cara membuat indeks

advertisement
ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL
Muchamad Arif Agung Nugroho
Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang
[email protected]
ABSTRAK
Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan, sedangkan pasangan homoseksual dapat beralternatif kawin dengan
cara membuat perikatan yang bersumber dari perjanjian. Perjanjian tersebut diberi nama
Perjanjian Hidup Bersama (PHB). Masalahnya adalah bagaimana hukum memandang PHB,
hal-hal apa saja yang dicantumkan dalam PHB, bagaimana proses pengauntentikan PHB, dan
apa saja kelemahan-kelemahan PHB sebagai alternatif hukum perkawinan homoseksual.
Metode yang digunakan untuk membedah permasalahan tersebut adalah yuridis normatif.
Setelah diteliti, ditemukan, bahwa alternatif hukum perkawinan homoseksual bisa dilakukan
dengan cara membuat PHB asalkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat sah perjanjian.
Isi-isi dan klausul-klausul di dalam PHB dapat mengadopsi dari perikatan-perikatan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan, akan tetapi
para pihak bisa memodifikasinya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. PHB adalah
suatu perjanjian perdata yang pengauntentikannya dilakukan dengan cara dibuat oleh atau di
hadapan notaris. Kelemahan PHB sebagai alternatif hukum perkawinan homoseksual antara
lain adalah tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial, berpotensi
dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat, dan ada kemungkinan
sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB.
Kata kunci: alternatif hukum, homoseksual, perikatan, perkawinan, perjanjian
A. Pendahuluan
Perkawinan di Indonesia diatur di dalam UU 1/1974 90. Undang-undang ini menjadi
ganjalan bagi pasangan homoseksual untuk melangsungkan perkawinannya, karena di
dalam Pasal 1 UU 1/1974 ditentukan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Jadi secara hukum, perkawinan homoseksual tidak diakui oleh negara Indonesia. Negara
hanya mengakui perkawinan antara pria dengan wanita (heteroseksual) berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
90
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
185
Secara hukum administrasi, negara memang tidak mau mengakui dan mengesahkan
perkawinan homoseksual, tetapi secara hukum perdata, negara tidak bisa melarang orang
untuk membuat perjanjian, selama perjanjian tersebut memenuhi syarat-syarat sahnya.
Pada dasarnya, perkawinan hanyalah suatu perikatan, yang mana mempelainya
saling bersepakat dan setuju untuk mengikatkan diri serta tunduk pada perikatan-perikatan
yang timbulnya dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat J.
Satrio 91 yang mengatakan bahwa perkawinan itu sendiri merupakan suatu perikatan. Di
dalam buku lain, J. Satrio 92 juga mengatakan, bahwa perkawinan itu sebenarnya juga
merupakan suatu perjanjian karena didasarkan atas kata sepakat dan menimbulkan hak dan
kewajiban. Lihat juga ketentuan Pasal 26 KUHPer93, bahwa “undang-undang memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.”
Perikatan di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu (1) perikatan yang bersumber dari
undang-undang dan (2) perikatan yang bersumber dari perjanjian. Pembedaan ini
didasarkan pada pendapat Ricardo Simanjuntak 94, bahwa KUHPer 95 tidak memberi definisi
perikatan secara tegas, akan tetapi dapat digambarkan bahwa perikatan itu dapat dilahirkan
dari undang-undang dan dapat juga dilahirkan dari perjanjian.
Kalau perkawinan heteroseksual diikat dengan perikatan yang bersumber dari
undang-undang, yang mana perikatan-perikatannya otomatis sudah ada di dalam peraturan
perundang-undangan, seperti (a) mempelai memiliki kewajiban yang sama untuk
menegakkan hidup bersama, 96 (b) memiliki hak dan kedudukan yang seimbang, 97 (c) saling
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin. 98 Maka, pasangan
homoseksual pun bisa membuat alternatif perkawinan, yaitu dengan cara membuat
perikatan yang bersumber dari perjanjian. Jadi, pasangan homoseksual kalau ingin
beralternatif kawin, terlebih dahulu mengikatkan diri melalui perikatan yang bersumber
dari perjanjian.
Perjanjian tersebut, yang mana di dalam tulisan ini diberi nomenklatur Perjanjian
Hidup Bersama (PHB), akan menjadi pengikat hukum bagi pasangan homoseksual seperti
91
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya (Bandung: Penerbit Alumni, 1993), Hal 14
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya) (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), Hal 47
93
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009), Ps 26
94
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis (Jakarta: Kontan Publishing, 2011),
Hal 28-29
95
KUHPer adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, merupakan terjemahan dari Burgerlijke
Weatboek (BW)
96
Disadur dari Pasal 30 UU 1/1974
97
Disadur dari Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974
98
Disadur dari Pasal 33 UU 1/1974
186
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
92
perikatan perkawinan heteroseksual. Berbeda dengan perkawinan heteroseksual yang
perikatannya otomatis sudah ada di dalam dan bersumber dari undang-undang, isi PHB
menyadur atau mengoper perikatan-perikatan yang ada di dalam perkawinan heteroseksual.
