peran pembangunan/manusia/sosial dan interaksi

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenomena kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi seluruh negara,
baik negara yang telah maju dan negara berkembang. Kemiskinan merupakan
gejala patologi sosial yang kronis dan merupakan ancaman terjadi kekacauan
sosial (social disorder).
Gejala kemiskinan ditandai dengan tingginya
ketimpangan. Gejala ketimpangan meliputi sumberdaya manusia, akifitas
ekonomi, pengelolahan sumberdaya alam (kekhasan), struktur pasar yang
monopoli, penataan ruang yang tidak konsisten dan penganggaran yang tidak
sesuai. Singkatnya kemiskinan lebih disebabkan karena ketimpangan.
Titik awal kemiskinan di era modern dimulai Sekitar 1980-an dan awal
1990-an. Di tahun tersebut ketimpangan pendapatan (income gap) antara negara
kaya dan miskin semakin melebar. Tidak hanya ketimpangan ekonomi yang
terjadi tetapi kualitas sumberdaya manusia, struktur ekonomi, pembangunan
infrastruktur, yang bekerja dan tidak/belum bekerja mengalami ketimpangan dan
yang paling parah timpangnya kepercayaan (trust) antara masyarakan dan
pemerintah (Todaro, 2000; Saefulhakim, 2005; Fukuyama, 1999; Putnam, 2001).
Di Indonesia perkembangan jumlah penduduk miskin menurut data yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami fluktuasi.
Tahun 1990
jumlah penduduk miskin sebesar 27,2 juta (15,1% dari jumlah penduduk), tahun
1999 angka kemiskinan berjumlah sekitar 47,97 juta (23,43% dari jumlah
penduduk) dan tahun 2004 jumlah penduduk miskin sebesar 36,15 juta (16,66%
dari jumlah penduduk yang ada) angka kematian bayi masih sangat tinggi yaitu
35 per 1000 sekitar tahun 1998 – 2002. Angka kematian ibu melahirkan sebesar
307 per 100.000 pada tahun 1998 dan kematian ibu hamil pertahun sebesar
20.000, partisipasi pendidikan di daerah pedesaan khusus di daerah Papua dan
NTT (Nusa Tenggara Timur) nilainya di bawah 40% berbeda di daerah Jakarta
dan Yogyakarta yang mencapai 80% (BPS, 2004).
Di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator indeks pembangunan manusia
telah menyentuh angka 68,41 poin, walaupun angka ini relatif tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah lain tapi masih rendah dari indeks pembangunan
Provinsi Jawa Barat sebesar 69,36.
Berdasarkan klasifikasi United Nation
2
Devolopment Programme (UNDP), angka pencapaian Indeks Pembangunan
Manusai (IPM) sebesar 68,41 poin berada pada kategori masyarakat sejahtera
menengah dan belum mencapai masyarakat sejahtera tinggi. Nilai yang mencapai
80 dikategorikan sebagai masyarakat sejahtera tinggi.
Kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity) masyarakat Kabupaten
Bogor tahun 2005 menurut tingkat konsumsi riil sebesar Rp 553.630,/kapita/tahun, yang terdiri konsumsi bahan makanan dan yang bukan makanan.
Sementara renstra Kabupaten Bogor menetapkan Rp. 607.580,-/kapita/tahun.
Keluarga pra sejahtera dan sejahtera I berjumlah 297.357 dari 902.751 jumlah
keluarga, jumlah pengangguran sekitar 945.376 (BPS, 2005).
Pendapatan Kabupaten Bogor meningkat dari Rp 991 milyar (2004)
menjadi 1,08 triliun (2005), namun pada periode yang sama tingkat kemiskinan
meningkat.
Nilai PDRB harga berlaku meningkat dari 28,6 trilliun (2004)
menjadi Rp.34,625 triliun (2005). Laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari
5,51 % (2004) menjadi 5,82 % (2005). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di
Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sekitar 50,07%, lebih rendah dari tahun 2004
yang mencapai 51,68% dan tahun 2003 mencapai sekitar 53,99%. Fakta ini
kontradiktif dengan meningkatnya penerimaan daerah dan laju pertumbuhan yang
naik tetapi kemiskinan dan pengangguran terbuka meningkat (BPS, 2005).
Kebijakan yang bertumpu pada pusat atau yang sering kita dengar dengan
istilah sentralistik tidak memberikan korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi
dengan pertumbuhan di tiap wilayah. Gejala ini dapat dilihat di Provinsi Irian
Jaya (sekarang bernama Papua) dan Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur
sebagian daerah Sulawesi dan Sumatera tingkat pembangunan manusia masih
relatif rendah dibanding Pulau Jawa. Nilai pembangunan manusia Provinsi luar
Jawa hanya menyentuh angka di bawah 63, sementara sebagian besar Pulau Jawa
nilai pembangunan manusia menyentuh angka 66 dan lebih pada tahun 2002.
