(Capsicum frutescens L.) Cabai rawit (Capsicum frutescens L.)

advertisement
I.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman yang bersasal dari
benua Amerika. Tanaman ini cocok dikembangkan di daerah tropis terutama sekitar
khatulistiwa dan tumbuh baik di dataran rendah dengan ketinggian 0-500 meter dpl,
akan tetapi cabai rawit bisa tumbuh baik pada ketinggian 1000 meter dpl.
Produktivitas tanaman cabai akan berkurang pada tempat yang terlalu tinggi.
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri, persilangan antar
varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapang yang dapat menghasilkan rasras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono, 2003). Beberapa sifat tanaman cabai
yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah
percabangan tanaman, perbungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya
(Prajnanta, 1999). Berdasarkan sistematika (taksonomi) Capsicum frutescens L.
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum frutescens L.
Cabai rawit juga memiliki banyak varietas, diantaranya adalah cabai mini,
cabai cengek/ceplik (rawit putih), cabai cengis (rawit hijau). Tinggi tanaman cabai
rawit umumnya dapat mencapai 150 cm. Daunnya lebih pendek dan menyempit.
Posisi bunga tegak dengan mahkota bunga berwarna kuning kehijauan. Panjang
buahnya dari tangkai hingga ujung buah hanya mencapai 3,7-5,3 cm. Bentuk buahnya
kecil dengan warna biji umumnya kuning kecoklatan (Setiadi, 1997). Pemanenan
pertama cabai rawit dapat dilakukan setelah tanaman berumur 4 bulan dengan selang
6
7
waktu satu sampai dua minggu sekali. Tanaman cabai rawit dapat hidup 2 sampai 3
tahun. Di dataran tinggi, tanaman cabai rawit masih bisa berbuah hanya saja periode
panennya lebih sedikit dibanding dataran rendah. Cabai rawit yang dibudidayakan di
Indonesia sangat beragam. Secara umum, masyarakat mengenal cabai rawit putih dan
cabai rawit hijau, akan tetapi setiap tempat memiliki macam cabai rawit yang
berbeda-beda (Cahyono, 2003).
Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh sebagai perdu
dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m. Tanaman dapat ditanam di lahan kering
(tegalan) dan di lahan basah (sawah). Kondisi lingkungan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi cabai rawit. Keadaan iklim dan tanah merupakan
dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman cabai
rawit (Pijoto, 2003). Tanaman cabai rawit memerlukan tanah yang memiliki tekstur
lempung berpasir atau liat berpasir dengan struktur gembur (Nawangsih dkk., 1999).
Selain itu, tanah harus mudah mengikat air, memiliki solum yang dalam
(minimal 1m), memiliki daya menahan air yang cukup baik, tahan terhadap erosi dan
memiliki kandungan bahan organik tinggi (Setiadi, 1987). Tanaman cabai rawit
memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0-7,0 (pH optimal 6,5) dan
memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan naungan). Tanaman cabai rawit
memerlukan kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan kering dalam satu
tahun dan curah hujan berkisar antara 600-1.250 mm per tahun. Kelembaban udara
yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60-80%. Tanaman cabai rawit Agar
dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada suhu udara rata-rata tahunan
berkisar antara 18-300C (Cahyono, 2003).
2.2 Gejala Penyakit
Gejala awal yang terlihat akibat serangan patogen ini yaitu memucatnya
tulang-tulang daun terutama daun-daun atas kemudian diikuti dengan menggulungnya
daun yang lebih tua selanjutnya tangkai daun akan merunduk dan akhirnya tanaman
menjadi layu secara keseluruhan. Jika tanaman sakit dipotong maka dekat pangkal
batang akan terlihat suatu cincin dari berkas pembuluh (Semangun, 1996). Jamur ini
8
menyerang pada setiap tingkat umur. Menginfeksi tanaman melalui luka-luka yang
terjadi pada akar, kemudian berkembang di berkas pembuluh sehingga terganggunya
pengangkutan air dan zat-zat hara (Cahyono, 1998).
1.3 Fusarium oxysporum f.sp. capsici
2.3.1 Klasifikasi Fusarium oxysporum f.sp. capsici
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Kristiana (2004) klasifikasi
jamur Fusarium oxysporum f.sp. capsici adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Fungi
Divisi
: Eumycota
Subdivisi
: Deuteromycotina
Forma-kelas
: Deuteromycetes
Forma-subkelas
: Hypomycetidae
Forma-famili
: Moniales
Forma-subfamili
: Tuberculariaceae
Genus
: Fusarium
Spesies
: Fusarium oxysporum f. sp. capsici
F. oxysporum f.sp. capsici merupakan patogen penyebab penyakit layu pada
tanaman
cabai
rawit.
