5 evaluasi kondisi kkl

advertisement
5 EVALUASI KONDISI KKL
5.1 Pressure, State, Response (PSR) KKL Raja Ampat
Untuk melihat sejauh mana kondisi secara kualitatif dari pengelolaan KKL
di Kabupaten Raja Ampat, dilakukan analisis yang berkaitan dengan Driving
Force, Pressure, Impact, State and Response (DPISR), atau kemudian lebih
diringkas menjadi Pressure, State, Response (PSR) (Pinter et al 1999 yang diacu
dalam Fauzi 2004). Driving force mengandung makna berbagai aktivitas manusia,
proses dan pola di wilayah pesisir dan laut yang berbatasan, yang berdampak
terhadap pembangunan KKL Raja Ampat. Sementara pressure biasanya
diklasifikasikan sebagai faktor utama atau tekanan terhadap sistem
seperti
pertumbuhan penduduk, konsumsi atau kemiskinan (Fauzi dan Anna 2007).
Pressure pada lingkungan pesisir dan laut yang terkait dengan KKL dilihat
dari perspektif kebijakan, biasanya dianggap sebagai starting point untuk
melemparkan issue lingkungan.
Dari sudut pandang indikator, pressure ini
menjadi lebih mudah dianalisis jika diperoleh dari monitoring sosio-ekonomi,
lingkungan dan database lainnya. State adalah kondisi lingkungan yang
disebabkan oleh pressure di atas, misalnya level pencemaran, degradasi perairan
pesisir dan lain-lain. State dari lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak
pada kesehatan dan kesejahteraan manusia (Fauzi dan Anna 2007).
Response adalah komponen framework PSR yang berhubungan dengan
berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat baik individual maupun secara
kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan, mengoreksi kerusakan yang ada
atau mengkonservasi sumber daya alam. Response ini dapat meliputi penetapan
peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan preferensi
konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain (Fauzi dan Anna 2007).
Analisis PSR yang dilakukan di KKL Kabupaten Raja Ampat yaitu
dilakukan di 6 (enam) desa di Distrik Waigeo Selatan, yaitu di Desa Yanbekwan,
Desa Sawingrai, Desa Yen Buba, Desa Kapisawur, Desa Saporkren, dan Desa
Saonek, dengan jumlah responden mencapai 240 (dua ratus empat puluh) orang,
dengan melakukan survei di lapangan baik berupa pengamatan langsung maupun
dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner, untuk mengetahui persepsi
96
dari masyarakat setempat, terutama nelayan yang ada di Kabupaten Raja Ampat,
dengan hasil analisis diuraikan pada sub bab berikut ini.
5.1.1 Pressure KKL Raja Ampat
KKL Kabupaten Raja Ampat pada dasarnya tidak mengalami pressure
yang berat jika dibandingkan KKL lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena lokasi KKL ini relatif jauh dari pusat keramaian atau pusat aktivitas
manusia. Selain itu, aksesibilitas menuju kawasan ini relatif sulit karena cukup
jauh lokasinya, dengan akses transportasi umum yang sangat terbatas (DKP-KRA
2006). Beberapa masalah sosial-ekonomi tertentu telah memberikan pressure
cukup signifikan, seperti rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir (Haryani et
al. 2009) dan penangkapan ikan sebagai tumpuan harapan terakhir bagi mata
pencaharian penduduk pesisir (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja
Ampat 2006). Masyarakat berfikiran sederhana, bahwa sumberdaya yang ada
disekitarnya akan digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga
bila dibandingkan pada dekade masa lalu, pada saat ini masyarakat mulai
melakukan aktivitas negatif yang walaupun belum skala besar, namun dilakukan
terus menerus sehingga mulai terlihat terjadinya gejala degradasi sumberdaya
pesisir dan laut yang mempengaruhi kondisi KKL (DKP-KRA 2006; Pemerintah
Kabupaten Raja Ampat 2006). Di sisi lain penangkapan ikan oleh pendatang
(illegal fishing) dan rencana eksploitasi pertambangan di wilayah perairan laut
menyebabkan pressure bagi pengembangan KKL yang cukup membahayakan
(DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007).
Peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan lapangan pekerjaan dan tingkat
pendidikan yang rendah belum menjadi pressure yang berat bagi pengembangan
KKL. Dengan ditetapkannya 6 (enam) KKL oleh Pemerintah Kabupaten Raja
Ampat dan satu suaka margasatwa laut (SML) oleh Departemen Kehutanan
Republik Indonesia, yang diubah namanya menjadi Kawasan Konservasi Perairan
Nasional (KKPN) sejak diserahkan pengelolaannya ke Kementerian Kelautan dan
Perikanan tahun 2008, menyebabkan kawasan ini menjadi lebih terlindungi (DKPKRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006). Sumberdaya ikan di
kawasan ini juga tidak mengalami pressure yang luar biasa, akibat tingkat input
97
yang ada untuk mengeksploitasi ikan dan produk laut lainnya masih dalam skala
efisien (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006; Haryani et al.
2010).
5.1.2 State KKL Raja Ampat
Dari hasil analisis persepsi masyarakat menunjukkan wilayah perairan
Kabupaten Raja Ampat kondisi perikanan tangkapnya cukup baik. Nelayan di
perairan Kabupaten Raja Ampat dinyatakan jumlahnya bertambah dari persepsi
59% responden, sementara 25% menyatakan jumlah nelayan tetap, namun 16%
responden menyatakan nelayan berkurang jumlahnya. Sementara untuk jumlah
kapal, 78% responden menyatakan jumlah kapal penangkap ikan bertambah. Ini
menunjukkan bahwa, input jumlah kapal dan jumlah nelayan yang melakukan
kegiatan perikanan tangkap di wilayah ini, memang bertambah dari tahun ke
tahun (Haryani et al. 2010), sementara 16% responden menyatakan jumlah kapal
tetap dan 6% responden menyatakan jumlah kapal berkurang (Gambar 14).
Gambar 14 Evaluasi kondisi
perikanan tangkap di
KKL Raja Ampat
98
Dari persepsi masyarakat akibat menangkap ikan di tempat lain yang
lebih jauh, bahwa 56% responden menyatakan jumlah ikan yang ditangkap
bertambah, 22% menyatakan jumlah ikan yang ditangkap menjadi berkurang dan
22% menyatakan jumlah ikan yang ditangkap tetap (Gambar 14). Kondisi
perikanan tangkap sebagaimana tersebut diatas cukup menguntungkan untuk
pengembangan perikanan berkelanjutan. Namun dengan bertambahnya kapal dan
nelayan seharusnya diikuti juga dengan kehati-hatian untuk tidak terjadi
penangkapan ikan yang berlebihan (Haryani et al. 2010; Fauzi 1998 dan 2005;
Syaukani 2009).
Persepsi masyarakat Raja Ampat juga memperlihatkan bahwa
sebanyak 50% responden, menyatakan kondisi perairan semakin baik, belum
mengalami pencemaran dalam besaran yang cukup signifikan, baik akibat limbah
domestik maupun dari aktivitas pariwisata dan pelabuhan. Hanya sebanyak 16%
responden menyatakan kondisi perairan semakin jelek dan 34% menyatakan
kondisi perairan tetap (Gambar 15). Hal ini sangat menguntungkan untuk
pengembangan KKL dan perikanan berkelanjutan (Haryani et al. 2009 dan 2010;
Fauzi 2009; ).
Gambar 15 Evaluasi kondisi perairan di KKL Raja Ampat
Secara umum perairan Raja Ampat juga belum mengalami degradasi
sumberdaya alam yang cukup signifikan baik pada ikan, terumbu karang,
mangrove dan lamun (McKenna et al. 2002; DKP-KRA 2006; Pemerintah
Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007). Kondisi ekosistem yang ada bahwa 50%
99
responden menyatakan kondisi terumbu karang semakin baik, 16% menyatakan
kondisi terumbu karang semakin jelek dan 34% menyatakan kondisi terumbu
karang tetap. Sedangkan berkaitan dengan luas terumbu karang, 50% responden
menyatakan luas terumbu karang bertambah, 16% responden menyatakan luas
terumbu karang berkurang, dan 24% responden menyatakan luas terumbu karang
tetap (Gambar 16).
