melakukan penelitian Analisis Pengaruh Ekuitas Merek te

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Penelitian Terdahulu
Hanggadikha (2010), melakukan penelitian Analisis Pengaruh Ekuitas Merek
terhadap Keputusan Pembelian Konsumen pada Produk Handphone Nokia
di Semarang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh timbulnya fenomena persaingan
antar merek-merek lama dan kemunculan berbagai merek-merek baru yang
meramaikan persaingan pasar khususnya untuk kategori produk handphone. Secara
khusus, penelitian ini membahas upaya yang dilakukan Nokia untuk mempertahankan
posisinya sebagai market leader dengan cara membentuk dan meningkatkan ekuitas
merek sekuat mungkin, karena ekuitas merek yang kuat dapat mendorong konsumen
untuk melakukan keputusan pembelian bahkan pembelian ulang pada produk
tersebut.
Adapun masalah penelitian ini adalah “apakah elemen-elemen ekuitas merek
(brand equity) pada produk handphone merek Nokia dapat mempengaruhi keputusan
pembelian konsumen pada produk handphone merek Nokia?”. Penelitian ini secara
khusus menguji elemen-elemen ekuitas merek yang terdiri dari kesadaran merek,
persepsi kualitas, asosiasi merek, dan loyalitas merek. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisis pengaruh keempat elemen ekuitas merek tersebut terhadap
10
Universitas Sumatera Utara
keputusan pembelian konsumen pada produk handphone merek Nokia. Setelah
dilakukan tinjauan pustaka dan penyusunan hipotesis, data dikumpulkan melalui
metode kuesioner dengan menggunakan teknik purposive sampling terhadap 100
orang responden yang pernah melakukan keputusan pembelian pada produk
handphone merek Nokia. Di mana variabel Keputusan Pembelian (Y), Kesadaran
Merek (X1), Persepsi Kualitas (X2), Asosiasi Merek (X3), dan Loyalitas Merek (X4).
Pengujian hipotesis menggunakan uji t menunjukkan bahwa keempat variabel
independen yang diteliti terbukti secara signifikan mempengaruhi variabel dependen
Keputusan Pembelian.
Istiyono, Utomo dan Indrayani (2007) melakukan penelitian Pengaruh Ekuitas
Merek Berbasis Pelanggan Telkomnet Instan terhadap Minat Pembelian Telkomnet
Speedy. Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan
menganalisis pengaruh customer base brand equity TELKOMNet-Instan terhadap
minat pembelian TELKOMSpeedy serta untuk mengetahui variabel mana yang paling
dominan dalam penentuan minat TELKOMSpeedy. Penelitian ini didasarkan pada
model Netemeyer disebut Pelanggan Berbasis Merek Ekuitas (CBBE) yang terdiri
dari tiga variabel yaitu: Merek Kualitas Impression (PQ), Nilai untuk Biaya
Impression (PVC) dan Unik Merek (U). Harga Premium (Y), mempunyai pengaruh
terhadap variabel dependen Ingin Membeli atau berlangganan Brand (Z). Metode
penelitian yang digunakan adalah metode survei untuk Telkomnet-Instan pelanggan
di Makassar dengan melakukan sampling sistematis. Data yang dikumpulkan
dianalisis untuk jalan analisis. Hasil penelitian menunjukkan hasil sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
CBBE Telkomnet-Instan yang variabel PVC, U dan PVC) berpengaruh secara
simultan terhadap keinginan untuk berlangganan TELKOMSpeedy (Z) yang moderat
Efek (26,9%) dan PVC merupakan variabel yang paling dominan yang
mempengaruhi variabel terikat Z.
Mayasari, Dwi (2009), melakukan penelitian Pengaruh Kualitas Produk dan
Harga terhadap Loyalitas Melalui Kepuasan Sebagai Variabel Perantara. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara kualitas produk (X1) terhadap
kepuasan (Z), harga (X2) terhadap kepuasan (Z), kualitas produk (X1) terhadap
loyalitas (Y), harga (X2) terhadap loyalitas (Y), kepuasan (Z) terhadap loyalitas (Y).
Sampel yang diambil sebanyak 100 konsumen atau pelanggan pengguna kartu IM3
dengan teknik pengambilan Random Sampling. Hasil penelitian ini diketahui:
(1) terdapat pengaruh yang signifikan antara kualitas produk terhadap kepuasan.
(2) terdapat pengaruh yang signifikan antara harga terhadap kepuasan. (3) terdapat
pengaruh yang signifikan antara kualitas produk terhadap loyalitas. (4) tidak terdapat
pengaruh yang signifikan antara harga terhadap loyalitas. (5) terdapat pengaruh yang
signifikan antara kepuasan terhadap loyalitas.
Sari, Nawang (2011), melakukan penelitian Pengaruh Brand Trust terhadap
Brand Loyalty Telepon Seluler Nokia (Studi pada Pengguna Telepon Seluler Nokia
di Kelurahan Sumbersari Malang). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui deskripsi keadaan brand trust dan brand loyalty pengguna telepon
seluler Nokia di Kelurahan Sumbersari Malang dan mengetahui pengaruh variabel
brand trust (brand reliability dan brand intentions) secara parsial maupun simultan
Universitas Sumatera Utara
terhadap brand loyalty. Kepercayaan yang tinggi dari konsumen terhadap telepon
seluler Nokia akan menciptakan loyalitas pelanggan pada telepon seluler Nokia.
Penelitian ini mempunyai dua variabel, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat
(Y). Variabel bebas (X) terdiri dari sub variabel, yaitu brand reliability (X1) dan
brand intentions (X2). Populasi dalam penelitian ini adalah warga kelurahan
Sumbersari Malang yang menggunakan telepon seluler Nokia dengan jumlah sampel
adalah 100 responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik Accidental
Random Sampling dan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Sedangkan teknik
analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi linear berganda,
sedangkan variabel terikatnya (Y) yaitu brand loyalty. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan brand reliability
secara parsial terhadap brand loyalty telepon seluler Nokia, ada pengaruh positif
dan signifikan brand intentions secara parsial terhadap brand loyalty telepon seluler,
ada pengaruh positif dan signifikan antara brand trust (brand reliability dan brand
intentions) secara simultan terhadap brand loyalty telepon seluler Nokia. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Kepercayaan Merek (Brand Trust) dapat
mempengaruhi Loyalitas Merek (Brand Loyalty) baik secara parsial maupun
simultan.
II.2.
Landasan Teori
II.2.1. Pengertian Merek
Universitas Sumatera Utara
Dalam dunia industri, istilah merek menjadi salah satu kata yang popular
dalam kehidupan sehari-hari. Merek sekarang tidak hanya dikaitkan oleh produk
tetapi juga dengan berbagai strategi yang dilakukan oleh perusahaan (Knapp, 2001).
Menurut American Marketing Association (Kotler, 2007) merek adalah nama, istilah,
tanda, simbol rancangan, atau kombinasi yang dapat mengidentifikasikan barang atau
jasa dari seorang atau sekelompok penjual agar dapat membedakan produk tersebut
dari produk pesaing. Merek memberi sejumlah keuntungan pada produsen maupun
konsumen. Simamora (2002) menyebutkan dengan adanya merek, masyarakat
mendapat jaminan tentang mutu suatu produk yaitu dengan memperoleh informasi
yang berkaitan dengan merek tersebut. Dikenalnya merek oleh masyarakat membuat
pihak perusahaan meningkatkan inovasi produk untuk menghadapi persaingan.
Sedangkan bagi produsen merek tentunya bermanfaat untuk melakukan segmentasi
pasar, menarik konsumen untuk membeli produk dari merek tersebut serta
memberikan perlindungan terhadap produk yang dihasilkan.
Merek mempunyai makna yang berbeda-beda bagi para produsen. Menurut
Kertajaya (dalam Simamora, 2002), perusahaan memiliki cara yang berbeda-beda
dalam memandang merek. Hal itu tergantung pada tipe pemasaran yang digunakan
oleh perusahaan tersebut. Berikut ini adalah tipe-tipe pemasaran yang biasa
digunakan oleh berbagai perusahaan:
1. Tidak ada pesaing pasar (No marketing), tipe pemasaran ini dilakukan pada
saat perusahaan memonopoli pasar dan tidak memiliki pesaing. Konsumen
Universitas Sumatera Utara
pasti mencari produk karena tidak ada pilihan. Dalam hal ini, merek hanya
dianggap sekedar nama.
2. Pemasaran Massal (Mass marketing), tipe pemasaran ini dilakukan ketika
perusahaan sudah memiliki pesaing walaupun pesaingnya lemah, untuk itu
perusahaan masih menguasai sebagian besar pasar dengan melakukan
pemasaran massal (mass marketing), dan pada saat ini merek tidak lebih dari
sekedar mengenalkan produk (brand awareness).
3. Segmentasi Pasar (Segmented marketing), dilakukan pada saat persaingan
mulai ketat, oleh karena itu perusahaan perlu melakukan segmentasi pasar.
Dalam tipe pemasaran ini, perusahaan harus menancapkan citra yang baik
tentang mereknya, karena itu merek diperlukan sebagai jangkar asosiasi
(brand association).
4. Pasar Ceruk (Niche marketing), ketika persaingan bertambah ketat lagi,
perusahaan tidak bisa hanya mengandalkan segmen, melainkan ceruk pasar
(niche marketing) yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki perilaku khas.
Oleh karena itu, perusahaan perlu menciptakan kesan bahwa mereknya
berkualitas, karena itu merek adalah persepsi kualitas (perceived quality).
5. Pasar Individual (Individualized marketing), ketika sudah mencapai puncak
persaingan, bagi perusahaan merek berkaitan dengan loyalitas (brand loyalty).
Dalam puncak persaingan tentunya jumlah pesaing sangat banyak dengan
berbagai strategi yang digunakan dan konsumen tidak mau hanya sekedar
Universitas Sumatera Utara
dipandang sebagai pembeli saja, karena itu perusahaan harus menjalin
kemitraan dengan konsumen melalui individualized marketing.
II.2.2. Ekuitas merek
Ekuitas merek (brand equity) adalah seperangkat asosiasi dan perilaku yang
dimiliki oleh pelanggan merek, anggota saluran distribusi, dan perusahaan yang
memungkinkan suatu merek mendapatkan kekuatan, daya tahan, dan keunggulan
yang dapat membedakan dengan merek pesaing (Astuti dan Cahyadi, 2007). Menurut
Aaker (2006), ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang
berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau
mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau
para pelanggan perusahaan.
Kotler dan Keller (2007), mendefinisikan ekuitas merek sebagai nilai tambah
yang diberikan kepada produk dan jasa. Nilai ini bisa dicerminkan dalam bentuk cara
seorang konsumen dalam berpikir, merasa, dan bertindak terhadap merek, harga,
pangsa pasar, dan profitabilitas yang dimiliki perusahaan. Knapp (2001),
mendefinisikan ekuitas merek sebagai totalitas dari persepsi merek, mencakup
kualitas relatif dari produk dan jasa, kinerja keuangan, loyalitas pelanggan, kepuasan
dan keseluruhan penghargaan terhadap merek. Menurut Astuti dan Cahyadi (2007),
jika pelanggan tidak tertarik pada suatu merek dan membeli karena karateristik
produk, harga, kenyamanan, dan dengan hanya sedikit memperdulikan merek,
kemungkinan ekuitas mereknya rendah. Sedangkan jika para pelanggan cenderung
Universitas Sumatera Utara
membeli suatu merek walaupun dihadapkan pada para pesaing yang menawarkan
produk yang lebih unggul, misalnya dalam hal harga dan kepraktisan, maka merek
tersebut memiliki nilai ekuitas yang tinggi (Astuti dan Cahyadi, 2007).
Pendekatan ekuitas merek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan ekuitas merek berbasis pelanggan. Pendekatan ekuitas merek berbasis
pelanggan akan memandang ekuitas merek dari sudut konsumen. Dasar pemikiran
model ekuitas merek berbasis pelanggan mengungkapkan bahwa kekuatan suatu
merek terletak pada apa yang telah dilihat, dibaca, didengar, dipelajari, dipikirkan,
dan dirasakan konsumen tentang merek selama ini (Kotler dan Keller, 2007).
