BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan dijual. Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar kemakmuran pemegang saham yang akan diterima oleh pemilik perusahaan (Wiagustini, 2010). Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi pendanaan (financing) dan manajemen asset. Adanya peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Susanti, 2010). Enterprise value atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan (Salvatore, 2011:9). 13 Rasio harga saham terhadap nilai buku perusahaan atau price book value (PBV), menunjukkan tingkat kemampuan perusahaan menciptakan nilai relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. PBV yang tinggi mencerminkan harga saham yang tinggi dibandingkan nilai buku perlembar saham. Semakin tinggi harga saham, semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham. Keberhasilan perusahaan menciptakan nilai tersebut tentunya memberikan harapan kepada pemegang saham berupa keuntungan yang lebih besar pula (Salvatore 2011:12). Secara sederhana price to book value (PBV) merupakan rasio pasar (market ratio) yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya (Robert dalam Kusumajaya, 2011). Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu, nilai ditentukan pada harga yang wajar, penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli tertentu. Hartono (2009:124) secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan diantaranya adalah: 1) pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio metode kapitalisasi 2) pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas 3) pendekatan dividen antara lain pertumbuhan dividen 4) pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva 5) pendekatan harga saham 6) pendekatan economic value added Tujuan perusahaan pada dasarnya tujuan manajemen keuangan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut masih 14 terdapat konflik antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan indeks yang tepat untuk mengukur tingkat efektivitas perusahaan. Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan dalam bentuk maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan, atau memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham dengan mengorbankan para pemegang obligasi (Erlina dalam Alfredo 2011). Salvatore (2011:9) Indikator- indikator yang mempengaruhi nilai perusahaan antara lain: 1) PER (Price Earning Ratio) yaitu rasio yang mengukur seberapa besar perbandingan antara harga saham perusahaan dengan keuntungan yang diperoleh para pemegang saham (Mohammad Usman dalam Malla Bahagia, 2008). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi PER adalah tingkat pertumbuhan laba, Dividend Payout Ratio, dan tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal. hubungan faktor-faktor tersebut terhadap price earning ratio dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Semakin tinggi pertumbuhan laba semakin tinggi price earning ratio nya, dengan kata lain hubungan antara pertumbuhan laba dengan price earning ratio nya bersifat positif. Ini dikarenakan bahwa prospek perusahaan dimasa yang akan datang dilihat dari pertumbuhan laba, 15 dengan laba perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola biaya yang dikeluarkan secara efisien. Laba bersih yang tinggi menunjukkan earning per share yang tinggi, yang berarti perusahaan mempunyai tingkat profitabilitas yang baik, dengan tingkat profitabilitas yang tinggi dapat meningkatkan kepercayaan pemodal untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut, sehingga saham-saham dari perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas dan pertumbuhan laba yang tinggi akan memiliki price earning ratio yang tinggi pula, karena saham-saham akan lebih diminati di bursa sehingga kecenderungan harganya meningkat lebih besar. 2. Semakin tinggi dividend payout ratio, semakin tinggi price earning ratio nya. Dividend payout ratio memiliki hubungan positif dengan price earning ratio, di mana dividend payout ratio menentukan besarnya dividen yang diterima oleh pemilik saham dan besarnya dividen ini secara positif dapat mempengaruhi harga saham terutama pada pasar modal didominasi yang mempunyai strategi mengejar dividen sebagai target utama, maka semakin tinggi dividen semakin tinggi price earning ratio. 3. Semakin tinggi required rate of return (r) semakin rendah price earning ratio, (r) merupakan tingkat keuntungan yang dianggap layak bagi investasi saham, atau disebut juga sebagai tingkat keuntungan yang di isyaratkan. Jika keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut ternyata lebih kecil dari tingkat keuntungan yang di isyaratkan, berarti 16 hal ini menunjukkan investasi tersebut kurang menarik, sehingga dapat menyebabkan turunnya harga saham tersebut dan sebaliknya. Dengan begitu (r) memiliki hubungan yang negatif dengan price earning ratio, semakin tinggi tingkat keuntungan yang di isyaratkan semakin rendah nilai price earning ratio nya. Price earning ratio adalah fungsi dari perubahan kemampuan laba yang diharapkan di masa yang akan datang. Semakin besar price earning ratio, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. 