Persepsi
terhadap
kondisi
ekosistem
mangrove
66%
responden
menyatakan bahwa luas mangrove bertambah, 6% responden menyatakan luas
mangrove berkurang dan 28% responden menyatakan luas ekosistem mangrove
tetap. Mengenai kondisi ekosistem mangrove, 72% menyatakan kondisi ekosistem
mangrove dalam keadaan semakin baik, 22% responden menyatakan kondisi
ekosistem mangrove semakin jelek, dan 6% responden menyatakan kondisi
ekosistem mangrove tetap (Gambar 16). Kondisi ini diduga disebabkan oleh
kesadaran masyarakat untuk pelestarian sumberdaya alam cukup baik (DKP-KRA
2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006; Fauzi 2007).
Gambar 16
Evaluasi kondisi terumbu karang dan mangrove di KKL Raja
Ampat
100
Kondisi tersebut diatas didasari bahwa sampai saat ini penambangan
terumbu karang belum menjadi aktivitas yang meresahkan bagi kelangsungan
terumbu karang, demikian juga pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar atau
bahan
bangunan.
Kerusakan terumbu karang
lebih
disebabkan karena
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, namun jumlahnya tidak
terlalu besar (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006). Sangat
wajar kondisi tersebut terjadi karena memang wilayah Raja Ampat masih relatif
terjaga dengan kesadaran masyarakat yang baik untuk pelestarian sumberdaya
ikan (Pratikto 2006; Green et al. 2008; Haryani et al. 2009 dan 2010).
Gambar 17 Evaluasi kondisi ukuran dan jenis ikan di KKL Raja Ampat
Dari Gambar 17 terlihat bahwa, kondisi ikan yang ada di perairan Raja
Ampat ukurannya semakin besar, yang dinyatakan oleh 56% responden. Hal ini
kemungkinan disebabkan kondisi perairan yang masih baik dan ekosistem pesisir
yang ada belum mengalami degradasi yang signifikan (McKenna et al. 2002;
Haryani et al. 2009 dan 2010). Responden yang menyatakan ukuran ikan semakin
kecil hanya 28% dan yang menyatakan ukuran ikan tetap 16%. Di sisi lain diduga
karena jenis ikan target berubah maka jenis ikan dinyatakan semakin banyak oleh
56% responden, semakin berkurang oleh 35% responden dan sisanya 9%
responden menyatakan jenis ikan tetap. Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh
selektifitas alat tangkap yang meningkat, sehingga kemampuan menangkap
beragam jenis ikan semakin baik, sehingga terlihat jenis ikan bertambah. Atau
disebabkan adanya jenis-jenis ikan baru yang hidup di perairan Raja Ampat, yang
101
diduga disebabkan oleh perubahan kondisi perairan atau migrasi ikan, mengingat
perairan Raja Ampat berada pada posisi lintasan migrasi ikan (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
5.1.3 Response terhadap kondisi KKL Raja Ampat
Dengan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan seperti diuraikan di atas,
diperoleh berbagai response dari masyarakat di sekitar kawasan KKL di
Kabupaten Raja Ampat.
Hasil survei langsung di lapangan dan wawancara
dengan masyarakat setempat, secara umum terdapat 5 (lima) pengelompokan
response yang dapat tergali dari penelitian ini, yaitu response langsung yang
berkaitan dengan: (1) perbaikan kebijakan dengan membuat aturan/kebijakan
baru; (2) perbaikan input penangkapan; (3) membentuk kelompok masyarakat;
(4) perbaikan lingkungan; dan (5) melakukan konservasi.
Dari kelima pengelompokkan tersebut dapat diuraikan bahwa, respons
langsung yang mereka lakukan adalah 25% responden menyatakan akan membuat
peraturan desa/daerah guna melindungi kelestarian sumberdaya ikan (Gambar 18).
Kondisi saat ini dianggap belum terlambat untuk membuat peraturan/kebijakan
yang bisa disepakati oleh seluruh masyarakat sekitarnya yang dimaksudkan untuk
menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan sumberdaya ikan di perairan Raja
Ampat.
Response lain yang dilakukan masyarakat bahwa 23% responden
mengaku membentuk kelompok dalam melakukan penangkapan ikan dan 13%
responden melakukan program konservasi. Pembentukan kelompok adalah sangat
baik dalam rangka untuk mewadahi kepentingan bersama. Khusus untuk
sumberdaya terumbu karang, sebanyak 1% responden menyatakan melakukan
transpalantasi terumbu karang untuk mendukung pelestarian sumberdaya ikan.
Upaya lain yang dilakukan yaitu dengan perbaikan lingkungan yang dinyatakan
oleh 5% responden. Transplantasi terumbu karang dan perbaikan lingkungan
dilakukan masyarakat, namun dengan presentasi yang rendah, hal ini disebabkan
bahwa masyarakat menganggap kondisi ekosistem pesisir di Raja Ampat masih
relatif baik. Namun demikian response tersebut tetap dilakukan, yang diduga
karena masyarakat Raja Ampat mengharapkan dapat memperbaiki taraf hidup
melalui upaya tidak langsung, juga mereka sangat peduli akan kelestarian
102
sumberdaya alam, bahkan mereka memiliki kearifan lokal dalam bentuk sasi
ataupun bentuk kearifan lainnya, misalnya dilarang menangkap dan makan jenisjenis ikan langka dan bahkan mereka melestarikannya (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Selain itu, sebanyak 2% responden menyatakan akan menambah trip
melaut, hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil masyarakat tidak mengalami
kesulitan dalam menangkap ikan. Stok ikan relatif masih tinggi akibat frekuensi
dan kuantitas penangkapan ikan yang masih sedikit (Haryani et al. 2009 dan
2010). Sebanyak 6% responden nelayan menyatakan membawa serta keluarga
mereka untuk melaut, yang artinya juga menambah input dalam hal tenaga kerja,
sehingga diharapkan walaupun dalam trip yang lebih sedikit dan jarak yang tidak
jauh, mereka akan mendapatkan produksi lebih tinggi (Haryani et al. 2010).
Perbaikan dan peningkatan input juga dicirikan dari respons mereka terhadap
penggantian alat tangkap (17% responden) (Gambar 18).
Gambar 18 Response terhadap perubahan dengan adanya KKL di Raja Ampat
Namun demikian, response tersebut tidak diikuti dengan membuat
rumpon, beralih pekerjaan, maupun pindah pemukiman. Masyarakat tidak
membuat rumpon karena sumberdaya ikan masih relatif baik sehingga hasil
tangkapan masih baik. Mereka juga tidak beralih pekerjaan disebabkan karena
sebagian besar dari mereka tidak memiliki kemampuan atau skill dalam bidang
lain, misalnya dalam bidang pariwisata. Juga di wilayah kepulauan yang relatif
103
terisolir, mereka hanya mengandalkan perikanan tangkap di lokasi setempat dan
akan sulit bagi mereka pindah pemukiman (DKP-KRA 2006; Pemerintah
Kabupaten Raja Ampat 2006).
Response negatif ternyata tidak mereka lakukan seperti melakukan
pemboman/meracuni ikan dan
memprotes/mengusir nelayan lain, hal ini
disebabkan kesadaran mereka yang cukup tinggi akan kelestarian sumberdaya
ikan dan keinginan untuk hidup damai (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten
Raja Ampat 2006). Langkah lain yang dilakukan yaitu dengan menangkap ikan
dengan jarak yang lebih jauh guna mendapatkan ikan yang lebih banyak (8%
responden). Namun beberapa response tidak juga dilakukan oleh masyarakat,
seperti pengurangan trip melaut, penambahan dan pengurangan ukuran kapal,
pemanfaatan
ikan rucah,
penanaman mangrove dan
mengajukan surat
protes/permintaan ke pemerintah. Hal tersebut tidak dilakukan karena dianggap
tidak efektif untuk melakukan perubahan dengan adanya KKL (Gambar 18).
