ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang [email protected] ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, sedangkan pasangan homoseksual dapat beralternatif kawin dengan cara membuat perikatan yang bersumber dari perjanjian. Perjanjian tersebut diberi nama Perjanjian Hidup Bersama (PHB). Masalahnya adalah bagaimana hukum memandang PHB, hal-hal apa saja yang dicantumkan dalam PHB, bagaimana proses pengauntentikan PHB, dan apa saja kelemahan-kelemahan PHB sebagai alternatif hukum perkawinan homoseksual. Metode yang digunakan untuk membedah permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Setelah diteliti, ditemukan, bahwa alternatif hukum perkawinan homoseksual bisa dilakukan dengan cara membuat PHB asalkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat sah perjanjian. Isi-isi dan klausul-klausul di dalam PHB dapat mengadopsi dari perikatan-perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan, akan tetapi para pihak bisa memodifikasinya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. PHB adalah suatu perjanjian perdata yang pengauntentikannya dilakukan dengan cara dibuat oleh atau di hadapan notaris. Kelemahan PHB sebagai alternatif hukum perkawinan homoseksual antara lain adalah tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial, berpotensi dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat, dan ada kemungkinan sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB. Kata kunci: alternatif hukum, homoseksual, perikatan, perkawinan, perjanjian A. Pendahuluan Perkawinan di Indonesia diatur di dalam UU 1/1974 90. Undang-undang ini menjadi ganjalan bagi pasangan homoseksual untuk melangsungkan perkawinannya, karena di dalam Pasal 1 UU 1/1974 ditentukan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Jadi secara hukum, perkawinan homoseksual tidak diakui oleh negara Indonesia. Negara hanya mengakui perkawinan antara pria dengan wanita (heteroseksual) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 90 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 185 Secara hukum administrasi, negara memang tidak mau mengakui dan mengesahkan perkawinan homoseksual, tetapi secara hukum perdata, negara tidak bisa melarang orang untuk membuat perjanjian, selama perjanjian tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya. Pada dasarnya, perkawinan hanyalah suatu perikatan, yang mana mempelainya saling bersepakat dan setuju untuk mengikatkan diri serta tunduk pada perikatan-perikatan yang timbulnya dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat J. Satrio 91 yang mengatakan bahwa perkawinan itu sendiri merupakan suatu perikatan. Di dalam buku lain, J. Satrio 92 juga mengatakan, bahwa perkawinan itu sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian karena didasarkan atas kata sepakat dan menimbulkan hak dan kewajiban. Lihat juga ketentuan Pasal 26 KUHPer93, bahwa “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.” Perikatan di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu (1) perikatan yang bersumber dari undang-undang dan (2) perikatan yang bersumber dari perjanjian. Pembedaan ini didasarkan pada pendapat Ricardo Simanjuntak 94, bahwa KUHPer 95 tidak memberi definisi perikatan secara tegas, akan tetapi dapat digambarkan bahwa perikatan itu dapat dilahirkan dari undang-undang dan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Kalau perkawinan heteroseksual diikat dengan perikatan yang bersumber dari undang-undang, yang mana perikatan-perikatannya otomatis sudah ada di dalam peraturan perundang-undangan, seperti (a) mempelai memiliki kewajiban yang sama untuk menegakkan hidup bersama, 96 (b) memiliki hak dan kedudukan yang seimbang, 97 (c) saling hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin. 98 Maka, pasangan homoseksual pun bisa membuat alternatif perkawinan, yaitu dengan cara membuat perikatan yang bersumber dari perjanjian. Jadi, pasangan homoseksual kalau ingin beralternatif kawin, terlebih dahulu mengikatkan diri melalui perikatan yang bersumber dari perjanjian. Perjanjian tersebut, yang mana di dalam tulisan ini diberi nomenklatur Perjanjian Hidup Bersama (PHB), akan menjadi pengikat hukum bagi pasangan homoseksual seperti 91 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya (Bandung: Penerbit Alumni, 1993), Hal 14 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya) (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), Hal 47 93 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), Ps 26 94 Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), Hal 28-29 95 KUHPer adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, merupakan terjemahan dari Burgerlijke Weatboek (BW) 96 Disadur dari Pasal 30 UU 1/1974 97 Disadur dari Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974 98 Disadur dari Pasal 33 UU 1/1974 186 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 92 perikatan perkawinan heteroseksual. Berbeda dengan perkawinan heteroseksual yang perikatannya otomatis sudah ada di dalam dan bersumber dari undang-undang, isi PHB menyadur atau mengoper perikatan-perikatan yang ada di dalam perkawinan heteroseksual. Berikut pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah ini, yaitu 1. Bagaimana hukum memandang PHB sebagai alternatif perkawinan homoseksual? 