1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Instalasi gizi sebagai unit PGRS melaksanakan empat kegiatan pokok terdiri dari asuhan gizi pasien rawat inap (pelayanan gizi di instalasi rawat inap), asuhan gizi pasien rawat jalan (konsultasi dan penyuluhan gizi), penyelenggaraan makanan, penelitian dan pengembangan gizi (Depkes 2003). Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan agar penderita yang dirawat memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya serta mempercepat proses penyembuhan, sehingga dalam proses persiapan, pengolahan hingga distribusi makanan harus berada dalam kondisi aman untuk dikonsumsi (Anom 2001). Selain itu, pasien juga berhak untuk mendapatkan diet yang bermutu, yaitu sesuai dengan saran dari dokter/konsultan gizi dan aman, tidak terkontaminasi bahaya yang dapat menyebabkan status kesehatan pasien menjadi semakin buruk. Salah satu kegiatan penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah memproduksi makanan enteral. Makanan enteral merupakan metode pemenuhan zat gizi menggunakan saluran pencernaan, baik secara alami melalui mulut ataupun dengan bantuan alat (tube). Makanan enteral diberikan pada pasien di rumah sakit terutama penderita sakit berat seperti pasien pasca bedah, penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, dan luka bakar, karena umumnya penderita tidak dapat atau tidak mungkin makan secara oral akibat kondisi penyakitnya. Apabila saluran cerna masih berfungsi, dukungan makanan enteral diperlukan untuk meningkatkan sistem imun saluran cerna dan dapat mencegah komplikasi yang timbul (Silberman & Eisenberg 1982). Klasifikasi makanan enteral salah satunya dibuat di rumah sakit (hospital made) (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat di rumah sakit selain memiliki kelebihan seperti harga lebih ekonomis, juga memiliki kekurangan yaitu higienitas yang kurang terjamin, kurang praktis dan cara penyiapan serta cara penyajian harus menurut standar yang baku. Mikroorganisme serta tenaga pengolah menjadi salah satu faktor risiko yang membuat higienitas makanan enteral kurang terjamin. Kerusakan makanan enteral oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman 2 untuk dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Bahan pangan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan enteral umumnya merupakan makanan yang mudah rusak dan mudah tercemar bakteri. Selain itu, tenaga pengolah makanan juga dapat menjadi sumber kontaminan bakteri terbesar penyebab keracunan pada makanan dan carrier dari beberapa penyakit (Jenie 2000). Pengetahuan tenaga pengolah mengenai higiene dan sanitasi dapat mempengaruhi penerapan higiene dan sanitasi dalam pengolahan makanan untuk terjaminnya keamanan pangan. Higiene dan sanitasi yang tidak memadai dalam tahapan produksi dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan. Menurut Afrienti (2002), pengawasan terhadap higiene dan sanitasi baru ditekankan pada industri makanan dan minuman serta industri jasa boga komersial, sedangkan pengawasan higiene dan sanitasi untuk penyelenggaraan makanan di rumah sakit belum dilakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pengawasan higiene dan sanitasi di rumah sakit harus lebih ditekankan karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang relatif lebih rentan terhadap infeksi penyakit yang ditularkan melalui makanan. Selain itu, pasien tidak selalu dapat menentukan makanannya sendiri melainkan tergantung pada makanan yang diberikan di rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang dapat memberikan jaminan bahwa makanan yang dikonsumsi aman bagi pasien. Instalasi Gizi rumah sakit yang bertugas membuat makanan enteral harus memiliki kepedulian dan tanggung jawab di sepanjang rantai pengolahan makanan hingga akhirnya makanan disajikan kepada pasien. Konsep HACCP dapat dijadikan acuan agar bisa mewujudkan hal itu. Berdasarkan uraian diatas, sangatlah penting untuk dilakukan penelitian tentang sejauh mana tindakan pengendalian mutu dan higiene sanitasi, tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah serta aplikasi Hazard Anaysis and Critical Control Point (HACCP) plan dalam penyelenggaraan makanan enteral di rumah sakit. Tindakan pengendalian mutu dan higiene sanitasi pada makanan enteral di Rumah Sakit Dustira belum pernah dikaji sebelumnya. Rumah Sakit Dustira merupakan salah satu rumah sakit yang menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made, selain itu Rumah Sakit Dustira juga merupakan rumah sakit rujukan bagi anggota TNI. Makanan yang disajikan harus aman agar dapat membantu pemulihan 3 kesehatan pasien, agar mereka dapat melakukan aktifitas seperti semula sehingga diharapkan adanya peningkatan dan pencapaian status kesehatan pasien. Tujuan Tujuan umum. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan pengendalian mutu pada setiap tahapan produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira Cimahi. Tujuan khusus. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan Rumah Sakit Dustira. 2. Mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. 3. Mengetahui perilaku higiene sanitasi penjamah makanan enteral. 4. Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan Permenkes. 5. Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral pada setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. 6. Mempelajari aplikasi HACCP Plan dalam proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi pelaksanaan upaya pengendalian mutu serta pelaksanaan sanitasi higiene dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit sebagai upaya mencegah adanya kontaminasi makanan yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam menentukan langkah-langkah atau kebijakan dalam pengawasan kualitas pangan di rumah sakit, khususnya makanan enteral dan dapat digunakan untuk perbaikan kualitas sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dari makanan yang disajikan.