skripsi (03-17-17-09-27-43).

advertisement
SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA DI PERANTAUAN
DESA JEMPARING KECAMATAN
LONGIKIS KABUPATEN PASER
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 1
OLEH :
JAFAR
NIM : 1202035013
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI PEMBANGUNAN SOSIAL
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing
Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser
Nama
: Jafar
Nim
: 1202035013
Jurusan
: Sosiologi
Program Studi
: Pembangunan Sosial
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Samarinda, 28 Desember 2016
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Sri Murliati. S.Sos, M.Si
NIP:19740303 199903 2 002
Dr. Aji Qamara Hakim. S.Sn, M.Si
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman
Dr. H. Muhammad Noor. M.Si
NIP:19600817 198601 1 001
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan
saya, di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber
kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini terdapat unsur-unsur plagiasi,
saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang saya telah saya
peroleh (sarjana) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundangundagan yang berlaku.
Samarinda, Juli 2016
Mahasiswa,
Materai 6000
Jafar
NIM.1202035013
ABSTRAK
Jafar. 2016. NIM 120203013. Solidaritas Imigran Madura di Perantauan
Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser.. Di bawah bimbingan Ibu
Dr. Sri Murlianti, S,Sos M,Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Aji Qamara Hakim,
S,Sn, M,Si selaku pembimbing II.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan
secara mendalam mengenai Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa
Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser.
Metode penelitian yang peneliti gunakan pada penelitian kali ini yaitu jenis
penelitian deskriptif exsploratif. Pada penelitian kali ini peneliti ingin mengexsplor
jauh lebih dalam terkait dengan nilai dan norma Etnis Madura, sistem
kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual-ritual keagamaan komunitas,
kegiatan-kegiatan rutin komunitas yang melekatkan komunitas, mekanisme
penyelesaian konflik dalam komunitas dan luar komunitas, dan mekanisme
pembangunan jaringan dengan komunitas Etnis Madura di wilayah lain. Sumber
data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data menggunakan penelitian lapangan yang terdiri dari observasi,
wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan pada penelitian kali ini
bersifat matriks yang bertujuan untuk memudahkan para pembaca dalam melihat
isi tulisan secara keseluruan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Solidaritas Imigran Madura di
Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser berjalan dengan
baik, artinya bahwa solidaritas yang terbangun cukup solid. Hal itu berdasar pada
pola interaksi yang dibangun baik antar sesama etnis Madura maupun dengan
masyarakat sekitar melalui beberapa metode. Selain itu untuk dapat diterima dalam
masyarakat setempat Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing mencoba
menerima adat-istiadat/budaya masyarakat setempat sebagai proses pembauran,
tetapi tidak melupakan adat-istiadat/budaya lokal mereka.
Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan informan dari tiga sumber.
Sumber pertama yaitu key informan dari Etnis Madura yaitu Bapak Ahmad Matori
dan Bapak Tirto Kusumo, para pekerja pemecah batu bahan galian C (Etnis
Madura), serta dari masyarakat asli Desa Jemparing. Hal ini dilakukan agar hasil
penelitian tidak bersifat subyektif melainkan bersifat objektif.
Kata Kunci : Imigran Madura, Solidaritas, Interaksi Sosial,
RIWAYAT HIDUP
Jafar, lahir di Penajam pada tanggal 19 Nopember 1993.
Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari
pasangan Bapak Muhammad Amir dan Ibu Jumhana. Penulis
memulai pendidikan pada tahun 2001 di Sekolah Dasar
Negeri 001 Penajam Paser Utara dan lulus pada tahun 2006.
Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri
001 Penajam Paser Utara dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 001 Penajam Paser Utara dan lulus
pada tahun 2012.
Selanjutnya melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi di Universitas
Mulawarman pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Sosiologi, Program
Studi Ilmu Sosiatri/Pembanguna Sosial melalui jalur undagan Mahasiswa Baru
Nasional.
Pada tanggal 27 Juli S/d 22 September 2015 penulis melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) Angkatan 41 di Desa Jemparing Kecamata Long Ikis
Kabupaten Paser, kemudian dilanjutkan dengan tugas akhir yang berjudul “
Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis
Kabupaten Paser.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan segala karunia dan
limpahan rahmatnya kepada saya, serta tak lupa saya haturkan shalawat serta salam
kepada Nabi Allah, Nabi Besar, Nabi Muhammad Saw, sebagai panutan kita dalam
menjalankan kehidupan di dunia ini,serta kehidupan di akhirat kelak. Yang mana
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Imigran Madura
dalam Membangun Solidaritas di Perantauan Desa Jemparing Kecamata Longikis
Kabupaten Paser “.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Pembangunan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa
tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sangatlah sulit untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas mulawarman
Samarinda yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mendapatkan pendidikan di Perguruan Tinggi ini.
2.
Bapak Dr. H. Muhammad Noor, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Mulawarman Samarinda, yang telah memberikan
segala fasilitas selama penulis menjadi Mahasiswa.
3.
Ibu Dra. Lisbet Situmorang, M.Si selaku Ketua Program Studi Pembangunan
Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman
yang telah membantu mengkoordinasikan kegiatan akademik.
4.
Ibu Dr. Sri Murlianti. S,Sos, M,Si selaku dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Ibu Dr. Aji Qamara Hakim. S.Sn, M,Si selaku dosen Pembimbing II yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6.
Bapak Dra. Lisbet Situmorang. M,Si dan Bapak Drs. H. Massad Hatuwe,
M.Si selaku Dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan saran-saran
yang sangat berarti guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini, serta
bapak dan ibu dosen yang telah memberikan pengajaran dan pendidikan
selama dalam perkuliahan.
7.
Ibu Hamidah selaku Sekertaris Kantor Desa Jemparing, Bapak Ahmad
Matori, Selaku Ketua Adat Imigran Madura di Desa Jemparing beserta
masyarakat yang sudah membantu dan memberikan informasi yang
diperlukan bagi penyusunan skripsi ini.
8.
Ibu beserta keluarga saya yang telah memberikan doa, nasehat dan
dukungannya baik secara moral maupun spiritual dan material yang tak
pernah putus-putusnya kepada saya.
9.
Rekan-rekan kuliah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Mulawarman Jurusan Pembangunan Sosial Konsentrasi Sosiologi, Program
Studi Pembangunan Sosial angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah banyak memberi motivasi dan dukungannya, serta buat
sahabat karib saya Muhammad Azhar Munir, Muhammad Taufik Hidayat
Fatur Rahman, Yusri dan Asrul serta seluruh keluarga besar penghuni Asrama
Putra Mahasiswa Penajam Paser Utara yang telah memberikan bantuan baik
berupa tenaga maupun materi.
10.
Kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah
banyak membantu memberi pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam skripsi ini karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka dengan terbuka penulis
menerima masukkan kritik dan saran perbaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi
ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial Konsentrasi
Sosiologi dan semua pihak yang membutuhkan. Akhir kata penulis mohon maaf
sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan yang dilakukan.
Samarinda, 19 Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .......................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULAUN
1. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
2. Rumusan Masalah ........................................................... 7
3. Tujuan Penelitian ............................................................. 7
4. Manfaat Penelitian ........................................................... 8
KERANGKA DASAR TEORI
2.1 Teori dan Konsep .......................................................... 9
2.1.1 Solidaritas Sosial ................................................. 9
2.1.2 Pengertian Solidaritas Sosial
2.1.3 Bentuk-bentuk Solidaritas Sosial Menurut
Emille Durkheim ................................................. 13
2.1.4 Sifat-sifat Pokok Solidaritas ................................ 16
2.1.5 Unsur-unsur Pembentuk Solidaritas .................... 17
2.2 Sistem Sosial Masyarakat Madura Daerah Asal ........... 18
2.2.1 Struktur Masyarakat Madura ............................... 19
2.2.2 Nilai ..................................................................... 20
2.2.3 Norma .................................................................. 23
2.2.4 Kultur Masyarakat Daerah Asal .......................... 25
2.2.5 Integrasi ............................................................... 30
2.3Pengertian Interaksi Sosial ............................................. 32
2.3.1Syarat-syarat Interaksi Sosial ............................... 33
2.4 Pengertian Imigran ........................................................ 40
2.4.1 Jenis-jenis Migrasi ............................................... 41
2.4.2 Urbanisasi ............................................................ 42
2.4.3 Trasnmigrasi ........................................................ 43
2.5 Definisi Konseptual ....................................................... 44
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .......................................................... 45
3.2 Lokasi Penelitian .......................................................... 46
3.3 Sumber Data
.......................................................... 46
3.3.1 Data Primer.......................................................... 46
3.3.2 Data Sekunder ..................................................... 47
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 49
BAB IV
BAB V
3.5 Teknik Analisis Data ..................................................... 51
3.6 Jadwal Tentatif Penelitian ............................................. 52
GAMBARAN UMUM DESA JEMPARING
DAN IMIADURA
4.1 Kondisi Geografis dan Demografi................................. 53
4.2 Sejarah Desa Jemparing ................................................ 56
4.3 Nama-nama Pejabat Pemerintahan Desa Jemparing ..... 58
4.4 Imigran Madura ............................................................. 60
4.4.1 Sejarah Singkat Keberadaan Imigran Madura.... 60
4.4.2 Kepala Adat Imigran Madura .............................. 62
4.4.3 Peta Lokas Bahan Galian C di Wilayah Ombe ... 64
4.4.4 Posisi Pemukiman Imigran Madura .................... 66
4.4.5 Gambaran Perumahan Imigran Madura .............. 70
4.4.6 Aktivitas Keseharian Imigran Madura ................ 71
SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA
DI PERANTAUAN
5.1 Niai dan Norma Etnis Madura ....................................... 74
5.5.1 Ajaran Tentang Kehidupan ................................. 74
5.5.2 Ukuran Kegagalan Dalam Hidup ........................ 76
5.5.3 Nilai Pembauran yang Diterapkan di Perantauan 77
5.2 Sistem Kepemimpinan................................................... 79
5.2.1 Karakteristik Pemimpin dan Orang yang Paling
Dihormati/Segani.......................................................... 79
5.2.2 Kyai bagi Etnis Madura ....................................... 80
5.3 Sistem Stratifikasi Komunitas ....................................... 82
5.4 Ritua-ritual Keagamaan Komunitas .............................. 83
5.4.1 Ritual Keagamaan sebagai Perekat Sesama
Imigran Madura ............................................................ 84
5.4.2 Kajian Keagamaan Bersama Masyarakat
Setempat ....................................................................... 85
5.5 Kegiatan Rutin Komunitas Lain yang Melekatkan
Komunitas........................................................................... 87
5.5.1 Kegiatan Individu dalam Membangun
Silahturahim Sesama Imigran Madura di Perantauan . 88
5.5.2 Penggalangan Dana Ketika Sesama Imigran
Madura Mengalami Musibah ....................................... 89
5.5.3 Mencari Bantuan Ketika Mengalami Jalan
Buntu dalam Permasalahan .......................................... 91
5.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas
dan Luar Komunitas .......................................................... 92
5.6.1Mekanisme Penyelesaian Konflik Etnis Madura
Dengan Etnis Paser ....................................................... 92
5.6.2 Hubungan Etnis Madura dan Etnis Paser Pasca
Konflik.......................................................................... 95
5.7 Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan
Komunitas Etnis Madura di Wilayah Lain ......................... 96
5.8 Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing................ 107
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan .................................................................... 109
6.2 Saran .............................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul Tabel
Halaman
4.1
Grafik Penduduk Desa Jemparing Tahun 2014-2015
55
4.2
Persentase Etnis di Desa Jemparing Tahun 2015
55
5.1
Faktor Penarik Migrasi
98
5.2
Aspirasi Masyarakat Jemparing
102
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul Tabel
Halaman
4.1
Kondisi Askes Menuju Lokasi Bahan Galian C
64
4.2
Lokasi Bahan Galian Ombe Area Depan
68
4.3
Lokasi Bahan Galian Ombe Area Tengah
69
4.4
Lokasi Bahan Galian Ombe Area Belakang
69
4.5
Gambaran Perumahan Etnis Madura di Ombe
70
4.6
Mushola
72
4.7
Proses Bongkar Muat Batu di Lokasi Ombe
73
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 2
Saran Perbaikan Proposal
Lampiran 3
Pedoman Wawancara
Lampiran 4
Peta Pemukiman Etnis Madura
Lampiran 5
Peta Lokasi Bahan Galian C di Wilayah Ombe, Area Depan,
Tengah dan Belakang
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pulau Madura merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah Jawa
Timur. Pulau Madura terletak di sebelah utara Kota Surabaya. Pulau ini dipisahkan
dari Surabaya dengan Selat Madura. Pulau yang membujur dari barat ke timur ini
mempunyai panjang 190 kilo meter dan lebar 40 kilo meter, luasnya kurang lebih
5.304 kilo meter. Topografinya menunjukkan Pulau Madura ini termasuk dataran
rendah tanpa pegunungan dengan ketinggian rata rata 25 meter dari permukaan laut.
Kepulauan ini secara keseluruhan terdiri dari hampir 50 pulau berpenghuni maupun
tidak berpenghuni.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang
terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di
Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat
daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih menyatu. Puncak tertinggi di
bagian timur Madura adalah Gunung Gadu (341 m), Gunung Merangan (398 m)
dan Gunung Tembuku (471 m).
Secara administratif pulau Madura ini dibagi menjadi empat kabupaten.
Dimulai dari yang paling dekat dengan Surabaya adalah Bangkalan kemudian ke
sebelah timur Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan yang paling ujung
adalah Kabupaten Sumenep. Untuk luas wilayah terluas ditempati oleh Kabupaten
Sumenep dengan luas wilayah mecapai 1.041.,915 Ha, disusul dengan Kabupaten
2
Bangkalan dengan luas wilayah mecapai 907, 055 Ha, selanjutnya Kabupaten
Sampang dengan luas wilayah mecapai 876,950 Ha, dan yang terakhir yaitu
Kabupaten Pamekesan dengan luas wilayah mencapai 795,526 Ha.
Berdasakan data badan pusat statistik padah tahun 2010 jumlah penduduk
Madura mencapai kurang lebih 12 juta jiwa atau 7 % dari total jumlah penduduk
Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Untuk saat ini sekitar 4 juta
jiwa yang masih menetap atau tinggal di Pulau Madura. Sisanya 9 juta jiwa tersebar
di daerah sekitaran Pulau Jawa, dan beberapa wilayah di nusantara, bahkan sampai
ada yang ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Madura lebih memilih untuk merantau ke daerah lain daripada
menetap di Pulau Madura. Hal tersebut disebabkan karena kondisi tanah yang
kering dan tandus sehinggah kurang produktif secara ekonomis. Keadaan tanah di
Madura kebanyakan berupa tegalan, hal tersebut dikarenakan curah hujan yang
tidak banyak, sumber mata air yang sedikit, sungai yang besar hanya satu ditambah
lagi struktur tanah yang 70 % merupakan tanah mediteran merah kuning dan 15 %
tanah alluvial, maka tanah tersebut kurang baik untuk lahan pertanian. Sebagian
besar tanah di Madura yang berupa tegalan hanya cocok untuk ditanami singkong
dan jagung.
Hal inilah pula yang menyebabkan tingginya angka migrasi masyarakat
Madura, walaupun sebenanarya tingkat pertumbuhan penduduk orang Madura juga
sangat tinggi. Kondisi tanah yang kering dan tandus tersebut akan berdampak pada
susahnya masyarakat untuk dapat mengembangkan sistem pertanian. Masyarakat
Madura lebih memilih pekerjaan sebagai nelayan, beternak dan petani garam.
3
Sebab, pulau Madura berada tepat di pinggir laut Jawa. Oleh karena itu, Pulau
Madura juga dikenal sebagai pulau garam.
Orang-orang Madura sangat terkenal dengan karakternya yang pekerja
keras, kasar, dan ulet. Ini terkait dengan kondisi keadaan iklim di wilayah mereka.
Sehinggah mengharuskan mereka harus dapat bertahan hidup, melanjutkan hidup
dengan segala upaya demi hidup yang lebih baik. Sebab kondisi akan membentuk
karakter atau pribadi kita. Oleh karenanya, karakter masyarakat yang hidup di
wilayah pegunungan dan pesisir akan sangat jauh berbeda.
Pada umumnya orang-orang berpindah tempat atau merantau tidak hanya
dikarenakan motif ekonomi dan keagamaan semata, tetapi juga karena tertarik
dengan kehidupan kota. Daya tarik yang kuat dari kota itu sendiri adalah ekonomi.
Lain dengan di desa, di kota orang menggambarkan tersedianya kesempatan kerja
yang luas, yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sebagai imigran dari Madura
pada kenyataannya mereka lebih sering mengadakan hubungan atau interaksi
dengan sesamanya mengingat telah sadar akan adanya sejumlah persamaan di
antara mereka.
Salah satu kota yang memiliki daya tarik ekonomi cukup tinggi yaitu pulau
Kalimantan. Kalimantan merupakan penyumbang terbesar ketiga bagi devisa
negara. Kalimantan memiliki sumber daya alam yang besar, terdiri dari minyak
bumi, gas alam, batu bara, dan perkebunan. Itu tersebar merata di seluruh wilayah
Kalimantan, baik Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara. Selain itu pula pendapatan perkapita
lebih tinggi di Kalimantan daripada pulau Jawa lebih khsususnya di pulau Madura.
4
Tak heran hal tersebut menjadi daya tarik bagi orang-orang Madura untuk merantau
ke bumi Kalimantan demi terwujudnya kehidupan mereka yang jauh lebih baik.
Dari data badan sensus penduduk pada tahun 2000 menjelaskan jumlah
Imigran Madura yang berada di Kalimantan mencapai angka 334.293 jiwa yang
tersebar di empat provinsi. Di Provinsi Kalimantan Barat Imigran Madura
berjumlah 205.550 jiwa, Kalimantan Tengah 62.228 jiwa, Kalimantan selatan
36.334 jiwa, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 30.118 jiwa. Kemudian
pada tahun 2010 badan sensus penduduk mencatat jumlah Imigran Madura yang
berada di kepulauan Kalimantan berjumlah 517.204 jiwa. Kalimantan Barat
Imigran Madura berjumlah 274.869 jiwa, Kalimantan Tengah 42.668 jiwa,
Kalimantan Selatan 53.002 jiwa, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara
46.668 jiwa.
Dari data tersebut daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mengalami peningkatan jumlah Imigran
Madura yang tinggi. Hanya daerah Kalimantan Tengah yang mengalami penurunan
jumlah imigran. Penurunan jumlah Imigran Madura di Kalimantan Tengah ini tentu
berkaitan dengan peristiwa sampit yang terjadi pada tahun 2001 silam. Peristiwa
tersebut merupakan konflik yang terjadi antara etnis Dayak dan Madura. Dari data
yang diambil dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, korban jatuh mencapai 400
jiwa, 319 lebih rumah dibakar, dan sekitar 197 lainnya dirusak serta 45 ribu warga
Madura dievakuasi. Peristiwa tersebut menjadi salah satu peristiwa pertikaian
terbesar anta retnis di Indonesia.
5
Dari berbagai sumber mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya
konflik tersebut berasal dari terjadinya ketimpangan ekonomi antara kaum
pendatang dan pribumi. Secara ekonomi masyarakat Madura lebih maju
dibandingkan masyarakat Dayak. Masyarakat Madura menguasai hampir seluruh
sektor perekonomian. Selain itu faktor lain yang menyebabkan terjadinya konflik
adalah terjadinya gesekan-gesekan budaya antar kedua etnis tersebut.
Bagi masyarakat Madura membawa senjata tajam disaat mereka bepergian
merupakan hal yang biasa dan telah menjadi kultur orang-orang Madura. Namun
bagi masyarakat Dayak hal tersebut bertentangan dengan budaya mereka. Bagi
Etnis Dayak membawa senjata tajam pada saat bertemu seseorang ataupun bertamu
ke tempat orang, merupakan suata penghinaan yang berat. Ini menandakan bahwa
orang tersebut ingin mengajak untuk dilakukannya pertarungan. Hal ini
menjelasakan bahwa belum terjadinya kesepakatan untuk batasan-batasan budaya
bagi etnis Dayak dan Madura.
Selain beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas faktor lain yang
kemudian turut serta menambah terjadinya konfilk antara Etnis Dayak dan Madura
adalah karena adanya rencana penguasan/kolonialisasi secara paksa/kekerasan
bahkan aksi penguasan suatu wilayah yang telah di rencakan. Hal ini disampaikan
langsung oleh presidium Lembaga Musayawarah Masyarakat Dayak dan
Kalimantan Tengah (LMMDD-KT, 2001). Terlepas dari berbagai pandagan
mengenai konflik antara Etnis Dayak dan Madura, kita harus tetap melihat
bagaimana kemudian kedepannya menciptakan integrasi yang kuat dalam berbagai
6
perbedaan, sebagaimana yang telah menjadi cita luhur Bangsa Indonesia yang
tertuang dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Masyarakat Madura adalah salah satu etnis yang sangat menjaga hubungan
kekerabatan. Ketika mereka merantau yang akan dicari pertama kali adalah kerabat
atau sanak saudara yang berada di daerah tersebut. Itu dilakukan karena masyarakat
Madura memiliki budaya untuk tetap menjaga menjaga hubungan kekerabatan
tersebut terlebih-lebih jika berada di perantauan. Oleh karena itu masyarakat
Madura cenderung akan hidup mengelompok dan membangun solidaritas ketika di
perantauan.
Seperti itu pula yang dilakukan para Imigran Madura yang bekerja sebagai
penambang batu di Desa Jemparing dalam membangun solidaritas di perantauan.
Di daerah tersebut tampak sekali mayoritas pekerjanya adalah Imigran Madura.
Hampir 95 % pekerja di daerah tersebut adalah Imigran Madura. Hanya sekitar 5 %
yang berasal dari suku lain, yaitu Bugis dan Paser. Hal ini menjelaskan secara tidak
langsung para Imigran Madura tersebut telah membangun solidaritas mereka yang
berada di peratauan sebagai wujud dari proteksi diri dalam sistem sosial di
masyarakat, mengingat bahwa sebelum-sebelumnya pernah terjadi konflik antara
Etnis Madura dengan etnis asli yang ada di Kalimantan.
Selain itu pula identititas lokal wilayah asal mereka masih begitu kental. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti perayaan
maulid Nabi Muhammad SAW, perayaan datangnya bulan safar, dan kajian-kajian
ilmu keagamaan. Mengapa Imigran Madura kental akan perlakuan seperti ini?
sebab masyarakat Madura memiliki budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai
7
Agama Islam. Terlepas dari stereotif buruk terhadap perilaku-perilaku masyarakat
Madura dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Inilah yang kemudian menarik
penulis untuk melihat lebih jauh mengenai Solidaritas Imigran Madura di
Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing
Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagiamana Imigran/
Komunitas Madura dalam :
1.
