SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA DI PERANTAUAN DESA JEMPARING KECAMATAN LONGIKIS KABUPATEN PASER SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 OLEH : JAFAR NIM : 1202035013 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI PEMBANGUNAN SOSIAL UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser Nama : Jafar Nim : 1202035013 Jurusan : Sosiologi Program Studi : Pembangunan Sosial Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Samarinda, 28 Desember 2016 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Sri Murliati. S.Sos, M.Si NIP:19740303 199903 2 002 Dr. Aji Qamara Hakim. S.Sn, M.Si Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Dr. H. Muhammad Noor. M.Si NIP:19600817 198601 1 001 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang saya telah saya peroleh (sarjana) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundangundagan yang berlaku. Samarinda, Juli 2016 Mahasiswa, Materai 6000 Jafar NIM.1202035013 ABSTRAK Jafar. 2016. NIM 120203013. Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser.. Di bawah bimbingan Ibu Dr. Sri Murlianti, S,Sos M,Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Aji Qamara Hakim, S,Sn, M,Si selaku pembimbing II. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan secara mendalam mengenai Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser. Metode penelitian yang peneliti gunakan pada penelitian kali ini yaitu jenis penelitian deskriptif exsploratif. Pada penelitian kali ini peneliti ingin mengexsplor jauh lebih dalam terkait dengan nilai dan norma Etnis Madura, sistem kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual-ritual keagamaan komunitas, kegiatan-kegiatan rutin komunitas yang melekatkan komunitas, mekanisme penyelesaian konflik dalam komunitas dan luar komunitas, dan mekanisme pembangunan jaringan dengan komunitas Etnis Madura di wilayah lain. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian lapangan yang terdiri dari observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan pada penelitian kali ini bersifat matriks yang bertujuan untuk memudahkan para pembaca dalam melihat isi tulisan secara keseluruan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser berjalan dengan baik, artinya bahwa solidaritas yang terbangun cukup solid. Hal itu berdasar pada pola interaksi yang dibangun baik antar sesama etnis Madura maupun dengan masyarakat sekitar melalui beberapa metode. Selain itu untuk dapat diterima dalam masyarakat setempat Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing mencoba menerima adat-istiadat/budaya masyarakat setempat sebagai proses pembauran, tetapi tidak melupakan adat-istiadat/budaya lokal mereka. Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan informan dari tiga sumber. Sumber pertama yaitu key informan dari Etnis Madura yaitu Bapak Ahmad Matori dan Bapak Tirto Kusumo, para pekerja pemecah batu bahan galian C (Etnis Madura), serta dari masyarakat asli Desa Jemparing. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian tidak bersifat subyektif melainkan bersifat objektif. Kata Kunci : Imigran Madura, Solidaritas, Interaksi Sosial, RIWAYAT HIDUP Jafar, lahir di Penajam pada tanggal 19 Nopember 1993. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Amir dan Ibu Jumhana. Penulis memulai pendidikan pada tahun 2001 di Sekolah Dasar Negeri 001 Penajam Paser Utara dan lulus pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 001 Penajam Paser Utara dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 001 Penajam Paser Utara dan lulus pada tahun 2012. Selanjutnya melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi di Universitas Mulawarman pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Sosiologi, Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembanguna Sosial melalui jalur undagan Mahasiswa Baru Nasional. Pada tanggal 27 Juli S/d 22 September 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 41 di Desa Jemparing Kecamata Long Ikis Kabupaten Paser, kemudian dilanjutkan dengan tugas akhir yang berjudul “ Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser. KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan segala karunia dan limpahan rahmatnya kepada saya, serta tak lupa saya haturkan shalawat serta salam kepada Nabi Allah, Nabi Besar, Nabi Muhammad Saw, sebagai panutan kita dalam menjalankan kehidupan di dunia ini,serta kehidupan di akhirat kelak. Yang mana akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Imigran Madura dalam Membangun Solidaritas di Perantauan Desa Jemparing Kecamata Longikis Kabupaten Paser “. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Pembangunan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas mulawarman Samarinda yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mendapatkan pendidikan di Perguruan Tinggi ini. 2. Bapak Dr. H. Muhammad Noor, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Samarinda, yang telah memberikan segala fasilitas selama penulis menjadi Mahasiswa. 3. Ibu Dra. Lisbet Situmorang, M.Si selaku Ketua Program Studi Pembangunan Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman yang telah membantu mengkoordinasikan kegiatan akademik. 4. Ibu Dr. Sri Murlianti. S,Sos, M,Si selaku dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Aji Qamara Hakim. S.Sn, M,Si selaku dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Dra. Lisbet Situmorang. M,Si dan Bapak Drs. H. Massad Hatuwe, M.Si selaku Dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan saran-saran yang sangat berarti guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini, serta bapak dan ibu dosen yang telah memberikan pengajaran dan pendidikan selama dalam perkuliahan. 7. Ibu Hamidah selaku Sekertaris Kantor Desa Jemparing, Bapak Ahmad Matori, Selaku Ketua Adat Imigran Madura di Desa Jemparing beserta masyarakat yang sudah membantu dan memberikan informasi yang diperlukan bagi penyusunan skripsi ini. 8. Ibu beserta keluarga saya yang telah memberikan doa, nasehat dan dukungannya baik secara moral maupun spiritual dan material yang tak pernah putus-putusnya kepada saya. 9. Rekan-rekan kuliah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman Jurusan Pembangunan Sosial Konsentrasi Sosiologi, Program Studi Pembangunan Sosial angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberi motivasi dan dukungannya, serta buat sahabat karib saya Muhammad Azhar Munir, Muhammad Taufik Hidayat Fatur Rahman, Yusri dan Asrul serta seluruh keluarga besar penghuni Asrama Putra Mahasiswa Penajam Paser Utara yang telah memberikan bantuan baik berupa tenaga maupun materi. 10. Kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah banyak membantu memberi pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka dengan terbuka penulis menerima masukkan kritik dan saran perbaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial Konsentrasi Sosiologi dan semua pihak yang membutuhkan. Akhir kata penulis mohon maaf sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan yang dilakukan. Samarinda, 19 Juni 2016 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .......................................... iii ABSTRAK ................................................................................................. iv RIWAYAT HIDUP ................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................... vi DAFTAR ISI .............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv BAB I BAB II BAB III PENDAHULAUN 1. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 2. Rumusan Masalah ........................................................... 7 3. Tujuan Penelitian ............................................................. 7 4. Manfaat Penelitian ........................................................... 8 KERANGKA DASAR TEORI 2.1 Teori dan Konsep .......................................................... 9 2.1.1 Solidaritas Sosial ................................................. 9 2.1.2 Pengertian Solidaritas Sosial 2.1.3 Bentuk-bentuk Solidaritas Sosial Menurut Emille Durkheim ................................................. 13 2.1.4 Sifat-sifat Pokok Solidaritas ................................ 16 2.1.5 Unsur-unsur Pembentuk Solidaritas .................... 17 2.2 Sistem Sosial Masyarakat Madura Daerah Asal ........... 18 2.2.1 Struktur Masyarakat Madura ............................... 19 2.2.2 Nilai ..................................................................... 20 2.2.3 Norma .................................................................. 23 2.2.4 Kultur Masyarakat Daerah Asal .......................... 25 2.2.5 Integrasi ............................................................... 30 2.3Pengertian Interaksi Sosial ............................................. 32 2.3.1Syarat-syarat Interaksi Sosial ............................... 33 2.4 Pengertian Imigran ........................................................ 40 2.4.1 Jenis-jenis Migrasi ............................................... 41 2.4.2 Urbanisasi ............................................................ 42 2.4.3 Trasnmigrasi ........................................................ 43 2.5 Definisi Konseptual ....................................................... 44 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian .......................................................... 45 3.2 Lokasi Penelitian .......................................................... 46 3.3 Sumber Data .......................................................... 46 3.3.1 Data Primer.......................................................... 46 3.3.2 Data Sekunder ..................................................... 47 3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 49 BAB IV BAB V 3.5 Teknik Analisis Data ..................................................... 51 3.6 Jadwal Tentatif Penelitian ............................................. 52 GAMBARAN UMUM DESA JEMPARING DAN IMIADURA 4.1 Kondisi Geografis dan Demografi................................. 53 4.2 Sejarah Desa Jemparing ................................................ 56 4.3 Nama-nama Pejabat Pemerintahan Desa Jemparing ..... 58 4.4 Imigran Madura ............................................................. 60 4.4.1 Sejarah Singkat Keberadaan Imigran Madura.... 60 4.4.2 Kepala Adat Imigran Madura .............................. 62 4.4.3 Peta Lokas Bahan Galian C di Wilayah Ombe ... 64 4.4.4 Posisi Pemukiman Imigran Madura .................... 66 4.4.5 Gambaran Perumahan Imigran Madura .............. 70 4.4.6 Aktivitas Keseharian Imigran Madura ................ 71 SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA DI PERANTAUAN 5.1 Niai dan Norma Etnis Madura ....................................... 74 5.5.1 Ajaran Tentang Kehidupan ................................. 74 5.5.2 Ukuran Kegagalan Dalam Hidup ........................ 76 5.5.3 Nilai Pembauran yang Diterapkan di Perantauan 77 5.2 Sistem Kepemimpinan................................................... 79 5.2.1 Karakteristik Pemimpin dan Orang yang Paling Dihormati/Segani.......................................................... 79 5.2.2 Kyai bagi Etnis Madura ....................................... 80 5.3 Sistem Stratifikasi Komunitas ....................................... 82 5.4 Ritua-ritual Keagamaan Komunitas .............................. 83 5.4.1 Ritual Keagamaan sebagai Perekat Sesama Imigran Madura ............................................................ 84 5.4.2 Kajian Keagamaan Bersama Masyarakat Setempat ....................................................................... 85 5.5 Kegiatan Rutin Komunitas Lain yang Melekatkan Komunitas........................................................................... 87 5.5.1 Kegiatan Individu dalam Membangun Silahturahim Sesama Imigran Madura di Perantauan . 88 5.5.2 Penggalangan Dana Ketika Sesama Imigran Madura Mengalami Musibah ....................................... 89 5.5.3 Mencari Bantuan Ketika Mengalami Jalan Buntu dalam Permasalahan .......................................... 91 5.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas dan Luar Komunitas .......................................................... 92 5.6.1Mekanisme Penyelesaian Konflik Etnis Madura Dengan Etnis Paser ....................................................... 92 5.6.2 Hubungan Etnis Madura dan Etnis Paser Pasca Konflik.......................................................................... 95 5.7 Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan Komunitas Etnis Madura di Wilayah Lain ......................... 96 5.8 Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing................ 107 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan .................................................................... 109 6.2 Saran .............................................................................. 110 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Nomor Judul Tabel Halaman 4.1 Grafik Penduduk Desa Jemparing Tahun 2014-2015 55 4.2 Persentase Etnis di Desa Jemparing Tahun 2015 55 5.1 Faktor Penarik Migrasi 98 5.2 Aspirasi Masyarakat Jemparing 102 DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Tabel Halaman 4.1 Kondisi Askes Menuju Lokasi Bahan Galian C 64 4.2 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Depan 68 4.3 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Tengah 69 4.4 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Belakang 69 4.5 Gambaran Perumahan Etnis Madura di Ombe 70 4.6 Mushola 72 4.7 Proses Bongkar Muat Batu di Lokasi Ombe 73 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 2 Saran Perbaikan Proposal Lampiran 3 Pedoman Wawancara Lampiran 4 Peta Pemukiman Etnis Madura Lampiran 5 Peta Lokasi Bahan Galian C di Wilayah Ombe, Area Depan, Tengah dan Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pulau Madura merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah Jawa Timur. Pulau Madura terletak di sebelah utara Kota Surabaya. Pulau ini dipisahkan dari Surabaya dengan Selat Madura. Pulau yang membujur dari barat ke timur ini mempunyai panjang 190 kilo meter dan lebar 40 kilo meter, luasnya kurang lebih 5.304 kilo meter. Topografinya menunjukkan Pulau Madura ini termasuk dataran rendah tanpa pegunungan dengan ketinggian rata rata 25 meter dari permukaan laut. Kepulauan ini secara keseluruhan terdiri dari hampir 50 pulau berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Secara geologis Madura merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih menyatu. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu (341 m), Gunung Merangan (398 m) dan Gunung Tembuku (471 m). Secara administratif pulau Madura ini dibagi menjadi empat kabupaten. Dimulai dari yang paling dekat dengan Surabaya adalah Bangkalan kemudian ke sebelah timur Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan yang paling ujung adalah Kabupaten Sumenep. Untuk luas wilayah terluas ditempati oleh Kabupaten Sumenep dengan luas wilayah mecapai 1.041.,915 Ha, disusul dengan Kabupaten 2 Bangkalan dengan luas wilayah mecapai 907, 055 Ha, selanjutnya Kabupaten Sampang dengan luas wilayah mecapai 876,950 Ha, dan yang terakhir yaitu Kabupaten Pamekesan dengan luas wilayah mencapai 795,526 Ha. Berdasakan data badan pusat statistik padah tahun 2010 jumlah penduduk Madura mencapai kurang lebih 12 juta jiwa atau 7 % dari total jumlah penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Untuk saat ini sekitar 4 juta jiwa yang masih menetap atau tinggal di Pulau Madura. Sisanya 9 juta jiwa tersebar di daerah sekitaran Pulau Jawa, dan beberapa wilayah di nusantara, bahkan sampai ada yang ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Masyarakat Madura lebih memilih untuk merantau ke daerah lain daripada menetap di Pulau Madura. Hal tersebut disebabkan karena kondisi tanah yang kering dan tandus sehinggah kurang produktif secara ekonomis. Keadaan tanah di Madura kebanyakan berupa tegalan, hal tersebut dikarenakan curah hujan yang tidak banyak, sumber mata air yang sedikit, sungai yang besar hanya satu ditambah lagi struktur tanah yang 70 % merupakan tanah mediteran merah kuning dan 15 % tanah alluvial, maka tanah tersebut kurang baik untuk lahan pertanian. Sebagian besar tanah di Madura yang berupa tegalan hanya cocok untuk ditanami singkong dan jagung. Hal inilah pula yang menyebabkan tingginya angka migrasi masyarakat Madura, walaupun sebenanarya tingkat pertumbuhan penduduk orang Madura juga sangat tinggi. Kondisi tanah yang kering dan tandus tersebut akan berdampak pada susahnya masyarakat untuk dapat mengembangkan sistem pertanian. Masyarakat Madura lebih memilih pekerjaan sebagai nelayan, beternak dan petani garam. 3 Sebab, pulau Madura berada tepat di pinggir laut Jawa. Oleh karena itu, Pulau Madura juga dikenal sebagai pulau garam. Orang-orang Madura sangat terkenal dengan karakternya yang pekerja keras, kasar, dan ulet. Ini terkait dengan kondisi keadaan iklim di wilayah mereka. Sehinggah mengharuskan mereka harus dapat bertahan hidup, melanjutkan hidup dengan segala upaya demi hidup yang lebih baik. Sebab kondisi akan membentuk karakter atau pribadi kita. Oleh karenanya, karakter masyarakat yang hidup di wilayah pegunungan dan pesisir akan sangat jauh berbeda. Pada umumnya orang-orang berpindah tempat atau merantau tidak hanya dikarenakan motif ekonomi dan keagamaan semata, tetapi juga karena tertarik dengan kehidupan kota. Daya tarik yang kuat dari kota itu sendiri adalah ekonomi. Lain dengan di desa, di kota orang menggambarkan tersedianya kesempatan kerja yang luas, yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sebagai imigran dari Madura pada kenyataannya mereka lebih sering mengadakan hubungan atau interaksi dengan sesamanya mengingat telah sadar akan adanya sejumlah persamaan di antara mereka. Salah satu kota yang memiliki daya tarik ekonomi cukup tinggi yaitu pulau Kalimantan. Kalimantan merupakan penyumbang terbesar ketiga bagi devisa negara. Kalimantan memiliki sumber daya alam yang besar, terdiri dari minyak bumi, gas alam, batu bara, dan perkebunan. Itu tersebar merata di seluruh wilayah Kalimantan, baik Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara. Selain itu pula pendapatan perkapita lebih tinggi di Kalimantan daripada pulau Jawa lebih khsususnya di pulau Madura. 4 Tak heran hal tersebut menjadi daya tarik bagi orang-orang Madura untuk merantau ke bumi Kalimantan demi terwujudnya kehidupan mereka yang jauh lebih baik. Dari data badan sensus penduduk pada tahun 2000 menjelaskan jumlah Imigran Madura yang berada di Kalimantan mencapai angka 334.293 jiwa yang tersebar di empat provinsi. Di Provinsi Kalimantan Barat Imigran Madura berjumlah 205.550 jiwa, Kalimantan Tengah 62.228 jiwa, Kalimantan selatan 36.334 jiwa, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 30.118 jiwa. Kemudian pada tahun 2010 badan sensus penduduk mencatat jumlah Imigran Madura yang berada di kepulauan Kalimantan berjumlah 517.204 jiwa. Kalimantan Barat Imigran Madura berjumlah 274.869 jiwa, Kalimantan Tengah 42.668 jiwa, Kalimantan Selatan 53.002 jiwa, serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 46.668 jiwa. Dari data tersebut daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mengalami peningkatan jumlah Imigran Madura yang tinggi. Hanya daerah Kalimantan Tengah yang mengalami penurunan jumlah imigran. Penurunan jumlah Imigran Madura di Kalimantan Tengah ini tentu berkaitan dengan peristiwa sampit yang terjadi pada tahun 2001 silam. Peristiwa tersebut merupakan konflik yang terjadi antara etnis Dayak dan Madura. Dari data yang diambil dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, korban jatuh mencapai 400 jiwa, 319 lebih rumah dibakar, dan sekitar 197 lainnya dirusak serta 45 ribu warga Madura dievakuasi. Peristiwa tersebut menjadi salah satu peristiwa pertikaian terbesar anta retnis di Indonesia. 