Berdasarkan analisis PSR sebagaimana tersebut diatas dapat dikatakan
bahwa KKL Raja Ampat relatif masih belum mengalami tekanan yang besar
terhadap kerusakan sumberdaya. Tekanan yang dihadapi berupa masalah kapasitas
sumberdaya manusia yang relatif masih rendah, kesejahteraan yang juga masih
rendah, serta terisolasinya wilayah KKL menjadikan masyarakat sekitar sangat
menggantungkan mata pencahariannya terhadap penangkapan ikan disekitar KKL.
Kondisi lingkungan yang masih relatif terjaga dengan tingkat kerusakan dan
pencemaran yang masih rendah menjadikan KKL Raja Ampat masih mampu
berjalan dengan baik (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006;
Haryani et al. 2009 dan 2010).
Response masyarakat sekitar wilayah KKL menunjukkan persepsi yang
positif dengan adanya KKL ini. Untuk menjamin kelestarian SDI disekitar KKL,
masyarakat menganggap perlunya sebuah peraturan desa/daerah. Peraturan ini
diperlukan agar adanya kejelasan pengelolaan KKL sehingga semua stakeholder
dapat berperan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Masyarakat juga menyadari
perlunya mereka membentuk kelompok nelayan untuk memudahkan koordinasi
dan kerjasama diantara mereka dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan.
Dampak spill over yang disebabkan kegiatan konservasi, nelayan membutuhkan
104
adanya penggantian alat tangkap yang lebih baik sehingga hasil tangkapan akan
semakin meningkat dan kesejahteraan pun semakin bertambah. Secara singkat
gambaran umum analisis PSR disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil analisis pressure, state, response KKL Raja Ampat




Pressure
State
Rendahnya
 Kondisi perikanan tangkap cukup baik,
kesejahteraan
dengan jumlah kapal bertambah, ikan yang
masyarakat
ditangkap bertambah, nelayan bertambah
pesisir
dan harga ikan lebih baik, namun biaya
melaut meningkat;
Penangkapan
ikan sebagai
 Kondisi ekosistem pesisir semakin baik,
tumpuan
luas terumbu karang bertambah dan
harapan
semakin baik, luas mangrove bertambah
terakhir bagi
dan juga semakin baik.
mata
 Kondisi perairan semakin baik, belum
pencaharian
mengalami pencemaran dalam besaran
penduduk
yang cukup signifikan, baik akibat limbah
pesisir.
domestik maupun dari aktivitas pariwisata
Penangkapan
dan pelabuhan.
ikan oleh
 Perairan belum mengalami degradasi
pendatang
sumber daya alam yang cukup signifikan
(illegal
baik pada ikan, terumbu karang, mangrove
fishing).
dan lamun.
Rencana
 Ukuran ikan semakin besar sehingga harga
eksploitasi
jual semakin tinggi, dengan jenis ikan
pertambangan
semakin banyak dan pendapatan semakin
di wilayah
bertambah.
perairan laut.  KKL menambah hasil tangkapan nelayan,
berperan untuk kelestarian ekosistem,
berperan dalam menangkap ikan dan
menghalangi menangkap ikan, namun
KKL menguntungkan pariwisata dan KKL
berperan melindungi pesisir dari bencana.
 Kesejahteraan masyarakat bertambah,
sehingga masyarakat berpendapat bahwa
KKL adalah baik.
Response
 Membuat peraturan
desa/daerah guna
melindungi kelestarian SDI
dan kejelasan pengelolaan
KKL
 Melakukan konservasi SDI
 Membentuk kelompok
nelayan untuk
memudahkan koordinasi
dan kerjasama dalam
penangkapan dan
kelestarian SDI
.Melakukan perbaikan
lingkungan dan
transplantasi terumbu
karang untuk mendukung
pelestarian SDI
 Menambah input tenaga
kerja dari anggota keluarga
untuk melaut, sehingga
mendapatkan produksi
lebih tinggi dan
penggantian alat tangkap
yang lebih baik dengan
adanya dampak spill over,
juga menambah trip melaut
 Menangkap ikan dengan
jarak lebih jauh guna
mendapatkan ikan yang
lebih banyak.
5.1.4 Keterkaitan PSR dengan nilai ekonomi sumberdaya ikan dan
pendapatan masyarakat
Dengan adanya pressure-state-response sebagaimana tersebut diatas,
responden juga menyatakan bahwa harga jual ikan semakin tinggi (44%
responden), 38% responden menyatakan harga jual ikan semakin rendah dan
hanya 19% yang menyatakan harga jual ikan tetap. Disisi lain kondisi harga ikan,
63% responden menyatakan harga ikan lebih baik, 31% harga ikan turun, dan 6%
responden menyatakan harga ikan tetap (Gambar 19). Harga ikan semakin tinggi
105
atau harga ikan lebih baik diduga disebabkan oleh daya beli masyarakat
meningkat, atau kualitas ikan semakin baik.
Gambar 19 Evaluasi ukuran ikan, jumlah jenis ikan, pendapatan dan harga jual
ikan
Dalam kaitannya dengan biaya melaut, 94% responden menyatakan
bahwa biaya melaut meningkat, dan 6% responden menyatakan biaya melaut
tetap. Kondisi harga ikan meningkat, demikian juga biaya melaut, disebabkan
karena nelayan harus semakin jauh menangkap ikan sehingga dibutuhkan biaya
yang tinggi. Kondisi tersebut oleh masyarakat setempat diyakini sebagai dampak
adanya KKL, yang menyebutkan bahwa adanya KKL menambah hasil tangkapan
nelayan, namun juga menghalangi menangkap ikan. Namun demikian persepsi
masyarakat juga menyatakan bahwa 62% responden menyatakan pendapatan
semakin meningkat, 16% responden menyatakan pendapatan berkurang dan hanya
22% responden yang menyatakan pendapatan tetap (Gambar 19).
Diduga
kenaikan pendapatan ini disebabkan oleh peningkatan hasil tangkapan yang
disebabkan oleh peningkatan effort dan efisiensi sistem penangkapan (Haryani et.
106
al.
2010; Fauzi 2009).
Juga diduga disebabkan oleh harga jual ikan yang
meningkat dan semakin baik, serta kebutuhan ikan yang meningkat dengan
supplay ikan yang lebih rendah dari kebutuhan.
5.1.5 Keterkaitan antara PSR dengan keberadaan KKL
Nelayan di perairan Kabupaten Raja Ampat mengaku dengan adanya KKL
menambah hasil tangkapan ikan (66% responden), kemudian 28% responden
mengaku jumlah tangkapan ikan tidak bertambah, dan sisanya 6% responden
mengaku tidak tahu apakah hasil tangkapannya bertambah atau berkurang.
Penambahan hasil tangkapan ikan diduga disebabkan oleh perairan dan ekosistem
disekitarnya yang terjaga dengan baik dan akibat dampak spill over yang
menyebabkan di area penangkapan jumlah ikan meningkat. Berkaitan dengan
kemudahan menangkap ikan, sebanyak 91% responden mengaku kesulitan
menangkap ikan dengan adanya KKL, 6% responden mengaku tidak mengalami
kesulitan, dan 3% responden mengaku tidak tahu sulit atau tidak menangkap ikan
setelah adanya KKL (Gambar 20). Kesulitan menangkap ikan diduga karena
harus menangkap ikan ketempat yang lebih jauh.