Mentransformasikan Nilai-nilai Khas Madura di Perantauan :
a. Tranformasi Nilai dan Norma Khas di Perantauan.
b. Mengadaptasi Sistem Kepemimpinan Etnis Madura di Perantauan.
c. Sistem Stratifikasi dalam Komunitas.
2.
Membangun Solidaritas Sesama Etnis Madura di Perantauan :
a. Ritual-ritual Keagamaan Komunitas.
b. Kegiatan Rutin Komunitas yang Melekatkan Komunitas.
c. Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas dan luar Komunitas.
c. Mekanisme Pembangunan Jaringan Antar Etnis Madura di Wilayah Lain.
1.4
Manfaat Penelitian
8
Dari suatu hasil peneletian tentunya memiliki manfaat dan kegunaan bagi
penulis dan juga bagi pihak lain yang akan menggunakannya. Oleh karena itu
manfaat peneletian itu ada dua, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan pada Jurusan Sosiologi dan Program Studi
Pembangunan Sosial terutama pada mata kuliah tentang Etnisitas dan Ilmu Sosial
Budaya Dasar
b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu Menjelaskan dan Mengabtraksikan
fenomena solidaritas serta komunitas-komunitas etnis di perantauan
2. Manfaat Praktis
a. Upaya membangun sikap dan kesadaran toleransi antar etnis dalam hidup
bermasyarakat
b. Sebagai bahan masukan, sumbangan pemikiran dan
petimbangan bagi
Pemerintahan Desa Jemparing dalam mengakomodir imigran-migran yang masuk
ke wilayah Desa Jemparing
BAB II
9
KERANGKA DASAR TEORI
2.1
Solidaritas Sosial
Solidaritas adalah adalah rasa kebersamaan, kesatuan, kepentingan, rasa
simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau bisa diartikan
perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan
bersama. Sedangakan sosial yaitu segala perilaku manusia yang menggambarkan
hubungan non-individualis yang berarti hal ini merujuk pada hubungan-hubungan
dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok untuk
mengembangkan dirinya. Jadi secara sederhana solidaritas sosial dapat diartikan
sebagai hubungan di dalam suatu kelompok yang didasari oleh rasa kesatuan,
kebersamaan, dan kepentingan bersama demi tercapainya cita-cita kelompok.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kata solidaritas adalah,
sifat (perasaaan) solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan yang pada
suatu kelompok anggota wajib memlikinya (Depdiknas, 2007:1082). Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sosial adalah berkenaan dengan
masyarakat, perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan, suka
memperhatikan umum (Depdiknas, 2007:1085). Sementara itu menurut Nasution
(2009:3) bahwa solidaritas sosial adalah perasaan secara kelompok memiliki nilainilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan harapan-harapan
peran.
Sebab itu prisip sosial masyarakat meliputi saling membantu, saling
membantu, saling perduli, biasa bekerjasama, saling berbagi dan bekerjasama
10
dalam mendukung pembangunan dilingkungan masing-masing baik tenaga dan lain
sebagainya. Sependapat dengan pernyataan Nasution, Redfield (dalam Laiya,
1983:9) menguraikan bahwa solidaritas sosial itu merupakan kepedulian secara
bersama kelompok yang memajukan pada suatu keadaan hubungan antar individu
dan atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama,
dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional.
Solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok.
Redfield menyatakan bahwa solidaritas sosial itu juga dipengaruhi interaksi sosial
yang berlangsung karena ikatan kultural, yaitu pada dasarnya disebabkan
munculnya sentiment komunitas yang terdiri dari unsur-unsur seperti :
Seperasaan, yaitu seseorang yang berusaha mengidentifikasi dirinya denga
sebanyak mungkin di dalam kelompok tersebut, sehinggah semuanya dapat
menyebutkan dirinya sebagai kelompok kami. Sepenaggunagan, yaitu setiap
individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat,
sehinggah memungkinkan menjalankan peranannya di dalam kelompok tersebut.
Menurut pendapat Tonnies (dalam Ibrahim 2002:51) bahwa setiap
masyarakat selalu dijumpai salah satu diantara tiga solidaritas social, yakni:
1. Solidaritas diantara ikatan darah atau garis keturunan dan kelompok-kelompok
kekerabatan.
2. Solidritas antara tempat tinggal atau lokasi, yaitu orang-orang yang bertempat
tinggal berdekatan sehingga dapat saling tolong menolong.
3. Solidaritas berdasarkan jiwa, fikiran atu rasa yang sama atau ideologi yang sama.
11
Pendapat tersebut berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Di mana
peneliti mencoba untuk mendeskripsikan Solidaritas Sosial Imigran Madura di
Perantauan yang bekerja sebagai buruh tambang batu. Makna solidaritas pada poin
1 dan 3 di mana para Imigran Madura sebagai buruh tambang batu memiliki pikiran
dan jiwa yang sama bahwa mereka adalah kelompok buruh/pekerja yang berasal
dari dari daerah yang sama, sehinggah mereka memliki tanggung jawab untuk
saling tolong menolong secara primordial.
Solidaritas sosial sesungguhnya mengarah pada suatu hubungan keakraban
atau kekompakan (kohesi). Kekompakan dalam suatu kelompok akan berdampak
pada keberlangsungan kehidupan kelompok tersebut di dalam masyarakat.
Keadaaan kelompok yang semakin solid atau kokoh selanjutnya akan menimbulkan
sense of belongingness diantara anggotanya. Solidaritas juga merupakan
kesetiakawanan antar anggota kelompok social. Terdapatnya solidaritas yang tinggi
dalam kelompok tergantung kepercayaan setiap anggota terhadap kemampuan lain
untuk melaksanakan tugas dengan baik. Pembagian tugas dalam kelompok sesuai
dengan kecakapan masing-masing anggota dalam bekerja menghasilkan capaian
yang maksimal. Sehingga solidaritas di dalam kelompok tersebut semakin tinggi
beriringan pula dengan sense of belonging
(Huraerah dan Purwanto, 2006:7).
Lebih lanjut solidaritas sosial merupakan kohesi yang ada dalam setiap
suatu asosiasi, kelompok, kelas social dan diantara berbagai pribadi, kelompok
maupun kelas-kelas yang membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya (Soekanto
dalam Soedijati, 1995:14). Solidaritas sosial melahirkan persamaan, saling
12
ketergantungan dan pengalaman yang sama sebagai unsur pengikat dalam setiap
unit-unit keluarga, kelompok dan komunitas.
Konsep solidaritas sosial sebenarnya merupakan konsep sentral Emile
Durkhiem (1958-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Pengertian
mengenai solidaritas sosial diperjelas oleh Durkheim (dalam Lawang, 1994:181)
yang menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan
antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang diaut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional.
Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan
mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral
kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat.
Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman
emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Menurut Durkheim
berdasarkan penelitian yang dilakukan, solidaritas dapat dibedakan antara
solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan
integrasi apapun, dan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas
positif dibedakan berdasarkan ciri-ciri :
a. Yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara.
Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena
individu tergatung dari bagian-bagian yang membentuk masayarakat tersebut.
b. Solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi –fungsi yang berbeda
dan khusus, yang menyatukan hubunga-hubungan yang tetap, walalupun
13
sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya
merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun perlu dibedakan.
c. Dari perbedaan yang kedua itu muncul perbedaan yang ketiga, yang akan member
cirri-ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut
adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi
berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam satu
kesatuan.
Durkheim sangat memfokuskan kajian terhadap perkembangan suatu
masyarakat, sehinggah Durkheim melihat bahwa sebenarnya masyarakat itu
berkembang dari masyarakat sederhana (tradisional) menuju masyarakat modern
(kompleks). Durkheim memperhatikan perkembangan masyarakat yaitu bentuk
solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang
berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat
sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan
masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik.
2.1.1
Bentuk-Bentuk Solidaritas Sosial Menurut Emile Durkheim
a. Solidaritas Mekanik
Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga
timbul rasa kebersamaan diantara mereka. Rasa kebersamaan yang timbul dalam
masyarakat selanjutnya akan menimbulkan perasaan kolektif. Kondisi seperti ini
biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana. Belum ada pembagian
kerja yang berarti, artinya apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota
masyarakat biasanya juga dapat dilakukan oleh anggota masyarakatyang lainnya.
14
Belum terdapat saling ketergantungan diantara kelompok yang berbeda karena
masing-masing kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Menurut Durkheim, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu ’’kesadaran
kolektif’’ bersama (collective consciousness/conscience), yang menunjuk pada
‘’totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata
ada pada warga masyarakat yang sama itu”. (Durkheim dalam Johnson, 1986:183).
Ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral. Oleh
karena itu, maka individualitas tidak dapat berkembang dan bahkan terus-menerus
dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk komformitas.
Bagi Durkheim, indikator paling jelas bagi solidaritas mekanik adalah ruang
lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang sifatnya menekan itu atau represif. Selain
itu, hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional atas kerugian yang
minimpa masyarakat dan penyesuaian hukuman dengan tingkat kejahatannya,tetapi
hukuman tersebut lebih mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Ciri
khas yang paling penting dari solidaritas mekanik adalah solidaritas didasarkan
pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan
sebagainya. Homogenitas semacam ini hanya mungkin apabila pembagian kerja
atau diferensiasi masih minim atau terbatas.
b. Solidaritas Organik
Solidaritas sosial yang berkembang pada masyarakat–masyarakat kompleks
berasal lebih dari kesalingtergantungan daripada dari kesamaan bagian-bagian
(Campbell,1994:185). Lebih jelasnya, Johnson (1986:183) menguraikan bahwa
solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu
15
didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan
itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dan pembagian
pekerjaan yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan
dikalangan individu.
Munculnya perbedaan-perbedaan dikalangan individu ini merombak
kesadaran kolektif itu, yang pada akhirnya menjadi kurang penting lagi sebagai
dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan
fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan
secara relatif lebih otonom sifatnya. Selain itu, dalam masyarakat dengan solidaritas
organik tingkat heterogenitas semakin tinggi, karena masyarakat semakin plural.
Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi dan karir individual menjadi
dasar masyarakat pluralistik.
Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Pekerjaan orang lebih
terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam
kepercayaan, pendapat dan gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin
beragam, demikian pula kepercayaan, sikap dan kesadaran pada umumnya. Kondisi
seperti diatas tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, individu dan
kelompok dalam masyarakat semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda
pekerjaan dan spesialisasi dengannya.
Ini semakin diperkuat oleh pernyataan Durkheim bahwa kuatnya solidaritas
organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutif)
daripada yang bersifat mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat
(Durkheim dalam Johnson,1986:184). Singkatnya, ikatan yang mempersatukan
16
individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif, Sementara
pada solidaritas organik, heterogenitas dan individualitas semakin tinggi.
2.1.2
Sifat-Sifat Pokok Solidaritas
a. Solidaritas Mekanik
1. Pembagian kerja rendah
2.Kesadaran kolektif kuat
3. Hukum represif dominan
4. Konsensus terhadap pola-pola normatif penting
5. Individualitas rendah
6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah
8. Bersifat primitif atau pedesaan
b. Solidaritas Organik
1. Pembagian kerja tinggi
2. Kesadaran kolektif lemah
3. Hukum restitutif dominan
4. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum penting
5. Individualitas tinggi
6. Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang-orang yang menyimpang
7. Saling ketergantungan yang tinggi
8. Bersifat industrial perkotaan
2.1.3
Unsur-Unsur Pembentuk Solidaritas
17
Di dalam membangun hubungan yang erat dalam suatu komunitas atau
kelompok, tentu akan ada hal yang dapat mempersatukan mereka. Faktor tersebut
menjadi penting mengingat apa yang kemudian menjadi cita-cita bersama dalam
kelompok tersebut. Secara umum ada beberapa unsur yang kemudian dapat
membentuk solidaritas. Unsur-unsur tersebut antara lain, yaitu :
1. Kesatauan Genealogis atau Faktor Keturunan
Kesatuan Genealogis merupakan salah satu yang yang menjadi unsur dalam
membangun solidaritas suatu kelompok. Solidaritas yang dibangaun berdasarkan
kesamaan keturunan mampu membuat suasana kelompok sosial lebih mengarah
pada arah persaudaraan. Karena kesamaan keturunan mampu memberikan
komitmen yang kuat dalam kelompok sosial agar tidak terputus
tali
persaudaraannya.
2. Kesatuan Religius
Setiap agama sudah pasti memiliki atauran-atauran dalam hidup
bermasyarakat ataupun berkelompok. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam
sebuah nilai dan norma. Nilai dan norma inilah yang kemudian mengatur setiap
gerak-gerik tingkah laku manusia. Tentu hal yang sangat ideAl menjadikan
kesamaan agama sebagai pemersatu dalam membentuk suatau kelopok sosial dalam
membangun solidaritas sosial.
3. Kesatuan Teritorial (Community)
18
Terbentuknya suatu kelompok sosial dalam membangun solidaritas yang
kuat tentu pula didasari karena adanya kesamaan suatau wilayah atau sering kita
sebut dengan persamaan primordial (kedaeraan). Di dalam kesamaan primordial
sudah pasti nilai-nilai serta norma-norma yang dianut akan sama. Hal ini akan lebih
mudah dalam membangun pola interaksi dalam sebuah kelompok sosial.
4. Kesatuan Kepentingan (Asosiasi)
Tentu persamaan kepentingan dapat mempermudah tercapainya cita-cita
bersama. Karena pada dasarnya individu-individu memiliki keingainan yang ingin
dicapai. Oleh karena itu bergabung bersama dengan orang-orang yang memiliki
persamaan kepentingan, akan jauh lebih mudah untuk mencapainya.
2.2
Sistem Sosial Masyarakat Madura Daerah Asal
Dalam suatu sistem sosial terdapat beberapa unsur sebagai pengikat dalam
sistem sosial tersebut. Menurut Durkheim sturktur sosial adalah perilaku manusia
yang meliputi norma, nilai, kepercayaan dan integrasi yang kemudian dimodifikasi
di dalam budaya. Inilah yang kemudian menjadi pembeda antara suatu sistem sosial
masyarakat satu dengan yang lainnya. Hal itu pula yang berlaku bagi masyarakat
Madura. Masyarakat Madura dalam sistem sosialnya memiliki unsur-unsur dalam
membangun solidaritas sosialnya. Unsur- unsur tersebut terdiri dari struktur, nilai,
norma, kultur dan integritas.
2.2.1
Struktur Masyarakat Madura
Berbicara mengenai struktur dalam suatu etnisitas tentu akan berbeda satu
sama lain dengan setiap etnisitas yang ada di Indonesia. Struktur masyarakat Jawa,
tentu berbeda dengan masyarakat Bugis. Struktur masyarakat Batak tentu akan
19
berbeda dengan masyarakat Papua, dan seterusnya. Berikut merupakan penjelasan
mengenai struktur/stratifikasi masyarakat Madura :
A. Stratifikasi Dilingkungan Masyarakat Madura
1. Oreng Kene/Dume = Sebagai Lapisan Terbawah, yaitu : Masyarakat yang
biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani – nelayan – pengrajin dan orang yang
tidak punya mata pencaharian tetap.
2. Ponggaba, yaitu : Orang yang bekerja di instansi normal terutama di Kantor
Pemerintah.
3. Parjaji, yaitu : Lapisan masyarakat yang berada paling atas.
Parjaji ada 2 macam pengertiannya :
Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya
tingkatan Gelar Ke Bangsawanannya seperti RA-RP-RB-R. mas-R (untuk laki –
laki) R.Ayu/R.Ajeng, R.Roro (untuk wanita). Orang-orang berpangkat menengah
sampai dengan tinggi pada saat Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana
(Camat) , Wedana Patih –Kanjeng / Bupati, dsb.
B. Stratifikasi Dilingkungan Masyrakat Agama/Pesantren
Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama/pesantren yang kita kenal ada
4 Tingkatan, Yaitu ( Dari yang ter-atas )
1. Kyai
Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka agama (Ulama) karena
menguasai banyak ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat
juga sebagai penerus/pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya.
2. Bindarah
20
Adalah orang-orang yang telah mendapatkan/men-tamatkan pendidikannya
di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang
cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Kyai. Ada pula Bindarah
yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis terutama di desa/dusun yang agak
jauh dari seorang Kyai.
3. Santri
Adalah orang-orang yang masih sedang menuntut ilmu keagamaan di
Pondok Pesantren.
4. Banne Santri
Seseorang yang tidak pernah mondok/tidak pernah menuntut ilmu
keagamaan di Pondok Pesantren.
2.2.2
Nilai
Setiap suku bangsa yang ada di nusantara ini pasti memiliki nilai-nilai luhur
yang dijadikan sebagai pedoman untuk hidup bermasyarakat, agar kehidupan dalam
berinteraksi di dalam perbedaan dapat terjalin dengan mudah, sehinggah dapat
tercipta kondisi yang aman, nyaman serta damai dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti itu pula yang dilakukan Etnis Madura. Dalam bermasyarakat Etnis Madura
memiliki 3 nilai yang dijadikan sebagai pedoman hidup, antara lain sebagai berikut
:
1. Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun
penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa
pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak
pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah
21
masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu
tatakrama kesopanan.
Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai
kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan
bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao
a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus
tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang
Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tata krama dalam setiap tindakannya.
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturanaturan tata krama yang ada.
Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya
benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep
ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama
tatakramanya). Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang
Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini
mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial.
2. Kehormatan
Masyarakat
Madura
sangat
mengutamakan
penghormatan
dan
penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan
sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat
penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madura tidak mau
diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya
ungkapan madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura
22
diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan
penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula.
Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil,
maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai
sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat
nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti
orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam
masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan
orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus).
Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate (obatnya malu
adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati
daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi
Etnis Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat
dengan masalah tanah dan air.
3. Agama
Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah Kyai. Itulah yang
menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para Kyai. Mereka
bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat.
Para Kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga
buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati. Kepemimpinan yang disandang
para Kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus.
23
Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial,
bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan
Etnis Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura
yang bertempat tinggal di luar pulau Madura. Tidak hanya itu karakter orang
Madura, yang memberikan perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya
adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang
Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang
Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata),
Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
2.2.3
Norma
Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang religius. Sikap religious
ini dibuktikan dengan kepatuhan untuk menjalankan agama dengan baik, seperti
ubudiyah (sholat, puasa, zakat, dan haji) dan muamalah (interaksi sosial) yang
sesuai dengan norma dan qanun (aturan main) di dalam Islam. Pemahaman
keagamaan masyarakat Madura dan tingkat kepatuhan yang sangat tinggi dalam
menjalankan nilai-nilai keagamaan tidak terlepas dari peran serta Kyai. Kyai
dijadikan panutan oleh masyarakat di Madura, bukan hanya dalam persoalan
keagamaan, namun juga dalam persoalan pendidikan, politik, budaya dan sosial
kemasyarakatan.
Di dalam masyarakat Madura ada tiga orang yang harus dihormati di dalam
hidup, yaitu Rato, Buppa, dan Guruh. Rato artinya penguasa. Jadi siapapun yang
menjadi penguasa baik ditingkat desa yaitu klebon (kepala desa) ataupun ditingkat
24
kabupaten semuanya harus dihormati baik perkataan maupun kebijakannya. Buppa
adalah orang tua. Orang tua adalah segala-galanya bagi orang Madura. Hidup dan
matipun rela dikorbankan demi orang tua bagi masyarakat Madura. Guruh adalah
orang yang mengajarkan ilmu seperti para Kyai yang ada di pondok pesantren.
Berbeda dengan masyarakat lainnya yang ada di nusantara, masyarakat
Madura memliki persepsi tersendiri terhadap sosok Kyai. Di Madura peran dan
pengaruh seorang Kyai sangatlah kuat. Sosok seorang Kyai bagi masyarakat
Madura ialah kharismatik, penuh wibawa dan alim (berilmu). Kyai adalah panutan
dan dijadikan sebagai tempat mengaduh setiap permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat Madura (problem solver), oleh karena itu, Kyai menempati poisisi
teratas dalam struktur masyarakat Madura. Hampir bahkan malah tidak mungkin
jika ada masyarakat Madura yang mempunyai persoalan hidup tidak pergi kepada
Kyai. Sebab dengan pergi dan sowan (bertamu) saja kepada Kyai, (menurut
mayoritas masyarakat Madura) telah mengilangkan separuh dari persoalan yang
dihadapi.
Tidak jarang permasalahan dan konflik internal dalam masyarakat
terselesaikan oleh kehadiran sosok Kyai. Jika Kyai berkata A, maka yang lainnya
juga akan berkata A, dan jika menurut beliau B, maka tidak ada yang dapat berkata
A. Sebab hal itu dapat dianggap melanggar adat dan etika masyarakat Madura.
Tanpa kehadiran seorang sosok Kyai dalam sebuah acara, baik pengatin, selamatan,
atau lainnya, maka acara tersebut tampak kurang lengkap atau bahkan tidak
barokah. Sebab, Wejangan dan do’a seorang Kyai, selalu ditunggu-tunggu oleh
masyakarat.
25
Masyarakat Madura selalu mengharapkan kehadiran sosok Kyai ditiap fase
kehidupan yang mereka jalani. Olehnya, Kyai sangat dihormati dan dia bergerak
sebagai pengatur arus massa. Kyai memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
masyarakat Madura. Persepsi yang terjadi pada masyarakat Madura yang sedemikin
rupa ini tentunya ada sebabnya, budaya Madura tentang Rato, Buppa’, Guruh
mempengaruhi persepsi yang ada pada masyarakat tentang sosok Kyai, terlebih
juga sejarah di Madura bahwa pada jaman dahulu Kyai Madura banyak membantu
dan membawa banyak perubahan positif terhadap masyarakat Madura, hal ini tidak
dapat dihilangkan dan terjadi turun-temurun hingga saat ini, mengakar dalam
kondisi sosial masyarakat Madura. Oleh karena itu di manapun, kapanpun
masyarakat Madura berada mereka akan selalu tunduk dan patuh terhadap sosok
Kyai yang dianggap sebagai panutan dalam hidup.
2.2.4
Kultur Masyarakat Madura Daerah Asal
Setiap etnis di Indonesia memiliki budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut
tentu disebabkan karena Indonesia adalah negara kepulauan. Perbedaan-perbedaan
geografis setiap wilayah tersebut secara tidak langsung membedakan pula karakterkarakter setiap etnis. Ada yang keras, kasar, lembut, dan lain sebagainya. Orang
Madura adalah masyarakat yang memliki karakter yang keras, kasar, dan ulet. Hal
tersebut dipengarui karena kondisi wilayah pulau Madura yang kering dan tandus.
Sehinggah membentuk jiwa-jiwa yang kuat yang mampu bertahan dalam kondisi
apapun.