Menurut Kotler dan Keller (2007), ekuitas merek berbasis pelanggan dapat
didefinisikan sebagai perbedaan dampak dari pengetahuan merek terhadap tanggapan
konsumen pada merek tersebut. Suatu merek dapat dikatakan memiliki ekuitas merek
berbasis pelanggan yang positif apabila konsumen bereaksi lebih menyenangkan
terhadap produk tertentu. Sebaliknya, suatu merek dapat dikatakan memiliki ekuitas
merek berbasis pelanggan yang negatif apabila konsumen bereaksi secara kurang
menyenangkan terhadap aktivitas pemasaran merek dalam situasi yang sama. Ekuitas
merek dapat memberikan nilai bagi perusahaan (Durianto, 2004).
Berikut adalah nilai ekuitas merek bagi perusahaan:
1. Ekuitas merek yang kuat dapat membantu perusahaan dalam upaya menarik
minat calon konsumen serta upaya untuk menjalin hubungan yang baik
dengan para pelanggan dan dapat menghilangkan keraguan konsumen
terhadap kualitas merek.
Universitas Sumatera Utara
2. Seluruh elemen ekuitas merek dapat mempengaruhi keputusan pembelian
konsumen karena ekuitas merek yang kuat akan mengurangi keinginan
konsumen untuk berpindah ke merek lain.
3. Konsumen yang memiliki loyalitas tinggi terhadap suatu merek tidak akan
mudah untuk berpindah ke merek pesaing, walaupun pesaing telah melakukan
inovasi produk.
4. Asosiasi merek akan berguna bagi perusahaan untuk melakukan evaluasi atas
keputusan strategi perluasan merek.
5. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menentukan harga
premium serta mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap promosi.
6. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menghemat
pengeluaran biaya pada saat perusahaan memutuskan untuk melakukan
perluasan merek.
7. Ekuitas merek yang kuat akan menciptakan loyalitas saluran distribusi yang
akan meningkatkan jumlah penjualan perusahaan.
8. Empat elemen inti ekuitas merek (brand awareness, brand association,
perceived quality, dan brand loyalty) yang kuat dapat meningkatkan kekuatan
elemen ekuitas merek lainnya seperti kepercayaan konsumen, dan lain-lain.
Model Brand Equity Ten merupakan suatu model yang dikembangkan oleh
David A. Aaker yang merupakan perluasan dari konsep ekuitas merek. Dalam model
ini, pengukuran dikelompokkan dalam lima kategori. Empat kategori pertama
mewakili persepsi konsumen tentang suatu merek melalui 4 dimensi ekuitas merek,
Universitas Sumatera Utara
yaitu kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan loyalitas merek.
Kategori kelima meliputi pengukuran dua jenis perilaku pasar (market behavior) yang
mewakili informasi yang diperoleh berdasarkan pasar. Penelitian ini hanya
melakukan penelitian yang berdasarkan pada persepsi konsumen. Ekuitas merek
dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan
pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, dan
asosiasi dengan berbagai karakteristik merek (Durianto, 2004). Semakin kuat ekuitas
merek suatu produk, maka semakin kuat pula daya tariknya di mata konsumen untuk
mengkonsumsi produk tersebut dan pada akhirnya akan mengarah pada keputusan
pembelian produk (Durianto, 2004).
Serangkaian aset dan kewajiban (liabilitas) merek yang berkaitan dengan
suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang
diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan dan atau pelanggan
perusahaan tersebut (Aaker, 2008). Selanjutnya menurut Aaker, terdapat empat
dimensi ekuitas merek yaitu loyalitas merek (brand loyalty), mutu yang dirasakan
(perceived quality), asosiasi merek (brand associations) dan kesadaran merek (brand
awareness). Sementara itu Kotler dan Gary (2002) menyatakan bahwa: Nilai dari
suatu merek berdasarkan pada sejauhmana merek itu mempunyai loyalitas merek,
kesadaran nama merek, anggapan mutu, asosiasi merek yang tinggi, dan aset lain
seperti paten, merek dagang dan hubungan distribusi.
II.2.2.1. Kesadaran merek (brand awareness)
Universitas Sumatera Utara
Aaker (2006) mendefenisikan kesadaran merek adalah kesanggupan seorang
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari kategori merek tertentu.
Sumber: Aaker, 2006
Gambar II.1. Piramida Kesadaran Merek (The Awareness Pyramid)
Kesadaran merek tidak cukup membentuk ekuitas merek, brand awareness
yang tinggi tidak cukup untuk membentuk menyimpulkan bahwa produk tersebut
mempunyai ekuitas merek yang cukup tinggi karena banyak variabel lain yang turut
diperhitungkan dan membutuhkan jangkauan kontinum (continuum ranging) dari
perasaan yang tak pasti bahwa merek tertentu dikenal, menjadi keyakinan bahwa
produk tersebut merupakan satu-satunya dalam kelas produk bersangkutan
sebagaimana ditujukan pada Gambar II.1. Tingkatan yang paling rendah, pengakuan
merek, didasarkan suatu tes pengingatan kembali lewat bantuan (an aided recall test).
Universitas Sumatera Utara
Pengenalan merek adalah tingkat minimal dari kesadaran merek, ini penting
khususnya ketika seorang pembeli memilih suatu merek pada saat pembelian. Pada
tingkatan berikutnya adalah pengingatan kembali (brand recall). Pengingatan
kembali merek didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek
tertentu dalam suatu kelas produk; ini diistilahkan dalam “pengingatan kembali tanpa
bantuan” (unaided recall) karena, berbeda dengan tugas pengenalan, responden tidak
perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. Pengingatan kembali tanpa
bantuan adalah tugas yang jauh lebih sulit dibandingkan pengenalan, dan ini
mempunyai asosiasi yang berkaitan dengan suatu posisi merek yang lebih kuat.
Seseorang yang bisa mengingat kembali lebih banyak item dalam cara pengingatan
kembali lewat bantuan (aided recall) ketimbang tanpa bantuan. Merek yang disebut
pertama dalam suatu tugas pengingatan kembali tanpa bantuan berarti telah meraih
kesadaran puncak pikiran (top-of-mind awareness) suatu posisi istimewa. Dalam
pengertian yang sederhana, merek tersebut menjadi ‘pimpinan’ dari berbagai merek
yang ada dalam pikiran seseorang. Posisi pengingatan kembali yang lebih kuat dari
puncak pikiran tidak tercantum dalam Gambar II.1 adalah merek dominan. Yaitu
merek yang menempati posisi sebagai satu-satunya merek yang diingat kembali oleh
responden dalam persentase tinggi. Unsur-unsur yang terdapat dalam kesadaran
merek adalah sebagai berikut:
1. Penilaian Merek (Brand opinion), yang berarti orang memiliki pendapat
tentang suatu merek, baik itu keunggulan maupun kelemahan dibandingkan
dengan pesaing.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengetahuan Merek (Brand knowledge), pengetahuan tentang merek lebih
pada tahap internalisasi terhadap merek itu sendiri.
3. Merek Dominan (Brand dominance), keberadaan merek tertentu di-recall.
4. Puncak Pikiran (Top of mind), merek yang disebut pertama, merek dari
katagori apapun akan mengindikasikan melekatnya merek tersebut di benak
seseorang.
5. Pembelian Merek (Brand recall), didasarkan pada pertanyaan seseorang
tentang merek dari kelas produk tanpa bantuan atau dalam benak konsumen
sudah terdapat merek dari produk tertentu dan ini sangat diperlukan pada saat
hendak melakukan pembelian suatu produk. “Merek mobil apa yang Anda
tahu?” contoh pertanyaan untuk mengukur brand recall.
6. Pengakuan Merek (Brand recognition), diberikan sejumlah merek dari kelas
produk tertentu dan diminta untuk mengidentifikasikan apa yang mereka telah
dengar sebelumnya; misalnya, Anda tahu Sony?
7. Tidak menyadari merek (Unaware brand), walaupun telah dibimbing,
responden tidak mengetahui merek tersebut, misalnya Apakah Anda tahu
Commodore (rokok)?
Merek yang disebut pertama dalam suatu tugas pengingatan kembali tanpa
bantuan berarti telah meraih kesadaran puncak pikiran (top-of-mind awareness), suatu
posisi istimewa. Dalam pengertian yang sangat sederhana, merek tersebut menjadi
pimpinan dari berbagai merek yang ada dalam pikiran seseorang. Tentu saja, ada
merek lain yang mungkin berdekatan dengan itu. Mempunyai merek yang dominan
Universitas Sumatera Utara
memberikan keuntungan kompetitif yang kuat. Ini berarti bahwa di banyak situasi
pembelian, tidak merek lain yang akan diperhitungkan.
Kesadaran Merek (Brand Awareness) dan Hubungannya dengan Keputusan
Pembelian Konsumen
Aaker (2006) mendefinisikan kesadaran merek (brand awareness) sebagai
kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa
suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek
merupakan elemen ekuitas yang sangat penting bagi perusahaan karena kesadaran
merek dapat berpengaruh secara langsung terhadap ekuitas merek. Apabila kesadaran
konsumen terhadap merek rendah, maka dapat dipastikan bahwa ekuitas mereknya
juga akan rendah. Aaker (2006), mengungkapkan bahwa kesadaran merek merupakan
gambaran dari kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali dan mengingat
kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu.
Kesadaran merek akan sangat berpengaruh terhadap ekuitas suatu merek.
Kesadaran merek akan mempengaruhi persepsi dan tingkah laku seorang konsumen.
Oleh karena itu meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek merupakan
prioritas perusahaan untuk membangun ekuitas merek yang kuat. Durianto (2004),
mengungkapkan bahwa tingkat kesadaran konsumen terhadap suatu merek dapat
ditingkatkan melalui berbagai upaya sebagai berikut:
1. Suatu merek harus dapat menyampaikan pesan yang mudah diingat oleh para
konsumen.
2. Pesan yang disampaikan harus berbeda dibandingkan merek lainnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Selain itu pesan yang disampaikan harus memiliki hubungan dengan merek
dan kategori produknya.
4. Perusahaan disarankan memakai jingle lagu dan slogan yang menarik agar
merek lebih mudah diingat oleh konsumen
5. Simbol yang digunakan perusahaan sebaiknya memiliki hubungan dengan
mereknya.
6. Perusahaan dapat menggunakan merek untuk melakukan perluasan produk,
sehingga merek tersebut akan semakin diingat oleh konsumen.
7. Perusahaan dapat memperkuat kesadaran merek melalui suatu isyarat yang
sesuai dengan kategori produk, merek, atau keduanya. Membentuk ingatan
dalam
pikiran
konsumen
akan
lebih
sulit
dibandingkan
dengan
memperkenalkan suatu produk baru, sehingga perusahaan harus selalu
melakukan pengulangan untuk meningkatkan ingatan konsumen terhadap
merek.
Kesadaran konsumen terhadap merek dapat digunakan oleh perusahaan
sebagai sarana untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai suatu
merek kepada konsumen (Humdiana, 2005). Perusahaan dapat menciptakan nilainilai kesadaran merek agar konsumen dapat lebih memahami pesan merek yang akan
disampaikan (Humdiana, 2005). Berikut adalah nilai-nilai kesadaran merek yang
diciptakan oleh perusahaan (Humdiana, 2005):
Universitas Sumatera Utara
1. Jangkar yang menjadi pengait asosiasi lain. Tingkat kesadaran merek yang
tinggi akan lebih memudahkan pemasar untuk melekatkan suatu asosiasi
terhadap merek karena merek tersebut telah tersimpan dibenak konsumen.
2. Rasa suka. Kesadaran merek yang tinggi dapat menimbulkan rasa suka
konsumen terhadap merek tersebut.
3. Komitmen. Jika kesadaran suatu merek tinggi, maka konsumen dapat selalu
merasa kehadiran merek tersebut.
4. Mempertimbangkan merek. Ketika konsumen akan melakukan keputusan
pembelian, merek yang memiliki tingkat kesadaran merek tinggi akan selalu
tersimpan di benak konsumen dan akan dijadikan pertimbangan oleh
konsumen.