Untuk tingkat kesejahteraan nelayan 88% responden menyatakan bahwa
dengan adanya penetapan KKL, tingkat kesejahteraan nelayan menjadi
meningkat, sebanyak 9% responden mengaku tingkat kesejahteraan tidak
meningkat dan 3% responden mengaku tidak tau apakah kesejahteraannya
meningkat atau tidak dengan adanya penetapan KKL (Gambar 20). Peningkatan
kesejahteraan tersebut menyebabkan masyarakat berpendapat positif, bahwa
adanya KKL adalah baik dan menguntungkan mereka.
Selanjutnya 88%
responden mengaku dengan adanya KKL sangat baik untuk menjaga kelestarian
terumbu karang dan ekosistemnya, 6% responden mengaku adanya penetapan
KKL tidak baik untuk kelestarian terumbu karang dan ekosistemnya dan 6%
responden mengaku tidak tahu (Gambar 20).
Penetapan KKL juga berkorelasi positif terhadap kemajuan sektor
pariwisata di Kabupaten Raja Ampat (Rumfaker 2010; Fauzi 2010). Dari hasil
wawancara menunjukkan bahwa 81% responden mengaku bahwa program KKL
dapat menguntungkan kegiatan sektor pariwisata, 6% responden mengaku
107
program KKL tidak berpengaruh terhadap kegiatan sektor pariwisata, dan
sebanyak 13% responden mengaku tidak tahu (Gambar 20).
Gambar 20 Evaluasi terhadap pengaruh adanya KKL
Manfaat KKL dalam upaya melindungi daerah dari bencana (tsunami,
badai, dan bencana lainnya), sebanyak 78% responden mengaku tidak tahu, hanya
16% responden saja yang mengaku bahwa program KKL dapat mencegah
108
terjadinya bencana dan hanya 6% responden mengaku bahwa program KKL tidak
dapat melindungi kawasan pesisir dari bencana (Gambar 20). Rendahnya
pengetahuan masyarakat terhadap manfaat KKL dalam penanggulangan bencana,
akibat dari rendahnya pemahaman antisipasi modern terhadap bencana alam,
karena masyarakat Raja Ampat didominasi oleh masyarakat tradisional (DKPKRA 2006). Biasanya mereka mengganggap bencana alam adalah sesuatu yang
harus diterima apa adanya dan kurang melakukan upaya preventif secara modern.
Namun demikian mereka memiliki kearifan lokal yang baik dalam antisipasi
bencana alam (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Dalam kaitannya dengan biaya melaut, 94% responden menyatakan bahwa
biaya melaut meningkat dan 6% responden menyatakan biaya melaut tetap.
Kondisi harga ikan meningkat, demikian juga biaya melaut, disebabkan karena
nelayan harus semakin jauh menangkap ikan sehingga dibutuhkan biaya yang
tinggi.
Kondisi tersebut oleh masyarakat setempat diyakini sebagai dampak
adanya KKL, yang menyebutkan bahwa adanya KKL menambah hasil tangkapan
nelayan, namun juga menghalangi menangkap ikan (Vivekanandan
2007).
Namun demikian persepsi masyarakat juga menyebutkan bahwa 62% responden
menyatakan pendapatan semakin meningkat, 16% responden menyatakan
pendapatan berkurang dan hanya 22% responden yang menyatakan pendapatana
tetap (Gambar 20). Diduga kenaikan pendapatan ini disebabkan oleh peningkatan
hasil tangkapan yang disebabkan oleh peningkatan effort dan efisiensi sistem
penangkapan. Juga diduga disebabkan oleh harga jual ikan yang meningkat dan
semakin baik, serta kebutuhan ikan yang meningkat dengan suppaly ikan yang
lebih rendah dari kebutuhan (Haryani et al. 2009 dan 2010).
Secara umum pengamatan secara cepat dengan metode DPSR atau PSR
menggunakan data sekunder mapun primer, yang berasal dari wawancara dengan
masyarakat setempat, merupakan metode yang dapat diandalkan untuk analisis
kebijakan maupun dalam analisis valuasi ekonomi. Analisis PSR dapat digunakan
sebagai basic baseline dan juga cross checking atas analisis selanjutnya seperti
Contingent Valuation Methode (CVM) dalam Analisis Valuasi Ekonomi.
109
5.2 Pengelolaan Existing
Kabupaten Raja Ampat sebagian besar (85%) wilayahnya berupa perairan
laut dan memiliki sekitar 610 pulau. Sebagian besar (80%) masyarakatnya
berprofesi sebagai nelayan, dengan komoditas unggulan untuk perikanan tangkap
antara lain berupa ikan tuna (Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus sp.), tenggiri
(Scomberomorus sp.), tongkol (Euthynnus spp.), kerapu (Epinephelus spp.),
napoleon wrasse (Cheillinius sp.), kakap merah (Lates sp.), beberapa jenis ikan
karang lainnya, juga udang dan lobster (DKP-KRA 2006). Akhir-akhir ini
disinyalir telah terjadi penurunan produksi ikan secara gradual yang merugikan
masyarakat. Hal ini diduga disebabkan secara gradual pula telah terjadinya
degradasi lingkungan, over-eksploitasi, dan destructive fishing practices
walaupun skalanya masih terkendali, yang dipicu oleh keinginan untuk memenuhi
kepentingan sesaat (generasi kini) atau masa kini, sehingga tingkat eksploitasi
sumberdaya ikan dilakukan sedemikian rupa untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya untuk masa kini (DKP-KRA 2006).
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengarahkan pengembangan sektor
perikanan dan pariwisata yang berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kabupaten
Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari. Untuk mewujudkan hal tersebut, strategi
yang dikembangkan adalah pengembangan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pariwisata bahari dan pengembangan KKL. KKL yang ada berupa
Suaka Margasatwa Laut (SML) Raja Ampat, atau KKPN Raja Ampat, yang
berada disekitar Waigeo Barat.
Kemudian dikembangkan pula Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD) di Kabupaten Raja Ampat yang berada di
beberapa wilayah. Namun sayangnya semua KKL tersebut belum dikelola secara
maksimal. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pengelolaan yang maksimal secara
kolaboratif antara berbagai lembaga, instansi dan masyarakat di Kabupaten Raja
Ampat (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
5.2.1 Pengembangan perikanan tangkap
Perairan Raja Ampat memiliki potensi lestari (MSY) sebesar 590.600
ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar 472.000 ton/tahun
(80% MSY). Saat ini sumberdaya yang telah dimanfaatkan sebesar 38.000
110
ton/tahun, di luar dari pemanfaatan perikanan subsisten, sehingga diperkirakan
masih memiliki peluang sekitar 434.000 ton/tahun. Peluang pemanfaatan
sumberdaya sebesar 434.000 ton/tahun merupakan kesempatan bagi nelayan dan
perusahaan perikanan untuk meningkatkan usahanya tetapi tetap menjaga
kelestarian sumberdaya dengan tidak melakukan penangkapan yang merusak
(destructive fishing) seperti penggunaan bom, bahan-bahan beracun serta alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan (DKP-KRA 2006).
(1) Pola usaha
Di luar usaha perikanan tangkap komersial, usaha perikanan tangkap yang
dilakukan nelayan Kabupaten Raja Ampat umumnya bersifat tradisional dan
subsisten dengan modal usaha sangat minim serta penggunaan jenis alat tangkap,
teknologi dan alat transportasi masih sangat sederhana. Hasil tangkapan sebagian
besar untuk keperluan sendiri dan hanya sedikit yang dijual karena jauhnya daerah
pemasaran. Aktivitas penangkapan ikan, udang, cumi-cumi serta sumberdaya
perikanan lainnya yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Raja Ampat sangat
dipengaruhi oleh musim, terutama musim selatan (DKP-KRA 2006; Pemerintah
Kabupaten Raja Ampat 2006).
