BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Cialdini, Kenrick

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Cialdini, Kenrick, dan Neuberg (2010), manusia adalah makhluk
sosial yang pada umumnya hidup dengan berkelompok. Sejak dahulu, leluhur kita
telah lama menemukan bahwa peluang mereka untuk bertahan hidup meningkat
secara dramatis ketika mereka mengelompokkan diri dengan orang lain. Dalam
kelompok, mereka lebih mampu berburu, mengumpulkan, dan mengolah
makanan, mereka lebih mampu membangun tempat penampungan, membela diri
mereka sendiri, dan mereka memiliki orang lain untuk merawat mereka ketika
mereka jatuh sakit. Dengan kata lain, manusia membentuk kelompok agar dapat
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah untuk
bertahan hidup. Pola ini masih bertahan sampai sekarang, manusia masih saja
bekerja sama di dalam kelompok dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang pada
akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada banyak domain kehidupan, bekerja
sama di dalam kelompok berpotensi lebih efektif daripada bekerja secara
individual, karena dua alasan sederhana. Pertama, „banyak tangan‟ berarti bahwa
beban pekerjaan dapat didistribusikan ke „tangan-tangan‟ beberapa individu
daripada „dipikul‟ seorang individu. Kedua, orang-orang dalam kelompok dapat
membagi tugas mereka. Dengan beberapa orang dalam sebuah pekerjaan, orang
yang berbeda dapat melakukan tugas yang berbeda dalam waktu yang bersamaan.
Sehingga dengan kelompok, lebih memungkinkan suatu tujuan dapat tercapai
dengan lebih efektif dan efisien (Cialdini, Kenrick & Neuberg, 2010).
Hidup berkelompok seharusnya menguntungkan, namun para peneliti
psikologi sosial telah menyadari bagaimana bekerja di dalam kelompok juga dapat
memicu social loafing, yaitu suatu kondisi di mana individu mengurangi usaha
dan upaya ketika bekerja dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Perilaku
social loafing menjadikan fungsi kelompok sebagai wadah kinerja yang efektif
dan efisien justru menjadi hilang. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bagaimana kelompok yang terdiri atas pelaku
social loafing cenderung menghasilkan luaran atau produk yang lebih buruk
daripada kelompok yang seluruh anggotanya berperan aktif dalam penyelesaian
tugas (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Social loafing melahirkan
konsekuensi negatif yang mempengaruhi tidak hanya kelompok secara
keseluruhan, namun juga bagi individu yang melakukannya. Misalnya, selain
menurunkan kinerja kelompok, pemalasan yang dilakukan oleh pelaku social
loafing membuatnya kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan dan
mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennett, 2003).
Sebagai konsekuensi, pelaku social loafing justru menghambat perkembangan
pribadinya.
Terkait dengan bahaya social loafing, para peneliti telah menemukan
berbagai faktor yang berasosiasi atau menjadi penyebab individu melakukan
social loafing. Pada level individu, yang menjadi faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap social loafing adalah interdependensi tugas, visibilitas tugas, keadilan
prosedural, dan keadilan distributif; dan pada level kelompok adalah ukuran
kelompok, kohesivitas kelompok, dan social loafing yang dilakukan oleh rekan
sekelompok (lihat Liden, Wayne, Jaworski, & Bennet, 2003). Ketika ukuran
kelompok meningkat, anonimitas individu juga meningkat. Peningkatan
anonimitas membuat lebih sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu
Sadar atau tidak sadar, individu dapat menahan usaha ketika mereka melihat
bahwa usaha yang dikeluarkan tidak akan mempengaruhi luaran (output) (Karau
& Williams, 1993). Sejalan dengan ini, berbagai penelitian telah menunjukkan
bagaimana individu dalam kelompok mengurangi usaha seiring dengan
peningkatan jumlah anggota kelompok (Liden, dkk, 2003).