Aspek paling penting dari brand awareness adalah bentuk informasi dalam
ingatan di tempat yang pertama (Lindawati, 2005). Sebuah titik ingatan brand
awareness adalah penting sebelum brand association dapat dibentuk (Lindawati,
2005). Ketika konsumen memiliki waktu yang sedikit untuk melakukan konsumsi,
kedekatan dengan nama merek akan cukup untuk menentukan keputusan pembelian
(Pitta dan Katsanis, 2004). Nedungadi (2002) membuktikan bahwa pengingatan
terhadap merek mempengaruhi pembelian pelanggan. Hasil temuannya menunjukkan
bahwa pengingatan kembali adalah kompleks dan bahwa posisi yang kuat dalam sub
kategori bisa menciptakan pengingatan kembali dengan menarik perhatian pada sub
kategori serta dengan memberi keterangan pada merek tersebut. Nedungadi (2002)
juga mengatakan ada penelitian lain yang menyebutkan bahwa memang ada
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara pengingatan kembali puncak pikiran dengan sikap atau perilaku
pembelian.
Ternyata ada perbedaan yang mencolok dalam preferensi dan kemungkinan
pembelian, tergantung pada apakah merek tersebut merupakan merek yang pertama,
kedua, atau ketiga dalam tugas pengingatan kembali tanpa bantuan atau unaide recall
task. Disimpulkan bahwa ternyata kesadaran merek bisa menjadi faktor independen
yang penting dalam perubahan sikap (Aaker, 2008). Implikasinya, kesadaran merek
dipengaruhi oleh periklanan yang bersifat mengingatkan kembali dimana akan
mempengaruhi keputusan-keputusan pembelian (Aaker, 2008). Penelitian lain yang
berkaitan dengan kesadaran merek dilakukan oleh Hanggadhika (2010), yang
menunjukkan hasil bahwa kesadaran merek (brand awareness) yang menjadi salah
satu elemen ekuitas merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan
pembelian konsumen pada produk handphone merek Nokia di Semarang, dengan
nilai regresi sebesar 0,212.
Hasil penelitiannya tersebut menunjukkan bahwa merek yang terkenal dengan
tingkat brand awareness yang tinggi dapat menyebabkan pelanggan memiliki rasa
percaya diri atas keputusan pembelian yang dibuat. Hal ini dapat mengurangi tingkat
persepsi resiko (perceived risk) atas merek yang akan dibeli. Menurut Astuti dan
Cahyadi (2007), saat pengambilan keputusan pembelian dilakukan, kesadaran merek
(brand awareness) memegang peran penting. Merek menjadi bagian dari
consideration set sehingga memungkinkan preferensi pelanggan untuk memilih
merek tersebut (Astuti dan Cahyadi, 2007). Pelanggan cenderung memilih merek
Universitas Sumatera Utara
yang sudah dikenal karena merasa aman dengan sesuatu yang dikenal dan
beranggapan merek yang sudah dikenal kemungkinan bisa diandalkan, dan kualitas
yang bisa dipertanggung jawabkan (Astuti dan Cahyadi, 2007). Berdasarkan
pemikiran-pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:
Semakin tinggi kesadaran konsumen terhadap suatu merek (X1), maka semakin tinggi
keputusan pembelian konsumen (Y).
II.2.2.2. Asosiasi merek (brand association)
Menurut Aaker (2006) asosiasi merek adalah segala sesuatu yang berkaitan
secara langsung maupun tidak langsung dengan ingatan konsumen terhadap suatu
merek. Ditambahkan oleh Susanto (2004) hal-hal lain yang penting adalah asosiasi
merek adalah asosiasi yang menunjukkan fakta bahwa produk dapat digunakan untuk
mengekspresikan gaya hidup, kelas sosial, dan peran profesional, atau yang
mengekspresikan asosiasi-asosiasi yang memerlukan aplikasi produk dan tipe-tipe
orang yang menggunakan produk tersebut, toko yang menjual produk atau
wiraniaganya.
Lebih lanjut Aaker (2006) menjelaskan bahwa asosiasi-asosiasi yang terkait
dengan suatu merek dapat dihubungkan dengan berbagai hal berikut:
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Aaker, 2006
Gambar II.2. Tipe-tipe Asosiasi Merek (Types of Brand Association)
Asosiasi Merek (Brand Association) dan Hubungannya dengan Keputusan
Pembelian Konsumen
Asosiasi merek (brand association) adalah segala hal yang berkaitan dengan
ingatan (memory) mengenai sebuah merek (Aaker, 2006). Sebuah merek adalah
serangkaian asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna.
Suatu merek yang lebih mapan akan mempunyai posisi yang menonjol dalam suatu
kompetisi karena didukung oleh berbagai asosisasi yang kuat (Humdiana, 2005).
Asosiasi merek dapat memberikan nilai bagi suatu merek dari sisi perusahaan
maupun dari sisi konsumen, berikut adalah berbagai fungsi dari asosiasi tersebut
(Humdiana, 2005):
1. Membantu proses penyusunan informasi.
2. Membedakan merek dengan merek lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Alasan pembelian,
4. Menciptakan sikap atau perasaan positif karena pengalaman ketika
menggunakan produk.
5. Landasan perusahaan untuk melakukan perluasan merek.
Menurut Aaker (2006) asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek
umumnya akan dihubungkan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Atribut produk, seperti karakteristik dari suatu produk.
2. Atribut tak berwujud, seperti persepsi kualitas, kesan nilai, dan lain-lain.
3. Manfaat bagi pelanggan, yang terdiri dari manfaat rasional dan manfaat
psikologis.
4. Harga relatif.
5. Asosiasi merek dengan penggunaan tertentu.
6. Asosiasi merek dengan tipe pelanggan tertentu.
7. Mengkaitkan orang terkenal dengan merek tertentu.
8. Gaya hidup pengguna produk.
9. Kelas produk.
10. Mengetahui para pesaing.
11. Keterkaitan dengan suatu negara atau suatu wilayah geografis.
Menurut konsep Brand Equity Ten yang dikembangkan oleh David A. Aaker,
kategori asosiasi merek mewakili 3 elemen, yaitu sebagai berikut (Durianto, 2004):
Universitas Sumatera Utara
1.
Persepsi nilai
Persepsi nilai suatu produk merupakan suatu persepsi yang melibatkan manfaat
fungsional di mata konsumen. Nilai merupakan hal penting untuk suatu merek.
Merek yang tidak memiliki nilai akan mudah diserang oleh pesaing. Menurut
Durianto, (2004) terdapat 5 dimensi yang menjadi penggerak utama
pembentukan persepsi nilai terkait dengan kepuasan pelanggan, yaitu:
1.1.
Dimensi kualitas produk
Kualitas produk merupakan penggerak kepuasan pelanggan yang
pertama. Dalam dimensi kualitas produk paling tidak tercakup 5 elemen
utama, yaitu kinerja, reliabilitas, fitur, keawetan, konsistensi, dan disain.
1.2.
Dimensi harga
Bagi pelanggan yang sensitif, biasanya harga yang lebih murah bisa
menjadi sumber kepuasan.
1.3.
Dimensi kualitas layanan
Kualitas layanan tergantung pada sistem, teknologi, dan manusia.
1.4.
Dimensi emosional
Aspek emosional dapat menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi konsumen untuk membeli suatu produk.
1.5.
Dimensi kemudahan
Pelanggan akan merasa semakin puas apabila pelanggan tersebut
mendapatkan produk yang mudah dalam penggunaannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Kepribadian merek
Kepribadian merek dapat diartikan sebagai suatu hal yang dapat menghubungkan
ikatan emosi merek tersebut dengan manfaat merek itu sendiri sebagai dasar
untuk diferensiasi merek dan customer relationship yang pada akhirnya akan
berujung pada keuntungan yang akan diraih oleh perusahaan. Seorang konsumen
akan lebih tertarik untuk memilih suatu merek apabila ia merasa bahwa
kepribadian merek tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Sebuah penelitian
telah menemukan suatu skala yang dapat digunakan untuk mengukur kepribadian
merek (Durianto, 2004), sebagai berikut:
1. Ketulusan (sederhana, jujur, sehat, riang).
2. Kegemparan (berani, bersemangat, penuh daya khayal, mutakhir).
3. Kecakapan (dapat dipercaya, cerdas, sukses).
4. Keduniawian (golongan atas, mempesona).
5. Ketangguhan (keras, ulet).
3. Asosiasi organisasi
Asosiasi organisasi dapat dijadikan sebagai keunggulan kompetitif untuk
mengembangkan persaingan pasar apabila merek tersebut tidak memiliki
karakteristik yang dapat membedakan dengan merek pesaing. Sebuah perusahaan
harus selalu menjaga asosiasi organisasinya di mata konsumen karena konsumen
akan lebih tertarik untuk memilih merek yang diproduksi oleh perusahaan yang
memiliki citra asosiasi organisasi yang baik. Selain itu, asosiasi organisasi akan
sangat diperlukan untuk meningkatkan loyalitas konsumen terhadap merek
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Durianto, (2004) menyatakan 6 unsur yang dapat mempengaruhi asosiasi
organisasi, yaitu sebagai berikut:
1. Orientasi pada masyarakat
Organisasi yang baik dapat dibuktikan melalui kepekaannya terhadap
lingkungan, menjadi sponsor dalam kegiatan amal,
memperlakukan
karyawannya dengan baik, dan lain-lain.
2. Persepsi kualitas
Asosiasi organisasi dapat digunakan perusahaan sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan kepada konsumen bahwa merek tersebut memiliki
kualitas yang dapat dipercaya.
3. Inovasi
Melalui inovasi, perusahaan dapat menampilkan merek yang terkesan lebih
modern dan selalu mengikuti perkembangan pasar.
4. Perhatian kepada pelanggan
Perusahaan akan selalu mendapatkan konsumen di urutan pertama agar
perusahaan tetap dapat menjaga hubungan jangka panjang dengan konsumen.
5. Keberadaan dan keberhasilan kesuksesan suatu merek akan menciptakan rasa
percaya diri terhadap konsumen yang telah memiliki produk tersebut.
6. Lokal versus global
Keputusan untuk mempersepsikan merek sebagai merek lokal atau global.
Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu
rangsangan yang disebut dengan brand image (Durianto, 2004). Semakin
Universitas Sumatera Utara
banyak asosiasi yang saling berhubungan, maka akan semakin kuat citra
mereknya (Durianto, 2004). Selain itu, asosiasi merek dapat membangkitkan
berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang pada akhirnya akan
memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan
merek tersebut (Durianto, 2004).
Penelitian yang berkaitan dengan asosiasi merek (brand association)
dilakukan oleh Hanggadhika (2010), yang menunjukkan hasil bahwa asosiasi merek
(brand association) sebagai salah satu elemen ekuitas merek yang berpengaruh
positif dan signifikan terhadap rasa percaya diri konsumen atas keputusan pembelian
konsumen pada produk handphone merek Nokia di Semarang, dengan nilai regresi
sebesar 0,189. Hasil penelitiannya tersebut menunjukkan bahwa asosiasi merek dapat
menciptakan kredibilitas merek yang baik di pikiran pelanggan, karena adanya benefit
association yang positif di pikiran pelanggan, hal ini akan menimbulkan rasa percaya
diri pelanggan atas keputusan pembelian yang dibuatnya (Astuti dan Cahyadi, 2007).
Positive benefit association mampu memberikan reason to buy yang berarti alasan
untuk melakukan keputusan pembelian (Assael, 2002).
Schiffman dan Kanuk (2004) menambahkan bahwa asosiasi merek yang
positif mampu menciptakan citra merek yang sesuai dengan keinginan pelanggan,
sehingga dapat menciptakan rasa percaya diri pelanggan atas keputusan pembelian
merek tersebut. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis
sebagai berikut: Semakin tinggi asosiasi suatu merek di benak konsumen (X2), maka
semakin tinggi keputusan pembelian konsumen (Y).
Universitas Sumatera Utara
II.2.2.3. Kesetiaan merek (brand loyalty)
Loyalitas merek adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli
merek tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk (Giddens,
2002). Schiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan loyalitas merek sebagai
preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang
sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu. Walaupun
demikian, loyalitas konsumen berbeda dengan perilaku pembelian berulang (repeat
purchasing behavior). Perilaku pembelian berulang adalah tindakan pembelian
berulang pada suatu produk atau merek yang lebih dipengaruhi oleh faktor kebiasaan.
