Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu “KRISTUSKU BEDA” Ch. Daniel Saduk Manu * Bermula dari Sebuah Polemik Judul ini mewakili sudut pandang saya ketika membaca kembali perdebatan dogmatis yang pernah dilakukan oleh beberapa kolumnis di media ini. Diskusi itu menyangkut hakikat Kristus. Memang dalam sejarah gereja, persoalan Kristus dan Trinitas menjadi persoalan serius. Persoalan ini kemudian dibahas dalam beberapa sidang yang akhirnya melahirkan Pengakuan Iman -Pengakuan Iman yang kita kenal sekarang ini. Tidak bermaksud melupakan sumbangan bapak gereja terhadap dogma kristen, tetapi pertanyaan reflektif yakni masih relevankah konsep dan hakikat Kristus bagi kita sekalian? Atau perlukah kita membangun suatu kristologi yang relevan dengan konteks kita? Tulisan ini tidak tidak bermaksud membantah dogma yang kita anut, tetapi bertujuan memberikan warna lain dalam mengembangkan teologi kontekstual dengan memakai pendekatan pengalaman iman. Berdasarkan pengalaman iman, maka secara metodis sulit dipertangungjawabkan. Walau demikian inilah yang dapat saya sumbangkan dari perspektif awam teologi agar dari kalangan pakar teologi dapat memahami bahwa di kalangan awam sedang berjalan teologi operatif yang lahir dari kenyataan empiris dan bukan dari dogma yang kaku. Entah benar atau salah, inilah pandangan teologi awam. Bolehkah Kita Berteologi ? Pada umumnya, orang beranggapan bahwa hanya kalangan terbatas saja yang boleh berteologi atau mengembangkan teologi. Orang yang berteologi adalah orang yang pernah atau sementara mendalami pendidikan teologi, orang yang memiliki banyak buku-buku teologi (dan senatiasa membacanya), orang yang dipercaya menjalankan pelayanan jemaat seperti pendeta, pastor dan sebagainya. Anggapan ini benar apabila teologi dipahami secara eksklusif, di mana yang menjadi perhatian 1 Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu teologi adalah ilmunya (logi - Teologi : Ilmu tentang Allah). Anggapan di atas menjadi salah, apabila teologi dipahami secara luas yakni sebagai upaya manusia yang memberi arah atas dasar ketentuan Tuhan menurut iman, sepanjang manusia dapat menganggap dan menalarnya (Tomasoa, Refleksi tentang Kemandirian Teologi di Indonesia, 1985, 41) atau sebagai upaya manusia beriman memahami dan memberlakukan kehendak Allah dalam konteks manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini, teologi menjadi milik semua orang, entah itu seorang Pakar teologi, mahasiswa teologi, pendeta, dosen, ibu rumah tangga maupun seorang papalele. Ada dua cara berteologi yakni berteologi secara prima dan berteologi secara secunda. Berteologi secara prima sering dilakukan oleh masyarakat umum. Teologi ini didasarkan pada upaya seseorang dalam mengungkapkan pengakuan imannya secara spontan. Pengakuan ini memiliki kemungkinan berbeda dengan bahasa Alkitab, karena ia lahir dari pengalaman iman dalam konteksnya. Berteologi secara secunda adalah suatu cara berteologi yang berupaya mensistematisasikan pengakuan imannya dalam bentuk pemikiran teoretis dan memakai metode ilmiah atau juga melalui kritik dan koreksi yang menghubungkan dan mengembangkan hal-hal yang telah disampaikan. Berteologi semacam inilah yang kemudian menghasilkan berbagai konsep- konsep dogmatis dari suatu agama (kristen). Kedua cara berteologi ini tidak bisa dipasang dalam bingkai benar-salah. Artinya, ada cara berteologi yang benar atau sempurna dan ada cara berteologi yang salah atau tidak sempurna. Dengan demikian, anggapan kebanyakan orang bahwa berteologi secara secunda dengan memakai pendekatan ilmiah dan biasanya dilakukan oleh para pakar teologi adalah cara berteologia yang benar serta berteologi primer ala papalele adalah berteologi yang salah, menurut hemat saya tidak tepat. Dengan keyakinan saya tentang cara berteologi ini, maka saya menjadi sedikit berani untuk memberikan pandangan teologi saya tentang Kristus yang saya imani. Kristus dan Pengakuan Iman Pokok sentral kepercayaan umat Kristen mula-mula adalah keselamatan yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus. Untuk itu gambaran tentang kepribadian dan hakekat Yesus Kristus tidak mendapat tempat sentral dalam pemberitaan. Hakekat Kristus menjadi beragam dan berbeda sebagai akibat dari upaya orang Kristen mencari kejelasan mengenai pokok kepercayaannya. Untuk itu mereka mengusahakan rumusan-rumusan yang dapat mengungkapkan apa yang dipercayainya. Rumusan 