak dari kerusakan lingkungan,
belum dilihat dampak sosial-budayanya.
KK: Masih satu arah. Kita lakukan sesuatu dulu
terhadap lingkungan, baru kita lihat dampaknya.
Harusnya kan sejak awal, bolak-balik.
MS: Saya mulai saja dari persepsi orang, bahwa
Pak Kus tidak memasukkan ilmu-ilmu sosialbudaya ke dalam tema-tema prioritas. Itu saja
menunjukkan bahwa perencanaan bangsa ke
depan selalu berlangsung dalam kotak-kotak yang
berbeda-beda. Jadi, melalui pengkotakan seperti
ini cara kita melihat realitas. Pihak yang satu
adalah pelaku humaniora, yang lain, katakanlah,
ilmu-ilmu empiris. Ada keengganan bagi yang satu
untuk bertemu dengan yang lain. Akan terus
begini selama kita menganggap yang satu lebih
tinggi dari yang lain. Situasi seperti ini bisa diatasi
dengan mengadakan studium generale, dengan
kegiatan lintas-ilmu. Misalnya guru-guru itu,
mereka bisa menanamkan tradisi bahwa kita
melihat sesuatu tidak pernah melulu spesialis,
tidak juga melulu generalis. Dua-duanya saling
mencakupi.
Kebudayaan itu adalah kebiasaan dan aktivitas
sehari-hari, yang diberi makna. Nah, yang tidak
pernah didalami oleh para ilmuwan kita adalah
live-in, hidup bersama-sama dan memberi makna
bersama-sama. Ini pendekatan intrinsik, from
within, bukan ekstrinsik. Pak Kus mungkin bisa
memeriksa riset-riset kita, mana yang kualitatif,
mana
yang
kuantitatif,
dan
mana
yang
menggabungkan keduanya. Mana persoalan yang
lalu diatasi dengan riset bersama. Tapi belum ada
yang memetakan ini, untuk melihat core-nya. Apa
sih yang membuat orang bergerak? Kesadaran
orang mengenai rumah, ruang, waktu, ini kan
harus dipetakan. Di Universitas Indonesia ada
Fakultas Ilmu Budaya. Di dalamnya ada arkeologi,
antropologi, dan ada filsafat. Begitu filsafat,
termasuk saya, mau menyatukan ketiganya. Yang
terjadi, mereka bilang, "Jangan mau! Filsafat
jangan sok mengatur kita!"
~0~
Saya pernah terlibat dalam diplomasi-diplomasi
kebudayaan. Diplomasi kebudayaan kita yang
keluar itu ada dua, untuk pariwisata dan untuk
menjual hasil-hasil karya seni. Saya pernah
berkunjung ke Brazil. Brazil memanfaatkan itu
semua, selain untuk kemasan karnaval, sekaligus
dikembangkan untuk sekolah-sekolah seni. Di
Indonesia kan seni tari banyak. Tapi solusinya kan
justru
digabungkan
antara
pariwisata
dan
kebudayaan.
Kalau
digabungkan
dengan
pariwisata, kita tidak akan dapat lagi bantuan dari
UNESCO. Kalau kita minta bantuan untuk candi
Borobudur, misalnya, mereka bisa bilang bahwa itu
pariwisata, sektor komersial.
AK : Kita lihat Jerman dan Jepang. Setelah
Perang Dunia II, hancur kan industrinya? Mereka
survive dan cepat bangkit kembali justru karena
kulturnya sangat kuat. Artinya, kultur itu tidak bisa
dihancurkan. Itu yang membuat mereka punya
cohesiveness. Apakah Jerman Timur dengan
sistem komunis, atau Jerman Barat yang kapitalis,
sebenarnya di Eropa Barat atau Timur mereka itu
memimpin
dalam
kebangkitan.
Dua-duanya
berasal dari kultur Jerman. Jepang pun begitu juga.
Berbeda dengan kita, Bhinneka, mereka itu relatif
homogen. Kita sangat beragam. Kondisi ini juga
bisa menjadi cohesive force yang memberikan
daya transformasi.
Sumpah Pemuda, "Satu Nusa, Satu Bangsa,
Satu Bahasa," itu kultur. Bahasa kan kultur.
Identitas suatu bangsa kan bahasa. Di India itu,
sampai sekarang, antara Urdu dan Hindi tidak
pernah bisa ketemu. Kita membuktikan bahwa kita
punya kapabilitas sosial dan kapabilitas sosial.
Para pemimpin waktu itu menyadari bahwa kita
gandrung pada persatuan, supaya merdeka. Tapi
kenyataannya kita ini bhinneka. Jadi, keywords di
era
kemerdekaan
adalah
"Pancasila"
dan
"Bhinneka Tunggal Ika."
Kata
orang
Jepang,
kemampuan
untuk
mencermati hal-hal yang bertentangan sekaligus,
merupakan the genius of culture. Tidak dikotomik.
Beberapa tahun yang lalu saya ditanya seseorang,
"Is Indonesia going to disintegrate?" Saya bilang,
"Karena apa?" Bisa saja kalau dari projeksi
ekonomik, kan? Waktu itu, terjadi pada Yugoslavia.
Uni Soviet, kita tinggal tunggu waktu. Tapi saya
bilang, kita berbeda. Satu, ide keindonesiaan kita
tidak ditegakkan dengan kekuatan bersenjata. Tapi
dengan kultur, dengan segala sisinya, dan justru
bisa berkembang. Dua, kita waktu itu tidak punya
partai dan angkatan bersenjata, dan waktu transisi
itu kita sadar bahwa kalaupun mau bersatu, tidak
bisa dipaksakan dalam kondisi pluralistik yang
nyata.
Hanya saja kultur itu deskripsinya tidak bisa
dengan angka. Anda bilang, katakanlah, kita punya
hutang bilyunan dolar. Saya bilang, bahasa itu
aset. Kalau dari segi ekonomi, berapa aset Anda?
Kan jawabnya satu dolar, seratus dolar, dan
seterusnya. Tapi bahasa kan tidak bisa dinilai
seperti itu, karena intangible. Aset intangible itu
yang kita abaikan. Itu yang sekarang membuat
kita terapung-apung.
Karena ekonomi itu terukur, relatif mudah
dijelaskan. Misalnya, kata Pak Boediono, PDB 6000
dolar baru demokrasi kita mantap. India
membuktikan selama 30 tahun hanya seribu dolar,
dan demokrasinya mantap. Memang akan lebih
mantap kalau dengan 6000 dolar. Tapi bisa
terwujud tanpa angka itu.
KK : Saya mengartikan pernyataan Pak
Boediono itu, bahwa pertumbuhan kita akan
sustained dengan demokrasi, jika start-nya 6000
dolar. Sekarang kan ada hipotesis, bahwa dengan
demokrasi yang kita anut, tidak akan bisa tercapai
kesejahteraan.
Karena
itu
Pak
Boediono
mengatakan bahwa kesejahteraan bisa dicapai,
dengan catatan start-nya 6000 dolar. Kalau tidak,
ekonomi kita bukannya tumbuh, tapi akan
mengerut.
MS: Sebenarnya Bung Karno dan para pendiri
bangsa sudah mencoba, bagaimana kalau
sosialisme. Karena yang menyatukan kita, kan,
kultur. Historisnya kan Pancasila. Pancasila itu
intinya, dan spiritnya, adalah sosialisme. Artinya,
milik bersama dan berbagi bersama. Yang
menarik, Bung Karno itu sebenarnya belajar
sosialisme pada awal kemerdekaan itu ke Rusia.
Bung Hatta juga berpikirnya sama, tapi dengan
koperasi.
Yang
menarik,
mengapa
ketika
eksperimen ekonominya dicoba oleh Presiden
Soeharto, sampai tingkat tertentu kita lihat gapnya. Malah terjadi dualisme ekonomi, tradisional
dan modern. Mengapa tiap kali dimasukkan
modernitas, sepertinya tidak pernah matched.
Sementara berapa kali saya juga mencoba live-in,
sampai tahu core-nya.
Sebenarnya pendekatan live-in itu dulu sudah
dipraktikkan meluas, tapi biayanya mahal sekali,
lalu dihentikan. Itu KKN, kuliah kerja nyata. Itu
sebenarnya dapat membuat masyarakat tahu apa
yang dikerjakan para ilmuwan untuk desa itu. KKN
dihentikan karena waktunya pendek, tapi biayanya
besar. Padahal itu untuk kepentingan jangka
panjang. Itu kan satu cara untuk masuk ke dalam
kultur masyarakat. Sekarang ini pikiran kita yang
agak futuristik kan menjadi langka. Melulu
ekonomis. Yang dibuat apa? Betul, ada riset
kualitatif. Setelah selesai diberikan ke Pak Kus.
Tapi ketika dipraktikkan, tetap terjadi bias.
Apakah mungkin kita kurang lama menjalani
proses nation and character building? Ukuran lama
itu sendiri apa? Kita waktu itu bersatu secara
kultur,
bukan
politis.
Sementara
pada
kepemimpinan Presiden Soeharto, awalnya bagus,
tapi di akhirnya dia melakukan penyeragaman.
Ternyata efek umpan baliknya bukan main. Itu
penyeragaman, bukan persatuan.
Pernah
suatu
waktu
Bank
Indonesia
mengundang kami. Waktu itu terkait rencana
pembangunan jangka panjang 2005-2030. Banyak
pakar ekonomi, hukum dan politik yang hadir. Dari
kebudayaan saya saja. Dapat dilihat bahwa
kajiannya murni ekonomik. Kebudayaan hanya
diberi ¼ jam, membicarakan pokok-pokoknya saja.
Karena waktu sudah habis. Kebudayaan disertakan
di situ sebagai aksesoris saja. Kembali, apakah
masalahnya kebudayaan itu intangible, ya? Ketika
pragmatisme dan materialisme mengalami krisis,
ketika semua tidak selesai, orang menengok balik
ke kebudayaan. Kalau kebudayaan diperlakukan
hanya sebagai ‘pemadam kebakaran,’ tidak akan
berarti yang bisa dihasilkan.
AK: Perdebatan itu dulu kan masalah mana
yang lebih penting, kultur atau struktur. Itu bolikbalik saja. Sebenarnya dua-duanya perlu. Tinggal
bagaimana
menumbuhkan
sinerginya.
Tapi
memang menjadi persoalan bila budaya seolaholah disandera oleh struktur. Kita perlu punya
empati, kemampuan untuk mengerti walaupun
berbeda. Kemampuan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain. Tapi kemudian menyebar
'virus kekuasaan.' Empatinya tidak tumbuh. "Saya
yang berkuasa, saya mau orang ikut saya!"
~0~
MS : Kalau kembali ke enam tema tadi, value di
balik itu semua kan otonomi, kemandirian. Ini yang
saya kira menjadi core. Kita coba belajar, mengapa
kita sampai titik tertentu bisa merdeka, mencapai
kemandirian sebagai bangsa. Menurut saya, yang
menarik adalah karena pada 1928, lima tahun
sebelumnya, ada manifesto politik terlebih dulu.
Memang kita harus membuat manifesto politik
dulu. Dan yang membuat manifesto itu adalah
organisasi pendidikan kultural dan politis, dua soko
guru waktu itu, Perhimpunan Indonesia dan Budi
Oetomo. Mereka sudah menegaskan tiga hal.
Pertama, kemandirian. Ke dua, demokrasi. Dan ke
tiga, kita secara kultural harus menghormati
kemajemukan. Baru kemudian di tahun 1928
dicetuskan manifesto kebudayaan.
Kalau kita lihat, proklamasi pada tahun 1945 itu
bersifat politis. Yang tidak tergarap dengan baik
adalah proses kebudayaan, untuk menumbuhkan
sikap mandiri dan bangga pada produk dan
budaya sendiri.
AK : Jepang, meskipun sudah berindustri maju,
dalam WTO mereka tetap bertahan agar kebijakan
beras tidak diutak-atik.
KK
:
Justru
itu,
bagaimana
Indonesia
menyikapinya. Globalisasi itu, sama seperti
Tsunami, begitu datang tidak mungkin kita
hentikan. Masalahnya adalah bagaimana kita
secara elegan melakukan pembentengan atau
fortifikasi
nasional.
Jepang
secara
cantik
melakukannya. Dia memanfaatkan kekuatan
sosial-budayanya yang terkait dengan beras,
sehingga para petani Jepang terlindungi dengan
baik.
MS : Di dalam negeri, bagaimana beras
dipropagandakan? Di Papua, di Kalimantan, Sulut,
Bali? Maksudnya kan untuk ketahanan pangan.
Jangan
sampai
akhirnya
merusak
kultur
masyarakat.
KK: Itu sebabnya, dalam beberapa inisiasi yang
kami lakukan, kami membuat program yang
namanya "agrotechnofarm.' Mungkin istilahnya
salah. Tapi gagasannya seperti yang tadi disebut,
live-in. Itu kuncinya. Misalnya, di Sumatera Selatan
oleh Gubernur disediakan lahan 900 ha. Lalu kami
buka, tidak ada tembok. Tadinya daerah terasing.
Sekarang sampai 3000 ha di sekelilingnya, sudah
tinggi kehidupan. Orang melihat, bagaimana cara
memelihara ayam, menanam pepaya, dan lainlain. Mereka datang, dan mencoba. Kami bilang,
boleh mereka mencoba tapi harus ikut penuh
dalam dua atau tiga musim tanam. Kalau hanya
satu musim, belum tentu dia dapat dikatakan
berhasil. Setelah itu kami katakan, "Anda sudah
lulus!" Kami sukses di Palembang.
