II. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU FORMULA Susu formula adalah produk susu bubuk yang diformulasikan khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi pada satu tahun pertamanya. Susu formula diberikan kepada bayi yang lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah (< 2000 gram) dan lahir dari ibu yang positif mengidap penyakit human imunodeviciency virus (HIV) atau secara medis air susu ibu (ASI)–nya tidak dapat dikonsumsi (Misgiyarta, 2008). Komposisi nutrisi susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al., 2003). Lampiran 1. menampilkan komposisi nutrisi lengkap susu formula. Susu formula dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah susu formula berbasis susu sapi, susu formula berbasis protein kedelai, susu formula hipoalergenik, susu formula bebas laktosa dan susu formula exempt (susu formula khusus untuk bayi yang mengalami gangguan metabolisme, memiliki kondisi medis atau diet tertentu atau dengan berat badan rendah) (Anonim, 2004). 1. Teknologi Pengolahan Bahan utama Bahan Tambahan Standarisasi Pencampuran Basah Pasteurisasi Homogenisasi Evaporasi Pengeringan Pencampuran kering (pilihan) Pengemasan Gambar 1. Diagram alir pembuatan susu formula (dari berbagai sumber) Teknologi pengolahan susu formula hampir sama dengan teknologi pengolahan susu bubuk pada umumnya. Gambar 1. menampilkan diagram alir proses pembuatan susu formula. Tahapan pengolahan susu formula terdiri atas tahapan standarisasi, pencampuran basah, pasteurisasi, evaporasi, homogenisasi, pengeringan, pencampuran kering (proses alternatif) dan pengemasan. Tahapan standarisasi merupakan pengolahan awal yang bertujuan memperoleh susu dengan karakteristik tertentu. Pada umumnya susu dikumpulkan dari beberapa petani yang tidak seragam karakteristiknya sehingga perlu dilakukan proses standarisasi (Judkins dan Keener, 1966). Pada tahapan ini dilakukan pengaturan kadar lemak bahan. Berdasarkan kadar lemak yang dikandung, produk susu bubuk terbagi menjadi 4 jenis yaitu susu bubuk utuh (whole milk) dengan kadar lemak > 26,2%; susu skim dengan kadar lemak < 1%; susu bubuk (partially skimmed) dengan kadar lemak < 26%; dan krim dengan kadar lemak > 42% (Spreer, 1995). Pencampuran basah merupakan proses yang dilakukan setelah tahapan standarisasi yang bertujuan mencampurkan bahan baku utama (susu sapi) dengan bahan – bahan tambahan. Susu sapi, produk turunan susu, isolat protein kedelai, karbohidrat, lemak nabati, mineral, vitamin dilarutkan dalam air dan diaduk hingga membentuk campuran yang homogen (Robinson, 1999b; FSANZ, 2006 dan Widodo, 2003). Selain itu ditambahkan juga bahan – bahan lain seperti alumunium silikat atau kalsium fosfat untuk mempertahankan dan meningkatkan sifat kemudahan mengalir atau flowability, natrium dan kalium ortofosfat untuk meningkatkan kelarutan dalam air serta lesitin yang berfungsi sebagai emulsifier (Spreer, 1995). Proses pencampuran basah dilakukan sebelum tahapan pasteurisasi sehingga dapat mereduksi jumlah kontaminan mikroba yang berasal dari bahan baku (Robinson, 1999b). Tahapan pasteurisasi bertujuan membunuh semua sel vegetatif bakteri patogen, bakteri pembusuk, kapang, dan khamir sehingga dihasilkan produk yang aman secara mikrobiologi (Fernandez, 2008, FAO – WHO, 2006, dan Arku et al., 2008). Selain itu pasteurisasi juga bertujuan menginaktivasi enzim (Spreer, 1995). Suhu dan waktu pasteurisasi yang digunakan dapat berbeda bergantung pada mikroba atau enzim yang menjadi target inaktivasi serta jenis bahan yang dipasteurisasi. Beberapa kombinasi suhu – waktu yang sering digunakan antara lain pasteurisasi long time low temperature (LTLT, 63 – 65°C) selama 30 menit, high temperature short time (HTST, 71.7 –72°C) minimal selama 15 detik dan 74,4 °C selama 25 detik untuk produk yang mengandung pati (WHO, 2004). Suhu pasteurisasi lain yang dapat dilakukan adalah pada suhu yang lebih tinggi yaitu ultra – pasteurisasi pada suhu 138°C minimal selama 2 detik yang diterapkan pada produk dengan kadar lemak dan total solid yang tinggi (Spreer, 1995) atau kombinasi waktu dan suhu lainnya yang memiliki efek letalitas yang diharapkan. Tahapan evaporasi berfungsi mengurangi kadar air bahan sehingga persentase total padatan bahan akan meningkat. Proses evaporasi dilakukan pada tekanan yang rendah dengan tujuan menurunkan titik didih air sehingga air dapat menguap pada suhu yang lebih rendah. Proses evaporasi yang dilakukan pada suhu rendah dapat meminimalkan reaksi – reaksi yang tidak menguntungkan selama proses berlangsung (Walstra, 1983). Tahapan evaporasi disebut juga tahapan prekonsentrasi bahan yang bertujuan mendapatkan bahan dengan ukuran, densitas, dan viskositas yang lebih tinggi (Anonim, 2010). Tahapan homogenisasi merupakan unit proses yang bertujuan mengecilkan sekaligus menyeragamkan ukuran globular lemak. Menurut Walstra (1983), peningkatan luas permukaan globular lemak akibat pengecilan ukuran akan menurunkan terjadinya agregasi lemak (creaming). Selama proses homogenisasi akan terjadi pengecilan ukuran globular lemak dan modifikasi protein yang menyebabkan viskositasnya meningkat (Judkins dan Keener, 1966, Walstra, 1983, Spreer, 1995). Efek homogenisasi terhadap karakteristik bahan yang dihasilkan bergantung pada tekanan kerja yang diberikan dan jenis katup yang digunakan (Judkins dan Keener, 1966). 4 a. Metode Pengeringan Proses pengeringan dilakukan setelah proses homogenisasi dengan tujuan mendapatkan susu formula dengan kadar air yang rendah. Pembuatan susu formula bubuk merupakan contoh alternatif pengolahan dan pengawetan susu dengan cara menurunkan kadar air susu. Pengurangan kadar air pada susu segar memberikan keuntungan dalam hal mengurangi volume penyimpanan, biaya transportasi, dan dapat memperpanjang umur simpan produk (Fernandez, 2008). Selain itu pengeringan juga bertujuan menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengurangi risiko degradasi kimia dan menekan pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir terhambat petumbuhannya pada kadar aw 0,65 sedangkan bakteri pertumbuhannya terhambat pada aw 0,75 (Early, 1998). Proses pengeringan susu formula dapat dilakukan dengan beberapa cara. Metode pengeringan yang bisa digunakan antara lain adalah pengeringan drum (drum drying), pengeringan oven vakum (vaccum oven drying), pengeringan semprot (spray drying) dan pengeringan beku (freeze drying). Metode yang paling sering digunakan untuk pengeringan susu formula adalah metode pengeringan semprot (Walstra, 1983; Spreer, 1995; dan Fernandez, 2008). Beberapa kelebihan metode pengeringan semprot antara lain adalah tidak banyak merusak mutu produk dibandingkan dengan metode pengeringan drum serta biaya pengeringan relatif terjangkau dibandingkan dengan metode freeze drying dalam menghasilkan kualitas produk yang relatif setara (Fernandez, 2008). Pengeringan semprot atau spray drying adalah metode pengeringan yang mengkombinasikan proses pengeringan sekaligus proses pembentukan serbuk. Alat pengeringnya disebut pengering semprot atau spray dryer. Material masukannya berupa cairan dengan total padatan tertentu. Pengeringan semprot menghasilkan bubuk yang sangat halus (5 – 100 µm) dengan diameter rata – rata 20 – 60 µm (Walstra, 1983). Pembentukan droplet pada pengeringan semprot dapat dilakukan dengan mengunakan atomizer sentrifugal (piringan berputar) atau nozzle. Pemilihan kondisi pengeringan, alat atomisasi, ukuran dan geometri chamber akan menentukan karakteristik produk yang dihasilkan termasuk perhitungan transfer panasnya (Arku et al., 2008). Menurut Coulter (1955), formulasi penghitungan waktu pengeringan pada metode pengeringan semprot sangat rumit karena kondisi pengeringan seperti humiditas dan temperatur udara, kadar air dan diameter partikel, serta gerakan relatif diantara partikel dan pergerakan udara yang terus berubah setiap saat. Prinsip pengeringan semprot didasarkan pada proses penyemprotan produk dalam bentuk droplet cairan ke dalam suatu ruangan yang dihembus dengan udara panas sehingga tejadi proses pengeringan. Pada umumnya suhu proses yang digunakan adalah 170°C – 220°C untuk suhu inlet dan 75°C – 100°C untuk suhu outlet (Spreer, 1995). Bahan masukan pada metode pengeringan semprot dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi cairan. Aliran udara panas akan menaikkan suhu permukaan droplet sehingga air dalam droplet akan terevaporasi. Air yang terevaporasi akan keluar bersama aliran udara sedangkan droplet dengan kadar air rendah akan turun ke dasar chamber dengan bantuan cyclone. Tahapan pengeringan terjadi dalam dua langkah atau lebih yaitu laju periode konstan (constant rate priod) yang terjadi selama permukaan droplet masih dapat terbasahi dan laju periode jatuh (falling rate priod), adalah laju penguapan yang terus menurun selama pengeringan seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi (Wiratakusumah et al., 1992, dan Coutler, 1955). Menurut Chandan (2006), meskipun suhu inlet pengering yang digunakan sangat tinggi, kerusakan protein akibat panas menjadi minimal karena terjadi pendinginan evaporatif yang berasal dari air yang menguap dari bahan yang dikeringkan. 