1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, hingga saat ini dampak krisis ekonomi global masih dapat dirasakan. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan hanya berbicara tentang nasib satu dua orang, namun lebih dari itu, krisis ekonomi yang melanda sebuah negara akan sangat mempengaruhi nasib sebuah bangsa. Apabila kita melihat pemberitaan di media, baik itu media cetak maupun media elektronik, sepertinya wajar apabila dikatakan bahwa tidak satu hari pun terlewatkan berita mengenai dampak dari krisis ekonomi global tersebut. Hal ini bisa dilihat dari mulai adanya kecenderungan nilai IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang tidak stabil, nilai tukar rupiah yang melemah, hingga semakin sedikitnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Berbagai argumen dan komentar pun ditujukan kepada pemerintahan Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dan Bank Indonesia (BI), baik oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun para ekonom. Presiden SBY sebenarnya juga tidak tinggal diam. Melalui media pula beliau sempat memaparkan beberapa langkah dalam menghadapi dampak krisis ekonomi global tersebut, diantaranya seperti meningkatkan produksi dalam negeri, memanfaatkan peluang perdagangan internasional, menyatukan langkah 2 strategis pemerintah dengan BI, hingga menghindari politik non partisan. 1 Dan apabila diperhatikan, sepertinya akan lebih bijak apabila melihatnya tidak hanya dari sudut pandang siapa yang bersalah atau siapa yang harus bertanggung jawab, melainkan lebih ke arah mencermati faktor apa yang menjadi penyebabnya, sehingga krisis ekonomi global dapat diselesaikan atau bahkan dicegah agar di kemudian hari tidak terjadi lagi. Membicarakan penyebab tentunya sangat wajar apabila kita bercermin dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Besarnya gedung perkantoran suatu perusahaan, ternyata tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut akan tetap berdiri kokoh dalam menghadapi “badai krisis”. Krisis ekonomi (moneter) 1998 telah mengakibatkan hancurnya perusahaan-perusahaan “tanpa pandang bulu”. Tidak peduli swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) pun ikut terkena imbasnya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya krisis moneter 1998 adalah gagalnya perusahaan-perusahaan besar dunia membayar hutang. Sejumlah perbankan besar dunia pun turut mengalami kesulitan utilitas. 2 Hal inilah yang kemudian berimbas pada kehidupan perekonomian Indonesia, karena memang secara tidak langsung dunia bisnis internasional yang selalu terkait dengan ekspor-impor maupun transaksi antar negara lainnya, tentunya akan berdampak juga pada perekonomian nasional. 1 http://www.metris-community.com/dampak-krisis-ekonomi-global 2 http://www.antaranews.com/berita/314341/asia-mulai-terkena-pengaruh-krisis-global 3 Berbicara mengenai dampak krisis tersebut di Indonesia, terkadang memang terlihat ironis. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, namun di sisi lain beberapa jenis bahan pokok malah mengandalkan hasil impor. Terhadap masalah ini, dapat dikatakan bahwa memang inilah salah satu kelemahan bangsa ini. Kita sebagai rakyat Indonesia kurang berusaha bersikap profesional dalam mengelola aset-aset yang ada dalam lahan-lahan Indonesia, padahal kekayaan alam seperti hasil laut misalnya, seharusnya dapat dikelola sekaligus dapat dimanfaatkan dengan baik, tetapi yang terjadi justru pemanfaatan hasil laut malah dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair, seperti penggunaan bahan peledak yang akhirnya merusak terumbu karang. Seandainya kekayaan-kekayaan alam tersebut dikelola dengan baik, tentunya Indonesia dapat mengambil manfaat yang besar, sehingga Indonesia tidak lagi hanya menggantungkan nasibnya pada hasil impor dari negara tetangga. Tidak hanya itu, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emas dan minyak ternyata juga tidak dapat memanfaatkan potensi alamnya. Tidak optimalnya pengelolaan karena hanya mengekspor bahan mentah dan kemudian mengimpor yang sudah siap konsumsi. Hal-hal seperti inilah yang membuat Indonesia tidak bisa mandiri. Hanya bisa mengeruk, tetapi tidak bisa mengolah dan memanfaatkannya secara efisien, sehingga di saat perusahaan besar dunia bangkrut, mau tidak mau Indonesia akan terkena imbasnya juga. Intinya, karena terlalu banyak perusahaan lokal Indonesia yang menggantungkan usahanya pada produk impor. 