Di Cianjur kami mencari apa potensinya. Di
Cianjur selatan, pohon kina. Kami dapatkan 50 ha.
Kami ajak masyarakat bersama-sama menanam
kina.
Di
Jembrana,
mereka
kan
merasa
termarjinalkan. Mereka melihat bahwa Sanur dan
Kute bisa bagus. Jembarna tidak punya apa-apa.
Saya bilang, "Terima saja itu sebagai fakta.
Mengapa kalian tidak membangun hinterland?"
Mereka butuh daging, dan bisa memasok.
Bupatinya setuju. Kami bantu dengan TIK.
Misalnya, pengurusan KTP, sehari jadi. Melesetmeleset sedikit tidak apa-apa. Kami bereksperimen
dengan sapi bali. 200 ekor kami kirim ke
Palembang, dengan suasana yang berbeda, cuaca,
tanah yang berbeda.
MS : Sapi di Sulawesi Utara juga gemuk-gemuk,
secara genetis. Sapi bali paling pas untuk daerah
tropis. Model seperti ini yang jadi kunci. Saya
senang Bapak mengangkat konsep live-in.
AK : Untuk sebuah kebenaran, contoh itu
penting. Misalnya, ketika Pak Kus menceritakan
Jembrana, kalau di kelas ditunjukkan film-film yang
menceritakan itu, akan cepat sekali diterima
orang. Ini masalah kultur.
MS: Kita berbicara mengenai kebenaran dari
kehidupan. Ketika dibahas dengan teknologi
ataupun
hukum,
itu
adalah
kebenaran
teknologis/hukum. Tapi untuk rakyat kecil,
kebenaran adalah keadilan.
AK: Kembali lagi ke tadi, saya setuju Pak Kus
menyusun enam tema itu. Itu betul-betul untuk
mencukupi diri sendiri. Ini yang sampai sekarang
tidak pernah diisukan lagi sebagai sebuah
kebanggaan.
KK: Walaupun rekan-rekan dari teknologi juga
sudah mengkritik saya dengan keras, "Lo, di mana
teknologinya?". Saya sampaikan jawaban yang
sama seperti yang saya sampaikan ke ilmuwan
sosial tadi. Teknologi ada di semua tema prioritas
itu, keenam-enamnya. Kalau saya pesan cap cay,
saya kan tidak peduli akan dimasak pakai apa,
pakai tungku atau alat masak yang paling modern
sekalipun. Yang penting tersaji cap cay, rasanya
enak. Waktu membayar saya mengucapkan rasa
syukur, bukannya mengeluh karena harganya
terlalu mahal.
MS: Dalam hal obat-obatan, India sangat maju.
Mereka menghasilkan low cost medicine. Ampuh,
tapi harganya sangat murah.
KK: Untuk buku juga. Mereka tanpa malu
bernegosiasi dengan penerbit buku. Mereka bilang,
mereka punya sekian banyak pasar. Tapi daya beli
rendah. Mereka tanyakan berapa profit yang
diperlukan penerbit tadi. Katakanlah, 100. Itu kan
bisa dari penjualan seribu buku, atau sejuta buku.
Yang penting profit tadi didapatkan. Tidak peduli
berapa banyak buku yang dicetak, yang penting
sepakat bahwa profitnya 100. India melakukan hal
itu, dan masyarakatnya bisa terima. Tidak harus
dicetak mewah, yang penting kandungannya tidak
berubah.
MS: Di era kapitalisme ini, bagaimana Pak Kus
menghadapinya?
KK: Bisa. Tapi deal-nya adalah dengan profit.
Kita tiru saja cara India. Untuk buku tertentu,
targetnya berapa profitnya. Ok, kita penuhi itu.
Karena itu di India ada Prentice Hall India, Mc Graw
Hill India, dengan kualitas buku yang luar biasa
jeleknya. Mungkin bisa membuat tangan jadi hitam
kalau memegangnya. Tapi masyarakat India bisa
menerima itu. Yang penting sudah dibaca, sudah
pindah ke mereka. Artinya apa? Sudah disebarkan
ilmunya, tidak tinggal di buku.
MS: Kalau dulu kan Taiwan dan Jepang justru
mengabaikan. Mereka tidak membuat deal,
langsung cetak saja bukunya.
KK: Kita juga pernah, dan masih seperti itu,
massive production. Sekarang dengan teknologi
informasi, bagaimana caranya? Apakah dalam
bentuk e-book? Sekali lagi, ruhnya yang menjadi
persoalan. Pak Mudji tadi bilang, kita bangkitkan
dulu
ketertarikan.
Sesudah
tertarik,
baru
sampaikan bukunya. Hambatannya sudah tidak
ada, karena sudah tertarik.
MS: Ini dari pengalaman. Waktu Timor-Timur
masih menjadi bagian Indonesia, beberapa orang
kita ke sana untuk mendidik mereka. Untuk
memasak garam saja, mereka pakai kayu bakar,
dan dimasak pakai tungku. Padahal ada sinar
matahari. Itu kan uangnya bisa digunakan untuk
yang lain. Lalu bagaimana supaya mereka
memanfatkan sinar matahari saja? Ternyata ketika
mereka diberi tahu, tidak bisa terima, karena
sudah tradisi. Akhirnya dengan diberi contoh.
Barulah mereka mulai berubah.
KK: Karena itulah, nanti saya ingin mengundang
Romo Mudji untuk membicarakan nuklir. Dulu kan
kita tidak setuju betul dengan nuklir. Karena itu
saya minta kawankawan, baik proponen maupun
dan opponen. Kita lihat apa pertimbangan dari
yang pro, dan apa dari yang tidak pro. Tampilkan
dua-duanya supaya terjadi pengayaan, sehingga
apa pun keputusan kita nanti, go atau no go, kita
sepakat.
MS: Di Muria itu dulu, beberapa tahun dalam
posisi no, pertimbangannya dari segi sumber daya
manusia. Waktu reaktor Chernobyl meledak saya
di Eropa. Jadi, selama dua minggu kita dilarang
makan sayur. Itu kita lihat Rusia yang begitu ketat
saja masih mengalami kebocoran. Saya tidak
bermaksud mengatakan bahwa kita tidak mampu.
KK: Tapi di sisi lain, orang tidak melihat bahwa
teknologi sekarang itu sudah makin tinggi tingkat
keselamatannya. Begitu ada tanda-tanda yang
tidak normal, dia akan mati sendiri. Tidak akan dia
hasilkan kebocoran keluar. Itu yang kita ingin
bicarakan.
MS: Tapi tadi, tujuannya mencukupi diri sendiri.
Yang enam tema itu kan masuk ke sana.
Kemungkinan dengan solar energi bagaimana?
KK: Ada. Tapi sekali lagi, tujuan saya
mengangkat ini semua adalah supaya kita
mempunyai banyak kemungkinan. Ini sebuah
pilihan. Saya tidak bilang bahwa PLTN harus
diterima. Tidak. Kita lihat dulu. Tapi juga jangan
asal bilang tidak. Ini supaya pilihan-pilihan makin
banyak, sehingga apa pun yang kita pilih, ini
didasarkan pertimbangan yang kaya perspektif.
Apakah itu murni keputusan ekonomik, walaupun
tidak ada yang murni. Semua ada embel-embel
politiknya. Political economy, misalnya. Tetap
mesti kita buat keputusannya. Bahkan ditambah
dengan socio-political economy. Itu yang saya
ingin, keputusan-keputusan seperti itu. Akan
banyak pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan.
Menyandingkan Ilmu Horizontal dan
Ilmu Vertikal
Dialog dengan Mustofa Bisri (Gus Mus; GM)
Kyai Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren
Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang
Topik: • Fortifikasi tradisi •Ilmu
horizontal dan ilmu vertikal •Peran
agen-agen penerjemah
GM: Salah satu masalah kita adalah kemalasan berpikir. Sebenarnya ini hasil didikan, yang terus­menerus dilakukan dengan cara yang salah, yang menjadikan manusia malas, malas berpikir.
KK: Tapi saya tidak ingin menuding cepat­cepat. Menurut saya, kemalasan adalah akibat, bukan sebab. Jadi, kemalasan kita itu dikarenakan perilaku kita sendiri, sehingga kita terperangkap. Lalu kita menjadi korban. Nah, kita harus keluar dari arus ’perangkap’ itu.
GM: Ya. Saya kira kita harus ’memotong’ lintasan sejarah. Kalau bercanda dengan orang­orang di kampung, saya mengatakan kalau kita ini menjadi malas berpikir, karena dulu semua hal kita serahkan pada Pak Harto untuk memikirkan. Waktu memilih apa­apa yang mau kita tanam, Pak Harto yang memikirkan. Waktu memutuskan apa­apa yang mau kita jual, Pak Harto yang berpikir. Bahkan sampai urusan memilih warna cat tembok rumah kita sendiri, Pak Harto yang memikirkan. Itu kan sudah gila­gilaan! Akhirnya kita menjadi pemalas. Kita dididik untuk merasa nyaman dalam perangkap. Kita dididik menjadi insan yang seba instan. Segala macam hal kita ingin cepat dapatkan. Mulai dari makanan, mie instan. Bahkan sampai mau jadi sarjana, juga bebas saja sudah. Akhirnya kita itu menjadi tidak kreatif, tidak punya etos kerja. Nah, sebetulnya di kalangan para santri ada semacam tradisi pendidikan, misalnya, kaidah Al Muakkadah. Kaidah ini menyarankan kita memelihara yang lama, yang masih relevan dengan situasi yang baru.
KK: Bagus sekali itu, Pak! Itu dia yang saya cari. Itulah yang saya bilang sebagai ‘fortifikasi’. Jadi, misalnya tentang globalisasi. Seperti tsunami, globalisasi tidak mungkin kita stop. Tapi yang penting adalah bagaimana kita secara elegan menyikapi globalisasi. Saya mengatakan bahwa fortifikasi adalah cara yang elegan. Bapak mengatakan, yang sudah bagus kita pertahankan. Juga, sesuatu yang baru, kalau memang bagus kita adopsi, kita serap ke dalam sistem kita.
GM: Di semua pesantren begitu kaidahnya Itu kaidah agar kita bisa tetap bertahan, bisa survive. Kalau kita hanya mengandalkan yang lama saja, tanpa mengambil yang baru, kita tidak akan maju. Tapi kita juga tidak akan maju kalau hanya mencari yang baru, dan meninggalkan semua yang lama. KK: Saya tertarik dengan pernyataan Gus Mus, bahwa kita tidak akan maju kalau kita hanya berpegang, semata­mata pada apa­apa yang ada. Kalau dianalogikan, dalam ilmu biologi itu disebut incest. Agama mengajarkan bahwa pernikahan dalam satu garis keturunan itu tidak baik. Karenanya dilarang. Dalam pernikahan seperti ini terjadi incest. Kalau kita berpegang hanya pada yang sudah ada, risikonya terjadi incest. KK: Kalau kelompok lain saya tidak punya bukti, kalau ini bukti nyata. Jadi itu yang saya lihat. diidalam kampus. Jadi perjuang­pejuangan yang saya lakukan di ITB, dan saya teruskan juga di selama saya jadi menteri ini, mengadakan pengayaan­pengayaan seperti itu. Saya ambil sebuah contoh, di fakultas seni rupa dan desain, ITB. Selama ini kawan­kawan kita di sana, mengikatkan diri kepada ke­senirupa­annya. Mereka tidak mau menyentuh matematika, atau ilmu komputer. Tapi kemudian perubahan­
perubahan terjadi, dirintis sejak saya menjabat rektor ITB. Kami mencoba memasukkan matematika, untuk mengungkapkan aspek­aspek estetis dari fenomena alam. Misalnya, bentuk awan. Bagaimana ini dijelaskan dengan matematika? Ternyata, fenomena alam seperti gelombang atau ombak laut, tidak bisa digambarkan dengan rumus matematika yang biasa, yang berstruktur linier. Para ilmuwan, waktu mempelajari cuaca, mengembangkan teori chaos. Rumusan teori ini menggunakan struktur yang tidak linier. Dalam gambaran linier, interkonektivitas atau keterpautan cenderung terabaikan. Yang diperhatikan adalah unsur­unsur, yang dianggap terisolasi. Keterpautan antara unsur­unsur digambarkan sebagai penjumlahan dari unsur­unsur itu. Dalam rumusan non­linier, interkonektivitas itu yang menjadi pusat perhatian. Interkonektivitas merupakan fenomena, yang tidak bisa digambarkan sebagai penjumlahan unsur­unsur.