2. Hal-hal apa saja yang dicantumkan dalam PHB sebagai alternatif perkawinan homoseksual? 3. Bagaimana proses pengauntetikan PHB? 4. Kelemahan-kelemahan apa saja yang dimiliki PHB sebagai alternatif hukum perkawinan homoseksual? B. Pembahasan 1. Perjanjian Hidup Bersama Menurut Hukum Perkawinan homoseksual itu pada dasarnya tidak bisa disahkan dan diakui oleh negara, sehingga pasangan homoseksual tidak perlu ikut-ikutan dan banyak berharap agar perkawinannya bisa disahkan dan diakui layaknya perkawinan heteroseksual. Bagi pasangan homoseksual, yang lebih penting adalah mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan saling mencintai. Oleh karena itu, tulisan ilmiah ini memberikan alternatif hukum bagi pasangan homoseksual yang ingin membangun rumah tangga, yaitu dengan cara membuat PHB. Membuat perjanjian itu tidak dilarang, asalkan tidak melanggar syarat-syarat sahnya sebagaiamana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer 99, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu hal tertentu, (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Menurut Komariah 100, KUHPer menganut asas kebebasan berkontrak dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa setiap orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi, pembuatan PHB bukanlah suatu perjanjian yang dilarang, karena PHB itu sendiri hanyalah suatu perikatan yang lahirnya dari perjanjian di antara dua orang yang saling bersepakat mengikatkan diri untuk hidup bersama di dalam tempat tinggal yang tetap. Perjanjian yang demikian tidaklah melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau kesusilaan. Dapat dianalogikan, orang yang membuat PHB itu 99 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 Komariah, Hukum Perdata (Malang: UMM Press, 2003), Hal 141 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 100 187 seperti dua orang mahasiswa perantauan yang saling berjanji untuk mengontrak rumah dan meninggalinya secara bersama-sama, yang mana di dalam perjanjian tersebut, si pembuat PHB atau pengontrak rumah mengatur hak-hak, kewajiban-kewajiban dan batasan-batasannya masing-masing, serta mencantumkan klausul-klausul apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh mereka ketika hidup bersama. Dalam kehidupan sehari-hari, PHB adalah suatu hal biasa yang sering dibuat oleh anak-anak kos walaupun pembuatannya tidak dalam bentuk tertulis. Agar tidak melanggar syarat sah perjanjian, yaitu “suatu sebab yang tidak terlarang”, maka di dalam PHB jangan sekali-kali mencantumkan hal-hal yang melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, seperti mencantumkan klausul tentang hubungan seksual. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa PHB itu hanyalah “alternatif perkawinan”. Namanya alternatif tentu tidak sama persis dengan aslinya. Jadi “alternatif perkawinan” yang dimaksud hanyalah sekedar perkawinan artifisial. Bagi pasangan homoseksual yang paling penting adalah dengan PHB mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan saling mencintai yang diikat secara hukum. Kalau saja, mungkin, suatu saat nanti, suatu PHB yang dibuat oleh pasangan homoseksual dianggap melanggar ketertiban umum atau kesusilaan sehingga harus dibatalkan, maka pembatalannya pun tidak bisa sekedar asumsi-asumsi atau tuduhantuduhan yang tidak berdasar, tetapi harus berdasarkan pada putusan pengadilan. Itu pun belum tentu seluruh isi PHB dibatalkan, karena bisa jadi hakim hanya membatalkan klausul-klausul yang dinyatakan melanggar ketertiban umum atau kesusilaan berdasarkan keyakinan hakim dan bukti-bukti yang ada. Bahkan menurut Salim H. S. 101, perjanjian yang melanggar “suatu sebab yang tidak terlarang” apabila para pembuatnya tidak keberatan, maka perjanjian tersebut masih tetap sah. Bila disimpulkan dari pendapat tersebut, maka pihak luar (masyarakat) secara sepihak tidak bisa membatalkan PHB dengan alasan melanggar Pasal 1320 ayat (4) KUHPer 102. 