Isolasi dan kloning gen p5cs

advertisement
1
PENDAHULUAN
Karet merupakan salah satu komoditi
perkebunan penting bagi Indonesia, baik
sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja
dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi,
serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya
hayati. Hasil devisa yang diperoleh dari karet
cukup besar, mencapai US$ 4,868.75 juta
pada tahun 2007 (BPS 2009).
Produktivitas karet alam Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 5.9% dari
tahun 1998-2007 (BPS 2009). Peningkatan
produktivitas karet harus terus dilakukan
karena permintaan produk karet sebagai bahan
baku industri juga mengalami peningkatan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan
produksi karet alam yaitu memperluas areal
perkebunan karet. Namun, usaha perluasan
areal perkebunan karet dihadapkan pada satu
permasalahan, yaitu terbatasnya lahan yang
sesuai untuk budidaya karet. Permasalahan ini
dapat diatasi dengan cara memberdayakan
lahan-lahan marjinal yang ada di Indonesia.
Lahan marjinal dapat diartikan sebagai lahan
yang memiliki mutu rendah karena memiliki
beberapa faktor pembatas jika digunakan
untuk suatu keperluan tertentu (Yuwono
2009). Salah satu lahan marjinal yang dapat
dimanfaatkan yaitu lahan kering. Luas lahan
kering yang ada di Indonesia mencapai 140
juta ha (Hidayat & Mulyani 2002), yang
berpotensi digunakan untuk perluasan wilayah
perkebunan karet.
Faktor pembatas pengusahaan lahan
kering berkaitan dengan sifat fisik dan kimia
tanah yang kurang baik, solum dangkal, curah
hujan rendah, dan distribusi hujan yang tidak
merata. Lahan kering mempunyai struktur
tanah padat dan lapisan tanah atas (top soil)
serta lapisan bawah (sub soil) memiliki
kelembaban yang rendah. Sirkulasi udara pada
lahan kering agak terhambat dan kemampuan
menyimpan air relatif rendah (Rukmana
1995).
Adanya faktor pembatas di lahan kering
mengharuskan pembudidaya karet melakukan
seleksi terhadap klon-klon karet yang tahan
kekeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan seleksi relatif lama, antara 15-25
tahun, oleh karena itu diperlukan suatu
metode seleksi yang lebih cepat dan akurat.
Proses seleksi terhadap cekaman kekeringan
dapat dilakukan dengan teknik molekuler dan
dipadukan
dengan
data
morfologi.
Penggabungan teknik ini biasa dikenal dengan
marker assisted selection (MAS). Keuntungan
penggunaan marka molekuler yaitu stabil,
tidak dipengaruhi oleh lingkungan, dan relatif
mudah (Meksem & Kahl 2005).
Toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan secara fisiologis berkaitan dengan
perubahan aktivitas metabolisme yang antara
lain ditunjukkan oleh perubahan akumulasi
prolina pada daun (Bates et al. 1973). Prolina
diduga terlibat dalam osmoregulasi, menjaga
kelarutan protein, kestabilan membran
fosfolipid dan juga sebagai sumber cadangan
karbon, nitrogen dan energi (Walton et al.
1998).
Marka molekuler yang diperlukan untuk
seleksi tanaman karet resisten kekeringan
dapat diperoleh dengan cara mengisolasi gen
P5CS (pirolin-5-karboksilat sintetase). Gen
P5CS adalah gen yang menyandi enzim Δ1pirolin-5-karboksilat sintetase. Enzim ini
berperan pada proses konversi glutamat
menjadi
Δ1-pirolin-5-karboksilat
yang
kemudian direduksi menjadi prolina. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gen P5CS
merupakan penyandi enzim yang menjadi
faktor pembatas dalam biosintesis prolina
pada tanaman tingkat tinggi (Hu et al. 1992).
Penelitian ini bertujuan mengisolasi gen
P5CS, yang merupakan kandidat gen penanda
sifat resisten kekeringan sehingga dapat
digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan
marka molekuler. Hipotesis penelitian ini
yaitu gen P5CS dapat diisolasi dari tanaman
karet dengan menggunakan primer spesifik.
