Pengaruh pengeringan semprot terhadap

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SUSU FORMULA
Susu formula adalah produk susu bubuk yang diformulasikan khusus untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi pada satu tahun pertamanya. Susu formula diberikan kepada bayi yang lahir
prematur, lahir dengan berat badan rendah (< 2000 gram) dan lahir dari ibu yang positif mengidap
penyakit human imunodeviciency virus (HIV) atau secara medis air susu ibu (ASI)–nya tidak dapat
dikonsumsi (Misgiyarta, 2008). Komposisi nutrisi susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi
ASI (Breeuwer et al., 2003). Lampiran 1. menampilkan komposisi nutrisi lengkap susu formula. Susu
formula dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah susu formula berbasis susu sapi, susu
formula berbasis protein kedelai, susu formula hipoalergenik, susu formula bebas laktosa dan susu
formula exempt (susu formula khusus untuk bayi yang mengalami gangguan metabolisme, memiliki
kondisi medis atau diet tertentu atau dengan berat badan rendah) (Anonim, 2004).
1. Teknologi Pengolahan
Bahan utama
Bahan Tambahan
Standarisasi
Pencampuran Basah
Pasteurisasi
Homogenisasi
Evaporasi
Pengeringan
Pencampuran kering
(pilihan)
Pengemasan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan susu formula
(dari berbagai sumber)
Teknologi pengolahan susu formula hampir sama dengan teknologi pengolahan susu bubuk
pada umumnya. Gambar 1. menampilkan diagram alir proses pembuatan susu formula. Tahapan
pengolahan susu formula terdiri atas tahapan standarisasi, pencampuran basah, pasteurisasi,
evaporasi, homogenisasi, pengeringan, pencampuran kering (proses alternatif) dan pengemasan.
Tahapan standarisasi merupakan pengolahan awal yang bertujuan memperoleh susu dengan
karakteristik tertentu. Pada umumnya susu dikumpulkan dari beberapa petani yang tidak seragam
karakteristiknya sehingga perlu dilakukan proses standarisasi (Judkins dan Keener, 1966). Pada
tahapan ini dilakukan pengaturan kadar lemak bahan. Berdasarkan kadar lemak yang dikandung,
produk susu bubuk terbagi menjadi 4 jenis yaitu susu bubuk utuh (whole milk) dengan kadar lemak >
26,2%; susu skim dengan kadar lemak < 1%; susu bubuk (partially skimmed) dengan kadar lemak <
26%; dan krim dengan kadar lemak > 42% (Spreer, 1995).
Pencampuran basah merupakan proses yang dilakukan setelah tahapan standarisasi yang
bertujuan mencampurkan bahan baku utama (susu sapi) dengan bahan – bahan tambahan. Susu sapi,
produk turunan susu, isolat protein kedelai, karbohidrat, lemak nabati, mineral, vitamin dilarutkan
dalam air dan diaduk hingga membentuk campuran yang homogen (Robinson, 1999b; FSANZ, 2006
dan Widodo, 2003). Selain itu ditambahkan juga bahan – bahan lain seperti alumunium silikat atau
kalsium fosfat untuk mempertahankan dan meningkatkan sifat kemudahan mengalir atau flowability,
natrium dan kalium ortofosfat untuk meningkatkan kelarutan dalam air serta lesitin yang berfungsi
sebagai emulsifier (Spreer, 1995). Proses pencampuran basah dilakukan sebelum tahapan pasteurisasi
sehingga dapat mereduksi jumlah kontaminan mikroba yang berasal dari bahan baku (Robinson,
1999b).
Tahapan pasteurisasi bertujuan membunuh semua sel vegetatif bakteri patogen, bakteri
pembusuk, kapang, dan khamir sehingga dihasilkan produk yang aman secara mikrobiologi
(Fernandez, 2008, FAO – WHO, 2006, dan Arku et al., 2008). Selain itu pasteurisasi juga bertujuan
menginaktivasi enzim (Spreer, 1995). Suhu dan waktu pasteurisasi yang digunakan dapat berbeda
bergantung pada mikroba atau enzim yang menjadi target inaktivasi serta jenis bahan yang
dipasteurisasi. Beberapa kombinasi suhu – waktu yang sering digunakan antara lain pasteurisasi long
time low temperature (LTLT, 63 – 65°C) selama 30 menit, high temperature short time (HTST, 71.7
–72°C) minimal selama 15 detik dan 74,4 °C selama 25 detik untuk produk yang mengandung pati
(WHO, 2004). Suhu pasteurisasi lain yang dapat dilakukan adalah pada suhu yang lebih tinggi yaitu
ultra – pasteurisasi pada suhu 138°C minimal selama 2 detik yang diterapkan pada produk dengan
kadar lemak dan total solid yang tinggi (Spreer, 1995) atau kombinasi waktu dan suhu lainnya yang
memiliki efek letalitas yang diharapkan.
Tahapan evaporasi berfungsi mengurangi kadar air bahan sehingga persentase total padatan
bahan akan meningkat. Proses evaporasi dilakukan pada tekanan yang rendah dengan tujuan
menurunkan titik didih air sehingga air dapat menguap pada suhu yang lebih rendah. Proses
evaporasi yang dilakukan pada suhu rendah dapat meminimalkan reaksi – reaksi yang tidak
menguntungkan selama proses berlangsung (Walstra, 1983). Tahapan evaporasi disebut juga tahapan
prekonsentrasi bahan yang bertujuan mendapatkan bahan dengan ukuran, densitas, dan viskositas
yang lebih tinggi (Anonim, 2010).