Dalam rumusan non­linier, muncul teori tentang alam yang disebut fraktal. Teori ini membawa pesan mengenai keterbatasan hal­hal ciptaan manusia, dibandingkan dengan ciptaan Tuhan. Ciptaan Tuhan itu, dalam skala super besar maupun super kecil, serupa dalam strukturnya. Kalau kita cermati, struktur di dunia atom dan struktur galaktik itu memiliki keserupaan. Di dalam suatu zat, ada zat yang lain. Keduanya berbeda dalam skala, tapi memiliki keserupaan struktur. Dalam yang makro ada yang meso, lalu mikro. Antara ketiganya ada keserupaan struktur. Itu ilmu Tuhan. Kita belum sampai ke situ. Tapi pengetahuan tentang fraktal mengarahkan kita ke situ. Jadi, ilmu matematika menceritakan keteraturan seperti itu, dan diterjemahkan ke dalam ilmu komputer. Dengan kerja keras, kawan­kawan kita di ITB membuat program komputer untuk meniru struktur matematis dari ombak, atau juga awan yang bentuknya super aneh. Bagaiman seni rupa masuk? Seni rupa mengandung ilmu tentang keindahan, keindahan alam. Matematika mempelajari struktur alam. Ketika dikombinasikan, hasilnya adalah struktur yang indah, atau keindahan struktur. Hasil ini kemudian dituangkan dalam bentuk motif batik. Maka lahirlah kesatuan antara matematika, ilmu komputer, seni rupa dan desain batik. Hasilnya adalah batik jenis baru: batik fraktal. Jadi, kawan­kawan kita di ITB dan kawan­kawan pebatik dari Cirebon berinteraksi dan bekerja sama. Nah, contoh ini menunjukkan bahwa kalau kita keluar dari sesuatu yang memerangkap kita, yang terjadi adalah pengayaan yang luar biasa. Bagi saya, cerita ini merupakan bukti yang nyata dari prinsip fortifikasi. Saya ikut terlibat di situ. Saya melakukan pengamatan, atau niteni. Saya mencoba memahaminya, iqro’­nya. Ini semua saya sudah lakukan bertahun­tahun. Nah, yang sekarang sedang saya upayakan, bagaimana prinsip fortifikasi ini dapat dipraktikkan meluas di masyarakat. Katakanlah, mulai dari saudara­saudara kita yang bertani. Secara turun­menurun kita diajarkan bahwa kalau pada satu musim tanam panennya dari dalam tanah, maka pada musim berikutnya panennya harus dari atas tanah. Di zaman dulu, setelah menanam kacang, pasti kacang panjang. Sehabis panen dari dalam tanah, panen berikutnya harus dari atas tanah. Kalau cara dulu dilakukan, ternyata terjadi pengayaan dari dalam tanah. Kesuburan di dalam tanah itu terjaga. Tapi sekarang orang sepertinya tidak mau lagi. Ada kecenderungan terseret oleh permintaaan pasar. Padahal pasar itu sendiri dinamis, dan permintaan pasar itu dapat kita kondisikan. Para pengusaha mengalokasikan dana yang besar untuk iklan­iklan. Ini merupakan langkah untuk mengkondisikan permintaan. Jadi, waktu permintaan akan jagung meningkat, semua orang berbondong­bondong menanam jagung. Tapi kita lupa bahwa langkah ini membuat pasokan kedelai terabaikan. Akhirnya pasokan kedelai terancam. Sekarang, orang berbondong­bondong menanam kedelai lagi. Kalau tidak hati­hati, akan terjadi kelebihan pasokan kedelai, dan harga kedelai bisa anjlok. ~0~
GM: Mungkin yang diperlukan itu pendekatan sosial­
budaya. Diperlukan agen penerjemah bagi masyarakat.
KK: Terima kasih, Pak, pemikiran kita saling bersambungan. Saya melihat, penerjemah yang efektif adalah para santri. Mengapa saya katakan ’penerjemah’? Kami, kalangan akademisi, kurang­lebih sama dengan para santri, dalam hal kegiatan belajar­mengajar, dan kajian­kajian. Bedanya kami tidak punya ’akar’ dalam budaya masyarakat. Kami ini ibaratnya jalan di awan.
GM: Itu yang selama ini saya impikan! Bagaimana kita bisa menghilangkan dikotomi antara kedua kalangan pengkaji tersebut. Kalangan yang satu bersumberkan ajaran­ajaran agama dalam kajian­kajiannya, kalangan yang lain berpegang pada metode kajian ilmiah. Tidak ada pertentangan yang hakiki antara keduanya. Mungkin pemerintah Hindia­Belanda yang menciptakan dikotomi itu? KK: Semakin menarik! Misalnya santri­santri Indonesia yang dikirim sekolah ke luar negeri, sering kali tidak hanya belajar tentang hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan. Banyak juga yang belajar tentang hubungan antara yang diciptakan dengan yang diciptakan. Misalnya, Ilmu Falak dahulu berkembang di kalangan agamis. Mengapa sekarang tidak? Apakah santri sekarang belajar ilmu falak? Tidak ada lagi. Pasti ada yang salah! Dulu juga kalangan agamis belajar matematika, kimia, kesehatan. Kita kenal nama­nama seperti Al­
jabr, Al­kimi, dan Ibnu Sina untuk bidang kesehatan.
GM: Karena ’mental pasar’ tadi, terlalu berorientasi permintaan pasar... .
KK: Tapi termasuk juga pesantrennya itu sendiri. Mengapa dari spektrum yang begitu luas, mereka menyempitkan diri, bahwa pesantren itu mempelajari hal­hal antara Pencipta dan yang diciptakan. Kita pikirkan hubungan vertikalnya saja, horizontalnya tidak ada. Ini yang saya lihat. Karena itu, saya beranikan diri main ke sekolahnya Kyai Hazim Muzhadi, di Malang. Saya mengusulkan kombinasi­kombinasi: santri di­
mahasiswa­kan, dan mahasiswa di­santrri­kan. Ini upaya­upaya untuk menggabungkan pendekatan vertikal dan pendekatan horizontal tadi. GM: Jadi, dikotomi itu sangat merugikan sekali! Sebetulnya itu perbedaaan antara fardu Ain dan fardu Kifayah, perbedaan antara ilmu dan agama. Nah, sekarang ini belum ada upaya yang baik untuk mengkombinasikan keduanya.
KK: Ternyata Gus Mus juga berpendapat begitu, ya. Saya makin yakin bahwa banyak pemikir­pemikir berpendapat seperti itu. ’Potret’­nya sudah ketemu. Lalu, apa upaya kita membuat perubahan? Kalau mau melangkah, ke arah mana? Sekali lagi, kita tidak ingin jalan pintas, atau pendekatan yang instan. Tapi bagaimana langkah­langkah menyeluruh yang perlu ditempuh agar ’potret’ tersebut berubah, menjadi potret yang kita inginkan bersama? Bagaimana tembok pemisah antara fardu Ain dan fardu Kifayah, antara ilmu dan agama, bisa menjadi lebih lunak, sehingga perbedaan menjadi sumber kekayaan, bukan sumber pertentangan?
GM: Ada upaya­upaya dari kalangan pesantren, dengan mengandalkan kekuatan potensi diri sendiri. Misalnya, ada pondok pesantren yang membuat sekolah umum (SD, SMP dan SMA) di dalam Pesantren, seperti yang ada di Krapyak. Tapi, ya sebatas itu. Bagaimana keberlanjutannya masih perlu dipikirkan. Jadi, jangan sampai juga santri yang sekolah di luar, ketika sampai ke jenjang yang lebih tinggi kesantriannya menjadi hilang
KK: Kita membutuhkan langkah­langkah konkret, Pak. Setiap tahun itu, dari kementerian riset dan teknologi maupun Depdiknas, ada skema Insentif Riset. Jadi, para periset mengajukan proposal riset dan berkompetisi untuk mendapatkan insentif pembiayaan. Sekarang ini, 100% yang mengajukan proposal itu dari perguruan tinggi dan lembaga riset. Padahal sejak awal tidak pernah dibatasi hanya untuk lembaga riset dan perguruan tinggi. Meski begitu, boleh dibilang tidak ada usulan yang masuk dari para santri. Yang saya perlukan, sebagai bagian dari Pemerintah, adalah uang yang kita belanjakan itu bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuk pertanggungjawaban itu adalah bahwa pengusul riset itu memiliki organisasi yang jelas. Jadi, penaggung jawab itu bukan individu, melainkan lembaga. Nah, di sini ada peluang yang saya berharap dapat dimanfaatkan oleh para santri. GM: Saya pikir, yang segera kita perlukan adalah penerjemah yang mempunyai wawasan dan pemikiran.
KK: Saya setuju. Jadi, penerjemah itu bukan hanya pada tingkatan konseptual, tapi sampai ke tingkatan operasional. Contoh, pertanian di Indonesia. Kita terjebak pada definisi pertanian yang sederhana, karena tidak cukup ada penyuluh. Penyuluh ini, sebetulnya seperti yang Bapak bilang tadi, merupakan perantara. Nah, penyuluhan itu secara struktural­
formal, memang diperankan oleh Departemen Pertanian. Tapi kita lupa bahwa santri­santri juga merupakan penyuluh­
penyuluh, yang keberadaan dan perannya sudah diterima oleh masyarakat. GM: Hanya saja, itu kan terjadi secara alamiah. Mereka itu bekerja berdasarkan pengalaman. Nah, kalau perkembangan mereka ditunjang betul, hasilnya akan lain. Jadi, PPL itu akan sangat bagus. KK: Betul Pak. Kalau PPL­nya ibarat ’jatuh dari langit,’ dia tidak ada daya tariknya. Itu yang saya katakan, sekarang relatif PPL itu seperti jatuh dari langit. Lulusan perguruan­perguruan tinggi itu seperti jatuh dari langit, ke masyarakat. Sementara di lingkungannya, mereka itu menjadi orang asing. Nah, pertanyaannya, bagaimana membangun silaturahminya. Saya melihat, mengapa kita tidak lakukan pendekatan yang lain? Mengapa tidak melibatkan mereka yang sudah berada di masyarakat? Lalu pendekatan­pendekatan itu kita kombinasikan. Banyak sekali hasil riset yang ’berhenti di laci.’ Sebaliknya, seperti yang Bapak katakan tadi, para santri itu sudah dapat berperan di masyarakat, hanya dengan menggali dari pengalaman mereka. Kalau kemudian dituliskan pengalaman­
pengalamannya, manfaatnya akan lebih besar dan meluas. Jadi, bagaimana good practices ini kita jadikan buku, sehingga pesan­
pesannya tersebar luas? GM: Kita bisa mulai dengan Program Warintek.
KK: Betul! Kecanggihan itu tidak harus dimulai dari yang canggih juga. Kecanggihan bisa tercapai bahkan dari hal­hal yang paling sederhana. Misalnya, bagaimana produktivitas kedelai kita itu bisa menyentuh angka 2 ton per­hektar? Bagaimana ini dicapai dengan belajar dari pengalaman sehari­
hari? Lalu, mengapa pertanian itu bergerak ke arah pangan saja? Jangan lupa, sumber­sumber nabati itu juga berguna untuk kesehatan, dan bahkan untuk energi. Coba lihat biji kesambi. Dulu dianggap buangan. Padahal kandungan minyaknya tinggi sekali. Bungur, kalau kita proses, menjadi energi.
GM: Tapi kadang­kadang penerjemah itu salah dalam berperan. Contohnya, baru saja terjadi, pesantren itu tiba­tiba menerima kiriman alat masak dan alat perikanan untuk nelayan, dari DKP. Ya ini semua tidak terpakai, karena tidak ada pelatihan dan pengembangan. KK: Nah, itu dia! Itu contoh bagaimana teknologi itu seperti ’dijatuhkan dari langit.’ GM: Silaturahmi, saya kira, merupakan upaya yang penting.
KK: Betul, silaturahmi besar, Pak. Kalau istilah Romo Mudji, live­in.
~0~
GM: Saya teringat akan waktu awal pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB). Program KB itu sukses sekali. Mula­
mula dilaksanakan pertemuan antara dokter dan kyai. Namanya Pertemuan Ulama Intelektual Terbatas, di Jakarta. Waktu itu, saya diundang bukan sebagai kyai, tapi sebagai juru bicara yang menjembatani ’bahasa dokter’ ke ’bahasa kyai,’ dan sebaliknya. Nah, itu menarik sekali. Banyak pertanyaan mengenai istilah kedokteran. Kemudian mereka mengatakan ini wajib, makruh, haram, berdasarkan pengetahuan yang betul­betul kelihatan. Mereka sudah tahu gambarannya, dan tidak menghukum sesuatu atas pijakan yang tidak jelas. Nah, ini contoh silaturahmi antara kalangan intelektual dan kalangan kyai.
KK: Sekiranya Gus Mus memimpin forum seperti itu, saya lebih senang. Mungkin dari skala yang kecil. Kalau dibolehkan saya akan berkunjung, menemui para santri untuk diskusi.
GM: Justru yang paling betul dengan para kyai. Santri mengikuti apa kata kyai. Yang penting, para kyai yang harus kenal dulu. Nah, ini kita ajak bersama­sama mensosialisasikan.