2 Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu hakikat Kristus yang dibangun pada mulanya dilakukan dalam rangka pengakuan iman dan bukan sebagai hasil pemikiran filosofis. Pengakuan iman dapat terjadi apabila ada pengalaman iman. Jika pengalaman iman tidak ada maka dengan sendirinya tidak ada pengakuan iman. Kehadiran Yesus Kristus sebagai Juruselamat dialami dan dirasakan oleh para murid. Pengalaman bersama dengan Yesus kemudian melahirkan suatu pengakuan bersama. Atas dasar pengakuan inilah gereja Kristen hadir. Dengan demikian, suatu rumusan dogmatis tentang inti kepercayaan Kristen (entah itu Trinitas maupun Kristologi) tidak dapat dipisahkan dari cakrawala pengalaman iman. Untuk itu, suatu perdebatan dogmatis dalam bentuk ungkapan filosofis hanyalah sia-sia belaka karena tidak mengena dengan hakekat-Nya. Mengapa demikian? Karena hakekat hanya dapat dipahami selama pengalaman iman itu menyertainya. Sayangnya dalam perkembangan dogmatika, rumusan yang berdasarkan pengakuan iman ini kurang diperhatikan. Para pakar teologi sering mengabaikan rumusan ini untuk dapat mengembangkan rumusan dogmatika yang bersaing melawan filsafat. Ajaran tentang Kristus dibuat secara sistematis untuk melawan Gnosis, Doketisme, Adoptianisme dan Monarkianisme (sekitar abad III dan IV, terjadi peperangan antara Iman Kristen dengan filsafat Yunani,seperti antara Origenes yang menulis buku “Peri Arkhon/De Principiis” melawan Celcus seorang filsuf Yunani yang menyerang Iman Kristen dengan bukunya yang berjudul “Alenthinos Logos”/pikiran yang benar).Akibat yang nyata dari pendekatan ini adalah terjadinya skisma (perpecahan) dalam gereja soal hakikat Kristus. Apa akibat pendekatan kristologi ini bagi kita? Dampak dari rumusan “filosofi” kristologi ini mengakibatkan orang Kristen pada masa sekarang mengalami kesulitan dalam memahami kristologi secara positif dan relevan bagi kehidupannya. Mengapa demikian? Karena kristologi yang memakai pendekatan filosofis telah menghasilkan suatu pengakuan iman berdasarkan apa kata orang dan bukan pengakuan iman berdasarkan pengalaman mengalami kehidupan Kristus yang hidup di tengah-tengah kesehariannya. Rumusan kristologi berdasarkan apa kata orang akan membuat iman Kristen menjadi kering dan tidak berakar. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa rumusan kristologi yang dibangun oleh Bapa Gereja adalah rumusan yang keliru, namun bagi saya hal yang terdalam adalah rumusan berdasarkan pengalaman bersama dengan Yesus, sehingga dengan demikian dapat membawa orang tersebut pada suatu keadaan di mana ia dapat merasakan perdamaian dan kesukaan yang meliputi kehadiran Allah. 3 Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu Kristusku Beda Sebenarnya saya takut dengan judul ini. Ketakutan saya ini beralasan karena saya hidup dalam suatu budaya yang mengagungkan persamaan, sehingga segala perbedaan harus dihindari agar tidak terjadi perpecahan. Ketakutan saya juga didasarkan pada pengalaman sejarah gereja, di mana apabila ada suatu konsep teologi yang berbeda dari yang diakui bersama, maka orang itu akan dikucilkan dan diangap sebagai bidat. Dengan siap menanggung resiko ini, saya mencoba memahami Kristus berdasarkan pengalaman iman saya yang mungkin berbeda dengan yang diakui bersama atau mungkin pula sama dengan yang diakui oleh setiap orang percaya. Keyakinan saya ini didasarkan pada kisah Yesus bersama muridnya yang dikisahkan oleh penulis injil Matius, Markus dan Lukas. Keberanian saya berdasarkan kisah ini ingin saya gambarkan di bawah ini. Kisah Pengakuan Petrus dilukiskan oleh ketiga penulis inijl (Mat 16:13-20; Mrk 8:27-30; Luk 9:18-21). Tidak dipahami mengapa ketiga injil tertarik untuk mengangkat kisah tersebut. Yang jelas ada pesan khusus yang ingin disampaikan oleh penulis injil itu. Sayangnya dalam pengungkapan, ketiga injil tersebut berbeda ketika menginformasikan tempat kejadian kisah itu. Matius mengambil seting di daerah Kaisarea, Markus pada perjalanan Yesus ke kampung-kampung sekitar Kaisarea dan Lukas menempatkan kisah ini pada waktu Yesus sedang berdoa seorang diri. Mana yang benar dari ketiga injil ini? Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Karena mereka hanya ingin mengungkapkan pengalaman iman mereka bahwa Yesus pernah menanyakan hakekat diri-Nya pada murid-murid-Nya. Kisah ini memasuki intinya yakni Yesus sudah sangat populer di kalangan orang banyak (Ochlos/Laos). Orang lalu menyamakan-Nya dengan Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia maupun nabi-nabi yang lain. Apakah anggapan orang banyak ini salah? Yesus sekali-kali tidak pernah mengatakan bahwa anggapan orang banyak itu salah. Hal ini berarti bahwa anggapan orang yang menyatakan Yesus sebagai salah satu nabi PL yang bangkit adalah suatu ungkapan iman mereka bersama dengan Yesus, ketika mereka bersama dengan Yesus. Pengalaman bersama Yesus telah membawa mereka untuk mengenal Yesus sama seperti nabi -nabi PL. Dan pengalaman ini tidak salah. Kelanjutan kisah ini adalah Yesus menanyakan kepada murid-murid-Nya: dengan kata yang lebih khusus: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Pertanyaan keduaYesus ini mengarahkan pada suatu pertanyaan pribadi murid-murid yang mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Pertanyaan ini memiliki implikasi pada suatu jawaban yang bukan berdasarkan apa yang dialami oleh orang lain, tetapi apa yang dirasakan pribadi tersebut ketika berjumpa dengan Tuhan. Dan jawabannya sudah pasti dapat berbeda. Berdasarkan pengalaman bersama dengan Yesus maka 4 Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu Petrus menjawab “Engkau adalah Mesias.” Jawaban Petrus ini berbeda dengan orang banyak, karena Petrus mengalami masa bersama dengan Yesus yang berbeda dengan orang banyak itu. Inilah alasan biblis yang membuat saya berani mengatakan bahwa Kristus saya beda. Lantas di mana bedanya? Kristus yang saya kenal tidak lepas dari Kristus yang berhidung mancung ala Eropa, Kristus yang sok jagoan dengan mengatakan segala budaya-budaya lokal sebagai suatu yang kafir dan harus dikristenkan ala Kristen Eropa. Kristus yang saya kenal melalui tradisi turun temurun hasil indoktrinasi zending Belanda adalah Kristus yang akan memberkati orang yang meminta padanya, sehingga tercipta pemahaman bahwa orang yang kaya atau sukses adalah orang yang diberkati. Sedangkan orang yang senantiasa sial dan melarat adalah orang yang tidak diberkati. Hasilnya orang Kristen berlomba-lomba membuat gedung gereja yang megah agar dikatakan diberkati Allah. Orang Kristen mencari kekayaan yang berlimpah supaya dikatakan Allah beserta dengannya. Tak terasa Kristus yang saya kenal itu berbeda dengan pengalaman iman saya ketika berjumpa dengan-Nya. Kristus tidak memberikan kesusksesan, Ia tidak memberi kekayaan, bahkan Ia membuat hidup saya terombang-ambing. Ia hadir dalam kemiskinan dan ketakberdayaan. Kristus yang diimani dalam pengalaman hidup saya ternyata lebih menyentuh dari Kristus hasil bentukan konsili-konsili. Kristus yang hadir secara pribadi yang peduli dengan penderitaan, yang menyertai panen, memberikan hujan ketika ada doa hujan, ternyata lebih merasuk dalam diri saya dan membawa kedamaian dibanding Kristus dogmatis yang disusun secara dogmatis seperti “Ia adalah Manusia sekaligus Allah” yang dalam kaca mata saya terlampau abstrak. Kristus dogmatis ini membuat kepala saya semakin pusing. Pengalaman saya berbeda dengan bapa-bapa Gereja yang mengkonsepkan Kristus. Pengalaman saya tentang Kristus dilandasi pada Kristus yang hadir dalam budaya Sabu, Rote, Timor, Sumba, Alor, Flores yang selama ini oleh “Kristus Eropa” adalah kafir. Pengalaman iman ini juga menguatkan saya untuk mengakui bahwa Kristus yang maha Kuasa mampu menjadi hina, oleh karena itu Ia juga mampu hadir dalam wajah yang berbeda yang mungkin kita sendiri tidak mengenalnya sebagai Tuhan. Nabi Yesaya sendiri telah menubuatkan bahwa ia begitu buruk rupa, sehingga bukan seperti manusia lagi? (bdk.Yes 52:14). Inilah Kristus yang dapat dirumuskan berdasarkan pengalaman iman saya tanpa dipengaruhi oleh Kristus dogmatis. Mungkin saya akan dikatakan bidat karena tidak mengikuti rumusan pengakuan iman yang telah kita kenal. Yang jelas Kristus saya beda karena Kristus inilah yang saya kenal dan alami dalam kehidupan. Saya juga tidak mengkleim bahwa konsep Kristus sayalah yang benar dan yang lain salah karena masing-masing lahir dari pengalaman imannya sejauh ia bukan pengakuan iman yang lahir atas apa kata orang padahal kita sendiri 5 Kristusku Beda – Ch. Daniel Saduk Manu tidak mengimaninya. Dengan demikian, apabila saya ditanyakan tentang pandangan awam saya, : menurut kamu siapakah Yesus itu?” jawaban saya adalah : Yesusku beda. * Penulis adalah Pemuda GMIT Silo Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformedfaith/artikel/timex-pluralisme09.html 6