Tahapan homogenisasi merupakan unit proses yang bertujuan mengecilkan sekaligus
menyeragamkan ukuran globular lemak. Menurut Walstra (1983), peningkatan luas permukaan
globular lemak akibat pengecilan ukuran akan menurunkan terjadinya agregasi lemak (creaming).
Selama proses homogenisasi akan terjadi pengecilan ukuran globular lemak dan modifikasi protein
yang menyebabkan viskositasnya meningkat (Judkins dan Keener, 1966, Walstra, 1983, Spreer,
1995). Efek homogenisasi terhadap karakteristik bahan yang dihasilkan bergantung pada tekanan
kerja yang diberikan dan jenis katup yang digunakan (Judkins dan Keener, 1966).
4 a. Metode Pengeringan
Proses pengeringan dilakukan setelah proses homogenisasi dengan tujuan mendapatkan susu
formula dengan kadar air yang rendah. Pembuatan susu formula bubuk merupakan contoh alternatif
pengolahan dan pengawetan susu dengan cara menurunkan kadar air susu. Pengurangan kadar air
pada susu segar memberikan keuntungan dalam hal mengurangi volume penyimpanan, biaya
transportasi, dan dapat memperpanjang umur simpan produk (Fernandez, 2008). Selain itu
pengeringan juga bertujuan menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengurangi risiko
degradasi kimia dan menekan pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir terhambat
petumbuhannya pada kadar aw 0,65 sedangkan bakteri pertumbuhannya terhambat pada aw 0,75
(Early, 1998).
Proses pengeringan susu formula dapat dilakukan dengan beberapa cara. Metode
pengeringan yang bisa digunakan antara lain adalah pengeringan drum (drum drying), pengeringan
oven vakum (vaccum oven drying), pengeringan semprot (spray drying) dan pengeringan beku
(freeze drying). Metode yang paling sering digunakan untuk pengeringan susu formula adalah
metode pengeringan semprot (Walstra, 1983; Spreer, 1995; dan Fernandez, 2008). Beberapa
kelebihan metode pengeringan semprot antara lain adalah tidak banyak merusak mutu produk
dibandingkan dengan metode pengeringan drum serta biaya pengeringan relatif terjangkau
dibandingkan dengan metode freeze drying dalam menghasilkan kualitas produk yang relatif setara
(Fernandez, 2008).
Pengeringan semprot atau spray drying adalah metode pengeringan yang mengkombinasikan
proses pengeringan sekaligus proses pembentukan serbuk. Alat pengeringnya disebut pengering
semprot atau spray dryer. Material masukannya berupa cairan dengan total padatan tertentu.
Pengeringan semprot menghasilkan bubuk yang sangat halus (5 – 100 µm) dengan diameter rata –
rata 20 – 60 µm (Walstra, 1983). Pembentukan droplet pada pengeringan semprot dapat dilakukan
dengan mengunakan atomizer sentrifugal (piringan berputar) atau nozzle. Pemilihan kondisi
pengeringan, alat atomisasi, ukuran dan geometri chamber akan menentukan karakteristik produk
yang dihasilkan termasuk perhitungan transfer panasnya (Arku et al., 2008). Menurut Coulter
(1955), formulasi penghitungan waktu pengeringan pada metode pengeringan semprot sangat rumit
karena kondisi pengeringan seperti humiditas dan temperatur udara, kadar air dan diameter partikel,
serta gerakan relatif diantara partikel dan pergerakan udara yang terus berubah setiap saat.
Prinsip pengeringan semprot didasarkan pada proses penyemprotan produk dalam bentuk
droplet cairan ke dalam suatu ruangan yang dihembus dengan udara panas sehingga tejadi proses
pengeringan. Pada umumnya suhu proses yang digunakan adalah 170°C – 220°C untuk suhu inlet
dan 75°C – 100°C untuk suhu outlet (Spreer, 1995). Bahan masukan pada metode pengeringan
semprot dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi cairan. Aliran udara panas akan menaikkan
suhu permukaan droplet sehingga air dalam droplet akan terevaporasi. Air yang terevaporasi akan
keluar bersama aliran udara sedangkan droplet dengan kadar air rendah akan turun ke dasar
chamber dengan bantuan cyclone. Tahapan pengeringan terjadi dalam dua langkah atau lebih yaitu
laju periode konstan (constant rate priod) yang terjadi selama permukaan droplet masih dapat
terbasahi dan laju periode jatuh (falling rate priod), adalah laju penguapan yang terus menurun
selama pengeringan seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi (Wiratakusumah et al.,
1992, dan Coutler, 1955). Menurut Chandan (2006), meskipun suhu inlet pengering yang digunakan
sangat tinggi, kerusakan protein akibat panas menjadi minimal karena terjadi pendinginan
evaporatif yang berasal dari air yang menguap dari bahan yang dikeringkan.
