BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang
akan menentukan masa depan suatu Negara. Anak dapat memberikan kontribusi dalam
pembangunan nasional yang lebih baik. Masa depan suatu bangsa dan Negara sekarang
berada ditangan anak. Sebagai generasi penerus bangsa, anak memiliki peran strategis
dalam menjamin eksistensi suatu bangsa dan Negara di masa mendatang. Untuk
memikul tanggung jawab tersebut, pentingnya perhatian dan harapan yang besar kepada
anak sehingga anak dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal baik fisik maupun psikologis. Mengingat anak sebagai
penerus bangsa, untuk itu kesejahteraan anak perlu diperhatikan karena baik dan
buruknya suatu Negara ditentukan oleh bagaimana Negara berperan andil dalam
mensukseskan kesejahteraan anak-anak selain orang tua. Indonesia memiliki UndangUndang mengenai hak atas kesejahteraan anak yang terdapat pada Pasal 2 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 yang menyatakan
bahwa “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik sebelum dan sesudah
masa kandungan”, dan pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Anak berhak
mendapatkan perlindungan terhadap hidup yang dapat membahayakan, menghambat
pertumbuhan, dan perkembangan dengan wajar”. Terkait dengan Undang-Undang
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dasar, untuk itu Negara berhak melindungi dan menjamin hak-hak setiap anak, agar
anak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat manusia, demi tercapainya
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah upaya yang harus dilakukan agar anak
dapat terjamin kehidupannya secara wajar terutama kebutuhan pokok anak. Selain hak
atas Undang-Undang, UNICEF dalam konvensi hak anak (KHA) juga mengemukakan
bahwa anak mempunyai tiga hak yaitu a) Hak yang melekat pada diri anak, b) Hak anak
merupakan hak asasi manusia, c) Hak yang menjamin hak anak. Hak anak tersebut
didasarkan pada sebuah prinsip yaitu anak tidak boleh dibeda-bedakan (seperti
perbedaan agama, suku, ras, jenis kelamin, dan budaya), sesuatu yang terbaik bagi
kepentingan anak harus menjadi pertimbangan, anak harus tetap hidup dan berkembang
sebagai manusia, serta anak harus dihargai dan didengarkan ketika mengemukakan
pendapat. Maka segala sesuatu yang menyangkut tentang kesejahteraan pada anak
adalah penting, karena anak merupakan aset bangsa sehingga apa yang terjadi pada
anak saat ini akan menentukan perkembangan bangsa dimasa depan. Untuk itu banyak
organisasi Internasional yang mempelopori pentingnya kesejahteraan atau well-being
pada anak. Dalam hal ini, peneliti lebih menekankan pada indikasi kesejahteraan anak
secara subjektif atau subjective well-being.
Secara umum, Diener (2003) menyatakan bahwa subjective well-being adalah
evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap kehidupannya, meliputi aspek kognitif
dan afektif. Aspek kognitif adalah bagaimana seseorang merasakan kepuasan dalam
hidupnya, sedangkan aspek afektif adalah bagaimana seseorang merasakan banyak afek
positif didalam hidupnya dibandingkan dengan afek negatif. Menurut UNICEF (2013)
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyatakan bahwa subjective wellbeing pada anak adalah memahami sebagai bagian
dari persepsi, evaluasi, dan aspirasi anak-anak tentang kehidupan mereka sendiri.