Berikut pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah ini,
yaitu
1.
Bagaimana hukum memandang PHB sebagai alternatif perkawinan homoseksual?
2.
Hal-hal apa saja yang dicantumkan dalam PHB sebagai alternatif perkawinan
homoseksual?
3.
Bagaimana proses pengauntetikan PHB?
4.
Kelemahan-kelemahan apa saja yang dimiliki PHB sebagai alternatif hukum
perkawinan homoseksual?
B. Pembahasan
1.
Perjanjian Hidup Bersama Menurut Hukum
Perkawinan homoseksual itu pada dasarnya tidak bisa disahkan dan diakui oleh
negara, sehingga pasangan homoseksual tidak perlu ikut-ikutan dan banyak berharap
agar perkawinannya bisa disahkan dan diakui layaknya perkawinan heteroseksual.
Bagi pasangan homoseksual, yang lebih penting adalah mereka bisa membangun
rumah tangga yang harmonis dan saling mencintai. Oleh karena itu, tulisan ilmiah ini
memberikan alternatif hukum bagi pasangan homoseksual yang ingin membangun
rumah tangga, yaitu dengan cara membuat PHB.
Membuat perjanjian itu tidak dilarang, asalkan tidak melanggar syarat-syarat
sahnya sebagaiamana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer 99, yaitu (1) sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu hal
tertentu, (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Menurut Komariah 100, KUHPer
menganut asas kebebasan berkontrak dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa
setiap orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi, pembuatan
PHB bukanlah suatu perjanjian yang dilarang, karena PHB itu sendiri hanyalah suatu
perikatan yang lahirnya dari perjanjian di antara dua orang yang saling bersepakat
mengikatkan diri untuk hidup bersama di dalam tempat tinggal yang tetap.
Perjanjian yang demikian tidaklah melanggar peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum atau kesusilaan. Dapat dianalogikan, orang yang membuat PHB itu
99
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320
Komariah, Hukum Perdata (Malang: UMM Press, 2003), Hal 141
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
100
187
seperti dua orang mahasiswa perantauan yang saling berjanji untuk mengontrak rumah
dan meninggalinya secara bersama-sama, yang mana di dalam perjanjian tersebut, si
pembuat PHB atau pengontrak rumah mengatur hak-hak, kewajiban-kewajiban dan
batasan-batasannya masing-masing, serta mencantumkan klausul-klausul apa saja yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh mereka ketika hidup bersama. Dalam kehidupan
sehari-hari, PHB adalah suatu hal biasa yang sering dibuat oleh anak-anak kos
walaupun pembuatannya tidak dalam bentuk tertulis.
Agar tidak melanggar syarat sah perjanjian, yaitu “suatu sebab yang tidak
terlarang”, maka di dalam PHB jangan sekali-kali mencantumkan hal-hal yang
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, seperti mencantumkan klausul tentang
hubungan seksual. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa PHB itu hanyalah
“alternatif perkawinan”. Namanya alternatif tentu tidak sama persis dengan aslinya.
Jadi “alternatif perkawinan” yang dimaksud hanyalah sekedar perkawinan artifisial.
Bagi pasangan homoseksual yang paling penting adalah dengan PHB mereka bisa
membangun rumah tangga yang harmonis dan saling mencintai yang diikat secara
hukum.
Kalau saja, mungkin, suatu saat nanti, suatu PHB yang dibuat oleh pasangan
homoseksual dianggap melanggar ketertiban umum atau kesusilaan sehingga harus
dibatalkan, maka pembatalannya pun tidak bisa sekedar asumsi-asumsi atau tuduhantuduhan yang tidak berdasar, tetapi harus berdasarkan pada putusan pengadilan. Itu
pun belum tentu seluruh isi PHB dibatalkan, karena bisa jadi hakim hanya
membatalkan klausul-klausul yang dinyatakan melanggar ketertiban umum atau
kesusilaan berdasarkan keyakinan hakim dan bukti-bukti yang ada.
Bahkan menurut Salim H. S. 101, perjanjian yang melanggar “suatu sebab yang
tidak terlarang” apabila para pembuatnya tidak keberatan, maka perjanjian tersebut
masih tetap sah. Bila disimpulkan dari pendapat tersebut, maka pihak luar
(masyarakat) secara sepihak tidak bisa membatalkan PHB dengan alasan melanggar
Pasal 1320 ayat (4) KUHPer 102.
