1 PENDAHULUAN Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting bagi Indonesia, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi, serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Hasil devisa yang diperoleh dari karet cukup besar, mencapai US$ 4,868.75 juta pada tahun 2007 (BPS 2009). Produktivitas karet alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 5.9% dari tahun 1998-2007 (BPS 2009). Peningkatan produktivitas karet harus terus dilakukan karena permintaan produk karet sebagai bahan baku industri juga mengalami peningkatan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi karet alam yaitu memperluas areal perkebunan karet. Namun, usaha perluasan areal perkebunan karet dihadapkan pada satu permasalahan, yaitu terbatasnya lahan yang sesuai untuk budidaya karet. Permasalahan ini dapat diatasi dengan cara memberdayakan lahan-lahan marjinal yang ada di Indonesia. Lahan marjinal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu (Yuwono 2009). Salah satu lahan marjinal yang dapat dimanfaatkan yaitu lahan kering. Luas lahan kering yang ada di Indonesia mencapai 140 juta ha (Hidayat & Mulyani 2002), yang berpotensi digunakan untuk perluasan wilayah perkebunan karet. Faktor pembatas pengusahaan lahan kering berkaitan dengan sifat fisik dan kimia tanah yang kurang baik, solum dangkal, curah hujan rendah, dan distribusi hujan yang tidak merata. Lahan kering mempunyai struktur tanah padat dan lapisan tanah atas (top soil) serta lapisan bawah (sub soil) memiliki kelembaban yang rendah. Sirkulasi udara pada lahan kering agak terhambat dan kemampuan menyimpan air relatif rendah (Rukmana 1995). Adanya faktor pembatas di lahan kering mengharuskan pembudidaya karet melakukan seleksi terhadap klon-klon karet yang tahan kekeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan seleksi relatif lama, antara 15-25 tahun, oleh karena itu diperlukan suatu metode seleksi yang lebih cepat dan akurat. Proses seleksi terhadap cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan teknik molekuler dan dipadukan dengan data morfologi. Penggabungan teknik ini biasa dikenal dengan marker assisted selection (MAS). Keuntungan penggunaan marka molekuler yaitu stabil, tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan relatif mudah (Meksem & Kahl 2005). Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis berkaitan dengan perubahan aktivitas metabolisme yang antara lain ditunjukkan oleh perubahan akumulasi prolina pada daun (Bates et al. 1973). Prolina diduga terlibat dalam osmoregulasi, menjaga kelarutan protein, kestabilan membran fosfolipid dan juga sebagai sumber cadangan karbon, nitrogen dan energi (Walton et al. 1998). Marka molekuler yang diperlukan untuk seleksi tanaman karet resisten kekeringan dapat diperoleh dengan cara mengisolasi gen P5CS (pirolin-5-karboksilat sintetase). Gen P5CS adalah gen yang menyandi enzim Δ1pirolin-5-karboksilat sintetase. Enzim ini berperan pada proses konversi glutamat menjadi Δ1-pirolin-5-karboksilat yang kemudian direduksi menjadi prolina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen P5CS merupakan penyandi enzim yang menjadi faktor pembatas dalam biosintesis prolina pada tanaman tingkat tinggi (Hu et al. 1992). Penelitian ini bertujuan mengisolasi gen P5CS, yang merupakan kandidat gen penanda sifat resisten kekeringan sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan marka molekuler. Hipotesis penelitian ini yaitu gen P5CS dapat diisolasi dari tanaman karet dengan menggunakan primer spesifik. Gen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kandidat marka molekuler yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan seleksi klon karet yang tahan kekeringan dengan waktu yang relatif singkat. TINJAUAN PUSTAKA Karet (Hevea brasiliensis) Karet dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda dan hanya digunakan sebagai tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor. Karet mulai diusahakan sebagai tanaman perkebunan pada tahun 1864. Usaha perkebunan karet pertama dilakukan di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat, dengan karet rambung (Ficus elastica) sebagai komoditasnya. Jenis Hevea (Hevea brasiliensis) mulai digunakan sebagai tanaman perkebunan pada tahun 1902. Tinggi pohon karet mencapai 15-25 meter, batang tanaman tumbuh lurus dan punya percabangan yang tinggi di bagian atas (Tim Penulis PS 2008), seperti terlihat pada Gambar 1. Berikut ini merupakan taksonomi tanaman karet: 2 Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Hevea : Hevea brasiliensis Gambar 1 Tanaman karet. Daun karet berwarna hijau dan terdiri atas tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Tangkai daun utama mempunyai panjang 3-20 cm, sedangkan tangkai anak daun mempunyai panjang 3-10 cm. Daun karet mempunyai tiga anak daun pada setiap helainya. Bunga karet terdiri atas bunga jantan dan bunga betina yang terdapat dalam malai payung tambahan. Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng dengan panjang tenda antara 4 dan 8 mm (Webster & Baulkwill 1989). Pertumbuhan karet dipengaruhi oleh lingkungan yang digunakan untuk membudidayakan tanaman ini. Karet sangat baik diusahakan di zona antara 15° LS dan 15° LU. Curah hujan optimum agar karet mempunyai produktivitas yang tinggi yaitu 2500-4000 mm per tahun dengan 100-150 hari hujan. Dataran rendah yang mempuyai ketinggian sampai 200 m di atas permukaan laut dengan suhu 25-35°C merupakan daerah yang cocok untuk budi daya karet (Setyamidjaja 1993). Tanaman karet mempunyai struktur anatomi seperti tanaman dikotil yang lain. Secara umum jaringan kulit karet tersusun oleh sel-sel parenkimatis yang di antaranya terdapat jaringan pengangkut xilem dan floem yang dipisahkan oleh kambium. Batang dan kulit merupakan wadah dari produksi tanaman karet, tempat segala proses asimilasi yang terjadi di daun ditransfer ke dalam tubuh pohon untuk memproduksi lateks. Terbentuknya lateks di dalam batang berhubungan dengan besarnya pertumbuhan pohon (Indraty 1987). Penampang melintang batang pohon karet memperlihatkan bagian tengah sampai lapisan terluar terdiri atas bagian kayu, kambium, kulit lunak, kulit keras, dan akhirnya lapisan gabus. Kulit lunak mempunyai suatu deretan pembuluh tapis yang vertikal yang mengandung karbohidrat hasil fotosintesis (Ginting 1983). Jumlah pembuluh lateks akan semakin banyak pada daerah yang mendekati kambium. Sistem pembuluh lateks merupakan suatu bejana berbentuk pipa-pipa kapiler (anastomisis), yang saling berhubungan di dalam keseluruhan pohon atau tubuh tanaman (Setyamidjaja 1983). Jumlah dan susunan pembuluh lateks bervariasi di antara klon, bahkan dari pohon ke pohon. Hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman, posisi kulit, tebal kulit, jenis pohon dan pertumbuhan batang tanaman (Lukman 1984). Karet sebagai tanaman penghasil getah karet terus dikembangkan untuk menghasilkan klon-klon unggul. Klon adalah tanaman yang diperoleh dari hasil perbanyakan secara vegetatif atau aseksual (Tim Penulis PS 2008). Kelebihan tanaman klon yaitu lebih seragam, umur produksi lebih cepat, dan jumlah lateks yang dihasilkan lebih banyak. Tanaman klon juga memiliki kekurangan, di antaranya daya tahan klon terhadap suatu penyakit berbeda-beda, bergantung pada jenis klon. Pertumbuhan tanaman klon sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga klon tertentu hanya dapat ditanam pada tempat yang tertentu juga (Tim Penulis PS 2008). Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan merupakan keadaan lingkungan yang menyebabkan kekurangan air bagi tanaman. Peristiwa ini dapat terjadi akibat kekurangan air di daerah perakaran atau akibat laju evaporasi lebih tinggi dibandingkan dengan laju absorbsi air (Sinaga 2007). Cekaman kekeringan dapat mengakibatkan penurunan yang nyata pada pertumbuhan dan karakter vegetatif tanaman yang berada dalam masa pertumbuhan aktif. Selain itu, cekaman kekeringan juga dapat berakibat pada penurunan daya serap tanaman terhadap unsur hara, yaitu nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium (Widyatmoko 2005), penurunan protein pada daun (Mathius et al. 2004) dan bobot kering total tanaman (Hamim et al. 1996). Secara fisiologis, tanaman yang tumbuh pada kondisi cekaman kekeringan akan mengurangi jumlah stomata sehingga laju fotosintesis mengalami penurunan (Sasli 2004). Respon tanaman terhadap kekeringan dimulai dengan diterimanya signal-signal stres 3 yang mampu menginisiasi siklus-siklus transduksi dalam tanaman yang menyebabkan berbagai perubahan fisiologi. Pada saat kekeringan, akan terjadi perubahan metabolisme dalam akar tanaman yang menghasilkan signal-signal biokimia pada tunas. Salah satu mekanisme alami yang melindungi sel-sel tanaman dari ancaman kekeringan, salinitas, suhu rendah dan faktor stres lainnya adalah akumulasi asam amino dan amida, serta gula yang berperan dalam meningkatkan tekanan osmotik sel (Bohnert et al. 1995). Beberapa penelitian menunjukkan ketahanan terhadap cekaman kekeringan berhubungan dengan peningkatan kandungan prolina yang berperan penting dalam menjaga pertumbuhan akar pada potensial osmotik air yang rendah. Prolina merupakan salah satu senyawa osmotik yang disintesis dan diakumulasi pada berbagai jaringan tanaman yang dicekam kekeringan, terutama pada bagian daun (Yang & Kao 1999). Prolina diduga terlibat dalam osmoregulasi, menjaga kelarutan protein, kestabilan membran fosfolipid, dan juga sebagai sumber cadangan karbon, nitrogen dan energi (Walton et al. 1998). Prolina juga berperan menetralisir pengaruh toksik NH, yang merupakan hasil hidrolisis protein sebagai sumber energi dan sumber N bagi pemulihan proses tanaman pasca cekaman kekeringan (Levitt 1980). Delauney dan Verna (1993) menyatakan bahwa ditemukan indikasi korelasi positif antara akumulasi prolina dan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan dan garam positif. Sejumlah peneliti menyatakan bahwa prolina dapat dipertimbangkan sebagai indikator seleksi menyangkut adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan, terutama cekaman kekeringan dan salinitas (Kuznetsov & Shevyakova 1997; Yoshiba et al. 1997). Salah satu gen yang berperan dalam stres kekeringan yaitu pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS). Ekspresi berlebihan gen Δ1pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) dari Vigna aconitifolia meningkatkan ketahanan terhadap stres osmotik pada tembakau (Kavi et al. 1995; Hong et al. 2000 dalam Jaiwal & Singh 2003). Zhu et al. (1998) memasukkan cDNA Δ1-pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) dari mothbean ke dalam sel padi dengan menggunakan metode biolistik. Padi yang dihasilkan menunjukkan adanya peningkatan produk gen P5CS, yaitu enzim P5CS dan akumulasi prolina. Prolina dianggap sebagai senyawa yang menyebabkan tanaman tahan terhadap kekeringan. Prolina akan terakumulasi di dalam jaringan tanaman apabila tanaman tersebut mengalami cekaman kekeringan atau pada keadaan cekaman salinitas tinggi. Menurut Widyasari & Sugiyarta (1997), dalam keadaan normal prolina yang dihasilkan bersifat umpan balik dan karena kehadiran air, prolina akan dioksidasi kembali menjadi asam glutamat. Konsentrasi prolina akan selalu rendah dalam kondisi normal. Pada kondisi kekeringan oksidasi prolina akan dihambat sehingga produksi prolina akan bertambah dan dengan adanya gen P5CS produksi prolina semakin meningkat karena enzim P5CS memicu katalisis glutamat menjadi prolina. Akumulasi prolina dapat menjadi indikator tanaman yang toleran terhadap kekeringan dan salinitas tinggi. Plasmid sebagai Vektor Kloning Kloning bertujuan memperbanyak dan mengisolasi DNA yang