5 Karakteristik produk yang dihasilkan oleh metode pengeringan semprot dipengaruhi oleh
sejumlah faktor. Parameter utama yang mempengaruhi karakteristik produk pada metode
pengeringan semprot antara lain adalah proses preheating, prekonsentrasi, pembentukan droplet
dalam atomizer, serta suhu pengeringan yang terdiri dari temperatur masukan (suhu inlet) dan
temperatur keluaran (suhu outlet) yang digunakan (Walstra, 1983).
b. Karakteristik Produk Hasil Pengeringan Semprot
Produk hasil pengeringan semprot memiliki densitas yang rendah (0.33g/ml). Densitas yang
rendah disebabkan adanya vakuola yang terbentuk selama proses atomisasi dalam atomizer. Bentuk
padat dari susu bubuk memiliki densitas yang lebih tinggi (1,6 g/ml). Densitas yang rendah akan
menyebabkan produk susu bubuk mengapung, tidak terdispersi dan terbasahi dengan cepat ketika
dicampurkan dengan air. Selain itu, kondisi tersebut juga berhubungan dengan bagian luar partikel
yang menyerap air sangat cepat dan membentuk gumpalan, basah diluar namun kering di dalam
sehingga penetrasi air menjadi lambat.
Pengeringan semprot menghasilkan produk sangat sangat halus. Kondisi tersebut terjadi jika
bahan baku yang digunakan tidak mengalami tahapan prekonsentrasi. Selain itu produk yang sangat
halus juga dihasilkan ketika tekanan udara dalam atomizer dinaikan. Menurut Spreer (1995) partikel
halus hasil pengeringan semprot memiliki beberapa kekurangan seperti kelarutan yang buruk dalam
air, mudah terbawa oleh aliran udara pengering, tidak mudah mengalir dan sangat mudah
teragglomerasi dengan meningkatnya kelembaban. Maka dari itu produk hasil pengeringan semprot
pada umumnya diberi perlakuan instanisasi yang bertujuan memperbaiki kelarutan, kemudahan
partikel untuk mengalir serta mengurangi jumlah partikel halus yang terbentuk.
Produk hasil pengeringan semprot sangat mudah menggumpal. Gula susu yang terbentuk
pada proses pengeringan semprot merupakan gula amorphous yang sangat higroskopis dan sangat
cepat menyerap kelembaban. Penyerapan kelembaban menyebabkan rekristalisasi dan biasanya
disertai dengan perubahan warna dan pembentukan off – flavor. Hal tersebut merupakan penyebab
caking pada kebanyakan produk susu bubuk selama penyimpanan. Peningkatan kelembaban produk
dapat meningkatkan risiko mikrobiologis karena memperbesar peluang tumbuhnya mikroba.
c. Pengaruh Pengeringan Semprot terhadap Inaktivasi Mikroba
Metode pengeringan semprot (spray drying) tidak banyak merusak mutu produk. Waktu
pengeringan pada proses pengeringan semprot yang berlangsung singkat memungkinkan kontak
minimal antara panas dengan bahan. Air terevaporasi dengan cepat karena luas permukaan droplet
yang besar (Arku et al., 2008). Waktu pengeringan yang singkat dengan suhu produk yang tidak
lebih dari 70°C menyebabkan protein dan enzim tidak banyak terdenaturasi (Walstra, 1999).
Kondisi pengeringan semprot yang tidak banyak merusak mutu produk menyebabkan mikroba yang
toleran terhadap panas dapat bertahan dan terbawa ke dalam produk akhir (Walstra, 1999, dan
Fernandez, 2008). Bakteri patogen seperti Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp.,
Listeria monocytogenes, Staphylococcus spp., dan Enterobacter spp. telah diisolasi dari susu
formula (Fernandez, 2008). Maka dari itu produk susu bubuk memiliki kriteria batas cemaran
mikroba yang boleh berada dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk
6 susu bubuk berdasarkan SNI (standar nasional Indonesia) produk susu bubuk. Tabel 1. menyajikan
batas cemaran mikroba berdasarkan SNI produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006).
Tabel 1. Batas cemaran mikroba pada produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006)
No
Jenis
Satuan
1
2
3
4
5
ALT
Coliform
E. coli
Salmonella
S. aureus
koloni/g
APM
Koloni/g
Koloni/100g
Koloni/g
Susu Bubuk
Berlemak
Maks. 5 x 104
Maks. 10
<3
Negatif
1 x 102
Persyaratan
Susu Bubuk
rendah Lemak
Maks. 5 x 104
Maks. 10
<3
Negatif
1 x 102
Susu Bubuk
Tanpa Lemak
Maks. 5 x 104
Maks. 10
<3
Negatif
1 x 102
(BSN, 2006)
Beberapa tahun terakhir bakteri patogen oportunistik Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
ditemukan dalam susu formula, makanan bayi dan produk sejenisya yang beredar di Indonesia.