2.
Isi Perjanjian Hidup Bersama
Pasangan homoseksual memiliki keleluasaan dalam membuat dan mengisi
PHB, karena hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak.
Namun, karena PHB merupakan suatu perkawinan artifisial dari perkawinan sejati,
maka ada baiknya pasangan homoseksual menyadur atau mengoper perikatan-
101
102
Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal 34-35
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (4)
188
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
perikatan yang ada di dalam perkawinan heteroseksual, yang mana semua itu sudah
tersedia di dalam peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan.
Pertama, yang perlu diperhatikan adalah pemilihan nomenklatur. Pada
dasarnya pemilihan nomenklatur perjanjian adalah bebas, akan tetapi menurut Pasal
1320 ayat (3) KUHPer 103 disyaratkan “suatu hal tertentu”, maka akan lebih baik jika
nomenklatur perjanjian sesuai dengan pokok isi yang diperjanjikan. Oleh karena itu,
tulisan ilmiah ini menawarkan nomenklatur yang pas adalah Perjanjian Hidup Bersama
(PHB), karena isi pokok perjanjian tersebut memang mengatur tentang hidup bersama.
Kedua, PHB harus mencantumkan identitas para pihak. Para pihak haruslah
cakap berbuat hukum, hal ini merujuk Pasal 1320 ayat (2) KUHPer 104, yaitu
“kecakapan untuk membuat suatu perikatan”. Kategori mengenai cakap berbuat hukum
mengacu pada Pasal 1330 KUHPer, yaitu sudah berumur 21 tahun dan tidak ditaruh di
bawah pengampuan. Jadi pasangan homoseksual yang ingin membuat PHB haruslah
sudah berumur 21 tahun dan tidak ditaruh di bawah pengampuan.
Ketiga, para pembuat PHB harus benar-benar bersepakat untuk mengikatkan
diri. Hal ini merujuk pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPer 105, yaitu “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Oleh karena itu, akan lebih baik bila di dalam PHB dinyatakan
secara terang dan jelas bahwa para pembuat saling bersepakat mengikatkan diri.
Keempat, isi-isi atau klausul-klausul dalam PHB merupakan saduran atau
operan dari isi perikatan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
khususnya di bidang perkawinan. Oleh karena itu, isi-isi atau klausul-klausul di dalam
PHB antara lain adalah
a.
para pihak perjanjian memikul kewajiban yang sama untuk menegakkan hidup
bersama, 106
b.
para pihak memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, 107
c.
masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, 108
d.
salah satu pihak bertugas sebagai kepala rumah tangga, 109
e.
para pihak harus mempunyai tempat kediaman tetap yang ditentukan bersama, 110
103
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (3)
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (2)
105
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320 (1)
106
Disadur dari Pasal 30 UU 1/1974
107
Disadur dari Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974
108
Disadur dari Pasal 31 ayat (2) UU 1/1974
109
Disadur dari Pasal 31 ayat (3) UU 1/1974
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
104
189
f.
para pihak saling hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin, 111
g.
salah satu pihak melindungi pihak yang lain dan memberikan segala keperluan
hidup berumah tangga sesuai kemampuannya, 112
h.
salah satu pihak wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, 113
i.
jika salah satu pihak melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan, 114
j.
para pihak tidak boleh membuat PHB dengan pihak manapun.
Isi-isi atau klausul-klausul tentang harta benda di dalam PHB, antara lain
adalah
a.
harta benda yang diperoleh selama PHB berlangsung, menjadi harta bersama, 115
b.
harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, 116
c.
mengenai harta bersama, para pihak dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak,
d.
mengenai harta bawaan masing-masing, para pihak mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. 117
Isi-isi atau klausul-klausul tentang putusnya PHB, antara lain adalah
a.
karena kematian atau atas putusan pengadilan melalui gugatan, 118
b.
untuk menggugat harus ada cukup alasan, bahwa antara para pihak tidak dapat
hidup bersama secara rukun, 119
Agar tidak melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian, maka isi-isi atau klausul-
klausul yang melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau
kesusilaan tidak boleh dicantumkan dalam PHB. Klausul-klausul yang dimaksud
antara lain adalah mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seksual,
karena hubungan seksual di luar perkawinan sejati masih dianggap tabu oleh
masyarakat. Pelanggaran terhadap hal tabu tersebut merupakan suatu pelanggaran
kesusilaan.