Gen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
kandidat marka molekuler yang dapat
dimanfaatkan untuk melakukan seleksi klon
karet yang tahan kekeringan dengan waktu
yang relatif singkat.
TINJAUAN PUSTAKA
Karet (Hevea brasiliensis)
Karet dikenal di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda dan hanya digunakan
sebagai tanaman koleksi di Kebun Raya
Bogor. Karet mulai diusahakan sebagai
tanaman perkebunan pada tahun 1864. Usaha
perkebunan karet pertama dilakukan di daerah
Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat, dengan
karet rambung (Ficus elastica) sebagai
komoditasnya.
Jenis
Hevea
(Hevea
brasiliensis) mulai digunakan sebagai
tanaman perkebunan pada tahun 1902. Tinggi
pohon karet mencapai 15-25 meter, batang
tanaman tumbuh lurus dan punya percabangan
yang tinggi di bagian atas (Tim Penulis PS
2008), seperti terlihat pada Gambar 1. Berikut
ini merupakan taksonomi tanaman karet:
2
Divisi
Subdivisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledonae
: Euphorbiales
: Euphorbiaceae
: Hevea
: Hevea brasiliensis
Gambar 1 Tanaman karet.
Daun karet berwarna hijau dan terdiri atas
tangkai daun utama dan tangkai anak daun.
Tangkai daun utama mempunyai panjang 3-20
cm, sedangkan tangkai anak daun mempunyai
panjang 3-10 cm. Daun karet mempunyai tiga
anak daun pada setiap helainya. Bunga karet
terdiri atas bunga jantan dan bunga betina
yang terdapat dalam malai payung tambahan.
Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng
dengan panjang tenda antara 4 dan 8 mm
(Webster & Baulkwill 1989).
Pertumbuhan karet dipengaruhi oleh
lingkungan
yang
digunakan
untuk
membudidayakan tanaman ini. Karet sangat
baik diusahakan di zona antara 15° LS dan
15° LU. Curah hujan optimum agar karet
mempunyai produktivitas yang tinggi yaitu
2500-4000 mm per tahun dengan 100-150 hari
hujan. Dataran rendah yang mempuyai
ketinggian sampai 200 m di atas permukaan
laut dengan suhu 25-35°C merupakan daerah
yang cocok untuk budi daya karet
(Setyamidjaja 1993).
Tanaman karet mempunyai struktur
anatomi seperti tanaman dikotil yang lain.
Secara umum jaringan kulit karet tersusun
oleh sel-sel parenkimatis yang di antaranya
terdapat jaringan pengangkut xilem dan floem
yang dipisahkan oleh kambium. Batang dan
kulit merupakan wadah dari produksi tanaman
karet, tempat segala proses asimilasi yang
terjadi di daun ditransfer ke dalam tubuh
pohon
untuk
memproduksi
lateks.
Terbentuknya lateks di dalam batang
berhubungan dengan besarnya pertumbuhan
pohon (Indraty 1987). Penampang melintang
batang pohon karet memperlihatkan bagian
tengah sampai lapisan terluar terdiri atas
bagian kayu, kambium, kulit lunak, kulit
keras, dan akhirnya lapisan gabus. Kulit lunak
mempunyai suatu deretan pembuluh tapis
yang vertikal yang mengandung karbohidrat
hasil fotosintesis (Ginting 1983).
Jumlah pembuluh lateks akan semakin
banyak pada daerah yang mendekati
kambium. Sistem pembuluh lateks merupakan
suatu bejana berbentuk pipa-pipa kapiler
(anastomisis), yang saling berhubungan di
dalam keseluruhan pohon atau tubuh tanaman
(Setyamidjaja 1983). Jumlah dan susunan
pembuluh lateks bervariasi di antara klon,
bahkan dari pohon ke pohon. Hal ini
dipengaruhi oleh umur tanaman, posisi kulit,
tebal kulit, jenis pohon dan pertumbuhan
batang tanaman (Lukman 1984).