(2) Lokasi penangkapan nelayan tradisional
Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten
Raja Ampat adalah di pesisir dan daerah teluk. Nelayan lokal pada umumnya
melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan terdekat. Kegiatan
penangkapan dilakukan 3-4 hari dalam seminggu, dengan lama waktu kerja antara
4-12 jam per hari. Untuk mencapai daerah penangkapan (fishing ground) biasanya
mereka menggunakan perahu dayung dengan waktu tempuh 2-3 jam perjalanan
(DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
(3) Teknologi penangkapan
Di Raja Ampat ditemukan 14 jenis alat tangkap. Alat tangkap yang paling
dominan dan tersebar hampir di setiap distrik adalah pancing dasar dan pancing
tonda. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan, teknologi penangkapan nelayan
Raja Ampat masih sederhana, misalnya: (a) pancing (tonda, dasar, rawai dasar);
111
(b) insang, hiu dan lingkar); (c) bagan; (d) sero; (e) huhate; (f) trammel net;
(g) tango; (h) kalawai; (i) Senapan Molo; dan (j) Ticu (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
(4) Armada penangkapan ikan
Armada penangkapan ikan nelayan lokal yang beroperasi di Kabupaten
Raja Ampat didominasi oleh perahu tanpa motor, perahu motor katinting, dan
perahu motor tempel 15 PK. Adapun para nelayan dari luar, yaitu dari Sorong dan
Sulawesi, menggunakan kapal motor dengan kapasitas yang besar. Kisaran kecil
hingga besar dari armada penangkapan ikan di Kabupaten Raja Ampat adalah:
(a) PTM: perahu tanpa motor; (b) PK: perahu katinting; (c) MT: motor tempel
ukuran 15, 25 dan 40 PK; (d) PMD: perahu motor dalam; (e) KM: kapal motor
dengan ukuran 10-30 Gross Ton (GT) (DKP-KRA 2006).
(5) Produksi tangkapan
Alat tangkap yang tradisional dan alat transportasi yang sangat sederhana
menyebabkan hasil produksi nelayan menjadi terbatas. Hal lain yang menjadi
kendala rendahnya produksi tangkapan nelayan adalah tidak tersedianya pasar,
sehingga nelayan melaut sekedar untuk konsumsi sendiri dan dijual di sekitar
kampung. Apabila hasil tangkapan cukup besar, biasanya hasil tangkapan
langsung dibawa ke PPI Sorong (DKP-KRA 2006).
(6) Issue
Issue utama perikanan tangkap di Kabupaten Raja Ampat adalah:
(i) keterbatasan dalam pemilikan alat tangkap dan alat transportasi baik secara
kuantitas maupun kualitas; (ii) teknik penanganan hasil perikanan secara kualitas
masih terbatas, sehingga mempengaruhi mutu; (iii) tidak tersedianya pasar dan
tempat pendaratan ikan, sehingga pemasaran hasil terbatas (bersifat monopoli)
dan harga dapat dipermainkan; (iv) langkanya bahan bakar minyak (BBM) yang
mempengaruhi aktivitas nelayan melaut; (v) penertiban ijin operasional
penangkapan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, dan nelayan asing; serta
(vi) Kurangnya kapal-kapal perintis melayari daerah-daerah di Kabupaten Raja
Ampat, sehingga nelayan sulit untuk mengangkut hasil tangkapannya ke daerah
112
pemasaran terutama daerah-daerah yang jauh seperti Ayau dan Misool (DKPKRA 2006).
5.2.2 Pengembangan perikanan budidaya
Kabupaten Raja Ampat sangat potensial bagi pengembangan budidaya
perikanan laut terutama ikan-ikan karang (kerapu dan napoleon), rumpul laut,
mutiara dan teripang, karena memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk kegiatan
ini. Perairan teluk dan pulau-pulau kecil yang relatif tenang dan belum mengalami
pencemaran adalah tempat yang tepat untuk pengembangan budidaya perikanan.
Beberapa komoditi budidaya unggulan dan lokasinya tersaji pada Tabel 12 (DKPKRA 2006).
Tabel 12 Komoditas budidaya unggulan serta lokasinya
No.
Komoditas Unggulan
1.
Mutiara
2.
Rumput Laut
3.
Teripang
4.
Kerapu/Napoleon
Sumber: DKP-KRA (2006)
Lokasi
Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Samate, Misool Timur Selatan
Misool Timur Selatan, Waigeo Selatan, Ayau
Waigeo Selatan, Teluk Mayalibit
Waigeo Barat dan Utara, Ayau, Misool Timur Selatan
Issue utama budidaya
laut
di Kabupaten Raja Ampat
adalah:
(1) ketersedian benih kerapu sangat terbatas dan mahal serta resiko kematian
benih pada waktu pengiriman cukup besar; (2) hasil tangkapan ikan kerapu dari
alam menggunakan cara yang tidak ramah lingkungan dan memiliki resiko
kematian yang tinggi; (3) perlu penataan tata niaga rumput laut sehingga harganya
lebih kompetitif di tingkat pembudidaya; (4) tingginya tingkat pencurian kerang
mutiara di lokasi budidaya sehingga pemilik harus mengintensifkan pengawasan
di setiap lokasi, hal ini mempengaruhi biaya operasional.
Peta perikanan
budidaya Kabupaten Raja Ampat sebagaimana Lampiran 3 (DKP-KRA 2006).
5.2.3
Pengembangan pariwisata bahari
Dengan kondisi alam Raja Ampat yang masih asli dan memiliki
kanekaragaman hayati tinggi maka kawasan ini memiliki potensi pariwisata yang
luar biasa, baik alamnya, tingginya endemisitas keanekaragaman hayati darat dan
laut, potensi pesisir, maupun budaya dan adat masyarakat setempat. Keunikan dan
113
keindahan panorama alam ditambah dengan keanekaragaman sumberdaya alam,
terutama ekosistem terumbu karang merupakan daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan luar negeri. Jenis potensi pariwisata bahari yang utama di wilayah
gugus pulau kecil Raja Ampat adalah wisata panorama alam, seperti pasir putih,
gua, tebing-tebing karang, serta wisata diving. Daerah pengembangan pariwisata
adalah di Pulau Kofiau, Misool, Waigeo Selatan dan Barat, serta Kepulauan Ayau.
Potensi wisata yang dimiliki Raja Ampat sebagaimana dalam peta Lampiran 4,
dapat
memberikan
sumbangan
yang
sangat
berarti
perekonomian masyarakat apabila dikelola dengan baik.
bagi
peningkatan
Jumlah wisatawan
mancanegara yang berkunjung ke Raja Ampat dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan (DKP-KRA 2006).
Walaupun Kabupaten Raja Ampat memiliki potensi wisata yang sangat
besar, namun sangat disayangkan potensi tersebut sampai saat ini masih belum
dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan laporan Kabupaten
Raja Ampat tahun 2005, sektor pariwisata hanya mampu menyumbang sebesar
Rp. 45.600.000,00 atau 0,0003% dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Raja Ampat yang sebesar Rp. 151.161.816.000,00 dengan PAD
terbesar dari sektor perikanan. Pendapatan sektor pariwisata sebesar ini diperoleh
dari pajak orang asing/turis saja. Untuk menarik wisatawan baik dari dalam negeri
maupun dari mancanegara, perlu adanya pembangunan sarana dan prasarana
pariwisata oleh pemerintah Kabupaten Raja Ampat
(DKP-KRA 2006,
BAPPEDA-KRA 2006a; BAPPEDA-KRA 2006b; Pemerintah Kabupaten Raja
Ampat 2006).
Issue utama pengembangan pariwisata di Kabupaten Raja Ampat adalah:
(1) sarana dan prasarana pariwisata masih kurang; (2) saling klaim hak ulayat
antara suku yang satu dengan suku yang lainnya sangat mengganggu
pengembangan usaha pariwisata; (3) belum adanya perdes yang mengatur tentang
pariwisata di Kabupaten Raja Ampat; (4) lemahnya pengawasan dan pendataan
terhadap wisatawan yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat sehingga pemasukan
dari sektor pariwisata belum optimal; dan (5) sumberdaya manusia sangat terbatas
(DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007).
