4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sawo (Achras zapota) Kedudukan

advertisement
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sawo (Achras zapota)
Kedudukan sawo dalam taksonomi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2000)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Subdivisio
: Magnoliopsida
Classis
: Dicotyledonae
Subclassis
: Sympetalae
Ordo
: Ebenales
Family
: Sapotaceae
Genus
: Achras
Species
: Achras zapota L.
Sawo (Achras zapota) merupakan tanaman asli Meksiko dan Amerika
Tengah dan berkembang luas di India bagian Maharastha, Bengal Barat,
Karnataka dan Urrar Pradesh. Sawo atau neesberry yang juga disebut sapodilla
termasuk salah satu jenis tanaman buah potensial yang sudah lama dikenal dan
ditanam di Indonesia. Sawo banyak ditanam di dataran rendah sampai dengan
ketinggian 1200 m dpl pada daerah yang beriklim basah sampai kering antara
1250-2500 mm per tahun. Tanaman ini mudah beradaptasi pada berbagai suhu
antara 22-32°celcius yang cukup mendapat sinar matahari dan toleran terhadap
keadaan teduh (naungan). Jenis tanah yang paling baik adalah tanah lempung
berpasir (latosol) yang subur, gembur, banyak bahan organik, aerasi dan drainase
baik dengan derajat keasaman tanah (pH tanah) yang cocok adalah antara 6–7
serta kedalaman air tanah yang cocok yaitu antara 50 cm sampai 200 cm.
Tanaman ini resisten terhadap keringan dan memiliki toleransi terhadap salinitas
tanah sampai 8 dS/m (Erfandi 2008).
Sawo dapat berbuah sepanjang tahun sehingga sangat menguntungkan untuk
dikembangkan dalam skala besar, namun panen rayanya hanya terjadi 2 kali
dalam setahun yaitu Agustus-September dan Februari-Maret. Sawo jawa mampu
4
5
berbuah sebanyak 1000-3000 buah/pohon/musim panen atau setara dengan 50150 kg. Sawo manila yang berusia 5-9 tahun mempunyai produktivitas antara
600-1000 buah/pohon/musim panen atau 30-50 kg. Sawo apel dan sawo pelem
yang berusia 5-9 tahun mempunyai produktivitas antara 400-1000 buah/pohon/
musim panen atau 20-50 kg (Kusmiyati et al. 2014).
Keberadaan pohon sawo di pekarangan warga setempat daerah Wonogiri
banyak ditemukan, namun perbanyakan tanaman ini hanya dilakukan secara
vegetatif maupun generatif saja. Mengingat permintaan yang semakin meningkat
sedangkan produktivitas tanaman ini mengalami penurunan maka diperlukan
teknik pemuliaan yang tepat untuk menghasilkan varietas yang berkualitas. Kultur
jaringan merupakan suatu teknologi perbanyakan bibit secara in vitro yang
menghasilkan bibit unggul dengan sifat-sifat persis induknya dalam jumlah yang
banyak, tidak memerlukan tempat yang luas, memerlukan waktu yang singkat,
tidak tergantung pada musim, dan memungkinkan dilakukannya manipulasi
genetika (Mulyono 2010).
B.
Multiplikasi
Multiplikasi Sawo dengan Kultur Jaringan
merupakan tahapan
memperbanyak
tunas dengan
cara
merangsang pembentukan tunas lateral atau tunas adventif. Medium yang
digunakan dalam multiplikasi adalah medium dengan kandungan sitokinin yang
tinggi. Pada tahapan ini diupayakan eksplan menghasilkan tunas sebanyak
mungkin (bermultiplikasi). Tunas yang terbentuk dipisahkan melalui kegiatan
subkultur berulang (Kasutjianingati 2004).
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan/multiplikasi
tanaman secara klonal untuk perbanyakan masal. Keuntungan pengadaan bibit
melalui kultur jaringan antara lain dapat diperoleh bahan tanaman yang unggul
dalam jumlah banyak dan seragam, selain itu dapat diperoleh biakan steril (mother
stock) sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk perbanyakan selanjutnya
(Lestari 2008). Menurut Yusnita (2003) terdapat beberapa prinsip dasar yang
harus diperhatikan dalam melaksanakan teknik kultur jaringan yaitu:
1.