Karet sebagai tanaman penghasil getah
karet terus dikembangkan untuk menghasilkan
klon-klon unggul. Klon adalah tanaman yang
diperoleh dari hasil perbanyakan secara
vegetatif atau aseksual (Tim Penulis PS
2008). Kelebihan tanaman klon yaitu lebih
seragam, umur produksi lebih cepat, dan
jumlah lateks yang dihasilkan lebih banyak.
Tanaman klon juga memiliki kekurangan, di
antaranya daya tahan klon terhadap suatu
penyakit berbeda-beda, bergantung pada jenis
klon. Pertumbuhan tanaman klon sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga klon
tertentu hanya dapat ditanam pada tempat
yang tertentu juga (Tim Penulis PS 2008).
Respon Tanaman terhadap Cekaman
Kekeringan
Cekaman kekeringan merupakan keadaan
lingkungan yang menyebabkan kekurangan
air bagi tanaman. Peristiwa ini dapat terjadi
akibat kekurangan air di daerah perakaran
atau akibat laju evaporasi lebih tinggi
dibandingkan dengan laju absorbsi air (Sinaga
2007).
Cekaman
kekeringan
dapat
mengakibatkan penurunan yang nyata pada
pertumbuhan dan karakter vegetatif tanaman
yang berada dalam masa pertumbuhan aktif.
Selain itu, cekaman kekeringan juga dapat
berakibat pada penurunan daya serap tanaman
terhadap unsur hara, yaitu nitrogen, fosfor,
kalium,
kalsium,
dan
magnesium
(Widyatmoko 2005), penurunan protein pada
daun (Mathius et al. 2004) dan bobot kering
total tanaman (Hamim et al. 1996). Secara
fisiologis, tanaman yang tumbuh pada kondisi
cekaman kekeringan akan mengurangi jumlah
stomata sehingga laju fotosintesis mengalami
penurunan (Sasli 2004).
Respon tanaman terhadap kekeringan
dimulai dengan diterimanya signal-signal stres
3
yang mampu menginisiasi siklus-siklus
transduksi dalam tanaman yang menyebabkan
berbagai perubahan fisiologi. Pada saat
kekeringan,
akan
terjadi
perubahan
metabolisme dalam akar tanaman yang
menghasilkan signal-signal biokimia pada
tunas. Salah satu mekanisme alami yang
melindungi sel-sel tanaman dari ancaman
kekeringan, salinitas, suhu rendah dan faktor
stres lainnya adalah akumulasi asam amino
dan amida, serta gula yang berperan dalam
meningkatkan tekanan osmotik sel (Bohnert et
al. 1995). Beberapa penelitian menunjukkan
ketahanan terhadap cekaman kekeringan
berhubungan dengan peningkatan kandungan
prolina yang berperan penting dalam menjaga
pertumbuhan akar pada potensial osmotik air
yang rendah.
Prolina merupakan salah satu senyawa
osmotik yang disintesis dan diakumulasi pada
berbagai jaringan tanaman yang dicekam
kekeringan, terutama pada bagian daun (Yang
& Kao 1999). Prolina diduga terlibat dalam
osmoregulasi, menjaga kelarutan protein,
kestabilan membran fosfolipid, dan juga
sebagai sumber cadangan karbon, nitrogen
dan energi (Walton et al. 1998). Prolina juga
berperan menetralisir pengaruh toksik NH,
yang merupakan hasil hidrolisis protein
sebagai sumber energi dan sumber N bagi
pemulihan proses tanaman pasca cekaman
kekeringan (Levitt 1980). Delauney dan
Verna (1993) menyatakan bahwa ditemukan
indikasi korelasi positif antara akumulasi
prolina dan adaptasi tanaman terhadap
cekaman kekeringan dan garam positif.
Sejumlah peneliti menyatakan bahwa prolina
dapat dipertimbangkan
sebagai indikator
seleksi menyangkut adaptasi tanaman
terhadap cekaman lingkungan, terutama
cekaman kekeringan dan salinitas (Kuznetsov
& Shevyakova 1997; Yoshiba et al. 1997).