Demikian halnya pembangunan yang mengejar laju pertumbuhan ekonomi
tidak mencerminkan distribusi pendapatan yang membaik, justru yang terjadi
ketimpangan pembangunan dan pendapatan. Indonesia yang pernah mendapat
gelar negara yang memiliki keajaiban ekonomi (east asian miracle) oleh Bank
Dunia, pada saat laju pertumbuhan ekonomi rata – rata mencapai 7% per tahun
3
dan pendapatan rata – rata 4% per tahun di tahun 1996 – 1997. Pada saat yang
sama jumlah penduduk miskin sebesar 34,5 juta (17,5% dari jumlah penduduk)
(Saefulhakim, 2005; BPS, 2004).
Pembangunan yang mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan sentralistik
(aktifitas ekonomi hanya berpusat di Jawa) justru menimbulkan ketimpangan
ekonomi dan kemiskinan di beberapa wilayah. Saefulhakim (2005) mengatakan
pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi makro (agregat ekonomi)
tanpa memperhatikan keterkaitan antara wilayah dan interaksi justru akan
menciptakan kesenjangan ekonomi.
Wilayah yang memiliki kemajuan pesat
justru melemahkan wilayah lain.
Struktur ekonomi juga ikut andil dalam menciptakan ketimpangan.
Ekonomi yang menekankan pasar monopoli (penguasaan ekonomi hanya
segelintir orang) sangat berdampak dengan aktifitas ekonomi.
Sistem pasar
monopoli memberi kekuasaan besar terhadap pemiliki modal untuk memainkan
harga karena mereka tidak memiliki pesaing sementara konsumen tidak memiliki
nilai tawar tinggi. Sebagai ilustrasi, kebutuhan pupuk petani umumnya dikuasai
beberapa perusahaan, akibatnya harga pupuk sangat mudah dimainkan.
Sementara struktur pasar petani berlaku pasar monopsoni (penjual banyak tapi
pembeli terbatas). Produk hasil pertanian dibatasi aksesnya oleh para pedagang
pengumpul (bermodal tinggi) yang mudah memainkan harga.
Marginalisasi produk pertanian terhadap produk industri sangat tinggi.
Produk pertanian memiliki harga yang rendah sementara produk industri harganya
relatif tinggi. Situasi seperti ini akan mengakibatkan ketimpangan yang tinggi.
Akibatnya pekerja di bidang industri jauh lebih mapan dibanding pekerja
pertanian, artinya pertumbuhan industri jauh lebih besar dibanding pertanian.
Pembangunan
ekonomi
sentralistik
berimbas
pada
pembangunan
infrastruktur dan sumberdaya manusia juga terpusat. Pembangunan infrastruktur
dan sumberdaya manusia yang terpusat tidak lain untuk memudahkan penyediaan
tenaga kerja industri di perkotaan. Hal ini memicu laju pergerakan manusia dari
desa ke kota untuk memperoleh pendidikan dan perbaikan nasib hidup. Arus
manusia ke kota yang tinggi mengakibatkan aktifitas ekonomi dan aliran uang
lebih banyak di kota. Akhirnya ketimpangan sumberdaya manusia, infrastruktur
4
dan ekonomi antara kota dan desa semakin meningkat (nama kota dan desa
dibedakan hanya berdasarkan fungsi dan tidak bermaksud mendikotomikan).
Sebagai ilustrasi hasil postulasi, sekitar lebih 50% investasi berada di Jawa
hanya mencakup sekitar 7% wilayah Indonesia, dalam hal output produk domestik
regional bruto (PDRB) jawa mencapai lebih dari 60%.
Berdasarkan survei
industri nilai produksi (nilai tambah bruto) sektor industri besar dan menengah di
Jawa pada tahun 1975 mencapai 90%, menurun pada tahun 1984 hingga
menyentuh angka 83%.
Dilihat dari banyaknya industri, tercatat lebih 80%
industri berada di Jawa. Tentu penggunaan indikator makro semacam ini dapat
mengandung resiko generalisasi yang berlebihan. Penyebaran aktifitas ekonomi
belum terjadi melainkan hanya penyebaran penduduk melalui transmigrasi yang
terjadi di luar Pulau Jawa (Aziz, 1994).