5 Karakteristik produk yang dihasilkan oleh metode pengeringan semprot dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Parameter utama yang mempengaruhi karakteristik produk pada metode pengeringan semprot antara lain adalah proses preheating, prekonsentrasi, pembentukan droplet dalam atomizer, serta suhu pengeringan yang terdiri dari temperatur masukan (suhu inlet) dan temperatur keluaran (suhu outlet) yang digunakan (Walstra, 1983). b. Karakteristik Produk Hasil Pengeringan Semprot Produk hasil pengeringan semprot memiliki densitas yang rendah (0.33g/ml). Densitas yang rendah disebabkan adanya vakuola yang terbentuk selama proses atomisasi dalam atomizer. Bentuk padat dari susu bubuk memiliki densitas yang lebih tinggi (1,6 g/ml). Densitas yang rendah akan menyebabkan produk susu bubuk mengapung, tidak terdispersi dan terbasahi dengan cepat ketika dicampurkan dengan air. Selain itu, kondisi tersebut juga berhubungan dengan bagian luar partikel yang menyerap air sangat cepat dan membentuk gumpalan, basah diluar namun kering di dalam sehingga penetrasi air menjadi lambat. Pengeringan semprot menghasilkan produk sangat sangat halus. Kondisi tersebut terjadi jika bahan baku yang digunakan tidak mengalami tahapan prekonsentrasi. Selain itu produk yang sangat halus juga dihasilkan ketika tekanan udara dalam atomizer dinaikan. Menurut Spreer (1995) partikel halus hasil pengeringan semprot memiliki beberapa kekurangan seperti kelarutan yang buruk dalam air, mudah terbawa oleh aliran udara pengering, tidak mudah mengalir dan sangat mudah teragglomerasi dengan meningkatnya kelembaban. Maka dari itu produk hasil pengeringan semprot pada umumnya diberi perlakuan instanisasi yang bertujuan memperbaiki kelarutan, kemudahan partikel untuk mengalir serta mengurangi jumlah partikel halus yang terbentuk. Produk hasil pengeringan semprot sangat mudah menggumpal. Gula susu yang terbentuk pada proses pengeringan semprot merupakan gula amorphous yang sangat higroskopis dan sangat cepat menyerap kelembaban. Penyerapan kelembaban menyebabkan rekristalisasi dan biasanya disertai dengan perubahan warna dan pembentukan off – flavor. Hal tersebut merupakan penyebab caking pada kebanyakan produk susu bubuk selama penyimpanan. Peningkatan kelembaban produk dapat meningkatkan risiko mikrobiologis karena memperbesar peluang tumbuhnya mikroba. c. Pengaruh Pengeringan Semprot terhadap Inaktivasi Mikroba Metode pengeringan semprot (spray drying) tidak banyak merusak mutu produk. Waktu pengeringan pada proses pengeringan semprot yang berlangsung singkat memungkinkan kontak minimal antara panas dengan bahan. Air terevaporasi dengan cepat karena luas permukaan droplet yang besar (Arku et al., 2008). Waktu pengeringan yang singkat dengan suhu produk yang tidak lebih dari 70°C menyebabkan protein dan enzim tidak banyak terdenaturasi (Walstra, 1999). Kondisi pengeringan semprot yang tidak banyak merusak mutu produk menyebabkan mikroba yang toleran terhadap panas dapat bertahan dan terbawa ke dalam produk akhir (Walstra, 1999, dan Fernandez, 2008). Bakteri patogen seperti Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp., Listeria monocytogenes, Staphylococcus spp., dan Enterobacter spp. telah diisolasi dari susu formula (Fernandez, 2008). Maka dari itu produk susu bubuk memiliki kriteria batas cemaran mikroba yang boleh berada dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk 6 susu bubuk berdasarkan SNI (standar nasional Indonesia) produk susu bubuk. Tabel 1. menyajikan batas cemaran mikroba berdasarkan SNI produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006). Tabel 1. Batas cemaran mikroba pada produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006) No Jenis Satuan 1 2 3 4 5 ALT Coliform E. coli Salmonella S. aureus koloni/g APM Koloni/g Koloni/100g Koloni/g Susu Bubuk Berlemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102 Persyaratan Susu Bubuk rendah Lemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102 Susu Bubuk Tanpa Lemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102 (BSN, 2006) Beberapa tahun terakhir bakteri patogen oportunistik Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ditemukan dalam susu formula, makanan bayi dan produk sejenisya yang beredar di Indonesia. Pada tahun 2009 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan batas cemaran mikroba untuk produk susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari risiko penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Tabel 2 . menampilkan batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan Tabel 2. Batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan No Jenis Satuan 1 2 3 4 5 6 7 ALT (30°C 72 jam) Coliform Enterobacteriacae Salmonella S. aureus Enterobacter sakazakii Bacillus cereus Koloni/g APM/g Koloni/10g Koloni/25g Koloni/g APM/10g Koloni/10g Persyaratan Formula bayi untuk keperluan medis khusus Maks. 5 x 104 Tidak ditentukan Negatif Negatif 1 x 101 Negatif 1 x 102 Formula Lanjutan Maks. 5 x 104 <3 Tidak ditentukan Negatif 1 x 101 Tidak ditentukan 1 x 102 (BPOM, 2009) Ketahanan mikroba terhadap pengeringan semprot dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Jenis bahan pangan akan mempengaruhi ketahanan dari mikroba. Komponen-komponen tertentu dalam bahan pangan akan memberikan efek proteksi terhadap mikroba. Keberadaan lemak akan meningkatkan resistensi termal bakteri karena berhubungan dengan kemampuan lemak untuk mempengaruhi kelembaban sel dan memberikan efek proteksi. Komponen lainnya yang dapat memberikan efek proteksi terhadap panas adalah total karbohidrat. Efek proteksi yang dihasilkan karbohidrat berasal dari keberadaan gula yang akan mengurangi aw melalui mekanisme pengikatan air. 7 Selain itu total padatan bahan masukan akan mempengaruhi ketahanan panas mikroba selama pengeringan semprot. Total solid yang lebih tinggi akan menghasilkan partikel yang lebih besar yang akan memberikan kerusakan panas yang lebih besar besar (Espina and Packard, 1979). Partikel produk yang lebih besar akan memerangkap mikroba sehingga mikroba yang terperangkap ikut terpapar panas yang dialami partikel. Hal tersebut juga berhubungan dengan waktu pengeringan yang lebih lama pada partikel yang lebih besar. Selain itu faktor lainnya yang dapat mempengaruhi ketahanan mikroba selama pengeringan semprot adalah penggunaan suhu outlet pengering. Peningkatan suhu outlet pengering akan menurunkan jumlah mikroba yang masih bertahan setelah pengeringan semprot (LiCari dan Potter, 1970; Espina dan Packard, 1979; To dan Etzel, 1997). Suhu outlet yang lebih tinggi menyebabkan suhu produk meningkat sehingga akan memperbesar tingkat inaktivasi mikroba (Walstra, 1999). B. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif, motil, tidak membentuk spora, dan termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae (Farmer et al., 1980). Bakteri ini semula diklasifikasikan sebagai Enterobacter cloacae pembentuk pigmen kuning. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dibedakan dari Enterobacter cloacae berdasarkan perbedaan pada hibridisasi DNA–DNA, produksi pigmen, dan kepekaan terhadap antibiotik (Farmer et al., 1980). Pada tahun 2003 (Iversen dan Forsythe, 2003) mengusulkan klasifikasi ulang taksonomi E. sakazakii berdasarkan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA, serta uji biokimia (API20E, ID32E) termasuk uji –glukosidase, pembentukan pigmen kuning dan pertumbuhannya pada media kromogenik. 1. Penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan patogen oportunistik. Pemberian susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada kelompok bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah dilaporkan telah mengakibatkan bayi tersebut menderita penyakit meningitis dan necrotizing enterocolitis (NEC) (Biering, 1989, Drudy et al., 2006 dan Kim and Loessner, 2007). Berdasarkan keterkaitannya sebagai penyebab penyakit neonatal meningitis, bakteri ini pertama kali telah dilaporkan Urmenyi dan Franklin pada tahun 1961 (Gurtler et al., 2005). Sedikitnya terdapat 76 kasus infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan 19 kasus infeksi diantaranya dilaporkan menyebabkan penderitanya meninggal (Iversen dan Forsythe, 2003). Selain itu infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga menyebabkan bacteremia yang parah (Block et al., 2002). Selain menyerang anak – anak, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga dilaporkan dapat menyerang orang dewasa walaupun tidak sampai mengakibatkan kematian (Gurtler et al., 2005). Tingkat mortalitas yang tinggi (40– 80%) pada bayi yang baru lahir (0–6 bulan) akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Iversen dan Forsythe, 2003) menyebabkan bakteri ini dimasukkan dalam tren perkembangan patogen dunia sejak tahun 2005 dan banyak diulas oleh para peneliti dari seluruh dunia (Skovgaard, 2007). 8 2. Sumber Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Sumber alami Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan agen pembawanya masih belum jelas (Drudy et al., 2006, Kim dan Loessner, 2007). Bakteri ini telah diisolasi dari herbal, rempah– rempah kering, makanan kering, makanan dari tanaman yang dikeringkan, produk keju, sayuran (Iversen et al., 2004) makanan bayi, dan susu bubuk. Bakteri ini juga telah ditemukan di lingkungan (8 dari 9 pabrik makanan), termasuk pabrik sereal (Kandhai et al., 2004). Selain dari makanan dan lingkungan pabrik, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga telah diisolasi dari dari sumber klinis termasuk darah, sumsum tulang, dahak, urin, jaringan appendiks, saluran pernapasan, mata, telinga, luka, tinja, dan lingkungan rumah sakit (Gurtler, 2005). Akan tetapi meskipun Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ditemukan dibanyak tempat, hanya kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dilaporkan berasosiasi secara epidemologi dengan sejumlah wabah penyakit meningitis di sejumlah negara, (Farmer et al., 1980, Muytjens et al., 1988) sehingga banyak dilakukan penelitian mengenai mekanisme maupun pengendalian kontaminasi bakteri tersebut pada proses pembuatan susu formula hingga proses rekonstitusinya. Lampiran 2. menampilkan laporan terjadinya wabah sporadis yang berasosiasi dengan kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sedikitnya telah berhasil diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survei menunjukan 20 dari 141 (14.2% susu formula komersial yang berasal dari 13 negara mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan tingkat kontaminasi 0.36 – 66 CFU/100 g (Muytjen et al., 1988). Survei susu formula di wilayah pemasaran Kanada menunjukan delapan dari 120 (6.7%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Nazarowec–White dan Farber, 1997). Laporan terbaru terkait ditemukannya Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya adalah pada tahun 2006. Estuningsih (2006) melaporkan 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada tahun yang sama Restaino et al. (2006) telah mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 6 dari 18 (33.3%) MP – ASI, makanan kering, dan makanan formula lainnya. Setelah itu pada tahun 2008 Meutia (2008) juga telah berhasil mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari susu formula dan makanan bayi (6 sampel dari 25 sampel) yang beredar di Indonesia. Pada tahun yang sama dari 78 sampel street food di Malaysia 9% di antaranya positif Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan uji biokimiawi standar (API 20E) (Haryani et al. 2008). Beberapa tahun kemudian Gitapratiwi (2011) kembali menemukan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16); 11,8% pada pati-patian(n=15); dan 6,3% pada produk pangan kering lainnya (n=17). Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ke dalam susu formula dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Menurut CAC (2008), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat masuk ke dalam susu formula melalui tiga cara, yaitu 1) kontaminasi dari lingkungan proses pada tahapan tertentu selama pengeringan, 2) kontaminasi susu formula setelah kemasan dibuka, dan 3) kontaminasi selama atau setelah proses rekonstitusi. Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari lingkungan proses diketahui berasal dari alat – alat proses yang digunakan. Hal tersebut terkait dengan kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) membentuk kapsul dengan cara memproduksi heteropolisakarida yang menjadikan bakteri ini dapat menempel pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan 9 desinfektan (Iversen dan Forsythe, 2003) sehingga dapat meningkatkan peluang rekontaminasi bakteri tersebut. Selain itu menurut Food and Agriculture Organization – World Health Organization (FAO – WHO) (2004), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang mencemari produk susu bubuk termasuk susu formula dapat juga berasal dari ingridien yang ditambahkan selama proses pembuatan susu formula. Tabel 3. menampilkan ingridien susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Tabel 3. Survey industri mengenai keberadaan Enterobacteriaceae dan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Ingredien yang digunakan pada metode pencampuran kering untuk semua jenis susu formula (hingga usia 3 tahun). Nama Bahan Vitamin Whey bubuk Sukrosa Laktosa Pisang serbuk/flake Jeruk serbuk/flake Lesitin Pati n (10g) 793 23 1691 2219 105 61 136 1389 Positif koliform atau Enterobacteriace 8 3 28 70 3 1 1 155 Positif Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 0 0 0 2 1 1 1 40 (FAO – WHO, 2004) Tabel 3. menunjukkan bahwa susu skim bubuk, laktosa, tepung pisang, tepung jeruk, lesitin, dan pati berpotensi tinggi menjadi sumber kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada poses pembuatan susu formula. Menurut Arroyo et al. (2009) dan Iversen et al. (2003), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah ditemukan dimana–mana termasuk air, tanah, tanaman, hewan, manusia dan lingkungan sehingga menjadi sesuatu yang tidak mengagetkan jika bakteri ini ditemukan pada unit produksi makanan, berbagai jenis bahan pangan, bahan baku makanan yang berasal dari tanaman dan hewan. Penambahan bahan–bahan tambahan tersebut tersebut dilakukan sebelum maupun setelah proses pengeringan bahan utama. Menurut Robinson (1999b) pengurangan kontaminasi mikroba yang berasal dari bahan baku seharusnya sudah dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metode pencampuran basah serta tidak menambahkan bahan –bahan tersebut dengan metode pencampuran kering. 3. Ketahanan Panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat tumbuh pada rentang suhu yang cukup luas. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 6°C hingga 45°C. Beberapa hasil penelitian bahkan menunjukan beberapa galur dapat tumbuh pada suhu maksimum 47°C (Nazarowec – White and Farber, 1997, Arroyo et al., 2009). Menurut (Fitriyah, 2010) penggunaan suhu rekonstitusi hingga 50°C tidak banyak berarti terhadap survival dan pertumbuhan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam susu formula. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dinilai lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriacea lainnya meskipun bakteri ini inaktiv 10 dengan cepat selama proses pasteurisasi HTST. Penggunaan suhu rekonstitusi 70°C mampu mereduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hingga 6,51 log (Meutia, 2008). Nilai inaktivasi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diperoleh sejumlah peneliti cukup beragam. Gambar 2. menunjukan nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lokal yang diperoleh dari hasil penelitian Ardelino (2010) dan akan digunakan pada penelitian ini. Isolat YRt2a, YRc3a, dan E9 merupakan isolat lokal asal makanan. Berdasarkan gambar 2. dapat diketahui bahwa kisaran nilai D54 untuk keempat isolat yang diujikan adalah 7,50 – 9,13 menit, nilai D56 berada pada kisaran 3,61–4,24 menit, nilai D58 berkisar antara 1,34 menit hingga 1,39 menit, dan nilai D60 berada pada rentang 0,71–0,90 menit. Log Nilai D (menit) 12.00 10.00 9.13 8.66 7.75 8.00 7.50 6.00 4.10 1.39 2.00 1.39 1.38 0.89 1.34 0.90 0.82 4.24 3.83 3.61 4.00 0.71 0.00 54 56 58 60 ATCC 51329 54 56 58 YRt2a 60 54 56 58 60 54 56 YRc3a 58 60 E9 Kode Isolat E. sakazakii Gambar 2. Nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Asal Makanan (Ardelino, 2011) Hasil tersebut mendekati dengan nilai D56 yang diperoleh Kim Soo Hwan dan Jong Hyun Park (2007) yaitu sebesar 3,91–4,67 menit namun lebih rendah dibandingkan nilai D56 yang dilaporkan Nazarowec- White dan Farber (1997) yaitu sebesar 9,75 menit. Bahkan Breeuwer et al. (2003) menemukan nilai D56 yang lebih rendah yaitu sebesar 2,4 menit. Kisaran nilai D58 yang dilaporkan Iversen et al . (2003) yaitu sebesar 1,3 menit sedangkan nilai D58 yang dilaporkan oleh Nazarrowec – White dan Farber (1997) lebih tinggi (3,44 menit) dibandingkan nilai D58 pada penelitian Breeuwer et al. (0,48 menit). Nilai D60 yang dilaporkan oleh Nazarowec–White dan Farber (1997) lebih tinggi (2,15 menit) untuk isolat asal makanan dibandingkan nilai D60 yang dilaporkan oleh Iversen et al. (2004) adalah 0,73 hingga 1,07 menit pada menstruum pemanas TSB (Tryptose Soy Broth). Selain nilai D, Nilai Z yang diperoleh juga cukup bervariasi diantara sejumlah peneliti meskipun masih termasuk kedalam nilai Z sebagian besar foodborne pathogen yang tidak membentuk spora (4°C – 6°C) (Tomlins dan Ordal 1976). Nilai Z yang diperoleh Nazarowec – White dan Farber (1997) yaitu sebesar 5,82°C untuk isolat asal makanan dan lebih tinggi dibandingkan nilai Z yang diperoleh Iversen et al (2003) yaitu sebesar 5,6°C–5,8°C. Pada penelitian Ardelino 2011 diperoleh nilai Z isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan sebesar 5,65 oC hingga 6,10 oC. Keragaman ketahanan panas dan respon Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap 11 perlakuan panas diantara sejumlah peneliti disebabkan oleh adanya perbedaan galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Arroyo et al., 2009) yang dibedakan berdasarkan sumber ditemukannya bakteri tersebut. Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) diketahui lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriaceae lainnya yang mengkontaminasi produk susu (Edelson–Mammel dan Buchanan, 2004, Iversen et al., 2004, Nazarowec–White dan Farber, 1997). Data hasil ekstrapolasi pada suhu 72°C menunjukan bahwa Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berada pada kisaran 0.3203–0.5823 detik dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan enterobacter lain yang mengkontaminasi susu seperi Salmonella, Escherichia coli dan Camphylobacter jejuni tapi tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan waterborne pathogen Listeria monocytogenes (Nazarowec–White et al., 1999 dan Iversen et al. 2003) (Tabel 4.). Tabel 4. Perbandingan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap beberapa Enterobactericeae Organisme Menstruum pemanas D72 (detik) Aeromonas hydrophila Campylobacter jejuni Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Salmonella muenster Salmonella senftenberg Salmonella typhimurium Shigella dysenteriae Yersinia enterocolitica ATCC51329 YRt2a YRc3a 29a – 8 Raw milk Skim milk Whole milk Human milk Whole milk Whole milk Whole milk Whole milk Whole milk Infant formula Infant formula Infant formula Infant formula 0.01476 0.07033 0.15669 0.00008 0.07214 0.08417 0.22000 0.13045 0.46086 0.3417 0.5823 0.4371 0.3203 (Ardelino, 2011) Akan tetapi meskipun terjadi variasi dalam pengukuran resistensi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.), bakteri tersebut tidak mampu bertahan pada suhu HTST (High Temperature Short Time) sebesar 72°C selama 15 detik karena proses tersebut dapat mengurangi jumlah bakteri hingga 11 siklus log (Nazarowec – White dan Farber 1997). Maka dari itu keberadaan bakteri ini dalam susu formula dimungkinkan akibat dari adanya rekontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula setelah tahapan pasteurisasi. Selain perbedaan galur, beberapa faktor lainnya yang dapat menyebabkan perbedaan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) antara lain kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan inokulum, menstruum pemanas (kadar lemak, total padatan, serta konsentrasi gula), dan metodologi recovery cold shock setelah proses pemanasan (Knabel et al 1990), kadar air, jumlah inokulum, usia kultur, temperatur pertumbuhan, senyawa penghambat, waktu dan temperatur, konsentrasi garam, kadar karbohidrat, pH, serta efek dari ultrasonics (Lewis, 2000). 12 4. Batas Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Produk Susu Formula Kajian mengenai batas kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004 Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan bakteri lainnya di dalam susu formula masuk dalam draf pembahasan pada pertemuan FAO–WHO. Selanjutnya pada tahun 2006 Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) kembali menjadi draf utama pada pertemuan FAO–WHO meskipun tidak sampai menghasilkan standar cemaran Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk susu formula. Menurut FAO–WHO (2006), meskipun data mengenai level kontamimasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula tersedia di industri, level kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang sebenarnya masih belum jelas. Menurut (Van Acker, 2001) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sudah dapat menyebabkan infeksi pada tingkat populasi <3 cfu/100 g. Draf terakhir mengenai standar kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk susu bubuk yang dibahas pada pertemuan FAO–WHO pada tahun 2006 hanya sampai pada pemodelan kontaminasi secara statistik ditingkat industri. Tingkat kontaminasi yang digunakan pada pemodelan tersebut adalah 10–3, 10–4 dan 10–5 CFU/g. Pemodelan tersebut selanjutnya akan menghasilkan suatu metodologi untuk mengevaluasi kriteria mikrobiologi dan metode penarikan contoh susu formula yang terbaik sehingga akan diperoleh penurunan risiko mikrobiologis dan persentase produk yang ditolak pada setiap lotnya akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (FAO – WHO, 2006). Tabel 5. Menampilkan kriteria cemaran Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Committee pada tahun 2008. Unit contoh adalah bentuk individu atau terkecil atau kuantitas produk yang didesain menjadi bagian dari contoh. Acceptance–number (c) adalah jumlah pada rencana penarikan contoh yang mengindikasikan jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang ditentukan. Tingkat inspeksi II digunakan untuk pengambilan contoh bila terjadi sanggahan terhadap hasil pengujian menurut tingkat inspeksi I, atau bila diperlukan hasil pengujian yang lebih meyakinkan. Parameter (n) adalah ukuran contoh yang akan diperiksa yang didasarkan pada ukuran lot, ukuran kemasan terkecil dan tingkat inspeksi. Tidak perlu membatasi ukuran contoh sebagai minimum untuk ukuran lot dan tigkat inspeksi yang tepat. Dalam semua kasus contoh yang lebih besar dapat dipilih. Tabel 5. Kriteria Mikrobiologi untuk susu formula, susu formula dengan tujuan medis khusus dan makanan tambahan ASI Mikroorganisme Enterobacter sakazakii (Cronobacteer species )* n 30 C 0 m 0/10 g Tingkat Inspeksi II Salmonella 60 0 0/25 g II Keterangan : n = jumlah sampel yang harus dianalisis c = jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang diizinkan pada tingkat inspeksi II m= batas konsentrsasi mikrobiologi pada tingkat inspeksi II yang membedakan antara kuali – tas baik dengan kualitas buruk (ditolak) (CAC, 2008) 13 Kriteria di atas digunakan dengan asumsi catatan produksi dari lot tersebut tidak diketahui dan kriteria yang digunakan berdasarkan basis lot. Instansi yang catatan produknya diketahui seperti produk tersebut tercatat dalam dokumentasi lengkap pada sistem HACCP, kriteria pengambilan contoh alternatif termasuk lot process control testing dapat dilakukan. Tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi kegagalan pemenuhan kriteria di atas antara lain (1) mencegah pengeluaran produk untuk konsumen dari lot yang terpengaruh (2) penarikan kembali produk jika produk tersebut telah dikeluarkan untuk konsumen, dan (3) menentukan dan mengoreksi akar penyebab kegagalan. Kriteria tersebut diaplikasikan untuk produk akhir (bentuk bubuk) setelah pengemasan primer hingga pada saat kemasan primer dibuka. 