2) PBV (Price Book Value) Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham, 2010). 2.1.2 Struktur Modal Struktur modal dengan tingkat leverage yang tinggi digunakan sebagai sinyal untuk membedakan perusahaan yang baik dan yang buruk. Hanya perusahaan yang sehat dan kuat yang dapat berhutang dengan menanggung risikonya. Oleh karena itu, untuk meminimalkan biaya informasi dari pelepasan saham, maka suatu perusahaan lebih menyukai menggunakan hutang daripada ekuitas jika perusahaan tampak undervalued, dan menggunakan ekuitas dari pada hutang jika perusahaan tampak overvalued (Meythi, dkk. 2012). 17 Struktur Modal adalah perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen , hutang jangka panjang dengan saham preferen dan saham biasa. Sementara itu, struktur keuangan adalah perimbangan antara total hutang dengan modal sendiri. Maka struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Teori strukrur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, kalau keputusan investasi dan kebijakan dividen dianggap konstan. Perusahaan yang mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang apakah harga saham akan berubah, apabila perusahaan tidak merubah keputusan-keputusan keuangan lainnya. Terkait dengan struktur modal, terdapat beberapa teori sebagai berikut: 1) Pendekatan Modigliani dan Miller (MM) Teori struktur modal modern dimulai pada tahun 1958, ketika Profesor Franco Modigliani dan Merton Miller menerbitkan artikel keuangan yang paling berpengaruh sampai saat ini. Modiglani dan Miller membuktikan bahwa struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hasil penelitian yang diperoleh Modiglani dan Miller menunjukkan bahwa bagaimana perusahaan akan mendanai seluruh kegiatan operasinya jika struktur modal menunjukkan suatu hal yang tidak relevan. Kondisi tidak relevan yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam teori yang dijelaskan oleh Modiglani dan Miller memiliki arti yang sangat penting. Struktur modal yang tidak relevan akan berdampak pada nilai perusahaan, dengan kondisi seperti ini Modiglani dan Miller telah memberikan usaha apa saja yang harus dilakukan untuk membuat struktur modal menjadi relevan 18 (Hanafi, 2011:299). Modiglani dan Miller menerbitkan makalah lanjutan pada tahun 1963 di mana di dalamnya mereka memasukkan faktor pajak ke dalam analisis mereka. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa nilai perusahaan dengan hutang lebih tinggi dibandingkan nilai perusahaan tanpa hutang. Kenaikan nilai tersebut dikarenakan adanya penghematan pajak dari penggunaan hutang. a) Proposisi MM Tanpa Pajak MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka, yaitu: a. tidak ada pajak b. tidak ada biaya transaksi c. individu dan perusahaan meminjam pada tingkat yang sama Dengan asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua proposisi yang dikenal sebagai proposisi MM tanpa pajak. Proposisi I (tanpa pajak) Nilai perusahaan yang menggunakan hutang akan sama dengan nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang sebagai berikut. VL = VU Dimana, VL= nilai untuk perusahaan yang menggunakan hutang (value for leverage companies) VU= nilai untuk perusahaan yang tidak menggunakan hutang (100% saham, atau value for unleveraged companies) 19 Dengan kata lain, dalam kondisi tanpa pajak MM berpendapat bahwa struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Tingkat keuntungan dan risiko usaha (keputusan investasi) yang akan mempengaruhi nilai perusahaan (bukannya keputusan pendanaan). Proposisi 2 (tanpa pajak) Proposisi 2 mengatakan bahwa tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk perusahaan yang menggunakan hutang, naik proporsional terhadap peningkatan rasio hutang dengan saham. ks = ko + B/S (ko-kb) dimana, ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham ko = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham perusahaan tanpa hutang B/S= rasio hutang dengan saham kb = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk hutang (tingkat bunga) Dengan menggunakan hutang yang semakin banyak, perusahaan bisa menggunakan sumber modal yang lebih murah yang semakin besar. Penggunaan sumber modal yang murah yang semakin banyak akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbang perusahaan (WACC) tersebut, jika tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham (ks) konstan. Tetapi dengan semakin meningkatnya hutang, tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham (ks) juga akan 20 meningkat. Dua efek yang saling berlawan tersebut menghasilkan biaya modal rata-rata tertimbang yang konstan. Hasilnya, nilai perusahaan akan konstan. b) Proposisi MM dengan Pajak Dengan memasukkan pajak, MM menambah dimensi baru ke dalam analisis yaitu ada tiga bagian diantaranya, saham, hutang dan pajak.Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas keluar. Hutang bisa digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga bisa dipakai sebagai pengurang pajak.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa struktur modal bisa mempengaruhi nilai perusahaan. Proposisi I (dengan pajak) Nilai perusahaan dengan hutang akan sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang plus penghematan pajak karena bunga hutang. Formula untuk pernyataan tersebut ditulis berikut ini. VL = VU + Tc B 1 . . dimana, Tc = tingkat pajak (perusahaan) B = besarnya hutang Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham kb = tingkat keuntungan hutang (tingkat bunga) 21 ko = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham perusahaan tanpa hutang EBIT= Earning Before Interest and Taxes (pendapatan sebelum pajak dan bunga) Nilai perusahaan tanpa hutang merupakan present value dari tingkat keuntungan EBIT, didiskontokan dengan biaya modal saham tanpa hutang (ko). Penghematan bunga didiskontokan dengan biaya modal hutang (kb). Perbedaan diskonto tersebut disebabkan karena risiko yang berbeda antara EBIT ( aliran kas untuk pemegang saham) dengan bunga (aliran kas untuk pemegang hutang). Proposisi 2 (dengan pajak) Proposisi 2 (dengan pajak) mengatakan bahwa biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang. Tetapi penghematan dari pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya modal saham. Pernyataan tersebut bisa dituliskan kedalam formula berikut ini. ks = ko + B/S (1-Tc) (ko-kb) Formula tersebut mempunyai implikasi bahwa penggunaan hutang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Tetapi penggunaan hutang yang lebih banyak, yang berarti menggunakan modal yang lebih murah (karena biaya modal hutang lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbang (meskipun biaya modal 22 sahamnya meningkat). Teori MM tersebut sangat kontroversial, implikasi teori tersebut adalah perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya (99% sebagai contoh), tetapi dalam kenyataannya tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar tersebut. 2) Teori Trade-Off . Dalam kenyataan, ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebayak-banyaknya. Satu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan (probabilitas) kebangkrutan. Sebagai contoh, semakin tinggi hutang, semakin besar bunga yang harus dibayarkan, kemungkinan tidak membayar bunga yang tinggi akan semakin besar. Pemberi pinjaman bisa membangkrutkan perusahaan jika perusahaan tidak bisa membayar hutang. Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Penelitian di luar negeri menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 20% dari nilai perusahaan. Biaya tersebut mencakup dua hal: 1. Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan dan biaya lainnya yang sejenis. 2. Biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal. Misal, supplier barangkali tidak 23 akan mau memasok barang karena mengkhawatirkan kemungkinan tidak terbayar. Dengan biaya kebangkrutan yang besar, proposisi MM dengan pajak bisa dimodifikasi sebagai berikut. VL = VU + PV Penghematan Pajak – PV Biaya Kebangkrutan Perhatikan bahwa biaya kebangkrutan sampai tingkat hutang tertentu akan lebih tinggi dibadingkan dengan PV Penghematan pajak. Nilai perusahaan akan mulai menurun pada titik tersebut. Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya biaya keagenan hutang (agency cost of debt). Teori keagenan mengatakan bahwa di perusahaan terjadi konflik antar pihak-pihak yang terlibat, seperti pemegang hutang versus pemegang saham. Jika hutang meningkat, maka konflik antara keduanya akan semakin meningkat. Dalam situasi tersebut, pemegang hutang akan semakin meningkat, karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan semakin meningkat. Dalam situasi tersebut, pemegang hutang akan semakin meningkatkan pengawasan (monitoring) terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya-biaya monitoring (persyaratan yang lebih ketat, menambah jumlah akuntan dan sebagainya) dan bisa juga dalam bentuk kenaikan tingkat bunga.Dengan memasukkan biaya keagenan, persamaan nilai perusahaan diatas bisa diperluas sebagai berikut ini. VL = VU + PV Penghematan Pajak – (PV Biaya Kebangkrutan + PV Biaya Keagenan). 