114
5.2.4 Pengembangan kawasan konservasi laut (KKL)
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengarahkan pengembangan sektor
perikanan dan pariwisata yang berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kabupaten
Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah
satu strategi yang dikembangkan adalah pembentukan dan pengelolaan KKL,
yang berupa SML atau KKPN Raja Ampat, yang berada disekitar Waigeo Barat.
Kemudian dikembangkan pula KKLD di Kabupaten Raja Ampat yang berada di
beberapa wilayah. Namun sayangnya semua KKL tersebut belum dikelola secara
maksimal. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya pengelolaan yang maksimal
secara kolaboratif antara berbagai lembaga, instansi, dan masyarakat yang ada di
Kabupaten Raja Ampat (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat
2006).
Kawasan konservasi laut yang ada di Kabupaten Raja Ampat dan
kondisinya sebagai berikut:
(1) Suaka margasatwa laut (SML) atau kawasan konservasi perairan nasional
(KKPN)
SML di Kabupaten Raja Ampat ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: 81/Kpts-II/93 tanggal 16 Februari 1993 dengan luas
60.000 Ha, yang kemudian sejak tahun 2008 dialihkan ke Kementerian Kelautan
dan Perikanan dengan nama KKPN.
Alasan penetapan kawasan perairan ini
adalah karena perairan laut Raja Ampat dan sekitarnya memiliki potensi
sumberdaya alam laut yang terdiri dari berbagai jenis terumbu karang, moluska,
echinodermata, mamalia laut, penyu, ikan hias dan rumput laut. Selain itu di
kawasan ini ditemui beberapa ancaman yang dapat mengganggu kelestarian
sumberdaya alam laut yaitu adanya pemanfaatan jenis biota laut langka dan
penangkapan ikan dengan bahan peledak (DKP-KRA 2006; Pemerintah
Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007).
Beberapa sumberdaya alam laut yang dilindungi di kawasan ini
diantaranya adalah nautilus perongga (Nautilus pompillius), keong terompet
(Charonia tritonis), keong kepala kambing (Cassis cornuta), lola (Trochus
niloticus), kima (Tridacna spp.), akar bahar (Antiphates spp.), duyung (Dugong
115
dugon), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan ketam kenari (Birgus
latro) (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007).
(2) Kawasan konservasi laut daerah Misool Timur Selatan
KKLD Misool Timur Selatan sebagaimana terlihat pada Lampiran 5,
ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2007 dengan luas
335.000 Ha, yang meliputi seluruh kawasan perairan dan pulau-pulau kecil di
dalamnya. Alasan penetapan kawasan perairan ini adalah karena memilik potensi
sumberdaya alam yang menarik baik di darat maupun perairan laut sekitarnya.
Beberapa permasalahan yang mengancam kelestarian sumberdaya alam laut di
kawasan ini adalah pengambilan telur penyu, lola (Trochus niloticus), batu laga
(Turbo marmoratus) dan pengeboman ikan, yang sebagian besar pelakunya
datang dari luar Kepulauan Misool. Berdasarkan survei dijumpai beberapa jenis
biota laut berstatus dilindungi di antaranya kima sisik (Tridacna squamosa), kima
besar (Tridacna maxima), kima raksasa (Tridacna gigas), kima lubang (Tridacna
crocea), serta penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan juga merupakan jalur
lintasan duyung (Dugong dugon) dan paus (whales) (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
(3) Kawasan konservasi laut daerah Kepulauan Kofiau dan Boo
KKLD Kofiau dan Boo sebagaimana terlihat pada Lampiran 6, meliputi
seluruh pulau-pulau dan periaran di sekitarnya. Ditetapkan berdasarkan Peraturan
Bupati Kabupaten Raja Ampat No 66 Tahun 2007 dengan luas ± 170.000 Ha.
Berdasarkan survei ditemui potensi sumberdaya alam laut yang secara umum
terdiri dari terumbu karang, habitat duyung dan mangrove. Beberapa sumberdaya
alam laut yang dilindungi ditemukan disana diantaranya lola (Trochus niloticus),
kima sisik (Tridacna squamosa), kima besar (Tridacna maxima), kima tapak kuda
(Hippopus hippopus) dan duyung (Dugong dugon). Di kawasan ini juga terdapat
jenis penyu langka yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat
2006).
Perairan Kofiau merupakan jalur migrasi beberapa jenis mamalia laut
seperti
paus
pembunuh
(Orcinus
orca)
dan
paus
sperma
(Physeter
116
macrocephalus). Mamalia laut yang sering terlihat juga adalah lumba-lumba
hidung botol (Tursiop truncates), lumba-lumba totol (Stennella attenuata), spiner
dolphin (Stennella longirostris), pilot whale (Globicephala macrorhyncus), paus
pembunuh palsu (Pseudorca crasidens) dan paus ballen (Ballenoptera sp.).
Perairan Kofiau juga merupakan tempat pemijahan ikan kerapu. Di kawasan ini
ditemui beberapa ancaman yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya alam
laut yaitu adanya pemanfaatan jenis biota laut yang dilindungi, penangkapan
penyu dan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007).
(4) Kawasan konservasi laut daerah Selat Dampier
KKLD Selat Dampier sebagaimana terlihat pada Lampiran 7, meliputi
perairan dan pulau-pulau di dalamnya, diantaranya Pulau Kri, Mansuar, Saonek,
Arborek dan Teluk Gam. Ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 66
Tahun 2007 dengan luas 46.240 Ha.
Potensi yang dimiliki KKLD Selat Dampier selain ikan ekonomis penting
seperti maming (napoleon), kerapu, cakalang, bubara, tenggiri dan hiu, juga
merupakan habitat lumba-lumba, manta ray, hiu berjalan, wobbegong, serta
perlintasan beberapa paus, diantaranya paus pembunuh (Orcinus orca) dan paus
sperma (Physeter macrocephalus).
Di kawasan ini masih ditemui beberapa
ancaman yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya alam laut yaitu kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), racun sianida, dan
akar bore (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
(5) Kawasan konservasi laut daerah Teluk Mayalibit
KKLD Teluk Mayalibit sebagaimana terlihat pada Lampiran 8, meliputi
perairan teluk dan pulau-pulau di dalamnya. Ditetapkan berdasarkan Peraturan
Bupati Nomor 66 Tahun 2007 dengan luas 34.000 Ha. Potensi yang dimiliki
Teluk mayalibit diantaranya adalah merupakan tempat pembesaran dan mencari
makan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan lema (Restraliger kanagurta),
tenggiri (Scromberomorus sp.) dan bobara (Caranx sp.); tempat hidup udang
sebagai dasar rantai makanan ikan-ikan ekonomis penting; memiliki ekosistem
117
mangrove yang luas sebagai tempat pembesaran ikan dan memasok nutrien bagi
perairan; dan habitat bagi berbagai jenis moluska. Teluk Mayalibit juga
merupakan habitat bagi berbagai jenis crustacean diantaranya lumba-lumba putih
(belum diketahui jenisnya) dan memiliki panorama alam yang unik, berbentuk
seperti danau dengan sebuah pintu keluar masuk air yang sempit. Kondisi alam
seperti ini menjadikan biota laut yang tinggal di dalamnya menjadi unik (DKPKRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Beberapa kegiatan manusia yang mengancam kelestarian sumberdaya
yang ada di Teluk Mayalibit diantaranya adalah penangkapan berlebihan untuk
ikan-ikan yang sedang memijah. Teluk Mayalibit merupakan daerah pemijahan
ikan lema (Restraliger sp.) dan beberapa jenis ikan ekonomis penting.