Di beberapa negara yang hanya menekankan produk domestik bruto
sebagai indikator pembangunan dan kemajuan suatu negara (kebijakan makro)
justru tidak terwakilkan dengan kondisi penduduk. Kenaikan produk domestik
bruto justru semakin melebarkan antar masyarakat kaya dengan miskin serta
pengangguran dan kemiskinan meningkat (Todaro, 2000).
Pembangunan yang tidak memperhatikan interaksi antara wilayah atau
interaksi antara wilayah lemah akan menjadi awal munculnya ketimpangan.
Ketimpangan yang terus berlanjut akan mengancam kemiskinan semakin besar.
Ilmu wilayah memperhatikan interaksi dalam rangka menciptakan keterkaitan
pembangunan antara wilayah.
Banyak studi yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat pertumbuhan
ekonomi nasional tinggi (robust) masalah pemerataan antara daerah tidak begitu
menonjol. Tiap daerah mengalami pertumbuhan ekonomi, baik karena kekuatan
sendiri maupun dari subsidi pemerintah pusat.
Sebaliknya, pada saat laju
pertumbuhan ekonomi nasional rendah, dapat berlangsung keadaan yang
menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah dengan
mengorbankan pertumbuhan di daerah lain. Perekonomian dalam kondisi ini
terjebak dalam zero sum (Aziz, 1994).
Atas dasar itu unsur ruang (space), interaksi dan keterkaitan antar wilayah
merupakan bagian penting untuk menjawab berbagai masalah kemiskinan,
5
pengangguran dan ketimpangan. Unsur jarak yang terkait dengan harga serta
konsentrasi aktifitas berdasarkan kekhasan wilayah merupakan indikator analisis
spasial.
Dimensi ruang membantu menganalisis keterkaitan dalam rangka
menciptakan hubungan antara wilayah secara komplmentatif (saling mengisi)
bukan bersifat kompetitif (bersaing). Fenomena pembangunan industri Liquid
Natural Gas (LNG) di Provinsi Aceh, memungkinkan menciptakan percabangan
(ramifikasi) di seluruh Pulau Sumatera, demikian pula Industri Petrokimia di
daerah Palembang (Aziz, 1994; Hoover dan Giarratni, 1999).
Secara etimologis akar kata wilayah dalam bahasa arab terdiri dari wala,
waliy yang berarti saling tolong menolong. Istilah tolong menolong dapat
diartikan saling memperkuat, dengan kata lain terjadi proses pendauran dan siklus.
Proses pendauran atau siklus bisa terjadi jika ada interaksi antar wilayah. Istilah
Daerah diambil dari akar kata Dairah dan Idarah (bahasa Arab). Idarah berarti
manajemen atau administratif. Istilah daerah terkait dengan pemerintahan dan
pengaturan yang dibuat oleh pemimpin dalam satu daerah yang dibatasi oleh
sistem administrasi.
Kawasan berasal dari kata Khash (bahasa arab), secara
etimologi berarti kekhasan atau memiliki karakteristik (Saefulhakim 2005).
Berdasarkan etimologi bahasa arab maka sikap saling tolong menolong
antara wilayah adalah komponen yang penting. Tentu saja peran individu atau
masyarakat menjadi sangat penting. Sifat dasar tolong menolong dibangun dari
daya pengetahuan (knowledge base) sebagai modal dasar untuk mengkalkulasi
keterukuran, sistem informasi (information sytsem) sebagai cara untuk mengetahui
keunikan tiap individu dan kekhasan wilayah, keterpaduan (cohessiveness)
sebagai dasar memadukan ilmu dan informasi, keterkaitan (link) untuk
mengaitkan antar wilayah, norma (norm) pedoman dan aturan yang dibangun
secara bersama untuk melakukan kerjasama dan saling percaya (mutual trust).
Ilmu ekonomi memperhatikan dimensi apa (what) terkait efisiensi tanpa
memperhatikan
dimana
(where),
demikian
pula
ilmu
geografi
tanpa
memperhatikan aktifitas manusia di tempat mereka berada. Regional science
merupakan kombinasi aktifitas ekonomi dan tempat (dalam hal ini jarak), artinya
ekonomi (spaceless world) dan ilmu wilayah memperhatikan dimensi spasial
(Aziz, 1994; Hoover dan Giarratni, 1999).
6
Kebijakan pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan
sentralistik perlu direformasi dengan kebijakan pemerataan dan keterkaitan
pembangunan yang menekankan interaksi wilayah antara berbagai aktifitas.
Pemberian otonomi daerah tidak cukup jika pemerintah daerah tidak
memperhatikan keterkaitan antara wilayah.
Pembangunan tambang emas di
Papua dan industri LNG di Aceh harus memberi pengaruh (ramifikasi) di wilayah
lain.