5. Subtansi Pelindung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat memproduksi heteropolisakarida. heteropolisakarida yang diproduksi oleh galur Enterobacter sakazakii terdiri atas 13– 22% L-fucosa, 19–24 % D-galaktosa, 23–30 % D-glukosa, 0–8 % D-mannosa, 29–32% asam glukuronat berdasarkan basis beratnya (Harris & Oriel, 1989). Heteropolisakarida tersebut juga diproduksi oleh Klebsiella pneumoniae dan Bacillus polymyxa. Komposisi dan berat molekul polimer tersebut bervariasi bergantung pada galur bakteri yang digunakan maupun kondisi khusus kulturnya. Heteropolisakarida tersebut sebenarnya pertama kali ditemukan pada tumbuhan teh dan dikenal sebagai polisakarida teh. Polisakarida teh dapat diproduksi dengan memfermentasi media kultur yang terdiri atas galur Enterobacter sakazakii tertentu atau mutan dan nutrien yang cocok. Polimer tersebut diproduksi pada rentang suhu 20°C hingga 40°C. Produksi polimer tersebut membutuhkan keberadaan sumber karbohidrat konvensional seperti glukosa, sukrosa, dan sejenisnya. Selain itu dibutuhkan minimal satu jenis sumber nitrogen organik maupun anorganik seperti yeast extract, tryptone, atau NH4CI. Rentang pH yang cocok untuk kondisi pembentukan polimer tersebut berkisar antara 5 hingga 9. Heteropolisakarida yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat membentuk biofilm. Hasil penelitian Iversen, (2004) menunjukan bahwa bakteri ini dapat membentuk biofilm pada permukaan lateks, silikon, dan stainless steel ketika ditumbuhkan dalam susu formula. Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) karena material– material tersebut pada umumnya digunakan sebagai alat preparasi dan pembuatan susu formula. Eenterobacter sakazakii dilaporkan menempel pada silikon, lateks, dan polikarbonat pada luasan yang lebih besar dibandingkan dengan stainless steel. Jumlah bakteri yang masih hidup (nilai median) dari galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul pada lateks adalah sebesar 8x103 CFU cm2 dibandingakan dengan 50 CFU cm2 pada stainless steel (Iversen, 2004). Selain itu galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul dapat membentuk biofilm pada silikon, lateks, dan polikarbonat yang lebih banyak dibandingkan galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang tidak membentuk kapsul yaitu dengan nilai median sebesar 6x103 CFU/cm2 dibandingkan 20 – 400 CFU/cm2 (Iversen, 2004). Gambar 3. menampilkan biofilm yang dibentuk oleh galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul. Temperatur dan nutrisi dalam media tumbuh memiliki pengaruh penting dalam penempelan dan pembentukan biofilm Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Populasi penempelan sel pada stainless steel dan botol susu oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih besar terjadi pada suhu 25°C dibandingkan pada suhu 12°C, yaitu jumlah sel meningkat dari 1,42 menjadi 1,67 log CFU/cm2 dan dari 1,16 menjadi 1,31 log CFU/cm2 pada pembentukan biofilm pada stainless steel dan botol susu yang dibasahi dengan susu formula rekonstitusi pada suhu 25°C (Kim, 2006). Akan tetapi 14 Kim (2006) juga menyatakan bahwa biofilm tidak terbentuk pada media TSB and jus selada meskipun suhu inkubasi yang digunakan suhu 25°C. Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat membentuk trehalose (Breeuwer, 2003). Trehalose adalah disakarida glukosa yang tidak tereduksi dan diasumsikan berperan dalam pengaturan yang sangat penting dalam melindungi bakteri dari kekeringan dengan cara menstabilkan membran fosfolipid dan protein (Crowe et al., 1992). Konsentrasi trehalose akan meningkat meningkat pada kondisi fase stasioner. Pada fase stasionernya, konsentrasi trehalose yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) mencapai 0,040 µmol/mg protein sedangkan pada sel pada kondisi stasioner yang telah dikeringkan, Gambar 3. Heteropolisakarida yang diproduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Iversen, 2004) konsentrasi trehalose meningkat menjadi 0,23 µmol/mg protein (Breeuwer, 2003). Pada fase eksponensial pengukuran konsentrasi trehalose sangat sedikit, yaitu<0,003 µmol/mg protein baik pada sel basah maupun sel yang telah dikeringkan. Penambahan trehalose ke dalam media tumbuh yang berisi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada fase eksponensial dilaporkan telah meningkatkan ketahanannya setelah pengeringan. Hal tersebut menunjukan bahwa konsentrasi trehalose yang lebih tinggi pada fase stasioner akan meningkatkan ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap stress osmotik dan kondisi kering. Hal tersebut juga menunjukan bahwa fase stasioner sel Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih resisten terhadap stress osmotik dan kondisi kering dibandingkan dengan fase eksponensialnya. Kondisi fase stasioner merupakan syarat terjadinya akumulasi trehalose selama stress akibat kondisi kering. Dengan kata lain sel benar-benar akan mensintesis lebih banyak trehalose pada fase stasionernya. Selanjutnya jika terdapat trehalose yang tidak berguna maka akan terjadi induksi dari periplasmatic trehalase pada kondisi fase stasioner. Setiap terdapat trehalose yang tidak berguna akan ditransportasikan ke periplasma untuk dikonversi menjadi glukosa dan digunakan kembali. 15