KK: Saya pernah mencoba untuk sekala kecil, ketika saya datang ke Malang. Dan saya lakukan juga di Ranca Bango, Garut, Pesantren 99. Beberapa kali saya berdiskusi dan berbagi pengalaman yang saya punya. Ternyata mereka juga ingin punya akses ke dunia informasi. Saya carikan solusinya. Saya menghubungi Telkom untuk membuka jalurnya, dan alatnya kami sediakan. Para santri­santri kemudian belajar menggunakan komputer, dan mulai menuliskan pengalamannya. Bukan hanya mereka ambil informasi dari luar, mereka juga menyumbangkan informasi ke dunia luar. Saya ingat, dulu pernah berdiskusi dengan seorang kyai yang saya panggil Gus Wahid. Waktu itu, baru saja peristiwa tsunami di Aceh. Saya sedang berpikir keras untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh Presiden SBY, yaitu membuat sistem peringatan dini tsunami dan gempa bumi. Saya bercerita ke beliau, dan yang membuat saya kagum, dia sanggup menceritakan dengan baik fenomena alam geologi dan fisika. Saya tanya, ”Bagaimana Gus bisa tahu?”. Jawab dia, ”Loh, Kus, di sinilah salahnya kita ini. Dulu saya dikirim ke Al­Azhar, untuk belajar ilmu falak. Ilmu falak itu bercabang­cabang. Ada yang ke udara, ke darat, dan ada yang ke bawah permukaan bumi. Saya dikirim untuk belajar yang ke bawah. Jadi saya bisa tahu. Yang kamu bilang ’the ring of fire,’ saya mengerti itu.” Saya bilang, ”Gus, yang seperti itu kok saya jarang dengar?” Jawab dia, ”Ya, seperti saya ini, dikerdilkan. Jadi kita ini dipojokkan. Yang namanya pesantren itu, hanya kamu saja yang mau mengakui perannya.” Saya bilang, “Kalau pun dianggap ‘orang gila,’ sudah biasa, kok. Mengapa harus takut? Teruskan saja!” Pesantren Gus Wahid ini unik. Muridnya tidak banyak, namun punya kelompok tani dan kelompok ternak. Beliau ini punya kemampuan membuat analogi­analogi secara sistematik, dan dengan cara ini bisa mencari yang ’dalam­dalam’. Gus Wahid mengatakan bahwa kalau panen padinya di bawah sembilan ton per hektar, berarti gagal. Sementara bagi kami, para periset, tidak mudah mencapai sembilan ton per hektar. Saya bertanya, ”Bagaimana caranya?” Beliau katakan, ”Sistem pengairan!” Ide tersebut saya sampaikan ke para periset. Dan mereka membangun sistemnya. Jadi, Gus Wahid mengatakan bahwa tanah itu adalah reaktor kimia yang alami. Dia akan berhenti sifat reaktornya itu, kalau digenangi air. Padahal, mana ada petani kita sekarang itu yang berani berproduksi kalau tanahnya tidak digenangi air? Nah, beliau mempraktikkan. Tanah diairi sebentar, lalu dikeringkan. Saya terapkan gagasan itu di Sukabumi, di Cianjur, dan sekarang di Padang. Lalu saya lemparkan gagasan itu ke seorang ahli teknik kimia. Saya lontarkan pertanyaan, apakah betul tanah itu bio­reaktor. Dia menguji gagasan tersebut. Hasilnya menimbulkan perdebatan. Nah, ini merupakan pengayaan, kan? Petikan Hikmah:
Transformasi Nilai dalam Inovasi
When all resources; food, wildlife, trees, fuel, are
destroyed,
man will not be able to eat money.
— Native American Proverb
I
novasi berkaitan dengan pengetahuan baru, cara­cara baru, yang membawa hasil yang lebih baik. ‘Kebaruan,’ ‘lebih baik’ atau ‘kurang baik’ menyangkut nilai­nilai (values). Jadi, inovasi berususan dengan pengetahuan dan cara­cara, tapi juga sekaligus berurusan dengan nilai­nilai. Membicarakan nilai­nilai berarti juga membicarakan subjek, yaitu manusia dan masyarakat, cara pandang atau perspektif yang dimiliki manusia atau kelompok­kelompok sosial di masyarakat. Inovasi sering melibatkan iptek yang baru, tapi juga melibatkan perubahan cara pandang dan perubahan sosial. Tema ini yang tampil ke permukaan dalam dialog bagian ke dua ini.
Keragaman Nilai-Nilai
Kalau kita tengok perusahaan­perusahaan swasta, kita akan lihat bahwa inovasi dibahas atau dicapai untuk tujuan yang terkait dengan persaingan pasar. Dalam konteks persaingan pasar, iptek baru yang dipandang bernilai adalah yang membuat perusahaan­perusahaan bertahan kompetitif. Misalnya, iptek baru yang bernilai adalah yang bisa menurunkan biaya produksi, atau menghasilkan produk yang berbeda dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan­perusahaan pesaing. Dalam situasi di mana monopoli dilarang, atau proteksi pemerintah tidak berlaku, maka maju atau tidaknya suatu perusahaan akan ditentukan dalam relasi persaingan antara perusahaan­
perusahaan. Tentu di sini perilaku dan keputusan konsumen juga berpengaruh.
Dari sudut pandang konsumen, apa­apa yang bernilai akan terkait dengan mutu produk, seperti aman, handal, ramah lingkungan, atau efisien dalam konsumsi energi. Mungkin saja terdapat perbedaan antara nilai yang dianut oleh produsen dan nilai yang dianut konsumen, atau juga antara konsumen­
konsumen itu sendiri. Bila nilai­nilai yang dianut produsen dan konsumen bertemu, terjadi transaksi melalui penetapan harga (price). Di sini harga mencerminkan pertemuan nilai­nilai, dan juga komitmen atas nilai­nilai. Tapi kalau daya beli konsumen itu rendah, kebebasan konsumen untuk memilih, menjadi terbatas. Atau kalau kesenjangan sosial­ekonomik sangat lebar, produsen­produsen mungkin menjalankan strategi bersaing dengan ‘membanting harga,’ untuk memikat kalangan konsumen berdaya beli rendah. Dalam kasus­kasus seperti ini harga tidak lagi mencerminkan komitmen atas nilai­nilai. Dalam penyelenggaraan layanan publik, di berbagai sektor, terdapat nilai­nilai sosial yang terkait dengan perubahan keadaan masyarakat seperti sejahtera, hidup sehat dan bersih, aman, mandiri, dan lain­lain. Dari sudut pendang penyelenggara, yakni pemerintah, ketercapaian sasaran program merupakan hal yang penting. Jadi, semakin metode perencanaan program itu memberikan konsistensi antara sasaran dan hasil, semakin metode itu dianggap inovatif. Nilai­nilai yang dianut peyelenggara layanan publik dan yang dianut pelaku bisnis mungkin saja berbeda. Bagi pelaku bisnis, regulasi yang diinginkan adalah yang bisa merespons dinamika persaingan pasar. Bagi pembuat regulator, mungkin saja yang penting adalah regulasi yang memudahkan pengawasan. Bagi pelaku bisnis, perubahan regulasi yang terlalu sering akan mempersulit kalkulasi­kalkulasi bisnis. Tapi dari sisi pemerintah, regulasi itu mengikuti kebijakan, yang sering dipengaruhi oleh dinamika politik. Dari sudut pandang masyarakat sipil (civil society), transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat merupakan hal­hal yang dipandang berharga. Akuntabilitas dari layanan publik yang bersumber dana dari pajak akan meningkatkan kredibilitas dari pemerintah. Kredibilitas ini dipandang penting untuk menumbuhkan dukungan dan partisipasi dari masyarakat, dalam kegiatan penyelenggaraan layanan publik.
Bagi para akademisi, efisiensi atau akuntabilitas yang utama. Tapi orisinalitas akademik, atau kebaruan yang ilmiah dan orisinal. Bahwa untuk mencapai ini dikeluarkan biaya riset yang besar, atau bahwa hasil risetnya belum bisa dengan mudah dipahami masyarakat luas, bukan hal yang mengkhawatirkan para akademisi. Selain nilai ekonomik, nilai akadmik, dan nilai sosial, juga terdapat nilai lingkungan. Misalnya, berbagai mineral, minyak dan gas, dan keanekaragaman hayati yang ada di Nusantara, merupakan sumber daya alam (SDA). Tapi apakah nilai dari SDA ini? Apakah nilai ekonomik? Atau nilai keberlanjutan (sustainability value) karena SDA itu juga penopang kehidupan generasi masa depan? Atau nilai pengetahuan, karena eksplorasi terhadap SDA itu juga menghasilkan pengetahuan? Nilai lingkungan dari SDA tampaknya mencakup semua ini. Jadi, SDA itu berharga karena dapat menjadi sumber daya ekonomik, sumber daya penopang keberlanjutan bangsa, dan sekaligus juga sumber pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam dan teknologi itu akan berkembang ketika kita menjalin hubungan yang bersifat intelektual, kreatif dan harmonis dengan alam di lingkungan kita hidup. Tapi kalau kita melihat alam hanya sebagai sumber daya ekonomik, ini akan memacu eksploitasi alam yang bisa berdampak kehancuran lingkungan hidup kita. Di masa lalu, periode 1970­an, minyak bumi kita relatif lebih banyak daripada rupiah kita. Makna ekonomik dari minyak bumi menjadi dominan. Kita lupa bahwa minyak bumi itu juga sumber energi, dan memiliki nilai lingkungan. Ketika, sekarang, ketersediaan pasokan minyak bumi berkurang, barulah makna energi dari minyak bumi menjadi signifikan. Kita mulai menyadari arti penting dari sumber­sumber energi, lebih dari sebatas nilai ekonomiknya. Tanpa energi, masyarakat menjadi lumpuh, ekonomi lumpuh, meski modal masih ada. Diskusi ini dimaksudkan untuk mengilustrasikan bahwa dalam proses inovasi dapat terlibat keragaman nilai­nilai. Ketika pelaku bisnis dan akademisi terlibat dalam proses inovasi, mungkin terjadi perbedaan nilai­nilai. Begitu juga dalam kemitraan antara pemerintah dan pelaku swasta, mungkin terjadi perbedaan nilai­nilai. Dalam upaya menjalin hubungan A­B­G, keragaman nilai­nilai makin tinggi. Nilai terkait erat dengan motif, dan motif mempengaruhi komitmen dan derajat upaya yang dikerahkan. Seseorang mengerjakan sesuatu, karena menginginkan hasil langsung, atau tidak langsung, dari pekerjaannya itu. Hasil itu diinginkan karena dipandang bernilai, atau berharga. Dengan perkataan lain, orang itu bekerja dengan motif, yaitu mendapatkan hasil yang dia pandang bernilai. Semakin tinggi nilai dari hasil tersebut, akan semakin tinggi komitmen dan upaya yang dikerahkan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah nilai­nilai yang perlu diangkat dalam proses inovasi yang melibatkan jalinan A­
B­G? Kalau hanya nilai ekonomik yang diangkat, apakah para akademisi dan pembuat regulasi akan termotivasi untuk terlibat? Atau, kalau hanya good governance yang diangkat, apakah nilai ini relevan dengan apa­apa yang diinginkan oleh akademisi dan pelaku bisnis? Persandingan Nilai-Nilai
Diskusi di atas menyarankan bahwa dalam suatu proses inovasi diperlukan persandingan nilai­nilai yang berbeda, sehingga memicu motivasi dari berbagai pelaku yang terlibat dalam proses tersebut. Nilai ekonomik memang sangat penting bagi pelaku bisnis. Tapi nilai ekonomik saja tidak memadai untuk memotivasi akademisi dan pemerintah untuk terlibat dalam jalinan A­B­G. Para akademisi akan lebih senang bermitra dengan pelaku bisnis, bila para pelaku bisnis mengedepankan strategi pengembangan produk atau diferensiasi produk dalam persaingan mereka. Strategi ini akan membuka ruang bagi para akademisi untuk menawarkan pilihan­pilihan iptek. Para pembuat regulasi mungkin akan lebih termotivasi untuk mengembangkan regulasi, kalau komoditas yang dihasilkan para produsen itu terbukti sesuai dengan misi sosial pemerintah.
Para pelaku bisnis mungkin tidak akan menghargai riset iptek, bila hanya orisinalitas dan kecanggihan yang dibicarakan oleh periset. Mereka ingin melihat apakah hasil riset itu memiliki implikasi ekonomik atau tidak. Sebaliknya juga begitu. Para akademisi tidak tertarik jika melulu profit dari penggunaan iptek yang dibicarakan. Pemerintah dan pelaku usaha mungkin sama­sama berbicara tentang pertumbuhan ekonomik. Tapi belum tentu mereka membicarakan aspek yang sama. Bagi pelaku usaha, mungkin yang penting adalah perluasan pasar. Bagi pemerintah, dampak pada pengentasan kemiskinan yang ingin dilihat. Persaingan antara pelaku bisnis dalam mekanisme pasar belum tentu menghela perkembangan iptek. Sebaliknya, intensitas kegiatan riset di kampus belum tentu memberikan hasil­hasil yang berpotensi untuk dikomersialkan. Regulasi­
regulasi yang dibuat pemerintah belum tentu sesuai dengan dinamika persaingan pasar, dan sebaliknya strategi persaingan yang diterapkan pelaku bisnis belum tentu sesuai dengan misi sosial yang diemban pemerintah. Jadi, untuk menstimulasi motivasi dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses inovasi, beragam nilai yang relevan perlu diangkat dan dibicarakan. Nilai­nilai ini dipersandingkan, dan saling diterjemahkan satu ke dalam yang lain. Sebagai ilustrasi, mungkin bukan regulasi yang pro­bisnis saja yang perlu dibicarakan. Tapi juga regulasi yang pro­komersialisasi iptek, pro­lingkungan, dan sekaligus mencerminkan akuntabilitas. Mengenai iptek, bukan sebatas orisinalitas dan kecanggihan yang perlu dibahas. Tapi juga implikasinya pada persaingan antara perusahaan­perusahaan dan juga pada pengentasan kemiskinan. Dalam persaingan pasar, hanya profit yang ditekankan, tapi juga mutu produk yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan misi pemerintah. Apresiasi atas Kapabilitas Inovasi
‘Cinta produk dalam negeri’ merupakan sebuah nilai yang penting. Telah lama slogan ini dikumandangkan oleh bangsa Indonesia. Tapi kalau hanya dilihat dari nilai ekonomik, produk dalam negeri belum tentu berharga. Dari sisi kecanggihan iptek juga belum tentu berharga. Bagi konsumen pun belum tentu produk dalam negeri itu menawarkan mutu yang mereka harapkan. Sebagai sebuah nilai, ‘cinta produk dalam negeri’ memang tidak mudah diapresiasi. Mungkin yang lebih bermakna bukan ‘cinta produk dalam negeri,’ tapi ‘cinta kapabilitas bangsa.’ Jadi, yang perlu distimulasi bukan kecintaan pada produk, tapi kecintaan pada proses dan kapabilitas untuk menghasilkan produk. Dengan kapabilitas bangsa yang tinggi, produk­produk nasional yang berdaya saing akan dihasilkan. Banyak bangsa­bangsa di dunia yang membanggakan kapabilitas mereka masing­masing. Jepang, Cina, dan bahkan India membanggakan kapabilitas bangsa mereka. Di negara­
negara mereka, pemerintah, pelaku bisnis dan akademisi berpuaya menjalin hubungan­hubungan yang membangun kapabilitas inovasi. Mereka terus­menerus bereksperimen untuk mendapatkan bentuk jalinan A­B­G yang lebih cocok.