Fusarium
merupakan
salah
satu
anggota
famili
Tuberculariaceae yang potensial sebagai penghasil mikotoksin banyak dijumpai pada
bahan makanan ternak maupun bahan pangan. Jamur ini bersifat saprofit dan parasit
serta memiliki kisaran inang yang luas (Saragih, 2009).
Selain tanaman cabai, Jamur F. oxysporum juga menyerang tanaman tomat,
ketimun, vanili, pisang dan lain-lain. Jamur ini dapat bertahan lama dalam tanah
dengan bentuk klamidiospora. Jamur melakukan infeksi pada akar terutama melalui
luka seperti luka akibat infeksi nematoda atau luka akibat faktor lain. Penyakit layu
dapat berkembang pada suhu tanah 21-33˚C, dengan suhu optimum adalah 28˚C.
Seperti kebanyakan Fusarium, jamur ini hidup pada kisaran pH tanah yang luas yaitu
3,8-8,4. Penyakit akan berkembang lebih berat bila tanah mengandung banyak
nitrogen tapi miskin kalium (Semangun, 1996).
9
2.3.2 Morfologi Fusarium oxysporum f.sp. capsici
Jamur F. oxysporum memiliki struktur yang terdiri dari mikrokonidia dan
makrokonidia. Permukaan koloninya berwarna ungu dan tepinya bergerigi serta
memiliki permukaan yang kasar berserabut dan bergelombang. Di alam, jamur ini
membentuk konidium. Konidiofor bercabang dan makrokonidium berbentuk sabit,
bertangkai kecil dan seringkali berpasangan (Lucas, et al., 1985). Miselium terdapat
di dalam sel khusus di dalam pembuluh tanaman, juga terdapat diantara sel-sel, yaitu
di dalam kulit dan di jaringan parenkim didekat terjadinya infeksi. F. oxysporum
adalah jamur aseksual yang menghasilkan 3 spora yaitu :
1.
Makrokonidia
Makrokonidia berbentuk panjang melengkung, dikedua ujung sempit seperti
bulan sabit,terdiri dari 3-5 sel dan biasanya ditemukan di permukaan.
2.
Mikrokonidia
Mikrokonidia adalah spora berbentuk bulat-oval dan tidak berwarna dengan 1
atau 2 sel yang dihasilkan Fusarium pada semua kondisi dan dapat menginfeksi
tanaman.
3.
Klamidiospora
Klamidiospora adalah spora berbentuk bulat yang terbentuk di dalam hifa atau
ujung hifa. Klamidiospora akan terbentuk ketika kondisi lingkungan tidak
mendukung dan bersifat dorman.
A
B
C
Gambar 2.1
Makrokonidia (A); Mikrokonidia (B); Klamidiospora (C) yang bersumber dari
Seifert and Gams, 2001.
10
2.3.3 Daur Penyakit Layu Fusarium pada Cabai Rawit
Jamur ini tumbuh dari spora dengan struktur yang menyerupai benang, ada
yang mempunyai dinding pemisah dan ada yang tidak. Benang secara individu
disebut hifa, dan massa benang yang luas disebut miselium. Miselium adalah struktur
yang berpengaruh dalam absorbsi nutrisi secara terus-menerus sehingga jamur dapat
tumbuh dan pada akhirnya menghasilkan hifa yang khusus menghasilkan spora
reproduktif (Saragih, 2009). Miselium terdapat di dalam sel khususnya di dalam
pembuluh, juga membentuk miselium yang terdapat di antara sel-sel, yaitu di dalam
kulit dan di jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi. F. oxysporum f.sp. capsici
hidup sebagai parasit dan saprofit pada berbagai tanaman terutama pada bagian
pembuluhnya, sehingga tanaman menjadi mati karena toksin (Sastrahidayat, 1989).
Stadium saprofit merupakan stadium yang tahan pada segala cuaca. Jamur
menginfeksi akar terutama melalui luka, menetap dan berkembang di berkas
pembuluh. Setelah jaringan pembuluh mati dan keadaan udara lembab, jamur
membentuk spora yang berwarna putih keunguan pada akar yang terinfeksi.
Penyebaran spora dapat terjadi melalui angin, air pengairan dan alat pertanian
(Semangun, 1996).
2.4 Jamur Antagonis
Jamur antagonis adalah kelompok jamur pengendali hayati yang mempunyai
kemampuan mengganggu proses hidup patogen tanaman. Mekanisme jamur
antagonis dalam menghambat patogen tanaman dapat melalui antibiosis, lisis,
kompetisi, dan parasitisme (Arwiyanti, 2003). Adapun pengertian dari beberapa
istilah tersebut :
1. Antibiosis adalah interaksi antarorganisme dimana salah satu organisme
menghasilkan zat antibiotik atau racun yang berbahaya bagi organisme
lainnya.