disisipkan pada DNA vektor. DNA disambungkan pada DNA plasmid dan molekul kimeriknya ditransformasikan ke dalam inang, seperti E.coli. Plasmid melakukan replikasi dalam inang sewaktu inang tumbuh dan membelah, dan potongan DNA yang diinginkan terklonkan (Russel 1980, diacu dalam Sardjoko 1991). Kloning gen untuk mendapatkan klon tertentu dalam jumlah banyak pada prinsipnya berguna untuk mempermudah pengujian, modifikasi dan pemanfaatan gen tersebut. Tahapan kloning (Gambar 2) diawali dengan cara mempersiapkan DNA target melalui proses pemotongan dengan enzim endonuklease restriksi. Fragmen untai tunggal yang pendek pada ujung yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi diligasi ke dalam vektor yang mengandung situs ORI (origin of replication). DNA rekombinan kemudian ditransfer ke dalam sel inang (bakteri atau khamir). DNA ini mampu bereplikasi tanpa bergantung pada DNA genom bakteri atau khamir. Sel inang yang berhasil ditransformasi kemudian ditumbuhkan ke dalam media selektif (Passarge 2007). Plasmid adalah molekul DNA utas ganda sirkuler (tidak berujung) yang berukuran kecil yang terdapat di dalam sitoplasma dan dapat melakukan replikasi secara autonom (Suharsono & Widyastuti 2006). Plasmid berukuran hingga lebih dari 500 pb. Plasmid mempunyai kemampuan untuk melakukan transfer plasmid dengan cara konjugasi (plasmid F), menyandi ketahanan terhadap antibiotik (plasmid R), atau membawa satu set 4 gen yang menyandikan metabolit sekunder yang tidak biasa (plasmid degradatif) (Glick & Pasternak 2003). Plasmid yang berupa DNA berutas ganda dan berbentuk sirkular merupakan DNA ekstrakromosom yang dikenal pada bakteri. Plasmid memiliki dua sifat istimewa yang bermanfaat dalam manipulasi genetik. Plasmid pada umumnya tidak diperlukan dalam pertumbuhan sel sehingga pada keadaan tertentu dapat keluar masuk tanpa membahayakan sel tersebut. Gen asing dapat bersatu dengan plasmid secara mudah dan diangkut ke dalam E.coli dan menjadi bagian genom sel inang (Lehninger 1994). Semua plasmid memiliki paling sedikit satu urutan (rangkaian) DNA yang dapat bertindak sebagai asal replikasi sehingga plasmid itu dapat memperbanyak diri di dalam sel tanpa bergantung pada kromosom bakteri (Brown 1991). Secara umum plasmid yang baik untuk digunakan dalam teknologi DNA rekombinan yaitu mempunyai berat molekul rendah, mempunyai kemampuan mengekspresikan gen yang dibawanya dari inang, hanya mempunyai sisi pemotong tunggal untuk kebanyakan endonuklease restriksi dan mempunyai dua atau lebih penanda (marker) (Primose & Old 1989). Marka seleki yang umum digunakan adalah gen resistensi terhadap ampisilin dan tetrasiklin. Gen resistensi ampisilin menyandi enzim beta laktamase yang dapat memecah molekul ampisilin sehingga sel inang yang membawa plasmid dapat tumbuh dalam media yang mengandung ampisilin. Gen resistensi tetrasiklin menyandi protein yang memompa molekul tetrasiklin sehingga meniadakan efek toksik tetrasiklin (Brown 1991). Plasmid pGEM-T easy merupakan vektor yang biasa dimanfaatkan untuk kloning produk PCR. Plasmid pGEM-T easy mengandung gen resistensi terhadap antibiotika ampisilin. Vektor pGEM-T easy mengandung gen lacZ yang menyandi βgalaktosidase yang akan mengubah X-Gal (5bromo-4- kloro-3- indolil-β- D-galaktosidase) dari tidak berwarna menjadi biru. Gen lacZ yang diinduksi oleh molekul DNA lain maka lacZ ini tidak dapat mengubah X-Gal menjadi berwarna biru. Plasmid pGEM-T easy berukuran 3015 pb dan mengandung MCS (multiple cloning sites). Daerah restriksi ini memungkinkan lepasnya insert/sisipan DNA melalui digesti dengan enzim restriksi tunggal, misalnya EcoRI, BstZI, dan NotI. DNA asing fragmen yang akan disisipkan gen penyandi antibiotik EcoRI EcoRI EcoRI EcoRI EcoRI ujung lengket hibridisasi + DNA ligase DNA rekombinan DNA tersisip kromosom sel bakteri bakteri dalam media + antibiotik kloning hanya bakteri yang mengandung DNA rekombinan kultur pemurnian DNA klon Gambar 2 Tahapan kloning. 