Jepang sudah mulai membangun kapabilitas inovasi mereka sejak di masa Restorasi Meiji, di awal abad ke­19. Mereka memiliki institusi dan iptek tradisional. Ketika melakukan impor iptek dan model­model kepranataan dari negara­negara Barat, ini disertai dengan upaya­upaya untuk mengintegrasikan produk impor dengan produk tradisional. Langkah ini menghasilkan iptek dan kepranataan inovasi yang unggul dan khas Jepang. Cina pun melakukan eksperimen­eksperimen untuk membangun kapabilitas inovasi mereka, terutama sejak awal 1970­an.
Transformasi Nilai lewat Live-In
Dalam dialog terdahulu, dikemukakan sebuah cara yang dapat ditempuh untuk memulai transformasi nilai­nilai, yaitu dengan membiasakan praktik live­in. Ini merupakan suatu praktik di mana para ilmuwan, teknolog, entrepreneur, petani, nelayan, pembuat regulasi, para agamawan, dan warga negara yang lain, bertemu dan berinteraksi dalam suatu aktivitas bersama, saling memaknai perbedaan, dan menerjemahkan nilai­
nilai. Praktik live­in dapat dikembangkan untuk berbagai fase kegiatan, dan dalam skala yang berbeda. Yang paling sederhana adalah dalam bentuk serupa KELOMPENCAPIR. Hanya saja, bukan saja pemerintah daerah dan petani yang terlibat. Tapi juga pengusaha UKM, akademisi dari perguruan tinggi lokal, para santri, dan juga LSM­LSM. Dalam implementasi program bio­
energi, misalnya, praktik live­in mungkin diterapkan. Di sini para periset bioenergi, pengusaha UKM, petani energi, dan tokoh­tokoh masyarakat dapat saling bertukar pandangan, dan pengetahuan. Program Tsunami Drill yang sudah dilaksanakan di Bali, dan akan diimplementasikan di daerah­daerah lain, sudah memiliki karakter live­in. Hanya saja, penting untuk terlibat pelaku lokal yang membawa tradisi pengetahuan tradisional. Dengan begitu, mitigasi bencana dapat dibahas dengan mengkombinasikan pengetahuan modern dan pengetahuan indigenous. Kuliah kerja nyata (KKN) juga merupakan bentuk live­in yang sudah lama dikenal. Hanya saja perlu pengembangan dalam bentuknya. Misalnya, dapat dikembangkan agenda bersama antara perguruan tinggi, pemerintah setempat, asosiasi usaha setempat, dan unsur­unsur lainnya. Jadi, ada tujuan dan arah bersama yang dirumuskan. KKN dapat dilaksanakan secara bertahap, mulai dari mengenali masalah, mengidentifikasi peluan­peluang, dan diakhiri dengan penyusunan skripsi, tesis atau disertasi. Para praktisi dapat terlibat di sini. Jadi, KKN diperbarui bentuknya, lebih interaktif, lebih nyata, dan lebih terencana dengan disertai sasaran bersama. Dapat dipikirkan juga berbagai bentuk forum interaksi dengan komposisi partisipan yang majemuk. Misalnya, perencanaan ekonomi daerah, perencanaan pengembangan usaha dan agenda akademik dibahas dalam sebuah forum yang melibatkan Bapeda, Kadinda, dan perguruan­perguruan tinggi. LSM dan tokoh­tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan. Melalui forum ini, perbedaan­perbedaan cara pandang akan dikenali. Memang belum tentu akan dihasilkan kesepakatan. Yang diperlukan bukan kesamaan persepsi, namun pemahaman akan perbedaan. Dengan begitu, masing­masing pihak dapat mencoba untuk saling menyelaraskan. Masih banyak bentuk­bentuk praktik live­in yang dapat dipikirkan. Jadi, melalui praktik live­in, para pelaku bisnis dapat melihat apa makna sumber daya alam komunitas lokal; pembuat kebijakan dapat merasakan arti penting kepastian hukum bagi pengusaha; akademisi dapat melihat makna efisiensi dalam dunia bisnis; para pelaku usaha dapat melihat makna dari sebuah iptek yang orisinal. Dengan membiasakan praktik live­in, kita akan memahami dan memaknai perbedaan nilai­nilai. Ini membuka peluang untuk mempersandingkan nilai­nilai, menerjemahkan satu ke dalam yang lain. Dan kalau ini berhasil, nilai­nilai bersama akan terangkat, tujuan bersama akan terumuskan, dan komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama akan semakin kuat. Pada dasarnya, praktik live­in merupakan praktik kultural. Yang ditekankan di sini adalah makna, nilai, cara pandang dan perubahan cara pandang. Yang dituju melalui praktik live­in adalah transformasi kultural, bukan perubahan struktural. Proses seperti ini akan memacu pengembangan­pengembangan yang sifatnya endogen, yakni pengembangan­pengembangan bermakna yang didorong oleh motif kolektif. Hal ini berbeda dari kegiatan pengembangan yang mekanistik, yang mendapat tekanan dari faktor­faktor eksternal. Kebudayaan sebuah bangsa berkembang melalui proses endogen, meski juga tidak terlepas dari pengaruh luar. Kebudayaan memberikan daya tahan bangsa terhadap gangguan­gangguan eksternal. Dan kapabilitas inovasi yang berdaya tahan adalah kapabilitas inovasi yang berakar pada kebudayaan.
Anggota
Legislasi
Pelaku
Lingkungan
Periset
Perencana
Daerah
Anggota
Legislasi
LSM
Keragaman nilai,
tujuan, kaidah
praktis,
pengetahuan
Tetua
Lokal
Investor
Pelaku
Ventura
Mahasiswa
Petani/Teknisi
Pelaku
Lingkungan
Periset
Perencana
Daerah
LSM
- Tujuan
Bersama
- Nilai Bersama
- Komposisi
Peran
Tetua
Lokal
Investor
Pelaku
Ventura
Mahasiswa
Petani/Teknisi
Gambar 6. Ilustrasi mengenai Praktik Live-In dalam
Membangun Kapabilitas Inovasi Masyarakat.
The history of man is a graveyard of great cultures that
came to catastrophic ends because of their incapacity for
planned, rational, voluntary reaction to challenge.
— Erich Fromm; Ahli Psikologi
EPILOG
MEMILIH RUTE INOVASI
D
ari serangkaian dialog dan diskusi di bagian terdahulu, dapat disimpulkan sejumlah gagasan berkenaan iptek, inovasi, dan jalinan hubungan A­B­G. Pertama, daya saing perusahaan­perusahaan, efektivitas program­program layanan publik (yang melibatkan iptek), dan produktivitas lembaga­lembaga riset (termasuk perguruan­
perguruan tinggi) mencerminkan kapabilitas inovasi nasional sebuah masyarakat. Perusahaan­perusahaan, lembaga­lembaga pemerintahan, perguruan­perguruan tinggi, meskipun memiliki perbedaan­perbedaan kerangka kerja, tidak terisolasi satu dari yang lain. Hubungan­hubungan antara mereka dapat menimbulkan efek saling memperkuat (kapabilitas inovasi yang tinggi), atau saling memperlemah (kapabilitas inovasi yang rendah). Unsur­unsur sistem ini terdiri atas pelaku­pelaku A, B, dan G sebagai penggerak atau inisiator, dan komponen­
komponen masyarakat sipil seperti kelompok aktivis, LSM, kelompok­kelompok tradisional sebagai mediator dan pengendali arah.
Ke dua, kapabilitas inovasi yang tinggi dihasilkan melalui interaksi, dan pembelajaran dengan menggali sumber­sumber dari interaksi tersebut. Melalui interaksi dan pembelajaran ini, kegiatan produksi iptek, penyebaran dan pemanfaatannya berlangsung dalam suatu kesatuan arah dan tujuan. Bagi sebuah bangsa, kapabilitas inovasi merupakan sifat intrinsik yang berkembang melalui proses dari dalam (from within), didorong oleh motif bersama dan keputusan kolektif.
Ke tiga, perkembangan iptek di sebuah bangsa terpaut erat dengan kemajuan bangsa, seperti yang dipercayai penganut pandangan instrumentalis. Tapi ini bukan berarti iptek menimbulkan perubahan dan kemajuan. Perkembangan iptek menimbulkan kemajuan kalau itu disertai dengan berbagai langkah untuk membangun kapabilitas inovasi. Dengan perkataan lain, bukan kemajuan iptek yang menjadi tolok ukur kemajuan, tapi tingkat kapabilitas inovasi nasional.
Ke empat, pelaku­pelaku yang terlibat dalam sebuah sistem inovasi pada dasarnya saling berbeda satu dari yang lain. Heterogenitas pelaku­pelaku ini justru menyediakan sumber­
sumber pembelajaran yang penting untuk membangun kapabilitas inovasi. Tapi heterogenitas pelaku­pelaku inovasi berimplikasi adanya keragaman nilai­nilai. Oleh karena ini, proses membangun kapabilitas inovasi melibatkan transformasi nilai­nilai—proses kultural. Dalam proses kultural ini, nilai­nilai yang beragam tersebut ini dipesandingkan, bukan dipertentangkan, dan saling diterjemahkan satu ke dalam yang lain. Ke lima, mengenai kapabilitas inovasi bangsa Indonesia, interaksi antara pelaku­pelaku inovasi masih terbatas intensitasnya, dan ini membawa implikasi pada kapabilitas inovasi nasional yang tercermin pada daya saing industri nasional, dan produktivitas lembaga­lembaga riset. Sebuah faktor yang menghambat tumbuhnya kapabilias inovasi nasional Indonesia adalah berbagai bentuk pengaruh asing. Efeknya adalah para pelaku A, B, G nasional terikat pada pelaku­pelaku asing, dan terisolasi datu dari yang lain. Lalu pertanyaan kita sekarang adalah: bagaimana kita mulai melangkah untuk membangun kapabilitas inovasi nasional? Apa resep­resep yang dapat kita pegang sebagai panduan praktis? Sebelum membahas pertanyaan­pertanyaan ini, berikut ini mari kita tengok langkah­langkah yang ditempuh negara­negara lain, yang menghasilkan kekuatan kapabilitas inovasi nasional. Khususnya akan didiskusikan lintasan inovasi di Amerika Serikat (AS) dan Cina. Kedua negara tersebut dipilih di sini, karena lintasan­
lintasan inovasi mereka memperlihatkan pola yang berbeda secara mencolok, dan sekaligus mengandung persamaan. Kedua negara tersebut banyak perbedaannya dengan Indonesia, terutama dalam hal kebudayaan dan struktur sosial masyarakat. Namun juga terdapat kesamaan, yakni dalam besarnya populasi penduduk, dan berlimpahnya sumber daya alam. Yang akan didiskusikan adalam lintasan inovasi AS pada periode 1900 sampai pasca 1990­an, dan Cina pada periode 1970 sampai 1990­an, di mana terjadi perubahan­perubahan yang signifikan. Diskusi berikut ini didasarkan pada hasil­hasil kajian oleh sejumlah periset di bidang inovasi, terutama hasil­
hasil kajian Nelson (1993), Mowery (1998), Lee (1997), dan Etzkowitz (2007). Mengenai lintasan inovasi di Indonesia, dapat ditengok pembahasan yang menyeluruh dalam Thee (1994). Faktor Tarikan Pasar di AS
Lintasan inovasi di Amerika Serikat (AS), terutama di era pasca Perang Dunia II, sering dirujuk sebagai model inovasi, di mana kemajuan ekonomi dan kemajuan iptek saling terkait dan saling memperkuat. Lintasan inovasi di Brazil, India dan Cina dalam dekade terakhir juga memperlihatkan karakteristik yang serupa—iptek, ekonomi dan institusi­institusi sosial mengalami perkembangan dalam arah­arah yang konvergen. Mereka yang mempelajari lintasan inovasi di AS bersepakat bahwa ada tiga faktor yang membentuk lintasan tersebut: sumber daya alam yang berlimpah; pasar domestik yang berukuran besar; dan tradisi berdagang/berusaha yang dipraktikkan meluas di masyarakat AS. Terpeliharanya tradisi berdagang ini berkaitan dengan proses kelahiran bangsa AS, yang mayoritas berasal dari negara­negara Eropa. Para imigran dari Eropa itu banyak yang hidup sebagai pedagang, dan menimbulkan struktur sosial yang relatif datar, tidak hirarkis. Ini membedakan AS dari negara­negara Eropa dan Cina yang pernah memiliki kerajaan atau dinasti yang kuat, didominasi oleh kalangan bangsawan, yang menghasilkan struktur sosial hirarkis. Sampai di akhir abad ke­19 (awal abad ke­20), populasi penduduk AS yang besar dengan tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi dan merata, menyediakan ‘lahan yang subur’ bagi aktivitas usaha. Para pengusaha di AS, kebanyakan usaha kecil dan menengah, menggali dan memanfaatkan kekayaan alam untuk memasok barang­barang yang dibutuhkan oleh konsumen domestik. Dalam pengembangan bisnis, para insinyur dan teknisi di industri­industri cukup mengandalkan ketrampilan mekanik untuk melakukan perbaikan­perbaikan produksi secara trial­error, inkremental dan kumulatif. Proses manufaktur di industri­indsutri mengikuti pola Fordian—produksi berskala massal disertai dengan pembagian kerja (spesialisasi) secara ketat. Selain ini, sebaran geografis dari populasi domestik AS memacu pengembangan teknologi infrastruktur dan transportasi. Kesemua faktor­faktor ini mampu mengangkat kesejahteraan secara relatif merata, tanpa mengandalkan riset­riset ilmiah. Penyerapan iptek ke dalam industri­industri AS baru mulai terjadi di awal abad ke­20, sebelum Perang Dunia I. Ini dipicu oleh konflik antara para pengusaha, dikarenakan meluasnya praktik­praktik kartel. Meluasnya konflik mendesak Pemerintah Federal untuk mengeluarkan kebijakan antitrust, yang melarang praktik­praktik kartel tersebut. Perusahaan­perusahaan AS akhirnya mencari strategi persaingan yang baru, dan mulai mencoba langkah­langkah diferensiasi produk. Mereka mulai menengok hasil­hasil riset iptek untuk digunakan dalam diferensiasi produk. Sampai sekitar awal 1940­an, riset dan pengembangan produk di industri­industri AS masih berpola ‘pinjam dan komersialisasi’ (borrowing dan commercializing). Sumber­
sumber iptek seperti mesin bakar, kimia organik dan polimer, serta pesawat jet komersial semuanya berasal dari hasil­hasil riset di Eropa. Para pengusaha AS meminjam hasil­hasil riset ini, dan juga menyewa para periset dari Eropa untuk melakukan modifikasi secara berangsur­angsur, untuk tujuan komersial. Pada masa itu, kesejahteraan masyarakat Eropa pada umumnya jauh di bawah masyarakat AS, meski iptek di Eropa jauh lebih maju.