24 Nilai perusahaan dengan hutang akan semakin meningkat dengan meningkatnya hutang, tetapi nilai tersebut mulai menurun pada titik tertentu. Pada titik tersebut, tingkat hutang merupakan tingkat yang optimal.Dengan demikian gabungan antara teori struktur modal Modigliani-Miller dengan memasukkan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan mengindikasikan adanya trade-off antara penghematan pajak dari hutang dengan biaya kebangkrutan.Meskipun teori trade-off dalam struktur modal memberikan pandangan baru dalam struktur modal, tetapi teori tersebut tidak memberikan formula yang pasti yang bisa memberi petunjuk berapa tingkat hutang yang optimal. Dengan demikian, sampai saat ini teori belum berhasil memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai tingkat hutang yang ideal (Hanafi, 2011:309). 3) Pecking Order Theory Teori trade-off mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kebangkrutan dalam penentuan struktur modal. Dalam kenyataan empiris, nampaknya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Seorang akademisi, Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Pengamatannya menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai keuntungan yang tinggi ternyata cenderung menggunakan hutang yang lebih rendah. 25 Secara spesifik, perusahaan mempunyai urutan preferensi dalam penggunaan dana. Skenario urutan dalam Pecking Order Theory adalah sebagai berikut ini. 1. Perusahaan memilih pendanaan internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (keuntungan) yang dihasilkan dari kegiatan peruahaan. 2. Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan investasi. Perusahaan berusaha menghindari perubahan dividen yang tiba-tiba. Dengan kata lain, pembayaran dividen diusahakan konstan atau kalau berubah terjadi secara gradual dan tidak berubah dengan signifikan. 3. Karena kebijakan dividen yang konstan (sticky), digabung dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat-saat tertentu dan akan lebih kecil pada saat yang lain. Jika kas tersebut lebih besar, perusahaan akan membayar hutang atau membeli surat berharga. Jika kas tersebut lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas yang dipunyai atau menjual surat berharga. 4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan mengeluarkan surat berharga yang paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan memulai dengan hutang, kemudian dengan surat berharga campuran 26 (hybrid) seperti obligasi konvertibel dan kemudian barangkali saham sebagai pilihan terakhir. Teori pecking order bisa menjelaskan kenapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang lebih kecil. Tingkat hutang yang kecil tersebut tidak dikarenakan perusahaan mempunyai target tingkat hutang yang kecil, tetapi karena mereka tidak membutuhkan dana eksternal. Tingkat keuntungan yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi (Hanafi, 2011:313). 4) Signaling Ross (1977) mengembangkan model dimana struktur modal (penggunaan hutang) merupakan signal yang disampaikan oleh manajer ke pasar. Jika manajer mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik dan karenanya ingin agar harga saham meningkat, ia ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengatakan secara langsung ‘perusahaan kami mempunyai prospek yang baik’. Tentu saja investor tidak akan percaya begitu saja. Disamping itu, manajer ingin memberikan signal yang lebih dipercaya (credible). Manajer bisa menggunakan hutang lebih banyak sebagai signal yang lebih credible. Jika hutang meningkat, maka kemungkinan bangkrut akan semakin meningkat. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan maka manajer akan ‘terhukum’, misal reputasinya akan hancur dan tidak bisa dipercaya 27 menjadi manajer lagi. Karena itu, perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan dimasa mendatang.Karena cukup yakin, maka manajer perusahaan tersebut berani menggunakan hutang yang lebih besar. Investor diharapkan akan menangkap signal tersebut, signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik. Dengan demikian hutang merupakan tanda atau signal positif (Hanafi, 2011:316). 5) Teori Asimetri Informasi Menurut Hanafi (2011 : 314), konsep signaling dan asimetri informasi berkaitan erat. Teori asimetri mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak luar (seperti investor), karena itu bisa dikatakan terjadi asimetri informasi antara manajer dengan investor. Investor yang merasa mempunyai informasi yang lebih sedikit, akan berusaha menginterpretasikan perilaku manajer. Dengan kata lain, perilaku manajer termasuk dalam hal menentukan struktur modal, bisa dianggap sebagai signal oleh pihak luar (investor). Menurut Myers dan Majluf (1977) ada asimetri informasi antara manajer dengan pihak luar. Manajer mempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi perusahaan dibandingkan dengan pihak luar. 28 Pada saat harga saham menunjukkan nilai yang terlalu tinggi (overvalue), manajer akan cenderung mengeluarkan saham (memanfaatkan harga yang terlalu tinggi). Tentunya pihak luar (pasar) tidak mau ditipu. Karena