Dalam loyalitas konsumen, tindakan berulang terhadap merek tersebut
dipengaruhi oleh kesetiaan terhadap merek. Sedangkan Aaker (2008) menyebutkan
bahwa loyalitas merek adalah kelekatan konsumen pada nilai yang tinggi dari suatu
merek, dengan kelekatan yang dibangun ini maka konsumen akan menolak segala
strategi yang dilakukan oleh kompetitor merek. Konsumen akan memberikan
loyalitas dan kepercayaannya pada merek selama merek tersebut sesuai dengan
harapan yang dimiliki oleh konsumen, bertindak dalam cara-cara tertentu dan
menawarkan nilai-nilai tertentu. Loyalitas pada merek ini timbul karena konsumen
mempersepsikan merek tersebut menghasilkan produk yang memiliki sejumlah
manfaat dan kualitas dengan harga yang sesuai. Loyalitas merek juga menjadi
indikasi adanya kekuatan merek, karena tanpa loyalitas merek tidak akan tercipta
kekuatan merek. Hal ini dapat dilihat pada merek-merek yang menjadi pemimpin
Universitas Sumatera Utara
di pasaran, dapat dipastikan bahwa merek tersebut memiliki pelanggan yang loyal
pada merek tersebut (Giddens, 2002).
Penggolongan loyalitas merek
Aaker (dalam Simamora 2002) membagi loyalitas merek ke dalam 5
tingkatan, sebagai berikut:
1. Ketidakperdulian Merek (Switcher) adalah golongan yang tidak peduli pada
merek, mereka suka berpindah merek. Motivasi mereka berpindah merek
adalah harga yang rendah karena golongan ini memang sensitif terhadap harga
(price sensitive switcher), adapula yang selalu mencari variasi yang disebut
Blackwell et al dan Kotler sebagai variety-prone switcher dan karena para
konsumen tersebut tidak mendapatkan kepuasan (unsatisfied switcher).
2. Kebiasaan Pembeli (Habitual buyer) adalah golongan yang setia terhadap
suatu merek di mana dasar kesetiaannya bukan kepuasan atau keakraban dan
kebanggaan. Golongan ini memang puas, setidaknya tidak merasa
dikecewakan oleh merek tersebut. Dan dalam membeli produk didasarkan
pada faktor kebiasaan, bila menemukan merek yang lebih bagus, maka
mereka akan berpindah. Blackwell menyebut perilaku tersebut sebagai inertia.
3. Kepuasan Pembeli (Satisfied buyer) adalah golongan konsumen yang
merasa puas dengan suatu merek. Mereka setia, tetapi dasar kesetiaannya
bukan pada kebanggaan atau keakraban pada suatu merek tetapi lebih
didasarkan pada perhitungan untung rugi atau biaya peralihan (switching cost)
bila melakukan pergantian ke merek lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Suka Merek (Liking the brand) adalah golongan konsumen yang belum
mengekspresikan kebanggaannya pada kepada orang lain, kecintaan pada
produk baru terbatas pada komitmen terhadap diri sendiri, dan mereka merasa
akrab dengan merek.
5. Pembeli yang Komit (Commited buyer) adalah konsumen yang merasa
bangga dengan merek tersebut dan mengekspresikan kebanggaannya.
Menurut Ford (2005), loyalitas merek dapat dilihat dari seberapa sering orang
membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya.
Sumber: Aaker, 2006
Gambar II.3. Kesetiaan Merek (The Loyalty Pyramid)
Universitas Sumatera Utara
Berikut penjelasan Susanto (2004) tentang tingkatan loyalitas terhadap merek,
yaitu:
1. Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang sama sekali
tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi mereka merek apapun dianggap
memadai sehingga merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan
pembelian.
2. Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk atau setidaknya
tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa disebut sebagai pembeli kebiasaan
(habitual buyer).
3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya
peralihan (switching cost) serta biaya berupa waktu, uang atau resiko kinerja
berkenaan dengan tindakan beralih merek, kelompok ini bisa disebut
pelanggan yang loyal terhadap biaya peralihan.
4. Tingkat keempat adalah mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek
tersebut, preferensinya mungkin dilandasi oleh suatu asosiasi seperti simbol,
rangkaiaan pengalaman dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang
tinggi.
5. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia, mereka mempunyai kebanggaan
menjadi pengguna suatu merek, merek tersebut sangat penting bagi mereka,
baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka (Susanto,
2004).
Universitas Sumatera Utara
Loyalitas Merek (Brand Loyalty) dan Hubungannya dengan Keputusan
Pembelian Konsumen
Loyalitas merek (brand loyalty) menurut Aaker (2008) merupakan satu
ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek. Loyalitas merek
didasarkan atas perilaku konsisten pelanggan untuk membeli sebuah merek sebagai
bentuk proses pembelajaran pelanggan atas kemampuan merek memenuhi
kebutuhannya (Assael, 2002). Selain sebagai bentuk perilaku pembelian yang
konsisten, loyalitas merek juga merupakan bentuk sikap positif pelanggan dan
komitmen pelanggan terhadap sebuah merek lainnya (Dharmmesta, 2004). Menurut
konsep Brand Equity Ten yang dikembangkan oleh Aaker (2008), kategori loyalitas
merek mewakili 2 elemen, yaitu sebagai berikut:
1.
Loyalitas
Menurut Durianto, (2004) kepuasan adalah pengukuran secara langsung
mengenai konsumen yang loyal terhadap suatu merek, sedangkan loyalitas
merupakan hasil akumulasi dari pengalaman konsumen selama menggunakan
produk. Menurut Aaker (2006), loyalitas konsumen terhadap merek memiliki
tingkatan yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
a) Pembeli yang berpindah-pindah merupakan tingkatan loyalitas yang paling
rendah. Perpindahan merek biasanya dipengaruhi oleh perilaku pembelian
di lingkungan sekitar.
Universitas Sumatera Utara
b) Pembeli
yang
bersifat
kebiasaan,
yaitu
pembeli
yang
mengalami
ketidakpuasan ketika mengkonsumsi suatu produk karena ia membeli suatu
produk hanya berdasarkan kebiasaan saja.
c) Pembeli yang puas dengan biaya peralihan, yaitu pembeli yang merasa puas
dengan merek yang mereka konsumsi, namun mereka berkeinginan
melakukan perpindahan merek.
d) Menyukai merek adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek karena
alasan persepsi kualitas yang tinggi, pengalaman, dan lain-lain.
e) Pembeli yang berkomitmen adalah kelompok pembeli yang setia karena
mereka merasa bangga ketika menggunakan produk tersebut dan secara
sukarela bersedia untuk merekomendasikan merek kepada orang lain.
Loyalitas merek dapat memberikan nilai kepada perusahaan, diantaranya
adalah sebagai berikut (Durianto, 2004):
1. Mengurangi biaya pemasaran,
2. Meningkatkan perdagangan,
3. Menarik konsumen baru,
4. Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan.
2. Harga optimum
Harga optimum adalah ukuran sampai seberapa tinggi konsumen bersedia
membayar lebih untuk membeli suatu merek dibandingkan dengan merek lain. Harga
optimum dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur loyalitas konsumen
terhadap suatu merek. Harga optimum mencerminkan kebijakan penetapan harga
Universitas Sumatera Utara
yang lebih daripada harga pasar yang disebabkan oleh berbagai hal. Harga optimum
merupakan satu-satunya pengukuran ekuitas merek yang terbaik karena pengukuran
ini langsung mengetahui konsumen yang loyal terhadap suatu merek. Konsumen yang
memiliki loyalitas tinggi akan bersedia untuk membayar harga yang lebih tinggi dari
harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Loyalitas merek merupakan suatu ukuran
keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan
gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lain,
terutama jika pada merek tersebut didapati terjadinya perubahan baik menyangkut
harga ataupun atribut lain (Durianto, 2004).
Konsumen yang memiliki loyalitas kuat terhadap suatu merek akan tetap
melanjutkan pembelian produk tersebut, meskipun saat ini banyak bermunculan
berbagai merek di pasar yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul
serta dapat memberikan jaminan peningkatan perolehan laba perusahaan di masa
yang akan datang (Durianto, 2004). Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu
ikatan antara pelanggan dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan
adanya pembelian ulang dari pelanggan. Minor dan Mowen (2002) mengemukakan
bahwa loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang
dikaitkan dengan proporsi pembelian. Berdasarkan dari pandangan tersebut maka
loyalitas merek didefinisikan sebagai: keinginan konsumen untuk melakukan
pembelian ulang.
PT. Telkomsel yang pada umumnya mempunyai basis pelanggan yang
mempunyai loyalitas merek yang tinggi dapat mengurangi biaya pemasaran
Universitas Sumatera Utara
perusahaan karena biaya untuk mempertahankan pelanggan jauh lebih murah
dibandingkan dengan mendapatkan pelanggan baru. Loyalitas merek yang tinggi
dapat meningkatkan perdagangan. Dan dapat menarik minat pelanggan baru karena
mereka memiliki keyakinan bahwa membeli produk bermerek minimal dapat
mengurangi risiko. Keuntungan lain yang didapat dari loyalitas merek adalah
perusahaan dapat lebih cepat untuk merespons gerakan pesaing.
II.2.3. Kepercayaan terhadap Merek (Trust in a Brand)
Kepercayaan terhadap merek merupakan kesediaan atau kemauan konsumen
dalam menghadapi resiko yang berhubungan dengan merek yang dibeli akan
memberikan hasil yang positif atau menguntungkan (Lau & Lee, 2001). Menurut Lau
dan Lee (2001), terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek.
Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan
antara merek dan konsumen.
Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat
merek, dan konsumen. Selanjutnya Lau dan Lee memproposisikan bahwa
kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. Hubungan ketiga
faktor tersebut dengan kepercayaan merek dapat digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
TRUST IN A BRAND
Brand Characteristic
• Brand Reputation
• Brand Predictability
• Brand Competence Company Characteristic
• Trust ini Company
• Company Reputation
• Company Perceived Motives
• Company Integrity Brand loyalty
Consumer-Brand
Characteristic
• Similarity between Consumer SelfConcept and Brand Personality
• Brand Liking
• Brand Experience
• Brand Satisfaction
• Peer Support Sumber: Lau dan Lee, 2001
Gambar II.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Brand Loyalty
II.2.3.1. Karakteristik merek (brand characteristic)
Karakteristik merek mempunyai peran yang penting dalam menentukan
pengambilan keputusan konsumen untuk mempercayai suatu merek, hal ini
disebabkan konsumen melakukan penilaian sebelum membelinya. Karakteristik
merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi: reputasi merek (brand
reputation), merek yang dapat diramalkan (brand predictability), dan kompetensi
merek (brand competence).
Universitas Sumatera Utara
1. Reputasi merek (brand reputation)
Mengacu pada pendapat orang lain tentang bagus tidaknya dan dapat
dipercaya tidaknya suatu merek. Brand reputation dapat dikembangkan
melalui iklan dan hubungan dengan masyarakat (public relation), tetapi
kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kinerja produk.
Reputasi yang baik akan menguatkan kepercayaan konsumen. Greed dan
Miles (Lau & Lee, 2001) menemukan bahwa reputasi suatu partai dapat
membawa pada pengharapan positif, yang dihasilkan dalam pengembangan
timbal balik antar partai. Jika konsumen merasakan bahwa orang lain
berpendapat bahwa merek tersebut itu memiliki reputasi yang bagus, maka
konsumen tersebut dapat mempercayai merek itu untuk kemudian
membelinya. Setelah berpengalaman memakai, jika ternyata merek tersebut
dapat memenuhi harapan konsumen, maka dapat dinyatakan bahwa reputasi
yang bagus sudah memberikan umpan balik dalam membangun kepercayaan
konsumen. Jika merek tidak memiliki reputasi yang bagus, konsumen akan
menjadi semakin sangsi. Jadi persepsi konsumen bahwa suatu merek memiliki
reputasi yang bagus sangatlah berkaitan dengan kepercayaan konsumen
terhadap merek tersebut.
