BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan jenis penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada anak. Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, Yogyakarta, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2000 - 2009, terdapat 1.124 orang penderita penyakit keganasan baru dan 456 (41%) orang di antaranya didiagnosis sebagai LLA (Ali et al., 2010). Di samping itu, berdasarkan data di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, juga didapatkan adanya kenaikan angka kejadian LLA, dari 1,9 pada tahun 1998 menjadi 5,5 dalam 100.000 orang penduduk di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan pada tahun 2009 (Supriyadi et al., 2011a). Data epidemiologis LLA pada tingkat nasional belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, terdapat dugaan bahwa keadaan serupa juga dijumpai di pusat-pusat pelayanan hematologi dan onkologi anak lain di Indonesia. Kenaikan ini berkaitan dengan bertambah banyaknya jumlah penderita dengan dugaan leukemia yang dirujuk ke pusat-pusat pelayanan hematologi dan onkologi anak akibat meningkatnya kemampuan tenaga kesehatan di pusat-pusat pelayanan primer maupun sekunder untuk mengenali tanda-tanda leukemia secara dini, diterapkannya sistem pembiayaan kesehatan secara luas, dan 3 dilakukannya analisis imunofenotipik sebagai salah satu perasat diagnostik leukemia di berbagai pusat pelayanan hematologi dan onkologi anak di Indonesia. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam penatalaksanaan LLA adalah terjadinya neutropenia karena pendesakan sumsum tulang oleh populasi limfoblas yang meningkat dan penekanan sumsum tulang akibat pemberian sitostatika. Sebuah penelitian di India melaporkan bahwa pada pengobatan fase induksi dan konsolidasi, didapatkan 93% kejadian neutropenia yang berlangsung selama lebih dari tujuh hari dan 86% di antaranya memiliki jumlah neutrofil absolut darah tepi kurang dari 200 sel/mm3 (Bhatnagar et al., 2002). Neutropenia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi pada penderita penyakit keganasan (Zwitserloot et al., 2012). Wawancara yang dilakukan terhadap orang tua penderita LLA yang menjalani pengobatan dengan protokol Wijaya Kusuma (WK-ALL-2000) di RSUP Dr. Sardjito menggambarkan bahwa keluhan demam dalam berbagai derajat dilaporkan oleh 83% penderita (Sitaresmi et al., 2009). Sebuah penelitian lain yang bertujuan untuk mengetahui kejadian infeksi secara lebih objektif menunjukkan bahwa demam dan tanda-tanda klinis sepsis masingmasing ditemukan pada 42% dan 45% penderita selama pengobatan fase induksi dengan protokol WK-ALL-2000 di RSUP Dr. Sardjito. Dalam kurun waktu tahun 1999 - 2005, sebanyak 14 orang penderita meninggal selama fase ini. Analisis penyebab kematian menggambarkan bahwa lima orang penderita meninggal karena sepsis dan masing-masing satu orang penderita meninggal akibat disseminated intravascular coagulation (DIC), multi-organ dysfunction syndrome (MODS), dan renjatan yang didahului oleh infeksi (Widjajanto et al., 2013). 4 Beberapa penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara kejadian infeksi selama pengobatan dan bertambah panjangnya masa perawatan di rumah sakit (Basu et al., 2005), penundaan jadwal pemberian sitostatika (Sitaresmi et al., 2008), maupun terganggunya kegiatan sehari-hari, misalnya bermain dan bersekolah (Sitaresmi et al., 2009). Atas dasar temuan-temuan tersebut, faktorfaktor risiko terjadinya infeksi selama pengobatan penting untuk diketahui, sehingga upaya-upaya pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Namun demikian, meskipun adanya neutropenia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi selama pengobatan penyakit keganasan, pemeriksaan jumlah neutrofil absolut darah tepi belum dapat memperkirakan kejadian infeksi apabila dilakukan pada lima hari pertama pengobatan (Blay et al., 1996; Choi et al., 2003; Ray-Coquard et al., 2003). Oleh karena itu, perlu ditentukan perasat-perasat lain yang dapat memperkirakan terjadinya infeksi selama pengobatan secara dini. Analisis imunofenotipik merupakan salah satu perasat diagnostik yang mulai dikerjakan secara rutin di