itu pada saat penerbitan saham baru dumumkan, harga akan jatuh karena pasar menginterpretasikan bahwa harga saham sudah overvalue. Teori tersebut bisa menjelaskan fenomena jatuhnya harga saham pada saat terjadi pengumuman penerbitan saham baru yang sering dijumpai. Jika harga saham jatuh cukup serius, maka pemegang saham lama akan dirugikan jika dilakukan penerbitan saham baru. Sebaliknya, pemegang saham baru yang akan diuntungkan karena bisa membeli saham dengan harga murah. Karena jatuhnya harga saham tersebut berkaitan dengan asimetri informasi, maka bisa dikatakan bahwa ada biaya asimetri informasi yang berkaitan dengan penerbitan saham. Biaya tersebut akan semakin besar jika harga saham jatuh cukup signifikan. Dibandingkan dengan saham, pengumuman penerbitan hutang menurut pengamatan biasanya disertai dengan penurunan harga saham yang lebih kecil.Dilihat dari kerangka asimetri informasi, sekuritas hutang mempunyai asimetri informasi yang lebih kecil dibandingkan dengan saham. Hutang mempunyai pendapatan yang bersifat tetap (bunga hutang), karena itu ketidakpastian pendapatan hutang lebih kecil dibandingkan dengan ketidakpastian saham.Asimetri informasi dari hutang tidak sebesar asimetri untuk saham. Dengan kata lain biaya asimetri hutang lebih kecil dibandingkan dengan biaya asimetri saham. 29 Karena biaya asimetri saham cenderung paling besar, manajer akan enggan untuk menerbitkan saham. Saham menjadi alternatif paling akhir dalam upaya mencari dana. Dana internal praktis bebas dari biaya asimetri informasi, karena itu dana internal akan dipilih pertama kali jika perusahaan membutuhkan dana. Jika kebutuhan dana masih ada, maka perusahaan akan menerbitkan hutang. Jika kebutuhan dana masih ada, maka langkah terakhir adalah penerbitan saham. Teori asimetri tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan teori pecking order (perusahaan memilih dana internal dan menggunakan penerbitan saham baru sebagai langkah terakhir). Dalam konteks asimetri informasi, preferensi penerbitan saham yang paling kecil (urutan paling rendah), disebabkan karena biaya asimetri saham adalah yang paling besar. Hutang mempunyai biaya asimetri yang lebih rendah dibandingkan saham. Dana internal praktis terbebas dari biaya asimetri, karena itu dana internal mempunyai biaya asimetri paling kecil. Karenanya, urutan preferensi penggunaan dana berdsarkan biaya asimetri adalah dana internal, hutang dana penerbitan saham. Dengan demikian model asimetri informasi bisa dipakai menjelaskan perilaku struktur modal. 6) Pendekatan Teori Keagenan (Agency Approach) Menurut pendekatan ini, struktur modal disusun sedemikian rupa untuk mengurangi konflik antar berbagai kelompok kepentingan. Sebagai contoh, pemegang saham dengan pemegang hutang akan mempunyai konflik kepentingan. Pemegang saham dengan manajemen juga akan 30 mengalami konflik kepentingan. Pada konflik yang pertama, jika hutang mencapai jumlah yang signifikan dibandingkan dengan saham, maka pemegang saham akan tergoda melakukan substitusi aset. Dalam hal ini pemegang saham akan beroperasi dengan meningkatkan risiko perusahaan. Risiko perusahaan yang meningkat menguntungkan bagi pemegang saham karena kemungkinan memperoleh keuntungan yang tinggi akan semakin besar. Sebaliknya, hal tersebut bukan merupakan berita baik bagi pemegang hutang. Payoff pemegang hutang akan tetap sebesar bunga yang dibayarkan, tidak peduli berapa besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, pemegang saham akan memperoleh bagian terbesar jika keuntungan perusahaan meningkat. Jika terjadi kerugian, pemegang saham tidak terlalu merugi karena taruhannya di perusahaan (proporsi saham di perusahaan) tidak terlalu besar jika hutang semakin banyak. Untuk mencegah situasi semacam itu, pemegang hutang akan membebani bunga yang semakin tinggi dengan meningkatnya hutang. Struktur modal dengan demikian merupakan kompromi antara kepentingan pemegang saham dengan pemegang hutang. Dalam situasi kedua, jika manajemen tidak mempunyai saham di perusahaan, maka keterlibatan manajer akan semakin berkurang. Dalam situasi tersebut manajer akan cenderung mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Ada konflik antara pemegang saham dengan manajer. Konflik tersebut bisa dipecahkan jika manajemen mempunyai saham 100% di perusahaan. Dalam situasi 31 tersebut kepentingan manajer saham ingin berbagi risiko (agar risiko yang dihadapi tidak terlalu tinggi), dan akan terjadi kepemilikan manajemen yang parsial (tidak 100%). Trade-off semacam ini akan mengarah pada struktur modal yang optimal (Hanafi, 2011:316). Struktur modal dapat diukur dengan DER (debt to equity ratio). DER merupakan perbandingan total hutang yang dimiliki perusahaan dengan total ekuitas perusahaan. Semakin tinggi DER menunjukkan komposisi total hutang (jangka pendek dan jangka panjang) semakin besar dibandingkan dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur). 