5 Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi rantai polimerase merupakan metode untuk memperbanyak fragmen DNA yang menjadi sasaran secara in vitro menggunakan instrumen PCR. Teknik PCR merupakan sarana yang sensitif, selektif, dan sangat cepat untuk memperbanyak fragmen DNA yang diinginkan. Spesifisitas reaksi ini berdasarkan pada penggunaan dua primer oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan dan mengapit rangkaian sasaran (Murray et al. 2003). Komponen yang diperlukan dalam proses PCR yaitu DNA cetakan (template), primer, enzim Taq polimerase, dan deoksinukleotida trifosfat (dNTPs). Sampel target yang digunakan adalah DNA cetakan dari suatu organisme yang akan diamplifikasi melalui teknik PCR. Molekul DNA cetakan yang akan diamplifikasi tidak harus mempunyai konsentrasi tinggi karena jumlah yang dibutuhkan dalam proses PCR sangat sedikit, antara 10-100 ng untuk setiap reaksinya (Innis & Gelfand 1990). DNA cetakan tersebut harus mengandung daerah dan fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Primer adalah untai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida, umumnya 1025 nukleotida (oligonukleotida). Primer berperan sebagai pemula pada proses sintesis menggunakan PCR. Primer akan menempel pada DNA target dan membentuk rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan serta mengapit rangkaian sasaran (DNA cetakan). Konsentrasi primer untuk proses PCR menurut William et al. (1990) berkisar antara 0.1-0.5 μM. Deoksinukleotida trifosfat (dNTPs) merupakan suatu nukleotida yang diperlukan dalam proses PCR agar enzim Taq polimerase dapat membentuk kompleks rantai baru (Innis & Gellfand 1990). Kandungan dNTPs adalah deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksisistidin trifosfat (dCTP), deoksiguanin trifosfat (dGTP), dan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Deoksinukleotida trifosfat (dNTPs) akan dihubungkan terhadap primer melalui ikatan kovalen, yaitu gugus hidroksil bebas (OH) dari primer berikatan dengan gugus fosfat dari dNTPs. Enzim Taq polimerase berperan dalam proses polimerisasi atau pemanjangan utas DNA baru. Enzim ini bersifat termostabil dan diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus. Aktivitas polimerisasi DNAnya dimulai dari ujung 5’ hingga ujung 3’ dan aktivitas enzimatiknya memiliki waktu paruh sekitar 40 menit pada suhu 95ºC. Konsentrasi Taq DNA polimerase yang digunakan biasanya berkisar antara 0.5-2.5 unit untuk setiap reaksinya (Innis & Gelfand 1990). Aktivitas enzim Taq polimerase dipengaruhi oleh nilai pH. Nilai pH optimum dari enzim ini adalah 8.3. Kondisi optimum Taq polimerase dapat dicapai dengan menggunakan bufer yang sesuai. Aktivitas enzim Taq polimerase juga ditentukan oleh konsentrasi ion Mg2+ karena ion ini merupakan kofaktor bagi Taq polimerase dan biasanya terdapat dalam larutan bufer pada beberapa jenis kit. Ion Mg2+ yang optimum untuk PCR adalah 1.5 mM. Konsentrasi Mg2+ yang lebih tinggi dari 2.0 mM akan menjadi inhibitor dan menyebabkan penempelan primer terganggu serta akan menghasilkan pita-pita yang kompleks dalam elektroforesis (William et al. 2003). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga DNA yang beruntai ganda akan terpisah menjadi rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55ºC sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk ikatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72ºC selama 1.5 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA yang terbentuk akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada isolasi DNA yaitu sampel daun tanaman karet, polivinil-pirolidon (PVP), nitrogen cair, βmerkaptoetanol, N-cetyl-N,N,N-trimetilamonium bromida (CTAB) 10%, bufer TrisHCl 1 M pH 8, ethylenediamine tetraasetate acid (EDTA) 0.5 M pH 8, CH3COONa 3 M