Pada tahun 2009 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan batas cemaran
mikroba untuk produk susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan dengan
tujuan untuk melindungi konsumen dari risiko penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter
spp.). Tabel 2 . menampilkan batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis
khusus dan formula lanjutan
Tabel 2. Batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula
lanjutan
No
Jenis
Satuan
1
2
3
4
5
6
7
ALT (30°C 72 jam)
Coliform
Enterobacteriacae
Salmonella
S. aureus
Enterobacter sakazakii
Bacillus cereus
Koloni/g
APM/g
Koloni/10g
Koloni/25g
Koloni/g
APM/10g
Koloni/10g
Persyaratan
Formula bayi untuk
keperluan medis khusus
Maks. 5 x 104
Tidak ditentukan
Negatif
Negatif
1 x 101
Negatif
1 x 102
Formula
Lanjutan
Maks. 5 x 104
<3
Tidak ditentukan
Negatif
1 x 101
Tidak ditentukan
1 x 102
(BPOM, 2009)
Ketahanan mikroba terhadap pengeringan semprot dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Jenis
bahan pangan akan mempengaruhi ketahanan dari mikroba. Komponen-komponen tertentu dalam
bahan pangan akan memberikan efek proteksi terhadap mikroba. Keberadaan lemak akan
meningkatkan resistensi termal bakteri karena berhubungan dengan kemampuan lemak untuk
mempengaruhi kelembaban sel dan memberikan efek proteksi. Komponen lainnya yang dapat
memberikan efek proteksi terhadap panas adalah total karbohidrat. Efek proteksi yang dihasilkan
karbohidrat berasal dari keberadaan gula yang akan mengurangi aw melalui mekanisme pengikatan
air.
7 Selain itu total padatan bahan masukan akan mempengaruhi ketahanan panas mikroba selama
pengeringan semprot. Total solid yang lebih tinggi akan menghasilkan partikel yang lebih besar yang
akan memberikan kerusakan panas yang lebih besar besar (Espina and Packard, 1979). Partikel
produk yang lebih besar akan memerangkap mikroba sehingga mikroba yang terperangkap ikut
terpapar panas yang dialami partikel. Hal tersebut juga berhubungan dengan waktu pengeringan yang
lebih lama pada partikel yang lebih besar.
Selain itu faktor lainnya yang dapat mempengaruhi ketahanan mikroba selama pengeringan
semprot adalah penggunaan suhu outlet pengering. Peningkatan suhu outlet pengering akan
menurunkan jumlah mikroba yang masih bertahan setelah pengeringan semprot (LiCari dan Potter,
1970; Espina dan Packard, 1979; To dan Etzel, 1997). Suhu outlet yang lebih tinggi menyebabkan
suhu produk meningkat sehingga akan memperbesar tingkat inaktivasi mikroba (Walstra, 1999).
B. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif,
motil, tidak membentuk spora, dan termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae (Farmer et al.,
1980). Bakteri ini semula diklasifikasikan sebagai Enterobacter cloacae pembentuk pigmen kuning.
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dibedakan dari Enterobacter cloacae berdasarkan
perbedaan pada hibridisasi DNA–DNA, produksi pigmen, dan kepekaan terhadap antibiotik (Farmer
et al., 1980). Pada tahun 2003 (Iversen dan Forsythe, 2003) mengusulkan klasifikasi ulang taksonomi
E. sakazakii berdasarkan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA, serta
uji biokimia (API20E, ID32E) termasuk uji –glukosidase, pembentukan pigmen kuning dan
pertumbuhannya pada media kromogenik.
1. Penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan patogen oportunistik.
Pemberian susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada
kelompok bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah dilaporkan telah mengakibatkan
bayi tersebut menderita penyakit meningitis dan necrotizing enterocolitis (NEC) (Biering, 1989,
Drudy et al., 2006 dan Kim and Loessner, 2007). Berdasarkan keterkaitannya sebagai penyebab
penyakit neonatal meningitis, bakteri ini pertama kali telah dilaporkan Urmenyi dan Franklin pada
tahun 1961 (Gurtler et al., 2005). Sedikitnya terdapat 76 kasus infeksi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) dengan 19 kasus infeksi diantaranya dilaporkan menyebabkan penderitanya
meninggal (Iversen dan Forsythe, 2003). Selain itu infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter
spp.) juga menyebabkan bacteremia yang parah (Block et al., 2002). Selain menyerang anak – anak,
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga dilaporkan dapat menyerang orang dewasa walaupun
tidak sampai mengakibatkan kematian (Gurtler et al., 2005). Tingkat mortalitas yang tinggi (40–
80%) pada bayi yang baru lahir (0–6 bulan) akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter
spp.) (Iversen dan Forsythe, 2003) menyebabkan bakteri ini dimasukkan dalam tren perkembangan
patogen dunia sejak tahun 2005 dan banyak diulas oleh para peneliti dari seluruh dunia (Skovgaard,
2007).
8 2. Sumber Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
Sumber alami Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan agen pembawanya masih belum
jelas (Drudy et al., 2006, Kim dan Loessner, 2007). Bakteri ini telah diisolasi dari herbal, rempah–
rempah kering, makanan kering, makanan dari tanaman yang dikeringkan, produk keju, sayuran
(Iversen et al., 2004) makanan bayi, dan susu bubuk. Bakteri ini juga telah ditemukan di lingkungan
(8 dari 9 pabrik makanan), termasuk pabrik sereal (Kandhai et al., 2004). Selain dari makanan dan
lingkungan pabrik, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga telah diisolasi dari dari sumber
klinis termasuk darah, sumsum tulang, dahak, urin, jaringan appendiks, saluran pernapasan, mata,
telinga, luka, tinja, dan lingkungan rumah sakit (Gurtler, 2005). Akan tetapi meskipun Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) ditemukan dibanyak tempat, hanya kontaminasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) pada susu formula dilaporkan berasosiasi secara epidemologi dengan sejumlah
wabah penyakit meningitis di sejumlah negara, (Farmer et al., 1980, Muytjens et al., 1988) sehingga
banyak dilakukan penelitian mengenai mekanisme maupun pengendalian kontaminasi bakteri
tersebut pada proses pembuatan susu formula hingga proses rekonstitusinya. Lampiran 2.
menampilkan laporan terjadinya wabah sporadis yang berasosiasi dengan kontaminasi Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula.