Selain itu, kohesivitas kelompok atau kelekatan antar anggota kelompok
(Mudrack dalam Liden 2003), telah lama dikenal sebagai variabel penting
sehubungan dengan social loafing. Jika individu tidak menyukai anggota yang
lain dan tidak merasa kelekatan yang kuat, mereka lebih mungkin untuk terlibat
dalam social loafing. Social loafing ditemukan hanya terjadi pada kelompokkelompok yang tidak kohesif atau berkohesivitas rendah. Dalam kelompok yang
sangat kohesif, ketika bekerja dalam kelompok anggota akan bekerja keras sama
seperti yang mereka lakukan ketika bekerja secara individual (Karau & Hart
dalam Liden 2003).
Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa riset-riset mengenai sebab
dan akibat social loafing adalah dari sisi social loafer dan kelompok pada
umumnya. Sedangkan berdasarkan eksplorasi lebih lanjut, peneliti melihat bahwa
korban social loafing selain dapat menjadi korban akibat perilaku social loafer,
juga dapat menjadi penyebab social loafing. Dimana bagi pelaku social loafing
hal ini akan menjadi penguat (reinforcement) untuk melakukan perilaku social
loafing di berbagai kesempatan. Sullivan (dalam Erwandi, 2004) menyatakan
bahwa individu yang memiliki kecenderungan kolektivisme merupakan orangorang yang menomorsatukan hubungan dengan sesama daripada kepentingankepentingan pribadi. Individu kolektivis cenderung akan membiarkan terjadinya
social loafing.
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara terhadap beberapa
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sebagai berikut:
…kalau memilih teman satu kelompok dalam mengerjakan tugas
seringan sama teman dekat. Kalau tugasnya mudah, gapapalah
kalo aku yang ngerjain sendiri. Yah, mungkin aku repeti dulu,
tapi aku kerjai juga akhirnya. Namanya juga teman.
(Komunikasi personal, 2013)
…Yaaaa, kan kalau sama teman dekat bisa lebih santai. Kalau
sama teman sendiri kan lebih ditolerir. Kalau aku gak bisa buat
ya bisa dia yang ngerjain. Apalagi dia lebih pintar.
(Komunikasi personal, 2013)
Wawancara di atas menggambarkan bagaimana semakin tinggi keterikatan
seseorang pada hubungan, semakin besar kemungkinan ia bersedia berkorban
demi orang lain (Whitton, Stanley Markman dalam Taylor, Peplau & Sears,
2009). Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang memiliki derajat
keterhubungan dengan orang lain yang tinggi (i.e., kolektivisme tinggi)
merupakan orang-orang yang akan lebih mungkin menerima perilaku social
loafing daripada orang-orang yang lebih merasa dirinya terpisah dari orang lain
(i.e., individualisme tinggi).
Husain (2012) menyatakan bahwa individu pada masyarakat kolektif
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok yang bercirikan
ketergantungan antara anggota kelompok dan pengorbanan kepentingan pribadi
demi kepentingan kelompok. Ini berarti bahwa individu dengan kolektivisme
tinggi cenderung memiliki sikap melayani dan rela berkorban untuk kepentingan
kelompok. Di mana kesuksesan kelompok ditempatkan di atas kesuksesan pribadi.
Oleh karena itu, ketika ada anggota kelompok yang melakukan perilaku (e.g.
social loafing) yang merugikan kelompok, individu tersebut akan rela
memberikan usaha yang lebih untuk menutupi kekurangan usaha yang dilakukan
oleh anggota kelompoknya. Selain itu, ikatan emosional yang kuat antar anggota
kelompok, akan membuat individu rela memberikan pertolongan bagi individu
lain yang melakukan social loafing. Hal tersebut, dilakukannya untuk menjaga
hubungannya dengan anggota kelompok lain.
