ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ACS DISERTAI

advertisement
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ACS
DISERTAI GAGAL JANTUNG AKUT
I. Acut Corronary Sindrom (ACS)
A. Definisi
ACS adalah suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan
tidak enak di dada atau gejala –gejala lain sebagai akibat dari iskemia miokard.
Sindrom koroner akut mencakup :
1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
3. Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris
( Dafsah dan Irmalita, 2012)
B. Diagnosis
Anamnesis :
Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial. Nyeri
seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.
Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggun/interskapula, dan dapat juga
ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat, atau tidak .
Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat
disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas.
Elektrokardiogram :
Angina pektoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T,
tidak dijumpai gelombang Q.
Infark miokard ST elevasi : hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi gelombang
T
Infark miokard non ST elevasi : depresi segmen ST, inversi gelobmbang T dalam.
Petanda Biokimia :

CK, CKMB, Troponin-T, dll

Enzim meningkat minimal 2X nilai batas atas normal
C. Pemeriksaan Penunjang

EKG

Foto rontgen dada

Petanda biokimia : darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll, profil lipid, gula darah,
ureum kreatinin

Echocardiografi

Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard)

Angiografi coroner
II. Gagal Jantung Akut
1. Definisi
Adalah sindrom klinis yang timbul secara cepat ( dalam waktu beberapa jam sampai
dengan kurang dari satu minggu ) karena gangguan fungsi jantung akibat dari
berbagai macam penyebab dan dapat terjadi pada penderita dengan riwayat penyakit
jantung sebelumnya ( acut on cronic HF ) ataupun pada penderita tanpa ada riwayat
penyakit jantung sebelumnya ( Acut de novo ).
ADHF ( Acut Decompensatio Heart Failure) merupakan kejadian munculnya tanda –
tanda dan gejala – gejala gagal jantung, baik yg pertama kali maupun sudah ada
sebelumnya dan terjadi perburukan kondisi secara cepat sehingga memerlukan
penanganan medis di RS secara cepat. (Neuenschwander & Baliga, 2007).
Gangguan fungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik,
gangguan irama jantung, ketidak sesuaian antara preload dan afterload dimana jika
kondisi tersebut tidak ditangani dengan segera akan dapat mengancam jiwa pasien.
Differential diagnose