Selain itu masyarakat Madura juga dikenal sebagai masyarakat yang sering
bepergian ke wilayah luar pulau Jawa (merantau) demi kehidupan lebih baik secara
26
ekonomi dan sosial. Budaya masyarakat Madura ketika merantau hal yang pertama
kali mereka lakukan adalah mencari sanak saudara yang bermukim di daerah tempat
dia tuju. Sebagai pendatang baru-terutama bagi mereka yang pada dasarnya berasal
dari kelompok sosial ekonomi marginal mereka tetap membutuhkan tempat
penyanggah sebelum berhasil meraih penghidupan yang lebih baik. Selain
pertimbangan dari faktor sosial ekonomi ini, secara kultural orang Madura
mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan memelihara ikatan kekerabatan di
antara sanak keluarganya di mana pun mereka berada lebih-lebih di perantauan.
Hal ini demi menjaga agar setiap dan sesama anggota keluarga tidak akan
kaelangan obur artinya tidak akan berada dalam suasana kegelapan sehingga tidak
tahu lagi siapa sanak keluarga atau kerabatnya. Akibat semua ini mudah dipahami
apabila pola permukiman orang-orang Madura di perantauan selalu cenderung
mengelompok. Realitas ini tidak serta merta dapat ditafsirkan dan dimaknai bahwa
perantau Madura merupakan kelompok eksklusif yang enggan menjalin relasi sosial
dengan orang dari masyarakat lain. Tersebarnya para perantau Madura di berbagai
daerah di Indonesia dalam suasana kehidupan yang rukun dan penuh kedamaian
dengan penduduk setempat dalam kurun waktu beberapa generasi membuktikan
bahwa proses adaptasi dan integrasi sosial orang Madura di perantauan cukup
berhasil.
Kewajiban kultural tersebut semakin mendapat penguatan oleh luasnya
cakupan wilayah kerabat (taretan) dalam kehidupan masyarakat Madura.
Sebagaimana pada masyarakat di kebudayaan lain, konsep kerabat atau sanak
keluarga (taretan) pada masyarakat Madura selain mengacu pada hubungan
27
genealogis juga mengacu pada hubungan perkawinan (taretan ereng). Yang perlu
dipahami bahwa bagi masyarakat Madura konsep kerabat mencakup sampai empat
keturunan dari ego baik ke atas maupun ke bawah (ascending and descending
generations). Selain itu adapula tradisi yang paling terkenal dalam masyarakat
Madura, yaitu Carok. Carok secara tidak langsung menjadi identititas orang
Madura di manapun mereka berada.
Carok merupakan kebiasaan adat mereka untuk menyelesaikan sengketa
yang terlalu memakan emosi mereka. Carok ini dapat kita samakan dengan “hutang
nyawa dibayar nyawa”. Jika salah satu dari mereka (orang Madura) yang sudah
mengucap atau menantang Carok dengan yang lain, maka harus dilakukan
secepatnya. di dalam Carok tersebut, salah seorang dari pelaku Carok harus ada
yang mati, karena itulah suatu kebudayaan hukum mereka.
Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata
(biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena Carok
merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum.
Ini merupakan cara Etnis Madura dalam mempertahankan harga diri mereka.
Banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan
ajaran agama meski Etnis Madura sendiri kental dengan Agama Islam pada
umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
Kata Carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung
dengan kehormatan'. Biasanya, Carok merupakan jalan terakhir yang di tempuh
oleh masyarakat Etnis Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok
biasanya
terjadi
jika
menyangkut
masalah-masalah
yang
menyangkut
28
kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah
perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Secara garis besarnya budaya masyarakat Madura di golongkan menjadi 6,
antara laian sebagai berikut :
1. Kebudayaan Macopat (Mamaca)
Macopat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan
kebudayaan Madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang
yang ditulis dengan bahasa Jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau
juga yang dikanal dengan istilah tembeng. Biasanya dalam pembacaan macopat ini
terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan
seruling.
2. Ritual Ojung
Pelaksanaan ritual Ojung dalam bentuknya sejenis permainan yang
melibatkan dua orang untuk beradu fisik dengan dilengkapi media rotan berukuran
besar sepanjang 1 meter sebagai alat memukul. Ritual ini biasanya diselenggarakan
agar segera turun hujan dan terhindar dari malapetaka akibat kekeringan musim
kemarau dan biasanya diiringi dengan musik yang jarang dijumpai di daerah lain
yang terdiri dari 3 buah dung-dung (akar pohon siwalan) yang dilubangi di
tengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik kleningan
sebagai pengatur lagu.
3. Kebudayaan Rokat Tase (Petik Laut)
Tradisi Rokat Tase dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang
diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan
29
keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja. Ritual atau tradisi tersebut,
biasanya dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh
masyarakat yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Setelah itu, masyarakat
melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng,
ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut Rokat Tase oleh
penduduk setempat.
4. Kebudayaan Okol
Okol, istilah warga Madura untuk menyebutkan olahraga gulat tradisional.
Tradisi okol biasa dilakukan pada saat musim kemarau berkepanjangan melanda.
Namun apabila kita lihat baik dari tujuan maupun pelaksanaannya Okol hampir
sama dengan kebudayaan Ojung.
5. Kebudayaan Rokat
Kebudayaan Rokat yang ada di Madura dilakukan dengan maksud jika
dalam suatu keluarga hanya ada satu orang laki-laki dari lima bersaudara (Pandapa
Lema), maka harus diadakan acara Rokat. Acara Rokat ini biasanya dilaksanakan
dengan mengundang topeng (Nangge Topeng) yang diiringi dengan alunan musik
gamelan Madura dan sembari dibacakan Macopat (Mamaca).
2.2.5
Integrasi
Untuk dapat menciptakan suatu integrasi sosial yang kuat, serta menjadikan
hubungan tersebut semakin solid, maka pola interaksi yang terjadi dalam
masyarakat tersebut harus dibangun secara baik. Interaksi yang berlangsung secara
baik akan mengahadirkan kekuatan sosial dalam masyarakat tersebut. Kekuatan-
30
kekuatan tersebutlah yang selanjutnya menjadi tameng bagi kelompok tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat akan terdapat
berbagai gesekan-gesekan sosial yang terjadi karena adanya bermacam-macam
perbedaan, baik itu perbedaan secara kultural, politik dan kepentingan.
Oleh karenanya untuk dapat meminimalisir hal tersebut, setiap masyarakat
memiliki aturan-aturan dalam budaya mereka masing-masing, mengenai
bagaimana seharusnya menjalani kehidupan, mencapai tujuan tanpa harus
menggunakan cara-cara yang kotor, menghasilkan segala sesuatu dengan cara yang
benar, serta saling menghargai sesamanya.
Masyarakat yang ditandai oleh
solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis.
Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas
yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Di dalam masyarakat yang
dibentuk oleh kesadaran mekanis, kesadaran kolektif melingkupi seluruh
masyarakat dan seluruh anggotanya. Aturan ini sangat diyakini, sangat rigid, dan
sisanya sangat bersifat religius.
Selain itu Geertz juga mengatakan bahwa unsur-unsur primordial/integrasi
itu adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir dari yang ‘dianggap ada’ dalam
kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga,
tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa
tertentu atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaanpersamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan sebagainya
memiliki kekuatan yang meyakinkan". Menurut Glaser dan Moynihan (1981), yang
31
termasuk unsur-unsur penting primordial adalah genealogi (keturunan dan ikatan
kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi
pengikat utama dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini
menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan
perilaku budaya mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki
oleh suatu kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu
kelompok etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya
merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara
kontekstual.
Artinya, setiap orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu
mengidentifikasi dan memahami makna simbolik dari perilaku budaya tersebut.
Pemahaman yang sama terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan
subyek sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam
interaksi sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat
meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau
kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme
yang dapat menimbulkan ketegangan sosial. Elemen penting primordial (purba)
yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial adalah ikatan
kekerabatan.
2.3
Pengertian Interaksi Sosial
Menurut Burhan Bungin (2008: 55) bentuk umum proses sosial adalah
interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas sosial.
32
Selanjutnya ada beberapa pengertian interaksi sosial seperti yang dikemukakan oleh
Bonner (Ahmadi, 1990 : 54), interaksi sosial adalah suatu hubungan antar dua orang
atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengarui,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lainnya atau sebaliknya.
Selanjutnya menurut Soerjorno Soekanto (2002 : 62), interaksi sosial
merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan
dengan kelompok manusia. Selain itu Soerjorno Soekanto (1996 : 67) juga
menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial,
karena tanpa interaksi tidak akan mungkin ada kehidupan bersama-sama.
Sedangkan menurut Bimo Walgito (2000 : 65), bahwa interaksi sosial adalah
hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat
mempengarui individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan timbal balik.
2.3.1
Syarat-Syarat Interaksi Sosial
Menurut Soejorno Soekanto (2002 : 65), syarat terjadinya interaksi sosial
adalah kontak sosial (sosial contact) dan adanya komunikasi (communication).
1. Kontak Sosial ( social contact )
Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum (bersama-sama)
menyentuh. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok dan
mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau
kelompok lain. Penagkapan makna tersebut menjadi pangkal tolak untuk
memberikan reaksi yang bersifat positif maupun reaksi yang bersifat negative.
33
Secara fisik kontak sosial terjadi apabila adanya hubungan fisikal, sebagai
gejala sosial bukan hanya hubungan badaniah, karena hubungan sosial terjadi tidak
secara menyentuh seseorang, namun orang dapat berhubungan dengan orang lain
tanpa harus menyetuhnya. Misalnya kontak sosial terjadi ketika seseorang berbicara
dengan orang lain, bahkan kontak sosial dapat dilakukan dengan menggunakan
teknologi, seperti melalui telepon, telegraf, radio, surat, televise, internet dan lain
sebagainya.
Kontak sosial dapat berlagsung dalam lima bentuk, yaitu :
a. Dalam bentuk proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang per orang.
Proses sosialisasi memungkinkan seseorang mempelajari norma-norma yang
terjadi di masyarakat. Berger dan Luckmann (Bungin, 2001:14), mengatakan proses
ini terjadi melalui proses objektivikasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam
dunia intersubjectif yang di lembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.
b. Antara orang per orang dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya.
c. Antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam
sebuah komunitas.
d. Antar orang per orang dengan masyarakat global di dunia internasional.
e. Antara orang per orang, kelompok, masyarakat, dan dunia global, di mana kontak
sosial terjadi secara simultan diantar mereka.
Secara konseptual kontak sosial dapat dibedakan antara kontak sosial primer
dan kontak sosial sekunder. Yang dimaksud kontak sosial primer yaitu kontak
sosial yang terjadi secara langsung antara seseorang dengan orang lain atau
kelompok masyarakat lainnya secara tatap muka. Sedangkan yang dimaksud
34
dengan kontak sosial sekunder adalah kontak sosial yang terjadi melalui perantara
yang sifatnya manusiawi maupun teknologi.
2. Komunikasi
Hafield Cangara (2009 :18), mengemukakan bahwa istilah komunikasi
berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal
dari akar kata dalam bahasa latin communico yang artinya membagi. Komunikasi
menurut William J. Seller (Muhammad, 2005 :4), memberikan definisi komunikasi
yang lebih bersifat universal. Menurutnya komuikasi adalah proses dengan mana
symbol verbal dan non verbal dikirimkan, diterma, dan diberi arti.
Keliatannya dari pengertian ini proses komunikasi sangat sederhana, yaitu
mengirim dan menerima pesan tetapi sesungguhnya komunikasi sesungguhnya
adalah suatu fenomana komleks yang sulit dipahami tanpa mengetahui prinsip dan
komponen yang penting dari komunikasi tersebut. Selanjunya menurut Brent D.
Ruben (Muhammad, 2005:3), memberikan pengertian komunikasi manusia yang
lebih komprehensip.
Menurutnya, komunkasi adalah suatu proses melalui mana individu dalam
hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat
menciptakan, mengirimkan dan menggunakan informasi untuk mengkordinasikan
lingkungannya dengan orang lain.
Menurut Everett Kleijan (Cangara, 2008:1), komunikasi merupakan bagian
kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Kemudian Hafield Cangara
(2008 :1), mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat
35
fundamental bagi seseorang dalam bermasyarakat. Sedangkan menurut Casandra
L. Book (Cangara, 2008:19), komunikasi ialah suatu transaksi proses simbolik yang
menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan:
1. Melakukan hubungan antar sesama manusia
2. Melalui pertukaran informasi
3.
Untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta
4.
Berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.
Menurut Seiler (Muhammad, 2005 :19), ada empat prinsip dasar komunikasi,
yaitu :
a. Komunikasi sebagai Suatu Proses
Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri kegiatan yang
terus menerus yang tidak mempunyai permulaan atau akhir dan selalu berubahubah. Komunikasi juga melibatkan suatu versi saling berhubungan dengan
kompleks yang tidak pernah ada duplikat dengan cara persis sama yaitu saling
berhubunungan diantara orang, lingkungan,
keterampilan, sikap,
status,
pengalaman, dan persamaan, semuanya menentukan komunikasi yang terjadi pada
suatu tempat.
b. Komunikasi sebagai Sistem
Komunikasi terdiri dari beberapa komponen dan masing-masing
kompponen tersebut mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari komponen ini
berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan suatu komunikasi.
c. Komunikasi bersifat Interaksi dan Transaksi
36
Interaksi adalah saling bertukar komunikasi. Sedangkan trasnsaksi adalah
kehidupan dalam sehari-hari komunikasi yang kita lakukan seteratur itu prosesnya.
Banyak dalam percakapan tatap muka kita terlibat dalam proses pengiriman pesan
secara stimultan tidak terpisah. Jadi komunikasi yang terjadi diantara manusia dapat
berupa interaksi dan transaksi.
d. Komunikasi dapat terjadi disengaja maupun tidak disengaja
Komunikasi yang sengaja terjadi apabila pesan yang mempunyai maksud
tertentu dikirimkan kepada penerima yang dimaksudkan untuk orang tertentu
menerimanya maka itu dinamakan komunikasi tidak sengaja.
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam komunikasi, diantaranya :
1. Sumber, yakni peristiwa komunikasi melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim atau komunikator.
2. Pesan, yaitu sesuatu yang disampaiakn pengirim kepada penerima. Pesan dapat
disampaiakan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi.
3. Media, yakni alat yang dignakan untuk emmindahkan pesan dari sumber kepada
penerima. Media dalam komuikasi massa dibedakan menjadi dua, yaitu media cetak
dan media elektronik.
4. Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran untuk diberikan informasi oleh
sumber
Faktor- faktor yang mendasari berlangsungya interaksi sosial :
1. Faktor Imitasi
37
Imitasi merupakan doronga untuk meniru orang lain. Imitasi tidak
berlangsung secara otomatis, melainkan dipengarui oleh sika menerima mengagumi
terhadap apa yang diimitasi
2. Faktor Sugesti
Sugesti adalah proses yang terjadi dalam diri individu terhadap pengaruh
psikis, baik yang dari dirinya sendiri maupun orang dari orang lain, yang pada
umumnya diterima tanpa adanya daya kritik.
3. Faktor Identifikasi
Identifikasi adalah suatu dorongan untuk menjadi sama seperti orang lain,
baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Proses identifikasi ini mula-mula
berlangsung secara tidak sadar, kemudian irasional, yaitu berdasarkan perasaaanperasaan atau kecendrungan-kecendrungan dirinya yang tidak diperhitungkan
secara rasional, dan yang ketiga indentifikasi berguna untuk melengakapi sistem
norma-norma, cita-cita, dan pedoman-pedoman tingkahlaku orang yang
mengidentifikasi itu.
4. Faktor Simpati
Simpati yakni perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain.
Simpati timbul berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi,
bahkan seorang dapat secara tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain dengan
sendirinya karena keselurua cara-cara bertingkah laku menarik baginya. Proses
simpati dapat pula berjalan secara perlahan-lahan secara sadar dan cukup nyata
dalam hubungan dua orang atau lebih.
Bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu :
38
1. Proses-proses yang Asosiatif
a. Kerjasama
Menurut Soerjano Soekamto, kerjasama adalah usaha bersama untuk
mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu secara bersama-sama.
b. Akomodasi
Menurut Soerjono Soekamto, akomodasi dipergunakan dalam dua arti untuk
menunjuk pada suatu keadaan dan dapat menunjuk pada suatu proses sosial.
Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan
dalam interaksi antar orang-perorangan atau kelompok –kelompok sosial yang
berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan akomodasi sebagai proses menunjuk pada
usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk mencapai
kestabilan.
2. Proses-proses Disosiatif
a. Persaingan
Persaingan menurut Soerjono Soekamto, adalah suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian
umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka
yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Adapun fungsi
persaingan, antara lain:
1. Persaingan untuk menyaurkan keinginan-keinginan individu dan kelompok yang
bersifat kompetitif.
39
2. Persaingan sebagai jalan untuk keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai pada
suatu masa dapat tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
3. Persaingan merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial.
4. Persaingan berfungsi sebagai alat untuk menyaring para warga golongan kaya
(fungsional) yang akhirnya akan mengahsilkan pembagian kerja yang kolektif.
b. Kontravensi
Kontravensi menurut Soejono Soekamto adalah suatu bentuk proses sosial
yang berada diantara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi
ditandai adanya gejala-gejala seperti ketidakpastian mengenai diri seseorang atau
suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan dan lain-lainnya terhadap
kepribadian seseorang.
c. Pertentangan atau pertikaian
Pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompokkelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai dengan adanya ancaman atau kekerasan. Pertikaian terjadi disebabkan
adanya perbedaan antara individu-individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan
kepentingan dan perubahan sosial.
2.4
Pengertian Imigran
Imigran merupakan pelaku daripada imigrasi, arti dari kata imigrasi sendiri
yaitu perpindahan penduduk yang dilakukan seseorang antar benua atau negara.
Lebih jelasnya bahwa imigran adalah orang yan melakukan perpindahan dari suatu
negara, ke negara lain yang bukan negaranya. Faktor-faktor yang menyebabkan
40
terjadinya imigrasi bisa karena faktor ekonomi, politik, keturunan/hubungan darah,
keamanan dan bencana alam.
Dahulu istilah imigran tidak terbatas pada manusia sebagai pelakunya,
namun juga dapat digunakan pada hewan dan benda yang dibawa pindah melintasi
perbatasan suatu negara. Awalnya perpindahan penduduk ini terjadi karena
peperangan dan bencana alam, sehinggah para penduduk mencari wilayah lain yang
lebih aman. Kemudian istilah imigran dipersempit terbatas pada manusia saja,
setelah negara-negara mengalami perkembangan yang secara otomatis juga
menciptakan undang-undang dan peraturan.
Imigrasi merupakan bagian daripada migrasi. Di mana pengertian daripada
migrasi, urbanisasi dan trasnmigrasi pun berbeda. Migrasi merupakan perpindahan
atau gerak penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Adapun migrasi terbagi
menjadi tujuh jenis, yaitu remigrasi, imigrasi, evakuasi, emigrasi, forensen,
turisme, dan week end.
2.4.1
Jenis-Jenis Migrasi
a. Remigrasi
Remigrasi adalah perpindahan penduduk untuk kembali ke tanah asalnya
semula/tempat kelahirannya. Misalnya, karena sudah tua seseorang kembali ke
daerah asalnya agar setelah meninggal dapat dikubur di daerah asalnya.
b. Imigrasi
41
Imigrasi adalah perpindahan penduduk dan negara asing untuk menetap dan
menjadi warga negara di negara yang baru didatanginya. Misalnya seseorang dari
Indonesia pindah ke Amerika Serikat.
c. Evakuasi
Evakuasi adalah perpindahan atau pengungsian penduduk dari tempat
tinggalnya karena gangguan keamanan ataupun bencana alam. Misalnya korban
perang dan bencana alam.
d. Emigrasi
Emigrasi adalah perpindahan sekelompok ataupun perorangan dari suatu
negara ke negara lain. Misalnya, orang Indonesia yang menetap di Jepang. Bagi
Indonesia disebut emigran, sedangkan bagi Jepang disebut imigran.
f. Forensen (nglaju)
Forensen atau nglaju adalah orang yangn tinggal di desa (luar kota) tetapi
mempunyai mata pencaharian di kota sehinggah setiap hari pulang pergi dalam
perjalanan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya perumahan di kota. Misalnya, banyak
orang yang bekerja di Jakarta, tetapi bertempat tinggal di luar Jakarta.
g.Turisme
Turisme adalah perjalanan yang dilakukan oleh sekelompok orang ataupun
perorangan ke daerah-daerah pariwisata. Misalnya, orang yang berpariwisata ke
daerah wisata seperti Bali, Danau Toba, Borobudur dan Tanah Toraja.
h. Week End
42
Week end adalah kegiatan bepergian ke luar kota pada akhir minggu untuk
menghirup udara segar ataupun bersantai karena banyaknya kerjaan di kantor.
Misalnya, orang Jakarta berakhir pekan ke Puncak Bogor, Jawa Barat.
2.4.2
Urbanisasi
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari kota kecil ke kota besar, atau
perpindahan penduduk dari kota kecil ke kota besar untuk menetap atau mencari
pekerjaan. Saat ini urbanissi menjadi permasalahan yang serius bagi pemerintah.
Karena persebaran penduduk di perkotaan
yang tidak merata akhirnya
menimbulkan berbagai polemik sosial, ditambah tidak diimbangi dengan
pertumbuhan lapangan pekerjaan, fasilitas-fasilitas umum, tempat tinggal dan lain
sebagainya. Sebenarnya ada dua faktor yang mendorong orang-orang sehingga
melakukan urbanisasi. Dua faktor pendorong tersebut yaitu :
1. Faktor pendorong dari desa
Beberapa faktor pendorong dari desa diantaranya sebagai berikut :
- Jumlah lapangan pekerjaan di desa masih sangat terbatas
- Banyak fasilitas belum memadai seperti, pendidikan, transportasi, dan kesehatan
- Upah di desa sangat masih rendah
2. Faktor penarik dari kota
Beberapa faktor penarik dari kota diantaranya sebagai berikut :
- Di kota jumlah lapangan pekerjaan lebih banyak ketimbang di desa
- Upah di kota lebih besar
- Kota dijadikan sebagai pusat pemerintahan, industri, teknologi dan bisnis
2.4.3
Transmigrasi
43
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah yang padat ke
daerah yang kurang padat. Orang yang melakukan transmigrasi disebut
transmigran. Transmigrasi merupakan bentuk migrasi penduduk khas Indonesia
karena tidak dijumpai di daerah lainnya.
Trasnmigrasi merupakan salah satu program pemerintah sebagai upaya
dalam menyetarakan persebaran penduduk di seluruh daerah yang masih padat
penduduknya seperti Jawa, Bali, dan Sumatra menuju daerah yang kurang kurang
penduduknya, seperti Kalimantan. Tujuan utama dilaksanakan program tersebut
yaitu :
1. Membuka daerah dari yang padat ke kurang penduduknya dan meningkatkan
potensi ekonomi daerah tersebut
2. Meningkatkan produksi hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian
3. Secara sosial budaya meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa
4. Memeratakan persebarab penduduk
5. Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional
6. Meningkatkan taraf hidup rakyat
2.5
Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan tahapan batasan pengertian dalam
penelitian. Dari pendekatan teori yang disajikan dalam menjelaskan”Solidaritas
Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Kali Kabupaten
Paser”. Batasan konsep meliputi konsep Imigran Madura, Solidaritas Sosial, dan
Interaksi Sosial.
44
Imigran Madura adalah sekelompok orang (etnis) atau perorangan yang
melakukan perjalanan/merantau menuju daerah yang dianggap potensial untuk
dapat merubah kehidupan jauh lebih baik dari sebelumnya yang disebabkan karena
faktor geografis, politik, ekonomi, dan sosial.
Solidaritas sosial adalah suatu rasa sepenanggungan, seperasaan, saling
memiliki yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu untuk dapat
mempertahankan nilai-nilai budayanya agar dapat mempertahankan eksistensi
kelompoknya.
Interaksi sosial adalah hubungan atau kontak yang terjadi antara dua orang
atau lebih yang bersifat sementara ataupun berkelanjutan yang di dalamnya bisa
terdapat berupa informasi dan berita. Kontak atau hubungan tersebut dapat terjadi
secara langsung ataupun tidak langsung.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskripstif
exsploratif. Di mana menurut Bogyan dan Taylor metode penelitian kualitatif
45
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dasar penulis
ingin menggunakan penelitian kualitatif adalah bahwa peniliti ingin mengetahui
secara lebih mendalam mengenai ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa
Jemparing Kecamatan Long Kali Kabupaten Paser’. Dilihat dari aspek tujuan
penilitian ini adalah penelitian exsploratif. Penelitian exsploratif adalah penelitian
yang bertujuan menggali secara luas mengenai sebab-sebab atau hal-hal yang
mempengarui terjadinya sesuatu. Asumsi peneliti menggunakan penelitian
exsploratif adalah bahwa peneliti ingin menggali secara lebih luas mengenai
mekanisme ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan’.
Maka dalam hal ini peneliti mempelajari bagaimana Imigran Madura
membangun solidaritasnya di perantauan sebagai kekuatan sosial. Peneliti dapat
mempelajari kekuatan dari solidaritas tersebut dengan mengetahui dan
menganalisis, proses dalam membangun solidaritas di perantauan melalui perilaku
kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma, serta mekanisme-mekanisme
dalam membangun soldiaritas dari para Imigran Madura yang berada di Desa
Jemparing.
3.2
Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di Desa Jemparing
Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser tepatnya di lokasi tambang batu (Galian C).
Alasan utama peneliti mengambil lokasi penelitian tersebut karena peneliti melihat
seluruh pekerja tambang batu di lokasi tersebut adalah imigran yang berasal dari
Madura. Peneliti melihat hal tersebut secara sekilas sebagai upaya dalam
46
membangun solidaritas antar Imigran Madura yang berada di perantauan. Hal ini
secara tidak langsung akan berpotensi menjadi konflik dengan masyarakat asli di
daerah tersebut. Oleh sebab itu peneliti sangat tertarik melakukan pengamatan
mendalam terhadap para pekerja tambang batu yang berada di Desa Jemparing,
tentang ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan.
3.3
Sumber Data
3.3.1
Data primer
a. Observasi
Sebelum peneliti melakukan penelitian di Desa Jemparing, tepatnya di
lokasi bahan galian C di wilayah Ombe, hal pertama yang peneliti lakukan adalah
peneliti melakukan observasi terlebih dahulu. Observasi yang dilakukan untuk
mengetahui gambaran sederhana terkait dengan Solidatitas Imigran Madura yang
berada di wilyah Desa Jemparing, tepatnya di wilayah Ombe. Observasi dilakukan
sebagai langkah awal untuk dapat mengidentifikasi permasalahan yang ada.
Observasi
bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah,
sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai pembuktian terhadap proses
bagaimana para Imigran Madura membangun solidaritas kelompoknya di
perantauan. Dalam hal ini peneliti akan melakukan pengamatan dan pencatatan
detail tentang segala perilaku kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma
kelompok, serta mekanisme dalam membangun solidaritas kelompoknya di
perantauan.
b. Wawancara
47
Selanjutnya peneliti akan melakukan wawancara dengan sumber data secara
langsung yang disebut sebagai informan. Informan dalam penelitian ini adalah
Bapak Matori sebagai tokoh kharismatik/Kyai/Kepala Adat, Bapak Tirto Kusumo
sebagai ketua/yang mengorganisir para Imigran Madura yang berada di wilayah
galian Ombe, serta beberapa pekerja tambang batu di wilayah tersebut. Adapaun
pertanyaan yang peneliti akan tanyakan kepada informan yaitu tentang :
1. Nilai dan Norma Etnis Madura.
2. Sistem Kepemimpinan.
3. Sistem Stratifikasi Komunitas.
4. Ritual-ritual Keagamaan/Komunitas.
5. Kegiatan-kegiatan Rutin Komuintas Lain yang Melekatkan Komunitas.
6. Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas dan luar Komunitas.
7. Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan Komunitas Etnis Madura di Wilayah
lain.
3.3.2 Data sekunder
Data-data yang dapat mendukung penelitian (data sekunder) diperoleh dari
sumber informasi lain, sebagai berikut :
a. Kepustakaan
Data tambahan lainnya peneliti peroleh dari ketua RT setempat, data di
kantor desa, arsip, buku, artikel, media massa koran ataupun artikel on-line internet
yang relevan sebagai bahan penunjang penelitian dan monografi kependudukan
b. Dokumentasi
48
Menghubungkan beberapa variabel dari beberapa catatan, trasnkip, buku,
rekaman dan lain sebagainya. Selain itu mengabadikan foto-foto terkait dengan
kegiatan-kegiatan dan aktivitas kelompok.
Agar lebih jelasnya peneliti membuat data primer dan data sekunder dalam
bentuk matrikx yang bertujuan untuk mempermudah para membaca memahaminya.
Adapaun matriks sumber data tersebut sebagai berikut :
SUBYEK
DATA
DATA
PRIMER
OBYEK
Key
Informan :
Bapak Tirto
Kusumo
sebagai
ketua atau
yang
mengorgani
sir para
Imigran
Madura di
Desa
Jemparig,
Bapak
Matori
sebagai
tokoh
kharismi/
Kyai, dan
beberapa
pekerja
tambang di
wilayah
tersebut
Alat :
Pedoman
observasi,
alat
perekam
(record),
pulpen,
buku dan
saku
TEKNIK
OBSERVASI
Substansi :
Mengobservasi
semua
aktivitas dan
kegiatan yang
dilakukan para
imigran
madura dalam
membangun
solidaritas
kelompoknya
di perantauan
hingga data
penunjang
penelitian
dibutuhkan
terkumpul
TEKNIK
WAWANCARA
Substansi
Wawancara
:mendalam
dengan tujuan
untuk menggali
seluruh informasi
yang relevan
yang berkaitan
dengan hal-hal
yang dapat
membangun
solidaritas di
perantauan
melalui perilaku
kelomok,
aktivitas
kelompok, norma
dan nilai, serta
mekanisme yang
dugunakan dalam
membangun
solidaritas di
perantauan
TEKNIK
DOKUMENTASI
Substansi Wawancara :
Mendokumentasikan
segala bentuk aktivitas
dan kegiatan kelompok
dan peneliti
dilapangan, serta
mengumpulkan
dokumen-dokumen
yang dianggap penting
dalam menunjang
penelitian.
49
DATA
SEKUNDER
3.4
Sumber :
Substansi :
Kantor desa,
ketua rt, buku,
artikel, media
massa koran
ataupun artikel
on-line internet
dan monografi
kependudukan
Dokumentasi
mengenai
segala bentuk
kegiatan
Imigran
Madura yang
berada di Desa
Jempring
dalam
membangun
solidaritas
kelompoknya
dan aspek
lainnya seperti
tempat tinggal
Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, disini peneliti akan menjelaskan langkah-
langkah yang peneliti akan lakukan dalam mengumpulkan data di lapangan tempat
penelitian dilakukan. Adapun lagkah-langkah dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut :
a. Kepustakaan
Sebelum melakukan penelitian peneliti pertama
kali melakukan
kepustakaan terlebih dahulu. Peneliti membaca beberapa artikel, buku, dan
beberapa blogspot dari internet yang terkait dengan penelitian yang peneliti
lakukan, yaitu terkait Solidaritas Imigran Madura di Perantauan.
50
b. Observasi
Selanjutnya, setelah melakukan kepustakaan peneliti melakukan observasi
di lapangan. Observasi yang dilakukan untuk mengetahui gambaran sederhana
terkait dengan imigran madura dalam membangun solidaritas di perantauan.
Observasi dilkaukan sebagai langkah awal untuk dapat mengidentifikasi
permasalahan yang ada.
Observasi bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga
diperoleh pemahaman atau sebagai pembuktian terhadap proses bagaimana para
Imigran Madura membangun solidaritas kelompoknya di perantauan. Dalam hal ini
peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan detail tentang segala perilaku
kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma kelompok, serta mekanisme dalam
membangun solidaritas kelompoknya di perantauan.
c. Wawancara
Setelah peneliti melakukan observasi dilapangan langkah selanjutnya yaitu
melakukan wawancara dengan imigran madura terkait dengan upaya-upaya dalam
membangun kesolidatan kelompoknya. Wawancara yang dilakukan dimaksudkan
agar memperoleh data yang detail dan akurat terhadap penelitian yang dilakukan.
Agar data yang diperoleh terperinci dan akurat maka peneliti menggunakan teknik
wawancara dengan para informan. Terlebih dahulu peneliti menghubungi para
informan agar meluangkan waktu dan kesediaannya untuk wawancara. Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan ketua atau yang mengorganisir para
Imigran Madura di wilayah Desa Jemparing, beberapa masyarakat setempat, dan
beberapa pekerja. Wawancara dilakukan dengan tiga tahapan.
51
Tahap pertama peneliti mewawancarai para Imigran Madura, lalu tahap
kedua peneliti mewawancarai beberapa masyarakat setempat, dan terakhir peneliti
mewawancarai ketua atau yang mengorganisir para Imigran Madura di Desa
Jemparing. Peneliti sudah menyiapkan pedoman wawancara. Namun pertanyaan
untuk para pekerja dengan masyarakat dan ketua atau yang mengorganisir para
Imigran Madura dibuat berbeda menyesuaikan kemampuan narasumber. Dan
dibuat berbeda karena substansi informasi yang diinginkan diharapakan mampu
menggambarkan keadaan riil (obyektif) dari para Imigran Madura di Desa
Jemparing.
d. Dokumentasi
Selanjutnya setelah melakukan observasi dan wawancara, peneliti akan melakukan
dokumentasi terhadap segala bentuk aktivitas dan kegiatan di Lokasi penelitian
serta mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan obyek penelitian. Di mana
peneliti harus mendokumentasikan sebagai bentuk konkrit peneliti telah melakukan
suatu penelitian. Dokumentasi ini juga dapat terkait dengan pengumpulanpenguumpulan arsip dan dokumen-dokumen penting yang dapat menunjang
penelitian.
3.5
Teknik Analisis Data
Berikut adalah matriks yang menerangkan teknik dalam menganalisis data yang
akan peneliti lakukan :
METODE
OBSERVASI
ALAT KERJA
Buku
catatan
observasi, kamera
untuk
mendokumentasikan
CARA KERJA
Meringkas
dan
memilah berdasarkan
substansi hasil catatan
observasi dan foto-foto
HASIL KERJA
Melihat
catatan
observasi
secara
keseluruhan
dan
52
WAWANCARA
MENDALAM
3.6
foto-foto
segala
aktivitas
yang
dilakukan
para
Imigran Madura.
Buku catatan, alat
perekam (recorder),
kamera,
lembar
pedoman pertanyaan
wawancara
dan
matriks
yang
meringkas substansi
pokok
hasil
wawancara
dan
memasukanya
kedalam sel matrik.
aktivitas
riil
dilakukan.
yang
dokumentasi foto-foto
yang terkumpul.
Memformulasikan
matrik hasil wawancara
dengan
melakukan
silang secara ringkas
antara informan dengan
substansi
hasil
wawancara.
Melihat
penonjolan
informasi
jawaban
informan.
Dimana
kekuatan dan kualitas
data
informasi
ditentukan oleh posisi
dan peran informan
dalam
kelompok
imigran tersebut.
Jadwal Tentatif Penelitian
Berikut adalah matriks yang menerangkan tentang pedoman bekerja dan
target waktu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini :
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KEGIATAN
Penyusunan dan seminar proposal skripsi 1
Revisi seminar proposal skripsi dan √
penelitian di lapangan.
Mengumpulkan data di lapangan
Membuat draf laporan penelitian
Pendadaran
Penyempurnaan Skripsi
2
√
BULAN KE :
3
4
11
√
√
√
√
√
√
√
√
√
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESA JEMPARING DAN
IMIGRAN MADURA
Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan mengenai gambaran umum desa
Jemparing dan Imigran Madura. Pertama peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu
mengenai gambaran umum Desa Jemparing. Kemudian selanjutnya peneliti akan
menjelaskan gambaran umum Imigran Madura di Desa Jemparing. Di mana bagian
53
dari profil Desa Jemparing meliputi kondisi geografis dan demografi, sejarah
singkat Desa Jemparing dan nama-nama pejabat pemerintahan.
4.1
Kondisi Geografis dan Demografi
Desa Jemparing merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan
Long Ikis. Jemparing memiliki luas wilayah kurang lebih 8.750 Ha yang terdiri 12
Rukun Tetangga (RT) yang terbagi menjadi 2 dusun. Dusun satu mencakup RT 01,
02, 03, 04 dan 05 sedangkan dusun dua mencakup RT 06, 07, 08, 09 dan 10. Selain
itu Desa Jemparing berada pada 116o 150 31,0 bujur timur (BT) dan 010 330 36, 3
lintang selatan (LS), dengan keadaan alam berbukit dengan ketinggian 100 s/d 300
meter dari permukaan laut. Desa Jemparing berbatasan dengan :
ï‚·
Sebelah Utara
: Desa Mendik Kecamatan Long Kali
ï‚·
Sebelah Selatan
: Desa Adang Jaya
ï‚·
Sebelah Timur
: Desa Putang dan Rantau Belimbing
ï‚·
Sebelah Barat
: Desa Kayungo dan Teluk Waru
Desa Jemparing merupakan salah satu bagian dari desa-desa yang berada di wilayah
Kecamatan Long Ikis. Yang mana desa ini merupakan desa pembatas antara
Kecamatan Long Ikis dan Kecamatan Long Kali. Desa yang berbatasan dengan
Kecamatan Long Kali adalah Desa Putang. Desa Jemparing merupakan desa yang
berada di jalan penghubung antara Kabupaten Penajam Paser Utara – Kabupaten
Paser, yang mana orbitrasi dan jarak desa :
Jalan desa ke ibu kota kecamatan
: ± 9 Km dengan wakyu tempuh ± 20 menit
Jalan desa ke ibu kota kabupaten
: ± 75 Km denga waktu tempuh ± 1,5 jam.
54
Selain itu untuk jumlah keseluruhan penduduk di Desa Jemparing menurut
data monografi Desa Jemparing pada tahun 2014 yaitu 1794 jiwa yang terdiri dari
jenis kelamin laki-laki sebanyak 962 jiwa dan perempuan sebanyak 832 jiwa
dengan total jumlah Kartu Keluarga (KK) 439.
Sedangkan pada tahun 2015 jumlah penduduk mengalami peningkatan yang
tidak terlalu besar. Data monografi Desa Jemparing tahun 2015 menjelaskan bahwa
penduduk pada tahun 2015 yaitu 1819 jiwa dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
979 jiwa dan perempuan 839 jiwa dengan total Kartu Keluarga (KK) 546.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk di desa
Jemparing
pada tahun 2014 sampai 2015 tidak mengalami pertumbuhan
penduduka yang banyak. Jika di persentasikan hanya berkisar antara 0,5 – 1 %.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel 4.1 berikut ini :
Tabel 4.1
Grafik Penduduk Desa Jemparing Tahun 2014 – 2015
Sumber : Data Monograf Kantor Desa Jemparing Tahun 2015
55
Selanjutnya untuk persebaran penduduk di Desa Jemparing terdiri dari
beberapa etnisitas. Diantara etnis tersebut yaitu Pasir, Bugis, Jawa, Padang, NTB,
NTT, Banjar, Sunda, dan Madura. Dari jumlah etnis tersebut persentase terbesar
berdasarkan etnisitas ditempati oleh etnis Paser, disusul dengan Madura, Jawa,
Bugis, Sunda, Banjar, Padang, NTB, dan NTT. Untuk lebih jelasnya terkait dengan
jumlah persentase etnisitas lihat tabel 4. 2 di bawah ini :
Tabel 4.2
Persentase Etnis di Desa Jemparing Tahun
Sumber : Data Monograf Kantor Desa Jemparing Tahun 2015
Selain daripada data – data yang terkait dengan jumlah penduduk dan etnis yang
berada di Desa Jemparing yang telah di jelaskan dalam tabel di atas, dapat dilihat
bagaimana warna dari komposisi etnis yang berada di Jemparing. Sedangkan
Untuk data mengenai agama di desa Jemparing, 100 % agama yang dianut adalah
Agama Islam.
4.2
Sejarah Singkat Desa Jemparing
56
Sebelum penulis menjelaskan secara singkat sejarah Desa Jemparing,
alangkah baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu istilah-istilah budaya atau
bahasa Paser yang ada di dalam penjelasan yang berkaitan dengan sejarah Desa
Jemparing di paragraf selanjutnya. Tujuannya adalah agar para pembaca mudah
memahami dan mengerti alur ceritanya. Istilah-istilah budaya tersebut antara lain
sebagai berikut : (Buku Profil Desa Jemparing Hal 25-27)
1. Telake = Tempat/ Wilayah
2. Rangga Olo = Nama Orang ( Sesepuh setempat )
3. Kempen Langit = Nama Orang ( Yang Punya Kekuasaan )
4. Adang = Wilayah Pasir Adang
5. Turu Tuntung Tali Ambur = Tujuh Sambung Tali Panjing sama seperti Ukuran15
meter x 7 meter = 105 meter
6. Matao Paliu = Sungai Telake
7. Tunden Godang = Daerah Gunung Tiga Arah ke Sungai Telake Menuju Long
Ikis
8. Notok Uwe Malit Puyan = Sumpah Perbatasan Wilayah
Berdasarkan hasil penulisan mengenai profil Desa Jemparing dapat dilihat ataupun
dipaparkan bahwasannya pada awalnya Desa Jemparing merupakan bagian
daripada Telake. Telake merupakan wilayah yang berada di daerah Kecamatan
Long Kali (sekarang). Pada saat zaman dahulu kala, di wilayah Telake hidup
seorang yang ditokohkan pada saat itu, beliau bernama Rongga Olo.
Di wilayah Telake saat itu tidak terdapat kebebasan untuk memiliki tanah
untuk bertani, karena wilayah tersebut masih menjadi wilayah kekuasaannya
57
Kempen Langit. Akhirnya karena dorongan masyarakat setempat Rongga Olo
disuruh mendatangi Kempen Langit untuk meminta sedikit tanah bagi warga agar
bisa dikelola untuk bertani. Akhirnya setelah Rongga Olo datang menemui Kempen
Langit, akhirnya Ronggo Olo diberikan tanah seluas Turu Tuntung Tali Ambur
(Tujuh Sambung Tali Pancing).
Setelah beberapa tahun dan dianggap tanah pemberian tersebut sudah tidak
mencukupi, akhirnya Ronggo Olo mendatangi lagi Kempen Langit untuk yang
kedua kalinya dalam hal meminta kembali agar diberikan tanah lagi. Akhirnya
Kempen Langit mentejuinya dan diberikanlah Rongga Olo tanah sampai batas
Matauo Paliu (Sungai Telake).
Akhirnya selang beberapa tahun, Rongga Olo meminta kembali tanah
kepada Kempen Langit untuk yang ketigakalinya. Akhirnya Kempen Langit
memberikan luas tanah Tali Tuntung Tali Ambur, dinggap masih kurang akhrinya
meminta kembali dan diberikanlah sampai batas Tunden Godang.
Akhirnya setelah sekian kali Rongga Olo meminta tanah kepada Kempen Langit,
dan diaggap sudah cukup, maka Kempen Langit mengajak Rongga Olo bersumpah
agar ini menjadi permintaan terakhir dari Rongga Olo yang bisa dipenuhi. Sumpah
tersebut terkenal dengan sebutan sumpah Notok Uwe Malit Puyan. Dan akhrinya
Ronggo Olo pun meninggal dan dikuburkan di wilayah Tunden Godang yang
sekaligus menjadi batas wilayah Rongga Olo dengan Kempen Langit.
Selanjutnya dibuatlah juga batas-batas dari Mungkur Janas, Lutong
Tompong, Kupong Nyulidan, Lutung Ketiro, Guntung Tokon, Seriaw Serumpit,
58
Maujung/ Jone, Nipa Jempung, Pulau Putih, Mitek Danum Layong Payo (namanama daerah waktu itu, sekarang sudah menjadi desa-desa).
4.3
Nama- nama Pejabat Pemerintahan
Mulainya pemerintahan di Desa Jemparing berkisar pada tahun 1940 an.
Pada waktu itu kepala pemerintahan disebut sebagai Pembakal (kepala desa). Dan
akhrinya nama pembakal berubah menjadi Kepala Desa mengikuti undang-undang
pedesaan yang sebenarnya keduanya memiliki arti atau makna yang sama yaitu
kepala pemerintahan tingkat desa. Nama pembakal berlangsung selama 4 periode
masa jabatan, dimulai dari masa pembakal Ingga yang menjabat dari tahun 19461951, diteruskan oleh Pembakal Keu dari tahun 1951-1963, dilanjutkan lagi kepada
Pembakal Taufik Tipes 1963-1975, dan yang terakhir yaitu pembakal Killu dari
tahun 1975-1982.
Masa di mana bergantinya nama pembakal menjadi Kepala Desa yaitu pada
masa jabatan Kepala Desa Suntoro yang menjabat dari tahun 1982-1994, dilajutkan
oleh kepala desa Singgu B dari tahun 1994-1998, diteruskan lagi kepada Kepala
Desa Abdul Aziz selama dua periode dari tahun 1999-2013, dan yang terakhir
menjabat pada saat ini yaitu Kepala Desa Rusdianto dari tahun 2014-2019.