Namun disisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme
tidak akan membiarkan anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing
(Schnake, 1991). Individu kolektif menjunjung tinggi fungsi kelompok secara
keseluruhan dan seperti yang kita ketahui social loafing merupakan hal yang
mengancam fungsi kelompok secara utuh, yang berdampak terhadap menurunnya
produktivitas kelompok (Karau & Williams, 1993). Selain itu, hubungan yang
terjalin antar anggota kelompok juga akan membuat individu peduli terhadap
anggota kelompoknya. Individu tidak akan membiarkan anggota kelompoknya
yang
merupakan
pelaku
social
loafing
kehilangan
kesempatan
untuk
mengembangkan dirinya dan mengalami penurunan kemampuan terkait dengan
tugas yang dikerjakan (Welter dkk., 2002; Carron, Burke & Prapavessis, 2004).
Kepedulian individu yang menjunjung tinggi kolektivisme terhadap berbagai
konsekuensi social loafing akan membuat individu ini untuk menolak aksi social
loafing di dalam kelompok.
Penolakan terhadap aksi social loafing juga dilakukan oleh individu
dengan derajat individualisme yang tinggi. Ia akan memisahkan diri secara emosi
dari kelompok di mana dirinya bernaung, menempatkan kepentingan pribadi di
atas kepentingan kelompok, perilakunya ditentukan oleh sikap pribadi dan
pertimbangan untung-rugi, dan mampu melakukan konfrontasi dengan hal-hal
yang tidak sesuai dengan tujuannya (Triandis, 1994). Ketika bekerja dalam
kelompok, indvidu ini menginginkan dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga
keberhasilan atau kegagalan kelompok akan dipandang sebagai kegagalan pribadi
(Triandis & Gelfand dalam Chrisnawati, 2007). Sehingga ketika terdapat perilaku
social loafing dalam kelompok akan membuat individu terganggu karena individu
percaya perilaku tersebut akan menurunkan performa kelompok, yang berarti
kegagalan pencapaian prestasinya. Kemampuan melakukan konfrontasi pada
individu ini akan membuatnya mengkonfrontasi anggota kelompok yang
melakukan social loafing, meskipun konfrontasi tersebut beresiko
merusak
hubungannya dengan anggota kelompok yang lain. Bagi individu yang
berorientasi pada dimensi ini, tidak penting untuk membina hubungan dengan
individu lain dan cenderung menjaga jarak dengan individu lain (Chrisnawati,
2007). Oleh karena itu, berdasarkan penalaran ini, individu yang memiliki
orientasi individualisme besar kemungkinan akan menerima perilaku social
loafing yang dilakukan oleh rekan kerjanya.
Namun di sisi lain, individu-individu yang individualis adalah individu
yang tidak peduli dengan anggota kelompok (Piezon & Donaldson, 2005).
Individu tidak akan berusaha untuk mengomentari kontribusi yang dilakukan oleh
anggota kelompok lainnya. Individu hanya akan fokus pada tanggung jawabnya
sendiri dan kepentingan personalnya. Jadi, selama social loafing tidak
berkonsekuensi terhadap pencapaian pribadinya, individu yang individualis akan
membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.
Bahkan, social loafing dapat dipandang oleh individu sebagai sarana untuk
menunjukkan kehebatannya kepada anggota kelompok yang lain dengan cara
menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Sehingga individu kemungkinan
akan menerima perilaku social loafing
yang dilakukan oleh anggota
kelompoknya.
Dari penalaran di atas, dapat disimpulkan bahwa baik individualisme
maupun kolektivisme memiliki peran terhadap terjadinya perilaku social loafing.
Di satu sisi dapat menolak terjadinya perilaku social loafing, namun disisi lain
dapat menerima ataupun membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan
anggota kelompok. Berdasarkan penalaran diatas terlihat bahwa hal ini
disebabkan oleh ke-tolerannya terhadap social loafing itu sendiri.
Chong (1994) mengungkapkan toleransi sebagai kemampuan individu
untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau
tidak disukainya. Konsep toleransi yang diungkapkan oleh Chong tersebut
merupakan konsep yang diambil dari konsep toleransi menurut Allport dalam
bukunya yang berjudul The Nature of Prejudice (1958). Menurut Allport, toleransi
tidak berlaku untuk hal-hal yang tidak disukai saja tetapi tepat juga untuk
berbicara tentang toleransi terhadap sesuatu yang kita sukai (dalam Chong 1994).