Penekanan interaksi wilayah adalah mengurangi ketimpangan antara
wilayah atau menghilangkan garis batas ketimpangan.
Reformasi kebijakan harus memperhatikan rantai aktifitas sumberdaya
alam, manusia dan ekonomi. Rantai itu dimulai dengan sumberdaya hayati yang
menghasilkan output primer (kebutuhan pokok) yang terkait dengan lingkungan
hidup dan pengetahuan teknologi kemudian berlanjut pada proses diversifikasi
produk melalui agroindustri sampai menghasilkan output sekunder dan tersier
(barang mewah dan barang hasil olahan). Produk sekunder maupun tersier akan
dipasarkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat (Saefulhakim, 2005).
Atas dasar itu pemerintah perlu mereformasi kebijakan melalui
penganggaran tiap aktifitas yang tepat dan sesuai.
Penganggaran belanja
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, meningkatkan
kualitas hidup manusia, penataan ruang yang konsisten dan menciptakan struktur
dan aktifitas ekonomi yang sejajar dan adil.
Penganggaran harus sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan wilayah
(Perimbangan keuangan Daerah dan Pusat). Penataan ruang harus sesuai dengan
karakteristik lahan. Pengelolahan lahan yang cendrung dipaksakan justru akan
menciptakan biaya ekonomi yang tinggi sehingga nilai manfaat lingkungan juga
harus diperhatikan (FAO, 1976; Fauzi, 2002).
Berdasarkan
analisis
diatas
mengisyaratkan
perlunya
pendekatan
pembangunan manusia dan sosial dan interkasi wilayah untuk menjawab masalah
ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran. Pendekatan ini diharapkan dapat
menjawab sebab kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah (sementara
nilai PDRB meningkat di Kabupaten Bogor.
Peluang tersebut sangat besar
mengingat lokasi Kabupaten Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Negara.
7
Perumusan Masalah
Aktifitas ekonomi di Kabupaten Bogor meningkat pada tahun 2005.
Peningkatan aktifitas ini ditandai dengan meningkatnya nilai produk domestik
regional bruto (PDRB).
PDRB harga konstan Kabupaten Bogor mengalami
peningkatan 5 % dari Rp 22,25 triliun (2004) menjadi Rp. 23,55 triliun (2005).
Keadaan ini tidak diikuti oleh penurunan jumlah kelurga miskin. Jumlah keluarga
pra-sejahtera dan sejahtera I mengalami peningkatan 11,2 % dari 234.815 kepala
keluarga (KK) menjadi 261.268 KK. Jumlah penduduk menganggur mengalami
peningkatan 5,1 % dari 194.902 orang menjadi 204.858 orang. Jumlah balita gizi
buruk mengalami peningkatan 31,01 %, sebanyak 3.292 kasus (2001), meningkat
menjadi 4.313 kasus (2005) (BPS,2005).
Uraian tersebut mengindikasikan terjadi ketimpangan pembangunan. PDRB
mengalami peningkatan tetapi jumlah angka kemiskinan, penduduk menganggur
dan gizi buruk mengalami peningkatan. Ketimpangan seperti ini akan berpotensi
menciptakan
instabilatas
pembangunan
dan
mengancam
keberlanjutan
pembangunan. Situasi seperti ini juga akan mengahambat interaksi antar berbagai
elemen karena tidak terjadi keberimbangan.
Interaksi antara 2 titik sangat dipengaruhi oleh massa (M) masing – masing
obyek (massa wilayah dan sosial). Jika massa tidak berimbang akan berpotensi
menciptakan ketimpangan pembangunan . Sebagai ilustrasi M1 = 1, dan M2 = ½.
Situasi ini akan menimbulkan ketimpangan wilayah dan sosial, tetapi jika M1 = 1,
dan M2 = 1, maka situasi ini akan menciptakan keberimbangan dan menurut
analisis Input – Output akan menjadi faktor penting pendorong kinerja
pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas maka akan dirumuskan permasalahan yang akan
dianalisis sebagai berikut :
(1) Bagaimana pola spasial pembangunan manusia dan sosial ?
(2) Apa yang menyebabkan pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah ?
(3) Bagaimana peran pembangunan manusia, sosial dan interaksi spasial dalam
mengatasi kemiskinan dan pengangguran ? dan
(4) Bagaimana merumuskan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan
pengangguran ?
8
Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis dan memetakan pola spasial pembangunan manusia dan sosial ;
(2) Menganalisis dan memetakan pola spasial kemiskinan dan pengangguran ;
(3) Menganalisis peran pembangunan manusia, sosial dan interaksi spasial untuk
mengatasi kemiskinan dan pengangguran ; dan
(4) Merumuskan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Download