Pada masa jabatan pembakal Ingga, Pembakal Keu, dan Pembakal Taufik
Tipes, batas wilayah tidak mengalami perubahan, tetap berada pada batas wilayah
Tunden Godang. Namun di masa jabatan pembakal Killu, batas wilayah mengalami
pegeseran lebih luas yang awalnya batasnya hanya dengan Tunden Godang saat itu
sampai ke Salau Koniw (nama desa). Selanjutnya di masa pemerintaha Kepala Desa
Suntoro batas wilayah mengalami pergeseran lagi dari Rawa Salau Koniw sampai
59
ke Sungai Kurung tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat kedua belah
pihak.
Untuk masa jabatan Pembakal Ingga sampai dengan pejabat Taufik Tipes
nama desa secara administrasi Negara bernama Krayan. Selanjutnya pada masa
pemerintahan pembakal Killu nama Krayan berubah menjadi Krayan Jemparing.
Akhrinya di masa jabatan Kepala Desa Suntor Krayan Jemparing resmi berubah
nama menjadi Desa Jemparing. Nama tersebut sampai sekarang tercatat dalam
agenda Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa Jemparing pada awalnya bernama Krayan yang merupakan gabungan
dari exs trasnmigrasi. Pada tahun 1982, nama Krayan menjadi Jemparing dan exs
transmigrasi terpisah dan berdiri sendiri menjadi desa definitive sebagai berikut :
Desa Krayan Jaya, Desa Krayan Sentosa, Desa Bukit Saloka, Desa Krayan
Makmur. Luas wilayah Desa Jemparing adalah yang paling luas dibandingkan desa
exs trasnmigrasi karena merupakan desa induk dari desa pemekaran.
4.4
Imigran Madura
Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan mengenai gambaran umum
Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing. Bagian-bagian yang terdapat
dalam penjelesan nantinya terkait dengan sejarah singkat keberadaan Imigran
Madura, Kepala Adat Imigran Madura, peta lokasi bahan galian C, posisi
pemukiman Imigran Madura, deskripsi perumahan Imigran Madura, dan aktivitas
keseharian Imigran Madura.
4.4.1
Sejarah Singkat Keberadaan Imigran Madura
60
Terbentuknya kawasan pemukiman orang-orang Madura di Desa
.Jemparing tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi orang-orang Madura di
daerah asal. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Pulau Madura merupakan
daerah yang tandus dan kering. Hal tersebut berdampak pada pola pekerjaan yang
dilakukan masyarakat Madura. Dengan kondisi geografis seperti itu masyarakat
Madura hanya mampu bercocok tanam-tanaman yang keras dan lebih memilih
bekerja sebagai nelayan atau petani garam.
Namun pekerjaan tersebut dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan
dasar hidup mereka. Untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik sebagian
masyarakat Madura mencoba peruntungan untuk merantau ke daerah-daerah yang
memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satunya yaitu daerah yang
memiliki potensi besar untuk dapat memperbaiki kualitas hidup, yaitu Kalimantan
Timur khususnya. Pada mulanya migrasi yang dilakukan Etnis Madura tidak
lagsung menuju wilayah Desa Jemparing.
Pada saat itu migrasi yang dilakukan Etnis Madura pertama kali menuju
wilayah Desa Mendik, dan mereka (yang bermigrasi) sebagian besar adalah pekerja
sawit yang dipindah tugaskan ke wilayah Desa Mendik tersebut. Lebih tepatnya
perusahaan sawit pada saat itu di wilayah Mendik yaitu, perusahaan PTP. Pada saat
itu migrasi yang dilakukan terjadi sekitar tahun 1989. Pada tahun 1990 sebagian
orang Madura yang dulu bekerja di perusahan sawit PTP, mencoba pergi ke Desa
Jemparing.
Perpindahan mereka disebabkan karena ingin mencoba membuka usaha
perbatuan yang ada di Desa Jemparing yang info tersebut didapatkan dari teman
61
kerja pada waktu bekerja di PTP, yaitu bapak Mulyadi. Semenjak itulah
pertumbuhan Etnis Madura di Desa Jemparing mulai meningkat. Berdasarkan
wawancara dengan sala h satu tokoh sentral pembuka usaha perbatuan pertama kali
di Desa Jemparing tersebut lebih tepatnya yang berada di wilayah Ombe, yaitu
Bapak Sahrudin. Di mana peneliti menanyakan kepada informan mengenai sejarah
keberadaan Etnis Madura di Desa Jemparing ini. Beliau menjelaskan secara padat
dan singkat bahwa :
“Etnis Madura pertama kali ke Desa Jemparing sekitar tahun 1990,
awalnya mereka itu bekerja di perushaan PTP di Mendik. Yang pertama
datang itu (Etnis Madura), Yanto, Tarjo, dan Sarief. Mereka bertiga
pertama kali yang bekerja jadi pemecah batu di lokasi Ombe, dan saya
sendiri kepala pekerjanya bersama pak haji Mulyadi. Awalnya hanya 3
orang, setelah pulang kampung mereka membawa sanak saudara, dan
begitu terus hingga akhirnya beranak pinak seperti sekarang ) semakin
banyak”.
(Sahrudin (Paser), 15 April
2016)
Dari penjelasan di atas dan pernyataan yang disampaiakan oleh informan kepada
peneliti, peneliti dapat menyimpulkan sementara bahwa ternyata Imigran Madura
yang datang ke Desa Jemparing pada awalnya adalah orang-orang perantauan yang
kemudian bekerja di perusahaan PTP (perkebunan sawit) di daerah Mendik. Lalu
kemudian mencoba membuka usaha pekerjaan baru sebagai pemecah batu yang
berada di Desa Jemparing yang berlangsung hinggah saat ini.
4.4.2
Kepala Adat Imigran Madura
Kepala adat para Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing adalah
Bapak Ahmad Tohir atau sering dipanggil
dengan Pak Matori. Pak Matori
merupakan salah satu tokoh yang dihormati oleh Enis Madura yang berada di Desa
Jemparing. Pak Matori pada mulanya juga bekerja sebagai pemecah batu di lokasi
62
Ombe. Namun pekerjaan beliau tidak hanya sebagai pemecah batu saat itu, beliau
juga memiliki usaha lain, yaitu kayu ilegal.
Beliau juga tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Paser periode 20032009. Semenjak itulah nama beliau semakin naik dan dikenal oleh sebagian
masyarakat Madura yang berada di wilayah lain. Hal ini pula yang menyebabkan
dipilihnya beliau sebagai ketua adat Etnis Madura untuk wilayah Desa Jemparing,
karena dianggap paling tepat, baik secara materi, maupun non materi memimpin
para Enis Madura yang berada di Desa Jemparing. Hal tersebut senada dengan yang
apa key informan peneliti yang disampaikan ketika peneliti menanyakan bagaimana
mekanisme pemeilihan ketua adat untuk Etnis Madura di Desa Jemparing ini.
Beliau menjelaskan bahwa :
“Penetapan pemilihan ketua adat bagi orang-orang Madura pada saat itu
sebenarnya bukan karena keiginan saya pribadi, melainkan karena
kesepakatan daripada orang-orang Madura sendiri dan sesepuh-sesepuh
asli masyarakat Jemparing. Penetapan tersebut berlandaskan pada karena
saya termasuk salah satu orang Madura lama juga yang merintis usaha
bahan galian serta juga merupakan anggota DPRD Kabupten Paser pada
saat itu, makanya dianggap paling bisa dan dapat di percaya mampu
menjadi penengah atau penasehat ketika terjadi konflik”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 11 April
2016)
Setelah bertanya kepada informan Pak Sahrudin mengenai mekanisme
pemilihan pemimpin atau ketua adat Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing.
Peneliti melihat bahwa dalam proses pemeilihan ketua adat/pemimpin mereka
(Etnis Madura di Desa Jemparing), tidak terlepas dari faktor materi, itu menandakan
bahwa secara tersirat status sosial dan kekayaan menjadi tolak ukur dijadikan
seorang pemimpin bagi kelompok Etnis Madura di Desa Jemparing.
63
Setelah selesai bertanya terkait dengan hal di atas, peneliti melanjutkan
pertanyaan mengenai struktur dalam komunitas atau paguyuban Etnis Madura di
Desa Jemparing. Peneliti menanyakan hal tersebut sebab pada saat melakukan
observasi dan wawancara di lapangan, peneliti tidak menemukan papan struktur
kepengurusan yang terpampang baik itu dalam rumah Pak Matori selaku Ketua
Adat Etnis Madura yang berada di Jemparing. Melihat hal tersebut peneliti
mencoba bertanya kepada Pak Matori. Lalu kemudian beliau menjelaskan kembali
“Kami di sini tidak memiliki struktur seperti paguyuban komunitas yang
lainya. Hal itu berdasar, sebab bagi saya pribadi ketika ingin membentuk
struktur Komunitas Madura takutnya akan menjadi bomerang bagi orangorang Madura dan dapat memicu ketegangan antar masyarakat Madura
dengan masyrakat asli di sini. Selain itu pula yang saya khawatirkan bahwa
jika dibentuknya struktur maka akan menyebabkan prasangka buruk buat
kami sebagai masyarakat pendatang. Takutnya masyarakat asli sini
mengira bahwa jika dibentuknya struktur tersebut, orang-orang Madura
sedang membangun kekuatan”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 11 April 2016)
Melihat dari pernyataan atau jawaban dari Pak Matori di atas peneliti dapat
mengambil kesimpulan bahwa ternyata hal tersebut sengaja dilakukan sebagi
bentuk untuk menghindari pransangka-prasangka buruk bagi semua pihak yang
berada di Desa Jemparing, terlebih bagi Etnis Paser sendiri. Oleh karena itulah
sehinggah hal tersebut tidak perlu dilakukan.
4.4.3
Peta Lokasi Bahan Galian C
Peta lokasi penelitian berada di dusun 2 tepatnya di Rt 06. Jarak dari jalan
pengubung antara Kabupaten Penajam Paser Utara - Kabupaten Paser sekitar 4-7
kilo dengan akses yang tidak bagus. Waktu yang digunakan kurang lebih 30 menit.
Jalan menuju lokasi penelitian masih bebatuan dan sangat rusak, apalagi disaat
musim penghujan saat ini, jalan semakin sulit untuk dilalui. Jalan berlobang-lobang
64
dengan penuh genangan air. Bagi kendaraan yang melewati jalan tersebut harus
mengurangi volume kecepatan sebagai upaya untuk menghindari terjatuh ataupun
tersangkut oleh bebatuan. Lebih jelasnya silahkan lihat gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4. 1
Kondisi Akses Menuju Lokasi
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari gambar di atas dapat dilihat genangan air yang ada disepanjang jalan.
Tentu hal ini akan membahayakan bagi pengendara baik itu sepeda motor maupun
mobil ketika melintasinya. Hasil observasi di lokasi penelitian didapatkan bahwa
telah terjadi miss komunikasi antara pihak pengelola dengan pihak pengembang,
pihak pengembang di sini yaitu pihak pemerintahan Desa Jemparing.
Pada dasarnya jalan atau akses jalan menuju ke lokasi Ombe merupakan
salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah) Desa Jemparing. Sebab pada jalan
tersebut telah dipasang portal jalan. Setiap kendaraan truck yang melewati jalan
tersebut dikenakan biaya sebesar 5 ribu rupiah. Jadi hasil pendapatan selama
perbulan dibagi ke dua pihak, yaitu pihak pengelola dan pengembang.
65
Sebagai contoh, jika penghasilan perbulan dari portal jalan tersebut adalah
3 juta rupiah, maka pembagiannya yaitu 1 juta rupiah untuk pihak pengembang
(Pemerintahan Desa Jemparing), 1 juta untuk pihak pengelola, dan 1 juta lagi
digunakan untuk perbaikan jalan. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih kongrit
peneliti mencoba mendatangi kantor Desa Jemparing untuk menanykan hal
tersebut. Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Jemparing Ibu Hamidah, S.sos,
ketika peneliti menanyakan kondisi jalan menuju lokasi ombe, beliau menjelaskan
bahwa :
“Sebenarnya jalan tersebut sebelumnya bagus-bagus saja. Semenjak
ganti pengelola, jalannya hacur seperti sekarang. Sudah sering kali kami
imbaukan kepada para supir, untuk membuat surat pengeluhan yang
didalamnya para supir yang sering masuk ke lokasi tersebut untuk
membuat pernyataan dirugikan dan distempel oleh rt setempat. Baru
diajukan ke desa. Kami pihak desa bisa bertindak ada bukti secara
formal, bukan cuma hanya sekedar omongan dari supir saja, harus ada
bukti komplen secara tertulis”.
(Hamidah (Bugis), Sekdes 15 April 2016)
Dari penjelasan Ibu Hamidah di atas selaku Sekretaris Desa Jemparing dapat dilihat
bahwa ternyata masalah jalan tersebut tidak lain adalah karena kelalaian dari pihak
pengelola yang tidak melakukan perbaikan jalan serta miss komunikasi yang terjadi
dari berbagai pihak, baik itu pihak pengelola, pengembang (Pemerintahan Desa
Jemparing), dan pengguna jalan.
Selain itu perlu diketahui bahwa untuk lokasi bahan galian C yang ada di desa
Jemparing, terbagi menjadi 3 lokasi, yaitu lokasi Ombe, Perigi, dan Liang Buyung.
Untuk lokasi penelitian yang saat ini peneliti lakukan berada di Ombe, tepatnya
berada di RT 06 dusun 2. Untuk lokasi bahan galian C di Perigi berada di RT 02,
sedangkan lokasi bahan galian C di Liyang Buyung berada di RT 10.
66
Mengapa peneliti melakukan penelitian hanya di lokasi Ombe? Karena, , hanya
lokasi tersebut yang boleh dilakukan pertambangan. Untuk lokasi di Liyang
Buyung akan dijadikan sebagai hutan adat, sebab daerah tersebut masih sterilisasi
dan banyak terdapat peningalan-peninggalan nenek moyang masyarakat Desa
Jemparing. Untuk lokasi di Perigi akan dijadikan sebagai tempat obyek wisata,
sebab di lokasi Perigi terdapat 3 goa yang masih terjaga kealamiannya.
4.4.4
Posisi Pemukiman Imigran Madura
Berdasarkan peta wilayah Desa Jemparing (peta terlampir), posisi
pemukiman para Imigran Madura berada di dusun 2 (dua) tepatnya di RT 06 yaitu
berada pada lokasi bahah galian C di Ombe. Lokasi tersebut merupakan salah satu
dari 3 lokasi bahan galian C yang ada di Jemparing. Pemukiman Imigran Madura
berjarak kurang lebih 4 - 7 kilo dari jalan penghugung antara Kabupaten Penajam
Paser Utara - Kabupaten Paser dengan akses jalan yag rusak serta fasillitas yang
kurang.
Pemukiman para Imigran Madura ini hanya terfokus pada lokasi tersebut
dan tidak tersebar ke wilayah lainnya. Terkecuali jika telah ada orang-orang
Madura menikah dengan penduduk asli setempat, maka tempat tinggal tidak lagi
berada pada lokasi tersebut. Jadi pemukiman para Imigran Madura ini memang
terpisah dari pemukiman masyarakat Paser (asli).
Hanya beberapa suku saja yang hidup berdampingan dengan para Imigran
Madura tersebut, seperti Bugis, Jawa dan Lampung. Itu pun berada pada lokasi
bahan galian di daerah depan. Sedangkan pada lokasi bahan galian bagian tengah
dan dalam, sudah terfokus orang Madura semua. Kehidupan orang-orang Madura
67
ketika berada di perantauan lebih cenderung berkelompok daripada terpidah-pisah.
Oleh karenanya banyak ditemukan diseluruh wilayah Kalimantan, khususnya
Kalimantan Timur pola-pola pemukian Etnis Madura akan menyatu pada satu
lokasi tertentu.
Hal tersebut bukan karena Etnis Madura tidak mau memisahkan diri dari
kelompoknya ketika berada di perantauan, akan tetapi hal tersebut sudah menjadi
tradisi bagi Etnis Madura bahwa ketika berada di perantauan harus hidup
berkelompok. Alasan mendasar bahwa hal tersebut dilakukan guna untuk saling
melengkapi, menjaga, melindungi antar sesama Imigran Madura yang berada di
perantauan. Pola yang dilakukan disaat hidup berkelompok akan semakin
menambah hubungan yang semakin dalam, serta memupuk rasa solidaritas dalam
suatu komunitas. Jadi tidak dapat dipungkiri rasa solidaritas dalam suatu komunitas
ditentukan dari pola hubungan yang dibangun dalam komunitas tersebut. Imigran
Madura yang berada di wilayah Ombe tersebut hampir memiliki keseharian bekerja
sebagai pemecah batu. Oleh sebab itu dapat dikatakan wilayah Ombe merupakan
kampung Etnis Madura. Berikut merupakan gambar dari lokasi bahan galian C yang
berada di wilayah Ombe.
Gambar 4.2
Lokasi Bahan Galian Ombe
Area Depan
Area Depan
68
Area Depan
Sumber : Dokumentasi Peneiti
Dari gambar-gambar di atas dapat dilihat seorang anak mudah sedang
memukul batu dan pemuda lainnya sedang memunguti batu. Lokasi bahan galian C
yang berada pada wilayah Ombe, memiliki 3 area lokasi utama, yaitu area depan,
tengah dan belakang. Pada ketiga gambar di atas yang peneliti tampilkan,
merupakan area lokasi bahan galian yang berada pada area depan. Sedangkan untuk
area bahan galian area tengah, tertera pada gambar 4.3 berikut ini :
Gambar 4.3
Lokasi Bahan Galian Ombe
Area Tengah
Area Tengah
Area Tengah
Area Tengah
69
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa area bahan galian tengah memiliki
banyak hasil batuan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat lokasi bahan galian
untuk area tengah memiliki area yang lebih luas dibandingkan lokasi bahan galian
area depan. Sementara itu untuk lokasi bahan galian area belakang tampak seperti
pada gambar 4.4 di bawah ini :
Area Belakang
Gambar 4.4
Lokasi Bahan Galian Ombe
Area Belakang
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Jadi foto-foto tersebut yang peneliti tampilkan di atas merupakan gambaran umum
lokasi bahan galian di wilayah Ombe. Dari seluruh gambar yang telah ditampilkan
di atas, tampak lokasi bahan galian C area depan, area tengah,serta area belakang.
4.4.5
Gambaran Perumahan Imigran Madura
Perumahan para Imigran Madura di lokasi Ombe tersebut rata-rata terbuat
dari papan kayu berukuran 3 x 4 namun ada juga yang berukuran 6 x 8. Untuk
ukuran 6 x 8, hanya orang-orang tertentu saja yang memilinya, seperti kepala
pekerja/bos buruh pemecah batu. Etnis
Madura di lokasi Ombe tersebut
70
mengatakan tempat yang mereka tinggali saat ini lebih pantas disebut gubuk atau
camp ketimbang rumah. Jarak antar rumah terpencar, sesuai dengan lokasi tempat
bekerja. Untuk warna camp hampir secara keseluruan masih berupa cat dasar
kayu/murni warna kayu. Hal tersebut sengaja dilakukan agar tidak menambah biaya
cost dalam pembuatan camp. Sebab bagi Etnis Madura tempat tinggal yang mereka
(Etnis Madura) tinggal saat ini, hanya bersifat sementara tidak permanen. Untuk
lebih jelasnya terkait dengan gambaran camp etnis Madura yng berada di lokasi
Ombe lihat pada gambar 4.5 di bawah ini :
Gambar 4.5
Gambaran Perumahan Etnis Madura di Ombe
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa camp hanya berukuran 3x4
dan haya beratap seng dan daun serta dengan dinding kayu yang masih memiliki
warna dasar kayu. Dari kedua gambar di atas dapat dilihat juga jarak antar rumah
berjarak berkisaran 1-1,5 meter antar camp.
4.4.6 Aktivitas Keseharian Imigran Madura
Aktivitas keseharian para pemecah batu Etnis Madura yang berada di lokasi
Ombe dimulai pada pukul 7 pagi dan berakhir sekitar pukul 5 sore. Hitungan
normal jam kerja bagi pemecah batu sekitar 9 jam kerja setiap harinya. Tetapi jika
71
pesanan batu sedang ramai, biasanya mereka (pemcah batu) bekerja hinggah jam
12 malam. Batasan sampai jam 12 malam, itu disebabkan karena distribus listrik
yang masuk ke lokasi Ombe tidak ada. Etnis Madura menggunakan listrik dari
mesin jenset/diesel yang hanya berlaku dari jam 4 sore sampai jam 12 malam. Dan
hal itu dilakukan atas dasar kerjasama antar Etnis Madura yang berada di lokasi
Ombe tersebut.
Selain itu aktivitas lain yang dilakukan Etnis Madura di lokasi Ombe
tersebut yaitu melakukan kajian turin setiap minggunya. Aktifitas tersebut
merupakan bagian dari salah satu kebiasaan orang Madura di manapun mereka
berada, selalu menjalankan kajian mendalam tentang Agama Islam. Bagi orang
Madura belajar ilmu agama itu sangat pentiing sebab menjadi bekal hidup di
akhirat. Mengkaji agama, beserta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
merupakan cerminan diri terhadap ilmu yan di dapat. Lebih jelasnya lihat pada
gambar 4.6 di bawah ini mushola sebagai tempat orang Madura menjalankan
aktivitas kajian keagamaan.
Gambar 4.6
Mushola
Sumber : dokumentasi lapangan
72
Dokumentasi Peneliti
Tampak luar mushola diatas belum selesai pengerjaannya. Namun walaupu
begitu, mushola tersebut masih bisa digunakan dalam keseharian spritualitas para
Etnis Madura di lokasi Ombe tersebut. Selain itu mushola tersebut juga digunakan
sebagai tempat diskusi dan berkumpul ketika membahas hal-hal yang dianggap
penting.
Selain kedua aktivitas di atas, aktivitas lainnya yang dilakukan para etnis
Madura pemecah batu di lokasi Ombe tersebut yaitu bongkar muat batu yag
dimasukan ke dalam truck sesuai dengan pesanan pembeli. Yang menarik dari hal
bongkar muat ini adalah bongkar muat tersebut dilakukan secara manual dengan
tidak ada satupun alat pengaman (safety) sesuai dengan standar operasional pekerja.
Tentu hal ini sangat membahayakan nyawa atau keselamatan para pekerja.
Jika menggunkan alat pengaman tentu akan mengeluarkan biaya cost lebih banyak.
Oleh karenanya para pekerja diwajibkan harus bekerja secara hati-hati dan selalu
focus terhadap setiap pekerjaan. Lihat gambar 4.7 proses bongkar muat batu secara
manual berikut ini :
Gambar 4.7
Proses Bongkar Muat Batu di Lokasi Ombe
73
Sumber : Dokumentasi peneliti
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses bongkar muat batu
dilakukan secara manual. Hal tersebut dalam dunia kerja tidak dapat di benarkan,
sebab tidak memenuhi kaidah standar operasioanal (SOP). Namun bagi pekerja batu
hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Menggunkan alat berat tentu akan
menambah besar biaya prroduksi, oleh karenanya untuk menekan biaya tersebut
maka proses muat batu dilakukan secara manual dengan hati-hati.