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah banyak diisolasi dari susu formula di
berbagai negara. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sedikitnya telah berhasil diisolasi dari
susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survei menunjukan 20 dari 141 (14.2% susu
formula komersial yang berasal dari 13 negara mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter
spp.) dengan tingkat kontaminasi 0.36 – 66 CFU/100 g (Muytjen et al., 1988). Survei susu formula di
wilayah pemasaran Kanada menunjukan delapan dari 120 (6.7%) positif mengandung Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) (Nazarowec–White dan Farber, 1997). Laporan terbaru terkait
ditemukannya Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya
adalah pada tahun 2006. Estuningsih (2006) melaporkan 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%)
di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10
sampel (13.5%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada tahun yang
sama Restaino et al. (2006) telah mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 6 dari 18
(33.3%) MP – ASI, makanan kering, dan makanan formula lainnya. Setelah itu pada tahun 2008
Meutia (2008) juga telah berhasil mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari susu
formula dan makanan bayi (6 sampel dari 25 sampel) yang beredar di Indonesia. Pada tahun yang
sama dari 78 sampel street food di Malaysia 9% di antaranya positif Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) dengan uji biokimiawi standar (API 20E) (Haryani et al. 2008). Beberapa tahun
kemudian Gitapratiwi (2011) kembali menemukan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16); 11,8% pada pati-patian(n=15); dan 6,3% pada
produk pangan kering lainnya (n=17).
Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ke dalam susu formula dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor. Menurut CAC (2008), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
dapat masuk ke dalam susu formula melalui tiga cara, yaitu 1) kontaminasi dari lingkungan proses
pada tahapan tertentu selama pengeringan, 2) kontaminasi susu formula setelah kemasan dibuka, dan
3) kontaminasi selama atau setelah proses rekonstitusi. Kontaminasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) dari lingkungan proses diketahui berasal dari alat – alat proses yang digunakan.
Hal tersebut terkait dengan kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) membentuk
kapsul dengan cara memproduksi heteropolisakarida yang menjadikan bakteri ini dapat menempel
pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan
9 desinfektan (Iversen dan Forsythe, 2003) sehingga dapat meningkatkan peluang rekontaminasi
bakteri tersebut. Selain itu menurut Food and Agriculture Organization – World Health Organization
(FAO – WHO) (2004), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang mencemari produk susu
bubuk termasuk susu formula dapat juga berasal dari ingridien yang ditambahkan selama proses
pembuatan susu formula. Tabel 3. menampilkan ingridien susu formula yang terkontaminasi
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.).
Tabel 3. Survey industri mengenai keberadaan Enterobacteriaceae dan Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) pada Ingredien yang digunakan pada metode pencampuran kering untuk semua
jenis susu formula (hingga usia 3 tahun).
Nama Bahan
Vitamin
Whey bubuk
Sukrosa
Laktosa
Pisang serbuk/flake
Jeruk serbuk/flake
Lesitin
Pati
n (10g)
793
23
1691
2219
105
61
136
1389
Positif koliform atau
Enterobacteriace
8
3
28
70
3
1
1
155
Positif
Enterobacter
sakazakii
(Cronobacter spp.)
0
0
0
2
1
1
1
40
(FAO – WHO, 2004)
Tabel 3. menunjukkan bahwa susu skim bubuk, laktosa, tepung pisang, tepung jeruk, lesitin,
dan pati berpotensi tinggi menjadi sumber kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
pada poses pembuatan susu formula. Menurut Arroyo et al. (2009) dan Iversen et al. (2003),
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah ditemukan dimana–mana termasuk air, tanah,
tanaman, hewan, manusia dan lingkungan sehingga menjadi sesuatu yang tidak mengagetkan jika
bakteri ini ditemukan pada unit produksi makanan, berbagai jenis bahan pangan, bahan baku
makanan yang berasal dari tanaman dan hewan. Penambahan bahan–bahan tambahan tersebut
tersebut dilakukan sebelum maupun setelah proses pengeringan bahan utama. Menurut Robinson
(1999b) pengurangan kontaminasi mikroba yang berasal dari bahan baku seharusnya sudah dapat
ditanggulangi dengan cara menerapkan metode pencampuran basah serta tidak menambahkan bahan
–bahan tersebut dengan metode pencampuran kering.
3. Ketahanan Panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat tumbuh pada rentang suhu yang
cukup luas. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 6°C hingga 45°C. Beberapa hasil
penelitian bahkan menunjukan beberapa galur dapat tumbuh pada suhu maksimum 47°C (Nazarowec
– White and Farber, 1997, Arroyo et al., 2009). Menurut (Fitriyah, 2010) penggunaan suhu
rekonstitusi hingga 50°C tidak banyak berarti terhadap survival dan pertumbuhan Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) dalam susu formula. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dinilai
lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriacea lainnya meskipun bakteri ini inaktiv
10 dengan cepat selama proses pasteurisasi HTST. Penggunaan suhu rekonstitusi 70°C mampu
mereduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hingga 6,51 log (Meutia, 2008).