Myocardial infarction

Congestive HF

Pneumonia

COPD exacerbation

Cardiac tamponade

Anxiety

Pulmonary embolism

Asthma
III. Penyebab dan faktor presipitasi Gagal jantung Akut
Telah disebutkan bahwa Gagal jantung Akut dapat timbul sebagai “acut de novo” maupun
sebagai “acut on cronic ” karena adanya faktor pencetus ( presipitasi )
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan maupun sebagai faktor pencetus timbulnya Gagal
Jantung Akut adalah :
1. Medicine and dietary noncompliance
2. Cardiac causes
Ischemia, Arrhythmia, dan hipertensi yg tidak terkontrol
1. Noncardiac causes
2. Infection (pneumonia with or without hypoxia)
3. Exacerbation of comorbidity (chronic obstructive pulmonary disease)
4. Pulmonary embolus
5. Toxins (nonsteroidal anti-inflammatory drugs)
6. Volume overload
V. Kondisi Klinis Pada Gagal Jantung Akut
Gagal Jantung Akut dapat timbul dengan satu atau beberapa kondisi klinis sebagai berikut :.
A. Gagal Jantung Akut dekompensata
Yaitu gagal jantung akut yang timbul dengan keluhan gejala yang ringan dan tidak memenuhi
kriteria sebagai edema paru, hipertensi krisis dan kardiogenik syok.
B. Gagal jantung Akut dengan hipertensi krisis ( hipertensif AHF )
Yaitu keluhan dan gejala klinis GJA yang disertai adanya hipertensi dengan fungsi LV yang
relatif baik dan adanya edema paru dari hasil pemeriksaan radiologis.
C. Gagal Jantung Akut dengan Edema Paru dengan keluhan sesak napas yang berat, Yaitu
gagal jantung akut disertai adanya ronkhi basah pada seluruh lapangan paru dan adanya
arthopnea. Terjadi penurunan saturasi oksigen sampai dengan dibawah 90 % pada udara
ruangan serta belum mendapatkan pengobatan.
D. Syok kardiogenik
Yaitu adanya hipoperfusi walaupun telah dilakukan koreksi preload. Terjadi penurunan
tekanan darah sistolik sampai < 90 mmHg atau terjadi penurunan MAP sampai > 30 mmHg,
produksi urin < 0.5 ml /kgBB/jam dan laju jantung >60 X / menit, dan dengan atau adanya
edema organ
E. Gagal jantung Akut dengan curah jantung yang tinggi ( high output failure ), Yaitu gagal
jantung akut yang ditandai dengan curah jantung yang tinggi dan disertai peningkatan laju
jantung. Akan teraba ekstremitas yang hangat, dan kadang kadang disertai penurunan tekanan
sistolik dan adanya bendungan di paru.
F. Gagal Jantung Akut Kanan
Kondisi ini ditandai dengan adanya sindrom curah jantung rendah serta adanya bendungan
pada jantung kanan seperti adanya peningkatan JVP, hepatomegali serta hipotensi.
VI. Klasifikasi Gagal Jantung Akut
Terdapat 3 klasifikasi yang biasa digunakan pada Gagal Jantung Akut , yaitu klasifikasi
Killip, Forrester dan Tampilan klinik ( clinical severity ). Klasifikasi Killip didasarkan pada
tanda klinik dan gambaran toraks foto. Klasifikasi Forrester didasarkan pada tanda klinik dan
status hemodinamik. Kedua klasifikasi diatas sering digunakan pada Gagal Jantung Akut de
novo.Sedangkan klasifikasi ketiga adalah klasifikasi yang didasarkan pada beratnya tampilan
klinis terhadap hasil observasi pada sirkulasi perifer( perfusi ) dan hasil auskultasi paru
( kongesti ), dan klasifikasi tesebut sering digunakan pada acut on cronic HF.
A. Klasifikasi Killip
Derajat I : Tidak terdapat gagal jantung.
Derajat II : Terdapat gagal jantung ringan dan adanya ronkhi basah halus pada
kedua basal paru.
Derajat III : Terdapat gagaljantung berat danronkhi basah pada seluruh lapangan
paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik, ditandai adanya penurunan tekanan darah
<90mmHg, oliguria, sianosis dan diaforesis.
B. Klasifikasi Forrester.
Klasifikasi ini membagi 4 kelompok pasien berdasarkan pada kriteria klinik dan status
hemodinamik. Kriteria klinik berdasarkan hipoperfusi perifer seperti adanya nadi yang lemah,
akral yang dingin, oliguria,hipotensi, takhikardi, sianosis perifer dan gagguan kesadaran.
Adanya kongesti ditandai adanya ronkhi basah dan adanya bendungan pada gambaran foto
toraks. Status hemodinamik didasarkan pada nilai kardiak indeks dan PCWP.
C. Klasifikasi tampilan klinis.
Merupakan cara yang paling sederhana, didasarkan pada observasi perfusi dan auskultasi
paru. Perfusi baik dinyatakan dengan hangat ( warm ), perfusi buruk dinyatakan dengan
dingin ( cold). Tidak ada kongesti dinyatakan dengan kering (dry) dan adanya kongesti paru
dinyatakan dengan basah ( wet )
VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung akut bertujuan untuk mengatasi keluhan maupun kongesti
pada pasien, stabilisasi hemodinamik, persiapan untuk terapi jangka panjang, dan manajemen
komorbiditas pada pasien. Pilihan penanganan pada pasien dengan gagal jantung akut dapat
bervariasi tergantung dari kondisi pasien dan klasifikasi gagal jantung akut yang dideritanya.
Dapat berupa :
1. Pemberian Oksigen
2. Pemakaian BPAP/ CPAP
3. Pemberian morfin
4. Pemberian diuretic
5. Pemberian vasodilator
6. Pemberian Inotropik
7. Pemasangan IABP, ECMO
8. Tindakan Ultrafiltrasi
9. Penatalaksanaan jangka panjang dengan obat-obat gagal jantung.
10. Diet rendah garam dan pembatasan cairan
Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan cardiac output b.d Penurunan Kontraktilitas ventrikel
2. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru, kelemahan.
3. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan difusi oksigen,kongesti paru
C. Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Kriteria hasil
keperawatan
1. Penurunan
Cardiac output
b/d Penurunan
Kontraktilitas
ventrikel e.c
MCI
1.
Mendeteksi
secara cepat
tanda-tanda
awal
menurunya
c/o
1. Observasi dengan
ketat :
– tekanan darah
– HR
– pulsasi
DS:
– Pasien
mengatakan sesak
napas berat
– Sesak tidak
hilang saat
istirahat
– Sesak bertambah
bila berbaring
DO:
– Pasien tampak
gelisah, lemah dan
pucat
– BP 140/90
mmHg
– irama jantung
2.
Menurunkan
atau
mengurangi
manifestasi
klinik yang
timbul pada
penurunan
cardiac out
put
3. Mencegah
gejala
penurunan
cardiac out
put
2. Kaji status perfusi
pasien:
– Kondisi kulit pasien
(apakah pucat)
– temperature perifer
(± 35˚ C)
-monitor urin out put
– status mental pasien
3. kaji adanya ronkhi
basah pada auskultasi
paru dan s3/s4 pada
auskultasi….jantung
– HR 119 x per
menit
– RR 30 x per
menit
– Saturasi O2 89%
– Akral Dingin,
Nadi teraba lemah
dan cepat, PAP (+/
+), CRT > 3 detik
Jika pasien terpasang
hemodinamik
monitoring kaji
preload(CVP),nilai
afterload (SVR) nilai
cardiac indeks dan
sesuaikan dengan terapi
obat-obat vasoaktif.
Tanda dan gejala
penurunan cardiac
out put dapat
terdeteksi dengan
cepat
-Terdapat ST
Elevasi di lead
II,III,aVF
Q di V1-V4
– lakukan tindakantindakan untuk
menurunkan kerja
jantung (istirahatkan
pasien,bantu ADL)
– Buat posisi pasien
semi fowler
– Beri therapi oksigen
– Awasi pemberian
therapi
inotropik,vasodilator
serta ketidakseimbangan
preload dan afterload…
Evaluasi respon pasien
terhadap therapi
– Ciptakan lingkungan
yang nyaman untuk
istirahat pasien
– Beri penhangat.jika
dibutuhkan
– Anjurkan pasien
untuk menghindari
aktivitas yang
menimbulkan respon.
Valsava seperti
mengedan
Segera setelah
dilakukan
intervensi dan
terjadi
peningkatan
cardiac out put
ditandai dengan :
– TD yang normal
untuk pasen
– pulsasi adekuat
– produksi urin
cukup
– bantu ADL
– ..akral hangat
– Diit rendah garam
-HR dbn
– Hindari merokok
– Lakukan aktifitas
secara bertahap
– s3 s4
mengalami
resolusi
– tidak terdengar
ronki basah
– status mental
baik
Kaji, catat dan laporkan
pada dokter adanya suara
paru yang menurun
(ronkhi, wheezes)
dyspnea atau orthopnea,
penurunan SaO2,
gangguan kesadaran,
batuk yang terusmenerus, adanya froothy
sputum dan analisa gas
darah yang abnormal
1.
Mendeteksi
secara dini
penyebab
gangguan
pernafasan
2. Pola nafas
tidak efektif b.d
penurunan
ekspansi paru,
kelemahan.
– Pasien tampak
nyaman
– Parameter
hemodinamik
dbn, acral
hangat, rokhi
basah tidak ada
Segera lakukan
pengkajian status
respirasi, tempatkan
pasien dengan posisi semi
Fowler, berikan terapi
oksigen, monitor efek
therapi serta monitor
obat-obatan yang dapat
meningkatkan cardiac out
put, obat diuretic,
morphin serta
kemungkinan akan
kebutuhan bronkhodilator
DS :
DO :
– Pasien
tampak lemah
– Penggunaan
otot bantu napas
(+)
– RR 30 x per
menit
– Auskultasi
ronkhi halus di
2/ 3 lapangan
paru kanan dan
kiri
– parameter
hemodinamik
dbn
1.Menurunkan
atau
meminimalkan
manifestasi
Tanda-tanda
ganggguan
respirasi
terdeteksi secara
cepat
Setelah dilakukan
3. Gangguan
pertukaran gas
b.d penurunan
difusi
oksigen,kongesti
paru
tindakan pasien
memperlihatkan
fungsi respirasi
yang adekuat
sepertinormal rr,
tidak ada disno,
suara nafas
meningkat serta
perbaikan analisa
gas darah
yang timbul
akibat
gangguan
respirasi
DS: Pasien
mengatakan
sesak berat
DO:
– RR 30 x per
menit
2.Mencegah
terjadinya
gangguan
respirasi
Pasien akan
memperlihatkan
rasa nyaman, RR
normal, tidak ada
dispneu,
orthopneu, nafas
yang pendek,
kulit hangat, tidak
pucat, nilai
analisa gas darah
dalam batas
normal
– Auskultasi
ronkhi halus di
2/ 3 lapangan
paru kanan dan
kiri
– AGDA : pH
7,46, PaO2 60,
PCO2 32, HCO3
22, Sat O2 89%
– Hasil X ray
thorax:
kongesti (+)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina
pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau
infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI),
dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai
patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka
diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS.
Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak
total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan
vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrosis miosit
dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap
dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik,
beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA
yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.
Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak
aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Angina tidak stabil (UA) dan
infark miokard non-ST elevasi (NSTEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut
kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk trombosis koroner aliran darah ke daerah
miokardium. UA dan NSTEMI juga disebut sindrom koroner akut non-ST elevasi, untuk
membedakan mereka dari akut infark miokard ST elevasi (STEMI). Dalam UA dan NSTEMI,
tidak ditemukan ST elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG. Pada pasien dengan MI
akut, alasan mengapa gelombang Q atau menjadi oklusi koroner, berhubungan dengan durasi
oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak
pembuluh darah yang menentukan ukuran infark. Arteriografi koroner dilakukan pada 6085% kasus, dalam periode akut NSTEMI menunjukkan bahwa infark arteri yang terkait tidak
tersumbat.2-5 Hal ini merupakan alasan terhadap kurangnya kemanjuran fibrinolisis dalam
gangguan ini.
2.2. Patogenesis
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner (PJK),
salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral arterial
disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat
kompleks dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan
trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat
akumulasi beberapa bahan seperti makrofag yang mengandung foam cells, lipid ekstraselular
masif dan plak fibrosa yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini
menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi atau infeksi, dimana awalnya
ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty
streaks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak
aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi
memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung
koroner, inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan
plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.
Perjalanan proses aterosklerosis (inisiasi, progresi, dan komplikasi pada plak aterosklerotik),
secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak
sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam
pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis
(plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan atau
penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan
subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu
pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau
infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang
bersifat tidak stabil atau progresif yang dikenal juga dengan SKA.
Gambar 1.1 Ilustrasi perjalanan aterosklerosis
(www.exomedindonesia.blogspot.com,2010)
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat
di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis
arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan
lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh
darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet.
Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh
darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem
fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.
Patogenesis terkini SKA menjelaskan bahwa SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi
trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang rentan
mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau
rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang
tidak stabil dengan karakteristik inti lipid besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak penuh
dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti limfosit T dan lain sebagainya. Tebalnya plak yang
dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi
koroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain,
risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat
penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak.
Gambar.1.2 perbedaan stable angina dengan unstable angina
(www.exomedindonesia.blogspot.com,2010)
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koroner)
mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan faktor jaringan) ke dalam aliran
darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk
trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner
total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak
aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak
sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien atau labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi
menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang
cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak
seluruh lapisan miokard).
Trombus yang terjadi dapat lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila
oklusi menetap dan tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard
mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang
terbentuk bersifat stabil dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara
tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.4
Trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya plak aterosklerotik
yang rentan akibat fibrous caps yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah.
Fibrous caps bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling
akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan
matriks ekstraselular akibat aktivitas matrix metalloproteinases (MMPs) yang menghambat
pembentukan kolagen dan aktivitas sitokin inflamasi.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peran
yang sangat menentukan dalam proses patogenesis SKA, dimana kerentanan plak sangat
ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan
dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada
keadaan inflamasi terdapat peningkatan konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator
plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada
pembuluh darah karena terganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA.
Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau
sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus
vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai
Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, serta faktor kontraksi seperti
endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih
dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet
dependent vasoconstriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, serta
thrombin dependent vasoconstriction yang diduga akibat interaksi langsung antara zat
tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.
2.3. Manifestasi Klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri
seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau
tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset
baru angina/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki
nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada
NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis,
sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok
yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
2.4 Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Elektro Kardiogram (EKG)
Segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in
Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupkan
prediktor outcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan resiko outcome yang
buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST maupun
perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien
dengan NSTEMI.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard lebih spesifik dari pada
CK dan CKMB. Pada pasien IMA, peningkatan Troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam
dan dapat menetap sampai 2 minggu.
Stratifikasi Resiko
Penilaian klinis dan EKG, keduanya merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian
risiko NSTEMI. Jika ditemukan resiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal
yang segera. Karena NSTEMI merupakan penyakit yang heterogen dengan subgrup yang
berbeda, maka terdapat keluaran tambahan yang berbeda pula. Penatalaksanaan sebaiknya
terkait pada faktor resikonya,
Skor Resiko
Insiden keluaran yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat rekuren) pada
14 hari berkisar antara 5% dengan risiko 0-1, sampai 41% dengan skor risiko 6-7. Skor resiko
ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI IIB dan telah divalidasi pada
empat penelitian tambahan dan satu registry, terdapat banyak bukti yang menunjukkan
disfungsi ginjal berhubungan dengan peningkatan resiko keluaran yang buruk. Beberapa
penelitian seperti Platelet Receptor Inhibition Ischemic Syndrome Management in Patien
Limited by Unstable Sign and Symptom (PRISM-PLUS). Treat Angina with Aggrastat and
Determine Cost of Therapy with invasive or Conservative Strategy (TACTICS)-TIMI 18,
DAN Global Use Strategies to Open Ocluded Coronary Arteries (GUSTO) IV-ACS,
kesemunya menunjukkan pasien-pasien dengan kadar klirens kreatinin yang lebih rendah
memiliki gambaran resiko yang lebih besar dan keluaran yang kurang baik. Walaupun strategi
invasive banyak bermanfaat pada pasien disfungsi ginjal, namaun memiliki resiko perdarahan
lebih banyak. Karena “molekul kecil” inhibitor GP IIb/IIIa dan LMWH diekskresikan lewat
ginjal. (Sudoyo Aru W, 2006)
Newby et al. mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin, creatinin
kinase MB dan Troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat dibandingkan jika
menggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatin et al. Mempertimbangkan 3
faktor patofisiologi yang terjadi pada UA /NSTEMI yaitu :
- Ketidaksetabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat
-
Inflamasi vaskuler
-
Kerusakan ventrikel kiri
mikroembolisasi
Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap petandapetanda seperti cardiac-spesific troponin. C-reactive protein dan brain natriuretic peptide,
berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, dimana resiko relative, mortalitas 30 hari
pasien dengan bio marker 0, 1, 2, dan 3 semakin meningkat berkali lipat 1,2. 1,5. 7, dan 13,0
berturut-turut. Pendekatan petanda laboratorium sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri
tapi seharusnya dapat memperjelas penemuan klinis.
2.5. Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti
lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi
faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi
ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak
dapat dijumpai sel makrofag dan limposit T yang menunjukkan adanya proses imflamasi. Selsel ini akan mengeluarkan sel , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akansitokin proinflamasi seperti
TNF merangsang pengeluaran hsCRP di hati. (Sudoyo Aru W, 2006)
2.6. Penatalaksanaan
1.
2.
I.
Harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG guna pemantauan
segmen ST dan irama jantung.
II.
Terapi
Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
yaitu :
Ø Terapi antiiskemia
Ø Terapi anti platelet/antikoagulan
Ø Terapi invasive (kateterisasi dini/revaskularisasi),
Ø Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sudah perawatan RS.
1.
a.
Terapi Antiiskemia
o Nitrat ( ISDN )
o Penyekat Beta
Obat
Selektivitas
Aktivitas Agonis
Parsial
Dosis umum untuk
Angina
Propranolol
Tidak
Tidak
20-80mg 2 kali sehari
Metoprolol
Beta 1
Tidak
50-200mg 2 kali sehari
Atenolol
Beta 1
Tidak
50-200mg/hari
Nadolol
Tidak
Tidak
40-80mg/hari
Timolol
Tidak
Tidak
10mg 2 kali sehari
Asebutolol
Beta 1
Ya
200-600mg 2 kali sehari
Betaksolol
Beta 1
Tidak
10-20mg/hari
Bisoprolol
Beta 1
Tidak
10mg/hari
Esmolol (intravena)
Beta 1
Tidak
50-300mcg/kg/menit
Labetalol
Tidak
Ya
200-600mg 2 kali sehari
Pindolol
Tidak
Ya
2,5-7,5mg 3 kali sehari
1.
b.
Terapi Antitrombotik
o Antitrombotik (Streptokinase, Urokinase, rt-PA)
1.
c.
Terapi Antiplatelet
o Antiplatelet (Aspirin, Klopidogrel, Antagonis Platelet GP IIb/IIIa)
1.
d.
Terapi Antikoagulan
o LMWH (low Molekuler weight Heparin)
1.
e.
Strategi Invasif dini vs Konservasif dini
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan strategi invasif dini (arteriografi
koroner dini dilanjutkan dengan revaskularisasi sebagaimana diindikasikan oleh temuan
arteriografi) dengan strategi konservatif dini (kateterisasi dan jika diindikasikan
revaskulaisasi, hanya pada yang mengalami kegagalan terhadap terapi oral/obat-obatan).
1.
III.
Perawatan untuk pasien resiko rendah
1.
a.
Tes stres noninvasif
2.
b.
Hasil tes menunjukkan gambaran resiko tinggi sebaiknya menjalani
arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomis, revaskularisasi dapat
dilakukan
3.
c.
Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien tes positif tapi
tanpa temuan risiko tinggi.
4. Tatalaksana Predischarge dan pencegahan sekunder
Tatalaksana terhadap faktor resiko antara lain :
Ø Mencapai berat badan optimal
Ø Nasehat diet
Ø Penghentian merokok
Ø Olah raga
Ø Pengontrolan Hipertensi
Ø Tatalaksana Diabetes Melitus dan deteksi Diabetes Melitus yang tidak dikenali sebelumnya
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan : nyeri akut b.d iskemia jaringan sejunder terhadap sumbatan
arteri koroner
Tujuan
: nyeri yang dialami pasien dapat berkurang
Kreteria hasil
:
-
Klien menyatakan nyeri dada hilang/terkontrol
-
Klien dapat mendemonstrasikan tekhnik relaksasi
-
Klien dapat menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak
NO INTERVENSI
RASIONAL
1.
Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, Menurunkan rangsang eksternal dimana ansietas
dan beri aktivitas perlahan
dan regangan jantung serta keterbatasan
kemampuan koping dan keputusan terhadap
situasi saat ini.
2.
Bantu melakukan teknik relaksasi misalnya Membantu dalam menurunkan respon nyeri.
napas dalam/perlahan, distraksi,
visuallisasi, bimbingan imajinasi
3.
Berikan oksigen tambahan dengan kanula Menigkatkan jumlah oksigen yang ada untuk
nasal atau masker sesuai indikasi
pemakaian miokardia dan juga mengurangi
ketidaknyamanan sehubungan dengan iskemia
jaringan
4.
Berikan obat sesuai indikasi seperti
antiangina, beta bloker, analgesic
Untuk mengontrol nyeri dan meningkatkan
ketenangan pasien agar proses penyembuhan
berjalan lancer
1. Diagnosa keperawatan : intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan intake oksigen
dengan kebutuhan
Tujuan
: aktivitas klien dapat meningkat tanpa adnya nyeri dada
Kriteria hasil
:
klien dapat mendemonstrasikan penigkatan toleransi aktivitas dengan frekuensi
jantung dan tekanan darah dalam batas normal klien.
-
No
Klien tidak mengeluh adanya nyeri dada saat beraktivitas
Intervensi
Rasional
1.
Anjurkan pasien menghindari peningkatan Aktivitas yang memerlukan menahan nafas dan
tekanan abdomen misalnya mengejan saat menunduk(maneuver valsava) dapat
defekasi
mengakibatkan braddikardi juga menurunkan
cuurah jantung dan takikardi dengan peningkatan
tekanan darah.
2.
Latih klien untuk menerapkan pola
Aktivitas yang meningkat dapat memberikan
peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, control jantung, meningkatkan regangan dan
seperti banguin dari kursi bila tidak ada
mencegah aktivitas berlebihan
nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam
setelah makan
3.
Rujuk ke program rehabilitasi jantung
DOWNLOAD : WOC ASKEP DAN NSTEMI
Memberikan pengawasan ketat untuk proses
penyembuhan
Download