Salah satu gen yang berperan dalam stres
kekeringan
yaitu
pirolin-5-karboksilat
sintetase (P5CS). Ekspresi berlebihan gen Δ1pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) dari
Vigna aconitifolia meningkatkan ketahanan
terhadap stres osmotik pada tembakau (Kavi
et al. 1995; Hong et al. 2000 dalam Jaiwal &
Singh 2003). Zhu et al. (1998) memasukkan
cDNA
Δ1-pirolin-5-karboksilat
sintetase
(P5CS) dari mothbean ke dalam sel padi
dengan menggunakan metode biolistik. Padi
yang dihasilkan menunjukkan adanya
peningkatan produk gen P5CS, yaitu enzim
P5CS dan akumulasi prolina.
Prolina dianggap sebagai senyawa yang
menyebabkan tanaman tahan terhadap
kekeringan. Prolina akan terakumulasi di
dalam jaringan tanaman apabila tanaman
tersebut mengalami cekaman kekeringan atau
pada keadaan cekaman salinitas tinggi.
Menurut Widyasari & Sugiyarta (1997),
dalam keadaan normal prolina yang
dihasilkan bersifat umpan balik dan karena
kehadiran air, prolina akan dioksidasi kembali
menjadi asam glutamat. Konsentrasi prolina
akan selalu rendah dalam kondisi normal.
Pada kondisi kekeringan oksidasi prolina akan
dihambat sehingga produksi prolina akan
bertambah dan dengan adanya gen P5CS
produksi prolina semakin meningkat karena
enzim P5CS memicu katalisis glutamat
menjadi prolina. Akumulasi prolina dapat
menjadi indikator tanaman yang toleran
terhadap kekeringan dan salinitas tinggi.
Plasmid sebagai Vektor Kloning
Kloning bertujuan memperbanyak dan
mengisolasi DNA yang disisipkan pada DNA
vektor. DNA disambungkan pada DNA
plasmid
dan
molekul
kimeriknya
ditransformasikan ke dalam inang, seperti
E.coli. Plasmid melakukan replikasi dalam
inang sewaktu inang tumbuh dan membelah,
dan potongan DNA yang diinginkan
terklonkan (Russel 1980, diacu dalam
Sardjoko 1991). Kloning gen untuk
mendapatkan klon tertentu dalam jumlah
banyak pada prinsipnya berguna untuk
mempermudah pengujian, modifikasi dan
pemanfaatan gen tersebut.
Tahapan kloning (Gambar 2) diawali
dengan cara mempersiapkan DNA target
melalui proses pemotongan dengan enzim
endonuklease restriksi. Fragmen untai tunggal
yang pendek pada ujung yang dihasilkan dari
pemotongan enzim restriksi diligasi ke dalam
vektor yang mengandung situs ORI (origin of
replication). DNA rekombinan kemudian
ditransfer ke dalam sel inang (bakteri atau
khamir). DNA ini mampu bereplikasi tanpa
bergantung pada DNA genom bakteri atau
khamir.
Sel
inang
yang
berhasil
ditransformasi kemudian ditumbuhkan ke
dalam media selektif (Passarge 2007).
Plasmid adalah molekul DNA utas ganda
sirkuler (tidak berujung) yang berukuran kecil
yang terdapat di dalam sitoplasma dan dapat
melakukan
replikasi
secara
autonom
(Suharsono & Widyastuti 2006). Plasmid
berukuran hingga lebih dari 500 pb. Plasmid
mempunyai kemampuan untuk melakukan
transfer plasmid dengan cara konjugasi
(plasmid F), menyandi ketahanan terhadap
antibiotik (plasmid R), atau membawa satu set
4
gen yang menyandikan metabolit sekunder
yang tidak biasa (plasmid degradatif) (Glick
& Pasternak 2003).
Plasmid yang berupa DNA berutas ganda
dan berbentuk sirkular merupakan DNA
ekstrakromosom yang dikenal pada bakteri.
Plasmid memiliki dua sifat istimewa yang
bermanfaat dalam manipulasi genetik.