Nilai inaktivasi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diperoleh sejumlah
peneliti cukup beragam. Gambar 2. menunjukan nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
lokal yang diperoleh dari hasil penelitian Ardelino (2010) dan akan digunakan pada penelitian ini.
Isolat YRt2a, YRc3a, dan E9 merupakan isolat lokal asal makanan. Berdasarkan gambar 2. dapat
diketahui bahwa kisaran nilai D54 untuk keempat isolat yang diujikan adalah 7,50 – 9,13 menit,
nilai D56 berada pada kisaran 3,61–4,24 menit, nilai D58 berkisar antara 1,34 menit hingga 1,39
menit, dan nilai D60 berada pada rentang 0,71–0,90 menit.
Log Nilai D (menit)
12.00
10.00
9.13
8.66
7.75
8.00
7.50
6.00
4.10
1.39
2.00
1.39
1.38 0.89
1.34 0.90
0.82
4.24
3.83
3.61
4.00
0.71
0.00
54
56
58
60
ATCC 51329
54
56
58
YRt2a
60
54
56
58
60
54
56
YRc3a
58
60
E9
Kode Isolat E. sakazakii
Gambar 2. Nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Asal Makanan
(Ardelino, 2011)
Hasil tersebut mendekati dengan nilai D56 yang diperoleh Kim Soo Hwan dan Jong Hyun Park (2007)
yaitu sebesar 3,91–4,67 menit namun lebih rendah dibandingkan nilai D56 yang dilaporkan
Nazarowec- White dan Farber (1997) yaitu sebesar 9,75 menit. Bahkan Breeuwer et al. (2003)
menemukan nilai D56 yang lebih rendah yaitu sebesar 2,4 menit. Kisaran nilai D58 yang dilaporkan
Iversen et al . (2003) yaitu sebesar 1,3 menit sedangkan nilai D58 yang dilaporkan oleh Nazarrowec –
White dan Farber (1997) lebih tinggi (3,44 menit) dibandingkan nilai D58 pada penelitian Breeuwer et
al. (0,48 menit). Nilai D60 yang dilaporkan oleh Nazarowec–White dan Farber (1997) lebih tinggi
(2,15 menit) untuk isolat asal makanan dibandingkan nilai D60 yang dilaporkan oleh Iversen et al.
(2004) adalah 0,73 hingga 1,07 menit pada menstruum pemanas TSB (Tryptose Soy Broth). Selain
nilai D, Nilai Z yang diperoleh juga cukup bervariasi diantara sejumlah peneliti meskipun masih
termasuk kedalam nilai Z sebagian besar foodborne pathogen yang tidak membentuk spora (4°C –
6°C) (Tomlins dan Ordal 1976). Nilai Z yang diperoleh Nazarowec – White dan Farber (1997) yaitu
sebesar 5,82°C untuk isolat asal makanan dan lebih tinggi dibandingkan nilai Z yang diperoleh
Iversen et al (2003) yaitu sebesar 5,6°C–5,8°C. Pada penelitian Ardelino 2011 diperoleh nilai Z
isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan sebesar 5,65 oC hingga 6,10 oC.
Keragaman ketahanan panas dan respon Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap
11 perlakuan panas diantara sejumlah peneliti disebabkan oleh adanya perbedaan galur Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) (Arroyo et al., 2009) yang dibedakan berdasarkan sumber
ditemukannya bakteri tersebut.
Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) diketahui lebih toleran terhadap panas
dibandingkan Enterobacteriaceae lainnya yang mengkontaminasi produk susu (Edelson–Mammel
dan Buchanan, 2004, Iversen et al., 2004, Nazarowec–White dan Farber, 1997). Data hasil
ekstrapolasi pada suhu 72°C menunjukan bahwa Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berada
pada kisaran 0.3203–0.5823 detik dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan enterobacter lain
yang mengkontaminasi susu seperi Salmonella, Escherichia coli dan Camphylobacter jejuni tapi
tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan waterborne pathogen Listeria monocytogenes
(Nazarowec–White et al., 1999 dan Iversen et al. 2003) (Tabel 4.).
Tabel 4. Perbandingan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap
beberapa Enterobactericeae
Organisme
Menstruum pemanas
D72 (detik)
Aeromonas hydrophila
Campylobacter jejuni
Escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
Salmonella muenster
Salmonella senftenberg
Salmonella typhimurium
Shigella dysenteriae
Yersinia enterocolitica
ATCC51329
YRt2a
YRc3a
29a – 8
Raw milk
Skim milk
Whole milk
Human milk
Whole milk
Whole milk
Whole milk
Whole milk
Whole milk
Infant formula
Infant formula
Infant formula
Infant formula
0.01476
0.07033
0.15669
0.00008
0.07214
0.08417
0.22000
0.13045
0.46086
0.3417
0.5823
0.4371
0.3203
(Ardelino, 2011)
Akan tetapi meskipun terjadi variasi dalam pengukuran resistensi termal Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.), bakteri tersebut tidak mampu bertahan pada suhu HTST (High Temperature
Short Time) sebesar 72°C selama 15 detik karena proses tersebut dapat mengurangi jumlah bakteri
hingga 11 siklus log (Nazarowec – White dan Farber 1997). Maka dari itu keberadaan bakteri ini
dalam susu formula dimungkinkan akibat dari adanya rekontaminasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) pada susu formula setelah tahapan pasteurisasi.