2. Merek yang dapat diramalkan (brand predictability)
Berkaitan erat dengan kemampuan kelompok untuk meramalkan perilaku
kelompok yang lain. Merek yang dapat diprediksi adalah merek yang
memungkinkan konsumen untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
dengan percaya diri yang beralasan. Prediktabilitas ini dapat terkait dengan
tingkat kekonsistenan kualitas produk. Shapiro dkk (Lau & Lee, 2001)
menggambarkan 3 kepercayaan yang dapat ditemui dalam hubungan bisnis:
kepercayaan yang berdasar pada penolakan, kepercayaan yang berdasar pada
pengetahuan, dan kepercayaan yang berdasar identifikasi. Kepercayaan yang
berdasar pada pengetahuan tercipta jika suatu kelompok memiliki informasi
yang cukup tentang kelompok lainnya untuk memahami dan memprediksi
tingkah lakunya. Kelly dan Stahelski (Lau & Lee, 2001) berpendapat bahwa
prediktabilitas meningkatkan kepercayaan, seolah kelompok yang lain tidak
dapat dipercaya, karena cara yang mengesampingkan kepercayaan dapat
diprediksi. Prediktabilitas merek meningkatkan kepercayaan diri merek itu
sendiri. Prediksi atau persepsi konsumen adalah bahwa suatu merek dapat
diprediksikan erat kaitannya dengan kepercayaan konsumen terhadap merek
tersebut.
3. Kompetensi merek (brand competence)
Merupakan merek yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh konsumen dan memenuhi segala
keperluannya. Kemampuan mengacu pada keahlian dan karakteristik yang
memungkinkan suatu kelompok mempunyai pengaruh yang dominan. Sitkin
dan Roth (Lau dan Lee, 2001) menganggap bahwa kemampuan merupakan
elemen penting yang mempengaruhi kepercayaan. Konsumen mungkin
mengetahui Brand competence melalui penggunaan secara langsung atau
Universitas Sumatera Utara
komunikasi dari mulut ke mulut. Diyakini bahwa suatu merek mampu
memecahkan permasalahannya, maka konsumen akan percaya terus pada
merek tersebut. Dalam pasar industri, Swan dkk (Lau & Lee, 2001)
mengungkapkan bahwa sales people industry yang konsumennya merasa puas
dan merasakan kompetensi merek yang ditawarkannya, akan mendapat
kepercayaan lebih.
II.2.3.2. Karakteristik perusahaan (company characteristic)
Karakteristik perusahaan yang ada di balik suatu merek juga dapat
mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan
konsumen tentang perusahaan yang ada di balik suatu merek kemungkinan dapat
mempengaruhi penilaiannya terhadap merek tersebut. Karakteristik perusahaan yang
diperkirakan dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap perusahaan (trust
in the company) adalah reputasi perusahaan (company reputations), motivasi yang
dirasakan oleh perusahaan (perceived motives of the company), dan integritas
perusahaan yang dirasakan (company integrity).
1. Kepercayaan terhadap perusahaan (trust in the company). Trust in a
company adalah rasa percaya bahwa perusahaan itu bagus, bonafit, dan
mempunyai kemampuan untuk menciptakan produk yang berkualitas. Ketika
kesatuan suatu komponen dipercaya, maka kesatuan-kesatuan yang lebih kecil
juga cenderung dipercaya, karena kesatuan-kesatuan kecil tersebut bernaung
pada kesatuan yang lebih besar. Dilihat dari segi perusahaan dan produk yang
dikeluarkannya, perusahaan yang lebih besar merupakan kesatuan yang lebih
Universitas Sumatera Utara
besar, sementara itu merek merupakan kesatuan yang lebih kecil. Jadi
konsumen yang menempatkan atau menaruh kepercayaan pada sebuah
perusahaan, kemungkinan akan mempercayai merek yang dikeluarkannya.
2. Reputasi perusahaan (company reputation). Bila seorang konsumen merasa
bahwa orang lain berpendapat bahwa perusahaan yang berada di balik merek
yang dipilihnya terkenal adil dan bijak, konsumen tersebut akan merasa lebih
aman dalam menerima dan menggunakan produk perusahaan tersebut. Hal ini
akan menimbulkan kepercayaan yang lebih besar terhadap merek tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, persepsi konsumen bahwa
perusahaan memiliki reputasi kesetaraan sangat berkaitan erat dengan
kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
3. Motif perusahaan yang dirasakan pelanggan (perceived motives of the
company). Remple dkk. (2001) menemukan bahwa motif-motif yang
dirasakan dari partner jual beli mempengaruhi kepercayaan terhadap partner
tersebut. Intensionalitas merupakan suatu cara untuk mengembangkan
kepercayaan dalam hubungan jual-beli industri. Intensionalitas erat kaitannya
dengan interpretasi dan penilaian kelompok terhadap motif-motif kelompok
lain. Ketika suatu kelompok dirasa membawa keuntungan, kelompok tersebut
akan dipercaya. Sama halnya dengan Jones dkk (2003), mengungkapkan
bahwa ruang lingkup perilaku pimpinan yang relevan bagi kepentingan
bawahannya mempengaruhi kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap
pimpinan. Oleh karena itu, motif yang baik merupakan faktor yang penting
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu hubungan. Dalam konteks suatu merek, ketika konsumen merasa
bahwa perusahaan yang ada di balik merek banyak mendatangkan keuntungan
dan bertindak sesuai dengan minat mereka, maka konsumen akan
mempercayai merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, persepsi
konsumen bahwa perusahaan memiliki motif yang menguntungkan sangat
berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek yang diluncurkan
perusahaan tersebut.
4. Integritas perusahaan (company integrity) merupakan persepsi konsumen
yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang logis, misalnya menepati janji,
bertindak etis, dan berlaku jujur. Definisi ini sesuai dengan ungkapan Mayer
dan Colleman (2001) mengenai integritas yang diharapkan. Tingkat
sejauhmana perusahaan dinilai memiliki integritas tergantung pada konsistensi
tindakan perusahaan tersebut pada masa-masa sebelumnya, komunikasi yang
kredibel dengan kelompok-kelompok lain, kepercayaan yang dimiliki, rasa
keadilan yang kuat, dan intensitas dari tindakan-tindakan perusahaan yang
sesuai dengan pernyataannya. Jika perusahaan dirasakan mempunyai
integritas, maka merek produknya akan dipercaya konsumen. Dengan
demikian dapat disimpulkan, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki
integritas sangatlah terkait dengan kepercayaan konsumen terhadap merek
yang diluncurkan oleh perusahaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
II.2.3.3. Karakteristik merek oleh pelanggan (consumer-brand characteristic)
Totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek
sehingga sering kali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan
orang. Konsumen sering kali berinteraksi dengan merek seolah olah merek tersebut
adalah manusia sehingga kesamaan antara konsep diri konsumen dengan merek dapat
membangun kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara
konsep emosional konsumen dengan kepribadian merek (Similarity between
Consumer Self-Concept and Brand Personality), kesukaan terhadap merek (brand
liking) dan pengalaman terhadap merek (Brand Experience).
1. Kemiripan antara konsep diri konsumen dengan kepribadian merek
(similarity between consumer's self-concept and brand personality). Konsep
diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan
dirinya sebagai suatu obyek. Sebuah analogi populer yang digunakan dalam
konteks pemasaran adalah, merek sama seperti orang. Jadi suatu merek dapat
memiliki kesan atau kepribadian. Kepribadian merek adalah asosiasi yang
terkait dengan merek yang diingat oleh konsumen dalam menerimanya.
Kepribadian merek ini mirip dengan kepribadian manusia, bersifat abadi dan
bersifat unik. Konsumen seringkali berinteraksi dengan merek seolah-olah
merek tersebut adalah manusia, khususnya bila merek tersebut merupakan
produk yang bermutu tinggi seperti pakaian dan mobil. Jika ciri-ciri fisik
suatu merek dinilai sesuai dengan kesan dari konsumen terhadap suatu
Universitas Sumatera Utara
produk, kemungkinan besar konsumen akan percaya pada merek tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kesamaan antara konsep diri
konsumen dengan kepribadian merek sangat berkaitan dengan kepercayaan
konsumen terhadap merek tersebut.
2. Kesukaan merek (brand liking). Brand liking menunjukkan kesukaan yang
dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain karena kesamaan visi
dan daya tariknya. Bennet (2005) berpendapat bahwa, untuk mengawali
hubungan suatu kelompok harus disukai atau mendapat simpati dari kelompok
yang lain. Bagi konsumen, untuk membuka hubungannya dengan suatu
merek, maka konsumen tersebut harus menyukai dulu merek tersebut.
Di pasar konsumen, jika seorang konsumen menyukai suatu jenis merek (yaitu
suatu merek yang menurutnya sesuai dan menarik), kemungkinan konsumen
akan lebih mempercayai merek tersebut. Secara formal dapat dinyatakan,
simpati konsumen terhadap suatu merek sangat berhubungan dengan
kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
3. Pengalaman akan merek (brand experience). Yang dimaksud dengan
pengalaman merek (brand experience) adalah pengalaman masa lalu
konsumen dengan merek tersebut, khususnya dalam lingkup pemakaian.
Zucker (2001) mengungkapkan bahwa dalam pengembangan kepercayaan
yang bersandar pada proses, timbal balik (saling bertukar) merupakan
kuncinya. Pengalaman akan memberikan pada dua kelompok yang melakukan
hubungan saling memahami satu dengan yang lainnya. Jadi, pengalaman
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan besar dapat membangun kepercayaan partner. Juga ketika
seorang konsumen mendapat banyak pengalaman dengan suatu merek, maka
konsumen tersebut dapat memahami merek secara lebih baik dan
kepercayaannya
akan
semakin
meningkat.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan bahwa pengalaman konsumen dengan suatu merek sangat
berkaitan dengan kepercayaannya terhadap merek tersebut.
4. Kepuasan terhadap merek (brand satisfaction). Kepuasan terhadap suatu
merek dapat didefinisikan sebagai hasil evaluasi subyektif terhadap apa yang
telah dicapai oleh merek terpilih dalam rangka memenuhi apa yang
diharapkan konsumen. Fenomena ini sesuai dengan paradigma diskonfirmasi
kepuasan konsumen, di mana perbandingan antara harapan konsumen dengan
hasil yang dirasakan sangat mencirikan definisi "kepuasan".
Peer Support. Bearden, et.al (2003) berpendapat bahwa, salah satu
determinan perilaku individu adalah pengaruh yang dibawa oleh individu lain. Untuk
menyatakan secara tidak langsung bahwa pengaruh sosial merupakan determinan
penting dalam pembentukan perilaku individu. Implikasi dalam dunia pemasaran
menurut Doney dan Canon (2006), jika seorang konsumen membeli suatu merek dan
temannya mengatakan bagus maka ia percaya pada merek tersebut. Pada dasarnya,
kalau orang lain banyak yang menyatakan bahwa suatu produk bagus, berarti produk
tersebut memang bagus dengan catatan tidak ada dramatisasi dalam hal ini.
Kesimpulan yang dapat diungkapkan dari pendapat di atas adalah, peer support suatu
merek sangat berhubungan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, konsumen yang loyal juga akan secara sukarela merekomendasikan untuk
menggunakan merek tersebut kepada orang lain yang pada akhirrnya akan
meningkatkan keuntungan perusahaan (Durianto, 2004). Penelitian yang berkaitan
dengan loyalitas merek (brand loyalty) dilakukan oleh Astuti dan Cahyadi (2007),
yang menunjukkan hasil bahwa loyalitas merek (brand loyalty) yang menjadi salah
satu elemen ekuitas merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasa percaya
diri konsumen atas keputusan pembelian konsumen pada produk handphone merek
Nokia di Semarang, dengan nilai regresi sebesar 0,324. Hasil penelitiannya tersebut
menunjukkan bahwa pelanggan yang loyal terhadap suatu merek, memiliki
kecenderungan lebih percaya diri pada pilihan mereka.
Pengaruh loyalitas merek terhadap rasa percaya diri pelanggan atas keputusan
pembelian juga dinyatakan oleh Aaker (2008) yang menyatakan bahwa tingkat
loyalitas merek yang tinggi, yaitu berupa komitmen yang kuat dari pelanggan
terhadap merek dapat menciptakan rasa percaya diri yang besar pada pelanggan saat
mengambil keputusan pembelian. Hal ini disebabkan karena pelanggan merasa
memiliki ikatan dengan merek sehingga pelanggan memiliki keyakinan yang besar
bahwa keputusannya membeli merek tersebut adalah keputusan yang tepat (Aaker,
2008).
Aaker juga menyatakan bahwa loyalitas merek tidak terjadi tanpa melalui
tindakan pembelian dan pengalaman menggunakan suatu merek. Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut: Semakin
Universitas Sumatera Utara
tinggi loyalitas konsumen terhadap suatu merek (X1), maka semakin tinggi keputusan
pembelian konsumen (Y).