Subjective well-being memiliki 3 komponen yaitu kepuasan hidup, afek positif, dan
afek negatif. Berkaitan dengan kepuasan hidup, penelitian yang dilakukan oleh
McCullough et al, 2000 (dalam Davidson, 2005) menyatakan bahwa kepuasan hidup
anak khususnya remaja dipengaruhi oleh sebagian besar dari kehidupan sehari-harinya
baik secara positif maupun negatif, dan kejadian tersebut berhubungan paling kuat
sehingga menimbulkan penurunan aspek positif dan meningkatnya aspek negatif.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Terry & Huebner, 1995 (dalam Davidson, 2005)
menyatakan bahwa persepsi positif anak-anak dengan orang tua menyumbang proporsi
terbesar dari varian dalam kepuasan hidup mereka. Mereka juga mengungkapkan
bahwa seorang anak mungkin lebih merasa nyaman dengan keadaan sendiri, akan tetapi
mereka merasa tidak puas dalam keadaan hidup seperti itu. Selain kepuasan hidup,
komponen lainnya adalah afek positif dan afek negatif. Dimana penelitian yang
dilakukan oleh Hughes, Dunn dan White, 1998 (dalam Davidson, 2005)
mengungkapkan bahwa anak-anak prasekolah memiliki pemahaman emosi secara lebih
baik seperti kebahagiaan dan kesedihan. Sedangkan penelitian yang sama dilakukan
oleh Hughes, Dunn, dan White, 2004 (dalam Davidson, 2005) tentang kemampuan
verbal yang berkaitan dengan pemahaman emosi yaitu bahwa anak-anak memiliki
reseptif yang kuat dalam keterampilan kosa kata sehingga anak mampu menunjukan
pemahaman tentang emosi.
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Banyaknya penelitian yang berhubungan mengenai subjective well-being pada anakanak, akan tetapi masih jarang penelitian yang memfokuskan pada subjek anak,
khususnya pada usia prasekolah. Di Indonesia, masih jarang penelitian yang berkaitan
dengan kondisi subjective well-being pada anak prasekolah. Hal ini dikarenakan, pada
umur tersebut banyak orang yang berasumsi bahwa kepuasan hidup dan afek anak pada
masa tersebut belum nampak sehingga banyak peneliti yang memulai penelitian
khususnya subjective well-being pada saat usia remaja. Misalnya pada penelitian yang
dilakukan oleh Here dan Priyanto (2014) mengenai “Subjective Well-Being Pada
Remaja Ditinjau dari Kesadaran Lingkungan”. Subyek yang dipakai adalah anak SMK
di Semarang,
sehingga berdasarkan penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara kesadaran lingkungan dengan
subjective well-being pada remaja dimana sumbangan afektif yang diberikan kesadaran
lingkungan pada subjective wellbeing remaja sebesar 25,6%. Studi lain mengenai
subjective well-being yaitu dilakukan oleh Nayana (2013) tentang “Kefungsian
Keluarga dan Subjective Wellbeing Pada Remaja”. Subyek yang ia pakai adalah anak
SMA di daerah Malang, sehingga berdasarkan penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa
semakin tinggi kefungsian keluarga maka semakin tinggi pula subjective wellbeing pada
remaja. Sedangkan Studi lain mengenai subjective well-being pada anak dilakukan oleh
Davidson (2005) dimana ia membahas perbedaan jenis kelamin dalam konsep diri.
Subyek yang ia pakai adalah 26 anak-anak dengan rentang usia 7 sampai 11 tahun dan
orang tua, sehingga berdasarkan penelitiannya dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin
mempunyai faktor yang signifikan dengan menggunakan skala subjective well-being.
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Selain penelitian, banyak kasus serta fenomena yang terjadi berkaitan pada anak.
Saat ini, masih banyak anak yang belum mendapatkan kesejahteraannya baik dari
orang tua maupun Negara. Faktanya, Negara belum dapat melindungi anak dari
banyaknya kasus yang menyerang anak-anak seperti kekerasan, penelantaran,
pelecehan, bahkan eksploitasi yang terjadi pada anak. Menurut data KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 5066
kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Sedangkan hasil monitoring dan evaluasi KPAI
pada tahun 2012, 9 provinsi di Indonesia menunjukan 91% terjadi di lingkungan
keluarga. Tidak hanya itu, di era serba teknologi saat ini, anak-anak sudah mulai
diperkenalkan dengan gadget oleh orang tua mereka. Gadget sendiri mempunyai
dampak positif dan negatif. Secara positif anak lebih mengenal permainan yang
diberikan oleh orang tua mereka sehingga dapat meningkatkan kemampuan kognitif
pada anak. Akan tetapi secara negatif, anak dapat dengan mudah terserang gadget
addict yang dapat menimbulkan persoalan serius pada anak seperti anak menjadi lebih
pasif karena kurangnya bermain dengan alam terbuka sehingga akan berdampak pada
perkembangan sosial anak. Bahkan Sebuah studi yang dilakukan oleh Pediatric
Academic Societies menyatakan bahwa lebih dari sepertiga anak-anak AS dibawah satu
tahun telah menggunakan perangkat gadget, 30% diantaranya berusia 1 tahun dan 2%
untuk anak 4 tahun. Selain itu, perkembangan zaman yang terus meningkat saat ini,
membuat pola pikir orang tua seakan berkompetisi, khususnya dalam perkembangan
anak. Dimana orang tua berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik dalam hal
pendidikan anak. Anak mengikuti program prasekolah yang diberikan seperti membaca,
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menulis, dan berhitung dengan harapan anak dapat berkembang sehingga mereka lebih
cerdas.