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia istilah toleran atau toleransi adalah
sikap membiarkan atau membolehkan pandangan, kelakuan dan sebagainya yang
lain atau bertentangan dengan pendirian individu (Prawira, 2006). Adapun dalam
penelitian ini, toleran yang diberikan adalah terhadap
social loafing.
Menggabungkan definisi toleransi dengan social loafing, peneliti menyebutkan
bahwa toleransi social loafing adalah sikap individu untuk menerima atau
membolehkan perilaku social loafing yang dilakukan anggota kelompok.
Toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Dalam
kamus Oxford Learner's Pocket Dictionary, perilaku permissive adalah sikap
untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku. Dalam literatur
psikologi sikap permissive sering dikaitkan dengan pola asuh yang terjadi dalam
keluarga. Baumrid menjelaskan bahwa sikap permissive dalam pola asuh sebagai
pola asuh yang cenderung memiliki kontrol yang sedikit terhadap perilaku anak,
dan membiarkan anak melakukan apa saja (Santrock, 2002). Jadi pada dasarnya,
permissive adalah sikap untuk membiarkan ataupun menyetujui perilaku yang
dilakukan oleh individu lain. Dikaitkan dengan penelitian ini, pembiaran atau
pembolehan perilaku social loafing yang merupakan bagian dari toleransi dapat
juga diartikan sebagai permissive terhadap perilaku social loafing yang dilakukan
oleh anggota kelompoknya. Toleransi ini penting untuk diteliti karena toleransi
yang tinggi terhadap perilaku social loafing memungkinkan kesempatan yang
lebih besar bagi para pelaku social loafing untuk mempertahankan perilakunya
diberbagai kesempatan.
Dalam penelitian ini dengan pendekatan korelasional, peneliti berupaya
untuk melihat bagaimana peran orientasi individualisme kolektivisme terhadap
toleransi social loafing. Adapun alasan utama penelahaan aspek budaya ini
peneliti
lakukan
berdasarkan
asumsi
bahwa
individualisme-kolektivisme
merupakan dimensi budaya yang mempengaruhi bagaimana individu bekerja dan
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok (Hofstede & Hofstede, 2005).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah hubungan antara
individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara
individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan
sumbangan yang berarti terhadap kemajuan ilmu pengetahuan terutama yang
termuat dalam ruang lingkup masalah, khususnya di bidang Psikologi Sosial
yang menyangkut hubungan antara individualisme kolektivisme dengan
toleransi social loafing.
2. Manfaat Praktis
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
mahasiswa dan pihak-pihak yang terkait tentang hubungan antara
individualisme kolektivisme dengan toleransi terhadap social loafing.
Diharapkan individu dapat menyesuaikan diri ketika bekerja dalam
kelompok sesuai dengan derajat individualisme kolektivisme
yang
dimilikinya.
2. Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat memberikan
pemahaman kepada para akademisi lainnya bahwa masalah toleransi
social loafing adalah masalah yang penting untuk diperhatikan sehingga
dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai toleransi social
loafing dan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi
penting untuk penelitian selanjutnya.
E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas
beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, urgensi penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sitematika
penulisan.
Bab II: Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari social loafing, toleransi
social
loafing,
individualisme
kolektivisme
dan
hubungan
antara
individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi
operasional, subjek penelitian, alat ukur
yang digunakan, metode
pengambilan sampel, dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan
interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari
penelitian itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data,
dan berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian
yang telah diperoleh berdasarkan teori-teori individualisme kolektivisme dan
teori-teori toleransi social loafing, maupun teori lain yang mendukung. Selain
itu bagian ini juga memberikan saran-saran praktis sesuai dengan hasil
penelitian dan interpretasi data penelitian, serta memberikan inspirasi pada
peneliti-peneliti lain.
Download