Indonesia. Perasat ini dilaporkan meningkatkan akurasi diagnosis leukemia yang sebelumnya ditegakkan hanya berdasarkan gambaran morfologis dan pewarnaan sitokimiawi (Supriyadi et al., 2011b). Profil imunofenotipik limfosit darah tepi penderita penyakit keganasan juga dilaporkan mempengaruhi luaran pengobatan. Sebuah penelitian yang melibatkan 213 orang penderita penyakit keganasan dewasa melaporkan bahwa jumlah limfosit CD4+ absolut darah tepi sebesar kurang dari 450 sel/mm3 sebelum dimulainya pengobatan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya demam neutropenia dan kematian pada 31 hari pertama pengobatan (Borg et al., 2004). Pada sebagian 5 penderita penyakit keganasan yang sedang menjalani pengobatan, demam neutropenia dilaporkan sebagai satu-satunya tanda terjadinya infeksi (Freifeld et al., 2011). Akan tetapi, karena adanya keterbatasan dalam sistem pembiayaan kesehatan nasional, pemeriksaan limfosit CD4+ belum dikerjakan secara rutin terhadap penderita LLA di Indonesia. Di sisi lain, dengan panel antibodi monoklonal yang digunakan dalam penegakan diagnosis leukemia anak di Indonesia, analisis kesintasan menemukan adanya pengaruh koekspresi CD10, CD34, dan antigen-antigen mieloid (CD13, CD33, CD117, dan cytoplasmic myeloperoxidase [cMPO]) pada limfoblas penderita LLA prekursor sel T (LLAT) terhadap luaran pengobatan, yang meliputi kegagalan pencapaian remisi, kematian, kekambuhan, dan resistensi obat (Supriyadi et al., 2012a; Supriyadi et al., 2012b). B. Perumusan Masalah Meskipun adanya koekspresi CD10, CD13, CD33, CD34, CD117, dan cMPO mempengaruhi luaran pengobatan penderita LLA-T, hubungan antara koekspresi antigen-antigen tersebut pada limfoblas penderita LLA prekursor sel B (LLA-B), yang dilaporkan sebagai subtipe LLA terbanyak pada anak, dan kejadian infeksi maupun demam neutropenia, yang dilaporkan memiliki kaitan erat dengan pemberian sitostatika, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 6 C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah penelitian, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah koekspresi antigen prekursor limfosit T, mieloid, dan non-lineage pada limfoblas penderita LLA-B berpengaruh terhadap kejadian demam neutropenia pada pengobatan fase induksi? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah koekspresi antigen prekursor limfosit T, mieloid, dan non-lineage pada limfoblas penderita LLA-B berpengaruh terhadap kejadian demam neutropenia pada pengobatan fase induksi. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat memberi dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang bertujuan untuk mengetahui peran limfoblas dalam patofisiologi demam neutropenia maupun infeksi pada penderita LLA yang sedang menjalani pengobatan. 2. Bagi penyusunan kebijakan dalam bidang kesehatan, hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas dan usia harapan hidup penderita penyakit keganasan, khususnya kebijakan- 7 kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan dan penatalaksanaan kejadian infeksi. F. Keaslian Penelitian Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah profil imunofenotipik limfoblas dan limfosit pada penderita penyakit keganasan berpengaruh terhadap kejadian demam neutropenia selama pengobatan masih jarang dilakukan hingga saat ini. Pada penelitian kohort yang melibatkan 213 orang penderita penyakit keganasan dewasa, dilakukan analisis ekspresi CD3, CD4, CD8, CD19, dan CD56 pada limfosit darah tepi sebelum dimulainya pengobatan. Luaran yang dianalisis pada penelitian tersebut adalah kejadian demam neutropenia dan kematian pada 31 hari pertama pengobatan (Borg et al., 2004). Penelitian yang dilakukan saat ini secara khusus melibatkan anak-anak yang menderita LLA-B. Panel antibodi monoklonal yang digunakan pada penelitian ini berbeda dari panel yang digunakan pada penelitian terdahulu. Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui koekspresi antigen prekursor limfosit T, mieloid, dan nonlineage pada limfoblas. Luaran yang dianalisis pada penelitian ini adalah kejadian demam neutropenia pada pengobatan fase induksi (tujuh minggu pertama pengobatan). 8