BAB V
SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA
DI PERANTAUAN
Pada bagian bab lima kali ini, peneliti akan menjelaskan hasil observasi
dan penelitian pada saat peneliti melakukan penelitian di Desa Jemparing mengenai
solidaritas Imigran Madura pada saat di perantauan. Peneliti melihat bahwa ada
beberapa nilai yang dijunjung tinggi dalam proses membangun solidaritas di
perantauan. Nilai-nilai tersebut terdiri dari nilai dan norma Etnis Madura, sistem
74
kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual-ritual keagamaan/komunitas,
kegiatan-kegiatan rutin komunitas lain yang melekatkan komunitas, mekanisme
penyelesaian konflik dalam komunitas dan luar komunitas, mekanisme
pembangunan jaringan antar Etnis Madura di wilayah lain serta solidaritas mekanik
dan solidaritas organik masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing.
5.1
Nilai dan Norma Etnis Madura
Pada pembahasan nilai dan norma Etnis Madura, ada beberapa nilai yang
akan dibahas di dalamnya, antara lain ajaran tentang kehidupan, ukuran kegagalan
dalam hidup, dan nilai pembauran yang diterapkan di perantauan.
5.1.1
Ajaran Tentang Kehidupan
Bagi masyarakat Madura ajaran tentang kehidupan merupakan perpaduan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Hidup dunia dan akhirat harus berjala secara
berimbang. Sebab sebagai insan, atau manusia diwajibkan untuk selalu
menggunakan karunia yang berikan Tuhan pada dirinya. Terutama yaitu akal.
Sebab hanya akal yang kemudian mampu menilai mana yang benar dan salah.
Selain itu hidup adalah perjuagan, artinya dalam menjalankan hidup tidak pantas
untuk putus asa ataupun menyerah. Hal tersebut senada dengan apa yang kemudian
di sampaikan oleh Bapak Matori dan Tirto sebagai key informan dalam penelitian
ini. Beliau mengatakan :
“Ajaran orang Madura tentang kehidupan adalah pertama untuk
mengabdi kepada Gusti Allah SWT dan Rasulullah. Kedua dalam hidup
harus bekerja keras dan pantang putus asa. Ketiga, saling tolong
sesama”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
75
Kemudian senada dengan apa yang di sampaikan oleh Bapak Tirto. Beliau
mengatakan bahwa :
“Wafil dunia walakhirat. Harus seimbang kehidupan dunia dan
akhirat.tidak cepat putus asa dengan kehidupan”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Selain menanyakan kepada dua tokoh tersebut, peneliti juga menanyakan
kepada salah satu pekerja Madura di wilayah tersebut, beliau mengatakan :
“Pertama dalam hidup harus mandiri, tidak tergantung dengan orang lain.
Kedua, tidak malu dalam bekerja apapun yang penting halal, ketiga harus
berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat”.
(Pekerja (Sampang), 18 April
2016)
Bertolak dari wawancara yang dilakukan kepada 3 narasumber di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam ajaran tentang kehidupan bagi Etnis Madura yang
utama dan terpenting adalah kehidupan yang berimbang antar kehidupan dunia dan
akhirat. Selanjutnya dalam hidup ini juga diharuskan untuk bekerja keras dan
pantang putus asa, karena dalam hidup ujian akan selalu datang silih berganti.
Selain itu pula kita diwajibkan untuk saling tolong menolong sesama ketika
mendapatkan masalah atau musibah.
5.1.2 Ukuran Kegagalan Dalam Hidup
Gagal dalam bahasa Indonesia dapat di artikan sebagai keinginan atau citacita yang kemudian tidak dapat di wujudkan atau dicapai yang di sebabkan karena
faktor material maupun inmaterial. Gagal dalam hidup, berarti apa yang dimpikan
sebagai dari tujuan hidup sendiri tidak mampu terpenuhi. Setiap golongan, etnis
76
suku ataupun agama lainnya memiliki indikator tersendiri kegagalan dalam hidup
yang kemudian mereka yakini dan jalani. Begitu pula dengan Etnis Madura.
Dalam hidup ini, mereka meyakini bahwa orang-orang Madura yang gagal
dalam hidup adalah mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannyaa
dalam bertindak, dan hanya fokus untuk mencari harta dunia saja. Hal ini sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Matori dan Bapak Tirto terkait dengan
ukuran Etnis Madura yang gagal dalam menjalankan kehidupan ini. Pak Matori
menjelaskan :
“ Mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannya untuk
melihat kekuasaan Gusti Allah SWT, itulah orang-orang yang gagal.
Selain itu, mementingkan urusan dunia, terlalu mencari harta dunia, tapi
kufur nikhmat”.
(Ahamd Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Perkataan Pak Matori, tidak jauh berbeda dengan apa yang di sampaikan
oleh Pak Tirto mengenai cirri-ciri Etnis Madura yang gagal dalam hidupnya. Beliau
menjelaskan :
“Orang yang tidak bisa menerima keadaan hidupnya sekarang, (tidak
bersykur), cepat putus asa, dan tidak ada iman dalam dirinya
(mementingkan urusan dunia ketimbang akhirat )”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari hasil wawancara kedua tokoh tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa bagi Etnis Madura ukuran kegagalan dalam menjalankan hidup ini yaitu,
pertama terlalu mementingkan urusan dunia, dalam hal hal ini urusan akhirat di
nomor
duakan.
Sedangkan
prinsip
dasar
menyeimbangkan kehidupa dunia dan akhirat.
orang-orang
Madura
adalah
77
Kedua, mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannya untuk
dapat pergunakan sebagai mana mestinya. Akal adalah salah satu pemberian Tuhan
yang istmewa bagi manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Ketiga, yaitu mereka yang tidak pandai bersykur atas nikmat Tuhan yang diberikan
padanya. Padahal sebagaimana Allah menjelaskan bahwa “ jika kau bersyukur
maka akan ku tambah rejeki mu”. Oleh karena itu, bagi Etnis Madura rasa syukur
dalam menerima pemberian yang diberikan Tuhan itu penting.
5.1.3
Nilai Pembauran yang Diterapkan di Perantauan
Nilai merupakan hasil daripada produk sosial yang kemudian menjadi
landasan atau ukuran dalam berbuat dan bertindak. Nilai sering kali dijadikan
sebagai pedoman bagi masyarakat ataupun kelompok sosial dalam menjalankan
tatanan di dalam masyarakat. Menurut Spranger (Muhammad Ali, 2010) nilai
adalah suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu ataupun kelompok untuk
menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Dalam hal ini menurut Spranger (Muhammad Ali, 2010) individu
diharapakan mampu memahami dan mempelajari dimanapun individu berada
dalam situasi sosial tertentu. Hal ini ini sesuai dengan apa yang para Imigran
Madura terapkan di Desa Jemparing. Dengan membawa tekanan dari perspektif
masyarakat yang mengataka bahwa “Jangan berteman baik dengan orang Madura“.
Menjadikan orang-orang Madura untuk dapat mempelajari dan menerima nilai-nilai
yang ada di masyarakat Desa Jemparing agar memudahkan dalam proses
pembauran dan interaksi.
78
Hingga saat ini, proses interaksi atau hubungan yang terjadi berjalan dengan
baik dan sesuai dengan nilai yang ada di dalam masyarakat. Untuk mengetahui lebih
dalam terkait dengan hal tersebut peneliti mencoba bertaya dengan Bapak Matori
dan Bapak Tirto. Bapak Matori menjelaskan :
“Kita tinggal di kampUng orang, harus bisa menyesuaikan dengan adat
budaya setempat. Untuk menghindari ketegangan antara kami sebagai
pendatang dengan orang asli setempat kita harus mengikuti budaya
kampung sini, adat daerah asal kalo bisa ditinggalkan yang
bertentangan dengan budaya sini, tapi kalo budaya-budaya seperti
pengajian, kajian keagamaan, harus tetap di jalankan, dimanapun
berada, karena hal ini mendasar bagi Etnis Madura”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Penyampaian
pak Matori kurang lebih sama dengan apa yang
disampaikan oleh pak Tirto. Pak Tirto menjelaskan bahwa :
“Hidup di kampong orang mencari rejeki berarti harus bisa bisa
menghormati dan menghargai budaya setempat, biar hidup rukun.
dalam bermasyarakat, harus bisa saling menjaga perasaan, terutama
dengan adat istadat. Di kampung orang, kita harus bisa bawa diri,
soalnya kan di sini kita cari nafkah, jadi baik-baiklah bawa sikap”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada dua tokoh di atas didapatkan
kesimpulan bahwa untuk dapat hidup dan berbaur dengan masyarakat setempat,
para imigran Madura harus bisa beradaptasi dengan adat istiadat setempat. Para
Imigran Madura harus bisa menjaga dan membawa diri dengan baik, sebab berada
tinggal dikampung orang. Adat atau budaya yang sekiranya dapat bertentangan
dengan budaya setempat harus bisa ditinggalkan. Namun untuk budaya seperti
kajian keagamaan harus tetap di pertahankan, sebab hal tersebut sangat mendasar
bagi Etnis Madura di manapun berada.
79
5.2
Sistem Kepemimpinan
Pada pembahasan sistem kepemimpinan, ada beberapa nilai yang
terkandung di dalam sistem kepemimpinan tersebut, nilai tersebut yaitu
karakteristik seorang pemimpin serta orang yang paling dihormati/segani, dan
sosok ‘kyai’ dalam pandangan Etnis Madura.
5.2.1
Karakteristik Pemimpin dan Orang yang Paling Dihormati/Segani
Karakter dapat juga diartikan sebagai kreteria. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kreteria diartikan sebagai ukuran yang mendasar jadi penilaian
atau penetepan sesuatu. Untuk mendapatkan hasil atau capaian yang maksimal,
tentu harus memiliki standar yang baik. Oleh karenannya untuk menghasilkan
seorang pemimpin yang berkualitas dan berkredibilitas, harus memiliki kreteria
yang telah ditetapkan bersama. Pemimpin yaitu seseorang yang kemudian diberikan
wewenang secara formal untuk dapat mengorganisasikan, mengarahkan, dan
mengontrol bawahannya untuk dapat bertanggung jawab atas apa yang amanahkan
padanya.
Dalam hal ini pemimpin juga harus bisa menjadi suri teladan bagi
bawahannya, serta mampu membuat para bawahannya berkembang menjadi lebih
maju. Pemimpin yang baik atau ideal adalah seorang yan memiliki kredibilitas,
stabilitas serta kapabilitas yang mempenghuni. Dalam hal ini pula Etnis Madura
memiliki kreteria tersendiri bagi kelopomknya untuk dapat dijadikan seorang
pemimpin dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Tentunya hal ini untuk
menjaga stabilitas atau keseimbagan dalam tatanan sosial. Adapaun kreterai
tersebut menurut key informan peneliti sebagai berikut :
80
“Untuk karakteristik seorag pemimpin bagi kami dapat dilihat dari
ilmunya, agamanya, kewibawaanya, serta status sosialnya dalam
masyarakat. Yang utama adalah ilmu agamanya, sebab bagi etnis kami
ilmu agama itu merupakan bekal buat kehidupan akhira nanti. Dan
Alhamdulillah untuk orang yang di hormati bagi sesama Etnis Madura
di desa ini saya sendiri, selaku kepala adat/ketua daripada Imigran
Madura di Desa Jemparing”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Penyampaian pak Matoti tersebut diperkuat dengan apa yang di sampaikan
oleh pak Tirto. pak Tirto menjelaskan secara singkat bahwa :
“Untuk dapat dijadikan seorang pemimpin bagi kelompok kami, kami
melihat daripada ilmu , agama serta status sosialnya. Untuk orang yang
paling disegani atau dihormati ya bapak Matori, selaku pimpinan atau
ketua adat kami di sini”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Jika dilihat dari dua pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
bagi Etnis Madura seorang pemimpin itu harus memiliki tiga kreteria, yaitu dari
aspek ilmu, agama, serta status sosialnya. Hal ini penting sebab, pemimpin adalah
contoh atau manifestasi dari kelompok mereka. Pemimpin harus bisa membawa
pada arah yang baik serta mampu membawa pada perkembangan dan perubahan.
5.2.2
Kyai bagi Etnis Madura
‘Kyai’ dalam konteks Indonesia tidak asing lagi untuk di dengar. Hal ini
karena sebutan ‘Kyai’ indentik dengan lingkungan pesantren. Menurut pendapat
beberapa ahli menjelaskan bahwa ‘kyai’ itu diambil dari bahasa Persia (Irak) yaitu
dari kata kia-kia yang berarti senang melakukan perjalanan atau juga bisa disebut
sebagai orang terpandang. Dalam konteks ini, orang terpandang dapat diartikan
sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan yang tinggi atau hebat serta
81
mahabbah terhadap ummat artinya sayang terhadap umat melalui penyebaran ilmu
agamanya.
Bagi Etnis Madura sendiri, ‘Kyai’ merupakan sosok yang paling
dihormati/disegani di dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Madura. Sebab
masyarakat Madura percaya bahwa ‘Kyai’ adalah sosok yang kemudian dapat
menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, segala macam
permasalahan baik urusan dunia maupun akhirat, ‘Kyai’ lah tempat mereka mencari
solusi. Hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh narasumber peneliti,
sebagai berikut :
“Bagi kami (Etnis Madura ), ‘kyai’ adalah sosok yang mampu
membimbing kami menuju keselamatan dunia dan akhirat. Orang yang
tinggi ilmu agamanya, sudah pasti akan selalu dekat dengan Gusti Allah.
Seperti pesan Rasulullah, bahwa setelahnya tidak aka nada lagi Nabi, dan
maka ikutilah para Ulama. Dibilang paling di hormati dan disegani, iya
benar”.
(Ahamd Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Demikian kutipan yang ambil dari wawancara dengan Pak Matori selaku
pimpinan Etnis Madura di Desa Jemparing. Senada dengan apa yang disampaikan
oleh Pak Matori, Pak Tirto menjelaskan mengenai pandagan mereka terhadap
seorang ‘Kyai’ beliau menjelaskan :
“Namanya juga berarti ilmu agamanya sudah dalam. ‘Kyai’ itu ibarat
jalan kita menuju surga. Makanya dimanapun kami berada kami selalu
hormat dan cium tangan sebagai panutan kami, dan itu sudah menjadi
tradisi bagi etnis kami untuk selalu tawadhu kepada ulama. Oleh karena
itu tawadhu kepada seorang ulama merupakan ibadah”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
82
Dari penyampaian Pak Matori dan Pak Tirto, dapat disimpulkan bahwa
hormatdan tawadhunya orang-orang Madura terhadap sosok soerang ‘kyai’
merupaka sebuah tradisi yang telah diajarkan oleh orag-orang terdahulu. Dan hal
tersebut menjadi sebuah tradisi yang dipertahankan hingga saaat ini. Oleh
karenanya tidaklah heran ketika melihat orang Madura di manapun mereka berada
ketika bertemu seorang ‘Kyai’ selalu mencium tangannya. Sebab, bagi orang
Madura mencium tangan ‘Kyai’ merupakan ngarap barokah atau mengarapakan
barokah daripada kealiman seorang ‘ kyai’.
5.3
Sistem Stratifikasi Komunitas
Stratifikasi berasal dari bahasa latin, yaitu stratum, yang berarti tingkatan.
Stratifikasi dapat juga diartikan sebagai lapisan-lapisan atau pengelompokan sosial
dalam suatu masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya. Dalam hal status
yang dimiliki tersebut dapat berupa status karena kekayaan, jabatan, kekuasaan,
ilmu pengetahuannya, maupaun penghargaan karena suatu prestasi. Karena sebab
inilah dalam masyarakat terbagi menjadi bebrapa lapisan dari yang berada di atas,
tengah, maupun bawah.
Pada umumnya stratatifikasi yang terjadi di dalam masyarakat terbagi
menjadi dua bagian, yaitu stratifikasi sosial yang sifatnya tertutup, dan stratifikasi
sosial yang sifatnya tertbuka. Stratifikasi sosial yang sifatnya tertutup dapat
diartikan bahwa, setiap anggota/individu tidak bisa pindah ke tingkatan sosial yang
lebih tinggi. Dia hanya akan berada pada posisi lapisan yang dia miliki sekarang
hingga nanti tak pernah berubah. Contoh daripada pola ini yaitu yang terjadi pada
sistem kasta masyarakat hindu.
83
Selanjutya stratifikasi sosial yang sifatnya terbuka diartikan bahwa setiap
anggota/individu dapat berpindah dari setiap tingkatan satu ketingkatan lainnya.
Dalam hal ini, bisa terjadi karena faktor pendukung seperti kekayaa, ilmu
pengetahuan, jabatan, serta penghargaan. Lalu bagaimanana dengan sistem
stratifiksi Etnis Madura? Menurut peneliti stratifikasi yang terjadi di Etnis Madura
bersifat terbuka, sebab pada dasarnya ketika menjadikan seorang pemimpin dalam
suatu kelompoknya, tidak terlepas daripada unsure status sosialnya, dalam hal ini
dapat dilihat dari kekayaannya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
narasumber peneliti, yang mengatakan bahwa :
“Pertama, sistem stratifikasi yang ada di sini pada umumnya sama
denga apa yang terjadi di Madura. Tidak bisa dipungkiri, bagi
masyarakat Madura harta itu penting, untuk menaikkan status sosial.
Oleh karenanya banyak masyarakat Madura, yang awalnya tidak
memiliki apa-apa, kemudian berusaha, kerja keras, dan akhirnya
berhasil, naik statusnya di dalam masyarakat, terutama dalam
kelmpoknya. Contohnya saya sendiri”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Demikian pula yang disampaikan oleh bapak Tirto secara singkat, beliau
menjelaskan bahwa :
“Bagi masyarakat Madura, harta penting untuk merubah status. Sama
aja kaya di Madura di sini stratifikasinya”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari pernyataan kedua narasuber di atas
terkait dengan sistem stratifikasi Etnis Madura tidak ada perbedaan dengan yang
terjadi daerah asal. Sebab, hal tersebut berlaku secara umum, di manapun Etnis
Madura berada.
84
5.4
Ritual-ritual Keagamaan Komunitas
Pada pembahasan mengenai ritual-ritual keagamaan komunitas, terdapat
beberapa nilai yang ada di dalamnya, antara lain, ritual keagamaan sebagai perekat
sesama imigran Madura, dan kajian keagamaan bersama masyarakat setempat.
5.4.1
Ritual Keagamaan sebagai Perekat Sesama Imigran Madura
Agama merupakan suatu hal yang begitu sakral bagi manusa. Agama
merupakan cerminan daripada keyakinan manusia terhadap Tuhan-Nya. Dalam hal
ini agama dapat berperan sebagai pengikat atau pengontrol dari sebuah perilaku
personal. Agama pada dasarnya mengatur tentang bagaimana manusia dapat hidup
bersama, berdampingan dan saling berinteraksi di dalam sebuah perbedaan.
Kata agama sendiri berasal dri bahasa sanksekerta yang berarti ‘tradisi’.
Sedangkan kata latinnya terdiri dari kata le-ligare yang berarti mengikat kembali.
Hal ini menyatakan bahwa orang yang beragama adalah orang yang
menghambakan dirinya pada Tuhan-Nya. Agama pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan budaya. Agama terkadang mengikuti pola-pola tradisi/budaya
masyarakat setempat. Hal ini menjelaskan bahwa agama itu bersifat fleksibel dan
tidak ruwet.
Hal inilah yang kemudian diterapkan oleh para wali songo dalam
menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa pada masa silam. Hinggah kini tradisi
itupun masih berlangsung. Salah satunya yaitu tradisi atau budaya untuk kajian
keagamaan sebagai salah satu perekat hubugan yang dilakukan oleh Etnis Madura
di manapun mereka berada. Contohnya adalah Etnis Madura yang berada di Desa
85
Jemparing yang peneliti teliti. Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing pada
hari-hari tertentu juga melaksankan kajian-kajian keagamaan tersebut. Untuk
mendapatkan informasi yang lebih jelas terkait dengan hal ini peneliti menanyakan
dengan sumber key informan peneliti. Hasil wawancara tersebut sebagai berikut :
“Pada dasarnya emang ada kajian-kajian keagamaan yang etnis
kami(Madura) laksanakan pada malam-malam tertentu biasanya, 2 kali
seminggu dilakukan setiap malam rabu dan jumat. Pada dasarnya ini
tujuanya bukan sebagai perekat hubungan, ini pesan leluhur/budaya
untuk tetap dijalankan di manapun kami berada. Namun jika orang luar
melihat ini sebagai usaha kelompok kami untuk menguatkan diri,
silahka saja menilai. Bagi kami ini sebuah tradisi dan harus diteruskan
hinggah cucu cicit kami nantinya”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Selanjutnya peneliti juga bertanya dengan Bapak Tirto Kusumo selaku
orang yang berpengaruh di lingkungan Etnis Madura/kepala pekerja. Beliau
menjelakan secara singkat bahwa :
“Ada, kajian keagamaan setiap malam rabu dan jumat tempatya di
mushola sebelah rumah. Hal ini rutin dilakukan sebagai salah bukti
syukur kami terhadap pemberian Tuhan”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata Etnis
Madura yang berada di Desa Jemparing dalam hal ritual keagamaan, di manapun
mereka berada baik di daerah asal maupun di perantauan akan tetap melaksanakan
kajian-kajian agama, sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan. Dan hal
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah perekat/solidaritas sesama Imigran Madura
di perantauan.
5.4.2
Kajian Keagamaan Bersama Masyarakat Setempat
86
Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing selain melakukan kajian
keagamaan bersama dalam kelompoknya, juga melakukan perluasan kajian
bersama dengan masyarakat setempat. Hal ini dilakukan setelah konflik yang terjadi
antara Etnis Madura dengan Etnis Paser pada tahun 2008 silam. Hal ini bertujuan
untuk membangun kembali hubungan antar kedua etnis pasca konflik.
Selain itu
pula hal ini dilakukan sebagai upaya penyebaran nilai-nilai Islam kepada
masyarakat setempat. Ini dilakukan mengingat bahwa hampir keseluruan
masyarakat Jemparing masih kental akan animisme dan dinamisem walaupun
semua beragama Agama Islam.
Sebagaimana yang ditahu bahwa sebagian masyarakat setempat masih
kental dengan hal yang terkait dengan animisme ataupun dinasmisme walaupun
sebenarnya rata-rata masyarakat setempat memeluk Agama Islam. Walaupun
dengan sterotip yang buruk yang melekat pada Etnis Madura, merek mencoba untuk
membuktikan bahwa, apa yang selama ini melekat pada etnis mereka terkait dengan
steorotip buruk, tidak selalu benar adanya. Walaupun terkadang di mana ada
perkumpulan Etnis Madura di suatu daerah selalu menimbulkan konflik. Itu tidak
dapat dipungkiri.
Namun bukan berarti selamanya perlakuan Etnis Madura terhadap
lingkungan sekitar mencerminkan perilaku yang buruk. Dari sinilah Etnis Madura
mencoba membaur, membuka diri dengan masyarakat setempat agar dapat diterima
secara terbuka olah masyarakat Kalimantan khusunya dan pada masyarakat pada
umumnya. Hasil daripada aktivitas yang dilakukan Etnis Madura tersebut
membawa dampak positif bagi kelompok mereka, alhasil etnis mereka sejauh ini
87
diterima oleh masyarakat Jemparing hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan
berjalannya aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh kedua masyarakat setempat.
Etnis Madura bersama dengan masyarakat setempat melaksanakan kajian
keagamaan bersama sebagai salah satu wujud dalam merekatkan hubungan sesama
manusia. Untuk lebih jelasnya peneliti mencoba menanyakan keada key informan
terkait dengan hal tersebut. Hasil dari wawancara tersebut sebagai berikut :
“Dalam hal ini, ada kajian keagamaan yang dilakukan bersama antar
kami(Etnis Madura) bersama masyarakat setempat. Biasanya aktivitas
seperti ini dilakukan seminggu sekali. Alhamdulillah kegiatan tersebut
diterima baik oleh masyarakat sekitar. Sebab masyarakat sekitar sini
walaupun Islam tetap masih mempercayai animisme dan dinamisme
yang kuat”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Pak Matori, Bapak Tirto sebagi
key informan peneliti juga mengatakan bahwa :
“Ada pengajian bersama antara Etnis Madura dan masyarakat setempat.
Tidak hanya bapak-bapaknya, tapi juga ada pengajian ibu-ibunya, ada
orang Banjar, Madura, Bugis, Paser dan Jawa. Campur pokoknya.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpula sementara bahwa dalam hal
kajian keagamaan yang dilakukan bersama antara Etnis Madura dengan masyarakat
sekitar merupak salah satu wujud untuk merekatkan hubungan antar ke duanya serta
menemptkan posisi Etnis Madura untun bisa diterima di dalam masyarakat.
5.5
Kegiatan Rutin Komunitas Lain yang Melekatkan Komunitas
Pada pembahasan mengenai kegiatan rutin komunitas lain dalam
melekatkan komnitas, terdapat beberapa niai yang terkadung di dalamnya, seperti,
88
hal apa yang dilakukan dalam membangun silahturahim sesama Imigran Madura di
perantauan, penggalangan dana ketika sesam Etnis Madura mengalami
musibah/sakit, dan saat mengalami jalan buntu, bagaimana mencari jalan
keluarnya.
5.5.1
Kegiatan Individu dalam Membangun Silahturahim Sesama Imigran
Madura di Peratauan
Berada di tanah perantaaun tentu saja akan lebih susah survive ketika tidak
memiliki skil atau keahlian sebagai alat utama untuk melanjutkan hidup. Terlebih
lagi ketika tidak memiliki kenalan atau sanak saudara sebagai tempat bernaung
sementara. Banyak kasus yang terjadi di kota-kota besar, contohnya saja di daerah
ibu Kota Jakarta. Banyaknya masyarakat dari pedesaan yang mencoba peruntungan
untuk merantau ke ibu kota dengan harapan dapat merubah kehidupannya yang jauh
lebih baik nyatanya bertolak belakang dengan impiannya.
Yang terjadi adalah mereka hanya menjadi pengangguran, pengemis,
bahkan gelandagan. Ini semakin membuat suasana tataran kehidupan di perkotaan
semakin memburuk. Hal inilah yang kemudian sangat dihindari dari Etnis Madura.
Bagi Etnis Madura ketika pertama kali merantau ke wilayah lain, yang pertama kali
harus dilakukan adalah mencari teman atau sanak saudara. Ini sudah menjadi
sebuah tradisi bagi Etnis Madura. Tujuannya untuk memberikan pengertian kepada
si perantau untuk menghilangkan rasa kesepian dari dirinya.
Bagi Etnis Madura menjaga silahtuahim itu sangat penting.
Terlebih lagi ketika berada di perantauan. Sebab ketika terjadi sesuatu
kepada diri kita yang dapat membantu adalah teman ataupun sanak saudara.
89
Begitulah yang Imigran Madura di Desa Jemparing lakukan. Demi menjaga
stabilitas kehidupan sosial antar mereka (Etnis Madura), mereka menjaga hubungan
silahturahim dengan cara saling berkunjung ke tempat sanak saudara, dan ngumpul
bersama di waktu luang. Hal ini dilakukan selain untuk menjaga hubungan antar
mereka (Etnis Madura), juga sebagai penghilang kejenuhan karena aktivitas
pekerjaan. Pernyataan diatas sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak Matori.
Pak Matori mengatakan bahwa :
“Kami di sini ketika ada waktu luang kami (Etnis Madura) manfaatkan
untuk berkumpul bersama dan saling mengunjungi saudara ditempat
lain. Itu guna sebagai upaya menjaga tali silahturahim kami supaya
tidak putus. Banyak hal yang biasanya di obrolin. Bisa masalah agama,
ataupun pekerjaan. Namun intensitasnya tidak begitu sering. Kalo
untuk yang kita-kita di dekat sini, biasanya ngumpul di warung kopi
sambil ceritaan’’.
(Ahamd Matori (Sumenep), 18 April
2016)
Selain Pak Matori, Pak Tirto juga menjelaskan secara sigkat bahwa :
“Biasanya kami sering ngumpul dan berkunjung saja ketika ada waktu
luang”.
(Tirto kusumo (Jember), 18 April 2016)
Bertolak dari kedua penjelasan key informan peneliti, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam membangun ataupun menjaga hubungan silahturahim
antar sesama mereka, hal yang dilakukan adalah saling mengunjungi dan
berkumpul bersama ketika ada waktu luang.
5.5.2
Penggalangan Dana Ketika Sesama Imigran Madura Mengalami
Musibah
90
Penggalangan dana yang dilakukan oleh sesama Imigran Madura ketika
saudaranya mengalami sakit atau mendapatkan musibah ada dilakukan di Desa
Jemparing. Biasanya yang menjadi kordinator adalah kepala pekerja masingmasing. Pada saat salah satu pekerjanya mendapatkan kecelakaan kerja atau
musibah. Masing-masing dari kepala pekerja berkumpul dan membicarakan hal
tersebut secara terbuka. Ketika masalahnya kecil maka hanya kepala kepala pekerja
saja yang berkumpul.
Namun ketika masalah tersebut besar, biasanya kepala pekerja
mengumpulkan juga para pekerjanya beserta kordinator pengurus Imigran Madura
di daerah tersebut. Ini merupakan salah satu wujud kesolidtan antar sesama mereka.
Namun bantuan dana yang dikumpulkan biasanya meyesuaikan dengan
kemampauan masing-masing para pekerja. Bantuan dana bisanya lebih banyak
diberikan oleh kepala pekerja. Hal ini senada dengan apa yang di sampaikan oleh
Pak Matori selaku kepala adat Imigran Madura di Desa Jemparing. Beliau
mengatakan :
“Penggalangan dana ada dilakukan. Hal tersebut sebagai salah satu
wujud kami saling menjaga dan menolong sesama Imigran Madura
yang berada di perantauan. Hanya saja bantuan biasanya diberikan
menyesuaiakn denga kemampuan masing-masing. Ya paling banyak
bantu ya bosnya atau kepala pekerjanya”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Tidak jauh berbeda apa yang kemudian dikatakan Pak Matori dengan pak
Tirto. Pak Tirto menjelaskan secara singkat bahwa :
“Ya ada, namanya juga sama-sama di perantauan, kalo ada apa-apa,
pasti saling bantu”.
91
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari kedua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa penggalangan
dana ada dilakukan ketika sesama Imigran Madura mendapatkan musibah atau
masalah. Namun dalam hal ini bantuan dana yang diberikan menyesuaikan dengan
kemampuan masing-masing individu. Biasanya kepala pekerja yang lebih banyak
banyak membantu. Hal ini dilakukan sebagai wujud satu nasib di perantauan.
5.5.3
Mencari
Bantuan
Ketika
Mengalami
Jalan
Buntu
dalam
Permasalahan
Dalam hidup ini tentu saja akan datang suatu saat masalah ataupun
musibah dalam kehidupan kita. Hal itu mutlak terjadi, dan tidak dapat dihindari.
Hanya saja, proses terjadinya yang kemudian akan berbeda dengan yang lainnya.
Bisa bersifat individu maupun bersifat kelompok (sosial). Tentu saja tidak semua
permasalahan kemudian dapat dislesaikan denga mudah. Ada masaslah-masalah
yang sulit untuk diselesaikan karena beberapa faktor.
Hal ini berlaku secara umum. Begitu pula yang terjadi dengan Etnis
Madura yang berada di Desa Jemparing. Ketika kelompok mereka (Etnis Madura)
mendapatkan suatu masalah dalam komunitasnya, mereka tentunya akan
menyelesaikan berdasarkan aturan aturan yang telah ditetpkan dalam kelompoknya.
Namun bila masalah yang terjadi diluar komunitasya, tentu saja metode
penyelesaiannya akan berbeda. Tentu akan proses mediasi dari berbagai pihak
dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Pak Matori selaku ketua adat Etnis
Madura di Desa Jemparing mengatakan:
92
“Kalo misalkan masalahnya besar dan tidak dapat dicari jalan
keluarnya, biasanya saya berdiskusi dengan orang asli Paser ini,
maksudnya sama sesepuh-sesepuhnya. Kalo menyangkut masalah
kedua suku kami. Terkadang juga kami meminta bantuan atau solusi
kepada para ‘Kyai’ kami.itu kalau masalahnya dalam komunitas kami
saja”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Tidak jauh berbeda dengan apa yang kemduian disampaikan oleh Pak
Matori, Pak Tirto juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Beliau mengatakan
:
“Biasanya kami (saya dan Pak Matori), berdiskusi dengan tokoh adat
sini kalo masalahnya menyangku kedua suku. Kalo cuma dalam
komunitas kami (Etnis Madura), paling mentok kami minta saran dan
masukan sama para ‘Kyai’ di luar (pesantren)”.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Jika dilihat dari kedua pernyataan di atas peneliti dapat menyimpulkan
sementara bahwa, ketika mengalami suatu masalah masalah yang berada dalam
komunitasnya dan mengalami jalan buntu, mereka akan meminta bantuan kepada
para ‘Kyai’, untuk mendapatkan masukan dan saran-saran. Namun ketika masalah
tersebut menyagkut kedua belah pihak/suku antara Etnis Madura dengan etnis
setempat, maka penyelesaiannya dengan cara mediasi antar ketua adat dengan
sesepuh-sesepuh kampung di Desa Jemparing.
5.6
Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam dan luar Komunitas
Pada pembahasan mengenai mekanisme penyelesaian konflik dalam
komunitas/luar, ada beberapa nilai yang terkandung di dalamnya yang selanjutnya
hal tersebutlah yang akan dibahas. Hal tersebut antara lain,ketegangan/konflik Etnis
93
Madura dengan Etnis Paser dan metode penyelesaian koflik, serta hubungan kedua
belah pihak setelah konflik.
5.6.1
Mekanisme Penyelesaian Konflik Etnis Madura dengan Etnis Paser
Konflik secara sederhana dapat diartikan sebagai pertentangan antara
kedua belah pihak dalam mencapai tujuan. Selain itu menurut Lewis A. Coser
(Coser, 1975 210-211), konflik merupakan perjuagan nilai atau tuntutan atas status.
Dalam kehidupan bermasyarakat, konflik tidak dapat dihindari. Ibarat dua sisi mata
uang, konflik hadir bersemayam dalam kehidupan bermasyarakat. Namun
instensitas konflik dapat diredam dengan cara mengetahui hal-hal yang selanjutnya
dapat memicu sebuah konflik.
Ketegangan atau konflik antara Etnis Madura dengan etnis luar (Paser) di
Desa Jemparing pernah terjadi pada tahun 2008. Penyebab konflik karena
kesalapahaman antara kedua pemuda Desa tersebut pada saat malam pembagian
hadiah kegiatan 17 Agustusan. Pemuda dari Etnis Paser pada saat melakukan
pembersihan tempat acara setelah kegiatan selesai, tidak sengaja pada saat
mengangkat kursi, mengenai anak dari salah satu pemuda Madura. Melihat anaknya
menangis seketika, pemuda Madura tersebut mengacungkan celurit ke hadapan
pemuda Paser tersebut, dan suasana seketika menjadi tegang antar kedua etnis
tersebut, terutama golongan pemuda-pemuda.
Namun hal tersebut tidak sempat menimbulkan pertumpahan darah atau
menyebabkan korban jiwa dari kedua pihak. Karena seketika ditengahkan dari
Tokoh Adat Paser di desa tersebut. Merasa di rendahkan atau dihina, pemudapemuda Paser tidak terima, esoknya Etnis Madura dikepung oleh Etnis Paser yang
94
berasal dari berbagai wilayah, diantaranya, Sepaku, Long Kali, Grogot, Sotek, dan
kelompok Ormas Gepak, karena berita tersebut setelah kejadin tersebar kebeberapa
wilayah di daerah Paser dan Penajam Paser Utara.
Terlepas dari itu, penyebab konflik juga karena disebabkan karena
perbedaan budaya antar kedua etnis tersebut. Karena bagi masyarakat Madura
membawa celurit pada saat bepergian kemana-mana merupakan hal yang biasa atau
bahkan sudah menjadi budaya Etnis Madura, namun bagi orang Paser hal tersebut
tidak pantas dan mengisyaratkan untuk menantang untuk berdual, karena itu telah
terjadi mist budaya antar kedua etnis tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam terkait
dengan konflik tersebut, peneliti bertanya dengan ketua adat Etnis Madura di Desa
Jemparing, yaitu bapak Matori. Beliau menjelaskan bahwa :
“Pernah terjadi dengan suku paser sini. Tahun 2008 kejadiannya. Cuma
salah paham saja sebenarnya. Biasa anak muda. Bagi etnis kami
(Madura) membawa celurit saat bepergian sudah menjadi hal biasa.
Cuma kan bagi masyarakat Paser, lain pandagannya. Akhirnya
disepakati bahwa penyelesaian dibawa ke hukum adat dan disetujui
orang Madura dan orang Paser. Orang Madura disuruh menyembelih
satu ekor sapi dan kami merayakannya bersama di lapangan”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016)
Untuk mempekuat pernyataan Pak Matori, peneliti juga bertanya dengan
Pak Tirto selaku kordinator Imigran Madura yang berada di daerah galian batu, di
wilayah Ombe. Beliau mengatakan bahwa :
“Pernah terjadi, sudah lama kejadiannya. Keponakannya Pak Matori
sendiri, kebetulan baru datang dari Madura. Gara-gara si Rohim bawa
celurit trus acungkan celurit ke mukanya pemuda Paser, terjadilah
konflik, tapi alhamdulillah, tidak sempat terjadi kontak fisik, soalnya
cepat dilerai. Akhirnya, kami dikenakan hukum adat. Waktu itu kami
bertukaran budaya, orang Paser memberikan mandau kepada Tokoh
Adat Madura, orang Madura memberikan celurit kepada Tokoh Adat
Paser”.
95
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Dari penjelasan kedua tokoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa,
penyebab konflik yang terjadi antara Etnis Madura dengan Etnis Paser di Desa
Jemparing pada tahun 2008 sebenarnya disebabkan karena faktor kesalapahaman
antar kedua pemuda desa serta perbedaan budaya antar kedua etnis. Bagi Etnis
Madura membawa celurit kemanapun ketika mereka bepergian adalah hal yang
lumrah dan biasa saja. Namun bagi Etnis Paser hal tersebut tidak dapat dibenarkan,
karna sama saja dengan menantang.
Namun konflik dapat diredam dan tidak sempat menimbulkan korban jiwa
dari kedua belah pihak. Akhirnya, penyelesaian konflik diselesaikan secara hukum
adat. Etnis Madura dikenakan hukum Adat Paser dengan cara menyembelih seekor
sapi (upacara belian) dan
dirayakan bersama antar kedua suku. Semenjak hal itu dilakukan, hinggah saat ini
tidak pernah terjadi lagi konflik antar kedua etnis tersebut.
5.6.2
Hubungan Etnis Madura dan Etnis Paser Pasca Konflik
Konflik yang terjadi pada tahun 2008 silam antar Etnis Madura dengan
Etnis Paser tentu membuat bekas yang dalam terutama bagi Etnis Madura sebagai
etnis pendatang. Namun hal tersebut tidak menjadikan Etnis Madura menutup diri
bahkan mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di Desa Jemparing. Justru
setelah terjadinya konflik tersebut Etnis Madura mencoba lebih terbuka dan
fleksibel terhadap perlakuan masyarakat setempat. Dalam artian, bahwa Etnis
Madura lebih bisa membaur dan bersatu dengan masyarakat setempat.
96
Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah apalagi setelah terjadinya konflik.
Namun tekad kuat dari kelompok Etnis Madura untuk dapat di terima kembali
membuahkan hasil. Terbukti, sejak terjadinya konflik pada tahun 2008 silam
hinggah kini ketegangan besar antar kedua belah etnis belum pernah terjadi. Hal
tersebut menandakan bahwa sejauh ini hubungan pasca konflik berjalan dengan
baik yang ditandakan dengan dijalankannya progam kajian bersama antar etnis,
kegiatan olahraga bersama dan berkumpul bersama (nongkrong). Tentu hal ini
berdampak baik dari berbagai pihak. Sesuai dengan perkataaan Bapak Matori,
beliau menjelaskan :
“Alhamdulillah sejauh ini hubungan kami dengan masyarakat sekitar
pasca konflik yang terjadi pada tahu 2008 silam berjalan dengan baik
dan aman saja. Sampai saat ini belum pernah terjadi ketegangan
kembali. Kami hidup rukun bersama”.
(Ahmad Matori (Sumenep), April
2016)
Senada dengan yang di sampaikan oleh pak Matori, pak Tirto juga
menjelaskan bahwa :
“Hubungan kami baik saja, rukun. Setelah kejadian waktu itu,
hubungan kami semakin membaik.
(Tirto Kusumo (Jember), 18 April
2016)
Berdasarkan dari penjelasan kedua narasumber di atas, dapat ditarik
kesimpulan sementara bahwa hubugan yang terjadi antar kedua etnis pasca konflik
pada tahun 2008 silam berjalan denga baik semakin rukun dalam bermasyarakat.
Hal itu ditandai dengan adanya kajian agama yang dilakukan bersama antar kedua
97
belah piha. Serta hingga sampai saat ini, tidak pernah terjadi ketegangan anatar
kedua etnis tersebut.
5.7
Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan Etnis Madura di Wilayah
Lain
Pembangunan jaringan yang dilakukan pada umumnya dimaksudkan
sebagai perekat atau penguat hubungan yang terjadi dari berbagai pihak. Hal ini
tentu saja tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan yang ada dari setiap individu
maupun kelompok. Kepetingan dalam hal ini, bisa bersifat politis, sosial maupun
ekonomis. Dalam hal ini, kaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan terhadap
Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing didapatkan bahwa ternyata dalam
dalam hal pembangunan jaringan antar wilayah dilakukan semata-mata bersifat
politis. Hal tersebut terbukti dari pernyataan ketua adat Imigran Madura Desa
Jemparing ketika peneliti menanyakan hal yang terkait dengan pembagunan
jaringan antar wilayah lain. Beliau menjelaskan bahwa :
“Dalam hal ini, saya tidak bisa katakan apakah ini termasuk
pembangunan jaringan apa tidak. Hanya saja, setiap bulannya saya
selaku ketua adat bagi Etnis Madura yang ada di Desa Jemparing ini,
melakukan pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan setiap bulan
sekali. Petemuan tersebut kadang di Gorogot, Long Kali, Balikpapan,
ataupun Samarinda, bahkan ke daerah Banjar juga pernah”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Setelah menanyakan hal tersebut, peneliti coba meneruskan bertanya apa
yang di bahas dalam petemuan tersebut. Beliau menjelaskan kembali bahwa :
“Pertemuan cuma membahas terkait dengan masalah keagamaan atau
syiar. Kebetulan saya punya pesantren di daerah Long Kali, dan
kebetulan saya ketua dari yayasan pesantren yang ada di daerah Long
98
Kali. Terlepas dari itu, ada juga pembahasan perihal usaha, kerjaan serta
bisnis”.
(Ahmad Matori (Sumenep), 17 April
2016)
Untuk menguatkan argument atau pernyataan dari Pak Matori, peneliti
coba kembali menanyakan dengan narasumber lainnya yaitu Pak Tirto selaku key
informan peneliti. Beliau menejalaskan bahwa :
“Untuk masalah pertemuan-pertemuan begitu biasanya Pak Matori
yang jalan. Biasanya setiap bulan selalu keluar kota beliau, bertemu
dengan sesama orang Madura”.
(Tirto Kusuomo (Jember), 18 April
2016)
Dari penjelsan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata dalam proses
pembangunan jaringan terhadap sesama imigran di wilayah lain ada dilakukan. Dan
hal tersebut dilakukan oleh ketua adat. Mengapa hal tersebut hanya dilakukan oleh
ketua adat Madura di Desa Jemparing saja, sebab hanya beliaulah yang sejauh ini
mempunyai akses ke wilayah lainnya.
Dari penjelasan dan pembahasan ketujuh point yang peneliti teliti di atas
dapat dilihat secara garis besar bagaimana sebenarnya keberadaan Imigran Madura
yang berada di Desa Jemparing saat ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih
mendalam peneliti akan tampilkan hasil wawancara serta pembahasan dengan para
pekerja Etnis Madura yang bekerja sebagai pemecah batu di lokasi Ombe dan
penduduk asli Desa Jemparing. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar informasi
yang didapatkan lebih lengkap dan dalam.
99
Dari hasil wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian kepada para
pekerja batu dan masyarakat Desa Jemparing, didapatkan hasil seperti yang tertera
pada tabel 5.1 di bawah berikut ini :
Tabel 5.1
Faktor Penarik Migrasi
No
Pertanyaan
Hal Pokok
Hasil Wawancara
1.
Alasan migrasi?
Lapangan
pekerjaan susah
Khairil 55 Tahun: Di
Madura kerjaan susah.
Eko 60 Tahun : Kerjaan
susah di Madura.
2.
Dapat info dari siapa?
Dari kerabat
Dulhadi : Susah cari
kerjaan.
Khairil 55 Tahun :
Diajak teman
Eko 60 Tahun : Dari
kerabat
Dulhadi : Dari keluarga
3.