Selain perbedaan galur, beberapa faktor lainnya yang dapat menyebabkan perbedaan
ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) antara lain kondisi fisiologis bakteri,
suhu pertumbuhan inokulum, menstruum pemanas (kadar lemak, total padatan, serta konsentrasi
gula), dan metodologi recovery cold shock setelah proses pemanasan (Knabel et al 1990), kadar air,
jumlah inokulum, usia kultur, temperatur pertumbuhan, senyawa penghambat, waktu dan temperatur,
konsentrasi garam, kadar karbohidrat, pH, serta efek dari ultrasonics (Lewis, 2000).
12 4. Batas Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Produk
Susu Formula
Kajian mengenai batas kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu
formula dan produk sejenisnya terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan bakteri lainnya di dalam susu formula masuk dalam
draf pembahasan pada pertemuan FAO–WHO. Selanjutnya pada tahun 2006 Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) kembali menjadi draf utama pada pertemuan FAO–WHO meskipun tidak sampai
menghasilkan standar cemaran Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk susu formula.
Menurut FAO–WHO (2006), meskipun data mengenai level kontamimasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) pada susu formula tersedia di industri, level kontaminasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) yang sebenarnya masih belum jelas. Menurut (Van Acker, 2001) Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) sudah dapat menyebabkan infeksi pada tingkat populasi <3 cfu/100 g.
Draf terakhir mengenai standar kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk
susu bubuk yang dibahas pada pertemuan FAO–WHO pada tahun 2006 hanya sampai pada
pemodelan kontaminasi secara statistik ditingkat industri. Tingkat kontaminasi yang digunakan pada
pemodelan tersebut adalah 10–3, 10–4 dan 10–5 CFU/g. Pemodelan tersebut selanjutnya akan
menghasilkan suatu metodologi untuk mengevaluasi kriteria mikrobiologi dan metode penarikan
contoh susu formula yang terbaik sehingga akan diperoleh penurunan risiko mikrobiologis dan
persentase produk yang ditolak pada setiap lotnya akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) (FAO – WHO, 2006). Tabel 5. Menampilkan kriteria cemaran Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya yang dikeluarkan oleh Codex
Alimentarius Committee pada tahun 2008.
Unit contoh adalah bentuk individu atau terkecil atau kuantitas produk yang didesain menjadi
bagian dari contoh. Acceptance–number (c) adalah jumlah pada rencana penarikan contoh yang
mengindikasikan jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang ditentukan. Tingkat
inspeksi II digunakan untuk pengambilan contoh bila terjadi sanggahan terhadap hasil pengujian
menurut tingkat inspeksi I, atau bila diperlukan hasil pengujian yang lebih meyakinkan. Parameter
(n) adalah ukuran contoh yang akan diperiksa yang didasarkan pada ukuran lot, ukuran kemasan
terkecil dan tingkat inspeksi. Tidak perlu membatasi ukuran contoh sebagai minimum untuk ukuran
lot dan tigkat inspeksi yang tepat. Dalam semua kasus contoh yang lebih besar dapat dipilih.
Tabel 5. Kriteria Mikrobiologi untuk susu formula, susu formula dengan tujuan medis khusus dan
makanan tambahan ASI
Mikroorganisme
Enterobacter sakazakii
(Cronobacteer species )*
n
30
C
0
m
0/10 g
Tingkat Inspeksi
II
Salmonella
60
0
0/25 g
II
Keterangan :
n = jumlah sampel yang harus dianalisis
c = jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang diizinkan pada tingkat inspeksi
II
m= batas konsentrsasi mikrobiologi pada tingkat inspeksi II yang membedakan antara kuali –
tas baik dengan kualitas buruk (ditolak)
(CAC, 2008)
13 Kriteria di atas digunakan dengan asumsi catatan produksi dari lot tersebut tidak diketahui dan
kriteria yang digunakan berdasarkan basis lot. Instansi yang catatan produknya diketahui seperti
produk tersebut tercatat dalam dokumentasi lengkap pada sistem HACCP, kriteria pengambilan
contoh alternatif termasuk lot process control testing dapat dilakukan. Tindakan yang harus
dilakukan ketika terjadi kegagalan pemenuhan kriteria di atas antara lain (1) mencegah pengeluaran
produk untuk konsumen dari lot yang terpengaruh (2) penarikan kembali produk jika produk tersebut
telah dikeluarkan untuk konsumen, dan (3) menentukan dan mengoreksi akar penyebab kegagalan.
Kriteria tersebut diaplikasikan untuk produk akhir (bentuk bubuk) setelah pengemasan primer
hingga pada saat kemasan primer dibuka.