Salah satu contohnya adalah proses Haber­Bosch, yang dapat mengubah nitrogen di atmosfer menjadi pupuk yang berlimpah. Teknologi ini semula dikembangkan oleh para ilmuwan Jerman. Teknologi ini diadopsi oleh insinyur­insinyur industri di AS, dan setelah menempuh waktu yang panjang akhirnya berhasil dikomersialkan. Para insinyur kimia dan mekanik di industri­industri AS juga berhasil mengubah minyak bumi, yang tadinya hanya untuk sumber penerangan, menjadi sumber ekonomik yang luar biasa dalam sektor transportasi dan sektor industri tekstil.
Ketika upaya komersialisasi hasil riset mulai menunjukkan hasil, berkembanglah riset in­house dalam perusahan­
perusahaan, yang kemudian melahirkan gagasan tentang ‘laboratoria industrial.’ Perguruan­perguruan tinggi (terutama MIT dan universitas Stanford) mulai terlibat dalam memasok hasil riset untuk perusahaan swasta. Relevansi antara riset di perguruan tinggi dan riset industrial mulai meningkat. Kegiatan­
kegiatan riset akademik berorientasi sepenuhnya terapan. Jadi, misi utama dari laboratoria di perguruan tinggi adalah mengeksplotiasi pengetahuan akademik untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan kehandalan prosduk, atau mengembangkan desain produk yang baru. Ketika muncul permasalahan teknis di industri yang memiliki potensi ekonomik, hal ini menjadi sumber inspirasi bagi para periset di perguruan tinggi. Misalnya, dalam bidang fisika keadaan padat (solid state physics), perkembangan yang pesat dipicu oleh penemuan transistor pada 1947, yang mendemonstasikan manfaat ekonomik yang tinggi. Sejak itu makin banyak ilmuwan yang memfokuskan riset mereka di bidang fisika keadaan padat. Penyerapan iptek ke dalam industri­industri menyediakan sumber­sumber daya iptek dan infrastruktur iptek, yang menjadi basis bagi kapabilitas inovasi nasional AS. Tapi langkah­
langkah besar untuk membangun kapabilitas nasional baru ditempuh AS di era pasca Perang Dunia (pasca 1945). Di era ini, dikenal juga sebagai era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, Pemerintah Federal AS melakukan investasi yang besar dalam program­program riset, pengembangan infrastruktur riset dan transformasi institusi­institusi riset. Langkah­langkah ini didominasi oleh kepentingan pertahanan. Salah satu hasil penting dari tumbuhnya kapabilitas inovasi ini adalah lahirnya ‘perguruan­perguruan tinggi riset,’ serta perkembangan iptek fundamental yang sangat pesat. Namun demikian, langkah­langkah besar yang ditempuh Pemerintah Federal AS tersebut menimbulkan efek bumerang. Ketika perkembangan iptek dan industri­industri digiring ke arah kepentingan pertahanan, ini menimbulkan kesenjangan antara perkembangan iptek dan pertumbuhan ekonomi. Ketika Perang Dingin berakhir (pada tahun 1989), kebijakan iptek Pemerintah Federal mendapat kritik dari banyak pihak, karena dinilai tidak membawa benefit sosial dan ekonomik yang berarti, sementara menyedot sangat besar dana yang bersumber dari pajak. Persaingan
Industri
Global
Misi Negara
Perang
Dingin
Dorongan
Kebijakan
Tarikan
Pasar
Perang
Dunia II
… ­ 1940
Kepentingan Swasta
Gambar 7. Lintasan Inovasi di AS: Perimbangan antara
Tarikan Pasar, Kepentingan Swasta dan Misi Negara.
Di awal 1990­an, Pemerintah Federal AS menggeser arah riset iptek nasional ke arah komersialisasi iptek dan peningkatan daya saing industri, dengan penekanan pada bidang komunikasi dan perangkat lunak. Di saat itu, para pelaku industri AS menghadapi pesaing­pesaing kuat dari Jepang, yang telah menyerbu pasar domestik AS dengan produk­produk elektronika dan perangkat lunak. Faktor Dorongan Misi di Cina
Lintasan inovasi di Cina berbeda secara mencolok dari AS, dan hal ini tidak terlepas dari perbedaan struktur sosial dan kebudayaan masyarakat di kedua negara besar tersebut. Cina, seperti juga AS, memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan berpopulasi besar. Bangsa Cina, dalam perjalanan sejarahnya, pernah menjadi salah satu pusat peradaban dunia, dan pernah memiliki dinasti­dinasti yang besar dan sangat kuat. Pada awal 1970­an, pemerintah negara ‘Tirai Bambu’ ini telah bereksperimen dengan kebijakan­kebijakan untuk memacu perkembangan iptek, untuk tujuan peningkatan kualitas kehidupan sosial. Seorang tokoh reformis di masa itu, Deng Xiaoping, berargumen bahwa:
“Profound changes have taken place and new leaps have been made in almost all areas. A whole new range of new sciences and technologies is continuously emerging. “ Langkah­langkah yang ditempuh Pemerintah Cina adalah, antara lain, melakukan impor iptek dari negara­negara Barat untuk tujuan merenovasi perusahaan­perusahaan milik negara. Penanaman modal asing dirangsang untuk masuk ke Cina, tapi dengan batasan­batasan yang ditentukan oleh Pemerintah Cina. Salah satu program pemerintah untuk mendorong proses inovasi adalah yang dikenal dengan Torch Plan, yang mencakup pengembangan kawasan­kawasan high­technology. Dalam kawasan itu didirikan perguruan­perguruan tinggi dan perusahaan­perusahaan high­technology, yang menggabungkan riset, pendidikan dan produksi industrial. Para pelaku utama dalam proses inovasi tersebut adalah perusahaan milik negara (BUMN), perguruan tinggi, dan lembaga riset pemerintah. Meski ekonomi Cina di masa itu sudah terbuka terhadap korporat multinasional (Multinational Corporation; MNC), tapi peran MNC di pasar domestik dibatasi, dengan cara diharuskan bermitra dengan BUMN Cina. Tapi strategi ini tidak sukses, bila diukur dalam jumlah produk yang dihasilkan. Hubungan antara institusi riset dan perusahaan swasta juga tidak berkembang. Meski muncul sejumlah industial parks, tapi hanya sedikit perusahaan swasta yang berpartisipasi di situ. Pemerintah Cina pun mengubah kebijakannya, dengan mengurangi kendali pemerintah pusat, serta lebih terbuka terhadap penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment, FDI). Sebagai gantinya, pada awal 1990­an pemerintah meminta perusahaan­perusahaan swasta Cina untuk melakukan alih teknologi, dan mengupayakan peningkatan kapabilitas teknologi. Perusahaan­perusahaan swasta didorong untuk melakukan pengembangan produk, dengan berbasiskan riset iptek yang berorientasikan persaingan pasar. Bermunculan kemudian perusahaan­perusahaan non­pemerintah yang didirikan oleh para individual yang berasal dari perguruan tinggi, dengan kepemilikan secara bersama antara publik dan swasta. Di tahun 1995, Partai Komunis mempertegas arah kebijakan nasional dan memutuskan untuk mempercepat pengembangan iptek. Dalam kebijakan yang baru ini, pengembangan riset fundamental menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan pengembangan teknologi terapan diserahkan ke para pelaku pasar (Cina) dan pemerintah­pemerintah propinsi. Perhatian pada perusahaan kecil dan menengah mulai meningkat. Pengembangan industrial parks juga bergeser ke arah yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan­perusahaan kecil dan menengah. Sejumlah pusat­pusat inkubasi membentuk modal ventura untuk perusahaan yang kecil, dan membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman bank. Meski sukses dalam merangsang pertumbuhan perusahaan­
perusahaan berbasis iptek, muncul persoalan baru yang signifikan. Program akuisisi teknologi lewat FDI justru menimbulkan dominasi pasar domestik oleh perusahaan­
perusahaan multinasional. Di banyak sektor, para MNC bergerak jauh lebih agresif dan meraih posisi pasar yang kuat, serta mempertahankan kendali atas kepemilikan teknologi. Cina tidak mendapatkan benefit dalam bentuk alih teknologi. Pemerintah Cina menghadapi dilema. Ekonomi mereka telah makin terbuka terhadap investasi asing dan, dalam artian ini, berayun ke ujung ekstrim dari ekonomi terpusat (dkendalikan oleh pemerintah), ke arah yang lebih liberal. Namun penanaman modal langsung tidak membawa spillover dalam bentuk alih teknologi, yang semula ini diharapkan oleh pemerintah Cina. Peningkatan investasi asing tidak menghela adopsi dan difusi teknologi. Menyikapi ini semua, pemerintah Cina mengubah kebijakannya lagi, dan penekanannya kali ini berorientasi keluar dan berorientasi domestik sekaligus. Pemerintah Cina mengubah kebijakannya, dengan memberikan peranan pada perusahaan swasta domestik (swasta Cina) untuk mengembangkan iptek. Pemerintah Cina melihat bahwa perkembangan teknologi tidak bisa didorong melalui monopoli perusahaan milik negara, tapi juga tidak bisa dihela melalui penanaman modal asing dan alih teknologi. Dalam reformasi kali ini, pemerintah Cina lebih memprioritaskan dukungannya pada perusahaan­perusahaan kecil dan menengah, terutama perusahaan­perusahaan yang mengupayakan pengembangan iptek untuk bersaing. Termasuk ke dalam kategori ini adalah perusahaan­perusahaan baru yang merupakan spin­off dari aktivitas riset di perguruan tinggi dan di lembaga riset. Pemerintah Cina melakukan reformasi di sektor pajak dan perbankan, sehingga menjadi kondusif bagi persaingan domestik antara perusahaan­perusahaan tersebut. Pemerintah Cina tidak lagi melihat perusahaan swasta (Cina) sebagai ‘lawan’ dari perusahaan negara. Sebaliknya, pemerintah memperlakukan perusahaan swasta sebagai ‘perusahaan nasional,’ yang dinilai turut memperjuangkan kepentingan nasional, yaitu bersaing menghadapi perusahaan­perusahaan asing.
Misi Negara
1970­an
Reformasi
Partai
Komunis
Dorongan
Pemerintah
1990 akhir
Era Swasta
Nasional
Awal 1990­an
Ekonomi
Terbuka
Tarikan
Pasar
Kepentingan
Swasta
Gambar 8. Lintasan Inovasi di Cina: Perimbangan antara
Dorongan Pemerintah, Kepentingan Swasta dan Misi Negara.