Pengambilan berlebihan di saat ikan-ikan induk masuk untuk bertelur akan
mengancam stok ikan-ikan ini di perairan sekitarnya. Di Teluk Mayalibit juga
masih terdapat praktek penangkapan ikan dengan cara merusak seperti bom dan
potasium (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Teluk Mayalibit merupakan perairan tertutup, keluar masuknya air ke
perairan lepas sangat terbatas, hal ini mengakibatkan semua lumpur yang masuk
akan mengendap dengan cepat dan merusak habitat tempat hidup biota laut.
Kondisi perairan ini juga sangat tidak menguntungkan dari sisi pencemaran laut.
Racun yang masuk ke perairan ini sangat sulit dikeluarkan/dibersihkan karena
aliran air masuk-keluar yang tidak lancar. Sebagai konsumen kerang-kerangan,
udang dan kepiting, masyarakat Teluk Mayalibit akan sangat terancam keracunan
bahan-bahan pencemar karena sifat biota-biota tersebut yang mengumpulkan
semua zat yang masuk ke tubuhnya (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten
Raja Ampat 2006).
(6) Kawasan konservasi laut daerah Kepulauan Wayag – Sayang
KKLD Kepulauan Wayag - Sayang sebagaimana terlihat pada Lampiran 9,
meliputi pulau-pulau dan perairan sekitar Pulau Sayang dan Kepulauan Wayag.
Ditunjuk berdasarkan Peraturan Bupati Raja Ampat Nomor 66 Tahun 2007
dengan luas 155.000 Ha. Pulau Sayang dan Pulau Piai merupakan tempat
peneluran utama penyu hijau dan Pulau Wayag sebagai tempat peneluran penyu
sisik. Diduga kawasan ini juga sebagai tempat mencari makan bagi penyu sisik
118
(Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), duyung
(Dugong dugon), serta penyu hijau (Chelonia mydas) (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Potensi fauna pantai yang terdapat di Pulau Sayang dan sekitarnya
diantaranya ketam kenari (Birgus latro), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis),
burung elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), dara laut kepala putih
(Anour minibus), nuri merah kepala hitam (Lorius lory) dan burung raja udang
(Halcyon sp.). Jenis-jenis terumbu karang yang dijumpai di daerah ini diantaranya
jenis Acropora sp. dan Porites sp. sedangkan jenis-jenis ikan hias diantaranya
jenis kupu-kupu (Chaetodon spp.), sersan mayor (Abudefduf spp.) dan ikan badut
(Amphiprion sp.), kepe-kepe (Pomacentrus spp.) dan mujair laut (Dascyllus spp.)
(DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Biota laut langka-dilindungi yang terdapat di daerah ini adalah kima sisik
(Tridacna squamosa), lola (Trochus niloticus), kima raksasa (Tridacna maxima),
kima tapak kuda (Hippopus hippopus), akar bahar (Antiphates sp.) dan keong
terompet (Charonia tritonis). Beberapa ancaman yang ada berupa pengambilan
biota laut yang dilindungi, penggunaan bahan peledak oleh nelayan yang
menangkap ikan dan pengambilan daging dan telur penyu (DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
(7) Kawasan konservasi laut daerah Kepulauan Ayau dan Asia
KKLD Kepulauan Ayau dan Asia sebagaimana terlihat pada Lampiran 10,
meliputi seluruh daratan dan perairan Kepulauan Ayau dan Asia. Ditetapkan
berdasarkan Peraturan Bupati No 66 Tahun 2007 dengan luas 101.440 Ha dan
kawasan ini terletak di daerah paling utara Kabupaten Raja Ampat dan merupakan
kawasan terluar Republik Indonesia yang berbatasan dengan Negara Federal Palau
(DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
Kepulauan Ayau secara keseluruhan memiliki 14 buah pulau. Di sekitar
pulau Orbabo Besar, pulau Orbabo Kecil dan pulau Ayau dijumpai beberapa jenis
biota laut yang berstatus dilindungi diantaranya jenis lola (Trochus niloticus),
kima besar (Tridacna maxima), kima sisik (Tridacna squamosa), kima tapak kuda
(Hippopus hippopus), batu laga (Turbo marmoratus), ketam kenari (Birgus latro),
119
dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Kepulauan Ayau terkenal sebagai
lokasi pemijahan dari ikan kerapu. Kepulauan Ayau merupakan kawasan yang
memiliki tutupan terumbu karang terluas di Kabupaten Raja Ampat dan memiliki
biota khas yaitu cacing “insonem”. Selain itu, perairan Kepulauan Ayau
merupakan jalur perlintasan ikan paus (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten
Raja Ampat 2006).
Perairan laut Kepulauan Asia dan sekitarnya memiliki potensi sumberdaya
alam laut yang terdiri dari terumbu karang, beberapa jenis moluska,
echinodermata, ikan karang dan merupakan pantai tempat bertelurnya penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), serta beberapa jenis
biota laut yang saat ini tergolong langka dan dilindungi seperti kima (Tridacna
sp.), keong kepala hitam (Cassis cornuta), keong terompet (Charonia tritonis) dan
ketam kenari (Birgus latro). Beberapa ancaman yang mengganggu kelestarian
sumberdaya alam laut di kawasan ini yaitu pengambilan telur dan daging penyu,
lola (Trochus niloticus), batu laga (Turbo marmoratus), kima sisik (Tridacna
squamosa), keong terompet (Charonia tritonis) dan akar bahar (Antiphates sp.).
Di kawasan ini pun masih terjadi praktek penangkapan ikan dengan menggunakan
bom, potasium, dan akar bore (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja
Ampat 2006).
Issue penting pengelolaan KKL adalah: (1) Adanya pengalifungsian
sebagian kawasan konservasi untuk pengembangan ibukota kabupaten; dan
(2) Kurang adanya pengawasan yang rutin terhadap seluruh kawasan konservasi
sehingga mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan
(DKP-KRA 2006;
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006).
5.2.5 Rencana induk pengembangan kelautan dan perikanan Kabupaten
Raja Ampat
Arah kebijakan pengembangan kelautan dan perikanan Kabupaten Raja
Ampat adalah mendorong keseimbangan pengembangan dan pengelolaan ekologi,
ekonomi, sosial dan kelembagaan sektor perikanan dan kelautan dengan
penekanan pada sinergitas dan harmonisasi program pengembangan wilayah di
120
Kabupaten Raja Ampat. Pokok-pokok kebijakan pengembangan kelautan dan
perikanan Kabupaten Raja Ampat difokuskan pada upaya untuk:
(1) Meningkatkan produksi dan produktivitas usaha kelautan dan perikanan di
arahkan pada dua aspek kunci yakni:
1)
peningkatan produksi dan produktifitas sub sektor perikanan yang telah
berkembang, utamanya perikanan tangkap dan perikanan budidaya;
2)
pengenalan dan pengembangan (diversifikasi) model usaha baru berbasis
sumberdaya dan usaha peningkatan nilai tambah hasil-hasil perikanan dan
kelautan yang belum berkembang dengan baik.
(2) Membangun keserasian struktur dan pola pengembangan dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan antar kawasan dalam Kabupaten Raja
Ampat. Keserasian terutama diarahkan pada pemilahan wilayah aktivitas
utama (sektor kelautan dan perikanan) yang diharapkan menjadi andalan
setiap kawasan. Pola penyerasian antara lain mencakup:
1)
Penyerasian tata ruang pesisir antar kawasan berdasarkan karakteristik
lahan dan sumberdayanya serta prioritas sektor usaha dan komoditas
unggulan di masing-masing kawasan;
2)
Mengembangkan sistem clustering yang mampu mendorong sektor
kelautan dan perikanan pada masing-masing kawasan tumbuh kembang
bersama.
(3) Membangun sarana dan prasarana serta teknologi penunjang secara rasional.
Upaya peningkatan sarana dan prasarana dilakukan secara rasional dengan
mempertimbangkan keterkaitan antara aspek:
1)
Kebutuhan pengembangan usaha sektor kelautan dan perikanan daerah
dan regional;
2)
Kebutuhan masyarakat pemanfaat serta dunia usaha;
3)
Keterbatasan lingkungan dan sumberdaya alam.