5. Subtansi Pelindung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat memproduksi heteropolisakarida.
heteropolisakarida yang diproduksi oleh galur Enterobacter sakazakii terdiri atas 13– 22% L-fucosa,
19–24 % D-galaktosa, 23–30 % D-glukosa, 0–8 % D-mannosa, 29–32% asam glukuronat berdasarkan
basis beratnya (Harris & Oriel, 1989). Heteropolisakarida tersebut juga diproduksi oleh Klebsiella
pneumoniae dan Bacillus polymyxa. Komposisi dan berat molekul polimer tersebut bervariasi
bergantung pada galur bakteri yang digunakan maupun kondisi khusus kulturnya. Heteropolisakarida
tersebut sebenarnya pertama kali ditemukan pada tumbuhan teh dan dikenal sebagai polisakarida teh.
Polisakarida teh dapat diproduksi dengan memfermentasi media kultur yang terdiri atas galur
Enterobacter sakazakii tertentu atau mutan dan nutrien yang cocok. Polimer tersebut diproduksi pada
rentang suhu 20°C hingga 40°C. Produksi polimer tersebut membutuhkan keberadaan sumber
karbohidrat konvensional seperti glukosa, sukrosa, dan sejenisnya. Selain itu dibutuhkan minimal satu
jenis sumber nitrogen organik maupun anorganik seperti yeast extract, tryptone, atau NH4CI. Rentang
pH yang cocok untuk kondisi pembentukan polimer tersebut berkisar antara 5 hingga 9.
Heteropolisakarida yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat
membentuk biofilm. Hasil penelitian Iversen, (2004) menunjukan bahwa bakteri ini dapat membentuk
biofilm pada permukaan lateks, silikon, dan stainless steel ketika ditumbuhkan dalam susu formula.
Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) karena material–
material tersebut pada umumnya digunakan sebagai alat preparasi dan pembuatan susu formula.
Eenterobacter sakazakii dilaporkan menempel pada silikon, lateks, dan polikarbonat pada luasan yang
lebih besar dibandingkan dengan stainless steel. Jumlah bakteri yang masih hidup (nilai median) dari
galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul pada lateks adalah sebesar
8x103 CFU cm2 dibandingakan dengan 50 CFU cm2 pada stainless steel (Iversen, 2004). Selain itu
galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul dapat membentuk biofilm
pada silikon, lateks, dan polikarbonat yang lebih banyak dibandingkan galur Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) yang tidak membentuk kapsul yaitu dengan nilai median sebesar 6x103 CFU/cm2
dibandingkan 20 – 400 CFU/cm2 (Iversen, 2004). Gambar 3. menampilkan biofilm yang dibentuk oleh
galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul.
Temperatur dan nutrisi dalam media tumbuh memiliki pengaruh penting dalam penempelan
dan pembentukan biofilm Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Populasi penempelan sel pada
stainless steel dan botol susu oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih besar terjadi pada
suhu 25°C dibandingkan pada suhu 12°C, yaitu jumlah sel meningkat dari 1,42 menjadi 1,67 log
CFU/cm2 dan dari 1,16 menjadi 1,31 log CFU/cm2 pada pembentukan biofilm pada stainless steel dan
botol susu yang dibasahi dengan susu formula rekonstitusi pada suhu 25°C (Kim, 2006). Akan tetapi
14 Kim (2006) juga menyatakan bahwa biofilm tidak terbentuk pada media TSB and jus selada meskipun
suhu inkubasi yang digunakan suhu 25°C.
Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat membentuk
trehalose (Breeuwer, 2003). Trehalose adalah disakarida glukosa yang tidak tereduksi dan
diasumsikan berperan dalam pengaturan yang sangat penting dalam melindungi bakteri dari
kekeringan dengan cara menstabilkan membran fosfolipid dan protein (Crowe et al., 1992).
Konsentrasi trehalose akan meningkat meningkat pada kondisi fase stasioner. Pada fase
stasionernya, konsentrasi trehalose yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
mencapai 0,040 µmol/mg protein sedangkan pada sel pada kondisi stasioner yang telah dikeringkan,
Gambar 3. Heteropolisakarida yang diproduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Iversen, 2004)
konsentrasi trehalose meningkat menjadi 0,23 µmol/mg protein (Breeuwer, 2003). Pada fase
eksponensial pengukuran konsentrasi trehalose sangat sedikit, yaitu<0,003 µmol/mg protein baik pada
sel basah maupun sel yang telah dikeringkan.
Penambahan trehalose ke dalam media tumbuh yang berisi Enterobacter sakazakii
(Cronobacter spp.) pada fase eksponensial dilaporkan telah meningkatkan ketahanannya setelah
pengeringan. Hal tersebut menunjukan bahwa konsentrasi trehalose yang lebih tinggi pada fase
stasioner akan meningkatkan ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap stress
osmotik dan kondisi kering. Hal tersebut juga menunjukan bahwa fase stasioner sel Enterobacter
sakazakii (Cronobacter spp.) lebih resisten terhadap stress osmotik dan kondisi kering dibandingkan
dengan fase eksponensialnya.
Kondisi fase stasioner merupakan syarat terjadinya akumulasi trehalose selama stress akibat
kondisi kering. Dengan kata lain sel benar-benar akan mensintesis lebih banyak trehalose pada fase
stasionernya. Selanjutnya jika terdapat trehalose yang tidak berguna maka akan terjadi induksi dari
periplasmatic trehalase pada kondisi fase stasioner. Setiap terdapat trehalose yang tidak berguna akan
ditransportasikan ke periplasma untuk dikonversi menjadi glukosa dan digunakan kembali.
15 
Download