4 Pada saat dunia mengalami krisis, seharusnya Indonesia dapat mencegah krisis tersebut ikut berimbas pada perekonomian nasional, kalau saja perusahaan-perusahaan lokal di Indonesia tidak terlalu mengandalkan atau bergantung pada produk impor dalam menjalankan kegiatan usahanya. Di saat perusahaan-perusahaan yang menjadi eksportir untuk perusahaan lokal Indonesia mengalami kesulitan atau bangkrut, tentunyanya juga akan berpengaruh secara signifikan terhadap perusahaan-perusahaan lokal Indonesia, yang akhirnya membuat perusahaan lokal tersebut kesulitan dalam menjalankan usahanya dan di sini, biasanya para pengusaha tersebut cenderung mengambil cara cepat dan instan, seperti pengajuan kredit. Cara ini dilakukan demi menjaga kelangsungan usahanya, tanpa melalui proses pemikiran panjang, karena hanya mengingat produksi atau operasional yang harus terus berjalan, dan tentu saja upah pegawai yang juga harus tetap dibayar. Tidak dapat dipungkiri bahwa tambahan modal selalu dianggap sebagai suatu solusi yang paling praktis dan fleksibel. Dengan dana segar, pengusaha akan dengan leluasa melakukan usaha apapun. Imbas dari pengajuan kredit yang tidak terduga oleh para pelaku usaha secara bersamaan itulah yang membuat bank tidak dapat menagih hutang-hutangnya dan kemudian mengakibatkan collapse, karena ternyata di satu sisi, dana segar yang diperoleh para pelaku usaha dari pengajuan kredit tersebut banyak juga yang tidak mampu menolong usahanya, dan akhirnya membuat para pelaku usaha tadi gagal melunasi hutangnya atau biasa disebut gagal bayar. 5 Gagal bayar atas suatu pengajuan kredit ternyata tidak hanya dari para pelaku usaha (wiraswasta), namun juga datang dari para pegawai/karyawan, baik itu karyawan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), swasta, bahkan pegawai negeri. Selanjutnya, para pegawai ini pun ikut “berpartisipasi” menjadi penyebab kebangkrutan dunia perbankan Indonesia. “Andil” para pegawai/karyawan tersebut biasanya berawal dari pembelian mobil atau rumah secara kredit, termasuk penggunaan kartu kredit untuk belanja keperluan rumah tangga. Awalnya mungkin tidak terlalu terasa, namun pada saat perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut, yang kemudian berimbas pada adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), maka pada saat itulah para pegawai tadi tidak lagi dapat membayar tagihan atas kredit mereka karena ketiadaan sumber penghasilan/pendapatan lagi. Nah, dari cerita inilah yang kemudian istilah hapus buku dan hapus tagih mulai marak dikenal. Dalam penyelesaian kredit bermasalah dikenal adanya penghapusan buku dan penghapusan tagihan. Penghapusan buku merupakan tindakan yang dilakukan bank terhadap debitur karena adanya kondisi yang menyebabkan kredit macet tidak dapat diselesaikan. Kredit macet yang telah diupayakan penyelesaiannya melalui saluran hukum dan ternyata masih juga tidak terselesaikan, harus dihapusbukukan dan dipindahkan sebagai kredit ekstrakomptabel. Penghapusan buku kredit macet bukan merupakan pembebasan utang debitur, tetapi merupakan tindakan intern yang bersifat administratif, dengan kata lain debitur tetap memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya. Sedangkan penghapusan tagihan 6 merupakan upaya kesepakatan hukum untuk membebaskan debitur dari kewajiban melunasi hutangnya. Mungkin kita terbiasa hanya mengenal/mengetahui istilah hapus buku dan hapus tagih dari suatu aktivitas atau kegiatan dalam dunia perbankan, namun ternyata isitilah-istilah tersebut juga terdapat pada badan/lembaga/perusahaan bukan bank (non-perbankan). Penghapusan buku dan penghapusan tagih memang lazim digunakan di dalam dunia perbankan, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan juga di dalam dunia non bank. Sebagai contoh, PT Pertamina (Persero) yang mencantumkan tentang kegiatan hapus bukunya dalam Pertamina Board Manual. PT Pertamina (Persero) melakukannya dalam rangka menghapus aset yang dianggap tidak menguntungkan lagi, misalnya dengan cara melepaskan dan menghapuskan aktiva tetap tidak bergerak tersebut, dengan nilai nominal yang sama atau melebihi nilai 2,5% (dua koma lima persen) dari revenue Perseroan atau 5% (lima persen) dari ekuitas Perseroan. Adanya persentase tersebut biasanya karena diatur di dalam Anggaran Dasarnya. Dalam dunia perbankan, timbulnya piutang, umumnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu pemberian pinjaman/kredit, hal mana diketahui kemudian bahwa si debitur ternyata gagal bayar, sehingga kemudian hal inilah yang menjadi alasan dilakukannya kebijakan hapus buku atau hapus tagih. Namun