(4) Mengembangkan iklim usaha yang lebih mendorong, melindungi dan
memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pengusaha untuk tumbuh
berkembang dalam memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan di wilayah
Kabupaten Raja Ampat. Komponen iklim usaha yang bersifat teknis
utamanya adalah:
121
1) Kepastian hukum dan kejelasan/kesederhanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang kondusif dan tidak membebani ekonomi.
2) Tersedianya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi (investasi
publik maupun swasta).
3) Sistem insentif yang secara efektif dapat merangsang kegairahan ekonomi
di sektor perikanan dan kelautan.
4) Kebijakan makro ekonomi wilayah yang menunjang, khususnya dari segi
ketersediaan dan kemudahan akses permodalan, suku bunga yang relatif
rendah.
5) Bantuan teknik dan subsidi pemerintah untuk program prioritas.
6) Citra aparat pembina/fasilitator yang bersih (good governance).
7) Kebijakan pemasaran untuk membuka akses produk kelautan dan
perikanan Kabupaten Raja Ampat ke pasar, dengan tetap memperhatikan
prinsip-prinsip peningkatan nilai dan penerimaan sektor. Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dalam hal ini antara lain: identifikasi peluang dan
sasaran pemasaran, market intelijen dan promosi produk kelautan dan
perikanan, mengupayakan peningkatan kualitas dan daya saing produk
yang diminati oleh pasar.
(5) Meningkatkan pemberian layanan prima (fasilitasi) kepada pelaku usaha, baik
layanan
administratif
(perijinan/pencatatan/legalisasi/ketetapan
fasilitas/
rekomendasi/informasi kebijakan) maupun layanan bisnis berupa informasi
bisnis yang diperlukan (pasar, peluang usaha, teknologi, permodalan, mitrausaha) serta sistim dan sarana penunjang yang dapat mendinamisasi dan
memajukan daya-saingnya (utamanya dengan mensosialisasikan penggunaan
teknologi informasi yang mutakhir).
(6) Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir, secara
khusus diarahkan pada kemampuan dalam mengembangkan usaha sektor
perikanan dan kelautan secara berkelanjutan, sehingga mampu memenuhi
tingkat kesejahteraannya. Lebih luas lagi, pengembangan kualitas SDM
diarahkan pada penciptaan kondisi yang kondusif terhadap pola kehidupan
masyarakat yang mandiri dan berbasis kerakyatan di semua aspek kehidupan.
122
Sejalan dengan arah kebijakan pembangunan dan pengembangan sektor
kelautan dan perikanan di Kabupaten Raja Ampat yang mengedepankan
keselarasan dan keseimbangan antara aspek ekologi, ekonomi, sosial dan
kelembagaan, maka dalam operasionalisasi kebijakan dibutuhkan kerangka dasar
sebagai berikut:
1) Program dan/atau kegiatan disusun senantiasa mempertimbangkan aspek
keberlanjutan ekologis atau kemampuan sumberdaya pesisir dan laut. Sifat
dinamis sumberdaya pesisir dan laut dan kemampuan lahan merupakan salah
satu faktor pembatas yang perlu diperhatikan, demi keberlanjutan usaha dan
sumberdaya alam yang ada didalamnya.
2) Program dan/atau kegiatan disusun senantiasa mempertimbangkan aspek
keberlanjutan sosial dan kelembagaan, yakni memperhatikan karakter dan
struktur sosial masyarakat pesisir yang cukup unik dan beragam.
Berdasar pada kebijakan pengembangan sektor kelautan dan perikanan
(DKP-KRA 2006), maka sasaran pengembangan kelautan dan perikanan di
Kabupaten Raja Ampat adalah:
1) Peningkatan produksi dan produktivitas usaha kelautan dan perikanan di
Kabupaten Raja Ampat yang berorientasi pada keberlanjutan ekologi,
ekonomi dan sosial.
2) Pengembangan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana kelautan dan
perikanan di wilayah Raja Ampat, baik yang terkait langsung dengan
produksi usaha kelautan dan perikanan, maupun yang terkait dengan upaya
mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir pada umumnya.
3) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang terkait dengan
pengusahaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
4) Pengembangan investasi dan pemasaran produk kelautan dan perikanan,
dengan sasaran utama pada pemanfaatan ruang pesisir dan sumberdaya alam
produktif di masing-masing daerah, industri pengolahan, dan pemasaran
produk dari cluster usaha secara bersama.
5) Kebijakan dan kelembagaan yang mendukung semangat pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan regional wilayah pesisir Kabupaten Raja Ampat
dan mengikis egoisme daerah dan sektoral.
123
5.2.6 Rencana pengembangan untuk pengelolaan terumbu karang
Perumusan rencana strategis pengelolaan terumbu karang di Kabupaten
Raja Ampat dilakukan dengan menggunakan analisis berdasarkan pada faktorfaktor lingkungan strategis yang telah diformulasikan (DKP-KRA 2006), sebagai
berikut:
1) Memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi.
2) Kondisi fisik perairan yang strategis dan cukup terlindung.
3) Kondisi komunitas karang yg masih “sangat baik”.
4) Memiliki kawasan konservasi laut.
5) Pengaruh sedimen dan pencemaran masih relatif kecil,
6) Adanya dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.
7) Masyarakat yang partisipatif.
8) Belum tersedianya informasi daya dukung terumbu karang yang optimal.
9) Keterbatasan informasi teknologi yang efektif dan ramah lingkungan.
10) Keterbatasan sumberdaya manusia profesional untuk mengelola KKLD.
11) Kemampuan keuangan daerah terbatas.
12) Keterbatasan fasilitas infrastruktur.
13) Belum ada model formal untuk pembangunan berciri ekologi khusus.
14) Terumbu karang Raja Ampat telah lama dikenal dunia internasional.
15) Jumlah wisatawan asing cenderung meningkat.
16) Arah pengembangan wisata dunia yang berorientasi pelestarian lingkungan.
17) Dukungan industri pariwisata.
18) Hadirnya NGO asing yang berpartisipasi dalam pengelolaan terumbu karang.
19) Kegiatan destructive fishing dan illegal logging.
20) Pembangunan wilayah pesisir yang tidak terencana.
21) Kerentanan masyarakat terhadap pengaruh yang menjanjikan nilai ekonomi
lebih tinggi walaupun sesaat.
22) Timbulnya konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir
Alternatif-alternatif strategi yang merupakan rumusan rencana strategi
(renstra) pengelolaan terumbu karang Kabupaten Raja Ampat sebagai berikut:
124
1) Penguatan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
2) Meningkatkan partisipasi dan akuntabilitas masyarakat, swasta, dan
pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang.
3)
Melakukan rehabilitasi dan pengaturan kegiatan pemanfaatan
ikan di
kawasan ekosistem terumbu karang dan sekitarnya.
4)
Meningkatkan koordinasi dalam pengelolaan kawasan terumbu karang.
5)
Mengembangkan fasilitas infrastruktur terpadu yang menunjang pengelolaan
terumbu karang.
6)
Meningkatkan kerjasama dalam penyiapan tenaga kerja profesional untuk
mengelola KKLD.
7)
Penguatan sistem monitoring, controlling dan surveillance berbasis
masyarakat.
8)
Penegakan hukum secara terpadu.
9)
Penataan zonasi wilayah pesisir dan laut.
10) Pemantapan kesadaran masyarakat tentang pentingnya terumbu karang bagi
kehidupan.
11) Penguatan regulasi daerah terkait pengelolaan terumbu karang.
12) Pemberdayaan masyarakat pesisir.
13) Reposisi mata pencaharian masyarakat pesisir.
14) Pengembangan teknologi pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang efektif,
efisien dan ramah lingkungan.
Penyerasian koordinasi antar sektor dalam merencanakan pembangunan wilayah
pesisir dan laut.
Download