2. Isi Perjanjian Hidup Bersama Pasangan homoseksual memiliki keleluasaan dalam membuat dan mengisi PHB, karena hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak. Namun, karena PHB merupakan suatu perkawinan artifisial dari perkawinan sejati, maka ada baiknya pasangan homoseksual menyadur atau mengoper perikatan- 101 102 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal 34-35 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (4) 188 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 perikatan yang ada di dalam perkawinan heteroseksual, yang mana semua itu sudah tersedia di dalam peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan. Pertama, yang perlu diperhatikan adalah pemilihan nomenklatur. Pada dasarnya pemilihan nomenklatur perjanjian adalah bebas, akan tetapi menurut Pasal 1320 ayat (3) KUHPer 103 disyaratkan “suatu hal tertentu”, maka akan lebih baik jika nomenklatur perjanjian sesuai dengan pokok isi yang diperjanjikan. Oleh karena itu, tulisan ilmiah ini menawarkan nomenklatur yang pas adalah Perjanjian Hidup Bersama (PHB), karena isi pokok perjanjian tersebut memang mengatur tentang hidup bersama. Kedua, PHB harus mencantumkan identitas para pihak. Para pihak haruslah cakap berbuat hukum, hal ini merujuk Pasal 1320 ayat (2) KUHPer 104, yaitu “kecakapan untuk membuat suatu perikatan”. Kategori mengenai cakap berbuat hukum mengacu pada Pasal 1330 KUHPer, yaitu sudah berumur 21 tahun dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Jadi pasangan homoseksual yang ingin membuat PHB haruslah sudah berumur 21 tahun dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Ketiga, para pembuat PHB harus benar-benar bersepakat untuk mengikatkan diri. Hal ini merujuk pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPer 105, yaitu “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Oleh karena itu, akan lebih baik bila di dalam PHB dinyatakan secara terang dan jelas bahwa para pembuat saling bersepakat mengikatkan diri. Keempat, isi-isi atau klausul-klausul dalam PHB merupakan saduran atau operan dari isi perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan. Oleh karena itu, isi-isi atau klausul-klausul di dalam PHB antara lain adalah a. para pihak perjanjian memikul kewajiban yang sama untuk menegakkan hidup bersama, 106 b. para pihak memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, 107 c. masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, 108 d. salah satu pihak bertugas sebagai kepala rumah tangga, 109 e. para pihak harus mempunyai tempat kediaman tetap yang ditentukan bersama, 110 103 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (3) R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (2) 105 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (1) 106 Disadur dari Pasal 30 UU 1/1974 107 Disadur dari Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974 108 Disadur dari Pasal 31 ayat (2) UU 1/1974 109 Disadur dari Pasal 31 ayat (3) UU 1/1974 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 104 189 f. para pihak saling hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin, 111 g. salah satu pihak melindungi pihak yang lain dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya, 112 h. salah satu pihak wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, 113 i. jika salah satu pihak melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan, 114 j. para pihak tidak boleh membuat PHB dengan pihak manapun. Isi-isi atau klausul-klausul tentang harta benda di dalam PHB, antara lain adalah a. harta benda yang diperoleh selama PHB berlangsung, menjadi harta bersama, 115 b. harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, 116 c. mengenai harta bersama, para pihak dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, d. mengenai harta bawaan masing-masing, para pihak mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. 117 Isi-isi atau klausul-klausul tentang putusnya PHB, antara lain adalah a. karena kematian atau atas putusan pengadilan melalui gugatan, 118 b. untuk menggugat harus ada cukup alasan, bahwa antara para pihak tidak dapat hidup bersama secara rukun, 119 Agar tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, maka isi-isi atau klausul- klausul yang melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau kesusilaan tidak boleh dicantumkan dalam PHB. Klausul-klausul yang dimaksud antara lain adalah mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seksual, karena hubungan seksual di luar perkawinan sejati masih dianggap tabu oleh masyarakat. Pelanggaran terhadap hal tabu tersebut merupakan suatu pelanggaran kesusilaan. 