Plasmid pada umumnya tidak diperlukan
dalam pertumbuhan sel sehingga pada
keadaan tertentu dapat keluar masuk tanpa
membahayakan sel tersebut. Gen asing dapat
bersatu dengan plasmid secara mudah dan
diangkut ke dalam E.coli dan menjadi bagian
genom sel inang (Lehninger 1994).
Semua plasmid memiliki paling sedikit
satu urutan (rangkaian) DNA yang dapat
bertindak sebagai asal replikasi sehingga
plasmid itu dapat memperbanyak diri di dalam
sel tanpa bergantung pada kromosom bakteri
(Brown 1991). Secara umum plasmid yang
baik untuk digunakan dalam teknologi DNA
rekombinan yaitu mempunyai berat molekul
rendah,
mempunyai
kemampuan
mengekspresikan gen yang dibawanya dari
inang, hanya mempunyai sisi pemotong
tunggal untuk kebanyakan endonuklease
restriksi dan mempunyai dua atau lebih
penanda (marker) (Primose & Old 1989).
Marka seleki yang umum digunakan
adalah gen resistensi terhadap ampisilin dan
tetrasiklin. Gen resistensi ampisilin menyandi
enzim beta laktamase yang dapat memecah
molekul ampisilin sehingga sel inang yang
membawa plasmid dapat tumbuh dalam media
yang mengandung ampisilin. Gen resistensi
tetrasiklin menyandi protein yang memompa
molekul tetrasiklin sehingga meniadakan efek
toksik tetrasiklin (Brown 1991).
Plasmid pGEM-T easy merupakan vektor
yang biasa dimanfaatkan untuk kloning
produk PCR. Plasmid pGEM-T easy
mengandung
gen
resistensi
terhadap
antibiotika ampisilin. Vektor pGEM-T easy
mengandung gen lacZ yang menyandi βgalaktosidase yang akan mengubah X-Gal (5bromo-4- kloro-3- indolil-β- D-galaktosidase)
dari tidak berwarna menjadi biru. Gen lacZ
yang diinduksi oleh molekul DNA lain maka
lacZ ini tidak dapat mengubah X-Gal menjadi
berwarna biru. Plasmid pGEM-T easy
berukuran 3015 pb dan mengandung MCS
(multiple cloning sites). Daerah restriksi ini
memungkinkan lepasnya insert/sisipan DNA
melalui digesti dengan enzim restriksi
tunggal, misalnya EcoRI, BstZI, dan NotI.
DNA asing
fragmen yang akan disisipkan
gen
penyandi
antibiotik
EcoRI
EcoRI
EcoRI
EcoRI
EcoRI
ujung
lengket
hibridisasi + DNA ligase
DNA rekombinan
DNA tersisip
kromosom
sel bakteri
bakteri dalam media + antibiotik
kloning
hanya bakteri yang mengandung
DNA rekombinan
kultur
pemurnian
DNA
klon
Gambar 2 Tahapan kloning.
5
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi rantai polimerase merupakan
metode untuk memperbanyak fragmen DNA
yang menjadi sasaran secara in vitro
menggunakan instrumen PCR. Teknik PCR
merupakan sarana yang sensitif, selektif, dan
sangat cepat untuk memperbanyak fragmen
DNA yang diinginkan. Spesifisitas reaksi ini
berdasarkan pada penggunaan dua primer
oligonukleotida yang berhibridisasi menjadi
rangkaian komplementer pada untai DNA
yang berlawanan dan mengapit rangkaian
sasaran (Murray et al. 2003).
Komponen yang diperlukan dalam proses
PCR yaitu DNA cetakan (template), primer,
enzim Taq polimerase, dan deoksinukleotida
trifosfat (dNTPs). Sampel target yang
digunakan adalah DNA cetakan dari suatu
organisme yang akan diamplifikasi melalui
teknik PCR. Molekul DNA cetakan yang akan
diamplifikasi
tidak
harus
mempunyai
konsentrasi tinggi karena jumlah yang
dibutuhkan dalam proses PCR sangat sedikit,
antara 10-100 ng untuk setiap reaksinya (Innis
& Gelfand 1990). DNA cetakan tersebut harus
mengandung daerah dan fragmen DNA yang
akan diamplifikasi.