tidak demikian latar belakang penerapan hapus buku atau hapus tagih atas piutang yang dimiliki oleh perusahaan/lembaga non-bank karena timbulnya piutang adalah bukan menjadi tujuan mereka. Timbulnya piutang tentunya akan sangat dihindari oleh 7 perusahaan non-perbankan tersebut, sehingga kalaupun pada akhirnya timbul, maka penerapan kebijakan hapus buku atau hapus tagih pun dimungkinkan. Namun, ternyata ada pula lembaga/perusahaan yang tidak berbentuk perbankan tetapi dalam kegiatan usahanya juga memberikan pinjaman atau dengan kata lain adanya piutang adalah tidak dihindari, adalah perusahaan/lembaga peminjaman, pembiayaan dan sejenisnya, sehingga pada penulisan ini penulis menganggap perusahaan/lembaga tersebut adalah juga termasuk dalam pengertian lembaga/perusahaan perbankan. Apabila dicermati lagi, penerapan kebijakan hapus buku dan hapus tagih dalam dunia perbankan pun ternyata masih dibedakan lagi, yaitu antara bank swasta dengan bank BUMN/BUMD. Dalam mengeluarkan sebuah kebijakan hapus buku atau hapus tagih, Direksi atau Pengurus BUMN/BUMD, terlebih lagi BUMN, akan dituntut untuk lebih hati-hati karena modalnya yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga akan memerlukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan Direksi atau Pengurus bank yang dimiliki oleh swasta, bahkan juga oleh BUMD. Walaupun modal bank BUMN dan bank BUMD sama-sama berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, namun dari segi tingkatan pengawas, fungsi Kementerian BUMN menunjukkan adanya perlakuan pengawasan yang lebih mendalam terhadap kinerja Direksi atau Pengurus BUMN. Bahkan menurut Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo, salah satu yang dikeluhkan oleh 8 perusahaan-perusahaan plat merah adalah mereka selalu dihadapkan pada situasi bahwa piutang perseroan yang dimiliki oleh negara atau BUMN atau BUMD selalu dianggap sebagai piutang negara. 3 Apabila Direksi atau pengurus BUMN berbentuk bank saja dituntut untuk lebih hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan hapus buku maupun hapus tagih, yang mana hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya pemberian pinjaman/kredit dan selalu diiringi dengan adanya pengikatan jaminan, apalagi jika kebijakan tersebut diterapkan di dalam BUMN non-perbankan, yang mana timbulnya piutang sebisa mungkin dihindari karena bukan merupakan core business mereka sebagaimana uraian di atas tadi. Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat Thesis dengan judul “ANALISA HUKUM ATAS PENGHAPUSAN BUKU DAN PENGHAPUSAN TAGIHAN PADA PIUTANG BUMN BUKAN BANK”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok/perumusan permasalahan pada penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana hukum kekayaan negara melihat kebijakan hapus buku dan hapus tagih apabila diterapkan pada BUMN bukan bank? 3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f2a8ab3ca401/pemerintah-dan-dpr-kaji-piutang-bumn 9 2. Bagaimana pertanggungjawaban direksi BUMN yang tidak berbentuk bank apabila menerapkan hapus buku dan hapus tagih atas piutangnya? C. Tujuan Penelitian Dalam Penulisan ini, selain bertujuan dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan penulis pada Program Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, juga diharapkan dapat memberikan gambaran kepada Mahasiswa/i Universitas Gadjah Mada, khususnya mahasiswa/i fakultas hukum atau yang berminat/tertarik pada bidang hukum korporasi negara (BUMN), baik di tingkat sarjana, tingkat pasca sarjana maupun tingkat doktoral, yaitu antara lain : 1. Memudahkan dalam memahami hapus buku dan hapus tagih dari sudut pandang hukum kekayaan negara; 2. Memitigasi risiko hukum yang mungkin timbul terhadap Direksi BUMN Non-Perbankan apabila hendak menerapkan kebijakan hapus buku maupun hapus tagih. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap dengan selesainya penulisan ini, dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan mengenai hukum korporasi negara (BUMN) serta dapat pula menjadi sumbangsih bagi pembangunan negara. 10 E. Keaslian Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji tentang kebijakan hapus buku dan hapus tagih yang diterapkan pada Badan Usaha Milik Negara yang bentuknya bukan bank. Hal ini telah pula Penulis lakukan penelitian, khususnya di Universitas Gadjah Mada, bahwa penelitian atau penulisan mengenai “Analisa Hukum atas Penghapusan buku dan Penghapusan tagihan pada Piutang BUMN bukan Bank”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.