110 Disadur dari Pasal 32 UU 1/1974 Disadur dari Pasal 33 UU 1/1974 112 Disadur dari Pasal 34 ayat (1) UU 1/1974 113 Disadur dari Pasal 34 ayat (2) UU 1/1974 114 Disadur dari Pasal 34 ayat (3) UU 1/1974 115 Disadur dari Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 116 Disadur dari Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974 117 Disadur dari Pasal 36 UU 1/1974 118 Disadur dari Pasal 39 ayat (1) UU 1/1974 119 Disadur dari Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 190 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 111 Selain menyadur atau mengoper dari perikatan-perikatan perkawinan heteroseksual, para pihak juga dapat memodifikasinya, misal tentang adopsi anak dan siapa yang bertanggung jawab mengasuh dan menafkahi anak tersebut. 3. Pengautentikan Perjanjian Hidup Bersama Perkawinan heteroseksual yang sah dan diakui oleh negara haruslah dicatat oleh pejabat negara yang berwenang, lalu mempelai diberi buku atau salinan atas catatan tersebut. 120 Buku atau salinan catatan tersebut merupakan akta autentik, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. 121 Hal ini sesuai dengan pendapat Neng Djubaedah 122, bahwa buku atau salinan catatan perkawinan merupakan suatu akta autentik. Sedangkan pengautentikan PHB, dibuat oleh atau di hadapan notaris mengikuti ketentuan pengautentikan perjanjian pada pasal 15 UU 2/2014 123. Jadi, pengauntentikan perkawinan heteroseksual dilakukan dengan cara dicatat oleh pejabat yang berwenang, sedangkan pengautentikkan PHB dilakukan oleh notaris. Pasangan homoseksual tidak perlu rendah diri memakai PHB dalam melangsungkan perkawinannya, karena antara perkawinan heteroseksual dan PHB sama-sama bisa diautentikkan, yang paling penting adalah itikad baik dari masingmasing pihak untuk membangun rumah tangga. Walaupun perkawinan heteroseksual itu diakui dan dapat disahkan oleh negara, tetapi kalau tidak memiliki itikad baik untuk membangun rumah tangga yang harmonis, ujung-ujungnya akan timbul keributan dan berpotensi cerai. Jadi, buat apa perkawinan itu sah dan diakui negara kalau akhirnya hanya berujung pada perceraian. Justru dengan PHB, pasangan homoseksual bisa membuktikan diri kepada publik bahwa mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan langgeng melebihi pasangan heteroseksual. Jadi, pasangan homoseksual tidak perlu lagi menuntut perkawinannya diakui dan disahkan oleh negara. Toh, dengan membuat PHB saja, pasangan homoseksual masih bisa hidup berumah tangga secara harmonis dan langgeng. 120 Pasal 2 UU 1/1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” Pasal 1868 KUHPer: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” 122 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal 32 123 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 191 121 4. Kelemahan Perjanjian Hidup Bersama PHB hanyalah suatu cara bagi pasangan homoseksual untuk melakukan perkawinan yang bersifat artifisial, artinya perkawinan tersebut bukanlah suatu perkawinan yang sejati sebagaimana perkawinan heteroseksual. Sebagai perkawinan artifisial, PHB memiliki kelemahan, antara lain adalah a. tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial, b. berpotensi dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat, c. ada kemungkinan sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB. C. Penutup Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah 1. Pasangan homoseksual dapat beralternatif kawin dengan cara membuat PHB asalkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer 124, walaupun perkawinan tersebut bersifat artifisial; 2. Isi-isi dan klausul-klausul di dalam PHB banyak mengadopsi perikatan-perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan, akan tetapi para pihak masih bisa memodifikasinya sesuai dengan kebutuhannya masingmasing; 3. PHB adalah suatu perjanjian perdata yang pengauntentikannya dilakukan dengan cara dibuat oleh atau di hadapan notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU 2/2014; 4. Kelemahan PHB sebagai alternatif perkawinan bagi pasangan homoseksual antara lain adalah (a) tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial, (b) berpotensi dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat, (c) ada kemungkinan sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB. 124 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 192 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 DAFTAR PUSTAKA J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), Bandung: Citra Aditya Bakti _______, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Penerbit Alumni Komariah, 2003, Hukum Perdata, Malang: UMM Press Neng Djubaedah, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika R. Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Jakarta: Pradnya Paramita Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta: Kontan Publishing Salim H. S., 2010, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 193