2.1.3 Kebiakan Dividen Kebijakan Dividen adalah apakah laba yang diperoleh peusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang. Apabila perusahaan membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya mengurangi total sumber dana intern atau internal financing (Hermuningsih, 2012:80). Kebijakan dividen berpengaruh terhadap aliran dana, struktur finansial, likuiditas perusahaan dan prilaku investor. Kebijakan dividen merupakan salah satu keputusan penting dalam kaitannya dengan usaha untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Sebagaimana diketahui bahwa nilai perusahaan dipengaruhi oleh keputusan investasi, keputusan pembiayaan, dan kebijakan dividen itu sendiri. 32 Ketiga keputusan tersebut saling berinteraksi satu sama lain, karena keputusan investasi dipengaruhi oleh tersedianya dana dan biaya modal. Biaya modal dan ketersediaan dana dipengaruhi oleh besar kecilnya laba yang ditahan. Baridwan dalam Alfredo, 2011 menyatakan dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham dapat berbentuk : 1) Dividen yang berbentuk uang Pembagian dividen yang paling sering dilakukan adalah dalam bentuk uang. Para pemegang saham akan menerima dividen sebesar tarif per lembar dikalikan jumlah lembar yang dimiliki. 2) Dividen yang berbentuk aktiva ( selain kas dan saham sendiri) Dividen yang dibagikan kadang – kadang tidak berbentuk uang tunai, tetapi berupa aktiva seperti saham perusahaan lain atau barang – barang hasil produksi perusahaan yang membagikan dividen tersebut. Pemegang saham yang menerima dividen seperti ini mencatat dalam bukunya dengan jumlah sebesar harga pasar yang diterimanya. 3) Dividen saham (stock dividen) Penerimaan dividen dalam bentuk saham dari perusahaan yang membagi saham disebut dividen saham. Saham yang diterima berbentuk saham yang sama dengan yang dimiliki atau saham jenis yang lain. 33 2.1.3.1 Teori Kebijakan Dividen 2.1.3.1.1 Dividen adalah Tidak Relevan Teori Dividen tidak relevan dikemukanan oleh Modigliani –Miller, yang berpendapat bahwa di dalam kondisi bahwa keputusan investasi yang given, pembayaran dividen tidak berpengaruh terhadap kemakmuran pemegang saham, lebih lanjut Modiglani dan Miller berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi. Modiglani dan Miller membuktikan pendapatnya dengan asumsi : 1. Pasar modal yang sempurna di mana semua investor bersikap rasional 2. Tidak terdapat pajak 3. Tidak terdapat biaya emisi saham 4. Leverage tidak berpengaruh terhadap biaya modal 5. Para investor dan manajer mempunyai informasi yang sama 6. Distribusi pendapatan diantara dividen dengan laba ditahan tak berpengaruh terhadap biaya ekuitas 7. Kebijakan Capital budgeting terlepas dari kebijakan dividen Hal penting dari pendapatnya Modiglani dan Miller adalah bahwa pengaruh pembayaran dividen terhadap kemakmuran pemegang saham akan diimbangi dengan jumlah yang sama dengan cara pembelanjaan atau pemenuhan dana yang lain. Jadi yang penting adalah apakah investasi yang tersedia diharapkan akan memberikan NPV yang positif, tidak peduli apakah dana yang dipergunakan untuk membiayai berasal dari perusahaan (laba ditahan) ataukah 34 dari luar perusahaan (menerbitkan saham baru). Dampak keputusan tersebut sama saja bagi kekayaan pemodal. 2.1.3.1.2 Bird-in-the Hand Theory Teori ini dikemukakan oleh Gordon dan Lintner, dimana beliau berpendapat bahwa biaya ekuitas (Ke) perusahaan akan mengalami kenaikan disebabkan oleh penurunan pembayaran dividen, karena investor lebih yakin terhadap penerimaan dan pembagian dividen ketimbang kenaikan nilai modal (capital gain) yang dihasilkan laba tersebut Gordon-Lintner beranggapan bahwa investor memandang satu burung di tangan lebih berharga dari pada seribu burung di udara. Beliau juga berpendapat bahwa kemungkinan capital gains yang diharapkan adalah lebih risikonya dibanding dengan dividend yield yang pasti. Sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Gordon-Lintner berpendapat bahwa investor akan meminta tingkat keuntungan yang lebih tinggi untuk setiap pengurangan dividend yield. 2.1.3.1.3 Tax Diffrential Theory Tax differential yang dikemukakan oleh oleh Lizenberger dan Ramaswamy, mengemukakan bahwa dalam kaitanya dengan pajak pendapatan perseorangan, pendapat yang relevan bagi investor adalah pendapatan setelah pajak, sehingga keuntungan yang disyaratkan juga setelah pajak. 35 Investor lebih suka untuk menerima capital gain yang tinggi dibanding dengan dividen tinggi. Dengan kata lain investor menghendaki perusahaan untuk menahan laba setelah pajak dan dipergunakan untuk pembiayaan investasi dari pada pembayaran dividen dalam bentuk kas. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa investor akan meminta tingkat keuntungan setelah pajak yang lebih tinggi terhadap saham yang memiliki dividend yield yang tinggi dari pada saham dengan dividend yield yang rendah. Oleh karenanya kelompok ini cenderung menyarankan bahwa perusahaan sebaiknya menentukan dividend pay out ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen. Menurut Harjito dan Martono dalam Alfredo 2011 pertimbangan manajerial dalam menentukan kebijakan dividen adalah : 1) Kebutuhan dana bagi perusahaan Semakin besar kebutuhan dana perusahaan berarti semakin kecil kemampuan untuk membayarkan dividen. Penghasilan perusahaan akan digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dananya (semua proyek investasi yang menguntungkan) baru sisanya untuk pembayaran dividen. 2) Likuiditas perusahaan Likuiditas perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam kebijakan dividen. Dividen merupakan arus kas keluar, maka semakin besar jumlah kas yang tersedia dan likuiditas perusahaan, semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 3) Kemampuan untuk meminjam 36 Apabila perusahaan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan pinjaman, hal ini merupakan fleksibilitas keuangan yang tinggi sehingga kemampuan untuk membayar dividen juga tinggi. 4) Pembatasan – pembatasan dalam perjanjian utang Ketentuan perlindungan (protective covenant) dalam suatu perjanjian utang sering mencantumkan pembatasan terhadap pembayaran dividen. Pembatasan ini digunakan oleh para kreditur untuk menjaga kemampuan perusahaan tersebut untuk membayar utangnya. Biasanya, pembatasan ini dinyatakan dalam persentase maksimum dari laba kumulatif. 5) Pengendalian perusahaan Apabila suatu perusahaan membayar dividen yang sangat besar, maka perusahaan mungkin menaikkan modal di waktu yang akan datang melalui penjualan sahamnya untuk membiayai kesempatan investasi yang menguntungkan. Bertambahnya jumlah saham yang beredar, ada kemungkinan kelompok pemegang saham tertentu tidak lagi dapat mengendalikan perusahaan karena jumlah saham yang mereka kuasai menjadi berkurang dari seluruh saham yang beredar. Pembayaran dividen yang terlalu besar dianggap berbahaya, sehingga pengendalian perusahaan menjadi berpindah tangan. 2.1.4 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah salah satu variabel yang dipertimbangkan dalam nilai perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan cerminan total aset yang 37 dimiliki perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, berarti aset yang dimiliki perusahaan pun semakin besar dan dana yang dibutuhkan perusahaan untuk mempertahankan kegiatan operasionalnya pun semakin banyak. Semakin besar ukuran perusahaan akan mempengaruhi keputusan manajemen dalam memutuskan pendanaan apa yang akan digunakan oleh perusahaan agar keputusan pendanaan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah bertambah dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan aset yang kecil (Daniati dan Suhairi dalam Widiastuti, 2011). Menurut Riyanto (2011:299), suatu perusahaan yang besar dimana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya kontrol dari pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya perusahaan yang kecil dimana sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian maka pada perusahaan yang besar dimana sahamnya tersebar sangat luas akan lebih berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhannya untuk membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. 38 Dalam penelitian ini akan digunakan total aktiva untuk mengukur ukuran perusahaan karena nilai aktiva relatif lebih stabil dibandingkan penjualan (Sudarmadji dan Sularto, 2011). Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari besar kecilnya total aktiva yang dimiliki. Jadi salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah total aktiva dari perusahaan tersebut. Total aktiva adalah segala sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang (IAI, 2004). Ukuran perusahaan yang sebenarnya menunjukkan kemampuan perusahaan untuk bertahan dan memanfaatkan peluang bisnis. Perusahaan yang kokoh dan besar harus bisa memanfaatkan peluang bisnis yang ada dan menjaga kestabilan pengelolaan dana dalam perusahaan. Semakin besar perusahaan maka semakin besar dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan yang memiliki total aktiva dengan jumlah besar atau disebut dengan perusahaan besar akan lebih banyak mendapatkan perhatian dari investor, kreditor maupun para pemakai informasi keuangan lainnya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Jika perusahaan memiliki total aktiva yang besar maka pihak manajemen akan lebih leluasa dalam menggunakan aktiva yang ada di perusahaan tersebut. Kemudahan dalam mengendalikan aktiva perusahaan inilah yang akan meningkatkan nilai perusahaan 39 2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian biasanya disusun dengan menggunakan kalimat tanya (Sugiyono, 2013:93). Berdasarkan rumusan masalah, teoriiserta penelitian-penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. 