110
Disadur dari Pasal 32 UU 1/1974
Disadur dari Pasal 33 UU 1/1974
112
Disadur dari Pasal 34 ayat (1) UU 1/1974
113
Disadur dari Pasal 34 ayat (2) UU 1/1974
114
Disadur dari Pasal 34 ayat (3) UU 1/1974
115
Disadur dari Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974
116
Disadur dari Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974
117
Disadur dari Pasal 36 UU 1/1974
118
Disadur dari Pasal 39 ayat (1) UU 1/1974
119
Disadur dari Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974
190
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
111
Selain menyadur atau mengoper dari perikatan-perikatan perkawinan
heteroseksual, para pihak juga dapat memodifikasinya, misal tentang adopsi anak dan
siapa yang bertanggung jawab mengasuh dan menafkahi anak tersebut.
3.
Pengautentikan Perjanjian Hidup Bersama
Perkawinan heteroseksual yang sah dan diakui oleh negara haruslah dicatat
oleh pejabat negara yang berwenang, lalu mempelai diberi buku atau salinan atas
catatan tersebut. 120 Buku atau salinan catatan tersebut merupakan akta autentik, karena
dibuat oleh pejabat yang berwenang. 121 Hal ini sesuai dengan pendapat Neng
Djubaedah 122, bahwa buku atau salinan catatan perkawinan merupakan suatu akta
autentik. Sedangkan pengautentikan PHB, dibuat oleh atau di hadapan notaris
mengikuti ketentuan pengautentikan perjanjian pada pasal 15 UU 2/2014 123. Jadi,
pengauntentikan perkawinan heteroseksual dilakukan dengan cara dicatat oleh pejabat
yang berwenang, sedangkan pengautentikkan PHB dilakukan oleh notaris.
Pasangan homoseksual tidak perlu rendah diri memakai PHB dalam
melangsungkan perkawinannya, karena antara perkawinan heteroseksual dan PHB
sama-sama bisa diautentikkan, yang paling penting adalah itikad baik dari masingmasing pihak untuk membangun rumah tangga. Walaupun perkawinan heteroseksual
itu diakui dan dapat disahkan oleh negara, tetapi kalau tidak memiliki itikad baik untuk
membangun rumah tangga yang harmonis, ujung-ujungnya akan timbul keributan dan
berpotensi cerai. Jadi, buat apa perkawinan itu sah dan diakui negara kalau akhirnya
hanya berujung pada perceraian.
Justru dengan PHB, pasangan homoseksual bisa membuktikan diri kepada
publik bahwa mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan langgeng
melebihi pasangan heteroseksual. Jadi, pasangan homoseksual tidak perlu lagi
menuntut perkawinannya diakui dan disahkan oleh negara. Toh, dengan membuat PHB
saja, pasangan homoseksual masih bisa hidup berumah tangga secara harmonis dan
langgeng.
120
Pasal 2 UU 1/1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 1868 KUHPer: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”
122
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia
dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hal 32
123
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
191
121
4.
Kelemahan Perjanjian Hidup Bersama
PHB hanyalah suatu cara bagi pasangan homoseksual untuk melakukan
perkawinan yang bersifat artifisial, artinya perkawinan tersebut bukanlah suatu
perkawinan yang sejati sebagaimana perkawinan heteroseksual. Sebagai perkawinan
artifisial, PHB memiliki kelemahan, antara lain adalah
a.
tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial,
b.
berpotensi dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat,
c.
ada kemungkinan sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB.
C. Penutup
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah
1.
Pasangan homoseksual dapat beralternatif kawin dengan cara membuat PHB asalkan
tidak bertentangan dengan syarat-syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer 124,
walaupun perkawinan tersebut bersifat artifisial;
2.
Isi-isi dan klausul-klausul di dalam PHB banyak mengadopsi perikatan-perikatan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan khususnya di bidang perkawinan, akan
tetapi para pihak masih bisa memodifikasinya sesuai dengan kebutuhannya masingmasing;
3.
PHB adalah suatu perjanjian perdata yang pengauntentikannya dilakukan dengan cara
dibuat oleh atau di hadapan notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU 2/2014;
4.
Kelemahan PHB sebagai alternatif perkawinan bagi pasangan homoseksual antara lain
adalah (a) tidak bisa melindungi pasangan homoseksual dari sanksi sosial, (b)
berpotensi dibatalkan melalui pengadilan oleh pihak ketiga atau masyarakat, (c) ada
kemungkinan sebagian notaris menolak untuk membuatkan PHB.
124
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Op. Cit., Ps 1320
192
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
DAFTAR PUSTAKA
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), Bandung: Citra Aditya Bakti
_______, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Penerbit Alumni
Komariah, 2003, Hukum Perdata, Malang: UMM Press
Neng Djubaedah, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika
R. Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Jakarta: Pradnya Paramita
Ricardo Simanjuntak, 2011, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta:
Kontan Publishing
Salim H. S., 2010, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar
Grafika
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
193
Download