II.2.4. Kualitas Produk
Menurut Kotler (2007) menyatakan bahwa kualitas produk adalah keseluruhan
ciri dari suatu produk yang berpengaruh pada kemampuan untuk memuaskan
kebutuhan yang dinyatakan/tersirat. Swan dalam Tjiptono (2005) menyatakan bahwa:
kualitas produk sebagai evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut
apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan
cocok atau tidak cocok dengan tujuan pemakaiannya.
Pemahaman Konsep Kualitas Produk
1. Definisi Kualitas Produk
Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung banyak makna.
Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus
dikerjakan dengan baik. Goetsch dan Davis (2001) dalam Tjiptono (2002)
mendefinisikan “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan”. Menurut Buddy (2001) dalam Wahyuningsih (2002), “kualitas sebagai
suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi
kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit dan
implisit”. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang berpusat pada konsumen, seorang
produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau pelayanan yang diberikan dapat
memenuhi atau melebihi harapan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa pengertian kualitas di atas dapat diartikan bahwa
kualitas hidup kerja harus merupakan suatu pola pikir (mindset), yang dapat
menterjemahkan tuntutan dan kebutuhan pasar konsumen dalam suatu proses
manajemen dan proses produksi barang atau jasa terus menerus tanpa hentinya
sehingga memenuhi persepsi kualitas pasar konsumen tersebut.
2. Persepsi terhadap Kualitas Produk
Perspektif kualitas yaitu pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan
kualitas suatu produk. David dalam Tjiptono (2004), mengidentifikasikan adanya
lima alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu:
1. Pendekatan Transedental (Transcendental Approach).
Kualitas dalam pendekatan ini, dipandang sebagai innate excellence, di mana
kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan
dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia
seni, misalnya seni musik, seni drama, seni tari, dan seni rupa. Meskipun
demikian suatu perusahaan dapat mempromosikan produknya melalui
pernyataan-pernyataan maupun pesan-pesan komunikasi seperti tempat
berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegen (mobil), kecantikan lain. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu
perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar
manajemen kualitas.
2. Pendekatan Berbasis Produk (Product-based Approach).
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau
atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas
mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang
dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3. Pendekatan Berbasis Pengguna (User-based Approach).
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada
orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan
preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang
berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini
juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan
keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama
dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya.
4. Pendekatan Berbasis Manufaktur (Manufacturing-based Approach).
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktikpraktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas
sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (conformance to requirements).
Dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operationsdriven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang
dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan
peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan
Universitas Sumatera Utara
kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen
yang menggunakannya.
5. Pendekatan Berbasis Nilai (Value-based Approach).
Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan
mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan
sebagai “affordable excellence”. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif,
sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk
yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa
yang paling tepat dibeli (best-buy).
II.2.5. Harga Optimum Produk
Harga adalah sejumlah uang yang ditentukan perusahaan berdasarkan
kalkulasi biaya yang dikeluarkan seperti biaya produksi atau biaya mendapatkan
produk, biaya marketing, biaya operasional, keuntungan yang diinginkan perusahaan
dan sesuatu lain yang diadakan perusahaan untuk memuaskan keinginan konsumen.
Artinya, harga ditetapkan karena terdapat keinginan, kebutuhan dan daya beli
konsumen. Peranan harga dalam bauran pemasaran cenderung meningkat apabila
terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut: produk tersebut pertama kali diterjunkan
ke pasar, dikaitkan dengan tujuan perusahaan, perusahaan kompetitor melakukan
penurunan harga, adanya produk baru yang dihasilkan dari pengembangan teknologi
baru yang mempunyai sifat substitusi dan lebih efisien serta efektif. Strategi
Universitas Sumatera Utara
penentuan harga harus mempertimbangkan sampai di manakah tingkat loyalitas
konsumen terhadap merek tertentu, apakah masih dalam skala kognitif saja, ataukah
sudah mencapai tingkat devosi. Menurut Pimentel dan Reynolds (2004) devosi
konsumen terhadap merek adalah tingkat loyalitas yang sangat intens sehingga tidak
terpengaruh oleh harga yang tinggi, skandal, publisitas buruk, kinerja buruk maupun
hilangnya aktivitas promosi.
Konsumen dalam upaya memutuskan pengambil keputusan pembelian suatu
produk dipengaruhi dan dikenal dengan istilah peranan kesadaran harga (price
awareness dan prices consciousness). Sementara konsumen dalam melakukan
evaluasi dan penilaian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh
perilaku dari konsumen itu sendiri terdiri dari 4 (empat) aspek utama yaitu budaya,
sosial, personal (umur, pekerjaan, kondisi ekonomi) serta psikologi (motivasi,
persepsi, percaya). Dalam kenyataannya konsumen dalam menilai harga suatu
produk, sangat tergantung bukan hanya dari nilai nominal secara absolut tetapi
melalui persepsi mereka pada harga.
Secara umum persepsi konsumen terhadap harga tergantung dari persepsi
perbedaan harga (perception of price differences) dan referensi harga (reference
prices). Sedangkan persepsi terhadap kewajaran harga dapat pula dijelaskan dengan
teori acquisition transaction utility. Konsumen akan melakukan pembelian
(acquisition utility) apabila harga tersebut dikaitkan dengan keuntungan atau kerugian
dalam perspektif fungsi produk. Sedangkan transaction utility, konsumen
mempersepsikan harga dengan kenikmatan atau ketidaknyamanan dalam aspek
Universitas Sumatera Utara
keuangan yang didapat dari perbedaan antara referensi internal harga (internal
reference prices) dengan harga pembelian. Penilaian kualitas suatu produk sangat
tergantung dari informasi yang melekat pada produk tersebut dan juga tergantung dari
seberapa besar informasi tersebut dipahami oleh setiap individu.
Informasi tersebut dapat berupa intrinsik dan ekstrinsik. Informasi intrinsik
adalah informasi yang berasal dari dalam produk itu sendiri. Sedangkan faktor
ekstrinsik menjadi pertimbangan dalam penilaian apabila individu belum mempunyai
pengalaman nyata tentang produk tersebut. Konsumen menggunakan harga sebagai
indikator kualitas pada kondisi sebagai berikut: konsumen percaya ada perbedaan
kualitas diantara berbagai merek dalam satu produk kategori, konsumen percaya
kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang lebih besar, dan konsumen tidak
memiliki informasi lain kecuali merek terkenal sebagai referensi dalam mengevaluasi
kualitas sebelum melakukan pembelian.
Pengertian dari persepsi nilai (perceived value) adalah evaluasi menyeluruh
dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah
manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan atau
secara umum dipikiran konsumen. Value dikenal dengan istilah “value for money”,
“best value”, dan “you get what you pay for”. Value dari harga merupakan suatu
persepsi yang didapat dari hasil evaluasi keseluruhan tentang manfaat yang dirasakan
dibandingkan dengan manfaat yang seharusnya diterima. Konsumen dalam menerima
suatu value atau nilai dari suatu harga sangat dipengaruhi oleh konteks, ketersediaan
informasi, dan asosiasi. Salah satu keputusan yang sulit dihadapi suatu perusahaan
Universitas Sumatera Utara
adalah menetapkan harga. Meskipun cara penetapan harga yang dipakai sama bagi
setiap perusahaan yaitu didasarkan pada biaya, persaingan, permintaan, dan laba.
Tetapi kombinasi optimal dari faktor-faktor tersebut berbeda sesuai dengan sifat
produk, pasarnya, dan tujuan perusahaan.
Secara umum tujuan penetapan harga adalah memaksimalkan penjualan dan
penetrasi pasar, mempertahankan kualitas atau diferensiasi pelayanan, mendapatkan
atau memaksimal keuntungan, mendapatkan atau merebut pangsa pasar/market share,
menjaga kelangsungan hidup kegiatan operasional, dan mengelola tingkat
pengembalian modal/Return On Investment (ROI). Secara umum terdapat dua faktor
utama yang perlu dipertimbangkan dalam dasar penetapan harga. Pertama, faktor
internal perusahaan yang meliputi tujuan pemasaran perusahaan, strategi bauran
pemasaran, biaya, dan organisasi. Kedua, faktor lingkungan eksternal yang terdiri
dari sifat pasar dan permintaan; persaingan; dan unsur-unsur lingkungan eksternal
lainnya. Secara garis besar metode penetapan harga dapat dikelompokkan menjadi
empat kategori utama, yaitu metode penetapan harga berbasis permintaan, berbasis
biaya, berbasis laba, dan berbasis persaingan. Sedangkan penyesuaian khusus
terhadap harga menurut daftar (list price) terdiri atas diskon, penyisihan (allowance),
dan penyesuaian geografis (geographical adjustment).
II.2.6. Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh perilaku konsumen.
Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan,
mengkonsumsi, serta menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan
Universitas Sumatera Utara
yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Engel 2001). Peter dan Olson (2005)
mengemukakan bahwa inti dari pengambilan keputusan konsumen adalah proses
pengintregasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau
lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu diantaranya. Hasil dari proses
pengintregasian ini adalah suatu pilihan, yang disajikan secara kognitif sebagai
keinginan berperilaku. Kotler (2007) mengungkapkan bahwa seseorang mungkin
dapat memiliki peranan yang berbeda-beda dalam setiap keputusan pembelian.
Berbagai peranan yang mungkin terjadi antara lain sebagai berikut:
1. Pengambil inisiatif (initiator), yaitu orang yang pertama-tama menyarankan
atau memikirkan gagasan membeli produk atau jasa tertentu.
2. Orang yang mempengaruhi (influence), yaitu orang yang pandangan atau
nasihatnya diperhitungkan dalam membuat keputusan akhir.
3. Pembuat keputusan (decider), yaitu seseorang yang akan menentukan
keputusan mengenai produk yang akan dibeli, cara pembayaran, tempat
melakukan pembelian.
4. Pembeli (buyer), yaitu seseorang yang melakukan pembelian.
5. Pemakai (user), yaitu seseorang atau beberapa orang yang menikmati atau
memakai produk atau jasa.
Assael (2002) merumuskan bahwa perilaku pembelian yang dilakukan oleh
konsumen dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu sebagai berikut:
1. Perilaku membeli yang kompleks
Universitas Sumatera Utara
Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan dan pembelian produk sangat
tinggi. Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan dan pembelian akan
menjadi semakin tinggi apabila produk yang akan dibeli merupakan produk
berharga tinggi, jarang dibeli, berisiko, sangat berkesan, dan informasi yang
dimiliki konsumen mengenai produk tersebut sedikit. Pemasar perlu
membedakan ciri-ciri yang mencolok dari mereknya. Perincian tersebut dapat
dilakukan melalui media cetak yang dapat menggambarkan produk mereka
dengan lengkap melalui katalog belanja.
2. Perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan
Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan serta pembelian produk
tinggi, namun konsumen akan melakukan proses pembelian dengan waktu
yang lebih cepat karena perbedaan dalam hal merek tidak terlalu diperhatikan.
Pemasar harus dapat memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
pilihan konsumen terhadap merek, seperti harga, lokasi, dan tenaga penjual.
Selain itu, komunikasi pemasaran yang baik juga diperlukan sebagai faktor
yang dapat menimbulkan kepercayaan dari konsumen terhadap produk dan
agar konsumen merasa telah menentukan pilihan yang tepat.
3. Perilaku membeli berdasarkan kebiasaan
Keterlibatan konsumen dalam proses pembelian ini relatif kecil. Selain itu
tidak terdapat perbedaan yang mencolok antar berbagai merek dalam kategori
produk sejenis, sehingga pemasar dapat memanfaatkan promosi harga dan
penjualan agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Perilaku membeli yang mencari keragaman
Keterlibatan konsumen dalam proses pembelian relatif kecil, namun terdapat
perbedaan yang mencolok antar berbagai merek. Dalam kondisi ini loyalitas
konsumen kecil karena konsumen sering kali berganti-ganti merek dalam
kategori produk sejenis. Perpindahan merek tersebut terjadi karena konsumen
ingin memperoleh keragaman, bukan karena konsumen merasa tidak puas
akan produk tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian yang akan
dilakukan oleh konsumen akan melalui beberapa tahap, antara lain sebagai
berikut (Kotler, 2007):
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Penilaian Alternatif
Keputusan Membeli Perilaku Pasca Pembelian Sumber: Kotler, 2007
Gambar II.5. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan Pembelian
Beberapa tahap pengambilan keputusan pembelian yaitu:
1. Tahap pengenalan masalah
Proses membeli dimulai dengan tahap pengenalan masalah atau kebutuhan.