2.2.1 Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan Pemilik sebuah perusahaan mungkin dapat mempergunakan hutang yang berjumlah relatif besar untuk mambatasi manajernya. Rasio hutang yang tinggi akan meningkatkan ancaman kebangkrutan untuk menjadi lebih berhati-hati dan tidak menghambur-hamburkan uang para pemegang saham. Kebanyakan pengambilalihan perusahaan dan pembelian melalui hutang dirancang untuk meningkatkan efisiensi dengan mengurangi arus kas bebas yang tersedia bagi para manajer (Brigham & Houston, 2010). Pembelanjaan yang dilakukan oleh manajemen keuangan akan membentuk struktur keuangan yang dapat menunjukkan komposisi perbandingan sumber dana perusahaan dalam membiayai operasioal perusahaan. Sumber dana perusahaan dicerminkan oleh modal asing dan modal sendiri yang diukur dengan debt to equity ratio (DER) (Wiagustini,2010). Menurut Rizqia, et al. (2013) struktur modal memiliki pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian yang 40 dilakukan oleh Eka (2011) menunjukkan bahwa secara parsial struktur modal memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian sebelumnya Kusumajaya (2011) memperoleh hasil struktur modal mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, temuan ini didukung oleh tradeoff theory yang menyatakan bahwa (dengan asumsi titik target struktur modal yang belum optimal) peningkatan rasio utang pada stuktur modal akan meningkatkan nilai perusahaan. H1: Struktur modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. 2.2.2 Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Menurut Hermuningsih (2012:80) dividen adalah sebagian keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham. Kebijakan dividen merupakan salah satu keputusan penting dalam kaitannya dengan usaha untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Teori signal atau signaling theory menyebutkan bahwa anggapan pasar terhadap peningkatan dividen merupakan suatu sinyal terhadap adanya peningkatan kinerja perusahaan sekarang maupun di masa akan datang. Secara tidak langsung pembagian dividen ini diharapkan investor beranggapan perusahaan memiliki nilai yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Fenandar dan Surya (2012) menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan. Kemampuan perusahaan dalam membayarkan dividen dapat 41 mencerminkan nilai perusahaan. Jika pembayaran dividen tinggi, maka harga saham juga tinggi yang berdampak pada tingginya nilai perusahaan begitu juga sebaliknya. Jiang (2013) menjelaskan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa investor lebih suka pembayaran dividen. Susanti (2010) menemukan bahwa dividen berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Pembayaran dividen yang semakin meningkat menunjukan prospek perusahaan yang bagus dan direspon oleh investor dengan membeli saham sehingga nilai perusahaan meningkat. H2: Kebijakan Dividen berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di bursa efek Indonesia. 2.2.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan Kebijakan hutang bisa digunakan untuk menciptakan nilai perusahaan yang diinginkan, namun kebijakan hutang juga tergantung dari ukuran perusahaan. Sunarto dan Budi (2014) menunjukkan secara signifikan terdapat pengaruh positif antara ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan, artinya peningkatan ukuran perusahaan akan mempermudah perusahaan memperoleh pendanaan, yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak menajemen untuk tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Sujoko dan Soebiantoro (2009) ukuran perusahaan merupakan cerminan besar kecilnya perusahaan yang nampak dalam nilai total aktiva 42 perusahaan pada neraca akhir tahun. Jadi ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari besar kecilnya modal yang digunakan dan total aktiva yang dimiliki. Ukuran perusahaan dapat diproksi melalui total asset atau kekayaan perusahaan pada akhir tahun. Menurut Euis Soliha dan Taswan (2009) menyatakan bahwa perusahaan besar umumnya memiliki fleksibilitas dan aksebilitas yang tinggi dalam masalah pendanaan di pasar modal. Artinya perusahaan yang besar relatif lebih mudah untuk akses ke pasar modal. H3: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di bursa efek Indonesia. 2.3 Model Penelitian Berdasarkan rumusan hipotesis penelitian tersebut, diperoleh bentuk model penelitian yang disajikan pada Gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Model Penelitian Pengaruh Struktur Modal, Kebijakan Dividen, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Struktur Modal (X1) Kebiakan Dividen (X2) H1 H2 Nilai Perusahaan (Y) H3 Ukuran Perusahaan (X3) 43