Di Madura kerja apa?
Buruh
Khairil 55Tahun : Buruh
Eko 60 Tahun : Tukang
becak
Dulhadi : Tukang becak
4.
5.
Berapa
Tidak cukup
Penghasilannya ? apa
cukup
untuk
kebutuhan anak istri
sehari- hari ?
Bagaimana kerjaan di Lebih dari cukup
sini, apak cukup untuk
keluarga ?
Khairil 55
Tidak tentu
Tahun
:
Eko 60 Tahun :1250
Dulhadi : 1000
Khairil 55 Tahun :1-2
juta sebulan.
Eko 60 Tahun : Lebih
dari cukup
100
6.
7.
Bagaimana kerukunan Kurang lebih sama
tetangga di sini, apa
sama atau berbeda
dengan daerah asal ?
Bagaimana solidaritas Solid di perantauan
ketika ada masalah?
Dulhadi : Lebih dari
cukup
Khairil 55 Tahun : Agak
sedikit sama
Eko 60 Tahun :
Tergantung
pribadi
membawa diri
Dulhadi : Kurang lebih
sama
Khairil 55 Tahun :
Lebih erat di sini
Eko 60 Tahun : Lebih
solid di sini ketimbang
di daerah asal
Dulhadi : Sama saja
Dari tabel 5.1 di atas dapat dilihat secara ringkas mengenai jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan peneliti kepada para pekerja di Desa Jemparing. Untuk lebih
jelasnya peneliti akan uraikan satu persatu pernyataan tersebut.
A. Alasan Migrasi
Dari pertanyaan mengenai alasan migrasi, jawaban dari ketiga informan di
atas lebih condong kepada susahnya lapangan pekerjaan di daerah asal pada saat
itu. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi awal daripada perjalanan mereka
merantau ke Kalimantan Timur. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
karena lapangan pekerjaan yang susah yang membuat para informan tersebut
melakukan migrasi ke Kalimantan Timur.
B. Informasi Pekerjaan
101
Dari pertanyaan mengenai informasi pekerjaan yang ada di Kalimantan
Timur, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa informasi
pekerjaan tersebut didapatkan dari kerabat/teman. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ternyata kepergian para informan di atas bermigrasi/merantau ke Kalimantan Timut
untuk mencari pekerjaan berasal dari informasi kerabat dan teman.
C. Pekerjaan di Daerah Asal (sebelum merantau)
Dari pertanyaan mengenai pekerjaan pada saat di daerah asal sebelum
merantau, jawaban dari ketiga informan di atas menjelaskan bahwa pekerjaan para
informan adalah sebagai buruh. Jadi dapat di simpulkan bahwa informasi kerjaan
pada saat melakukan migrasi ke Kalimantan Timur didapatkan dari kerabat atau
teman dekat.
D. Penghasilan Pekerjaan di Daerah Asal
Dari pertanyaan mengenai Penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh di
daerah asal, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa ternyata
penghasilan para informan di atas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak
dan istri sehari-harinya. Ini juga yang menjadi salah satu faktor bermigrasinya para
informan di atas ke Kalimantan Timur.
E. Pekerjaan di Tempat Perantauan
Dari pertanyaan mengenai pekerjaan saat ini (di Desa Jemparing) sebagai
buruh pemecah batu, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa
pekerjaan yang dilakoni saat ini sebagai buruh pemecah batu penghasilannya lebih
dari cukup. Artinya bahwa, kerjaan saat ini walaupun sama-sama dikatakan tetap
102
sebagai buruh, namun pengahsilannya dapat memenuhi kebutuhan anak dan istri
sehari-hari. Dan hal itu baik bagi ketiga informan di atas.
F. Kerukunan Bertetangga
Dari pertanyaan mengenai kerukunan bertetangga di daerah asal maupun di
daerah perantauan, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa
kerukunan bertetangga yang terjalin di dalam kehidupan sehari-hari baik itu ketika
berada di daerah asala maupun ketika berada di daerah perantauan sama saja, tidak
ada perbedaan. Hal ini menandakan bahwa, hubungan yang kini terjalin baik-bak
saja. Dan hal tersebut sanagt baik untuk kedua belah pihak yang bersangkutan.
G. Solidaritas Ketika Ada Masalah
Dari pertanyaan mengenai solidaritas ketika ada masalah di daerah asal
ataupun di daerah perantauan, jawaban dari ketiga informan di atas menjelaskan
bahwa, solidaritas yang terjadi ketika ada masalah lebih kuat ketika berada di
perantauan. Sebab pada saat di perantauan para Imigran Madura harus lebih saling
menjaga dan mengigatikan satu sama lain. Oleh karenanya muncul kesolidtan
ketika kelompok tersebut mendapatkan suatu masalah.
Setelah selesai bertanya kepada para pekerja pemecah batu di wilayah Ombe
tersebut. Peneliti melanjutkan bertanya kepada para penduduk setempat.
Harapannya adalah agar informasi yang peneliti dapatkan jauh lebih akurat dan
mendalam. Selain itu, agar informasi yang di dapatkan tidak hanya dari satu pihak
melainkan dari semua pihak. Agar penelitian ini tidak bersifat subjektif malainkan
bersifat objektif (komprenhsif). Untuk lebih jelasnya silahkan lihat tabel 5.2 di
bawah sebagai berikut :
103
Tabel 5.2
Aspirasi Masyarakat Jemparing
No
1.
2.
3.
Pertanyaan
Tanggapan, terhadap
keberadaan Imigran
Madura di Desa
Jemparing?
Hal Pokok
Hasil Wawancara
Keberadaan
Imigran Suyuno 55 Tahun
Madura
di
Desa kepala BPD Desa
Jemparing
Jemparing : Kami
menerima saja.
Hubungan
antar Interaksi dan sosialisasi
Etnis
Madura
dengan masyarakat
setempat
Sa’ad 60 Tahun
Petani sawit dan
Kepala Dusun 1 :
biasa saja. Ya kami
nerima saja.
Suyuno 55 tahun
kepala BPD Desa
Jemparing : Sejauh
ini baik-baik saja.
Sa’ad 60 Tahun
Petani sawit dan
Kepala Dusun 1 :
baik –baik saja.
Kontribusi
Kontribusi
terhadap Suyuno 55 Tahun
keberadaan Imigran pembangunan desa
kepala
Desa
Madura
terhadap
Jemparing : Tidak
pembangunan
ada kontribusi
wilayah
Desa
Jemparing?
Sa’ad 60 Tahun
Petani sawit dan
Kepala Dusun 1 :
belu keliatan
Pada tabel 5.2 di atas dapat di lihat secara singkat jawaban kedua informan
atas pertanyaan peneliti. Selanjutnya akan peneliti narasikan lebih lengkap terkait
dengan jawaban kedua informan di atas. Agar informasi dapat dibaca lebih lengkap
oleh para pembaca.
A. Tanggapan terhadap Keberadaan Imigran Madura di Desa Jemparing
104
Pada saat melakukan wawancara dengan penduduk asli setempat. Peneliti
sengaja mengambil informan atas nama Bapak Suyuno dan Bapak Sa’ad atas saran
dan masukan dari penduduk setempat. Dikarenakan kedua tokoh tersebut
merupakan orang lama di Desa tersebut dan lebih mengetahui kondisi Imigran
Madura di desa tersebut, akhirnya berdasarkan saran masukan penduduk setempat.
Akhriya peneliti mendatangi kedua informan tersebut.
Peneliti pertama kali
mendatangi Bapak Suyuno di kediaman beliau. Berdasarkan hasil wawancara
peneliti dengan pak Suyono, di mana peneliti menanyakan tentang ” tanggapan
keberadan imigran Madura di Desa Jemparing”, beliau menjelaskan bahwa :
“ Pada dasarnya kami di sini merima saja keberadaan Etnis Madura di
desa kita. Maksudnya tidak ada alasan bagi untuk menolaknya. Tidak
bisa dipungkiri, khusus di Kabupaten Paser perkembangan
perekonomian dibangun dari orang-orang pendatang. Sesuai dengan
slogan kami “ paser buen kesong “. Lokasi itu (wilayah Ombe),
semakin besar karena orang-orang Madura. Kalo berharap orang Paser
yang mau ngurusin, jangan harap, masyarakat Paser lebih memilih
ngelola sawit, ketimbang memecah batu”.
(Suyono (Paser), 23 April
2016)
Hal tersebut senada dengan apa yang kemudian disampaikan oleh Bapak
Sa’ad ketika peneliti menayakan hal yang sama. Beliau mengatakan bahwa :
“Dari kami sebenarnya biasa-biasa saja (menerima). Selama tidak
menganggu usaha kami di sini, kami bisa saja terima, tapi kalo sudah
sampai menganggu, ceritanya bisa berbeda. Mereka (Etnis Madura), itu
kan lokasinya di dalam sana (ombe), jadi tidak apa-apa”.
(Sa’ad (Paser), 25 April
2016)
Dari penjelasan kedua informan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
ternyata tanggapan masyarakat atau penduduk setempat terhadap keberadaan
105
Imigran Madura di desa tersebut sebenarnya menerima saja. Selama kegiatan atau
aktivitas Imigran Madura tidak menganggu usaha penduduk setempat. Selain itu
juga dikarenakan lokasi Etnis Madura berada di wilayah Ombe (daerah dalam),
akhrinya penduduk setempat mampu menerima kehadiran mereka (Etnis Madura).
B. Hubungan Etnis Madura dengan Masyarakat Setempat
Hubungan yang terjalin antar kedua etnis sejauh ini baik-baik saja. Seperti
yang peneliti tulis sebelumnya bahwa hubungan yang terjadi pasca konflik tahun
2008 sampai saat ini baik-baik saja. Tidak pernah ada ketegangan yang terjadi
dalam kurun waktu tersebut. Untuk memperkuat argument peneliti, peneliti
mencoba menanyakan hal tersebut kepada informan di atas (Suyono dan Sa’ad).
Hasil wawancara dengan Pak Suyono ketika peneliti bertanya terkait hubungan
yang terjalin antar Etnis Madura dengan masyarakat setempat sejauh ini, beliau
menjelaskan secara singkat bahwa :
“Hubungannya baik-baik saja. Kalo ada acara 17 agustusan selalu
berpasrtisipasi. Kan tidak bisa keluar setiap hari pekerja batu itu, cuma
kadang-kadang sabtu-minggu sore mereka keluar gabung main voli
dengan masyarakat sini”.
(Suyono (Paser), 23 April
2016)
Untuk memperkuat pernyataan dari pak Suyono, peneliti mencoba
menanyakan hal yang sama dengan Pak Sa’ad selaku informan peneliti. Hasil
wawancara peneliti, pada saat peneliti bertanya mengenai hubugan yang terjalin
antar Etnis Madura dengan masyarakat setempat. Beliau mengatakan bahwa :
“Baik saja hubungan yang terjadi. Selam saling menjaga dan tidak
macam-macam. Kan intix begitu. Tapi kami kan satu aqidah, kalo ada
masalah, insyaAllah cepat terselesaikan”.
106
(Sa’ad (Paser), 25 April
2016)
Dari kedua pernytaan di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
ternyata hubungan yang terjalin antara Etnis Madura dengan masyarakat setempat
sejauh ini berjalan dengan baik dan harmonis. Dalam rangka memperat hubungan
kedua etnis tersebut, bahwa setiap hari sabtu-minggu sore, para Imigran Madura
yang bekerja di lokasi Ombe, bergabung bersama masyarakat setempat untuk
bermain bola voli bersama. Dan hal tersebut sangat baik bagi Etnis Madura maupun
masyarakat setempat.
C. Kontribusi Keberadaan Imigran Madura terhadap Pembangunan Wilayah Desa
Jemparing
Pada dasarnya pembangunan suatu wilayah merupakan keterkaitan antar
semua pihak. Baik itu bagi pemerintahan desa, penduduk setempat maupun warga
pendatang. Semua pihak harus dapat terlibat dalam hal ini. Artinya bahwa,
komunikasi maupun sosialisasi harus berjalan dengan baik. Pemerintahan desa
selaku lembaga tertinggi di tingkat desa memiliki wewenang penuh terhadap
seluruh warganya dalam pembangunan desa.
Tidak terkecuali bagi penduduk atau warga pendatang, yang dalam hal ini
peneliti katakan yaitu penduduk Imigran Madura. Sebagai kelompok pendatang
seharusnya keberadaan Imigran Madura setidaknya memiliki kontribusi terhadap
wilayah yang ditempati. Terlebih lagi jika wilayah tersebut, secara sumber daya
alam dikeruk menjadi sumber penghasilan mereka (Etnis Madura). Mengapa
peneliti katakan demikian, sebab berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada saat
107
melakukan observasi dilapangan di dapatkan bahwa sejauh ini kontribusi
keberadaan Imigran Madura di desa tersebut tidak ada atau belum terlihat.
Menanggapi hal ini. Peneliti mencoba menanyakan kepada informan
sebelumnya yaitu Pak Suyono dan Pak Sa’ad. Hasil wawancara pada saat peneliti
bertanya mengenai “kontribusi keberadaan Imigran Madura terhadap pembagunan
di desa ini. Pak Suyono menjelaskan secara mendetail bahwa :
“Hal ini yang sampe sekarang menjadi pertanyaan semua pihak. Benar
ada titk terang sudah di bicarakan, misalkan kalau setiap acara 17
Agustusan, pengusaha-pengusaha batu harus ikut berpastisipasi
minimal bantuan dana. Dana itu diberikan sekitar 300-500 ribu
pertahunnya. Tapi kan itu belum bisa dibilang ikut berkontribusi
terhadap pembanguan desa ini. Harapan kami sedikitnya ada
sumbangsinya misalkan pembaguan jalan-jalan kecil, pembanguna
mushola dan lain-lain. Mereka kan sudah mengeruk alam di wilayah
kami, trus hasilnya dibawa ke Madura”.
(Suyono (Paser), 23 April
2016)
Tidak sampai di situ, untuk mendapatkan informasi lebih dalam, akhrinya
peneliti mencoba bertanya juga dengan informan lainnya yaitu Pak Sa’ad. Hasil
wawancara dengan pak saat, ketika peneliti menanyakan “kontribusi keberadaan
Imigrna Madura terhadap pembangunan di desa ini, beliau enjelaskan bahwa:
“Menurut saya selama akurang lebih 30 tahun beroperasi, kontribusinya
terhadap pembangunan desa belum keliatan ya. Harapan kami kalo bisa
dibuatkan aturan yang jelas di lokasi tersebut. Minimal untuk status
warga pendatang. Masa iya sudah 10-20 tahun kerja di situ masih saja
KTP Madura, bukan KTP Jemparing. Kan agak lucu, trus pemerintah
desa apa fungsinya ? yaa, semoga aja kedepannya bisa kelar masalah
ini. Soalnya susah juga Kepala Desanya, terlalu temperamental, mau
menang sendiri, makanya mayarakat sini, semakin tidak ngurusin dan
tidak peduli”.
(Sa’ad (Paser), 25 April
2016)
108
Dari kedua pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa ternyata selama
kurang lebih 30 tahun keberadaan Imigran Madura di Desa Jemparing belum ada
keliatan kontribusinya terhadap pembangunan di wilayah tersebut. Berdasarkan
pemaparan para informan di atas di dapatkan bahwa, sejauh ini bantuan-bantuan
yang berikan oleh kelompok Etnis Madura berupa bantuan dana pada saat acaraacara 17 Agustusan saja, selebihnya tidak ada . Dan dari pihak pemerintahan desa
juga sepertinya sampai saat ini belum menemukan solusi yang terbaik untuk hal
tersebut.
Sebab berdasarkan data sensus pemerintahan Desa Jemparing dikatakan
bahwa Imigran Madura yang berada di wilayah Ombe tersebut mencapai 300 orang,
dan saat ini tedaftar hanya sekitar 100 orang saja. Hal ini juga yang masih menjadi
pertanyaan bagi semua pihak terkait dengan kebijakan Pemerintahan Desa
Jemparing dalam menangani masalah keberadaan Imigran Madura hingga saat ini.
5.8
Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Masyarakat Imigran
Madura di Desa Jemparing
Dari pemaparan yang telah peneliti jelaskan di atas mengenai nilai dan
norma Etnis Madura, sistem kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual
keagamaan, kegiatan rutin komunitas lain yang melekatkan komunitas, mekanisme
pembangunan jaringan antar Etnis Madura di wilayah lain serta solidaritas mekanik
dan solidaritas organik masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing.
Berdasarkan teori dari Emile Durkheim mengenai solidaritas mekanik dan
solidaritas organik. Durkheim mengatakan bahwa solidaritas mekanik adalah
sebuah solidaritas yang dihubungkan karena adanya kesadaran kolektif yang diikat
109
karena totalitas kepecayaan, cita-cita bersama, komitmen moral, homogenitas yang
tinggi, serta hukum bersifat represif. Pada masyarakat Imigran Madura di Desa
Jemparing, hubungan yang terjalin diantara mereka dilihat dari konsep solidaritas
mekanik Durkheim disebabkan karena adanya kesamaan nilai (totalitas
kepercayaan yang sama), ikatan etnisitas dan primordial, satu homogenitas, hukum
masih bersifat represif serta adanya rasa senasib dan sepenanggunggan
(penggalangan dana ketika kerabat mengalami musibah).
Sedangkan solidaritas organik merupakan sebuah hubungan yang
dibangun karena adanya satu kepentingan bersama, heterogenitas, individualitas
yang tinggi, serta adanya pembagian kerja. Pada masyarakat Imigran Madura yang
berada di Desa Jemparing dilihat dari solidaritas organiknya disatukan karena
adanya kepenetingan yang sama untuk mencari nafkah di perantauan dan
kepentingan pekerjaan. Menurut Durkheim bahwa solidaritas mekanik dan
solidaritas organik tidak dapat disatukan. Solidaritas mekanik terjadi pada
masyarakat yang masih sederhana (desa) dan tidak ada pembagian kerja. Sedangkan
solidaritas organik terjadi pada masyarakat yang kompleks (kota) dan telah
memiliki spesialisasi pekerjaan personal.
Namun temuan di lapangan tidak seperti apa yang kemudian dijelaskan
oleh Emile Durkheim mengenai konsep solidaritas mekanik dan solidaritas
organiknya. Pada masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing, mereka
disatukan oleh solidaritas mekanik dan solidaritas organik di dalamnya. Ini
menandakan bahwa dalam ilmu sosial perubahan-perubahan dalam masyarakat
110
dapat terjadi. Menyesuaikan dengan kondisi pada zamannya. Hal itu disebabkan
karena ilmu sosial bersifat dinamis.
BAB VI
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil obsevasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka
mengenai Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan
Long Ikis Kabupaten Paser, peneliti menarik kesimpulan secara garis besar sebagai
berikut :
1. Kondisi wilayah geografis Kepulauan Madura yang sebagian besar wilayahnya
merupakan daerah yang tandus dan kering, menyebabkan intensitas persaingan
hidup semakin kuat antar sesama orang Madura. Tidak heran jika melihat orangorang Madura itu memiliki karakter yang keras dan pantang penyerah. Hal ini
berdasar pada kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Inilah yang
memunculkan stereotif pada orang Madura bahwa “Orang Madura memiliki
watak yang keras”. Secara Sosiologis, kondisi akan membentuk watak/karakter
seseorang.
2. Faktor pendorong yang menyebabkan Imigran Madura merantau ke Kalimantan
Timur adalah tidak lain karena Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi
yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, lapangan pekerjaan yang luas
serta upah minimum propinsi yang tinggi.
111
3. Solidaritas yang terjalin ketika Etnis Madura berada di perantauan jauh lebih kuat
dan solid dibanding berada di daerah asal (Madura). Hal itu disebabkan mereka
hidup secara homogen (seragam) dalam satu komunitas lingkungan, tentu
konflik sosial sedikit dapat dihindari. Berbeda dengan mereka (Etnis Madura)
hidup dalam suatu masyarakat yang bersifat heterogen (beragam), tentunya
konflik sosial tersebut sangat mungkin bisa terjadi, sebab dalam masyarakat
yang heterogen, akan banyak perbedaan yang akan dijumpai dalam hidup
bermasyarakat, baik itu bersifat kultur maupun ideologi. Oleh karena itu mereka
(Etnis Madura) diharuskan mampu, untuk dapat menyesuaikan diri dengan
tempat tinggal mereka pada saat berada di perantauan. Selain itu mereka (Etnis
Madura) juga memiliki rasa saling memiliki, tanggung jawab, senasib, dan
saling menjaga sesama Etnis Madura di perantauan. Hal ini merupakan ajaran
yang telah diturunkan dari nenek moyang/leluhur dan hinggah saat ini masih
tetap dipertahankan dan dijalankan.
6.2
Saran
Berikut ini beberapa saran yang penulis kemukakan dengan harapan dapat
berguna dan bermanfaat :
1. Pemerintah desa harus membuat aturan yang jelas terkait dengan status (KTP)
para Imigran Madura yang telah lama bermukim di lokasi tersebut serta
memberikan akses yang mudah bagi para Imigran Madura dalam mengurus
segala hal yang terkait dengan keberadaan mereka di wilayah Desa Jemparing.
2. Pemerintah beserta perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat dan masyarakat
setempat, hendaknya berunding dan berdiskusi agar terciptanya beberapa aturan
112
yang kuat status hukumnya (penduduk Madura) dalam hal membicarakan
kontribusi aktivitas bahan galian C yang kurang lebih beroperasi selama 30 tahun
tersebut terhadap pembangunan desa dan masyarakat setempat. Hal ini berkaitan
dengan tanggung jawab sosial bagi Imigran Madura untuk daerah yang ditempati
saat ini (Desa Jemparing).
3. Pemerintah desa lebih memberikan perhatian kepada para Imigran Madura,
dalam hal rumah layak huni, serta keberadaan penerangan untuk daerah tersebut.
Mengingat orang Madura tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat Desa
Jemparing dan memperoleh hak yang sama.
4. Komunikasi dan koordinasi yang baik antar semua pihak harus lebih
ditingkatkan, dalam segala sektor kehidupan bermasyarakat. Hendaknya sosok
pemimpin desa harus lebih aktif membangun interaksi atau hubungan dengan
masyarakat. Agar segala keinginan masyarakat dapat tepat sasaran.
5. Untuk masyarakat Paser dan para Imigran Madura, harus lebih memperluas
kajian-kajian dalam hal keagamaan. Tidak hanya pada level wilayah Desa
Jemparing, namun diharapkan mampu memperluas pada level antar desa dengan
majelis-majelis yang berada di hampir seluruh desa yang berada di Kecamatan
Long Ikis dan Kecamatan Long Kali. Yang harapannya mampu menciptakan
hubungan yang harmonis antar etnis yang berada di Kabupaten Paser, lebih
khusus wilayah Long Ikis dan wilayah Long Kali.
113
Download