Kebutuhan dapat berasal dari dalam pembeli dan dari lingkungan luar. Selain
itu pembeli juga akan menyadari adanya suatu perbedaan keadaan sebenarnya
dan keadaan yang diinginkannya. Dalam tahap ini sebaiknya pemasar
mengetahui apa yang menjadi kebutuhan konsumen atau masalah yang timbul
dibenak konsumen, apa yang menyebabkan semua masalah itu muncul, dan
Universitas Sumatera Utara
bagaimana kebutuhan atau masalah itu dapat menyebabkan seseorang akan
mencari produk tersebut.
2. Tahap pencarian informasi
Ketika seorang konsumen merasa bahwa ia harus membeli suatu produk untuk
memenuhi kebutuhannya, maka konsumen akan berusaha untuk mencari
sebanyak mungkin informasi mengenai produk yang akan mereka beli.
Jumlah informasi yang ingin diketahui seseorang konsumen tergantung pada
kekuatan
dorongan
kebutuhannya,
banyaknya
informasi
yang
telah
dimilikinya, kemudahan memperoleh informasi tambahan, penilaiannya
terhadap informasi tambahan, dan kepuasan apa yang diperolehnya dari
kegiatan mencari informasi tersebut. Konsumen dapat memperoleh informasi
yang dibutuhkan dari berbagai sumber, seperti sumber pribadi, sumber niaga,
sumber umum, dan sumber pengalaman.
3. Tahap penilaian alternatif
Dalam tahap ini konsumen diharuskan menentukan satu pilihan diantara
berbagai macam pilihan merek yang ada di pasar.
4. Tahap keputusan membeli
Keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah persepsi konsumen
tentang merek yang dipilih. Seseorang konsumen cenderung akan
menjatuhkan pilihannya kepada merek yang mereka sukai. Sedangkan faktor
eksternal adalah sikap orang lain dan situasi yang tak terduga. Seorang
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang akan melaksanakan keinginannya untuk membeli sesuatu
akan membuat 5 macam sub keputusan pembelian, antara lain keputusan
tentang merek, keputusan membeli dari siapa, keputusan tentang jumlah,
keputusan tentang waktu pembelian, dan keputusan tentang cara pembayaran.
5. Tahap perilaku pasca pembelian
Tugas pemasar bukan hanya memastikan bahwa produk yang mereka
pasarkan laku terjual, namun akan terus berlangsung hingga periode pasca
pembelian. Hal itu karena setelah konsumen melakukan keputusan pembelian,
maka pemasar akan mendapatkan dua kemungkinan tanggapan dari konsumen
mereka.
Konsumen mungkin akan merasa puas atau tidak puas atas produk yang telah
mereka konsumsi. Swastha (2002), mengungkapkan bahwa keputusan pembelian
yang dilakukan konsumen sesungguhnya merupakan kumpulan dari sejumlah
keputusan. Setiap keputusan yang diambil konsumen terdiri dari tujuh komponen,
yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan tentang jenis produk
Para konsumen akan menggunakan uang yang mereka miliki untuk memenuhi
berbagai kebutuhannya. Oleh karena itu, produsen harus bisa menarik
konsumen agar mau membelanjakan uang yang mereka miliki untuk membeli
produk tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Keputusan tentang bentuk produk
Ukuran, mutu, corak dan berbagai hal lainnya mungkin akan menjadi bahan
pertimbangan konsumen sebelum mereka melakukan keputusan pembelian.
Oleh karena itu, perusahaan harus dapat memaksimalkan hal-hal yang
biasanya dijadikan bahan pertimbangan oleh konsumen.
3. Keputusan tentang merek
Dalam melakukan keputusan pembelian, konsumen juga akan menentukan
merek mana yang akan mereka pilih diantara sekian banyak pilihan merek
yang ada di pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus mengetahui alasan yang
mendasari konsumen memilih merek tersebut.
4. Keputusan tentang penjualnya
Seorang konsumen mungkin akan memilih toko pengecer kecil, pasar, atau
supermarket sebagai tempat untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu,
perusahaan harus mengetahui alasan yang mendasari konsumen dalam
memilih tempat mereka melakukan keputusan pembelian.
5. Keputusan tentang jumlah produk
Konsumen akan menentukan berapa banyak produk yang akan mereka beli
dan konsumsi. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu memperkirakan
berapa banyak produk yang akan dibeli oleh konsumen.
6. Keputusan tentang waktu
Universitas Sumatera Utara
Waktu yang dipilih konsumen untuk melakukan keputusan pembelian akan
dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat
memperkirakan kapan konsumen akan melakukan keputusan pembelian agar
perusahaan dapat merencanakan waktu produksi dan kegiatan pemasarannya.
7. Keputusan tentang cara pembayaran
Konsumen mungkin akan memilih cara tunai ataupun cicilan untuk membeli
produk yang mereka butuhkan. Cara yang akan dipilih konsumen terkait
dengan besarnya dana yang mereka miliki. Oleh karena itu, perusahaan harus
mengetahui cara yang dipilih konsumen dalam melakukan pembayaran.
Kedudukan konsumen semakin penting dalam hubungannya dengan
organisasi. Konsumen menuntut tidak terbatas terpenuhi kebutuhan tetapi juga
yang menjadi keinginannya. Peningkatan tersebut, sejalan dengan perkembangan
teknologi
memahami,
informasi yang
dan
memberikan
mempunyai banyak
kemudahan
pilihan.
konsumen
Adi Wibowo
mengetahui,
mengemukakan,
“Perusahaan seyogyanya memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen secara
lebih baik daripada pesaingnya”. Konsep dasar keputusan dalam pandangan
dalam Setiajatnika (2005) meliputi 4 komponen sebagai berikut:
1. Keadaan dasar, yaitu, sekumpulan peristiwa yang mempengaruhi hasil
keputusan.
2. Peluang yang berkaitan dengan keadaan dasar.
3. Sekumpulan kegiatan yang dilakukan oleh pengambil keputusan.
4. Sekumpulan manfaat dan biaya kombinasi keputusan dasar.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, istilah keputusan pembelian
menunjukkan arti kesimpulan terbaik individu konsumen untuk melakukan
pembelian. Konsumen melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai kesimpulannya.
Kualitas setiap kegiatan membentuk totalitas kesimpulan terbaik sesuai dengan
kebutuhan dan keinginannya. Keadaannya, kesimpulan terbaik penting didorong
berbagai upaya organisasi sebagai keadaan dasar yang melandasi. Randal, Ulrich, dan
Reibstein (2003) menyatakan, “Some attributes of a product are important to
consumers, yet are difficult to observe”.
Pembahasan mengenai keputusan pembelian dapat lebih jelas melalui sebuah
model yang memberikan gambaran menyeluruh keberadaan variabel-variabel
penentu termasuk kegiatan-kegiatan konsumen dalam mencapai kesimpulan
terbaiknya. Konsisten dengan arti keputusan pembelian telah dikemukakan, maka
dipilih sebuah model keputusan pembelian Schiffman dan Kanuk pada Gambar II.6
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
INPUT
EXTERNAL INFLUENCE
Firm Marketing Efforts
Socialcultural Environment
1.Product
1.Familiy
2.Promotion
2.Informal sources
3.Price
3.Other noncomercial sources
4.Channels of Distribution
4.Social class
5.Subcultural and culture PROCESS
INTERNAL INFLUENCE
Need Recognition
Pysicological Field
Prepurchase Search
1.Motivation
Evaluation of alternatif
2.Perception
3.Personality
4.Learning
5.Attitudes
EXPERIENCE
OUTPUT
Purchase
1. Trial
Post Purchases Evaluation
2. Repeat purchase
Sumber: Schiffman dan Kanuk, 2004
Gambar II.6. Keputusan Pembelian
Universitas Sumatera Utara
Proses keputusan pembelian dipengaruhi unsur psikologis yang menentukan
tipe pembelian yang meliputi motivasi, persepsi, belajar, kepribadian dan sikap.
1. Adanya kebutuhan
Kesenjangan antara keadaan faktual dengan keadaan yang diinginkan
konsumen. Kebutuhan ini dapat dirasakan baik melalui rangsangan dari luar
maupun dari dalam diri konsumen seperti lapar dan haus.
2.
Pencarian informasi sebelum pembelian
Informasi dibutuhkan sebagai alat pertimbangan dari berbagai alternatif yang
ada. Informasi tersebut, dikumpulkan dalam jumlah lebih dari satu yang dapat
mempunyai kesamaan, melengkapi bahkan berbeda dalam keberadaannya.
Persamaan informasi mendukung daya kepercayaan di mana perbedaan
memberikan alasan untuk evaluasi kesesuaian dengan kebutuhan maupun
keinginan konsumen.
3.
Evaluasi alternatif
Perbandingan dari berbagai alternatif yang tersedia sehingga diperoleh
pilihan terbaik.
Perilaku setelah pengambilan keputusan yang terdiri dari perilaku
pembelian dan evaluasi setelah pembelian.
1.
Pembelian
Terdapat dua jenis pembelian yaitu pembelian coba-coba dan pembelian
ulang. Pembelian coba-coba merupakan awal dari konsumen melakukan
hubungan dengan produk maupun organisasi sedangkan pembelian ulang
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan pembelian yang terjadi setelah konsumen mempunyai
pengalaman dengan produk maupun organisasi sebagai indikasi adanya
kepercayaan atau kepuasan.
2.
Evaluasi setelah pembelian
Penilaian terhadap pembelian yang telah dilakukan dari terpenuhinya
kebutuhan, keinginan dan harapan. Penilaian ini menimbulkan rasa puas
atau tidak puas konsumen yang memberikan pengaruh terhadap tindakan
selanjutnya mereka terhadap produk maupun organisasi sebagai umpan balik
berupa
pengalaman
pembelian.
Model
keputusan
pembelian
telah
dikemukakan memperlihatkan adanya tiga klasifikasi, yaitu: input, proses,
dan output. Input menentukan proses yang kemudian menghasilkan output
berupa pembelian. Proses yang meliputi variabel pembuatan keputusan,
unsur psikologis, pengalaman berlangsung dalam diri konsumen ditentukan
input yang bersumber dari luar individu konsumen berupa usaha pemasaran,
lingkungan sosial budaya. Keputusan pembelian berlangsung dalam diri
individu konsumen meliputi adanya kebutuhan, pencarian informasi,
evaluasi alternatif yang menghasilkan output pembelian. Berdasarkan hal
tersebut, keputusan pembelian dipengaruhi faktor-faktor baik dari luar
maupun dari dalam diri konsumen dimana belum mencapai tindakan
pembelian.
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.1. Kesadaran konsumen terhadap kebutuhan dan keinginannya
Dapatnya kebutuhan diklasifikasikan oleh beberapa ahli memberikan
gambaran kebutuhan konsumen tetap dalam jangka waktu yang lama. Pengembangan
atau kombinasi dari kebutuhan tersebut, mempunyai jangka waktu aktif lebih
temporer dan berlangsung pada individu konsumen. Abraham Maslow (Sunu, 2002)
mengklasifikasikan kebutuhan secara sistematik ke dalam lima kategori sebagai
berikut:
1.
Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan yang paling pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.
2.
Kebutuhan rasa aman
Jika kebutuhan fisiologis terpenuhi maka kebutuhan rasa aman muncul
menggantikannya. Hal ini menjadi kebutuhan yang berusaha dipenuhi. Oleh
sebab itu, kebutuhan ini akan memotivasi seseorang seperti jaminan
keamanan.
3.
Kebutuhan sosial
Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi maka kebutuhan itu tidak
lagi memotivasi perilaku. Selanjutnya, kebutuhan sosial yang menjadi
motivasi aktif perilaku seperti afiliasi, memberi dan menerima kasih sayang
serta persahabatan.
4.
Kebutuhan ego
Kebutuhan yang berkaitan dengan kehormatan diri, reputasi seseorang seperti
pengakuan, dan penghormatan.
Universitas Sumatera Utara
5.