Mengetahui teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan
Schwann yaitu sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai
6
kemampuan totipotensial. Totipotensial adalah kemampuan setiap sel, yang
diambil dari suatu tempat dan apabila diletakkan pada tempat yang lain dapat
tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.
2.
Memahami konsep Skoog dan Miller yang menyatakan bahwa regenerasi
tunas dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan
auksin. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau
akar baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung
melalui pembentukan kalus terlebih dahulu.
3.
Memahami sifat kompeten, diferensiasi dan determinasi dimana suatu sel
akan dikatakan kompeten apabila sel atau jaringan tersebut mampu
memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan atau signal hormonal.
4.
Memahami tata cara perbanyakan tanaman secara kultur jaringan Dalam
melakukan kultur jaringan pekerjaan yang dilakukan meliputi: pemilihan dan
penyiapan tanaman induk sumber eksplan, inisiasi kultur, persiapan medium,
isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan,
aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang.
Menurut George dan Sherrington (1984), perbanyakan tanaman secara in
vitro memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan teknik yang
lain. Adapun keuntungannya yaitu (a) bahan tanaman yang dipergunakan lebih
kecil sehingga tidak merusak pohon induk, (b) lingkungan tumbuh dalam kultur in
vitro adalah aseptik dan terkendali, (c) kecepatan perbanyaknnya tinggi, (d)
diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar dan memiliki sifat yang
sama persis dengan induknya, (e) dapat mengasilkan bibit yang bebas penyakit
meskipun berasal dari induk yang mengandung patogen internal.
C.
Eksplan
Eksplan merupakan bagian dari tumbuhan berupa sel, jaringan atau organ
yang bisa digunakan untuk ditumbuhkan secara in vitro. Bagian tanaman yang
dapat dijadikan eksplan merupakan jaringan yang bersifat meristematik. Eksplan
yang masih aktif membelah mengandung hormon tanaman yang membantu
pertumbuhan (Indrianto 2002).
7
Menurut Yusnita (2003), umur fisiologi, umur otogenetik, ukuran eksplan dan
bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan
dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Sumber
asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial morfogenetiknya.
Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga diketemukan adanya
keragaman dalam regenerasinya. Ukuran eksplan untuk dikulturkan juga
mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan kurang daya
tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan sulit mendapatkan
eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan
yang optimum untuk dikulturkan (Wiendi 2000).
Cara memilih eksplan harus didasari oleh ilmu pengetahuan tentang sel, yaitu
bagian-bagian tanaman yang mempunyai sel aktif membelah (meristem). Pada
bagian-bagian sel meristem mengandung hormon tanaman, sehingga hasilnya
dapat seperti yang diharapkan (Hendaryono dan Wijayani 1994). Jaringan
meristem terdiri atas sel-sel yang masih muda, dindingnya tipis belum mempunyai
penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Bentuk
selnya ke segala arah (kubus, isodiometris), tetapi ada juga yang bentuknya pipih,
panjang (seperti sel-sel kambium) (Santoso dan Nursandi 2003).
Jaringan meristem merupakan jaringan yang tetap bersifat embrional, yaitu
memiliki kemampuan untuk terus membelah diri tak terbatas dan membentuk selsel baru (Sutrian 2004). Meristem berdasarkan letaknya dapat dibedakan menjadi
meristem apikal yang terdapat pada ujung–ujung pokok batang dan cabang serta
ujung akar, meristem interkalar yang terdapat diantara jaringan dewasa, misalnya
pada ruas batang, dan meristem lateral yang terletak sejajar dengan pembentukan
organ. Meristem apikal menunjang pertumbuhan primer yaitu pertambahan
panjang pada akar dan batang. Meristem interkalar menyebabkan pemanjangan
batang lebih cepat sehinnga meningkatkan diameter batang, sebelum tumbuhnya
bunga. Meristem lateral disebut juga kambium, yang terbentuk dari dalam
jaringan meristem yang telah ada pada akar dan batang dan akan membentuk
jaringan sekunder pada bidang yang sejajar dengan akar dan batang sehingga
mengalami pertambahan ruas (Setjo 2004).
8
Kelebihan kultur meristem adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang
bebas virus, penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri serta identik dengan
induknya. Kultur meristem mampu meningkatkan laju multiplikasi tunas,
memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan dan mempertahankan sifat-sifat
morfologi yang positif (Shofiyani dan Budi 2011).
D.
Woody Plant Medium (WPM)
Medium dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan faktor yang
penting untuk mendapatkan hasil yang optimum maka penggunaan. Kombinasi
medium dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat akan meningkatkan aktivitas
pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis. Salah satu faktor
penentu keberhasilan pelaksanaan kerja kultur jaringan adalah pemberian nutrisi
dalam jumlah dan perbandingan yang benar pada medium kultur (Lestari 2011).
Medium yang cocok untuk kultur tanaman tahunan adalah WPM. Hal ini
disebabkan tanaman tahunan yang berkayu sensitif terhadap media yang berkadar
garam tinggi seperti MS. Selain itu, unsur makro yang terdapat pada medium
WPM seperti unsur magnesium yang tinggi sangat mendukung dalam
pertumbuhan jaringan tanaman (Mariska dan Purnamaningsih 2001).
Medium Murashige Skoog (MS) digunakan untuk hampir semua macam
tanaman, terutama tanaman herbaceus. Medium ini mengandung garam-garam
mineral dengan konsentrasi tinggi dan senyawa N dalam bentuk amonium (NO4+)
dan nitrat (NO3-) (Hendaryono dan Wijayani 1994). Pemakaian media dengan
kandungan garam mineral yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan kultur
karena tanaman akan kelebihan suatu unsur tertentu yang dapat mengganggu
pertumbuhan (Purnamaningsih et al. 2005).
Penggunaan agar-agar biasanya adalah 8-10 g/L (Wetherell 1982). Sedangkan
menurut Yusnita (2004), konsentrasi agar-agar dalam medium yang lazim
digunakan antara 6-10 g/L. Staba (1988), menambahkan bahwa agar-agar dengan
kadar 0,6-0,8% cukup untuk berbagai macam tujuan pengkulturan sel, jaringan,
atau organ karena konsentrasi agar-agar yang tinggi dapat menghambat
pertumbuhan eksplan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Kisaran pH yang
9
sesuai antara 5,6-5,8, apabila terlalu masam maka akan menyebabkan agar tidak
padat (Feranita 2012).
Sukrosa merupakan sumber utama dari karbon dan energi dalam medium
nutrisi selama mikropropagasi tanaman. Namun kehadirannya meningkatkan
risiko kontaminasi dan menekan aktivitas fotosintesis sehingga mengarah ke
heterotrof. Hal tersebut menyebabkan gangguan morfologi dan fisiologi pada
tanaman yang tumbuh secara vitro sehingga tingkat kematian menjadi tinggi
ketika aklimatisasi dan pemindahan ke lapang. Budidaya tanaman secara
fotoautotropik dengan modifikasi konsentrasi CO2 yang tinggi merupakan solusi
untuk mengatasi masalah tersebut. Budidaya tanaman secara fotoautotropik tidak
hanya mengurangi tingkat kontaminasi tetapi juga perkembangan tanaman setelah
diaklimatisasi mampu menekan kelembaban udara di lingkungan sekitar. Hal ini
disebabkan daun pada tanaman yang ditumbuhkan secara fotoautotropik memiliki
indeks stomata yang lebih rendah dan memiliki daya bertahan hidup yang lebih
tinggi dan pertumbuhan yang lebih baik (Dave dan Purohit 2004).
Gula sebagai sumber karbon atau sumber energi perlu ditambahkan ke dalam
medium kultur mutlak diperlukan, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan
yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis sangat rendah.
Gula yang paling sering digunakan adalah sukrosa dalam bentuk gula pasir yang
digunakan sehari-hari dapat digunakan karena mengandung 99,9% sukrosa.
Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1-5% (10-50 g/L), tetapi untuk
kebanyakan pengkulturan 2-3% sukrosa umumnya merupakan konsentrasi yang
optimum (Hendaryono dan Ari 2007).
Garam-garam anorganik yang dibutuhkan pada medium kultur terdiri dari
unsur hara makro seperti N, P, K, S, Ca, Mg dan unsur hara mikro seperti Fe, Mn,
Zn, Cu, Cl, B, dan Mo. Vitamin yang sering ditambahkan ke dalam medium
kultur in vitro tanaman adalah tiamin (vitamin B1) merupakan satu-satunya
vitamin esensial dan biasanya ditambahkan dengan konsentrasi 0,1-0,4 mg/L,
sedangkan pemberian asam nikotinat (niacin) dan piridoksin (vitamin B6) mampu
meningkatkan pertumbuhan kultur (Zulkarnain 2009). Penambahan Myoinositol
10
paling efektif pada konsentrasi 100 mg/L dan Glisin dalam jumlah kecil (2 mg/L)
juga sering digunakan untuk melengkapi bahan vitamin (Yusnita 2003).
E.
ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (<1 mm) mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat dua golongan zat
pengatur tumbuh tanaman yang sering digunakan dalam kultur jaringan, yaitu
sitokinin dan auksin. Golongan sitokinin antara lain BA (Benzil Adenin), kinetin
(furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl aminopurin) dan zeatin sedangkan
golongan auksin antara lain IAA (Indole Acetic Acid), NAA (Naphtalene Acetic
Acid), IBA (Indole Butiric Acid), 2.4-D (2.4-Dichlorophenoxy Acetic Acid),
dicamba
(3,6-dicloro-o-anisic
acid),
dan
picloram
(4-amino-3,5,6-
tricloropicolinic acid). Pada umumnya, untuk pembentukan tunas menggunakan
sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar atau pembentukan kalus digunakan
auksin. Namun demikian, sering pula dibutuhkan keduanya atau dapat pula auksin
dan sitokinin secara sendiri-sendiri. Mengingat setiap genotip atau jaringan
mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam
medium dan memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogenous yang berbeda
(Lestari 2011).
Menurut Gunawan (1995), BAP merupakan sitokinin yang paling banyak
digunakan dalam kultur jaringan karena paling efektif untuk merangsang
pembentukan tunas, lebih stabil, dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah
diantara jenis sitokinin lainnya. Sitokinin biasanya sangat berpengaruh terutama
pada proses pembelahan sel dan memacu terbentuknya organogenesis dan
morfogenesis. Penggunaan sitokinin sangat diperlukan untuk memacu multiplikasi
tunas tanaman. Penggandaan tunas pada tanaman berkayu seperti belimbing,
sukun, melinjo, pada umumnya memerlukan zat pengatur tumbuh dalam
konsentrasi yang lebih tinggi berkisar antara 5-10 mg/L, untuk meningkatkan
kemampuan proliferasi tunas kadang ditambahkan thidiazuron atau auksin seperti
IAA dalam konsentrasi yang rendah (0,1 -0,3 mg/L). Sebaliknya pada tanaman
11
herba seperti mentha, seruni, nanas, diperlukan sitokinin seperti BA atau kinetin
dalam konsentrasi rendah, yaitu berkisar 0,1-1 mg/L (Lestari 2011 ).
BAP lebih efektif apabila dibandingkan dengan Kn dalam menginduksi tunas
pada eksplan daun Achras zapota. Proliferasi dan diferensiasi tunas mampu
terbentuk dengan 8,88 μM BAP dan 5,0 μM TDZ, serta kombinasi dengan NAA
26,85 μM mampu menginduksi akar (Purohit et al. 2004). BAP dilaporkan lebih
mampu merangsang proliferasi tunas dari nodus kotiledon pada beberapa species
tanaman seperti Sterculia urens, Dalbergia sissoo, Achras zapota dan Punica
granatum (Singla et al. 2007). Penelitian kembalikan dilakukan oleh (Purohit et
al. 2006) menunjukkan bahwa pada medium Schenk and Hildebrandt (SH) dengan
pemberian BA 8.87 μM dan Put 0.1 Mm mampu menggandakan dan
memproliferasi tunas pada sawo hingga tiga kali lipat.
Penggunaan ZPT sitokinin tunggal telah berhasil menginduksi tunas dengan
menggunakan embrio sawo apel varietas kapas (5 ppm dan 10 ppm BAP serta 5
ppm Kinetin), ngeres (10 ppm Kinetin) dan lilin (10 ppm Kinetin) dengan
menggunakan medium SH (Wicaksana et al. 2006). Pada perbanyakan tanaman
manggis pada medium MS + BA 5 mg/l dapat menginduksi tunas hingga 100%
dengan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak. Medium multiplikasi terbaik
adalah MS + BA 3 mg/l (Roostika et al. 2005). Pembentukan tunas awal
memerlukan zat pengatur tumbuh BA konsentrasi tinggi, yaitu 8-16 mg/L,
sedangkan untuk memacu multiplikasi tunas lebih baik menggunakan sitokinin
BA lebih rendah menjadi setengah atau seperempat dari konsentrasi semula, yaitu
2-4 mg/L (Lestari et al. 2013).
F.
Kontaminasi
Kontaminasi pada medium dan eksplan terjadi karena adanya jamur ataupun
bakteri yang tidak mati pada saat sterilisasi medium maupun yang masuk dalam
medium pada saat proses penanaman, atau saat pemeliharaan. Pada medium atau
eksplan yang terkontaminasi oleh jamur maka akan terdapat jamur yang berwarna
putih yang akan terus tumbuh menutupi botol kultur. Ketika jamur tumbuh pada
medium atau eksplan maka embrio pertumbuhannya akan terhambat bahkan dapat
menyebabkan kematian pada embrio. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri
12
pada medium menunjukan ciri-ciri diantaranya medium menjadi berwarna lebih
keruh atau berwarna kecoklatan dan medium menjadi lebih cair. Selain itu dengan
adanya lendir berwarna putih, cokelat, merah muda dan kuning. Penemuan enam
jenis mikroorganisme yang menjadi sumber kontaminasi kultur in vitro, terdiri
dari golongan cendawan dan khamir. Cendawan yang mengkontaminasi adalah
Mucor, Rhizopus, Cladosporium,
Aspergillus dan Dictyotelium. Sedangkan
khamir yang mengkontaminasi adalah Saccharomyces. Jenis mikroorganisme
yang paling sering ditemukan adalah Mucor dan Rhizopus yang ditemukan pada
hampir
semua
kultur
in
vitro
yang
terkontaminasi
(Susilowati dan Listyawati 2001).
Berdasarkan jumlah sel dan koloni, bakteri merupakan kontaminan tertinggi
pada kultur in vitro yang dapat bersifa inisial, laten maupun introduksi. Inisial
apabila kontaminan dari eksplan yang kurang sempurna dalam proses sterilisasi.
Laten apabila kontaminan tidak menunjukkan sifat patogenik in situ namun
berkembang pada medium kultur. Introduksi apabila kontaminan berasal dari
lingkungan laboratorium akibat penanganan sterilisasi alat dan ruang yang kurang
baik. Kontaminan bakteri yang sering dijumpai antara lain Agrobacterium,
Bacillus,
Corynebacterium,
Enterobacter,
Lactobacillus,
Pseudomonas,
Staphylococcus dan Xanthomonas (Putri 2009)
Pencoklatan sangat umum terjadi pada spesies tanaman berkayu, terutama
bila eksplan diambil dari pohon dewasa. Pencoklatan pada jaringan muda lebih
sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua. Pencoklatan jaringan terjadi
karena aktivitas enzim oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol
oksidase dan tirosinase yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada kondisi
oksidatif ketika jaringan dilukai. Menurut George dan Sherrington (1984),
beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya
pencokelatan diantaranya, dengan menghilangkan senyawa fenol, modifikasi
potensial redoks, penghambatan aktivasi enzim fenol oksidase dan penurunan
aktivitas fenolase dan ketersediaan substrat. Penambahan arang dan antioksidan
seperti polivynil pirolidone 0,01–2%, maupun asam askorbat dengan konsentrasi
50–200 mg/L ke dalam medium tanam (Hutami S 2008).
Download