5 Dari berbagai sumber mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya konflik tersebut berasal dari terjadinya ketimpangan ekonomi antara kaum pendatang dan pribumi. Secara ekonomi masyarakat Madura lebih maju dibandingkan masyarakat Dayak. Masyarakat Madura menguasai hampir seluruh sektor perekonomian. Selain itu faktor lain yang menyebabkan terjadinya konflik adalah terjadinya gesekan-gesekan budaya antar kedua etnis tersebut. Bagi masyarakat Madura membawa senjata tajam disaat mereka bepergian merupakan hal yang biasa dan telah menjadi kultur orang-orang Madura. Namun bagi masyarakat Dayak hal tersebut bertentangan dengan budaya mereka. Bagi Etnis Dayak membawa senjata tajam pada saat bertemu seseorang ataupun bertamu ke tempat orang, merupakan suata penghinaan yang berat. Ini menandakan bahwa orang tersebut ingin mengajak untuk dilakukannya pertarungan. Hal ini menjelasakan bahwa belum terjadinya kesepakatan untuk batasan-batasan budaya bagi etnis Dayak dan Madura. Selain beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas faktor lain yang kemudian turut serta menambah terjadinya konfilk antara Etnis Dayak dan Madura adalah karena adanya rencana penguasan/kolonialisasi secara paksa/kekerasan bahkan aksi penguasan suatu wilayah yang telah di rencakan. Hal ini disampaikan langsung oleh presidium Lembaga Musayawarah Masyarakat Dayak dan Kalimantan Tengah (LMMDD-KT, 2001). Terlepas dari berbagai pandagan mengenai konflik antara Etnis Dayak dan Madura, kita harus tetap melihat bagaimana kemudian kedepannya menciptakan integrasi yang kuat dalam berbagai 6 perbedaan, sebagaimana yang telah menjadi cita luhur Bangsa Indonesia yang tertuang dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Masyarakat Madura adalah salah satu etnis yang sangat menjaga hubungan kekerabatan. Ketika mereka merantau yang akan dicari pertama kali adalah kerabat atau sanak saudara yang berada di daerah tersebut. Itu dilakukan karena masyarakat Madura memiliki budaya untuk tetap menjaga menjaga hubungan kekerabatan tersebut terlebih-lebih jika berada di perantauan. Oleh karena itu masyarakat Madura cenderung akan hidup mengelompok dan membangun solidaritas ketika di perantauan. Seperti itu pula yang dilakukan para Imigran Madura yang bekerja sebagai penambang batu di Desa Jemparing dalam membangun solidaritas di perantauan. Di daerah tersebut tampak sekali mayoritas pekerjanya adalah Imigran Madura. Hampir 95 % pekerja di daerah tersebut adalah Imigran Madura. Hanya sekitar 5 % yang berasal dari suku lain, yaitu Bugis dan Paser. Hal ini menjelaskan secara tidak langsung para Imigran Madura tersebut telah membangun solidaritas mereka yang berada di peratauan sebagai wujud dari proteksi diri dalam sistem sosial di masyarakat, mengingat bahwa sebelum-sebelumnya pernah terjadi konflik antara Etnis Madura dengan etnis asli yang ada di Kalimantan. Selain itu pula identititas lokal wilayah asal mereka masih begitu kental. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti perayaan maulid Nabi Muhammad SAW, perayaan datangnya bulan safar, dan kajian-kajian ilmu keagamaan. Mengapa Imigran Madura kental akan perlakuan seperti ini? sebab masyarakat Madura memiliki budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai 7 Agama Islam. Terlepas dari stereotif buruk terhadap perilaku-perilaku masyarakat Madura dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Inilah yang kemudian menarik penulis untuk melihat lebih jauh mengenai Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagiamana Imigran/ Komunitas Madura dalam : 1. Mentransformasikan Nilai-nilai Khas Madura di Perantauan : a. Tranformasi Nilai dan Norma Khas di Perantauan. b. Mengadaptasi Sistem Kepemimpinan Etnis Madura di Perantauan. c. Sistem Stratifikasi dalam Komunitas. 2. Membangun Solidaritas Sesama Etnis Madura di Perantauan : a. Ritual-ritual Keagamaan Komunitas. b. Kegiatan Rutin Komunitas yang Melekatkan Komunitas. c. Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas dan luar Komunitas. c. Mekanisme Pembangunan Jaringan Antar Etnis Madura di Wilayah Lain. 1.4 Manfaat Penelitian 8 Dari suatu hasil peneletian tentunya memiliki manfaat dan kegunaan bagi penulis dan juga bagi pihak lain yang akan menggunakannya. Oleh karena itu manfaat peneletian itu ada dua, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan pada Jurusan Sosiologi dan Program Studi Pembangunan Sosial terutama pada mata kuliah tentang Etnisitas dan Ilmu Sosial Budaya Dasar b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu Menjelaskan dan Mengabtraksikan fenomena solidaritas serta komunitas-komunitas etnis di perantauan 2. Manfaat Praktis a. Upaya membangun sikap dan kesadaran toleransi antar etnis dalam hidup bermasyarakat b. Sebagai bahan masukan, sumbangan pemikiran dan petimbangan bagi Pemerintahan Desa Jemparing dalam mengakomodir imigran-migran yang masuk ke wilayah Desa Jemparing BAB II 9 KERANGKA DASAR TEORI 2.1 Solidaritas Sosial Solidaritas adalah adalah rasa kebersamaan, kesatuan, kepentingan, rasa simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau bisa diartikan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Sedangakan sosial yaitu segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan non-individualis yang berarti hal ini merujuk pada hubungan-hubungan dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok untuk mengembangkan dirinya. Jadi secara sederhana solidaritas sosial dapat diartikan sebagai hubungan di dalam suatu kelompok yang didasari oleh rasa kesatuan, kebersamaan, dan kepentingan bersama demi tercapainya cita-cita kelompok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kata solidaritas adalah, sifat (perasaaan) solider, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan yang pada suatu kelompok anggota wajib memlikinya (Depdiknas, 2007:1082). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sosial adalah berkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan, suka memperhatikan umum (Depdiknas, 2007:1085). Sementara itu menurut Nasution (2009:3) bahwa solidaritas sosial adalah perasaan secara kelompok memiliki nilainilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan harapan-harapan peran. Sebab itu prisip sosial masyarakat meliputi saling membantu, saling membantu, saling perduli, biasa bekerjasama, saling berbagi dan bekerjasama 10 dalam mendukung pembangunan dilingkungan masing-masing baik tenaga dan lain sebagainya. Sependapat dengan pernyataan Nasution, Redfield (dalam Laiya, 1983:9) menguraikan bahwa solidaritas sosial itu merupakan kepedulian secara bersama kelompok yang memajukan pada suatu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama, dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional. Solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok. Redfield menyatakan bahwa solidaritas sosial itu juga dipengaruhi interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural, yaitu pada dasarnya disebabkan munculnya sentiment komunitas yang terdiri dari unsur-unsur seperti : Seperasaan, yaitu seseorang yang berusaha mengidentifikasi dirinya denga sebanyak mungkin di dalam kelompok tersebut, sehinggah semuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai kelompok kami. Sepenaggunagan, yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat, sehinggah memungkinkan menjalankan peranannya di dalam kelompok tersebut. Menurut pendapat Tonnies (dalam Ibrahim 2002:51) bahwa setiap masyarakat selalu dijumpai salah satu diantara tiga solidaritas social, yakni: 1. Solidaritas diantara ikatan darah atau garis keturunan dan kelompok-kelompok kekerabatan. 2. Solidritas antara tempat tinggal atau lokasi, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal berdekatan sehingga dapat saling tolong menolong. 3. Solidaritas berdasarkan jiwa, fikiran atu rasa yang sama atau ideologi yang sama. 11 Pendapat tersebut berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Di mana peneliti mencoba untuk mendeskripsikan Solidaritas Sosial Imigran Madura di Perantauan yang bekerja sebagai buruh tambang batu. Makna solidaritas pada poin 1 dan 3 di mana para Imigran Madura sebagai buruh tambang batu memiliki pikiran dan jiwa yang sama bahwa mereka adalah kelompok buruh/pekerja yang berasal dari dari daerah yang sama, sehinggah mereka memliki tanggung jawab untuk saling tolong menolong secara primordial. Solidaritas sosial sesungguhnya mengarah pada suatu hubungan keakraban atau kekompakan (kohesi). Kekompakan dalam suatu kelompok akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan kelompok tersebut di dalam masyarakat. Keadaaan kelompok yang semakin solid atau kokoh selanjutnya akan menimbulkan sense of belongingness diantara anggotanya. Solidaritas juga merupakan kesetiakawanan antar anggota kelompok social. Terdapatnya solidaritas yang tinggi dalam kelompok tergantung kepercayaan setiap anggota terhadap kemampuan lain untuk melaksanakan tugas dengan baik. Pembagian tugas dalam kelompok sesuai dengan kecakapan masing-masing anggota dalam bekerja menghasilkan capaian yang maksimal. Sehingga solidaritas di dalam kelompok tersebut semakin tinggi beriringan pula dengan sense of belonging (Huraerah dan Purwanto, 2006:7). Lebih lanjut solidaritas sosial merupakan kohesi yang ada dalam setiap suatu asosiasi, kelompok, kelas social dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas yang membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya (Soekanto dalam Soedijati, 1995:14). Solidaritas sosial melahirkan persamaan, saling 12 ketergantungan dan pengalaman yang sama sebagai unsur pengikat dalam setiap unit-unit keluarga, kelompok dan komunitas. Konsep solidaritas sosial sebenarnya merupakan konsep sentral Emile Durkhiem (1958-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Pengertian mengenai solidaritas sosial diperjelas oleh Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) yang menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang diaut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Menurut Durkheim berdasarkan penelitian yang dilakukan, solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dibedakan berdasarkan ciri-ciri : a. Yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena individu tergatung dari bagian-bagian yang membentuk masayarakat tersebut. b. Solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi –fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubunga-hubungan yang tetap, walalupun 13 sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun perlu dibedakan. c. Dari perbedaan yang kedua itu muncul perbedaan yang ketiga, yang akan member cirri-ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam satu kesatuan. Durkheim sangat memfokuskan kajian terhadap perkembangan suatu masyarakat, sehinggah Durkheim melihat bahwa sebenarnya masyarakat itu berkembang dari masyarakat sederhana (tradisional) menuju masyarakat modern (kompleks). Durkheim memperhatikan perkembangan masyarakat yaitu bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. 2.1.1 Bentuk-Bentuk Solidaritas Sosial Menurut Emile Durkheim a. Solidaritas Mekanik Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantara mereka. Rasa kebersamaan yang timbul dalam masyarakat selanjutnya akan menimbulkan perasaan kolektif. Kondisi seperti ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana. Belum ada pembagian kerja yang berarti, artinya apa yang dapat dilakukan oleh seorang anggota masyarakat biasanya juga dapat dilakukan oleh anggota masyarakatyang lainnya. 14 Belum terdapat saling ketergantungan diantara kelompok yang berbeda karena masing-masing kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut Durkheim, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu ’’kesadaran kolektif’’ bersama (collective consciousness/conscience), yang menunjuk pada ‘’totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu”. (Durkheim dalam Johnson, 1986:183). Ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral. Oleh karena itu, maka individualitas tidak dapat berkembang dan bahkan terus-menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk komformitas. Bagi Durkheim, indikator paling jelas bagi solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang sifatnya menekan itu atau represif. Selain itu, hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional atas kerugian yang minimpa masyarakat dan penyesuaian hukuman dengan tingkat kejahatannya,tetapi hukuman tersebut lebih mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanik adalah solidaritas didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas semacam ini hanya mungkin apabila pembagian kerja atau diferensiasi masih minim atau terbatas. b. Solidaritas Organik Solidaritas sosial yang berkembang pada masyarakat–masyarakat kompleks berasal lebih dari kesalingtergantungan daripada dari kesamaan bagian-bagian (Campbell,1994:185). Lebih jelasnya, Johnson (1986:183) menguraikan bahwa solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu 15 didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dan pembagian pekerjaan yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Munculnya perbedaan-perbedaan dikalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada akhirnya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Selain itu, dalam masyarakat dengan solidaritas organik tingkat heterogenitas semakin tinggi, karena masyarakat semakin plural. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi dan karir individual menjadi dasar masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Pekerjaan orang lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat dan gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap dan kesadaran pada umumnya. Kondisi seperti diatas tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, individu dan kelompok dalam masyarakat semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasi dengannya. Ini semakin diperkuat oleh pernyataan Durkheim bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang bersifat mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat (Durkheim dalam Johnson,1986:184). Singkatnya, ikatan yang mempersatukan 16 individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif, Sementara pada solidaritas organik, heterogenitas dan individualitas semakin tinggi. 2.1.2 Sifat-Sifat Pokok Solidaritas a. Solidaritas Mekanik 1. Pembagian kerja rendah 2.Kesadaran kolektif kuat 3. Hukum represif dominan 4. Konsensus terhadap pola-pola normatif penting 5. Individualitas rendah 6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang 7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah 8. Bersifat primitif atau pedesaan b. Solidaritas Organik 1. Pembagian kerja tinggi 2. Kesadaran kolektif lemah 3. Hukum restitutif dominan 4. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum penting 5. Individualitas tinggi 6. Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang-orang yang menyimpang 7. Saling ketergantungan yang tinggi 8. Bersifat industrial perkotaan 2.1.3 Unsur-Unsur Pembentuk Solidaritas 17 Di dalam membangun hubungan yang erat dalam suatu komunitas atau kelompok, tentu akan ada hal yang dapat mempersatukan mereka. Faktor tersebut menjadi penting mengingat apa yang kemudian menjadi cita-cita bersama dalam kelompok tersebut. Secara umum ada beberapa unsur yang kemudian dapat membentuk solidaritas. Unsur-unsur tersebut antara lain, yaitu : 1. Kesatauan Genealogis atau Faktor Keturunan Kesatuan Genealogis merupakan salah satu yang yang menjadi unsur dalam membangun solidaritas suatu kelompok. Solidaritas yang dibangaun berdasarkan kesamaan keturunan mampu membuat suasana kelompok sosial lebih mengarah pada arah persaudaraan. Karena kesamaan keturunan mampu memberikan komitmen yang kuat dalam kelompok sosial agar tidak terputus tali persaudaraannya. 2. Kesatuan Religius Setiap agama sudah pasti memiliki atauran-atauran dalam hidup bermasyarakat ataupun berkelompok. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam sebuah nilai dan norma. Nilai dan norma inilah yang kemudian mengatur setiap gerak-gerik tingkah laku manusia. Tentu hal yang sangat ideAl menjadikan kesamaan agama sebagai pemersatu dalam membentuk suatau kelopok sosial dalam membangun solidaritas sosial. 3. Kesatuan Teritorial (Community) 18 Terbentuknya suatu kelompok sosial dalam membangun solidaritas yang kuat tentu pula didasari karena adanya kesamaan suatau wilayah atau sering kita sebut dengan persamaan primordial (kedaeraan). Di dalam kesamaan primordial sudah pasti nilai-nilai serta norma-norma yang dianut akan sama. Hal ini akan lebih mudah dalam membangun pola interaksi dalam sebuah kelompok sosial. 4. Kesatuan Kepentingan (Asosiasi) Tentu persamaan kepentingan dapat mempermudah tercapainya cita-cita bersama. Karena pada dasarnya individu-individu memiliki keingainan yang ingin dicapai. Oleh karena itu bergabung bersama dengan orang-orang yang memiliki persamaan kepentingan, akan jauh lebih mudah untuk mencapainya. 2.2 Sistem Sosial Masyarakat Madura Daerah Asal Dalam suatu sistem sosial terdapat beberapa unsur sebagai pengikat dalam sistem sosial tersebut. Menurut Durkheim sturktur sosial adalah perilaku manusia yang meliputi norma, nilai, kepercayaan dan integrasi yang kemudian dimodifikasi di dalam budaya. Inilah yang kemudian menjadi pembeda antara suatu sistem sosial masyarakat satu dengan yang lainnya. Hal itu pula yang berlaku bagi masyarakat Madura. Masyarakat Madura dalam sistem sosialnya memiliki unsur-unsur dalam membangun solidaritas sosialnya. Unsur- unsur tersebut terdiri dari struktur, nilai, norma, kultur dan integritas. 2.2.1 Struktur Masyarakat Madura Berbicara mengenai struktur dalam suatu etnisitas tentu akan berbeda satu sama lain dengan setiap etnisitas yang ada di Indonesia. Struktur masyarakat Jawa, tentu berbeda dengan masyarakat Bugis. Struktur masyarakat Batak tentu akan 19 berbeda dengan masyarakat Papua, dan seterusnya. Berikut merupakan penjelasan mengenai struktur/stratifikasi masyarakat Madura : A. Stratifikasi Dilingkungan Masyarakat Madura 1. Oreng Kene/Dume = Sebagai Lapisan Terbawah, yaitu : Masyarakat yang biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani – nelayan – pengrajin dan orang yang tidak punya mata pencaharian tetap. 2. Ponggaba, yaitu : Orang yang bekerja di instansi normal terutama di Kantor Pemerintah. 3. Parjaji, yaitu : Lapisan masyarakat yang berada paling atas. Parjaji ada 2 macam pengertiannya : Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya tingkatan Gelar Ke Bangsawanannya seperti RA-RP-RB-R. mas-R (untuk laki – laki) R.Ayu/R.Ajeng, R.Roro (untuk wanita). Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (Camat) , Wedana Patih –Kanjeng / Bupati, dsb. B. Stratifikasi Dilingkungan Masyrakat Agama/Pesantren Stratifikasi di lingkungan masyarakat agama/pesantren yang kita kenal ada 4 Tingkatan, Yaitu ( Dari yang ter-atas ) 1. Kyai Adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka agama (Ulama) karena menguasai banyak ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus/pengajar ajaran para Nabi pada santri – santrinya. 2. Bindarah 20 Adalah orang-orang yang telah mendapatkan/men-tamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren, dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara dengan pengetahuan Kyai. Ada pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis terutama di desa/dusun yang agak jauh dari seorang Kyai. 3. Santri Adalah orang-orang yang masih sedang menuntut ilmu keagamaan di Pondok Pesantren. 4. Banne Santri Seseorang yang tidak pernah mondok/tidak pernah menuntut ilmu keagamaan di Pondok Pesantren. 2.2.2 Nilai Setiap suku bangsa yang ada di nusantara ini pasti memiliki nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai pedoman untuk hidup bermasyarakat, agar kehidupan dalam berinteraksi di dalam perbedaan dapat terjalin dengan mudah, sehinggah dapat tercipta kondisi yang aman, nyaman serta damai dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti itu pula yang dilakukan Etnis Madura. Dalam bermasyarakat Etnis Madura memiliki 3 nilai yang dijadikan sebagai pedoman hidup, antara lain sebagai berikut : 1. Kesopanan Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah 21 masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tata krama dalam setiap tindakannya. Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturanaturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya). Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial. 2. Kehormatan Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura 22 diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang). Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi Etnis Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air. 3. Agama Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah Kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para Kyai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para Kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati. Kepemimpinan yang disandang para Kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. 23 Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik. Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan Etnis Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura. Tidak hanya itu karakter orang Madura, yang memberikan perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu. 2.2.3 Norma Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang religius. Sikap religious ini dibuktikan dengan kepatuhan untuk menjalankan agama dengan baik, seperti ubudiyah (sholat, puasa, zakat, dan haji) dan muamalah (interaksi sosial) yang sesuai dengan norma dan qanun (aturan main) di dalam Islam. Pemahaman keagamaan masyarakat Madura dan tingkat kepatuhan yang sangat tinggi dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan tidak terlepas dari peran serta Kyai. Kyai dijadikan panutan oleh masyarakat di Madura, bukan hanya dalam persoalan keagamaan, namun juga dalam persoalan pendidikan, politik, budaya dan sosial kemasyarakatan. Di dalam masyarakat Madura ada tiga orang yang harus dihormati di dalam hidup, yaitu Rato, Buppa, dan Guruh. Rato artinya penguasa. Jadi siapapun yang menjadi penguasa baik ditingkat desa yaitu klebon (kepala desa) ataupun ditingkat 24 kabupaten semuanya harus dihormati baik perkataan maupun kebijakannya. Buppa adalah orang tua. Orang tua adalah segala-galanya bagi orang Madura. Hidup dan matipun rela dikorbankan demi orang tua bagi masyarakat Madura. Guruh adalah orang yang mengajarkan ilmu seperti para Kyai yang ada di pondok pesantren. Berbeda dengan masyarakat lainnya yang ada di nusantara, masyarakat Madura memliki persepsi tersendiri terhadap sosok Kyai. Di Madura peran dan pengaruh seorang Kyai sangatlah kuat. Sosok seorang Kyai bagi masyarakat Madura ialah kharismatik, penuh wibawa dan alim (berilmu). Kyai adalah panutan dan dijadikan sebagai tempat mengaduh setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Madura (problem solver), oleh karena itu, Kyai menempati poisisi teratas dalam struktur masyarakat Madura. Hampir bahkan malah tidak mungkin jika ada masyarakat Madura yang mempunyai persoalan hidup tidak pergi kepada Kyai. Sebab dengan pergi dan sowan (bertamu) saja kepada Kyai, (menurut mayoritas masyarakat Madura) telah mengilangkan separuh dari persoalan yang dihadapi. Tidak jarang permasalahan dan konflik internal dalam masyarakat terselesaikan oleh kehadiran sosok Kyai. Jika Kyai berkata A, maka yang lainnya juga akan berkata A, dan jika menurut beliau B, maka tidak ada yang dapat berkata A. Sebab hal itu dapat dianggap melanggar adat dan etika masyarakat Madura. Tanpa kehadiran seorang sosok Kyai dalam sebuah acara, baik pengatin, selamatan, atau lainnya, maka acara tersebut tampak kurang lengkap atau bahkan tidak barokah. Sebab, Wejangan dan do’a seorang Kyai, selalu ditunggu-tunggu oleh masyakarat. 25 Masyarakat Madura selalu mengharapkan kehadiran sosok Kyai ditiap fase kehidupan yang mereka jalani. Olehnya, Kyai sangat dihormati dan dia bergerak sebagai pengatur arus massa. Kyai memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat Madura. Persepsi yang terjadi pada masyarakat Madura yang sedemikin rupa ini tentunya ada sebabnya, budaya Madura tentang Rato, Buppa’, Guruh mempengaruhi persepsi yang ada pada masyarakat tentang sosok Kyai, terlebih juga sejarah di Madura bahwa pada jaman dahulu Kyai Madura banyak membantu dan membawa banyak perubahan positif terhadap masyarakat Madura, hal ini tidak dapat dihilangkan dan terjadi turun-temurun hingga saat ini, mengakar dalam kondisi sosial masyarakat Madura. Oleh karena itu di manapun, kapanpun masyarakat Madura berada mereka akan selalu tunduk dan patuh terhadap sosok Kyai yang dianggap sebagai panutan dalam hidup. 2.2.4 Kultur Masyarakat Madura Daerah Asal Setiap etnis di Indonesia memiliki budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut tentu disebabkan karena Indonesia adalah negara kepulauan. Perbedaan-perbedaan geografis setiap wilayah tersebut secara tidak langsung membedakan pula karakterkarakter setiap etnis. Ada yang keras, kasar, lembut, dan lain sebagainya. Orang Madura adalah masyarakat yang memliki karakter yang keras, kasar, dan ulet. Hal tersebut dipengarui karena kondisi wilayah pulau Madura yang kering dan tandus. Sehinggah membentuk jiwa-jiwa yang kuat yang mampu bertahan dalam kondisi apapun. Selain itu masyarakat Madura juga dikenal sebagai masyarakat yang sering bepergian ke wilayah luar pulau Jawa (merantau) demi kehidupan lebih baik secara 26 ekonomi dan sosial. Budaya masyarakat Madura ketika merantau hal yang pertama kali mereka lakukan adalah mencari sanak saudara yang bermukim di daerah tempat dia tuju. Sebagai pendatang baru-terutama bagi mereka yang pada dasarnya berasal dari kelompok sosial ekonomi marginal mereka tetap membutuhkan tempat penyanggah sebelum berhasil meraih penghidupan yang lebih baik. Selain pertimbangan dari faktor sosial ekonomi ini, secara kultural orang Madura mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan memelihara ikatan kekerabatan di antara sanak keluarganya di mana pun mereka berada lebih-lebih di perantauan. Hal ini demi menjaga agar setiap dan sesama anggota keluarga tidak akan kaelangan obur artinya tidak akan berada dalam suasana kegelapan sehingga tidak tahu lagi siapa sanak keluarga atau kerabatnya. Akibat semua ini mudah dipahami apabila pola permukiman orang-orang Madura di perantauan selalu cenderung mengelompok. Realitas ini tidak serta merta dapat ditafsirkan dan dimaknai bahwa perantau Madura merupakan kelompok eksklusif yang enggan menjalin relasi sosial dengan orang dari masyarakat lain. Tersebarnya para perantau Madura di berbagai daerah di Indonesia dalam suasana kehidupan yang rukun dan penuh kedamaian dengan penduduk setempat dalam kurun waktu beberapa generasi membuktikan bahwa proses adaptasi dan integrasi sosial orang Madura di perantauan cukup berhasil. Kewajiban kultural tersebut semakin mendapat penguatan oleh luasnya cakupan wilayah kerabat (taretan) dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagaimana pada masyarakat di kebudayaan lain, konsep kerabat atau sanak keluarga (taretan) pada masyarakat Madura selain mengacu pada hubungan 27 genealogis juga mengacu pada hubungan perkawinan (taretan ereng). Yang perlu dipahami bahwa bagi masyarakat Madura konsep kerabat mencakup sampai empat keturunan dari ego baik ke atas maupun ke bawah (ascending and descending generations). Selain itu adapula tradisi yang paling terkenal dalam masyarakat Madura, yaitu Carok. Carok secara tidak langsung menjadi identititas orang Madura di manapun mereka berada. Carok merupakan kebiasaan adat mereka untuk menyelesaikan sengketa yang terlalu memakan emosi mereka. Carok ini dapat kita samakan dengan “hutang nyawa dibayar nyawa”. Jika salah satu dari mereka (orang Madura) yang sudah mengucap atau menantang Carok dengan yang lain, maka harus dilakukan secepatnya. di dalam Carok tersebut, salah seorang dari pelaku Carok harus ada yang mati, karena itulah suatu kebudayaan hukum mereka. Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena Carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara Etnis Madura dalam mempertahankan harga diri mereka. Banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski Etnis Madura sendiri kental dengan Agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok. Kata Carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'. Biasanya, Carok merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat Etnis Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut 28 kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga). Secara garis besarnya budaya masyarakat Madura di golongkan menjadi 6, antara laian sebagai berikut : 1. Kebudayaan Macopat (Mamaca) Macopat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan kebudayaan Madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang yang ditulis dengan bahasa Jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah tembeng. Biasanya dalam pembacaan macopat ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling. 2. Ritual Ojung Pelaksanaan ritual Ojung dalam bentuknya sejenis permainan yang melibatkan dua orang untuk beradu fisik dengan dilengkapi media rotan berukuran besar sepanjang 1 meter sebagai alat memukul. Ritual ini biasanya diselenggarakan agar segera turun hujan dan terhindar dari malapetaka akibat kekeringan musim kemarau dan biasanya diiringi dengan musik yang jarang dijumpai di daerah lain yang terdiri dari 3 buah dung-dung (akar pohon siwalan) yang dilubangi di tengahnya sehingga bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik kleningan sebagai pengatur lagu. 3. Kebudayaan Rokat Tase (Petik Laut) Tradisi Rokat Tase dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan 29 keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja. Ritual atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut Rokat Tase oleh penduduk setempat. 4. Kebudayaan Okol Okol, istilah warga Madura untuk menyebutkan olahraga gulat tradisional. Tradisi okol biasa dilakukan pada saat musim kemarau berkepanjangan melanda. Namun apabila kita lihat baik dari tujuan maupun pelaksanaannya Okol hampir sama dengan kebudayaan Ojung. 5. Kebudayaan Rokat Kebudayaan Rokat yang ada di Madura dilakukan dengan maksud jika dalam suatu keluarga hanya ada satu orang laki-laki dari lima bersaudara (Pandapa Lema), maka harus diadakan acara Rokat. Acara Rokat ini biasanya dilaksanakan dengan mengundang topeng (Nangge Topeng) yang diiringi dengan alunan musik gamelan Madura dan sembari dibacakan Macopat (Mamaca). 2.2.5 Integrasi Untuk dapat menciptakan suatu integrasi sosial yang kuat, serta menjadikan hubungan tersebut semakin solid, maka pola interaksi yang terjadi dalam masyarakat tersebut harus dibangun secara baik. Interaksi yang berlangsung secara baik akan mengahadirkan kekuatan sosial dalam masyarakat tersebut. Kekuatan- 30 kekuatan tersebutlah yang selanjutnya menjadi tameng bagi kelompok tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat akan terdapat berbagai gesekan-gesekan sosial yang terjadi karena adanya bermacam-macam perbedaan, baik itu perbedaan secara kultural, politik dan kepentingan. Oleh karenanya untuk dapat meminimalisir hal tersebut, setiap masyarakat memiliki aturan-aturan dalam budaya mereka masing-masing, mengenai bagaimana seharusnya menjalani kehidupan, mencapai tujuan tanpa harus menggunakan cara-cara yang kotor, menghasilkan segala sesuatu dengan cara yang benar, serta saling menghargai sesamanya. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran mekanis, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya. Aturan ini sangat diyakini, sangat rigid, dan sisanya sangat bersifat religius. Selain itu Geertz juga mengatakan bahwa unsur-unsur primordial/integrasi itu adalah: "Unsur-unsur sosial budaya yang lahir dari yang ‘dianggap ada’ dalam kehidupan sosial. Sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa tertentu atau dialek tertentu serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaanpersamaan hubungan darah, ucapan atau bahasa, kebiasaan, dan sebagainya memiliki kekuatan yang meyakinkan". Menurut Glaser dan Moynihan (1981), yang 31 termasuk unsur-unsur penting primordial adalah genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan), sistem kepercayaan (termasuk religi dan agama), dan bahasa. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas kelompok etnik. Identitas ini menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka. Dengan kata lain, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik akan menjadi unsur pembeda identitas diri dari suatu kelompok etnik yang lain. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya merupakan perilaku simbolik yang pemaknaannya harus dilakukan secara kontekstual. Artinya, setiap orang dari suatu kelompok masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan memahami makna simbolik dari perilaku budaya tersebut. Pemahaman yang sama terhadap suatu perilaku simbolik di antara obyek dan subyek sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi sosial. Dengan persepsi ini, pemahaman yang sama tersebut dapat meminimalisasi timbulnya konflik yang bernuansa etnik. Setiap orang atau kelompok masyarakat dan kebudayaan harus menghindari perilaku etnosentrisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial. Elemen penting primordial (purba) yang selalu muncul (dan sengaja dimunculkan) dalam interaksi sosial adalah ikatan kekerabatan. 2.3 Pengertian Interaksi Sosial Menurut Burhan Bungin (2008: 55) bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas sosial. 32 Selanjutnya ada beberapa pengertian interaksi sosial seperti yang dikemukakan oleh Bonner (Ahmadi, 1990 : 54), interaksi sosial adalah suatu hubungan antar dua orang atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengarui, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lainnya atau sebaliknya. Selanjutnya menurut Soerjorno Soekanto (2002 : 62), interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Selain itu Soerjorno Soekanto (1996 : 67) juga menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi tidak akan mungkin ada kehidupan bersama-sama. Sedangkan menurut Bimo Walgito (2000 : 65), bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengarui individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan timbal balik. 2.3.1 Syarat-Syarat Interaksi Sosial Menurut Soejorno Soekanto (2002 : 65), syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontak sosial (sosial contact) dan adanya komunikasi (communication). 1. Kontak Sosial ( social contact ) Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum (bersama-sama) menyentuh. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Penagkapan makna tersebut menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi yang bersifat positif maupun reaksi yang bersifat negative. 33 Secara fisik kontak sosial terjadi apabila adanya hubungan fisikal, sebagai gejala sosial bukan hanya hubungan badaniah, karena hubungan sosial terjadi tidak secara menyentuh seseorang, namun orang dapat berhubungan dengan orang lain tanpa harus menyetuhnya. Misalnya kontak sosial terjadi ketika seseorang berbicara dengan orang lain, bahkan kontak sosial dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi, seperti melalui telepon, telegraf, radio, surat, televise, internet dan lain sebagainya. Kontak sosial dapat berlagsung dalam lima bentuk, yaitu : a. Dalam bentuk proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang per orang. Proses sosialisasi memungkinkan seseorang mempelajari norma-norma yang terjadi di masyarakat. Berger dan Luckmann (Bungin, 2001:14), mengatakan proses ini terjadi melalui proses objektivikasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjectif yang di lembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. b. Antara orang per orang dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya. c. Antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam sebuah komunitas. d. Antar orang per orang dengan masyarakat global di dunia internasional. e. Antara orang per orang, kelompok, masyarakat, dan dunia global, di mana kontak sosial terjadi secara simultan diantar mereka. Secara konseptual kontak sosial dapat dibedakan antara kontak sosial primer dan kontak sosial sekunder. Yang dimaksud kontak sosial primer yaitu kontak sosial yang terjadi secara langsung antara seseorang dengan orang lain atau kelompok masyarakat lainnya secara tatap muka. Sedangkan yang dimaksud 34 dengan kontak sosial sekunder adalah kontak sosial yang terjadi melalui perantara yang sifatnya manusiawi maupun teknologi. 2. Komunikasi Hafield Cangara (2009 :18), mengemukakan bahwa istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin communico yang artinya membagi. Komunikasi menurut William J. Seller (Muhammad, 2005 :4), memberikan definisi komunikasi yang lebih bersifat universal. Menurutnya komuikasi adalah proses dengan mana symbol verbal dan non verbal dikirimkan, diterma, dan diberi arti. Keliatannya dari pengertian ini proses komunikasi sangat sederhana, yaitu mengirim dan menerima pesan tetapi sesungguhnya komunikasi sesungguhnya adalah suatu fenomana komleks yang sulit dipahami tanpa mengetahui prinsip dan komponen yang penting dari komunikasi tersebut. Selanjunya menurut Brent D. Ruben (Muhammad, 2005:3), memberikan pengertian komunikasi manusia yang lebih komprehensip. Menurutnya, komunkasi adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan dan menggunakan informasi untuk mengkordinasikan lingkungannya dengan orang lain. Menurut Everett Kleijan (Cangara, 2008:1), komunikasi merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Kemudian Hafield Cangara (2008 :1), mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat 35 fundamental bagi seseorang dalam bermasyarakat. Sedangkan menurut Casandra L. Book (Cangara, 2008:19), komunikasi ialah suatu transaksi proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan: 1. Melakukan hubungan antar sesama manusia 2. Melalui pertukaran informasi 3. Untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta 4. Berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. Menurut Seiler (Muhammad, 2005 :19), ada empat prinsip dasar komunikasi, yaitu : a. Komunikasi sebagai Suatu Proses Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri kegiatan yang terus menerus yang tidak mempunyai permulaan atau akhir dan selalu berubahubah. Komunikasi juga melibatkan suatu versi saling berhubungan dengan kompleks yang tidak pernah ada duplikat dengan cara persis sama yaitu saling berhubunungan diantara orang, lingkungan, keterampilan, sikap, status, pengalaman, dan persamaan, semuanya menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu tempat. b. Komunikasi sebagai Sistem Komunikasi terdiri dari beberapa komponen dan masing-masing kompponen tersebut mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari komponen ini berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan suatu komunikasi. c. Komunikasi bersifat Interaksi dan Transaksi 36 Interaksi adalah saling bertukar komunikasi. Sedangkan trasnsaksi adalah kehidupan dalam sehari-hari komunikasi yang kita lakukan seteratur itu prosesnya. Banyak dalam percakapan tatap muka kita terlibat dalam proses pengiriman pesan secara stimultan tidak terpisah. Jadi komunikasi yang terjadi diantara manusia dapat berupa interaksi dan transaksi. d. Komunikasi dapat terjadi disengaja maupun tidak disengaja Komunikasi yang sengaja terjadi apabila pesan yang mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima yang dimaksudkan untuk orang tertentu menerimanya maka itu dinamakan komunikasi tidak sengaja. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam komunikasi, diantaranya : 1. Sumber, yakni peristiwa komunikasi melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim atau komunikator. 2. Pesan, yaitu sesuatu yang disampaiakn pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaiakan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. 3. Media, yakni alat yang dignakan untuk emmindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Media dalam komuikasi massa dibedakan menjadi dua, yaitu media cetak dan media elektronik. 4. Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran untuk diberikan informasi oleh sumber Faktor- faktor yang mendasari berlangsungya interaksi sosial : 1. Faktor Imitasi 37 Imitasi merupakan doronga untuk meniru orang lain. Imitasi tidak berlangsung secara otomatis, melainkan dipengarui oleh sika menerima mengagumi terhadap apa yang diimitasi 2. Faktor Sugesti Sugesti adalah proses yang terjadi dalam diri individu terhadap pengaruh psikis, baik yang dari dirinya sendiri maupun orang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. 3. Faktor Identifikasi Identifikasi adalah suatu dorongan untuk menjadi sama seperti orang lain, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Proses identifikasi ini mula-mula berlangsung secara tidak sadar, kemudian irasional, yaitu berdasarkan perasaaanperasaan atau kecendrungan-kecendrungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan yang ketiga indentifikasi berguna untuk melengakapi sistem norma-norma, cita-cita, dan pedoman-pedoman tingkahlaku orang yang mengidentifikasi itu. 4. Faktor Simpati Simpati yakni perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Simpati timbul berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi, bahkan seorang dapat secara tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain dengan sendirinya karena keselurua cara-cara bertingkah laku menarik baginya. Proses simpati dapat pula berjalan secara perlahan-lahan secara sadar dan cukup nyata dalam hubungan dua orang atau lebih. Bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu : 38 1. Proses-proses yang Asosiatif a. Kerjasama Menurut Soerjano Soekamto, kerjasama adalah usaha bersama untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu secara bersama-sama. b. Akomodasi Menurut Soerjono Soekamto, akomodasi dipergunakan dalam dua arti untuk menunjuk pada suatu keadaan dan dapat menunjuk pada suatu proses sosial. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antar orang-perorangan atau kelompok –kelompok sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan akomodasi sebagai proses menunjuk pada usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk mencapai kestabilan. 2. Proses-proses Disosiatif a. Persaingan Persaingan menurut Soerjono Soekamto, adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Adapun fungsi persaingan, antara lain: 1. Persaingan untuk menyaurkan keinginan-keinginan individu dan kelompok yang bersifat kompetitif. 39 2. Persaingan sebagai jalan untuk keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai pada suatu masa dapat tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing. 3. Persaingan merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. 4. Persaingan berfungsi sebagai alat untuk menyaring para warga golongan kaya (fungsional) yang akhirnya akan mengahsilkan pembagian kerja yang kolektif. b. Kontravensi Kontravensi menurut Soejono Soekamto adalah suatu bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi ditandai adanya gejala-gejala seperti ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan dan lain-lainnya terhadap kepribadian seseorang. c. Pertentangan atau pertikaian Pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompokkelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan adanya ancaman atau kekerasan. Pertikaian terjadi disebabkan adanya perbedaan antara individu-individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perubahan sosial. 2.4 Pengertian Imigran Imigran merupakan pelaku daripada imigrasi, arti dari kata imigrasi sendiri yaitu perpindahan penduduk yang dilakukan seseorang antar benua atau negara. Lebih jelasnya bahwa imigran adalah orang yan melakukan perpindahan dari suatu negara, ke negara lain yang bukan negaranya. Faktor-faktor yang menyebabkan 40 terjadinya imigrasi bisa karena faktor ekonomi, politik, keturunan/hubungan darah, keamanan dan bencana alam. Dahulu istilah imigran tidak terbatas pada manusia sebagai pelakunya, namun juga dapat digunakan pada hewan dan benda yang dibawa pindah melintasi perbatasan suatu negara. Awalnya perpindahan penduduk ini terjadi karena peperangan dan bencana alam, sehinggah para penduduk mencari wilayah lain yang lebih aman. Kemudian istilah imigran dipersempit terbatas pada manusia saja, setelah negara-negara mengalami perkembangan yang secara otomatis juga menciptakan undang-undang dan peraturan. Imigrasi merupakan bagian daripada migrasi. Di mana pengertian daripada migrasi, urbanisasi dan trasnmigrasi pun berbeda. Migrasi merupakan perpindahan atau gerak penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Adapun migrasi terbagi menjadi tujuh jenis, yaitu remigrasi, imigrasi, evakuasi, emigrasi, forensen, turisme, dan week end. 2.4.1 Jenis-Jenis Migrasi a. Remigrasi Remigrasi adalah perpindahan penduduk untuk kembali ke tanah asalnya semula/tempat kelahirannya. Misalnya, karena sudah tua seseorang kembali ke daerah asalnya agar setelah meninggal dapat dikubur di daerah asalnya. b. Imigrasi 41 Imigrasi adalah perpindahan penduduk dan negara asing untuk menetap dan menjadi warga negara di negara yang baru didatanginya. Misalnya seseorang dari Indonesia pindah ke Amerika Serikat. c. Evakuasi Evakuasi adalah perpindahan atau pengungsian penduduk dari tempat tinggalnya karena gangguan keamanan ataupun bencana alam. Misalnya korban perang dan bencana alam. d. Emigrasi Emigrasi adalah perpindahan sekelompok ataupun perorangan dari suatu negara ke negara lain. Misalnya, orang Indonesia yang menetap di Jepang. Bagi Indonesia disebut emigran, sedangkan bagi Jepang disebut imigran. f. Forensen (nglaju) Forensen atau nglaju adalah orang yangn tinggal di desa (luar kota) tetapi mempunyai mata pencaharian di kota sehinggah setiap hari pulang pergi dalam perjalanan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya perumahan di kota. Misalnya, banyak orang yang bekerja di Jakarta, tetapi bertempat tinggal di luar Jakarta. g.Turisme Turisme adalah perjalanan yang dilakukan oleh sekelompok orang ataupun perorangan ke daerah-daerah pariwisata. Misalnya, orang yang berpariwisata ke daerah wisata seperti Bali, Danau Toba, Borobudur dan Tanah Toraja. h. Week End 42 Week end adalah kegiatan bepergian ke luar kota pada akhir minggu untuk menghirup udara segar ataupun bersantai karena banyaknya kerjaan di kantor. Misalnya, orang Jakarta berakhir pekan ke Puncak Bogor, Jawa Barat. 2.4.2 Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari kota kecil ke kota besar, atau perpindahan penduduk dari kota kecil ke kota besar untuk menetap atau mencari pekerjaan. Saat ini urbanissi menjadi permasalahan yang serius bagi pemerintah. Karena persebaran penduduk di perkotaan yang tidak merata akhirnya menimbulkan berbagai polemik sosial, ditambah tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan, fasilitas-fasilitas umum, tempat tinggal dan lain sebagainya. Sebenarnya ada dua faktor yang mendorong orang-orang sehingga melakukan urbanisasi. Dua faktor pendorong tersebut yaitu : 1. Faktor pendorong dari desa Beberapa faktor pendorong dari desa diantaranya sebagai berikut : - Jumlah lapangan pekerjaan di desa masih sangat terbatas - Banyak fasilitas belum memadai seperti, pendidikan, transportasi, dan kesehatan - Upah di desa sangat masih rendah 2. Faktor penarik dari kota Beberapa faktor penarik dari kota diantaranya sebagai berikut : - Di kota jumlah lapangan pekerjaan lebih banyak ketimbang di desa - Upah di kota lebih besar - Kota dijadikan sebagai pusat pemerintahan, industri, teknologi dan bisnis 2.4.3 Transmigrasi 43 Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang kurang padat. Orang yang melakukan transmigrasi disebut transmigran. Transmigrasi merupakan bentuk migrasi penduduk khas Indonesia karena tidak dijumpai di daerah lainnya. Trasnmigrasi merupakan salah satu program pemerintah sebagai upaya dalam menyetarakan persebaran penduduk di seluruh daerah yang masih padat penduduknya seperti Jawa, Bali, dan Sumatra menuju daerah yang kurang kurang penduduknya, seperti Kalimantan. Tujuan utama dilaksanakan program tersebut yaitu : 1. Membuka daerah dari yang padat ke kurang penduduknya dan meningkatkan potensi ekonomi daerah tersebut 2. Meningkatkan produksi hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian 3. Secara sosial budaya meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa 4. Memeratakan persebarab penduduk 5. Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional 6. Meningkatkan taraf hidup rakyat 2.5 Definisi Konsepsional Definisi konsepsional merupakan tahapan batasan pengertian dalam penelitian. Dari pendekatan teori yang disajikan dalam menjelaskan”Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Kali Kabupaten Paser”. Batasan konsep meliputi konsep Imigran Madura, Solidaritas Sosial, dan Interaksi Sosial. 44 Imigran Madura adalah sekelompok orang (etnis) atau perorangan yang melakukan perjalanan/merantau menuju daerah yang dianggap potensial untuk dapat merubah kehidupan jauh lebih baik dari sebelumnya yang disebabkan karena faktor geografis, politik, ekonomi, dan sosial. Solidaritas sosial adalah suatu rasa sepenanggungan, seperasaan, saling memiliki yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu untuk dapat mempertahankan nilai-nilai budayanya agar dapat mempertahankan eksistensi kelompoknya. Interaksi sosial adalah hubungan atau kontak yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bersifat sementara ataupun berkelanjutan yang di dalamnya bisa terdapat berupa informasi dan berita. Kontak atau hubungan tersebut dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskripstif exsploratif. Di mana menurut Bogyan dan Taylor metode penelitian kualitatif 45 adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dasar penulis ingin menggunakan penelitian kualitatif adalah bahwa peniliti ingin mengetahui secara lebih mendalam mengenai ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Kali Kabupaten Paser’. Dilihat dari aspek tujuan penilitian ini adalah penelitian exsploratif. Penelitian exsploratif adalah penelitian yang bertujuan menggali secara luas mengenai sebab-sebab atau hal-hal yang mempengarui terjadinya sesuatu. Asumsi peneliti menggunakan penelitian exsploratif adalah bahwa peneliti ingin menggali secara lebih luas mengenai mekanisme ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan’. Maka dalam hal ini peneliti mempelajari bagaimana Imigran Madura membangun solidaritasnya di perantauan sebagai kekuatan sosial. Peneliti dapat mempelajari kekuatan dari solidaritas tersebut dengan mengetahui dan menganalisis, proses dalam membangun solidaritas di perantauan melalui perilaku kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma, serta mekanisme-mekanisme dalam membangun soldiaritas dari para Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing. 3.2 Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser tepatnya di lokasi tambang batu (Galian C). Alasan utama peneliti mengambil lokasi penelitian tersebut karena peneliti melihat seluruh pekerja tambang batu di lokasi tersebut adalah imigran yang berasal dari Madura. Peneliti melihat hal tersebut secara sekilas sebagai upaya dalam 46 membangun solidaritas antar Imigran Madura yang berada di perantauan. Hal ini secara tidak langsung akan berpotensi menjadi konflik dengan masyarakat asli di daerah tersebut. Oleh sebab itu peneliti sangat tertarik melakukan pengamatan mendalam terhadap para pekerja tambang batu yang berada di Desa Jemparing, tentang ‘Solidaritas Imigran Madura di Perantauan. 3.3 Sumber Data 3.3.1 Data primer a. Observasi Sebelum peneliti melakukan penelitian di Desa Jemparing, tepatnya di lokasi bahan galian C di wilayah Ombe, hal pertama yang peneliti lakukan adalah peneliti melakukan observasi terlebih dahulu. Observasi yang dilakukan untuk mengetahui gambaran sederhana terkait dengan Solidatitas Imigran Madura yang berada di wilyah Desa Jemparing, tepatnya di wilayah Ombe. Observasi dilakukan sebagai langkah awal untuk dapat mengidentifikasi permasalahan yang ada. Observasi bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai pembuktian terhadap proses bagaimana para Imigran Madura membangun solidaritas kelompoknya di perantauan. Dalam hal ini peneliti akan melakukan pengamatan dan pencatatan detail tentang segala perilaku kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma kelompok, serta mekanisme dalam membangun solidaritas kelompoknya di perantauan. b. Wawancara 47 Selanjutnya peneliti akan melakukan wawancara dengan sumber data secara langsung yang disebut sebagai informan. Informan dalam penelitian ini adalah Bapak Matori sebagai tokoh kharismatik/Kyai/Kepala Adat, Bapak Tirto Kusumo sebagai ketua/yang mengorganisir para Imigran Madura yang berada di wilayah galian Ombe, serta beberapa pekerja tambang batu di wilayah tersebut. Adapaun pertanyaan yang peneliti akan tanyakan kepada informan yaitu tentang : 1. Nilai dan Norma Etnis Madura. 2. Sistem Kepemimpinan. 3. Sistem Stratifikasi Komunitas. 4. Ritual-ritual Keagamaan/Komunitas. 5. Kegiatan-kegiatan Rutin Komuintas Lain yang Melekatkan Komunitas. 6. Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam Komunitas dan luar Komunitas. 7. Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan Komunitas Etnis Madura di Wilayah lain. 3.3.2 Data sekunder Data-data yang dapat mendukung penelitian (data sekunder) diperoleh dari sumber informasi lain, sebagai berikut : a. Kepustakaan Data tambahan lainnya peneliti peroleh dari ketua RT setempat, data di kantor desa, arsip, buku, artikel, media massa koran ataupun artikel on-line internet yang relevan sebagai bahan penunjang penelitian dan monografi kependudukan b. Dokumentasi 48 Menghubungkan beberapa variabel dari beberapa catatan, trasnkip, buku, rekaman dan lain sebagainya. Selain itu mengabadikan foto-foto terkait dengan kegiatan-kegiatan dan aktivitas kelompok. Agar lebih jelasnya peneliti membuat data primer dan data sekunder dalam bentuk matrikx yang bertujuan untuk mempermudah para membaca memahaminya. Adapaun matriks sumber data tersebut sebagai berikut : SUBYEK DATA DATA PRIMER OBYEK Key Informan : Bapak Tirto Kusumo sebagai ketua atau yang mengorgani sir para Imigran Madura di Desa Jemparig, Bapak Matori sebagai tokoh kharismi/ Kyai, dan beberapa pekerja tambang di wilayah tersebut Alat : Pedoman observasi, alat perekam (record), pulpen, buku dan saku TEKNIK OBSERVASI Substansi : Mengobservasi semua aktivitas dan kegiatan yang dilakukan para imigran madura dalam membangun solidaritas kelompoknya di perantauan hingga data penunjang penelitian dibutuhkan terkumpul TEKNIK WAWANCARA Substansi Wawancara :mendalam dengan tujuan untuk menggali seluruh informasi yang relevan yang berkaitan dengan hal-hal yang dapat membangun solidaritas di perantauan melalui perilaku kelomok, aktivitas kelompok, norma dan nilai, serta mekanisme yang dugunakan dalam membangun solidaritas di perantauan TEKNIK DOKUMENTASI Substansi Wawancara : Mendokumentasikan segala bentuk aktivitas dan kegiatan kelompok dan peneliti dilapangan, serta mengumpulkan dokumen-dokumen yang dianggap penting dalam menunjang penelitian. 49 DATA SEKUNDER 3.4 Sumber : Substansi : Kantor desa, ketua rt, buku, artikel, media massa koran ataupun artikel on-line internet dan monografi kependudukan Dokumentasi mengenai segala bentuk kegiatan Imigran Madura yang berada di Desa Jempring dalam membangun solidaritas kelompoknya dan aspek lainnya seperti tempat tinggal Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data, disini peneliti akan menjelaskan langkah- langkah yang peneliti akan lakukan dalam mengumpulkan data di lapangan tempat penelitian dilakukan. Adapun lagkah-langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : a. Kepustakaan Sebelum melakukan penelitian peneliti pertama kali melakukan kepustakaan terlebih dahulu. Peneliti membaca beberapa artikel, buku, dan beberapa blogspot dari internet yang terkait dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu terkait Solidaritas Imigran Madura di Perantauan. 50 b. Observasi Selanjutnya, setelah melakukan kepustakaan peneliti melakukan observasi di lapangan. Observasi yang dilakukan untuk mengetahui gambaran sederhana terkait dengan imigran madura dalam membangun solidaritas di perantauan. Observasi dilkaukan sebagai langkah awal untuk dapat mengidentifikasi permasalahan yang ada. Observasi bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai pembuktian terhadap proses bagaimana para Imigran Madura membangun solidaritas kelompoknya di perantauan. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan detail tentang segala perilaku kelompok, aktivitas kelompok, nilai dan norma kelompok, serta mekanisme dalam membangun solidaritas kelompoknya di perantauan. c. Wawancara Setelah peneliti melakukan observasi dilapangan langkah selanjutnya yaitu melakukan wawancara dengan imigran madura terkait dengan upaya-upaya dalam membangun kesolidatan kelompoknya. Wawancara yang dilakukan dimaksudkan agar memperoleh data yang detail dan akurat terhadap penelitian yang dilakukan. Agar data yang diperoleh terperinci dan akurat maka peneliti menggunakan teknik wawancara dengan para informan. Terlebih dahulu peneliti menghubungi para informan agar meluangkan waktu dan kesediaannya untuk wawancara. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan ketua atau yang mengorganisir para Imigran Madura di wilayah Desa Jemparing, beberapa masyarakat setempat, dan beberapa pekerja. Wawancara dilakukan dengan tiga tahapan. 51 Tahap pertama peneliti mewawancarai para Imigran Madura, lalu tahap kedua peneliti mewawancarai beberapa masyarakat setempat, dan terakhir peneliti mewawancarai ketua atau yang mengorganisir para Imigran Madura di Desa Jemparing. Peneliti sudah menyiapkan pedoman wawancara. Namun pertanyaan untuk para pekerja dengan masyarakat dan ketua atau yang mengorganisir para Imigran Madura dibuat berbeda menyesuaikan kemampuan narasumber. Dan dibuat berbeda karena substansi informasi yang diinginkan diharapakan mampu menggambarkan keadaan riil (obyektif) dari para Imigran Madura di Desa Jemparing. d. Dokumentasi Selanjutnya setelah melakukan observasi dan wawancara, peneliti akan melakukan dokumentasi terhadap segala bentuk aktivitas dan kegiatan di Lokasi penelitian serta mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan obyek penelitian. Di mana peneliti harus mendokumentasikan sebagai bentuk konkrit peneliti telah melakukan suatu penelitian. Dokumentasi ini juga dapat terkait dengan pengumpulanpenguumpulan arsip dan dokumen-dokumen penting yang dapat menunjang penelitian. 3.5 Teknik Analisis Data Berikut adalah matriks yang menerangkan teknik dalam menganalisis data yang akan peneliti lakukan : METODE OBSERVASI ALAT KERJA Buku catatan observasi, kamera untuk mendokumentasikan CARA KERJA Meringkas dan memilah berdasarkan substansi hasil catatan observasi dan foto-foto HASIL KERJA Melihat catatan observasi secara keseluruhan dan 52 WAWANCARA MENDALAM 3.6 foto-foto segala aktivitas yang dilakukan para Imigran Madura. Buku catatan, alat perekam (recorder), kamera, lembar pedoman pertanyaan wawancara dan matriks yang meringkas substansi pokok hasil wawancara dan memasukanya kedalam sel matrik. aktivitas riil dilakukan. yang dokumentasi foto-foto yang terkumpul. Memformulasikan matrik hasil wawancara dengan melakukan silang secara ringkas antara informan dengan substansi hasil wawancara. Melihat penonjolan informasi jawaban informan. Dimana kekuatan dan kualitas data informasi ditentukan oleh posisi dan peran informan dalam kelompok imigran tersebut. Jadwal Tentatif Penelitian Berikut adalah matriks yang menerangkan tentang pedoman bekerja dan target waktu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini : NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. KEGIATAN Penyusunan dan seminar proposal skripsi 1 Revisi seminar proposal skripsi dan √ penelitian di lapangan. Mengumpulkan data di lapangan Membuat draf laporan penelitian Pendadaran Penyempurnaan Skripsi 2 √ BULAN KE : 3 4 11 √ √ √ √ √ √ √ √ √ BAB IV GAMBARAN UMUM DESA JEMPARING DAN IMIGRAN MADURA Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan mengenai gambaran umum desa Jemparing dan Imigran Madura. Pertama peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai gambaran umum Desa Jemparing. Kemudian selanjutnya peneliti akan menjelaskan gambaran umum Imigran Madura di Desa Jemparing. Di mana bagian 53 dari profil Desa Jemparing meliputi kondisi geografis dan demografi, sejarah singkat Desa Jemparing dan nama-nama pejabat pemerintahan. 4.1 Kondisi Geografis dan Demografi Desa Jemparing merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Long Ikis. Jemparing memiliki luas wilayah kurang lebih 8.750 Ha yang terdiri 12 Rukun Tetangga (RT) yang terbagi menjadi 2 dusun. Dusun satu mencakup RT 01, 02, 03, 04 dan 05 sedangkan dusun dua mencakup RT 06, 07, 08, 09 dan 10. Selain itu Desa Jemparing berada pada 116o 150 31,0 bujur timur (BT) dan 010 330 36, 3 lintang selatan (LS), dengan keadaan alam berbukit dengan ketinggian 100 s/d 300 meter dari permukaan laut. Desa Jemparing berbatasan dengan : ï‚· Sebelah Utara : Desa Mendik Kecamatan Long Kali ï‚· Sebelah Selatan : Desa Adang Jaya ï‚· Sebelah Timur : Desa Putang dan Rantau Belimbing ï‚· Sebelah Barat : Desa Kayungo dan Teluk Waru Desa Jemparing merupakan salah satu bagian dari desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Long Ikis. Yang mana desa ini merupakan desa pembatas antara Kecamatan Long Ikis dan Kecamatan Long Kali. Desa yang berbatasan dengan Kecamatan Long Kali adalah Desa Putang. Desa Jemparing merupakan desa yang berada di jalan penghubung antara Kabupaten Penajam Paser Utara – Kabupaten Paser, yang mana orbitrasi dan jarak desa : Jalan desa ke ibu kota kecamatan : ± 9 Km dengan wakyu tempuh ± 20 menit Jalan desa ke ibu kota kabupaten : ± 75 Km denga waktu tempuh ± 1,5 jam. 54 Selain itu untuk jumlah keseluruhan penduduk di Desa Jemparing menurut data monografi Desa Jemparing pada tahun 2014 yaitu 1794 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki sebanyak 962 jiwa dan perempuan sebanyak 832 jiwa dengan total jumlah Kartu Keluarga (KK) 439. Sedangkan pada tahun 2015 jumlah penduduk mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar. Data monografi Desa Jemparing tahun 2015 menjelaskan bahwa penduduk pada tahun 2015 yaitu 1819 jiwa dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 979 jiwa dan perempuan 839 jiwa dengan total Kartu Keluarga (KK) 546. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk di desa Jemparing pada tahun 2014 sampai 2015 tidak mengalami pertumbuhan penduduka yang banyak. Jika di persentasikan hanya berkisar antara 0,5 – 1 %. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1 Grafik Penduduk Desa Jemparing Tahun 2014 – 2015 Sumber : Data Monograf Kantor Desa Jemparing Tahun 2015 55 Selanjutnya untuk persebaran penduduk di Desa Jemparing terdiri dari beberapa etnisitas. Diantara etnis tersebut yaitu Pasir, Bugis, Jawa, Padang, NTB, NTT, Banjar, Sunda, dan Madura. Dari jumlah etnis tersebut persentase terbesar berdasarkan etnisitas ditempati oleh etnis Paser, disusul dengan Madura, Jawa, Bugis, Sunda, Banjar, Padang, NTB, dan NTT. Untuk lebih jelasnya terkait dengan jumlah persentase etnisitas lihat tabel 4. 2 di bawah ini : Tabel 4.2 Persentase Etnis di Desa Jemparing Tahun Sumber : Data Monograf Kantor Desa Jemparing Tahun 2015 Selain daripada data – data yang terkait dengan jumlah penduduk dan etnis yang berada di Desa Jemparing yang telah di jelaskan dalam tabel di atas, dapat dilihat bagaimana warna dari komposisi etnis yang berada di Jemparing. Sedangkan Untuk data mengenai agama di desa Jemparing, 100 % agama yang dianut adalah Agama Islam. 