Kebutuhan perwujudan diri
Kebutuhan yang hanya mulai mendominasi perilaku seseorang jika semua
kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpenuhi. Kebutuhan tersebut,
merupakan kebutuhan yang dimiliki semua orang untuk menjadi orang yang
memiliki kemampuan untuk mewujudkannya seperti pegawai yang mengikuti
kuliah untuk mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi. Frederick Herzberg
dalam buku Sunu (2002) memilah klasifikasi kebutuhan Abraham Maslow
yang telah dikemukakan ke dalam dua bagian. Pertama, kebutuhan tingkat
rendah (fisiologis, rasa aman, dan sosial). Kedua, kebutuhan tingkat tinggi
(Kebutuhan ego, dan perwujudan diri). Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan konsumen mempunyai kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial,
ego, dan perwujudan diri. Pengembangan atau kombinasi kebutuhankebutuhan memunculkan konsep kebutuhan konsumen yang baru dan berbeda
dari masing-masing kebutuhan pembentuknya. Melalui pemberian asumsi
adanya persaingan dan pesaing-pesaing mengetahui, berupaya memenuhi
kebutuhan konsumen dengan dasar klasifikasi telah dikemukakan. Dapat
dipahami pengembangan atau kombinasi kebutuhan-kebutuhan konsumen
menjadi suatu keunggulan organisasi yang memenuhinya. Kenyataannya,
produk diproduksi oleh produsen dan sebagian individu konsumen tidak
menyadari keberadaan kebutuhannya sendiri.
Hal tersebut, sejalan dengan hambatan orientasi pasar dalam pandangan
Sudirman (2003) sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.
Pelanggan tidak selalu menyadari kebutuhannya, terutama kebutuhan waktu
yang akan datang sehingga perusahaan perlu mengarahkannya sebelum
perusahaan lain melakukan.
2.
Meskipun kebutuhan tersebut dapat diidentifikasi oleh pelanggan, mereka
sendiri tidak mampu menentukan cara terbaik untuk memenuhinya.
Sutisna (2002) menegaskan, “Kesadaran konsumen pada kebutuhannya
terjadi ketika melihat perbedaan yang berarti antara kondisi yang dia rasakan saat ini
dengan kondisi ideal yang dia inginkan”. Pendapat-pendapat tersebut, memberikan
penekanan terhadap pentingnya upaya organisasi untuk melakukan komunikasi
pemasaran dalam menimbulkan kesadaran konsumen terhadap kebutuhan maupun
keinginannya.
II.2.6.2. Kegiatan pencarian informasi
Kegiatan pencarian informasi dilakukan konsumen yang mempunyai
kesadaran terhadap kebutuhan dan keinginannya. Kesadaran tersebut, menjadi
dorongan internal konsumen mengumpulkan informasi mengenai tersedianya
berbagai alternatif yang memenuhi atau akan memenuhi kebutuhan dan
keinginannya. Ketersediaan alternatif-alternatif dalam keberadaannya dibatasi
sumber daya individu konsumen dan kemampuan organisasi dengan produknya yang
memunculkan perbedaan. Sutisna (2002) menyebutkan terdapat dua tipe pencarian
informasi yang dilakukan oleh konsumen sebagaimana diperlihatkan pada Tabel II.1
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.1. Tipe-tipe Pencarian yang Dilakukan oleh Konsumen
Pencarian Informasi Pra
Pencarian Informasi Terus
Pembelian
Menerus
Determinan
Determinan
a. Keterlibatan dalam pembelian
a. Keterlibatan dengan produk
b.Lingkungan pasar
b. Lingkungan pasar
c. Faktor-faktor situasional
c. Faktor-faktor situasional
Motif Pencarian
Motif Pencarian
Membuat keputusan pembelian
Membangun bank informasi
yang lebih baik
untuk digunakan pada masa
Hasil yang diharapkan
mendatang sebagai cara untuk
a. Meningkatkan pengetahuan
bersenang-senang
atas produk dan pasar
Hasil yang diharapkan
b. Meningkatkan hasil pembelian
a. Meningkatkan pengetahuan
atas produk dan pasar yang
yang memuaskan
akan digunakan untuk
pembelian efektif dan efisien
pada masa mendatang
b. Mempengaruhi orang lain
c. Meningkatkan kepuasan
Sumber:
Sutisna (2002) Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran
Berdasarkan Tabel II.1, terdapat dua tipe pencarian informasi yang dilakukan
konsumen, yaitu, pencarian informasi pra pembelian, pencarian informasi yang terus
menerus. Perbedaan penting dari dua tipe tersebut, pencarian informasi pra
pembelian merupakan kegiatan “Pengobatan” sedangkan pencarian informasi yang
terus berlangsung terjadi sebagai kegiatan “Pencegahan”. Persamaan tampak pada
tujuan memperoleh alternatif terbaik dengan mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin yang dapat diketahui. Persamaan tersebut mengindikasikan keterkaitan
pencarian informasi pra pembelian dapat merupakan kelanjutan pencarian informasi
yang terus berlangsung berdasarkan asumsi informasi berubah dalam ketepatannya.
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.3. Evaluasi alternatif
Philip Kotler mengemukakan, “Konsumen mempelajari merek-merek yang
tersedia dan ciri-cirinya. Informasi ini digunakan untuk mengevaluasi semua
alternatif yang ada dalam menentukan keputusan pembeliannya” (2002). Menurut
Sutisna, “Setidak-tidaknya ada dua kriteria evaluasi alternatif”. Pertama adalah
manfaat yang diperoleh dengan membeli produk.
Kedua, kepuasan yang diharapkan Randall, Ulrich dan Reibstein (2006).
menegaskan, “…when evaluating a product, consumers takes into account the
directly observable attributes of the product and the value of brand” (2003).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, ketika berbagai alternatif telah diperoleh,
konsumen melakukan evaluasi alternatif. Evaluasi alternatif tersebut, dalam
keberadaannya ditentukan oleh keterlibatan konsumen dengan produk yang akan
dibelinya.
II.3.
Kerangka Konseptual
Ekuitas merek adalah: Serangkaian aset dan kewajiban (liabilitas) merek yang
berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau
mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan dan
atau pelanggan perusahaan tersebut (Aaker, 2006). Model Brand Equity Ten
merupakan suatu model yang dikembangkan oleh David A. Aaker yang merupakan
perluasan dari konsep ekuitas merek. Dalam model ini, pengukuran dikelompokkan
dalam lima kategori. Empat kategori pertama mewakili persepsi konsumen tentang
Universitas Sumatera Utara
suatu merek melalui 4 dimensi ekuitas merek, yaitu loyalitas merek (brand loyalty),
mutu yang dirasakan (perceived quality), asosiasi merek (brand associations) dan
kesadaran merek (brand awareness). Ekuitas merek dapat mempengaruhi rasa
percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar
pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, dan asosiasi dengan
berbagai karakteristik merek (Durianto, 2004). Semakin kuat ekuitas merek suatu
produk, maka semakin kuat pula daya tariknya di mata konsumen untuk
mengkonsumsi produk tersebut dan pada akhirnya akan mengarah pada keputusan
pembelian produk (Durianto, 2004).
Aaker (2006) menyebutkan bahwa loyalitas merek adalah kelekatan
konsumen pada nilai yang tinggi dari suatu merek, dengan kelekatan yang dibangun
ini maka konsumen akan menolak segala strategi yang dilakukan oleh kompetitor
merek. Konsumen akan memberikan loyalitas dan kepercayaannya pada merek
selama merek tersebut sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh konsumen, bertindak
dalam cara-cara tertentu dan menawarkan nilai-nilai tertentu. Loyalitas pada merek
ini timbul karena konsumen mempersepsikan merek tersebut menghasilkan produk
yang memiliki sejumlah manfaat dan kualitas dengan harga yang sesuai. Loyalitas
merek juga menjadi indikasi adanya kekuatan merek, karena tanpa loyalitas merek
tidak akan tercipta kekuatan merek. Hal ini dapat dilihat pada merek-merek yang
menjadi pemimpin di pasaran, dapat dipastikan bahwa merek tersebut memiliki
pelanggan yang loyal pada merek tersebut (Giddens, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran merek (brand awareness) menunjukkan kesanggupan seorang
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Asosiasi merek (brand association)
menunjukkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya
dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, selebritis
(spoke person) dan lain-lain. Persepsi kualitas (perceived quality) mencerminkan
persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa
layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan (Durianto, 2004). Ekuitas merek
yang tinggi akan memberikan keunggulan bersaing bagi suatu merek atau produk
guna membentuk minat mereferensi. Karena ekuitas merek adalah nilai dari nama
merek maka hubungan loyalitas merek (brand loyalty), asosiasi merek (brand
associations) dan kesadaran merek (brand awareness) merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan dalam pembelian dalam produk Telkomsel Flash.
Kepercayaan terhadap merek merupakan kesediaan atau kemauan konsumen
dalam menghadapi resiko yang berhubungan dengan merek yang dibeli akan
memberikan hasil yang positif atau menguntungkan (Lau & Lee, 2001). Menurut Lau
& Lee (2001), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek.
Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan
antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri,
perusahaan
pembuat
merek,
dan
konsumen.
Selanjutnya
lau
dan
Lee
memproposisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas
merek.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kotler (2007) menyatakan bahwa kualitas produk adalah keseluruhan
ciri dari suatu produk yang berpengaruh pada kemampuan untuk memuaskan
kebutuhan yang dinyatakan/tersirat. Loyalitas merek merupakan bagian dari penilaian
pelanggan pada kualitas suatu produk. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang
berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk
atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Harga optimum produk adalah ukuran sampai seberapa tinggi konsumen
bersedia membayar lebih untuk membeli suatu merek dibandingkan dengan merek
lain. Harga optimum dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur loyalitas
konsumen terhadap suatu merek. Harga optimum mencerminkan kebijakan penetapan
harga yang lebih daripada harga pasar yang disebabkan oleh berbagai hal. Harga
optimum merupakan satu-satunya pengukuran ekuitas merek yang terbaik karena
pengukuran ini langsung mengetahui konsumen yang loyal terhadap suatu merek.
Konsumen yang memiliki loyalitas tinggi akan bersedia untuk membayar harga yang
lebih tinggi dari harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Loyalitas merek merupakan
suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu
memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke
merek lain, terutama jika pada merek tersebut didapati terjadinya perubahan baik
menyangkut harga ataupun atribut lain (Durianto, 2004).
Konsumen yang memiliki loyalitas kuat terhadap suatu merek akan tetap
melanjutkan pembelian produk tersebut, meskipun saat ini banyak bermunculan
berbagai merek di pasar yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul
Universitas Sumatera Utara
serta dapat memberikan jaminan peningkatan perolehan laba perusahaan di masa
yang akan datang (Durianto, 2004). Loyalitas merek menunjukkan adanya suatu
ikatan antara pelanggan dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan
adanya pembelian ulang dari pelanggan. Minor dan Mowen (2002) mengemukakan
bahwa loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang
dikaitkan dengan proporsi pembelian. Berdasarkan dari pandangan tersebut maka
loyalitas merek didefinisikan sebagai: keinginan konsumen untuk melakukan
pembelian ulang.
Proses keputusan pembelian menurut Kotler (2007) terdiri dari 5 tahap, yaitu:
pengenalan
kebutuhan,
pencarian
informasi,
evaluasi
alternatif,
keputusan
pembelian, paska pembelian. Kepuasan/ketidakpuasan pelanggan menurut Wilton
(2003) adalah “respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation)
yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja
aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya”. Engel (2001) dalam Tjiptono
(2002) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli
di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome)
sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila
hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan.
Untuk memperjelas hubungan antara variabel-variabel yang telah diuraikan
dapat dilihat dalam kerangka konseptual pada Gambar II.7 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Kepercayaan Merek
Kualitas Produk Loyalitas Merek Harga Optimum Produk Asosiasi Merek Keputusan Pembelian Produk Kesadaran Merek Gambar II.7. Kerangka Konseptual
II.4.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Ekuitas Merek (brand Equity) yang terdiri dari loyalitas merek (brand
loyalty), asosiasi merek (brand association), dan kesadaran merek (brand
awareness) berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian Produk
Telkomsel Flash di Grapari Selecta Medan.
2. Kepercayaan merek, kualitas produk, harga optimum produk berpengaruh
signifikan terhadap loyalitas merek (brand loyalty) produk Telkomsel Flash
di Grapari Selecta Medan.
Universitas Sumatera Utara
Download