Primer adalah untai DNA pendek yang
terdiri atas beberapa nukleotida, umumnya 1025 nukleotida (oligonukleotida). Primer
berperan sebagai pemula pada proses sintesis
menggunakan PCR. Primer akan menempel
pada DNA target dan membentuk rangkaian
komplementer pada untai DNA yang
berlawanan serta mengapit rangkaian sasaran
(DNA cetakan). Konsentrasi primer untuk
proses PCR menurut William et al. (1990)
berkisar antara 0.1-0.5 μM.
Deoksinukleotida
trifosfat
(dNTPs)
merupakan suatu nukleotida yang diperlukan
dalam proses PCR agar enzim Taq polimerase
dapat membentuk kompleks rantai baru (Innis
& Gellfand 1990). Kandungan dNTPs adalah
deoksiadenosin
trifosfat
(dATP),
deoksisistidin trifosfat (dCTP), deoksiguanin
trifosfat (dGTP), dan deoksitimidin trifosfat
(dTTP). Deoksinukleotida trifosfat (dNTPs)
akan dihubungkan terhadap primer melalui
ikatan kovalen, yaitu gugus hidroksil bebas
(OH) dari primer berikatan dengan gugus
fosfat dari dNTPs.
Enzim Taq polimerase berperan dalam
proses polimerisasi atau pemanjangan utas
DNA baru. Enzim ini bersifat termostabil dan
diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus.
Aktivitas polimerisasi DNAnya dimulai dari
ujung 5’ hingga ujung 3’ dan aktivitas
enzimatiknya memiliki waktu paruh sekitar 40
menit pada suhu 95ºC. Konsentrasi Taq DNA
polimerase yang digunakan biasanya berkisar
antara 0.5-2.5 unit untuk setiap reaksinya
(Innis & Gelfand 1990).
Aktivitas
enzim
Taq
polimerase
dipengaruhi oleh nilai pH. Nilai pH optimum
dari enzim ini adalah 8.3. Kondisi optimum
Taq polimerase dapat dicapai dengan
menggunakan bufer yang sesuai. Aktivitas
enzim Taq polimerase juga ditentukan oleh
konsentrasi ion Mg2+ karena ion ini
merupakan kofaktor bagi Taq polimerase dan
biasanya terdapat dalam larutan bufer pada
beberapa jenis kit. Ion Mg2+ yang optimum
untuk PCR adalah 1.5 mM. Konsentrasi Mg2+
yang lebih tinggi dari 2.0 mM akan menjadi
inhibitor dan menyebabkan penempelan
primer terganggu serta akan menghasilkan
pita-pita yang kompleks dalam elektroforesis
(William et al. 2003).
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen
DNA dimulai dengan melakukan denaturasi
DNA template (cetakan) sehingga DNA yang
beruntai ganda akan terpisah menjadi rantai
tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan
menggunakan panas (95ºC) selama 1-2 menit,
kemudian suhu diturunkan menjadi 55ºC
sehingga primer akan menempel (annealing)
pada cetakan yang telah terpisah menjadi
rantai tunggal. Primer akan membentuk ikatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen
yang komplementer dengan sekuen primer.
Setelah dilakukan annealing oligonukleotida
primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi
dinaikkan menjadi 72ºC selama 1.5 menit.
Pada suhu ini DNA polimerase akan
melakukan proses polimerasi rantai DNA
yang baru berdasarkan informasi yang ada
pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi,
rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA cetakan.
DNA yang terbentuk akan didenaturasi lagi
dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi
95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut
selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan
bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono
2006).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada isolasi
DNA yaitu sampel daun tanaman karet,
polivinil-pirolidon (PVP), nitrogen cair, βmerkaptoetanol,
N-cetyl-N,N,N-trimetilamonium bromida (CTAB) 10%, bufer TrisHCl 1 M pH 8, ethylenediamine tetraasetate
acid (EDTA) 0.5 M pH 8, CH3COONa 3 M
Download