Pemerintah Cina memberikan dukungan dalam berbagai bentuk deregulasi bagi perusahaan­perusahaan swasta domestik, yang melibatkan iptek dalam persaingan mereka. Berbagai langkah pun ditempuh, seperti: penyediaan dana bagi perusahaan (kecil dan menengah) yang melakukan pengembangan iptek; pemberian prioritas pada produk­produk (iptek) domestik dalam kegiatan belanja barang pemerintah maupun perusahaan; pengurangan pajak atas belanja iptek; pembebasan pajak untuk semua pendapatan yang berasal dari pengembangan iptek baru; pembebasan pajak dan subsidi kredit untuk ekspor bermuatan high­tech. Selain ini, Pemerintah Cina setiap tahun memberikan dukungan, dalam bentuk subsidi bunga, pada projek­projek restrukturisasi teknologi oleh BUMN besar dan kecil, yang dinilai menguntungkan dan strategis. Dukungan ini disesuaikan dengan prestasi BUMN­BUMN dalam pengembangan iptek mereka. Faktor Pembentuk Lintasan
Dari diskusi terdahulu tentang lintasan inovasi di Cina dan di AS, dapat disimpulkan beberapa hal berkenaan dengan faktor­faktor yang mempengaruhi pembangunan kapabilitas inovasi nasional. Persaingan pasar domestik dan misi negara, keduanya merupakan faktor­faktor yang penting dalam pembangunan kapabilitas inovasi nasional. Dalam Gambar …, misi negara menarik lintasan inovasi ke atas, sedangkan persaingan pasar menarik ke kanan.Baik dalam kasus AS maupun Cina, kedua faktor tersebut bekerja sekaligus, tapi dalam kombinasi­kombinasi yang berbeda. Persaingan pasar domestik berkontribusi dalam menghela perkembangan iptek, dengan pola perkembangan yang tersebar pada para pelaku pasar. Partisipasi para pelaku pasar dalam diferensiasi produk memunculkan variasi­variasi iptek, dan seleksi iptek melalui mekanisme persaingan. Misi negara berkontribusi dalam mendorong perkembangan iptek, dengan pola perkembangan yang terkonsentrasi pada pelaku­pelaku riset tertentu. Tapi kedua faktor tersebut, persaingan pasar domestik dan misi negara, tidak otomatis memacu perkembangan iptek. Ketika misi negara ini dipandu oleh visi tentang iptek sebagai kekuatan, barulah misi tersebut akan memacu perkembangan iptek. Dalam hal persaingan pasar, perilaku para pelaku pasar ikut menentukan apakah persaingan ini didasarkan pada diferensiasi produk dan pengembangan iptek, atau didasarkan pada semata­mata penurunan biaya produksi. Perilaku para pelaku pasar ini, sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh regulasi yang disusun oleh Pemerintah, dan visi pemerintah tentang iptek. Bagi Cina, maupun AS, pasar domestik menjadi arena penting di mana kapabilitas inovasi mereka dikembangkan. Pasar domestik memberikan keuntungan komparatif bagi para pelaku pasar domestik: ketersediaan sumber daya lokal; dan efisiensi dalam logisik dan distribusi. Kedua hal ini dibutuhkan bagi perusahaan­perusahaan baru untuk mengembangan daya saingnya, sebelum masuk ke arena global. Baik AS maupun Cina, kekuatan ekonominya dibangun dengan memanfaatkan pasar domestik terlebih dahulu. Tumbuhnya kapabilitas inovasi nasional di As dan Cina memperlihatkan watak perkembangan yang sifatnya indigenous, yakni didorong oleh motif dan kekuatan dari dalam, disertai dengan pengerahan segenap sumber daya nasional. Nasionalisme, dalam kasus AS dan Cina, merupakan isu yang krusial dan konkret (bukan simbolik). Nasionalisme memberikan arah atau kiblat bagi berbagai pelaku inovasi nasional, untuk berinteraksi dan membangun kekuatan. Internasionalisme juga merupakan faktor penting, tapi lebih bersifat instrumental, yaitu sebagai instrumen yang mereka gunakan untuk kepentingan nasional. Peran penting hubungan A­B­G dalam proses inovasi terlihat jelas di kedua kasus inovasi yang didiskusikan di atas. Unsur G berperan memasukkan kepentingan nasional ke dalam perkembangan iptek dan persaingan pasar, sedangkan unsur B memacu produksi variasi­variasi iptek melalui persaingan pasar. Konsumen memiliki kontribusi yang penting dalam seleksi iptek di arena pasar. Kedua unsur B dan G ini, dalam jalinan A­B­G, memberikan basis sumber daya (finansial dan legal) yang menopang aktivitas produksi pengetahuan. Para akademisi, unsur A, menyediakan sumber­sumber pengetahuan dan mensirkulasikannya dalam jalinan A­B­G. Hubungan yang selaras antara unsur­unsur A, B, G tersebut membuat aktivitas produksi iptek, penyebaran iptek dan pemanfaatan iptek, terkait satu pada yang lain dan saling memperkuat dan mendorong. Penyelarasan jalinan A­B­G tersebut melibatkan institusi­
institusi sosial baru yang berperan sebagai mediator. Misalnya, laboratoria industrial di AS merupakan contoh institusi yang berperan sebagai mediator antara A dan B. Dalam kasus Cina, perusahaan­perusahaan yang dijalankan secara ko­operatif antara pemerintah dan pelaku swasta merupakan contoh mediator hubungan B­G. Ke empat, lintasan inovasi di Cina dan AS menegaskan bahwa model linier inovasi hanya memiliki kebenaran yang parsial. Dalam model linier, hubungan antara riset iptek dan komersialisasi produk diasumsikan bersifat satu­arah, seperti yang diperlihatkan dalam diagram berikut: Riset
Funda­
mental
Riset ber­
orientasi
Terapan
Pengembangan
Produk
Komersialisasi
/Pemasaran/
Distribusi
Gambar 9. Aliran Informasi dalam Model Linier Inovasi.
Dalam model seperti ini, diasumsikan bahwa riset fundamental berlangsung otonom, tanpa ada pengaruh dari konteks sosial­ekonomi. Ketika stok hasil riset fundamental telah tersedia, para ilmuwan atau insinyur mengeksplotasi hasil riset tersebut dengan orientasi terapan. Ketika peluang­peluang terapan diperoleh, ini dilanjutkan dengan pengembangan produk yang disesuaikan dengan konteks penerapannya, dan kemudian dikomersialkan oleh para pelaku usaha. Tapi lintasan inovasi di AS justru dimulai dengan riset terapan untuk kepentingan diferensiasi produk di perusahaan­
perusahaan, bukan dimulai dengan riset fundamental. Setelah produk­produk baru mendemonstrasikan potensi ekonomiknya, ini menjadi sumber inspirasi bagi para ilmuwan dalam merumuskan tema­tema riset fundamental. Dalam kasus Cina, dalam periode 1970­an kebijakan iptek mereka awalnya mengikuti model linier. Ini tercermin, misalnya, pada investasi Pemerintah Pusat Cina dalam riset fundamental, pendirian kawasan high­technology dan pengerahan para ilmuwan. Namun ketika kebijakan ini menghadapi hambatan­hambatan, kebijakan itu diubah. Riset terapan dan partisipasi pengusaha swasta dalam pengembangan iptek mendapat perhatian yang makin besar. Pemerintah Pusat Cina, dan juga Pemerintah Federal AS, tetap mendorong aktivitas riset fundamental. Tapi ini dilakukan bukan untuk tujuan ekonomik, melainkan untuk kepentingan pertahanan nasional.
Hubungan Negara-Iptek-Pasar
Lintasan inovasi di AS memperlihatkan bahwa negara itu tidak pernah betul­betul mempraktikkan prinsip laissez­faire. Prinsip ini menyatakan bahwa ekonomi akan bekerja sebaik­
baiknya bila industri swasta tidak diregulasi. AS dikenal sebagai negara yang gencar mempromosikan prinsip laissez­faire dalam agenda liberalisasi pasar global mereka. Tapi kebijakan antitrust yang dikeluarkan Pemerintah Federal merupakan bentuk intervensi yang signifikan terhadap pasar. Bentuk lain peran Pemerintah Federal terhadap pasar adalah dalam penyaluran dana dalam jumlah yang besar untuk riset non­kompetitif, yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan iptek industri­
industri swasta AS. Sebaliknya, Cina juga tidak sepenuhnya sosialis. Ekonomi mereka tidak sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah. Pemerintah Cina memberikan kebebasan pada para pelaku swasta, baik nasional maupun multinasional, untuk masuk ke dalam pasar domestik Cina. Meski demikian, Pemerintah Cina terus memantau dinamika pasar, dan mengembangkan instrumen­instrumen kebijakan untuk memperkuat daya saing perusahaan­perusahaan swasta Cina. Kenyataannya, kalau kita tengok lintasan inovasi di AS dan Cina, alih­alih polarisasi antara ekonomi pasar liberal dan ekonomi terpusat, yang terjadi lebih semacam rekonstruksi secara dinamis hubungan antara pemerintah dan pelaku swasta, antara negara dan pasar. Yang terjadi adalah pembedaan peran secara dinamis dan adaptif, antara peran pemerintah dan pelaku swasta. Pemerintah tidak mengendalikan langsung ekonomi, tapi mengarahkan (to steer) aktivitas­aktivitas ekonomi sesuai dengan misi negara yang disepakati. Pemerintah berperan sebagai regulator, bukan operator, untuk memastikan bahwa perkembangan ekonomi bergerak ke arah goal­goal nasional. Hubungan antara operator dan regulator ini dapat diibaratkan sebagai hubungan antara mesin dan pengemudi, dalam sebuah kendaraan bermotor. Mesin berfungsi menggerakkan kendaraan. Agar efisien, berbagai komponen mekanik perlu diberi minyak pelumas, dan koneksi­koneksi mekanik harus stabil. Tapi, tanpa pengemudi yang trampil, mesin berkapasitas besar sekalipun tidak ada artinya. Mesin itu tidak akan membawa penumpang kendaraan ke tempat yang dituju. Pengemudilah yang menentukan arah gerak kendaraan, apakah mendekati tujuan atau tidak, apakah mengantarkan penumpang dengan nyaman, atau justru membahayakan keselamatan penumpang. Tentu saja, seorang pengemudi yang trampil membutuhkan kapabilitas. Berdasarkan metafora seperti ini, dapat dikatakan bahwa liberalisasi ekonomi (apakah parsial atau total), alih­alih memerlukan pemerintahan yang lemah, justru membutuhkan pemerintahan dengan kapabilitas yang tinggi, kapabilitas dalam mengendalikan arah ekonomi dan persaingan pasar. Tapi bukan sebagai pelaku langsung ekonomi.
Pilihan Kita
Kalau kita tengok pengalaman bangsa Indonesia, kita akan dapati bahwa sejumlah program berskala nasional, yang membawa implikasi pengembangan kapabilitas inovasi: Program Satelit Palapa di pertengahan 1970­an dan Program Industri Pesawat Terbang Nasional di awal 1980­an. Implementasi kedua program tersebut mendorong berdirinya industri­industri manufaktur, dan melibatkan akademisi. Jalinan A­B­G terstimulasi. Terdapat keputusan politik yang kuat yang mendorong itu. Kedua program tersebut mengikuti pola didorong oleh misi negara. Inisiatornya adalah pemerintah, dan didukung oleh akademisi. Program industri pesawat terbang menyerupai Torch Plan di Cina di 1970­an. Tapi seperti umumnya pola didorong misi, permasalahannya adalah bagaimana pelaku swasta bisa masuk dan berpartisipasi. Program Satelit Palapa tampaknya tidak berorientasi pada penguasaan iptek, melainkan hanya pada impor dan alih iptek.
Kebijakan industri di sektor manufaktur/substitusi impor menyerupai kebijakan Cina di awal 1970­an, tapi dengan beberapa perbedaan. Kesamaannya adalah menyertakan FDI untuk akuisisi iptek. Perbedaannya, ini tidak disertai dengan pengembangan iptek untuk membangun kapabilitas iptek di indutri­industri. Di Cina, misinya mencakup dua hal sekaligus: pertumbuhan ekonomi dan percepatan penguasaan iptek. Di Indonesia, titik beratnya pada pertumbuhan ekonomi saja.
Dalam kasus Satelit Palapa, banyak hal yang terkait dengan pemanfaatan Satelit Palapa, mulai dari pengoperasian satelit, pengembangan stasiun bumi, sampai program penyediaan televisi dan komunikasi publik semuanya dijalankan oleh pemerintah pusat. Intensitas misi politik membatasi ruang bagi pelaku swasta dan akademisi untuk berperan serta. Dalam kasus industri pesawat terbang, terdapat kesenjangan yang lebar antara perusahaan pesawat terbang yang sepenuhnya digerakkan oleh pemerintah dan perusahaan swasta pada umumnya. Kesenjangan dalam kapabilitas teknologi sangat lebar. Peluang swasta akan terbuka bila dieferensiasi produk didorong oleh pemerintah. Dalam kasus industri manufaktur, meski peluang bagi pelaku usaha swasta terbuka, khususnya penanam modal asing, persaingan domestik kurang didorong. Dapat dikatakan bahwa inovasi di sektor ini berpola impor teknologi dan diikuti dengan plug­and­play. Tidak terjadi pengembangan­pengembangan iptek secara indigenous. Dalam kasus industri pesawat terbang, upaya pengembangan indigenous terjadi, bahkan dengan intensitas tinggi. Hanya saja tidak menstimulasi masyarakat luas, khususnya para pelaku usaha swasta dan para akademisi di luar bidang kedirgantaraan.