Perkembangan pada masa prasekolah atau masa kanak-kanak awal adalah periode
dimana anak sering disebut sebagai “Golden Age”. Pada periode ini, aspek
perkembangan anak, baik dari segi fisik, kognitif, emosi, dan psikososial sedang
berkembang secara pesat sehingga anak dapat dengan mudah menyerap apapun yang
berada disekitarnya. Secara fisik anak mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan yang terlihat secara jelas seperti tinggi badan, berat badan, proporsi
tubuh, perkembangan motorik, dan tumbuhnya gigi Hurlock, 1980; Monks dkk., 2001;
Papalia dkk., 2002; Santrock, 2007 (dalam Soetjiningsih 2014). Perkembangan kognitif
juga tak kalah penting dimana Piaget (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa pada
periode ini kognitif anak sedang berkembang dimana anak mulai mempresentasikan
dunianya melalui kata-kata, bayangan, gambar dan pemikiran simbolik sehingga anak
dengan mudah untuk belajar, meniru, dan menyerap apa yang dilihatnya berdasarkan
sensorinya. Selain itu perkembangan emosi pada anak juga sedang berkembang
sehingga anak akan mempunyai emosi rasa senang, marah, jengkel dalam menghadapi
lingkungannya sehari-hari Patmonodewo (2013). Sehingga kita dapat mengetahui
bentuk emosi yang disampaikan anak dalam bentuk apapun seperti senang, sedih,
terkejut, malu, dsb. Sedangkan dalam perkembangan psikosial, dimana anak sudah
dapat berhubungan dengan orang lain diluar keluarga seperti guru, tetangga, dan teman
sebaya, sehingga, berdasarkan pada periode perkembangan tersebut, peneliti
mengasumsikan bahwa anak pada usia prasekolah atau masa kanak-kanak awal mereka
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sudah dapat ditanya mengenai subjective wellbeing atau kesejahteraan secara subjektif.
Oleh sebab itu, berdasarkan penelitian dan perkembangan anak, peneliti ingin
mengetahui apakah anak khususnya pada usia prasekolah dapat memahami mengenai
wellbeing atau kesejahteraan. Dan peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Well-being
pada anak”. Dalam hal ini, peneliti lebih menekankan usia yang dipakai adalah usia
anak prasekolah dengan rentang usia antara 4 sampai 6 tahun.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
1. Apa makna well-being menurut anak prasekolah usia 4-6 tahun ?
2. Hal-hal apa yang mempengaruhi well-being pada anak prasekolah menurut mereka
sendiri ?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna tentang well-being menurut anak prasekolah usia 4-6
tahun.
2. Untuk mengetahui hal-hal mempengaruhi well-being pada anak prasekolah menurut
mereka sendiri.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan, ide dan saran bagi ilmu psikologi khususnya dalam psikologi
perkembangan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk Instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, khususnya
bagi para orang tua dan pendidik mengenai subjective well-being pada
anak usia prasekolah sehingga mereka bisa memenuhi kesejahteraan
yang sesuai pada anak.
b. Untuk Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai
program pemerintah terkait dengan subjective well-being/kesejahteraan
pada anak.
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download