4.2 Sejarah Singkat Desa Jemparing 56 Sebelum penulis menjelaskan secara singkat sejarah Desa Jemparing, alangkah baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu istilah-istilah budaya atau bahasa Paser yang ada di dalam penjelasan yang berkaitan dengan sejarah Desa Jemparing di paragraf selanjutnya. Tujuannya adalah agar para pembaca mudah memahami dan mengerti alur ceritanya. Istilah-istilah budaya tersebut antara lain sebagai berikut : (Buku Profil Desa Jemparing Hal 25-27) 1. Telake = Tempat/ Wilayah 2. Rangga Olo = Nama Orang ( Sesepuh setempat ) 3. Kempen Langit = Nama Orang ( Yang Punya Kekuasaan ) 4. Adang = Wilayah Pasir Adang 5. Turu Tuntung Tali Ambur = Tujuh Sambung Tali Panjing sama seperti Ukuran15 meter x 7 meter = 105 meter 6. Matao Paliu = Sungai Telake 7. Tunden Godang = Daerah Gunung Tiga Arah ke Sungai Telake Menuju Long Ikis 8. Notok Uwe Malit Puyan = Sumpah Perbatasan Wilayah Berdasarkan hasil penulisan mengenai profil Desa Jemparing dapat dilihat ataupun dipaparkan bahwasannya pada awalnya Desa Jemparing merupakan bagian daripada Telake. Telake merupakan wilayah yang berada di daerah Kecamatan Long Kali (sekarang). Pada saat zaman dahulu kala, di wilayah Telake hidup seorang yang ditokohkan pada saat itu, beliau bernama Rongga Olo. Di wilayah Telake saat itu tidak terdapat kebebasan untuk memiliki tanah untuk bertani, karena wilayah tersebut masih menjadi wilayah kekuasaannya 57 Kempen Langit. Akhirnya karena dorongan masyarakat setempat Rongga Olo disuruh mendatangi Kempen Langit untuk meminta sedikit tanah bagi warga agar bisa dikelola untuk bertani. Akhirnya setelah Rongga Olo datang menemui Kempen Langit, akhirnya Ronggo Olo diberikan tanah seluas Turu Tuntung Tali Ambur (Tujuh Sambung Tali Pancing). Setelah beberapa tahun dan dianggap tanah pemberian tersebut sudah tidak mencukupi, akhirnya Ronggo Olo mendatangi lagi Kempen Langit untuk yang kedua kalinya dalam hal meminta kembali agar diberikan tanah lagi. Akhirnya Kempen Langit mentejuinya dan diberikanlah Rongga Olo tanah sampai batas Matauo Paliu (Sungai Telake). Akhirnya selang beberapa tahun, Rongga Olo meminta kembali tanah kepada Kempen Langit untuk yang ketigakalinya. Akhirnya Kempen Langit memberikan luas tanah Tali Tuntung Tali Ambur, dinggap masih kurang akhrinya meminta kembali dan diberikanlah sampai batas Tunden Godang. Akhirnya setelah sekian kali Rongga Olo meminta tanah kepada Kempen Langit, dan diaggap sudah cukup, maka Kempen Langit mengajak Rongga Olo bersumpah agar ini menjadi permintaan terakhir dari Rongga Olo yang bisa dipenuhi. Sumpah tersebut terkenal dengan sebutan sumpah Notok Uwe Malit Puyan. Dan akhrinya Ronggo Olo pun meninggal dan dikuburkan di wilayah Tunden Godang yang sekaligus menjadi batas wilayah Rongga Olo dengan Kempen Langit. Selanjutnya dibuatlah juga batas-batas dari Mungkur Janas, Lutong Tompong, Kupong Nyulidan, Lutung Ketiro, Guntung Tokon, Seriaw Serumpit, 58 Maujung/ Jone, Nipa Jempung, Pulau Putih, Mitek Danum Layong Payo (namanama daerah waktu itu, sekarang sudah menjadi desa-desa). 4.3 Nama- nama Pejabat Pemerintahan Mulainya pemerintahan di Desa Jemparing berkisar pada tahun 1940 an. Pada waktu itu kepala pemerintahan disebut sebagai Pembakal (kepala desa). Dan akhrinya nama pembakal berubah menjadi Kepala Desa mengikuti undang-undang pedesaan yang sebenarnya keduanya memiliki arti atau makna yang sama yaitu kepala pemerintahan tingkat desa. Nama pembakal berlangsung selama 4 periode masa jabatan, dimulai dari masa pembakal Ingga yang menjabat dari tahun 19461951, diteruskan oleh Pembakal Keu dari tahun 1951-1963, dilanjutkan lagi kepada Pembakal Taufik Tipes 1963-1975, dan yang terakhir yaitu pembakal Killu dari tahun 1975-1982. Masa di mana bergantinya nama pembakal menjadi Kepala Desa yaitu pada masa jabatan Kepala Desa Suntoro yang menjabat dari tahun 1982-1994, dilajutkan oleh kepala desa Singgu B dari tahun 1994-1998, diteruskan lagi kepada Kepala Desa Abdul Aziz selama dua periode dari tahun 1999-2013, dan yang terakhir menjabat pada saat ini yaitu Kepala Desa Rusdianto dari tahun 2014-2019. Pada masa jabatan pembakal Ingga, Pembakal Keu, dan Pembakal Taufik Tipes, batas wilayah tidak mengalami perubahan, tetap berada pada batas wilayah Tunden Godang. Namun di masa jabatan pembakal Killu, batas wilayah mengalami pegeseran lebih luas yang awalnya batasnya hanya dengan Tunden Godang saat itu sampai ke Salau Koniw (nama desa). Selanjutnya di masa pemerintaha Kepala Desa Suntoro batas wilayah mengalami pergeseran lagi dari Rawa Salau Koniw sampai 59 ke Sungai Kurung tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat kedua belah pihak. Untuk masa jabatan Pembakal Ingga sampai dengan pejabat Taufik Tipes nama desa secara administrasi Negara bernama Krayan. Selanjutnya pada masa pemerintahan pembakal Killu nama Krayan berubah menjadi Krayan Jemparing. Akhrinya di masa jabatan Kepala Desa Suntor Krayan Jemparing resmi berubah nama menjadi Desa Jemparing. Nama tersebut sampai sekarang tercatat dalam agenda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa Jemparing pada awalnya bernama Krayan yang merupakan gabungan dari exs trasnmigrasi. Pada tahun 1982, nama Krayan menjadi Jemparing dan exs transmigrasi terpisah dan berdiri sendiri menjadi desa definitive sebagai berikut : Desa Krayan Jaya, Desa Krayan Sentosa, Desa Bukit Saloka, Desa Krayan Makmur. Luas wilayah Desa Jemparing adalah yang paling luas dibandingkan desa exs trasnmigrasi karena merupakan desa induk dari desa pemekaran. 4.4 Imigran Madura Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan mengenai gambaran umum Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing. Bagian-bagian yang terdapat dalam penjelesan nantinya terkait dengan sejarah singkat keberadaan Imigran Madura, Kepala Adat Imigran Madura, peta lokasi bahan galian C, posisi pemukiman Imigran Madura, deskripsi perumahan Imigran Madura, dan aktivitas keseharian Imigran Madura. 4.4.1 Sejarah Singkat Keberadaan Imigran Madura 60 Terbentuknya kawasan pemukiman orang-orang Madura di Desa .Jemparing tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi orang-orang Madura di daerah asal. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Pulau Madura merupakan daerah yang tandus dan kering. Hal tersebut berdampak pada pola pekerjaan yang dilakukan masyarakat Madura. Dengan kondisi geografis seperti itu masyarakat Madura hanya mampu bercocok tanam-tanaman yang keras dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan atau petani garam. Namun pekerjaan tersebut dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik sebagian masyarakat Madura mencoba peruntungan untuk merantau ke daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satunya yaitu daerah yang memiliki potensi besar untuk dapat memperbaiki kualitas hidup, yaitu Kalimantan Timur khususnya. Pada mulanya migrasi yang dilakukan Etnis Madura tidak lagsung menuju wilayah Desa Jemparing. Pada saat itu migrasi yang dilakukan Etnis Madura pertama kali menuju wilayah Desa Mendik, dan mereka (yang bermigrasi) sebagian besar adalah pekerja sawit yang dipindah tugaskan ke wilayah Desa Mendik tersebut. Lebih tepatnya perusahaan sawit pada saat itu di wilayah Mendik yaitu, perusahaan PTP. Pada saat itu migrasi yang dilakukan terjadi sekitar tahun 1989. Pada tahun 1990 sebagian orang Madura yang dulu bekerja di perusahan sawit PTP, mencoba pergi ke Desa Jemparing. Perpindahan mereka disebabkan karena ingin mencoba membuka usaha perbatuan yang ada di Desa Jemparing yang info tersebut didapatkan dari teman 61 kerja pada waktu bekerja di PTP, yaitu bapak Mulyadi. Semenjak itulah pertumbuhan Etnis Madura di Desa Jemparing mulai meningkat. Berdasarkan wawancara dengan sala h satu tokoh sentral pembuka usaha perbatuan pertama kali di Desa Jemparing tersebut lebih tepatnya yang berada di wilayah Ombe, yaitu Bapak Sahrudin. Di mana peneliti menanyakan kepada informan mengenai sejarah keberadaan Etnis Madura di Desa Jemparing ini. Beliau menjelaskan secara padat dan singkat bahwa : “Etnis Madura pertama kali ke Desa Jemparing sekitar tahun 1990, awalnya mereka itu bekerja di perushaan PTP di Mendik. Yang pertama datang itu (Etnis Madura), Yanto, Tarjo, dan Sarief. Mereka bertiga pertama kali yang bekerja jadi pemecah batu di lokasi Ombe, dan saya sendiri kepala pekerjanya bersama pak haji Mulyadi. Awalnya hanya 3 orang, setelah pulang kampung mereka membawa sanak saudara, dan begitu terus hingga akhirnya beranak pinak seperti sekarang ) semakin banyak”. (Sahrudin (Paser), 15 April 2016) Dari penjelasan di atas dan pernyataan yang disampaiakan oleh informan kepada peneliti, peneliti dapat menyimpulkan sementara bahwa ternyata Imigran Madura yang datang ke Desa Jemparing pada awalnya adalah orang-orang perantauan yang kemudian bekerja di perusahaan PTP (perkebunan sawit) di daerah Mendik. Lalu kemudian mencoba membuka usaha pekerjaan baru sebagai pemecah batu yang berada di Desa Jemparing yang berlangsung hinggah saat ini. 4.4.2 Kepala Adat Imigran Madura Kepala adat para Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing adalah Bapak Ahmad Tohir atau sering dipanggil dengan Pak Matori. Pak Matori merupakan salah satu tokoh yang dihormati oleh Enis Madura yang berada di Desa Jemparing. Pak Matori pada mulanya juga bekerja sebagai pemecah batu di lokasi 62 Ombe. Namun pekerjaan beliau tidak hanya sebagai pemecah batu saat itu, beliau juga memiliki usaha lain, yaitu kayu ilegal. Beliau juga tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Paser periode 20032009. Semenjak itulah nama beliau semakin naik dan dikenal oleh sebagian masyarakat Madura yang berada di wilayah lain. Hal ini pula yang menyebabkan dipilihnya beliau sebagai ketua adat Etnis Madura untuk wilayah Desa Jemparing, karena dianggap paling tepat, baik secara materi, maupun non materi memimpin para Enis Madura yang berada di Desa Jemparing. Hal tersebut senada dengan yang apa key informan peneliti yang disampaikan ketika peneliti menanyakan bagaimana mekanisme pemeilihan ketua adat untuk Etnis Madura di Desa Jemparing ini. Beliau menjelaskan bahwa : “Penetapan pemilihan ketua adat bagi orang-orang Madura pada saat itu sebenarnya bukan karena keiginan saya pribadi, melainkan karena kesepakatan daripada orang-orang Madura sendiri dan sesepuh-sesepuh asli masyarakat Jemparing. Penetapan tersebut berlandaskan pada karena saya termasuk salah satu orang Madura lama juga yang merintis usaha bahan galian serta juga merupakan anggota DPRD Kabupten Paser pada saat itu, makanya dianggap paling bisa dan dapat di percaya mampu menjadi penengah atau penasehat ketika terjadi konflik”. (Ahmad Matori (Sumenep), 11 April 2016) Setelah bertanya kepada informan Pak Sahrudin mengenai mekanisme pemilihan pemimpin atau ketua adat Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing. Peneliti melihat bahwa dalam proses pemeilihan ketua adat/pemimpin mereka (Etnis Madura di Desa Jemparing), tidak terlepas dari faktor materi, itu menandakan bahwa secara tersirat status sosial dan kekayaan menjadi tolak ukur dijadikan seorang pemimpin bagi kelompok Etnis Madura di Desa Jemparing. 63 Setelah selesai bertanya terkait dengan hal di atas, peneliti melanjutkan pertanyaan mengenai struktur dalam komunitas atau paguyuban Etnis Madura di Desa Jemparing. Peneliti menanyakan hal tersebut sebab pada saat melakukan observasi dan wawancara di lapangan, peneliti tidak menemukan papan struktur kepengurusan yang terpampang baik itu dalam rumah Pak Matori selaku Ketua Adat Etnis Madura yang berada di Jemparing. Melihat hal tersebut peneliti mencoba bertanya kepada Pak Matori. Lalu kemudian beliau menjelaskan kembali “Kami di sini tidak memiliki struktur seperti paguyuban komunitas yang lainya. Hal itu berdasar, sebab bagi saya pribadi ketika ingin membentuk struktur Komunitas Madura takutnya akan menjadi bomerang bagi orangorang Madura dan dapat memicu ketegangan antar masyarakat Madura dengan masyrakat asli di sini. Selain itu pula yang saya khawatirkan bahwa jika dibentuknya struktur maka akan menyebabkan prasangka buruk buat kami sebagai masyarakat pendatang. Takutnya masyarakat asli sini mengira bahwa jika dibentuknya struktur tersebut, orang-orang Madura sedang membangun kekuatan”. (Ahmad Matori (Sumenep), 11 April 2016) Melihat dari pernyataan atau jawaban dari Pak Matori di atas peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata hal tersebut sengaja dilakukan sebagi bentuk untuk menghindari pransangka-prasangka buruk bagi semua pihak yang berada di Desa Jemparing, terlebih bagi Etnis Paser sendiri. Oleh karena itulah sehinggah hal tersebut tidak perlu dilakukan. 4.4.3 Peta Lokasi Bahan Galian C Peta lokasi penelitian berada di dusun 2 tepatnya di Rt 06. Jarak dari jalan pengubung antara Kabupaten Penajam Paser Utara - Kabupaten Paser sekitar 4-7 kilo dengan akses yang tidak bagus. Waktu yang digunakan kurang lebih 30 menit. Jalan menuju lokasi penelitian masih bebatuan dan sangat rusak, apalagi disaat musim penghujan saat ini, jalan semakin sulit untuk dilalui. Jalan berlobang-lobang 64 dengan penuh genangan air. Bagi kendaraan yang melewati jalan tersebut harus mengurangi volume kecepatan sebagai upaya untuk menghindari terjatuh ataupun tersangkut oleh bebatuan. Lebih jelasnya silahkan lihat gambar 4.1 di bawah ini: Gambar 4. 1 Kondisi Akses Menuju Lokasi Sumber : Dokumentasi Peneliti Dari gambar di atas dapat dilihat genangan air yang ada disepanjang jalan. Tentu hal ini akan membahayakan bagi pengendara baik itu sepeda motor maupun mobil ketika melintasinya. Hasil observasi di lokasi penelitian didapatkan bahwa telah terjadi miss komunikasi antara pihak pengelola dengan pihak pengembang, pihak pengembang di sini yaitu pihak pemerintahan Desa Jemparing. Pada dasarnya jalan atau akses jalan menuju ke lokasi Ombe merupakan salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah) Desa Jemparing. Sebab pada jalan tersebut telah dipasang portal jalan. Setiap kendaraan truck yang melewati jalan tersebut dikenakan biaya sebesar 5 ribu rupiah. Jadi hasil pendapatan selama perbulan dibagi ke dua pihak, yaitu pihak pengelola dan pengembang. 65 Sebagai contoh, jika penghasilan perbulan dari portal jalan tersebut adalah 3 juta rupiah, maka pembagiannya yaitu 1 juta rupiah untuk pihak pengembang (Pemerintahan Desa Jemparing), 1 juta untuk pihak pengelola, dan 1 juta lagi digunakan untuk perbaikan jalan. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih kongrit peneliti mencoba mendatangi kantor Desa Jemparing untuk menanykan hal tersebut. Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa Jemparing Ibu Hamidah, S.sos, ketika peneliti menanyakan kondisi jalan menuju lokasi ombe, beliau menjelaskan bahwa : “Sebenarnya jalan tersebut sebelumnya bagus-bagus saja. Semenjak ganti pengelola, jalannya hacur seperti sekarang. Sudah sering kali kami imbaukan kepada para supir, untuk membuat surat pengeluhan yang didalamnya para supir yang sering masuk ke lokasi tersebut untuk membuat pernyataan dirugikan dan distempel oleh rt setempat. Baru diajukan ke desa. Kami pihak desa bisa bertindak ada bukti secara formal, bukan cuma hanya sekedar omongan dari supir saja, harus ada bukti komplen secara tertulis”. (Hamidah (Bugis), Sekdes 15 April 2016) Dari penjelasan Ibu Hamidah di atas selaku Sekretaris Desa Jemparing dapat dilihat bahwa ternyata masalah jalan tersebut tidak lain adalah karena kelalaian dari pihak pengelola yang tidak melakukan perbaikan jalan serta miss komunikasi yang terjadi dari berbagai pihak, baik itu pihak pengelola, pengembang (Pemerintahan Desa Jemparing), dan pengguna jalan. Selain itu perlu diketahui bahwa untuk lokasi bahan galian C yang ada di desa Jemparing, terbagi menjadi 3 lokasi, yaitu lokasi Ombe, Perigi, dan Liang Buyung. Untuk lokasi penelitian yang saat ini peneliti lakukan berada di Ombe, tepatnya berada di RT 06 dusun 2. Untuk lokasi bahan galian C di Perigi berada di RT 02, sedangkan lokasi bahan galian C di Liyang Buyung berada di RT 10. 66 Mengapa peneliti melakukan penelitian hanya di lokasi Ombe? Karena, , hanya lokasi tersebut yang boleh dilakukan pertambangan. Untuk lokasi di Liyang Buyung akan dijadikan sebagai hutan adat, sebab daerah tersebut masih sterilisasi dan banyak terdapat peningalan-peninggalan nenek moyang masyarakat Desa Jemparing. Untuk lokasi di Perigi akan dijadikan sebagai tempat obyek wisata, sebab di lokasi Perigi terdapat 3 goa yang masih terjaga kealamiannya. 4.4.4 Posisi Pemukiman Imigran Madura Berdasarkan peta wilayah Desa Jemparing (peta terlampir), posisi pemukiman para Imigran Madura berada di dusun 2 (dua) tepatnya di RT 06 yaitu berada pada lokasi bahah galian C di Ombe. Lokasi tersebut merupakan salah satu dari 3 lokasi bahan galian C yang ada di Jemparing. Pemukiman Imigran Madura berjarak kurang lebih 4 - 7 kilo dari jalan penghugung antara Kabupaten Penajam Paser Utara - Kabupaten Paser dengan akses jalan yag rusak serta fasillitas yang kurang. Pemukiman para Imigran Madura ini hanya terfokus pada lokasi tersebut dan tidak tersebar ke wilayah lainnya. Terkecuali jika telah ada orang-orang Madura menikah dengan penduduk asli setempat, maka tempat tinggal tidak lagi berada pada lokasi tersebut. Jadi pemukiman para Imigran Madura ini memang terpisah dari pemukiman masyarakat Paser (asli). Hanya beberapa suku saja yang hidup berdampingan dengan para Imigran Madura tersebut, seperti Bugis, Jawa dan Lampung. Itu pun berada pada lokasi bahan galian di daerah depan. Sedangkan pada lokasi bahan galian bagian tengah dan dalam, sudah terfokus orang Madura semua. Kehidupan orang-orang Madura 67 ketika berada di perantauan lebih cenderung berkelompok daripada terpidah-pisah. Oleh karenanya banyak ditemukan diseluruh wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur pola-pola pemukian Etnis Madura akan menyatu pada satu lokasi tertentu. Hal tersebut bukan karena Etnis Madura tidak mau memisahkan diri dari kelompoknya ketika berada di perantauan, akan tetapi hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi Etnis Madura bahwa ketika berada di perantauan harus hidup berkelompok. Alasan mendasar bahwa hal tersebut dilakukan guna untuk saling melengkapi, menjaga, melindungi antar sesama Imigran Madura yang berada di perantauan. Pola yang dilakukan disaat hidup berkelompok akan semakin menambah hubungan yang semakin dalam, serta memupuk rasa solidaritas dalam suatu komunitas. Jadi tidak dapat dipungkiri rasa solidaritas dalam suatu komunitas ditentukan dari pola hubungan yang dibangun dalam komunitas tersebut. Imigran Madura yang berada di wilayah Ombe tersebut hampir memiliki keseharian bekerja sebagai pemecah batu. Oleh sebab itu dapat dikatakan wilayah Ombe merupakan kampung Etnis Madura. Berikut merupakan gambar dari lokasi bahan galian C yang berada di wilayah Ombe. Gambar 4.2 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Depan Area Depan 68 Area Depan Sumber : Dokumentasi Peneiti Dari gambar-gambar di atas dapat dilihat seorang anak mudah sedang memukul batu dan pemuda lainnya sedang memunguti batu. Lokasi bahan galian C yang berada pada wilayah Ombe, memiliki 3 area lokasi utama, yaitu area depan, tengah dan belakang. Pada ketiga gambar di atas yang peneliti tampilkan, merupakan area lokasi bahan galian yang berada pada area depan. Sedangkan untuk area bahan galian area tengah, tertera pada gambar 4.3 berikut ini : Gambar 4.3 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Tengah Area Tengah Area Tengah Area Tengah 69 Sumber: Dokumentasi Peneliti Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa area bahan galian tengah memiliki banyak hasil batuan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat lokasi bahan galian untuk area tengah memiliki area yang lebih luas dibandingkan lokasi bahan galian area depan. Sementara itu untuk lokasi bahan galian area belakang tampak seperti pada gambar 4.4 di bawah ini : Area Belakang Gambar 4.4 Lokasi Bahan Galian Ombe Area Belakang Sumber : Dokumentasi Peneliti Jadi foto-foto tersebut yang peneliti tampilkan di atas merupakan gambaran umum lokasi bahan galian di wilayah Ombe. Dari seluruh gambar yang telah ditampilkan di atas, tampak lokasi bahan galian C area depan, area tengah,serta area belakang. 