11
2. Lisis adalah proses pemecahan komponen dinding sel jamur patogen oleh
jamur antagonis dengan cara menghasilkan enzim seperti kitinase yang
dapat mendegradasi kitin pada dinding sel patogen.
3. Kompetisi adalah suatu mekanisme penekanan aktivitas patogen oleh
agensi hayati terhadap sumber-sumber terbatas seperti zat organik, zat
anorganik, ruang dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya.
4. Parasitisme adalah menggambarkan hubungan antara dua organisme
dimana satu organisme mendapat manfaat dan yang lainnya dirugikan.
Jamur antagonis disamping berfungsi seperti tersebut di atas juga mampu mencegah
infeksi patogen terhadap tanaman melalui aktivitas Induce Sistemic Resistance (ISR).
Eksplorasi merupakan langkah awal untuk mendapatkan antagonis yang
berkualitas. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menentukan
waktu, tempat, metode, serta penanganan sampel hasil eksplorasi. Selanjutnya, jamur
antagonis hasil eksplorasi perlu diuji di laboratorium (in vitro), rumah kasa (in
planta), dan di lapang (in situ). Jamur antagonis yang terpilih sebaiknya memilki
sifat: (1) dapat menghambat pertumbuhan patogen tanaman, (2) berkecambah dan
tumbuh dengan cepat, (3) tahan atau toleran terhadap antagonis lain, (4) dapat
bertahan dalam keadaan ekstrim, (5) dapat diproduksi secara massal, dan (6) tidak
menyebabkan gangguan terhadap tanaman (Istikorini, 2002).
Eksplorasi jamur antagonis dari rizosfer tanaman pada umumnya lebih mudah
dibandingkan dari sampel daun atau bagian tanaman yang lain, karena di rizosfer
banyak terdapat senyawa-senyawa organik yang sangat berguna bagi pertumbuhan
beberapa mikroorganisme, termasuk jamur antagonis. Senyawa organik yang
dikeluarkan tanaman melalui akar dapat berupa eksudat, sekresi, dan lisat yang dapat
merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Jenis tanaman dan jenis tanah sangat
menentukan jenis jamur antagonis yang ditemukan. Misalnya, Gliocladium banyak
terdapat di rizosfer tanaman tebu, atau tanaman kacang-kacangan (leguminoceae).
Beberapa jamur antagonis lain seperti Trichoderma mampu tumbuh pada jaringan
tanaman sakit, atau yang telah lapuk, selain juga banyak ditemukan di tanah kompos
(Harman, 1999).
12
2.5 Tanah Rizosfer
Rizosfer merupakan tempat pertemuan antara tanah dengan akar tumbuhan.
Jumlah mikrobia di daerah perakaran lebih banyak dibanding tanah yang tidak
terdapat perakaran, karena di daerah perakaran terdapat nutrien-nutrien seperti asam
amino dan vitamin yang disekresikan oleh jaringan akar. Istilah rizosfer menunjukkan
bagian tanah yang dipengaruhi perakaran tanaman (Bruehl, 1987). Rizosfer dicirikan
oleh lebih banyaknya kegiatan mikrobiologis dibandingkan kegiatan di dalam tanah
yang jauh dari perakaran tanaman. Intensitas kegiatan semacam ini tergantung dari
panjangnya jarak tempuh yang dicapai oleh eksudasi sistem perakaran. Istilah “efek
rizosfer”
menunjukkan
pengaruh
keseluruhan
perakaran
tanaman
terhadap
mikroorganisme tanah. Jumlah bakteri dan jamur lebih banyak terdapat pada tanah
yang berada di rizosfer dibandingkan tanah yang tidak terdapat pada rizosfer.
Beberapa faktor seperti tipe tanah, kelembaban tanah, pH, temperatur dan umur serta
kondisi tanaman mempengaruhi efek rizosfer (Subba Rao, 1994).
Menurut Bruehl (1987) rizosfer merupakan bagian dari tanah yang secara
langsung dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan dari akar ke dalam larutan
tanah, sehingga tercipta kondisi yang menyenangkan bagi bakteri tertentu. Rizosfer
juga menggambarkan adanya organisme yang merugikan di sekitar akar dari tanaman
yang sakit dan organisme yang bermanfaat di sekitar akar dari tanaman yang sehat.
Fakta biologi utama dari rizosfer atau daerah yang dipengaruhi akar adalah jumlah
mikroorganisme yang banyak dan aktivitas yang tinggi dari mikroorganisme tanah
dalam area ini dibandingkan dengan tanah tanpa akar. Diantara dua area ini terdapat
area transisi dimana pengaruh akar menurun seiring dengan jarak. Biasanya daerah
rizosfer merupakan lapisan tipis yang tetap menempel pada akar setelah tanah
disekitar akar dihilangkan dengan cara menggoyangkan perakaran (Wood,1989)
Download