Tentu saja setiap bentuk inisiasi inovasi memiliki batasan dan lingkupnya. Yang tidak terjadi adalah kesinambungan antara satu program dan program yang lain. Partisipasi pro­aktif dan dukungan politis dari masyarakat sipil merupakan faktor yang penting bagi keberlanjutan proses inovasi. Bila hanya sekelompok kecil saja dari masyarakat yang menjadi bagian dari sistem inovasi, ini akan menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan, yang menghambat keberlanjutan sistem inovasi tersebut. Bila iptek dan industri tidak terintegrasikan ke dalam ekonomi melalui mekanisme pasar, hanya sejumlah kecil masyarakat yang masuk ke dalam arena inovasi. Sebagian lainnya akan terpinggirkan dan berperan sebatas penonton yang pasif. Tidak terjadi pembudayaan iptek. Dalam melangkah ke depan, bila kita ingin membangun sistem inovasi yang kuat dan sustainable, maka prinsip­prinsip berikut penting diperhatikan: langkah­langkah yang kita tempuh perlu mempertimbangkan kaidah 5I berikut:
• Indigenous. Proses inovasi yang kita laksanakan harus mendorong pengembangan iptek secara indigenous di segala sektor. Yang menjadi persoalan bukanlah apakah bergantung pada bantuan asing itu baik atau tidak baik, apakah kita perlu independen atau dependen. Permasalahan yang mendasar adalah apakah kita memiliki kemampuan atau tidak. Sebab, tanpa kemampuan, itu berarti kita adalah bangsa yang lumpuh. Kalau lumpuh, bukan hanya tidak mampu bersaing menghadapi pelaku swasta asing, kita bahkan tidak mampu menjaga lingkungan kita dengan baik
•
Inklusif. Kita tampaknya memerlukan sistem inovasi yang inklusif, di mana berbagai unsur masyarakat, dalam keanekaragaman kultural dan keanekaragaman sumber daya alam/hayati, mendapatkan peluang untuk terlibat. Kita membutuhkan iklim yang inklusif, yang menstimulasi interaksi ilmuwan­entrepreneur­birokrat, baik antara pusat­
daerah, maupun antardaerah. Area­area iptek dan inovasi yang membuka ruang lebar bagi masyarakat untuk terlibat. Ini berarti kita memilih area iptek dan inovasi yang pengembangannya mendorong kita memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam/hayati, yang bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Rute inovasi yang kita pilih perlu memperhatikan tejadinya pembudayaan iptek. Pengembangan sistem inovasi yang melibatkan multi­stake holder, dengan interaksi yang erat dalam suatu praktik live­
in, membantu kita saling memaknai perbedaan, dan membangun makna dan nilai bersama, melampaui nilai individual/kelompok. • Institusional. Institusionalisasi iptek mencakup aspek struktur dan kultur/budaya. Dalam aspek budaya, kita perlu mendorong berbagai upaya untuk saling bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam kreativitas pengembangan iptek dan inisiasi berinovasi. Ini memerlukan berbagai forum dan media komunikasi di antara sesama pelaku inovasi nasional: para periset, insan pemerintahan yang mengadopsi iptek untuk layanan publik; pengusaha yang mengadopsi iptek untuk bersaing; para agamawan, tokoh masyarakat, dan lain­lain. Ini semua memerlukan dukungan struktur, termasuk infrastruktur dan regulasi. • Interaksional. Kita perlu mengembangkan regulasi yang memungkinkan para pelaku inovasi dalam organisasi­
organisasi yang berbeda untuk bisa berinteraksi secara erat, mendalam, bertukar pengetahuan, dan berkesinambungan. Artinya, regulasi tersebut perlu memberikan keleluasaan bagi interaksi melintasi batas­batas organisasional. Suatu praktik akan menjadi kebiasaan bila disertai dengan rekognisi atau pengakuan atas praktik tersebut, termasuk penerapan berbagai bentuk insentif, material atau non material. Misalnya, ini dapat dilakukan dalam bentuk memberikan penghargaan bagi perusahaan­perusahaan nasional, kecil, menengah ataupun besar, yang menunjukkan prestasi dalam penyertaan iptek ke dalam bisnis mereka. Insentif dapat diberikan juga ke pada siapa pun pihak—
akademisi, pelaku media massa, atau warga negara biasa, yang berinisiasi mengembangkan iptek untuk tujuan merespons kebutuhan masyarakat, atau mengakrabkan masyarakat dengan iptek. •
Interdependen Interaksi dan kemitraan dengan berbagai pelaku inovasi dari mancanegara, merupakan sumber pembelajaran yang sangat penting. Fortifikasi lokal dan nasional dapat kita tempuh dengan cara terlibat dalam pegaulan global. Namun, dalam menjalin dan menjalankan interaksi dan kemitraan tersebut, kita tidak boleh terperangkap dalam keterlenaan dalam kenyamanan ataupun kebergantungan. Yang harus kita capai adalah kapabilitas inovasi, termasuk juga fortifikasi nasional. Kemitraan tersebut merupakan sarana atau media, untuk mencpai tujuan kita. Namun tentu saja kita juga harus memperhatikan kepentingan negara­negara lain, yang menjadi mitra kita. Interdependensi merupakan sebuah prinsip di mana kesalingbergantungan kita ciptakan, sehingga terbuka ruang bagi masing­masing mitra untuk menegosiasikan kepentingannya, berdasarkan prinsip kesetaraan Peran Akademisi
Akademisi di kampus dan para periset di
berbagai lembaga, termasuk periset industri, pada
dasarnya merupakan produsen pengetahuan.
Dengan aktivias riset, mereka menghasilkan
pengetahuan. Jadi, dalam jalinan A-B-G, para
akademisi
dan
periset
berpeluang
untuk
menyumbang pengetahuan yang dibutuhkan
dalam proses inovasi. Namun beberapa hal perlu
dicatat di sini, berkenaan dengan peluang-peluang
yang ada.
Sampai saat ini di Indonesia, sebagai negara
‘berkembang,’ kebanyakan pengetahuan yang
digunakan
merupakan
‘produk
jadi,’
yang
dihasilkan di negara-negara lain, yang lewat caracara tertentu ditanamkan, atau di-implant, ke
dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Berbagai
jenis teknologi yang digunakan di industri-industri
dan dalam proyek-proyek pembangunan, sering
merupakan ‘barang jadi’ dari luar negeri, baik
sebagai hasil impor atau bantuan teknis, yang
kemudian kita gunakan dengan cara ‘plug-andplay.’ Semuanya sudah jadi, tinggal dipasang dan
dimainkan. Praktis tidak perlu ada upaya
pengembangan untuk menggunakan teknologi
‘barang jadi’ tersebut. Kita sukai atau tidak, inilah
faktanya cara bangsa kita berteknologi, pada
umumnya. Mulai dari bahan-bahan, komponenkomponen, mesin-mesin sampai infrastruktur
teknis, umumnya berasal dari ‘etalase iptek’ di
pasar internasional.
Catatan
serupa
juga
berlaku
bagi
pengembangan iptek kita. Kebanyakan iptek
dihasilkan di Eropa dan Amerika Serikat, dan
belakangan oleh Jepang, Cina dan lain-lain. Para
akademisi kita menyerap pengetahuan tersebut
melalui
belajar
di
kampus-kampus
di
mancanegara, atau melalui kerja sama riset.
Pertanyaannya, bagaimana kita memilih dan
memutuskan orientasi dari pengembangan iptek?
Kalau orientasi ini sepenuhnya ditentukan oleh
para akademisi di mancanegara, sesuai dengan
kepentingan mereka, akan timbul persoalan
berkenaan dengan relevansi dari pengetahuan
yang dihasilkan.
Tentu saja mengadopsi suatu ‘barang jadi,’ atau
mengikuti arah yang ditentukan orang lain, ada
baiknya untuk keperluan praktis. Setidaknya, kita
tidak perlu bersusah-susah memulai segala
sesuatu dari titik nol. Bangsa-bangsa lain pun juga
pernah melakukan hal yang serupa. Yang menjadi
persoalan adalah bila kemudahan yang didapatkan
dari praktik ‘meminjam dan mengadopsi’ ini, justru
membuat kita lalai membangun kapabilitas. Ketika
semuanya tinggal ‘plug-and-play,’ kita mungkin
lupa bahwa kemudahan ini kita dapatkan dari hasil
kerja orang lain, bukan berasal dari kemampuan
kita sendiri.
Jadi, dalam situasi yang digambarkan di atas,
tantangan yang dihadapi oleh para akademisi
Indonesia adalah memformulasikan arah, agenda,
dan koridor pengembangan iptek yang bisa
menjawab dua hal sekaligus: (i) memiliki relevansi
yang tinggi dengan berbagai aktivitas produksi dan
penyelenggaraan layanan publik di dalam negeri
(di industri maupun di lembaga pemerintahan);
dan (ii) mengkonsolidasikan komunitas akademik
dalam negeri sehingga menjadi ‘modal sosial’ bagi
produksi iptek yang genuine. Beberapa hal yang
dapat dilakukan akademisi melalui risetnya adalah,
antara lain:
• Meningkatkan pemanfaatan produk-produk
iptek yang telah digunakan di perusahaan
maupun di lembaga pemerintahan;
o
Ini terkait dengan fakta bahwa kebanyakan iptek yang digunakan adalah hasil adopsi; Menjadi penting bahwa kita mampu memilih dengan tepat iptek yang akan diadopsi, mampu menggunakannya secara efisien, memaksimalkan benefit dari penggunaan iptek tersebut, serta pemasok komponen untuk
pemeliharaan dan pengembangan; tujuan
• Menjembatani hubugan antara pelaku bisnis dan pembuat regulasi;
o
Para akademisi dapat membuat kajian untuk menghasilkan peta tentang, misalnya, potensi­potensi pengembangan produk atau diferensiasi produk di berbagai sektor industri. Hasil dari kajian ini diserahkan pada perusahaan dan pemerintah, sehingga dihasilkan regulasi yang tepat konteks;
• Memelopori atau mendukung upaya-upaya
pengembangan indigenous.
o
Pengetahuan tradisional dapat menjadi sumber inovasi berkelanjutan. Tapi pemanfaatannya perlu ditingkatkan, dengan mengembangkan kandungannya. Pola tradisional saja belum tentu memadai. Di sini terdapat peluang yang lebar bagi para akademisi untuk berperan, baik dalam pengembangan kandungan pengetahuan indigeneous, maupun dalam penyebaran dan pemanfaatannya.
Penutup
Pada dasarnya, bangsa kita memiliki berbagai sumber yang diperlukan untuk membangun kapabilitas inovasi nasional: sumber daya alam; pasar domestik; pengalaman berinovasi; modal sosial­politik, dan modal budaya. Yang masih harus dikerjakan adalah mengubah sumber­sumber ini menjadi kemampuan, menjadi kapabilitas, dan menjadi kekuatan yang unggul. Tapi kekuatan kolektif bangsa kita tidak bisa dibangun, kalau kita bekerja dan berupaya secara terisolasi. Kita perlu melangkah melalui interaksi, memaknai perbedaan nilai­nilai, lalu melakukan pembelajaran secara sinambung. Bila langkah­
langkah ini kita tempuh secara konsisten, harmonisasi akan terjadi, dan simfoni inovasi akan kita alunkan bersama. Semoga Tuhan Pemilik Alam dan Pengajar Ilmu meridhoi ikhtiar segenap bangsa Indonesia. Amin. Kepustakaan
Ahmad, A., et al (editors) (1988), Science and Technology Policy for National Development: A Window on the Asian Experience. The Foundation for International Training, Canada. Dees, J.G. (1998), “The Meaning of Social Entrepreneurship,” preprint, Graduate School of Business, Stanford University. Dewan Riset Nasional (2006), Agenda Riset Nasional 2006
—2009. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi – Republik Indonesia, Jakarta.
Etzkowitz, Henry and James Dzisah (2007), “The Triple Helix of Innovation: Towards a University­Led Development Strategy for Africa,” ATDF Journal, Volume 4, Issue 2.
Goonatilake, Susantha (1984), Aborted Creativity: Science & Creativity in the Third World, Zed Book Ltd., London. Hess, David J. 1995. Science and Technology in a Multicultural World: The Cultural Politics of Facts and Artifacts. Columbia University Press. New York. Kadiman, K. (2004), Bentang Ego, Alunkan Simfoni, buku tidak dipublikasikan, Bandung.
Kadiman, K. (2005), “Issues and Opportunities in Academic­Business­Government Network of Innovation,” dipresentasikan pada JICA­IPB Workshop on University­
Industry­Government Collaboration, Bogor. Kadiman, K. (2008). “Rekonsiliasi Iptek dan Pasar: Sebuah Kunci bagi Kemajuan Ekonomik Bangsa.” Dipaparkan dalam diskusi di lingkungan Bank Indonesia (BI), Jakarta.
Lee, Y.S. (1997), Technology Transfer and Public Policy, Greenwood Publishing Group, Inc., New York.
Leydesdorff, Loet (2001), “Knowledge­Based Innovation Systems and the Model of a Triple Helix of University­
Industry­Government Relations,” Paper presented at the Conference New Economic Windows: New Paradigms for the New Millennium. Salerno, Italy, 14 September. Mitcham, Carl. 1994. Thinking Through Technology: The Path Between Engineering and Philosophy. The Chicago University Press. Chicago. Mowery, David C. and Nathan Rosenberg. 1998. Paths of Innovation: Technological Change in 20th­Century America. Cambridge University Press. Cambridge. Mass, Gudrun (2002), “Science Systems Face New Challenges,” Organisation for Economic Co­operation and Development (OECD) Science and Technology Policy Division, Presentation at NPRNet Conference. Nelson, Richard (1993), National Innovation Systems, Oxford University Press., New York.
Rip, Arie, Thomas J. Misa dan Johan Schot (eds). 1995. Managing Technology in Society: The Approach of Contructive Technology Assessment. Pinter Publishers, London and New York.
Swinburne University of Technology (2000), In Search of The Entrepreneurial University, Tertiary Press, Victoria, Australia. Thee, Kian Wie (1997), Pengembangan Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Download