4.4.5 Gambaran Perumahan Imigran Madura Perumahan para Imigran Madura di lokasi Ombe tersebut rata-rata terbuat dari papan kayu berukuran 3 x 4 namun ada juga yang berukuran 6 x 8. Untuk ukuran 6 x 8, hanya orang-orang tertentu saja yang memilinya, seperti kepala pekerja/bos buruh pemecah batu. Etnis Madura di lokasi Ombe tersebut 70 mengatakan tempat yang mereka tinggali saat ini lebih pantas disebut gubuk atau camp ketimbang rumah. Jarak antar rumah terpencar, sesuai dengan lokasi tempat bekerja. Untuk warna camp hampir secara keseluruan masih berupa cat dasar kayu/murni warna kayu. Hal tersebut sengaja dilakukan agar tidak menambah biaya cost dalam pembuatan camp. Sebab bagi Etnis Madura tempat tinggal yang mereka (Etnis Madura) tinggal saat ini, hanya bersifat sementara tidak permanen. Untuk lebih jelasnya terkait dengan gambaran camp etnis Madura yng berada di lokasi Ombe lihat pada gambar 4.5 di bawah ini : Gambar 4.5 Gambaran Perumahan Etnis Madura di Ombe Sumber : Dokumentasi Peneliti Dari kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa camp hanya berukuran 3x4 dan haya beratap seng dan daun serta dengan dinding kayu yang masih memiliki warna dasar kayu. Dari kedua gambar di atas dapat dilihat juga jarak antar rumah berjarak berkisaran 1-1,5 meter antar camp. 4.4.6 Aktivitas Keseharian Imigran Madura Aktivitas keseharian para pemecah batu Etnis Madura yang berada di lokasi Ombe dimulai pada pukul 7 pagi dan berakhir sekitar pukul 5 sore. Hitungan normal jam kerja bagi pemecah batu sekitar 9 jam kerja setiap harinya. Tetapi jika 71 pesanan batu sedang ramai, biasanya mereka (pemcah batu) bekerja hinggah jam 12 malam. Batasan sampai jam 12 malam, itu disebabkan karena distribus listrik yang masuk ke lokasi Ombe tidak ada. Etnis Madura menggunakan listrik dari mesin jenset/diesel yang hanya berlaku dari jam 4 sore sampai jam 12 malam. Dan hal itu dilakukan atas dasar kerjasama antar Etnis Madura yang berada di lokasi Ombe tersebut. Selain itu aktivitas lain yang dilakukan Etnis Madura di lokasi Ombe tersebut yaitu melakukan kajian turin setiap minggunya. Aktifitas tersebut merupakan bagian dari salah satu kebiasaan orang Madura di manapun mereka berada, selalu menjalankan kajian mendalam tentang Agama Islam. Bagi orang Madura belajar ilmu agama itu sangat pentiing sebab menjadi bekal hidup di akhirat. Mengkaji agama, beserta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan diri terhadap ilmu yan di dapat. Lebih jelasnya lihat pada gambar 4.6 di bawah ini mushola sebagai tempat orang Madura menjalankan aktivitas kajian keagamaan. Gambar 4.6 Mushola Sumber : dokumentasi lapangan 72 Dokumentasi Peneliti Tampak luar mushola diatas belum selesai pengerjaannya. Namun walaupu begitu, mushola tersebut masih bisa digunakan dalam keseharian spritualitas para Etnis Madura di lokasi Ombe tersebut. Selain itu mushola tersebut juga digunakan sebagai tempat diskusi dan berkumpul ketika membahas hal-hal yang dianggap penting. Selain kedua aktivitas di atas, aktivitas lainnya yang dilakukan para etnis Madura pemecah batu di lokasi Ombe tersebut yaitu bongkar muat batu yag dimasukan ke dalam truck sesuai dengan pesanan pembeli. Yang menarik dari hal bongkar muat ini adalah bongkar muat tersebut dilakukan secara manual dengan tidak ada satupun alat pengaman (safety) sesuai dengan standar operasional pekerja. Tentu hal ini sangat membahayakan nyawa atau keselamatan para pekerja. Jika menggunkan alat pengaman tentu akan mengeluarkan biaya cost lebih banyak. Oleh karenanya para pekerja diwajibkan harus bekerja secara hati-hati dan selalu focus terhadap setiap pekerjaan. Lihat gambar 4.7 proses bongkar muat batu secara manual berikut ini : Gambar 4.7 Proses Bongkar Muat Batu di Lokasi Ombe 73 Sumber : Dokumentasi peneliti Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses bongkar muat batu dilakukan secara manual. Hal tersebut dalam dunia kerja tidak dapat di benarkan, sebab tidak memenuhi kaidah standar operasioanal (SOP). Namun bagi pekerja batu hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Menggunkan alat berat tentu akan menambah besar biaya prroduksi, oleh karenanya untuk menekan biaya tersebut maka proses muat batu dilakukan secara manual dengan hati-hati. BAB V SOLIDARITAS IMIGRAN MADURA DI PERANTAUAN Pada bagian bab lima kali ini, peneliti akan menjelaskan hasil observasi dan penelitian pada saat peneliti melakukan penelitian di Desa Jemparing mengenai solidaritas Imigran Madura pada saat di perantauan. Peneliti melihat bahwa ada beberapa nilai yang dijunjung tinggi dalam proses membangun solidaritas di perantauan. Nilai-nilai tersebut terdiri dari nilai dan norma Etnis Madura, sistem 74 kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual-ritual keagamaan/komunitas, kegiatan-kegiatan rutin komunitas lain yang melekatkan komunitas, mekanisme penyelesaian konflik dalam komunitas dan luar komunitas, mekanisme pembangunan jaringan antar Etnis Madura di wilayah lain serta solidaritas mekanik dan solidaritas organik masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing. 5.1 Nilai dan Norma Etnis Madura Pada pembahasan nilai dan norma Etnis Madura, ada beberapa nilai yang akan dibahas di dalamnya, antara lain ajaran tentang kehidupan, ukuran kegagalan dalam hidup, dan nilai pembauran yang diterapkan di perantauan. 5.1.1 Ajaran Tentang Kehidupan Bagi masyarakat Madura ajaran tentang kehidupan merupakan perpaduan antara kehidupan dunia dan akhirat. Hidup dunia dan akhirat harus berjala secara berimbang. Sebab sebagai insan, atau manusia diwajibkan untuk selalu menggunakan karunia yang berikan Tuhan pada dirinya. Terutama yaitu akal. Sebab hanya akal yang kemudian mampu menilai mana yang benar dan salah. Selain itu hidup adalah perjuagan, artinya dalam menjalankan hidup tidak pantas untuk putus asa ataupun menyerah. Hal tersebut senada dengan apa yang kemudian di sampaikan oleh Bapak Matori dan Tirto sebagai key informan dalam penelitian ini. Beliau mengatakan : “Ajaran orang Madura tentang kehidupan adalah pertama untuk mengabdi kepada Gusti Allah SWT dan Rasulullah. Kedua dalam hidup harus bekerja keras dan pantang putus asa. Ketiga, saling tolong sesama”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) 75 Kemudian senada dengan apa yang di sampaikan oleh Bapak Tirto. Beliau mengatakan bahwa : “Wafil dunia walakhirat. Harus seimbang kehidupan dunia dan akhirat.tidak cepat putus asa dengan kehidupan”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Selain menanyakan kepada dua tokoh tersebut, peneliti juga menanyakan kepada salah satu pekerja Madura di wilayah tersebut, beliau mengatakan : “Pertama dalam hidup harus mandiri, tidak tergantung dengan orang lain. Kedua, tidak malu dalam bekerja apapun yang penting halal, ketiga harus berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat”. (Pekerja (Sampang), 18 April 2016) Bertolak dari wawancara yang dilakukan kepada 3 narasumber di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam ajaran tentang kehidupan bagi Etnis Madura yang utama dan terpenting adalah kehidupan yang berimbang antar kehidupan dunia dan akhirat. Selanjutnya dalam hidup ini juga diharuskan untuk bekerja keras dan pantang putus asa, karena dalam hidup ujian akan selalu datang silih berganti. Selain itu pula kita diwajibkan untuk saling tolong menolong sesama ketika mendapatkan masalah atau musibah. 5.1.2 Ukuran Kegagalan Dalam Hidup Gagal dalam bahasa Indonesia dapat di artikan sebagai keinginan atau citacita yang kemudian tidak dapat di wujudkan atau dicapai yang di sebabkan karena faktor material maupun inmaterial. Gagal dalam hidup, berarti apa yang dimpikan sebagai dari tujuan hidup sendiri tidak mampu terpenuhi. Setiap golongan, etnis 76 suku ataupun agama lainnya memiliki indikator tersendiri kegagalan dalam hidup yang kemudian mereka yakini dan jalani. Begitu pula dengan Etnis Madura. Dalam hidup ini, mereka meyakini bahwa orang-orang Madura yang gagal dalam hidup adalah mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannyaa dalam bertindak, dan hanya fokus untuk mencari harta dunia saja. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Matori dan Bapak Tirto terkait dengan ukuran Etnis Madura yang gagal dalam menjalankan kehidupan ini. Pak Matori menjelaskan : “ Mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannya untuk melihat kekuasaan Gusti Allah SWT, itulah orang-orang yang gagal. Selain itu, mementingkan urusan dunia, terlalu mencari harta dunia, tapi kufur nikhmat”. (Ahamd Matori (Sumenep), 17 April 2016) Perkataan Pak Matori, tidak jauh berbeda dengan apa yang di sampaikan oleh Pak Tirto mengenai cirri-ciri Etnis Madura yang gagal dalam hidupnya. Beliau menjelaskan : “Orang yang tidak bisa menerima keadaan hidupnya sekarang, (tidak bersykur), cepat putus asa, dan tidak ada iman dalam dirinya (mementingkan urusan dunia ketimbang akhirat )”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari hasil wawancara kedua tokoh tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi Etnis Madura ukuran kegagalan dalam menjalankan hidup ini yaitu, pertama terlalu mementingkan urusan dunia, dalam hal hal ini urusan akhirat di nomor duakan. Sedangkan prinsip dasar menyeimbangkan kehidupa dunia dan akhirat. orang-orang Madura adalah 77 Kedua, mereka yang tidak mampu menggunakan akal dan pikirannya untuk dapat pergunakan sebagai mana mestinya. Akal adalah salah satu pemberian Tuhan yang istmewa bagi manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ketiga, yaitu mereka yang tidak pandai bersykur atas nikmat Tuhan yang diberikan padanya. Padahal sebagaimana Allah menjelaskan bahwa “ jika kau bersyukur maka akan ku tambah rejeki mu”. Oleh karena itu, bagi Etnis Madura rasa syukur dalam menerima pemberian yang diberikan Tuhan itu penting. 5.1.3 Nilai Pembauran yang Diterapkan di Perantauan Nilai merupakan hasil daripada produk sosial yang kemudian menjadi landasan atau ukuran dalam berbuat dan bertindak. Nilai sering kali dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat ataupun kelompok sosial dalam menjalankan tatanan di dalam masyarakat. Menurut Spranger (Muhammad Ali, 2010) nilai adalah suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu ataupun kelompok untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam hal ini menurut Spranger (Muhammad Ali, 2010) individu diharapakan mampu memahami dan mempelajari dimanapun individu berada dalam situasi sosial tertentu. Hal ini ini sesuai dengan apa yang para Imigran Madura terapkan di Desa Jemparing. Dengan membawa tekanan dari perspektif masyarakat yang mengataka bahwa “Jangan berteman baik dengan orang Madura“. Menjadikan orang-orang Madura untuk dapat mempelajari dan menerima nilai-nilai yang ada di masyarakat Desa Jemparing agar memudahkan dalam proses pembauran dan interaksi. 78 Hingga saat ini, proses interaksi atau hubungan yang terjadi berjalan dengan baik dan sesuai dengan nilai yang ada di dalam masyarakat. Untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan hal tersebut peneliti mencoba bertaya dengan Bapak Matori dan Bapak Tirto. Bapak Matori menjelaskan : “Kita tinggal di kampUng orang, harus bisa menyesuaikan dengan adat budaya setempat. Untuk menghindari ketegangan antara kami sebagai pendatang dengan orang asli setempat kita harus mengikuti budaya kampung sini, adat daerah asal kalo bisa ditinggalkan yang bertentangan dengan budaya sini, tapi kalo budaya-budaya seperti pengajian, kajian keagamaan, harus tetap di jalankan, dimanapun berada, karena hal ini mendasar bagi Etnis Madura”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Penyampaian pak Matori kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan oleh pak Tirto. Pak Tirto menjelaskan bahwa : “Hidup di kampong orang mencari rejeki berarti harus bisa bisa menghormati dan menghargai budaya setempat, biar hidup rukun. dalam bermasyarakat, harus bisa saling menjaga perasaan, terutama dengan adat istadat. Di kampung orang, kita harus bisa bawa diri, soalnya kan di sini kita cari nafkah, jadi baik-baiklah bawa sikap”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada dua tokoh di atas didapatkan kesimpulan bahwa untuk dapat hidup dan berbaur dengan masyarakat setempat, para imigran Madura harus bisa beradaptasi dengan adat istiadat setempat. Para Imigran Madura harus bisa menjaga dan membawa diri dengan baik, sebab berada tinggal dikampung orang. Adat atau budaya yang sekiranya dapat bertentangan dengan budaya setempat harus bisa ditinggalkan. Namun untuk budaya seperti kajian keagamaan harus tetap di pertahankan, sebab hal tersebut sangat mendasar bagi Etnis Madura di manapun berada. 79 5.2 Sistem Kepemimpinan Pada pembahasan sistem kepemimpinan, ada beberapa nilai yang terkandung di dalam sistem kepemimpinan tersebut, nilai tersebut yaitu karakteristik seorang pemimpin serta orang yang paling dihormati/segani, dan sosok ‘kyai’ dalam pandangan Etnis Madura. 5.2.1 Karakteristik Pemimpin dan Orang yang Paling Dihormati/Segani Karakter dapat juga diartikan sebagai kreteria. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kreteria diartikan sebagai ukuran yang mendasar jadi penilaian atau penetepan sesuatu. Untuk mendapatkan hasil atau capaian yang maksimal, tentu harus memiliki standar yang baik. Oleh karenannya untuk menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas dan berkredibilitas, harus memiliki kreteria yang telah ditetapkan bersama. Pemimpin yaitu seseorang yang kemudian diberikan wewenang secara formal untuk dapat mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol bawahannya untuk dapat bertanggung jawab atas apa yang amanahkan padanya. Dalam hal ini pemimpin juga harus bisa menjadi suri teladan bagi bawahannya, serta mampu membuat para bawahannya berkembang menjadi lebih maju. Pemimpin yang baik atau ideal adalah seorang yan memiliki kredibilitas, stabilitas serta kapabilitas yang mempenghuni. Dalam hal ini pula Etnis Madura memiliki kreteria tersendiri bagi kelopomknya untuk dapat dijadikan seorang pemimpin dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Tentunya hal ini untuk menjaga stabilitas atau keseimbagan dalam tatanan sosial. Adapaun kreterai tersebut menurut key informan peneliti sebagai berikut : 80 “Untuk karakteristik seorag pemimpin bagi kami dapat dilihat dari ilmunya, agamanya, kewibawaanya, serta status sosialnya dalam masyarakat. Yang utama adalah ilmu agamanya, sebab bagi etnis kami ilmu agama itu merupakan bekal buat kehidupan akhira nanti. Dan Alhamdulillah untuk orang yang di hormati bagi sesama Etnis Madura di desa ini saya sendiri, selaku kepala adat/ketua daripada Imigran Madura di Desa Jemparing”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Penyampaian pak Matoti tersebut diperkuat dengan apa yang di sampaikan oleh pak Tirto. pak Tirto menjelaskan secara singkat bahwa : “Untuk dapat dijadikan seorang pemimpin bagi kelompok kami, kami melihat daripada ilmu , agama serta status sosialnya. Untuk orang yang paling disegani atau dihormati ya bapak Matori, selaku pimpinan atau ketua adat kami di sini”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Jika dilihat dari dua pernyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi Etnis Madura seorang pemimpin itu harus memiliki tiga kreteria, yaitu dari aspek ilmu, agama, serta status sosialnya. Hal ini penting sebab, pemimpin adalah contoh atau manifestasi dari kelompok mereka. Pemimpin harus bisa membawa pada arah yang baik serta mampu membawa pada perkembangan dan perubahan. 5.2.2 Kyai bagi Etnis Madura ‘Kyai’ dalam konteks Indonesia tidak asing lagi untuk di dengar. Hal ini karena sebutan ‘Kyai’ indentik dengan lingkungan pesantren. Menurut pendapat beberapa ahli menjelaskan bahwa ‘kyai’ itu diambil dari bahasa Persia (Irak) yaitu dari kata kia-kia yang berarti senang melakukan perjalanan atau juga bisa disebut sebagai orang terpandang. Dalam konteks ini, orang terpandang dapat diartikan sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan yang tinggi atau hebat serta 81 mahabbah terhadap ummat artinya sayang terhadap umat melalui penyebaran ilmu agamanya. Bagi Etnis Madura sendiri, ‘Kyai’ merupakan sosok yang paling dihormati/disegani di dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Madura. Sebab masyarakat Madura percaya bahwa ‘Kyai’ adalah sosok yang kemudian dapat menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, segala macam permasalahan baik urusan dunia maupun akhirat, ‘Kyai’ lah tempat mereka mencari solusi. Hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh narasumber peneliti, sebagai berikut : “Bagi kami (Etnis Madura ), ‘kyai’ adalah sosok yang mampu membimbing kami menuju keselamatan dunia dan akhirat. Orang yang tinggi ilmu agamanya, sudah pasti akan selalu dekat dengan Gusti Allah. Seperti pesan Rasulullah, bahwa setelahnya tidak aka nada lagi Nabi, dan maka ikutilah para Ulama. Dibilang paling di hormati dan disegani, iya benar”. (Ahamd Matori (Sumenep), 17 April 2016) Demikian kutipan yang ambil dari wawancara dengan Pak Matori selaku pimpinan Etnis Madura di Desa Jemparing. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Pak Matori, Pak Tirto menjelaskan mengenai pandagan mereka terhadap seorang ‘Kyai’ beliau menjelaskan : “Namanya juga berarti ilmu agamanya sudah dalam. ‘Kyai’ itu ibarat jalan kita menuju surga. Makanya dimanapun kami berada kami selalu hormat dan cium tangan sebagai panutan kami, dan itu sudah menjadi tradisi bagi etnis kami untuk selalu tawadhu kepada ulama. Oleh karena itu tawadhu kepada seorang ulama merupakan ibadah”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) 82 Dari penyampaian Pak Matori dan Pak Tirto, dapat disimpulkan bahwa hormatdan tawadhunya orang-orang Madura terhadap sosok soerang ‘kyai’ merupaka sebuah tradisi yang telah diajarkan oleh orag-orang terdahulu. Dan hal tersebut menjadi sebuah tradisi yang dipertahankan hingga saaat ini. Oleh karenanya tidaklah heran ketika melihat orang Madura di manapun mereka berada ketika bertemu seorang ‘Kyai’ selalu mencium tangannya. Sebab, bagi orang Madura mencium tangan ‘Kyai’ merupakan ngarap barokah atau mengarapakan barokah daripada kealiman seorang ‘ kyai’. 5.3 Sistem Stratifikasi Komunitas Stratifikasi berasal dari bahasa latin, yaitu stratum, yang berarti tingkatan. Stratifikasi dapat juga diartikan sebagai lapisan-lapisan atau pengelompokan sosial dalam suatu masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya. Dalam hal status yang dimiliki tersebut dapat berupa status karena kekayaan, jabatan, kekuasaan, ilmu pengetahuannya, maupaun penghargaan karena suatu prestasi. Karena sebab inilah dalam masyarakat terbagi menjadi bebrapa lapisan dari yang berada di atas, tengah, maupun bawah. Pada umumnya stratatifikasi yang terjadi di dalam masyarakat terbagi menjadi dua bagian, yaitu stratifikasi sosial yang sifatnya tertutup, dan stratifikasi sosial yang sifatnya tertbuka. Stratifikasi sosial yang sifatnya tertutup dapat diartikan bahwa, setiap anggota/individu tidak bisa pindah ke tingkatan sosial yang lebih tinggi. Dia hanya akan berada pada posisi lapisan yang dia miliki sekarang hingga nanti tak pernah berubah. Contoh daripada pola ini yaitu yang terjadi pada sistem kasta masyarakat hindu. 83 Selanjutya stratifikasi sosial yang sifatnya terbuka diartikan bahwa setiap anggota/individu dapat berpindah dari setiap tingkatan satu ketingkatan lainnya. Dalam hal ini, bisa terjadi karena faktor pendukung seperti kekayaa, ilmu pengetahuan, jabatan, serta penghargaan. Lalu bagaimanana dengan sistem stratifiksi Etnis Madura? Menurut peneliti stratifikasi yang terjadi di Etnis Madura bersifat terbuka, sebab pada dasarnya ketika menjadikan seorang pemimpin dalam suatu kelompoknya, tidak terlepas daripada unsure status sosialnya, dalam hal ini dapat dilihat dari kekayaannya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh narasumber peneliti, yang mengatakan bahwa : “Pertama, sistem stratifikasi yang ada di sini pada umumnya sama denga apa yang terjadi di Madura. Tidak bisa dipungkiri, bagi masyarakat Madura harta itu penting, untuk menaikkan status sosial. Oleh karenanya banyak masyarakat Madura, yang awalnya tidak memiliki apa-apa, kemudian berusaha, kerja keras, dan akhirnya berhasil, naik statusnya di dalam masyarakat, terutama dalam kelmpoknya. Contohnya saya sendiri”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Demikian pula yang disampaikan oleh bapak Tirto secara singkat, beliau menjelaskan bahwa : “Bagi masyarakat Madura, harta penting untuk merubah status. Sama aja kaya di Madura di sini stratifikasinya”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari pernyataan kedua narasuber di atas terkait dengan sistem stratifikasi Etnis Madura tidak ada perbedaan dengan yang terjadi daerah asal. Sebab, hal tersebut berlaku secara umum, di manapun Etnis Madura berada. 84 5.4 Ritual-ritual Keagamaan Komunitas Pada pembahasan mengenai ritual-ritual keagamaan komunitas, terdapat beberapa nilai yang ada di dalamnya, antara lain, ritual keagamaan sebagai perekat sesama imigran Madura, dan kajian keagamaan bersama masyarakat setempat. 5.4.1 Ritual Keagamaan sebagai Perekat Sesama Imigran Madura Agama merupakan suatu hal yang begitu sakral bagi manusa. Agama merupakan cerminan daripada keyakinan manusia terhadap Tuhan-Nya. Dalam hal ini agama dapat berperan sebagai pengikat atau pengontrol dari sebuah perilaku personal. Agama pada dasarnya mengatur tentang bagaimana manusia dapat hidup bersama, berdampingan dan saling berinteraksi di dalam sebuah perbedaan. Kata agama sendiri berasal dri bahasa sanksekerta yang berarti ‘tradisi’. Sedangkan kata latinnya terdiri dari kata le-ligare yang berarti mengikat kembali. Hal ini menyatakan bahwa orang yang beragama adalah orang yang menghambakan dirinya pada Tuhan-Nya. Agama pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Agama terkadang mengikuti pola-pola tradisi/budaya masyarakat setempat. Hal ini menjelaskan bahwa agama itu bersifat fleksibel dan tidak ruwet. Hal inilah yang kemudian diterapkan oleh para wali songo dalam menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa pada masa silam. Hinggah kini tradisi itupun masih berlangsung. Salah satunya yaitu tradisi atau budaya untuk kajian keagamaan sebagai salah satu perekat hubugan yang dilakukan oleh Etnis Madura di manapun mereka berada. Contohnya adalah Etnis Madura yang berada di Desa 85 Jemparing yang peneliti teliti. Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing pada hari-hari tertentu juga melaksankan kajian-kajian keagamaan tersebut. Untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas terkait dengan hal ini peneliti menanyakan dengan sumber key informan peneliti. Hasil wawancara tersebut sebagai berikut : “Pada dasarnya emang ada kajian-kajian keagamaan yang etnis kami(Madura) laksanakan pada malam-malam tertentu biasanya, 2 kali seminggu dilakukan setiap malam rabu dan jumat. Pada dasarnya ini tujuanya bukan sebagai perekat hubungan, ini pesan leluhur/budaya untuk tetap dijalankan di manapun kami berada. Namun jika orang luar melihat ini sebagai usaha kelompok kami untuk menguatkan diri, silahka saja menilai. Bagi kami ini sebuah tradisi dan harus diteruskan hinggah cucu cicit kami nantinya”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Selanjutnya peneliti juga bertanya dengan Bapak Tirto Kusumo selaku orang yang berpengaruh di lingkungan Etnis Madura/kepala pekerja. Beliau menjelakan secara singkat bahwa : “Ada, kajian keagamaan setiap malam rabu dan jumat tempatya di mushola sebelah rumah. Hal ini rutin dilakukan sebagai salah bukti syukur kami terhadap pemberian Tuhan”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing dalam hal ritual keagamaan, di manapun mereka berada baik di daerah asal maupun di perantauan akan tetap melaksanakan kajian-kajian agama, sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan. Dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah perekat/solidaritas sesama Imigran Madura di perantauan. 5.4.2 Kajian Keagamaan Bersama Masyarakat Setempat 86 Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing selain melakukan kajian keagamaan bersama dalam kelompoknya, juga melakukan perluasan kajian bersama dengan masyarakat setempat. Hal ini dilakukan setelah konflik yang terjadi antara Etnis Madura dengan Etnis Paser pada tahun 2008 silam. Hal ini bertujuan untuk membangun kembali hubungan antar kedua etnis pasca konflik. Selain itu pula hal ini dilakukan sebagai upaya penyebaran nilai-nilai Islam kepada masyarakat setempat. Ini dilakukan mengingat bahwa hampir keseluruan masyarakat Jemparing masih kental akan animisme dan dinamisem walaupun semua beragama Agama Islam. Sebagaimana yang ditahu bahwa sebagian masyarakat setempat masih kental dengan hal yang terkait dengan animisme ataupun dinasmisme walaupun sebenarnya rata-rata masyarakat setempat memeluk Agama Islam. Walaupun dengan sterotip yang buruk yang melekat pada Etnis Madura, merek mencoba untuk membuktikan bahwa, apa yang selama ini melekat pada etnis mereka terkait dengan steorotip buruk, tidak selalu benar adanya. Walaupun terkadang di mana ada perkumpulan Etnis Madura di suatu daerah selalu menimbulkan konflik. Itu tidak dapat dipungkiri. Namun bukan berarti selamanya perlakuan Etnis Madura terhadap lingkungan sekitar mencerminkan perilaku yang buruk. Dari sinilah Etnis Madura mencoba membaur, membuka diri dengan masyarakat setempat agar dapat diterima secara terbuka olah masyarakat Kalimantan khusunya dan pada masyarakat pada umumnya. Hasil daripada aktivitas yang dilakukan Etnis Madura tersebut membawa dampak positif bagi kelompok mereka, alhasil etnis mereka sejauh ini 87 diterima oleh masyarakat Jemparing hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan berjalannya aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh kedua masyarakat setempat. Etnis Madura bersama dengan masyarakat setempat melaksanakan kajian keagamaan bersama sebagai salah satu wujud dalam merekatkan hubungan sesama manusia. Untuk lebih jelasnya peneliti mencoba menanyakan keada key informan terkait dengan hal tersebut. Hasil dari wawancara tersebut sebagai berikut : “Dalam hal ini, ada kajian keagamaan yang dilakukan bersama antar kami(Etnis Madura) bersama masyarakat setempat. Biasanya aktivitas seperti ini dilakukan seminggu sekali. Alhamdulillah kegiatan tersebut diterima baik oleh masyarakat sekitar. Sebab masyarakat sekitar sini walaupun Islam tetap masih mempercayai animisme dan dinamisme yang kuat”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Senada dengan apa yang disampaikan oleh Pak Matori, Bapak Tirto sebagi key informan peneliti juga mengatakan bahwa : “Ada pengajian bersama antara Etnis Madura dan masyarakat setempat. Tidak hanya bapak-bapaknya, tapi juga ada pengajian ibu-ibunya, ada orang Banjar, Madura, Bugis, Paser dan Jawa. Campur pokoknya. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpula sementara bahwa dalam hal kajian keagamaan yang dilakukan bersama antara Etnis Madura dengan masyarakat sekitar merupak salah satu wujud untuk merekatkan hubungan antar ke duanya serta menemptkan posisi Etnis Madura untun bisa diterima di dalam masyarakat. 5.5 Kegiatan Rutin Komunitas Lain yang Melekatkan Komunitas Pada pembahasan mengenai kegiatan rutin komunitas lain dalam melekatkan komnitas, terdapat beberapa niai yang terkadung di dalamnya, seperti, 88 hal apa yang dilakukan dalam membangun silahturahim sesama Imigran Madura di perantauan, penggalangan dana ketika sesam Etnis Madura mengalami musibah/sakit, dan saat mengalami jalan buntu, bagaimana mencari jalan keluarnya. 5.5.1 Kegiatan Individu dalam Membangun Silahturahim Sesama Imigran Madura di Peratauan Berada di tanah perantaaun tentu saja akan lebih susah survive ketika tidak memiliki skil atau keahlian sebagai alat utama untuk melanjutkan hidup. Terlebih lagi ketika tidak memiliki kenalan atau sanak saudara sebagai tempat bernaung sementara. Banyak kasus yang terjadi di kota-kota besar, contohnya saja di daerah ibu Kota Jakarta. Banyaknya masyarakat dari pedesaan yang mencoba peruntungan untuk merantau ke ibu kota dengan harapan dapat merubah kehidupannya yang jauh lebih baik nyatanya bertolak belakang dengan impiannya. Yang terjadi adalah mereka hanya menjadi pengangguran, pengemis, bahkan gelandagan. Ini semakin membuat suasana tataran kehidupan di perkotaan semakin memburuk. Hal inilah yang kemudian sangat dihindari dari Etnis Madura. Bagi Etnis Madura ketika pertama kali merantau ke wilayah lain, yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari teman atau sanak saudara. Ini sudah menjadi sebuah tradisi bagi Etnis Madura. Tujuannya untuk memberikan pengertian kepada si perantau untuk menghilangkan rasa kesepian dari dirinya. Bagi Etnis Madura menjaga silahtuahim itu sangat penting. Terlebih lagi ketika berada di perantauan. Sebab ketika terjadi sesuatu kepada diri kita yang dapat membantu adalah teman ataupun sanak saudara. 89 Begitulah yang Imigran Madura di Desa Jemparing lakukan. Demi menjaga stabilitas kehidupan sosial antar mereka (Etnis Madura), mereka menjaga hubungan silahturahim dengan cara saling berkunjung ke tempat sanak saudara, dan ngumpul bersama di waktu luang. Hal ini dilakukan selain untuk menjaga hubungan antar mereka (Etnis Madura), juga sebagai penghilang kejenuhan karena aktivitas pekerjaan. Pernyataan diatas sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak Matori. Pak Matori mengatakan bahwa : “Kami di sini ketika ada waktu luang kami (Etnis Madura) manfaatkan untuk berkumpul bersama dan saling mengunjungi saudara ditempat lain. Itu guna sebagai upaya menjaga tali silahturahim kami supaya tidak putus. Banyak hal yang biasanya di obrolin. Bisa masalah agama, ataupun pekerjaan. Namun intensitasnya tidak begitu sering. Kalo untuk yang kita-kita di dekat sini, biasanya ngumpul di warung kopi sambil ceritaan’’. (Ahamd Matori (Sumenep), 18 April 2016) Selain Pak Matori, Pak Tirto juga menjelaskan secara sigkat bahwa : “Biasanya kami sering ngumpul dan berkunjung saja ketika ada waktu luang”. (Tirto kusumo (Jember), 18 April 2016) Bertolak dari kedua penjelasan key informan peneliti, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam membangun ataupun menjaga hubungan silahturahim antar sesama mereka, hal yang dilakukan adalah saling mengunjungi dan berkumpul bersama ketika ada waktu luang. 5.5.2 Penggalangan Dana Ketika Sesama Imigran Madura Mengalami Musibah 90 Penggalangan dana yang dilakukan oleh sesama Imigran Madura ketika saudaranya mengalami sakit atau mendapatkan musibah ada dilakukan di Desa Jemparing. Biasanya yang menjadi kordinator adalah kepala pekerja masingmasing. Pada saat salah satu pekerjanya mendapatkan kecelakaan kerja atau musibah. Masing-masing dari kepala pekerja berkumpul dan membicarakan hal tersebut secara terbuka. Ketika masalahnya kecil maka hanya kepala kepala pekerja saja yang berkumpul. Namun ketika masalah tersebut besar, biasanya kepala pekerja mengumpulkan juga para pekerjanya beserta kordinator pengurus Imigran Madura di daerah tersebut. Ini merupakan salah satu wujud kesolidtan antar sesama mereka. Namun bantuan dana yang dikumpulkan biasanya meyesuaikan dengan kemampauan masing-masing para pekerja. Bantuan dana bisanya lebih banyak diberikan oleh kepala pekerja. Hal ini senada dengan apa yang di sampaikan oleh Pak Matori selaku kepala adat Imigran Madura di Desa Jemparing. Beliau mengatakan : “Penggalangan dana ada dilakukan. Hal tersebut sebagai salah satu wujud kami saling menjaga dan menolong sesama Imigran Madura yang berada di perantauan. Hanya saja bantuan biasanya diberikan menyesuaiakn denga kemampuan masing-masing. Ya paling banyak bantu ya bosnya atau kepala pekerjanya”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Tidak jauh berbeda apa yang kemudian dikatakan Pak Matori dengan pak Tirto. Pak Tirto menjelaskan secara singkat bahwa : “Ya ada, namanya juga sama-sama di perantauan, kalo ada apa-apa, pasti saling bantu”. 91 (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari kedua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa penggalangan dana ada dilakukan ketika sesama Imigran Madura mendapatkan musibah atau masalah. Namun dalam hal ini bantuan dana yang diberikan menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu. Biasanya kepala pekerja yang lebih banyak banyak membantu. Hal ini dilakukan sebagai wujud satu nasib di perantauan. 5.5.3 Mencari Bantuan Ketika Mengalami Jalan Buntu dalam Permasalahan Dalam hidup ini tentu saja akan datang suatu saat masalah ataupun musibah dalam kehidupan kita. Hal itu mutlak terjadi, dan tidak dapat dihindari. Hanya saja, proses terjadinya yang kemudian akan berbeda dengan yang lainnya. Bisa bersifat individu maupun bersifat kelompok (sosial). Tentu saja tidak semua permasalahan kemudian dapat dislesaikan denga mudah. Ada masaslah-masalah yang sulit untuk diselesaikan karena beberapa faktor. Hal ini berlaku secara umum. Begitu pula yang terjadi dengan Etnis Madura yang berada di Desa Jemparing. Ketika kelompok mereka (Etnis Madura) mendapatkan suatu masalah dalam komunitasnya, mereka tentunya akan menyelesaikan berdasarkan aturan aturan yang telah ditetpkan dalam kelompoknya. Namun bila masalah yang terjadi diluar komunitasya, tentu saja metode penyelesaiannya akan berbeda. Tentu akan proses mediasi dari berbagai pihak dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Pak Matori selaku ketua adat Etnis Madura di Desa Jemparing mengatakan: 92 “Kalo misalkan masalahnya besar dan tidak dapat dicari jalan keluarnya, biasanya saya berdiskusi dengan orang asli Paser ini, maksudnya sama sesepuh-sesepuhnya. Kalo menyangkut masalah kedua suku kami. Terkadang juga kami meminta bantuan atau solusi kepada para ‘Kyai’ kami.itu kalau masalahnya dalam komunitas kami saja”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Tidak jauh berbeda dengan apa yang kemduian disampaikan oleh Pak Matori, Pak Tirto juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Beliau mengatakan : “Biasanya kami (saya dan Pak Matori), berdiskusi dengan tokoh adat sini kalo masalahnya menyangku kedua suku. Kalo cuma dalam komunitas kami (Etnis Madura), paling mentok kami minta saran dan masukan sama para ‘Kyai’ di luar (pesantren)”. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Jika dilihat dari kedua pernyataan di atas peneliti dapat menyimpulkan sementara bahwa, ketika mengalami suatu masalah masalah yang berada dalam komunitasnya dan mengalami jalan buntu, mereka akan meminta bantuan kepada para ‘Kyai’, untuk mendapatkan masukan dan saran-saran. Namun ketika masalah tersebut menyagkut kedua belah pihak/suku antara Etnis Madura dengan etnis setempat, maka penyelesaiannya dengan cara mediasi antar ketua adat dengan sesepuh-sesepuh kampung di Desa Jemparing. 5.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik dalam dan luar Komunitas Pada pembahasan mengenai mekanisme penyelesaian konflik dalam komunitas/luar, ada beberapa nilai yang terkandung di dalamnya yang selanjutnya hal tersebutlah yang akan dibahas. Hal tersebut antara lain,ketegangan/konflik Etnis 93 Madura dengan Etnis Paser dan metode penyelesaian koflik, serta hubungan kedua belah pihak setelah konflik. 5.6.1 Mekanisme Penyelesaian Konflik Etnis Madura dengan Etnis Paser Konflik secara sederhana dapat diartikan sebagai pertentangan antara kedua belah pihak dalam mencapai tujuan. Selain itu menurut Lewis A. Coser (Coser, 1975 210-211), konflik merupakan perjuagan nilai atau tuntutan atas status. Dalam kehidupan bermasyarakat, konflik tidak dapat dihindari. Ibarat dua sisi mata uang, konflik hadir bersemayam dalam kehidupan bermasyarakat. Namun instensitas konflik dapat diredam dengan cara mengetahui hal-hal yang selanjutnya dapat memicu sebuah konflik. Ketegangan atau konflik antara Etnis Madura dengan etnis luar (Paser) di Desa Jemparing pernah terjadi pada tahun 2008. Penyebab konflik karena kesalapahaman antara kedua pemuda Desa tersebut pada saat malam pembagian hadiah kegiatan 17 Agustusan. Pemuda dari Etnis Paser pada saat melakukan pembersihan tempat acara setelah kegiatan selesai, tidak sengaja pada saat mengangkat kursi, mengenai anak dari salah satu pemuda Madura. Melihat anaknya menangis seketika, pemuda Madura tersebut mengacungkan celurit ke hadapan pemuda Paser tersebut, dan suasana seketika menjadi tegang antar kedua etnis tersebut, terutama golongan pemuda-pemuda. Namun hal tersebut tidak sempat menimbulkan pertumpahan darah atau menyebabkan korban jiwa dari kedua pihak. Karena seketika ditengahkan dari Tokoh Adat Paser di desa tersebut. Merasa di rendahkan atau dihina, pemudapemuda Paser tidak terima, esoknya Etnis Madura dikepung oleh Etnis Paser yang 94 berasal dari berbagai wilayah, diantaranya, Sepaku, Long Kali, Grogot, Sotek, dan kelompok Ormas Gepak, karena berita tersebut setelah kejadin tersebar kebeberapa wilayah di daerah Paser dan Penajam Paser Utara. Terlepas dari itu, penyebab konflik juga karena disebabkan karena perbedaan budaya antar kedua etnis tersebut. Karena bagi masyarakat Madura membawa celurit pada saat bepergian kemana-mana merupakan hal yang biasa atau bahkan sudah menjadi budaya Etnis Madura, namun bagi orang Paser hal tersebut tidak pantas dan mengisyaratkan untuk menantang untuk berdual, karena itu telah terjadi mist budaya antar kedua etnis tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan konflik tersebut, peneliti bertanya dengan ketua adat Etnis Madura di Desa Jemparing, yaitu bapak Matori. Beliau menjelaskan bahwa : “Pernah terjadi dengan suku paser sini. Tahun 2008 kejadiannya. Cuma salah paham saja sebenarnya. Biasa anak muda. Bagi etnis kami (Madura) membawa celurit saat bepergian sudah menjadi hal biasa. Cuma kan bagi masyarakat Paser, lain pandagannya. Akhirnya disepakati bahwa penyelesaian dibawa ke hukum adat dan disetujui orang Madura dan orang Paser. Orang Madura disuruh menyembelih satu ekor sapi dan kami merayakannya bersama di lapangan”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Untuk mempekuat pernyataan Pak Matori, peneliti juga bertanya dengan Pak Tirto selaku kordinator Imigran Madura yang berada di daerah galian batu, di wilayah Ombe. Beliau mengatakan bahwa : “Pernah terjadi, sudah lama kejadiannya. Keponakannya Pak Matori sendiri, kebetulan baru datang dari Madura. Gara-gara si Rohim bawa celurit trus acungkan celurit ke mukanya pemuda Paser, terjadilah konflik, tapi alhamdulillah, tidak sempat terjadi kontak fisik, soalnya cepat dilerai. Akhirnya, kami dikenakan hukum adat. Waktu itu kami bertukaran budaya, orang Paser memberikan mandau kepada Tokoh Adat Madura, orang Madura memberikan celurit kepada Tokoh Adat Paser”. 95 (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Dari penjelasan kedua tokoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, penyebab konflik yang terjadi antara Etnis Madura dengan Etnis Paser di Desa Jemparing pada tahun 2008 sebenarnya disebabkan karena faktor kesalapahaman antar kedua pemuda desa serta perbedaan budaya antar kedua etnis. Bagi Etnis Madura membawa celurit kemanapun ketika mereka bepergian adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Namun bagi Etnis Paser hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karna sama saja dengan menantang. Namun konflik dapat diredam dan tidak sempat menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Akhirnya, penyelesaian konflik diselesaikan secara hukum adat. Etnis Madura dikenakan hukum Adat Paser dengan cara menyembelih seekor sapi (upacara belian) dan dirayakan bersama antar kedua suku. Semenjak hal itu dilakukan, hinggah saat ini tidak pernah terjadi lagi konflik antar kedua etnis tersebut. 5.6.2 Hubungan Etnis Madura dan Etnis Paser Pasca Konflik Konflik yang terjadi pada tahun 2008 silam antar Etnis Madura dengan Etnis Paser tentu membuat bekas yang dalam terutama bagi Etnis Madura sebagai etnis pendatang. Namun hal tersebut tidak menjadikan Etnis Madura menutup diri bahkan mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di Desa Jemparing. Justru setelah terjadinya konflik tersebut Etnis Madura mencoba lebih terbuka dan fleksibel terhadap perlakuan masyarakat setempat. Dalam artian, bahwa Etnis Madura lebih bisa membaur dan bersatu dengan masyarakat setempat. 96 Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah apalagi setelah terjadinya konflik. Namun tekad kuat dari kelompok Etnis Madura untuk dapat di terima kembali membuahkan hasil. Terbukti, sejak terjadinya konflik pada tahun 2008 silam hinggah kini ketegangan besar antar kedua belah etnis belum pernah terjadi. Hal tersebut menandakan bahwa sejauh ini hubungan pasca konflik berjalan dengan baik yang ditandakan dengan dijalankannya progam kajian bersama antar etnis, kegiatan olahraga bersama dan berkumpul bersama (nongkrong). Tentu hal ini berdampak baik dari berbagai pihak. Sesuai dengan perkataaan Bapak Matori, beliau menjelaskan : “Alhamdulillah sejauh ini hubungan kami dengan masyarakat sekitar pasca konflik yang terjadi pada tahu 2008 silam berjalan dengan baik dan aman saja. Sampai saat ini belum pernah terjadi ketegangan kembali. Kami hidup rukun bersama”. (Ahmad Matori (Sumenep), April 2016) Senada dengan yang di sampaikan oleh pak Matori, pak Tirto juga menjelaskan bahwa : “Hubungan kami baik saja, rukun. Setelah kejadian waktu itu, hubungan kami semakin membaik. (Tirto Kusumo (Jember), 18 April 2016) Berdasarkan dari penjelasan kedua narasumber di atas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubugan yang terjadi antar kedua etnis pasca konflik pada tahun 2008 silam berjalan denga baik semakin rukun dalam bermasyarakat. Hal itu ditandai dengan adanya kajian agama yang dilakukan bersama antar kedua 97 belah piha. Serta hingga sampai saat ini, tidak pernah terjadi ketegangan anatar kedua etnis tersebut. 5.7 Mekanisme Pembangunan Jaringan dengan Etnis Madura di Wilayah Lain Pembangunan jaringan yang dilakukan pada umumnya dimaksudkan sebagai perekat atau penguat hubungan yang terjadi dari berbagai pihak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan yang ada dari setiap individu maupun kelompok. Kepetingan dalam hal ini, bisa bersifat politis, sosial maupun ekonomis. Dalam hal ini, kaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan terhadap Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing didapatkan bahwa ternyata dalam dalam hal pembangunan jaringan antar wilayah dilakukan semata-mata bersifat politis. Hal tersebut terbukti dari pernyataan ketua adat Imigran Madura Desa Jemparing ketika peneliti menanyakan hal yang terkait dengan pembagunan jaringan antar wilayah lain. Beliau menjelaskan bahwa : “Dalam hal ini, saya tidak bisa katakan apakah ini termasuk pembangunan jaringan apa tidak. Hanya saja, setiap bulannya saya selaku ketua adat bagi Etnis Madura yang ada di Desa Jemparing ini, melakukan pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan setiap bulan sekali. Petemuan tersebut kadang di Gorogot, Long Kali, Balikpapan, ataupun Samarinda, bahkan ke daerah Banjar juga pernah”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Setelah menanyakan hal tersebut, peneliti coba meneruskan bertanya apa yang di bahas dalam petemuan tersebut. Beliau menjelaskan kembali bahwa : “Pertemuan cuma membahas terkait dengan masalah keagamaan atau syiar. Kebetulan saya punya pesantren di daerah Long Kali, dan kebetulan saya ketua dari yayasan pesantren yang ada di daerah Long 98 Kali. Terlepas dari itu, ada juga pembahasan perihal usaha, kerjaan serta bisnis”. (Ahmad Matori (Sumenep), 17 April 2016) Untuk menguatkan argument atau pernyataan dari Pak Matori, peneliti coba kembali menanyakan dengan narasumber lainnya yaitu Pak Tirto selaku key informan peneliti. Beliau menejalaskan bahwa : “Untuk masalah pertemuan-pertemuan begitu biasanya Pak Matori yang jalan. Biasanya setiap bulan selalu keluar kota beliau, bertemu dengan sesama orang Madura”. (Tirto Kusuomo (Jember), 18 April 2016) Dari penjelsan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata dalam proses pembangunan jaringan terhadap sesama imigran di wilayah lain ada dilakukan. Dan hal tersebut dilakukan oleh ketua adat. Mengapa hal tersebut hanya dilakukan oleh ketua adat Madura di Desa Jemparing saja, sebab hanya beliaulah yang sejauh ini mempunyai akses ke wilayah lainnya. Dari penjelasan dan pembahasan ketujuh point yang peneliti teliti di atas dapat dilihat secara garis besar bagaimana sebenarnya keberadaan Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing saat ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam peneliti akan tampilkan hasil wawancara serta pembahasan dengan para pekerja Etnis Madura yang bekerja sebagai pemecah batu di lokasi Ombe dan penduduk asli Desa Jemparing. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar informasi yang didapatkan lebih lengkap dan dalam. 99 Dari hasil wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian kepada para pekerja batu dan masyarakat Desa Jemparing, didapatkan hasil seperti yang tertera pada tabel 5.1 di bawah berikut ini : Tabel 5.1 Faktor Penarik Migrasi No Pertanyaan Hal Pokok Hasil Wawancara 1. Alasan migrasi? Lapangan pekerjaan susah Khairil 55 Tahun: Di Madura kerjaan susah. Eko 60 Tahun : Kerjaan susah di Madura. 2. Dapat info dari siapa? Dari kerabat Dulhadi : Susah cari kerjaan. Khairil 55 Tahun : Diajak teman Eko 60 Tahun : Dari kerabat Dulhadi : Dari keluarga 3. Di Madura kerja apa? Buruh Khairil 55Tahun : Buruh Eko 60 Tahun : Tukang becak Dulhadi : Tukang becak 4. 5. Berapa Tidak cukup Penghasilannya ? apa cukup untuk kebutuhan anak istri sehari- hari ? Bagaimana kerjaan di Lebih dari cukup sini, apak cukup untuk keluarga ? Khairil 55 Tidak tentu Tahun : Eko 60 Tahun :1250 Dulhadi : 1000 Khairil 55 Tahun :1-2 juta sebulan. Eko 60 Tahun : Lebih dari cukup 100 6. 7. Bagaimana kerukunan Kurang lebih sama tetangga di sini, apa sama atau berbeda dengan daerah asal ? Bagaimana solidaritas Solid di perantauan ketika ada masalah? Dulhadi : Lebih dari cukup Khairil 55 Tahun : Agak sedikit sama Eko 60 Tahun : Tergantung pribadi membawa diri Dulhadi : Kurang lebih sama Khairil 55 Tahun : Lebih erat di sini Eko 60 Tahun : Lebih solid di sini ketimbang di daerah asal Dulhadi : Sama saja Dari tabel 5.1 di atas dapat dilihat secara ringkas mengenai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan peneliti kepada para pekerja di Desa Jemparing. Untuk lebih jelasnya peneliti akan uraikan satu persatu pernyataan tersebut. A. Alasan Migrasi Dari pertanyaan mengenai alasan migrasi, jawaban dari ketiga informan di atas lebih condong kepada susahnya lapangan pekerjaan di daerah asal pada saat itu. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi awal daripada perjalanan mereka merantau ke Kalimantan Timur. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa karena lapangan pekerjaan yang susah yang membuat para informan tersebut melakukan migrasi ke Kalimantan Timur. B. Informasi Pekerjaan 101 Dari pertanyaan mengenai informasi pekerjaan yang ada di Kalimantan Timur, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa informasi pekerjaan tersebut didapatkan dari kerabat/teman. Jadi dapat disimpulkan bahwa ternyata kepergian para informan di atas bermigrasi/merantau ke Kalimantan Timut untuk mencari pekerjaan berasal dari informasi kerabat dan teman. C. Pekerjaan di Daerah Asal (sebelum merantau) Dari pertanyaan mengenai pekerjaan pada saat di daerah asal sebelum merantau, jawaban dari ketiga informan di atas menjelaskan bahwa pekerjaan para informan adalah sebagai buruh. Jadi dapat di simpulkan bahwa informasi kerjaan pada saat melakukan migrasi ke Kalimantan Timur didapatkan dari kerabat atau teman dekat. D. Penghasilan Pekerjaan di Daerah Asal Dari pertanyaan mengenai Penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh di daerah asal, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa ternyata penghasilan para informan di atas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri sehari-harinya. Ini juga yang menjadi salah satu faktor bermigrasinya para informan di atas ke Kalimantan Timur. E. Pekerjaan di Tempat Perantauan Dari pertanyaan mengenai pekerjaan saat ini (di Desa Jemparing) sebagai buruh pemecah batu, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakoni saat ini sebagai buruh pemecah batu penghasilannya lebih dari cukup. Artinya bahwa, kerjaan saat ini walaupun sama-sama dikatakan tetap 102 sebagai buruh, namun pengahsilannya dapat memenuhi kebutuhan anak dan istri sehari-hari. Dan hal itu baik bagi ketiga informan di atas. F. Kerukunan Bertetangga Dari pertanyaan mengenai kerukunan bertetangga di daerah asal maupun di daerah perantauan, jawaban dari ketiga informan di atas menyatakan bahwa kerukunan bertetangga yang terjalin di dalam kehidupan sehari-hari baik itu ketika berada di daerah asala maupun ketika berada di daerah perantauan sama saja, tidak ada perbedaan. Hal ini menandakan bahwa, hubungan yang kini terjalin baik-bak saja. Dan hal tersebut sanagt baik untuk kedua belah pihak yang bersangkutan. G. Solidaritas Ketika Ada Masalah Dari pertanyaan mengenai solidaritas ketika ada masalah di daerah asal ataupun di daerah perantauan, jawaban dari ketiga informan di atas menjelaskan bahwa, solidaritas yang terjadi ketika ada masalah lebih kuat ketika berada di perantauan. Sebab pada saat di perantauan para Imigran Madura harus lebih saling menjaga dan mengigatikan satu sama lain. Oleh karenanya muncul kesolidtan ketika kelompok tersebut mendapatkan suatu masalah. Setelah selesai bertanya kepada para pekerja pemecah batu di wilayah Ombe tersebut. Peneliti melanjutkan bertanya kepada para penduduk setempat. Harapannya adalah agar informasi yang peneliti dapatkan jauh lebih akurat dan mendalam. Selain itu, agar informasi yang di dapatkan tidak hanya dari satu pihak melainkan dari semua pihak. Agar penelitian ini tidak bersifat subjektif malainkan bersifat objektif (komprenhsif). Untuk lebih jelasnya silahkan lihat tabel 5.2 di bawah sebagai berikut : 103 Tabel 5.2 Aspirasi Masyarakat Jemparing No 1. 2. 3. Pertanyaan Tanggapan, terhadap keberadaan Imigran Madura di Desa Jemparing? Hal Pokok Hasil Wawancara Keberadaan Imigran Suyuno 55 Tahun Madura di Desa kepala BPD Desa Jemparing Jemparing : Kami menerima saja. Hubungan antar Interaksi dan sosialisasi Etnis Madura dengan masyarakat setempat Sa’ad 60 Tahun Petani sawit dan Kepala Dusun 1 : biasa saja. Ya kami nerima saja. Suyuno 55 tahun kepala BPD Desa Jemparing : Sejauh ini baik-baik saja. Sa’ad 60 Tahun Petani sawit dan Kepala Dusun 1 : baik –baik saja. Kontribusi Kontribusi terhadap Suyuno 55 Tahun keberadaan Imigran pembangunan desa kepala Desa Madura terhadap Jemparing : Tidak pembangunan ada kontribusi wilayah Desa Jemparing? Sa’ad 60 Tahun Petani sawit dan Kepala Dusun 1 : belu keliatan Pada tabel 5.2 di atas dapat di lihat secara singkat jawaban kedua informan atas pertanyaan peneliti. Selanjutnya akan peneliti narasikan lebih lengkap terkait dengan jawaban kedua informan di atas. Agar informasi dapat dibaca lebih lengkap oleh para pembaca. A. Tanggapan terhadap Keberadaan Imigran Madura di Desa Jemparing 104 Pada saat melakukan wawancara dengan penduduk asli setempat. Peneliti sengaja mengambil informan atas nama Bapak Suyuno dan Bapak Sa’ad atas saran dan masukan dari penduduk setempat. Dikarenakan kedua tokoh tersebut merupakan orang lama di Desa tersebut dan lebih mengetahui kondisi Imigran Madura di desa tersebut, akhirnya berdasarkan saran masukan penduduk setempat. Akhriya peneliti mendatangi kedua informan tersebut. Peneliti pertama kali mendatangi Bapak Suyuno di kediaman beliau. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pak Suyono, di mana peneliti menanyakan tentang ” tanggapan keberadan imigran Madura di Desa Jemparing”, beliau menjelaskan bahwa : “ Pada dasarnya kami di sini merima saja keberadaan Etnis Madura di desa kita. Maksudnya tidak ada alasan bagi untuk menolaknya. Tidak bisa dipungkiri, khusus di Kabupaten Paser perkembangan perekonomian dibangun dari orang-orang pendatang. Sesuai dengan slogan kami “ paser buen kesong “. Lokasi itu (wilayah Ombe), semakin besar karena orang-orang Madura. Kalo berharap orang Paser yang mau ngurusin, jangan harap, masyarakat Paser lebih memilih ngelola sawit, ketimbang memecah batu”. (Suyono (Paser), 23 April 2016) Hal tersebut senada dengan apa yang kemudian disampaikan oleh Bapak Sa’ad ketika peneliti menayakan hal yang sama. Beliau mengatakan bahwa : “Dari kami sebenarnya biasa-biasa saja (menerima). Selama tidak menganggu usaha kami di sini, kami bisa saja terima, tapi kalo sudah sampai menganggu, ceritanya bisa berbeda. Mereka (Etnis Madura), itu kan lokasinya di dalam sana (ombe), jadi tidak apa-apa”. (Sa’ad (Paser), 25 April 2016) Dari penjelasan kedua informan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata tanggapan masyarakat atau penduduk setempat terhadap keberadaan 105 Imigran Madura di desa tersebut sebenarnya menerima saja. Selama kegiatan atau aktivitas Imigran Madura tidak menganggu usaha penduduk setempat. Selain itu juga dikarenakan lokasi Etnis Madura berada di wilayah Ombe (daerah dalam), akhrinya penduduk setempat mampu menerima kehadiran mereka (Etnis Madura). B. Hubungan Etnis Madura dengan Masyarakat Setempat Hubungan yang terjalin antar kedua etnis sejauh ini baik-baik saja. Seperti yang peneliti tulis sebelumnya bahwa hubungan yang terjadi pasca konflik tahun 2008 sampai saat ini baik-baik saja. Tidak pernah ada ketegangan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Untuk memperkuat argument peneliti, peneliti mencoba menanyakan hal tersebut kepada informan di atas (Suyono dan Sa’ad). Hasil wawancara dengan Pak Suyono ketika peneliti bertanya terkait hubungan yang terjalin antar Etnis Madura dengan masyarakat setempat sejauh ini, beliau menjelaskan secara singkat bahwa : “Hubungannya baik-baik saja. Kalo ada acara 17 agustusan selalu berpasrtisipasi. Kan tidak bisa keluar setiap hari pekerja batu itu, cuma kadang-kadang sabtu-minggu sore mereka keluar gabung main voli dengan masyarakat sini”. (Suyono (Paser), 23 April 2016) Untuk memperkuat pernyataan dari pak Suyono, peneliti mencoba menanyakan hal yang sama dengan Pak Sa’ad selaku informan peneliti. Hasil wawancara peneliti, pada saat peneliti bertanya mengenai hubugan yang terjalin antar Etnis Madura dengan masyarakat setempat. Beliau mengatakan bahwa : “Baik saja hubungan yang terjadi. Selam saling menjaga dan tidak macam-macam. Kan intix begitu. Tapi kami kan satu aqidah, kalo ada masalah, insyaAllah cepat terselesaikan”. 106 (Sa’ad (Paser), 25 April 2016) Dari kedua pernytaan di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ternyata hubungan yang terjalin antara Etnis Madura dengan masyarakat setempat sejauh ini berjalan dengan baik dan harmonis. Dalam rangka memperat hubungan kedua etnis tersebut, bahwa setiap hari sabtu-minggu sore, para Imigran Madura yang bekerja di lokasi Ombe, bergabung bersama masyarakat setempat untuk bermain bola voli bersama. Dan hal tersebut sangat baik bagi Etnis Madura maupun masyarakat setempat. C. Kontribusi Keberadaan Imigran Madura terhadap Pembangunan Wilayah Desa Jemparing Pada dasarnya pembangunan suatu wilayah merupakan keterkaitan antar semua pihak. Baik itu bagi pemerintahan desa, penduduk setempat maupun warga pendatang. Semua pihak harus dapat terlibat dalam hal ini. Artinya bahwa, komunikasi maupun sosialisasi harus berjalan dengan baik. Pemerintahan desa selaku lembaga tertinggi di tingkat desa memiliki wewenang penuh terhadap seluruh warganya dalam pembangunan desa. Tidak terkecuali bagi penduduk atau warga pendatang, yang dalam hal ini peneliti katakan yaitu penduduk Imigran Madura. Sebagai kelompok pendatang seharusnya keberadaan Imigran Madura setidaknya memiliki kontribusi terhadap wilayah yang ditempati. Terlebih lagi jika wilayah tersebut, secara sumber daya alam dikeruk menjadi sumber penghasilan mereka (Etnis Madura). Mengapa peneliti katakan demikian, sebab berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada saat 107 melakukan observasi dilapangan di dapatkan bahwa sejauh ini kontribusi keberadaan Imigran Madura di desa tersebut tidak ada atau belum terlihat. Menanggapi hal ini. Peneliti mencoba menanyakan kepada informan sebelumnya yaitu Pak Suyono dan Pak Sa’ad. Hasil wawancara pada saat peneliti bertanya mengenai “kontribusi keberadaan Imigran Madura terhadap pembagunan di desa ini. Pak Suyono menjelaskan secara mendetail bahwa : “Hal ini yang sampe sekarang menjadi pertanyaan semua pihak. Benar ada titk terang sudah di bicarakan, misalkan kalau setiap acara 17 Agustusan, pengusaha-pengusaha batu harus ikut berpastisipasi minimal bantuan dana. Dana itu diberikan sekitar 300-500 ribu pertahunnya. Tapi kan itu belum bisa dibilang ikut berkontribusi terhadap pembanguan desa ini. Harapan kami sedikitnya ada sumbangsinya misalkan pembaguan jalan-jalan kecil, pembanguna mushola dan lain-lain. Mereka kan sudah mengeruk alam di wilayah kami, trus hasilnya dibawa ke Madura”. (Suyono (Paser), 23 April 2016) Tidak sampai di situ, untuk mendapatkan informasi lebih dalam, akhrinya peneliti mencoba bertanya juga dengan informan lainnya yaitu Pak Sa’ad. Hasil wawancara dengan pak saat, ketika peneliti menanyakan “kontribusi keberadaan Imigrna Madura terhadap pembangunan di desa ini, beliau enjelaskan bahwa: “Menurut saya selama akurang lebih 30 tahun beroperasi, kontribusinya terhadap pembangunan desa belum keliatan ya. Harapan kami kalo bisa dibuatkan aturan yang jelas di lokasi tersebut. Minimal untuk status warga pendatang. Masa iya sudah 10-20 tahun kerja di situ masih saja KTP Madura, bukan KTP Jemparing. Kan agak lucu, trus pemerintah desa apa fungsinya ? yaa, semoga aja kedepannya bisa kelar masalah ini. Soalnya susah juga Kepala Desanya, terlalu temperamental, mau menang sendiri, makanya mayarakat sini, semakin tidak ngurusin dan tidak peduli”. (Sa’ad (Paser), 25 April 2016) 108 Dari kedua pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa ternyata selama kurang lebih 30 tahun keberadaan Imigran Madura di Desa Jemparing belum ada keliatan kontribusinya terhadap pembangunan di wilayah tersebut. Berdasarkan pemaparan para informan di atas di dapatkan bahwa, sejauh ini bantuan-bantuan yang berikan oleh kelompok Etnis Madura berupa bantuan dana pada saat acaraacara 17 Agustusan saja, selebihnya tidak ada . Dan dari pihak pemerintahan desa juga sepertinya sampai saat ini belum menemukan solusi yang terbaik untuk hal tersebut. Sebab berdasarkan data sensus pemerintahan Desa Jemparing dikatakan bahwa Imigran Madura yang berada di wilayah Ombe tersebut mencapai 300 orang, dan saat ini tedaftar hanya sekitar 100 orang saja. Hal ini juga yang masih menjadi pertanyaan bagi semua pihak terkait dengan kebijakan Pemerintahan Desa Jemparing dalam menangani masalah keberadaan Imigran Madura hingga saat ini. 5.8 Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing Dari pemaparan yang telah peneliti jelaskan di atas mengenai nilai dan norma Etnis Madura, sistem kepemimpinan, sistem stratifikasi komunitas, ritual keagamaan, kegiatan rutin komunitas lain yang melekatkan komunitas, mekanisme pembangunan jaringan antar Etnis Madura di wilayah lain serta solidaritas mekanik dan solidaritas organik masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing. Berdasarkan teori dari Emile Durkheim mengenai solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Durkheim mengatakan bahwa solidaritas mekanik adalah sebuah solidaritas yang dihubungkan karena adanya kesadaran kolektif yang diikat 109 karena totalitas kepecayaan, cita-cita bersama, komitmen moral, homogenitas yang tinggi, serta hukum bersifat represif. Pada masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing, hubungan yang terjalin diantara mereka dilihat dari konsep solidaritas mekanik Durkheim disebabkan karena adanya kesamaan nilai (totalitas kepercayaan yang sama), ikatan etnisitas dan primordial, satu homogenitas, hukum masih bersifat represif serta adanya rasa senasib dan sepenanggunggan (penggalangan dana ketika kerabat mengalami musibah). Sedangkan solidaritas organik merupakan sebuah hubungan yang dibangun karena adanya satu kepentingan bersama, heterogenitas, individualitas yang tinggi, serta adanya pembagian kerja. Pada masyarakat Imigran Madura yang berada di Desa Jemparing dilihat dari solidaritas organiknya disatukan karena adanya kepenetingan yang sama untuk mencari nafkah di perantauan dan kepentingan pekerjaan. Menurut Durkheim bahwa solidaritas mekanik dan solidaritas organik tidak dapat disatukan. Solidaritas mekanik terjadi pada masyarakat yang masih sederhana (desa) dan tidak ada pembagian kerja. Sedangkan solidaritas organik terjadi pada masyarakat yang kompleks (kota) dan telah memiliki spesialisasi pekerjaan personal. Namun temuan di lapangan tidak seperti apa yang kemudian dijelaskan oleh Emile Durkheim mengenai konsep solidaritas mekanik dan solidaritas organiknya. Pada masyarakat Imigran Madura di Desa Jemparing, mereka disatukan oleh solidaritas mekanik dan solidaritas organik di dalamnya. Ini menandakan bahwa dalam ilmu sosial perubahan-perubahan dalam masyarakat 110 dapat terjadi. Menyesuaikan dengan kondisi pada zamannya. Hal itu disebabkan karena ilmu sosial bersifat dinamis. BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil obsevasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka mengenai Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser, peneliti menarik kesimpulan secara garis besar sebagai berikut : 1. Kondisi wilayah geografis Kepulauan Madura yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah yang tandus dan kering, menyebabkan intensitas persaingan hidup semakin kuat antar sesama orang Madura. Tidak heran jika melihat orangorang Madura itu memiliki karakter yang keras dan pantang penyerah. Hal ini berdasar pada kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Inilah yang memunculkan stereotif pada orang Madura bahwa “Orang Madura memiliki watak yang keras”. Secara Sosiologis, kondisi akan membentuk watak/karakter seseorang. 2. Faktor pendorong yang menyebabkan Imigran Madura merantau ke Kalimantan Timur adalah tidak lain karena Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, lapangan pekerjaan yang luas serta upah minimum propinsi yang tinggi. 111 3. Solidaritas yang terjalin ketika Etnis Madura berada di perantauan jauh lebih kuat dan solid dibanding berada di daerah asal (Madura). Hal itu disebabkan mereka hidup secara homogen (seragam) dalam satu komunitas lingkungan, tentu konflik sosial sedikit dapat dihindari. Berbeda dengan mereka (Etnis Madura) hidup dalam suatu masyarakat yang bersifat heterogen (beragam), tentunya konflik sosial tersebut sangat mungkin bisa terjadi, sebab dalam masyarakat yang heterogen, akan banyak perbedaan yang akan dijumpai dalam hidup bermasyarakat, baik itu bersifat kultur maupun ideologi. Oleh karena itu mereka (Etnis Madura) diharuskan mampu, untuk dapat menyesuaikan diri dengan tempat tinggal mereka pada saat berada di perantauan. Selain itu mereka (Etnis Madura) juga memiliki rasa saling memiliki, tanggung jawab, senasib, dan saling menjaga sesama Etnis Madura di perantauan. Hal ini merupakan ajaran yang telah diturunkan dari nenek moyang/leluhur dan hinggah saat ini masih tetap dipertahankan dan dijalankan. 6.2 Saran Berikut ini beberapa saran yang penulis kemukakan dengan harapan dapat berguna dan bermanfaat : 1. Pemerintah desa harus membuat aturan yang jelas terkait dengan status (KTP) para Imigran Madura yang telah lama bermukim di lokasi tersebut serta memberikan akses yang mudah bagi para Imigran Madura dalam mengurus segala hal yang terkait dengan keberadaan mereka di wilayah Desa Jemparing. 2. Pemerintah beserta perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat, hendaknya berunding dan berdiskusi agar terciptanya beberapa aturan 112 yang kuat status hukumnya (penduduk Madura) dalam hal membicarakan kontribusi aktivitas bahan galian C yang kurang lebih beroperasi selama 30 tahun tersebut terhadap pembangunan desa dan masyarakat setempat. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab sosial bagi Imigran Madura untuk daerah yang ditempati saat ini (Desa Jemparing). 3. Pemerintah desa lebih memberikan perhatian kepada para Imigran Madura, dalam hal rumah layak huni, serta keberadaan penerangan untuk daerah tersebut. Mengingat orang Madura tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat Desa Jemparing dan memperoleh hak yang sama. 4. Komunikasi dan koordinasi yang baik antar semua pihak harus lebih ditingkatkan, dalam segala sektor kehidupan bermasyarakat. Hendaknya sosok pemimpin desa harus lebih aktif membangun interaksi atau hubungan dengan masyarakat. Agar segala keinginan masyarakat dapat tepat sasaran. 5. Untuk masyarakat Paser dan para Imigran Madura, harus lebih memperluas kajian-kajian dalam hal keagamaan. Tidak hanya pada level wilayah Desa Jemparing, namun diharapkan mampu memperluas pada level antar desa dengan majelis-majelis yang berada di hampir seluruh desa yang berada di Kecamatan Long Ikis dan Kecamatan Long Kali. Yang harapannya mampu menciptakan hubungan yang harmonis antar etnis yang berada di Kabupaten Paser, lebih khusus wilayah Long Ikis dan wilayah Long Kali. 113