1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber protein yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, salah satunya berasal dari perikanan laut. Hal ini terlihat dari peningkatan volume produksi perikanan laut pada tahun 2004 sampai 2008 dari 4.320.241 ton hingga 4.701.933 ton dengan persentase kenaikan rata-rata yang terjadi mencapai 2,16% (KKP 2010). Selain itu, Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar sebagai penghasil tuna. Peluang pasar ikan tuna cukup besar, baik ekspor maupun pasar lokal. Sasaran ekspor tuna yang terbesar adalah Jepang. Menurut Direktur Sumber Daya Ikan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Agus Apun Budhiman, produksi ikan tuna dan cakalang pada tahun 2009 mencapai 541.303 ton dan mengalami peningkatan sebanyak 5,94% pada tahun 2010 sebesar 577.430 ton (Alamsy 2011). Biasanya tuna yang diekspor merupakan tuna yang masih segar untuk diolah menjadi sashimi atau sushi (Mateo et al. 2006). Upaya peningkatan ekspor tuna harus didukung oleh peningkatan kuantitas, kualitas, dan nilai tambah tuna. Umumnya perusahaan tuna ekspor memiliki beberapa tantangan dalam menjalankan usahanya, antara lain (i) persaingan dengan perusahaan sejenis, terutama perusahaan asing, (ii) tuntutan harus terpenuhinya standar mutu produk yang telah ditetapkan untuk pasar ekspor, (iii) kemampuan mengekspor dengan kuantitas yang sesuai permintaan pembeli. Sehingga perusahaan yang ingin bertahan harus dapat menghasilkan produk bermutu yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Dalam menjaga mutu produk yang dihasilkan, diperlukan perbaikan yang terus menerus (quality improvement). Pengendalian mutu dilakukan untuk menghasilkan mutu produk yang konsisten sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Teknik pengendalian dan peningkatan mutu produk dapat dianalisis menggunakan metode six sigma (Ariani 1999). Six sigma merupakan suatu terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas untuk menghasilkan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol. 2 Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas dengan metode six sigma sudah dibuktikan terlebih dahulu oleh perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun, serta implementasinya telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (defects per million opportunities atau kegagalan per sejuta kesempatan) (Gaspersz 2003). Six sigma memiliki prinsip DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control) sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan, serta menghilangkan faktor-faktor yang dapat menghambat peningkatan efektivitas suatu sistem produksi. Penerapan teknik pengendalian mutu six sigma memiliki terobosan yang menambah nilai kepada perusahaan dan pelanggan melalui pendekatan masalah yang sistematis (Byrne et al. 2007). Konsep six sigma didasari oleh kepuasan pelanggan apabila mereka menerima nilai yang diharapkan. Sebagai ilustrasi, apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas six sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Six sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja pada sistem industri serta dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan dengan memperhatikan kapabilitas proses (Evans dan Lindsay 2007). Menurut Saulina (2009), pengendalian mutu dengan metode six sigma telah dilakukan di perusahaan proses pembekuan udang. Konsep six sigma dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pengendalian mutu pada proses pembekuan udang. Hasil pengendalian mutu memperoleh nilai kapabilitas proses (Cpm > 2), sehingga keadaan proses produksi berada dalam keadaan mampu untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan metode six sigma pada industri tuna loin untuk mengetahui efektivitas dan konsistensi penerapan sistem pengendalian mutu. Pengkajian dilakukan pada data rata-rata berat tuna segar dan tuna loin serta melihat pengaruh besarnya rendemen yang dihasilkan dengan memperhatikan kemampuan prosesnya. Hal ini berkaitan dengan kestabilan produksi tuna loin, ketidaksesuaian mutu produk (wholesomeness) dan penipuan ekonomi (economic fraud) terhadap pelanggan. 3 1.2 Tujuan Penelitian analisis pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin (Thunnus sp.) menggunakan metode six sigma adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kestabilan produksi tuna loin melalui rata-rata berat tuna segar, tuna loin, dan rendemen yang dihasilkan melalui peta kendali mutu. 2. Mengetahui kemampuan proses dalam menghasilkan produk tuna loin melalui pengukuran kapabilitas proses. 1.3 Batasan Masalah Fokus kajian analisis pengendalian mutu dilakukan terhadap rata-rata berat tuna segar, tuna loin serta rendemen yang diperoleh selama produksi tuna loin pada bulan Januari sampai dengan Maret 2011 di PT Y. Kajian ini dilakukan mulai tahap penerimaan bahan baku, pemotongan kepala, sirip, dan ekor, pembuatan loin, pembuangan daging gelap, kulit dan perapihan, serta penimbangan berat tuna loin sesuai keinginan pembeli. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Penulis Meningkatkan kemampuan penulis dalam mengidentifikasi masalah, menganalisis, dan menemukan solusi yang terkait dengan pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin menggunakan konsep analisis six sigma yang terintegrasi dengan Statistical Process Control (SPC). 2. Perusahaan Penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan masukan mengenai pengendalian mutu pada proses produksi tuna loin selama bulan Januari sampai dengan Maret 2011. 3. Ilmu Pengetahuan Penelitian perkembangan ini ilmu diharapkan pengetahuan dapat dan menjadi referensi sumber penelitian, ilmiah bagi khususnya pengendalian mutu menggunakan six sigma. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya.