analisis semiotik pada Iklan Kuku Bima Energi Versi Tari Sajojo

advertisement
Komodifikasi budaya lokal dalam iklan: analisis semiotik pada Iklan Kuku
Bima Energi Versi Tari Sajojo
Oleh
Yoyoh Hereyah
Dosen Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
[email protected]
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Bagi suatu perusahaan, beriklan
sangat penting dilakukan untuk mempromosikan
produk–produknya kepada masyarakat luas. Televisi sebagai media periklanan digunakan oleh
perusahaan untuk memasarkan produknya, salah satu produk yang menggunakan televise sebagai
media iklan adalah produk makanan dan minuman. Kepercayaan dunia usaha beriklan di televisi
dapat menjadi acuan, bahwa televisi adalah media populer pada saat ini. Program acara televisi
yang ditayangkan menjadi pemikat pemirsa, sehingga menjadi sarana yang bagus bagi
perusahaan untuk menyisipkan iklan produknya pada acara televisi tersebut, yang memang
dilakukan oleh televisi sebagai jeda komersial, disediakan oleh televisi untuk slot tayangan iklan
di sela-sela tayangan suatu program acara, jika iklan produk ditayangkan di televisi maka
kemungkinan besar iklan tersebut ditonton oleh semua kalangan masyarakat. Iklan merupakan
suatu media yang berisikan pesan-pesan atau info mengenai suatu produk barang atau jasa yang
ditawarkan kepada konsumen.
Dalam komunikasi periklanan, iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya,
tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar dengan citra bergerak (motion picture), warna
dan bunyi-bunyi dimana perpaduan keseluruhan akan menghasilkan komunikasi periklanan yang
efektif (Mulyana,2007:68)
Iklan itu sendiri merupakan suatu simbol yang divisualisasikan melalui berbagai aspek
tanda komunikasi dan tersusun dalam struktur teks iklan. Tanda-tanda yang terdapat dalam suatu
struktur teks iklan merupakan satu kesatuan sistem tanda yang terdiri dari tanda-tanda verbal dan
non verbal berupa kata-kata, warna ataupun gambar serta memiliki makna tertentu yang
disesuaikan dengan kepentingan produk yang akan dipasarkan atau yang akan diinformasikan.
1|Page
Pengaruh iklan yang begitu besar terhadap alam bawah sadar khalayak dimanfaatkan pengiklan
untuk berbagai tujuan, mulai dari mengenalkan produk, meningkatkan penjualan sampai
memperkuat citra produk atau perusahaan.
Iklan televisi menarik bagi konsumen karena keunggulannya menyajikan audio dan
visual secara bersamaan. Televisi sebagai media periklanan, merupakan salah satu media yang
paling mudah untuk mempromosikan produk barang dan jasa kepada masyarakat.
Televisi sebagai media iklan tmemberi dukungan yang besar bagi perusahaan dalam
mempromosikan produk – produk yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan untuk
memperoleh keuntungan perusahaan.
Banyaknya bentuk dan jenis iklan khususnya produk – produk makanan dan minuman di
televisi, tim kreatif dan agency dituntut untuk selalu mencari ide dalam menciptakan iklan di
televisi yang mudah diingat, memberikan respon yang positif atas citra atau image produk yang
dipromosikan atau disampaikan kepada khalayak, karena sebagain besar masyarakat khususnya
masyarakat Indonesia, televisi sudah merupakan bagian dari gaya hidup untuk memperoleh
informasi – informasi yang ter up to date.
Pengembangan iklan produk – produk makanan dan minuman, khususnya PT. Sido
Muncul (yang memproduksi produk minuman jamu Kuku Bima Energi), dengan tim kreatif
Kuku Bima Energi, banyak mengusung tema – tema iklannya dengan latar belakang budaya dan
tradisi yang ada di Indonesia, hal ini tepat kiranya mengingat latar budaya Indonesia yang
beraneka ragam dimana tema produk dengan penggunaan tradisi dan budaya serta bahasa sering
digunakan.
Namun acapkali penggunaan tema-tema tentang nilai budaya, tradisi, bahasa daerah atau
lokal digunakan oleh perusahaan hanya untuk mendongkrak penjualan produk saja. Nilai budaya,
tradisi serta bahasa dijadikan komoditas oleh perusahaan yang disertakan melalui iklan-iklan
yang mengusung tema-tema nilai budaya, tradisi serta bahasa.
Sido Muncul, PT yang memproduksi minuman jamu berenergi, dalam hal ini Kuku Bima,
acap mengusung tema-tema budaya, bahasa dan unsur kedaerahan dalam pembuatan iklannya.
2|Page
Salah salah yang diusung oleh perusahaan, adalah konsep tema budaya papua. Sekilas bila
melihat iklan ini, terasa sekali adanya komodifikasi terhadap tema budaya papua ini.
Bila konsep tema etnik budaya papua dihubungkan dengan analisa Semiotika yang
menggambarkan tentang budaya Indonesia terutama budaya etnik papua dalam hal ini Kuku
Bima tepat sekali. Semiotika itu sendiri berasal dari kata Semiotik atau semiologi yang
merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu tanda yang sama. Untuk melihat adanya
komodifikasi ini analisa semiotika digunakan oleh penulis untuk melihat adanya Komodifikasi
terhadap tema budaya ini. Iklan yang ditayangkan menggunakan endorser dengan menggunakan
costum tradisional salah satu etnis masyarakat papua, kondisi masyarakat papua serta kondisi
alam dan pengusungan budaya lokal dalam iklan tersebut terlihat secara jelas.
Penulis memilih PT. Sido Muncul, dengan produk minuman energy Kuku Bima Energi,
karena perusahaan ini banyak mengangkat nilai – nilai budaya Indonesia. Salah satunya
mengangkat tema etnik daerah papua dalam tayangan iklan Kuku Bima Energi.
Hal ini lah yang mendorong penulis untuk mengambil topik mengenai Komodifikasi
budaya lokal dalam iklan: analisis semiotik pada Iklan Kuku Bima Energi Versi Tari
Sajojo.
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Ekonomi Politik Media dan Komodifikasi
Vincent Mosco menyatakan dalam pendekatan ekonomi politik media ada tiga hal yang perlu
diperhatikan, yakni : komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi berarti proses yang
berlagsung dalam industri media yang selalu memperhatikan bentuk-bentuk komoditi dalam
komunikasi melalui isi media. Terjadinya proses komodifikasi dalam komunikasi melalui
penciptaan pesan dari sejumlah data menjadi produk-produk yang laku dijual (Mosco,2009:14).
Proses komodifikasi menurut Mosco adalah cara kapitalisme mencapai tujuan untuk
mengakumulasi kapital dan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam
sistem tukar. Proses komodifikasi dalam media melalui dua tahap yaitu : pertama, proses
produksi program atau produk media. Kedua, penggunaan periklanan media untuk menciptakan
komodifikasi dalam proses ekonomi.
3|Page
Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas untuk mendapatkan
keuntungan. Dalam prakteknya ada keterkaitan yang saling mempengaruhi dalam proses
komodifikasi dalam periklanan, yaitu: isi media, jumlag audience dan iklan (Mosco,2009).
Komodifikasi juga menggambarkan bagaimana cara kapitalis mencapai tujuannya dengan
mengakumulasikan kapital serta menyadari bahwa nilai guna dapat menjadi nilai tukar.
Komoditas dan komodifikasi, dua hal yang saling berhubungan sebagai objek dan proses.
Bentuk Komoditas dalam Komunikasi adalah berupa isi media komunikasi dan khalayak.
Oleh kapitalisme kedua elemen ini dapat digunakan sebagai sumber mencari keuntungan melalui
transformasi proses nilai guna menjadi nilai tukar tersebut.
2.2. Media, Teks, dan Konstruksi realitas
Kajian mengenai realitas sosial dalam kaitannya mengenai iklan adalah bukanlah sebuah
cermin realitas yang jujur. Melainkan cermin yang cenderung mendistorsi, melebih-lebihkan dan
melakukan seleksi atas tanda-tanda. Tanda-tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi
mengatakan sesuatu tentang realitas (Noviani, 2002, hal.53).
Kontruksi realitas menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The
Sosial Conctruction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge adalah proses sosial
melalui tidakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Sobur, 2001, hal.91).
Kontruksi realitas iklan sebagian besar mengambil bahan material dari kehidupan seharihari. Hal ini terutama untuk menjamin agar tampilan iklan bisa terbaca dengan cara yang tepat.
Tetapi pengambilan realitas itu sendiri dilakukan melalui proses seleksi untuk menentukan mana
yang akan diambil dan mana yang dihilangkan. Realitas yang diambil itu kemudian
diintegrasikan ke dalam system makna iklan yang pada akhirnya memunculkan realitas iklan
(Sobur, 2001, hal.137).
Iklan tidak berbohong, tapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya (Noviani, 2002,
hal.54). Tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupan seperti apa adanya, tetapi selalu ada
4|Page
maksud untuk memotret ideal-ideal sosial dan merepresentasikannya sebagai sesuatu yang
normatif, seperti kebahagiaan, kepuasan (Noviani, 2002, hal.58).
Menurut Berger dan Luckmann, dunia sosial adalah produk manusia, ia adalah konstruksi
manusia dan bukan sesuatu given. Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang
memiliki referensi uatama pada obyek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan
dialami bersama dengan orang lain dalam sebuah pola yang taken for granted (Noviani, 2002,
hal.51).
Iklan tidak mengklaim bahwa apa yang digambarkan dalam iklan adalah realitas apa
adanya tetapi realitas yang seharusnya, dengan berusaha menyamai atau melebihi nilai
kehidupan. Iklan menghadirkan karakter-karakter, hanya sebagai penjelmaan atau inkarnasi dari
kategori-kategori sosial yang lebih besar (Noviani, 2002, hal.56).
Iklan mampu membentuk kekuatan untuk mengkonstruksikan realitas sosial atas realitasrealitas baru yang lebih menarik dan menjanjikan. Namun, hal tersebut cenderung terjadi
penyeragaman budaya di tengah masyarakat, atas perubahan-perubahan pesan yang disampaikan
oleh iklan. Suatu waktu budaya baru muncul dan popular, namun pada waktu tertentu pula
budaya tersebut hilang digantikan budaya lain.
Hal ini terjadi karena isi media massa
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ekonomi, ideologi, politik, dan sebagainya.
2.3. Komunikasi sebagai Proses Pertukaran Tanda dan Makna
Dalam komunikasi ada dua pandangan, pertama, melihat komunikasi sebagai proses
transmisi pesan, sedangkan pandangan kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna. Berkaitan dengan penulisan ini, maka penulis hanya akan menggunakan
pandangan kedua, yaitu komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.
“Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasannya pada bagaimana
sebuah pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat
menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam
budaya. Perspektif ini sering menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena
pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian,
yang ingin dicapai adalah signifikansinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan.
Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan
pendekatan semiotika”(Sobur:52)
5|Page
Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan agar kita sedikit punya pegangan.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari dan menemukan jalan di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa
kita hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Itulah sebabnya tanpa tanda kita tidak dapat
berkomunikasi.
Peirce menandaskan pula, bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
menyerupai, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena
ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk
kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat dan symbol untuk asosiasi konvensional.
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap
tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut
tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek
individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika
kita menyebut tanda sebuah simbol(Sobur:31-35).
Iklan sebagai proses pertukaran tanda dan makna adalah sistem tanda terorganisir
menurut kode – kode yang merefleksikan nilai – nilai tertentu, sikap dan juga keyakinan tertentu.
Setiap pesan dalam iklan dua tingkatan makna yang dinyatakan secara eksplisit di permukaan
dan makna yang dkemukakan secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian,
semiotika menjadi metode yang sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam
iklan dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melaui semiotika
ideologi - ideologi di balik iklan bisa dibongkar.
Iklan merupakan bagian dari bentuk komunikasi yang divisualisasikan melalui berbagai
aspek konsep tanda. Tanda-tanda tersebut tersusun di dalam sebuah struktur teks iklan dan
memiliki makna tertentu. Makna dari tanda-tanda itu dapat dilihat dan ditentukan dengan
menggunakan pola-pola interpretasi terhadap tanda. “Tanda (sign) adalah sesuatu yang secara
fisik dirasakan oleh pikiran kita ; merujuk kepada sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri dan
tergantung atas pengakuan dari penggunaan itu sendiri bahwa hal itu adalah tanda”
(Fiske,1990:44).
6|Page
Pada dasarnya produk yang akan diiklankan tidak memiliki makna, tetapi kemudian agar
produk memiliki nilai dalam benak konsumen, maka digunakanlah tanda-tanda periklanan yang
berupa tanda-tanda non-verbal seperti kata-kata, warna ataupun gambar.Penggunaan kata-kata
dan gambar semacam ini sudah lama diterapkan dalam periklanan dimana perpaduan antara
keduanya dapat menjadikan komunikasi periklanan lebih efektif.
Frank Jefkins berpendapat bahwa : “salah satu cara menyampaikan pesan secara cepat
dan tepat adalah dengan menggunakan lagu-lagu (jingle) atau slogan-slogan yang singkat dan
menarik, selain itu juga dapat menggunakan teknik lainnya yaitu melengkapi iklan dengan
gambar-gambar visual yang unik dan mampu menarik perhatian khalayak” (Jefkins,1997:288).
Tanda-tanda dalam iklan itu sendiri terdiri dari petanda (signified) dan penanda
(signifier). Sebagai tahap awal dalam penyusunan pesan dalam iklan ditentukan terlebih dahulu
karakteristik tentang keunggulan produk sebagai petanda yang kemudian menjadi konsep atau
tema iklan. Pada tahap berikutnya petanda tersebut diterjemahkan ke dalam penanda yang dapat
berupa gambar, warna, figure seorang tokoh atau model dan sebagainya. Lalu menurut Eco tanda
itu sendiri didefinisikan sebagai atas sesuatu yang atas dasar konvensi social yang terbangun
sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur:115).
Susunan tanda-tanda dalam sebuah struktur teks iklan merupakan bentuk rangkaian mata
rantai yang di dalamnya terdapat pula rangkaian makna yang membentuk sebuah nilai ideology
tertentu. Makna-makna tanda iklan adalah sebagai sesuatu yang dihasilkan atau diproduksi dalam
sebuah interaksi antara teks iklan dengan audiensnya. Dengan kata lain makna merupakan
sejumlah reaksi internal di dalam diri manusia terhadap rangsangan (stimuli) yang datang dari
luar. Jika kemudian tanda tidak memiliki makna, maka makna tidak dapat di transmisikan.
2.4. Semiotika Roland Barthes
Semiotika Roland Barthes merupakan pengembangan dari semiotika yang di
kembangkan oleh Saussure yang membagi semiotika menjadi dua bagian yaitu penanda dan
petanda. Penanda dilihat sebagai bentuk / wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya
arsitektur, sedangkan pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau
nilai yang terkandung didalam karya arsitektur.
7|Page
Roland Barthes, ia mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang
didalamnya beroprasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem
signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan maknanya (C
= content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut
sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif
dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya,
sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem
denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna
(C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan
sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif.
Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode
sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan
berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa
menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang
tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang
menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.
2.4.1. Mitos
Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos
adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang
membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis
konotatif. Barker mengungkapkan, “Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak
terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan justifikasi
ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga
tampak abadi.
8|Page
Seperti ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa
tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan
(seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal,
tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut
fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai
penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian
sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam
bahasa Barthes yaitu tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos
timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh
pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan
fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas
penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada
hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang
kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai
suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras
dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasirelasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk
mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi,
namun tidak memberikan kita esensinya.
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang
melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini
sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya
mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan
banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’
(meta-language). Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dibukanya medan pemaknaan
konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya
hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan
9|Page
petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan
makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada
benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam
ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan
peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu
dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain
yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah
tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam
teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai
naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu
saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan
fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Teori Barthes tentang mitos atau ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis
untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk
pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola
tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh
jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara
secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam
lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa
lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore
yang akan menjadi “founding prospective history”.
2.5. Model Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah orang pertama kali yang menyusun model skematik untuk
menganalisis negoisasi dan gagasan makna interaktif antara pembaca, penulis dan teks. Ketika
Saussure menekankan pada teks semata, Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam
teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan
10 | P a g e
konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konvensi yang dialami. Dan inti teori Barthes
adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of signification).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran
pembaca (the reader). Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara
denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya, sistem kedua ini oleh Barthes disebut
dengan konotatif Roland Barthes sangat terpengaruh dengan Saussure dengan semiologi yang
kental dengan inspirasi linguistik.
Dari peta Barthes dapat digambarkan bahwa tanda denotatif terdiri dari atas penanda
(signifier) dan petanda (signified), akan tetapi pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ’mitos’
dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang
berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,
petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua.
Gambar Semiologi Roland Barthes
Pada tingkatan pertama (Language) Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang
gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua, sign
(3) kembali menjadi SIGNIFIER (I) dan digabungkan dengan SIGNIFIED (II) dan menjadi
SIGN (III). Sign yang ada ditingkatan ke dua inilah yang berupa MYTH (mitos) disebut juga
sebagai metalanguage.
11 | P a g e
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian
deskriptif tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat
prediksi dan juga tidak menguji teori (Rakhmat, 2001).
Penelitian ini digunakan karena penelitian ini juga berhubungan dengan proses interpretasi
yang dilakukan untuk memaham tanda-tanda dalam penafsiran tanda-tanda, kode ataupun
simbol-simbol yang terdapat pada subjek penelitian.
3.2 Metode Penelitian
Metode riset yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa semiotika Roland Barthes..
Teknik semiotik sengaja dipilih karena dapat membongkar makna di balik tanda-tanda.
3.3 Unit analisa
Sasaran penelitian adalah tanda dalam iklan iklan Kuku Bima Energy versi Tari Sajojo
Diperlukan unit analisis untuk memudahkan dan mengetahui makna simbol dan tanda yang
merepresentasikan nasionalisme yang terdapat dalam iklan tersebut. Unit analisis merupakan
elemen yang sifatnya penting dan diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tanda-tanda yang ada di iklan Kuku Bima Energy versi
Tari Sajojo
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural
setting), sumber data primer, partisipasi, pengamatan langsung, wawancara mendalam dan hasil
dokumentasi (Sugiyono, 2005, hal.18).
Dengan demikian, data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari iklan Kuku Bima
Energy versi Tari Sajojo yang mulai diluncurkan di Jakarta Pada Rabu, (25/11) bertempat di FX
Sudirman dan data-data dari buku, situs internet, artikel, serta dokumentasi berita yang terkait
dengan penelitian.
3.5 Teknik Analisis Data
Data akan dianalisa menggunakan teknik semiotika, yaitu dengan mengamati sistem tanda,
kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan semiotika Roland
Barthes.
12 | P a g e
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
PT. SidoMuncul bermula dari sebuah industri rumah tangga pada tahun 1940, dikelola
oleh Ibu Rahkmat Sulistio di Yogyakarta, dan dibantu oleh tiga orang karyawan. Banyaknya
permintaan terhadap kemasan jamu yang lebih praktis, mendorong beliau memproduksi jamu
dalam bentuk yang praktis (serbuk), seiring dengan kepindahan beliau ke Semarang , maka pada
tahun 1951 didirikan perusahan sederhana dengan nama SidoMuncul yang berarti "Impian yang
terwujud"dengan lokasi di Jl. Mlaten Trenggulun.
Dengan produk pertama dan andalan, Jamu Tolak Angin, produk jamu buatan Ibu
Rakhmat mulai mendapat tempat di hati masyarakat sekitar dan permintaannyapun selalu
meningkat.Dalam perkembangannya, pabrik yang terletak di Jl. Mlaten Trenggulun ternyata
tidak mampulagi memenuhi kapasitas produksi yang besar akibat permintaan pasar yang terus
meningkat,
Di tahun 1984 pabrik dipindahkan ke Lingkungan Industri Kecil di Jl. Kaligawe,
Semarang.Guna mengakomodir demand pasar yang terus bertambah, maka pabrik mulai
dilengkapi dengan mesin-mesin modern, demikian pula jumlah karyawannya ditambah sesuai
13 | P a g e
dengan kapasitas yang dibutuhkan ( kini jumlahnya mencapai lebih dari 2000 orang ).Untuk
mengantisipasi kemajuan dimasa datang, dirasa perlu untuk membangun unit pabrik yang lebih
besar dan modern, maka di tahun 1997 diadakan peletakan batu pertama pembangunan pabrik
baru di Klepu, Ungaran oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 dan disaksikan
Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan saat itu, Drs. Wisnu Kaltim.
Kuku Bima Energi merupakan produksi dari PT Sido Muncul. Pada Rabu, (25/11)
bertempat di FX Sudirman, Jakarta, PT Sido Muncul mengeluarkan iklan TV versi Tari Sajojo.
Iklan ini merupakan kelanjutan iklan Kuku Bima Energi sebelumnya yang mengangkat tema
budaya yang ada di Indonesia yaitu versi Sejarah Tari Pendet dan Jangan Lupakan Budaya
Membatik.
Peluncuran iklan diawali dengan sarasehan budaya Pelestarian Tarian di Indonesia yang
menghadirkan Sejarawan Anhar Gonggong, Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid,
Budayawan Arswendo, Pengamat Sosial Imam Prasojo, Novelis, Cerpenis & Redaktur Budaya
Jurnal Nasional Arie MP Tampa, Budayawan, Penyair & Redaktur Executive Kompas Radar
Panca Dahana dan Direktur Utama PT Sido Muncul Irwan Hidayat sebagai nara sumber serta
Effendi Ghozali sebagai moderator.
”Kami mengadakan sarasehan sekaligus meluncurkan iklan Kuku Bima Energi versi Tari
Sajojo yang berasal dari Papua, agar masyarakat mencintai dan ikut melestarikan budaya bangsa
khususnya Tari Sajojo agar tidak di klaim oleh bangsa lain, karena ini merupakan salah satu aset
negara kita. Pada tayangan iklan kali ini tergambar dengan jelas akan keindahan alam Papua, di
dua lokasi pengambilan gambar yaitu Lembah Baliem Wamena dan Pantai Amai Jayapura yang
melatar belakangi para penari yang yang merupakan penduduk asli Papua yang ada di Indonesia
Timur ini dan para bintang iklan Kuku Bima Energi Donny Kesuma dan Chris John serta Shanti
ikon terbaru dari Kuku Bima Energi, terang Irwan Hidayat.
Dipilihnya Papua sebagai lokasi tempat pembuatan iklan, karena Papua memiliki budaya
yang unik dan keindahan alam yang tidak dimiliki daerah lain. Diharapkan dengan melihat
tayangan iklan ini, masyarakat akan tahu keindahan kota Papua dan seni Tari Sajojo yang berasal
dari sana.
14 | P a g e
Sebagai produk unggulan PT Sido Muncul, Kuku Bima Energi yang merupakan pelopor
minuman energi rasa memiliki berbagai rasa yaitu original, anggur, jeruk, jambu, susu soda, kopi
dan nanas.
4.2 Analisis Data Berdasarkan makna denotasi dan konotasi
Tim SIGN
DENOTATIVE
KONOTATIVE
Visual:
Landscape bumi
papua
Lembah Baliem
merupakan lembah
di pegunungan
Jayawijaya. Lembah
Baliem berada di
ketinggian 1600
meter dari
permukaan laut
dikelilingi
pegunungan
Audio:
Music awal lagu
Sajojo
Visual:
Petinju nasional Cris
John berlari-lari
bertelanjang dada,
dengan celana
panjang merah di
latar belakangi
indahnya alam
lembah baliem
Papua
Audio:
Music awal lagu
Sajojo
Keindahan alam tanah
papua yang masih
murni , di kejauhan
pegunungan Trikora
e
00:
06
00:
08
15 | P a g e
.
Cris John adalah
mascot olahraga di
Indonesia,
melambangkan
keperkasaan dan
kedigjayaan seorang
laki-laki Indonesia,
dia berjalan di bumi
Papua yang indah
00:
10
Visual:
Suasana lembah
Baliem
Lembah baliem yang
mempesona dengan
keindahan alamnya
Audio:
00:
13
Visual:
Seorang suku
pedalaman Papua
dengan perlengkapan
perangnya, busur
dan anak panah
Audio:
Papua Bumi Penuh
Berkah
Sosok lelaki Papua
dengan
keperkasaannya siap
berperang melawan
segala angkara murka
di bumi Papua, papua
adalah bumi penuh
berkah penuh dengan
segala kebaikan
Visual:
Suku pedalaman
Papua sedang
bersiap-siap untuk
perang membawa
busur dan anak
panah
Audio:
Papua Berpotensi
Sosok laki-laki Papua
yang mengisyaratkan
adanya kesiapan
untuk berperang.
Menapak ke masa
depan Papua yang
penuh dengan potensi,
segala kemungkinan
yang bisa
dikembangkan secara
positif
Shanti, perempuan
Indonesia yang cantik,
menyerukan lagu
sajojo .
Lagu sajojo
merupakan lagu yang
mengiringi tarian
papua yang amat
dinamis dengan gerak
yang sangat cekatan
Visual:
Shanti mascot dari
PT Sidomuncul
menyerukan awal
lagu sajojo
Audio:
Sajojo…..
16 | P a g e
Visual:
Lelaki suku
pedalaman Papua
tengah berlari sambil
membawa busur dan
anak panah
Audio:
Lagu Sajojo
Panggilan suara lagu
sajojo mengajak
semua laki-laki suku
pedalaman papua
untuk bergerak ke
depan dengan penuh
kesiapan
Visual:
Cris John tengah
membantu seorang
lelaki suku
pedalaman Papua
yang membawa
busur dan akan
panah
Audio:
Lagu sajojo
Cris John yang
memakai celana
merah lambing dari
Kuku Bima menarik
dan menolong
anggota suku
pedalaman papua dan
mengajaknya berlari
menuju panggilan
suara
Visual:
Cris John berlari
diikuti sejumlah
lelaki suku
pedalaman papua
yang bersenjata
busur dan panah
Cris john berlari
penuh semangat
memenuhi panggilan
lagu Sajojo
memimpin barisan
suku pedalaman
Papua yang
berpakaian adat
perang siap bertempur
dengan busur dan air
panah
Visual:
Sementara itu, di
Donny Kusuma naik bagian lain Dony
perahu bersama suku Kusuma dengan
pedalaman Papua
bendera Kuku Bima
sambil membawa
memimpin sejumlah
bendera berwarna
suku pedalaman
merah dengan logo
papua melewati arus
kuku bima di atasnya sungai menuju
panggilan suara
air dari Sungai Baliem
menyatu dengan
17 | P a g e
Visual:
Shanti tengah berada
di antara para penari
suku pedalaman
Papua yang
menghias wajah
mereka
18 | P a g e
danau berlumpur
kecoklatan. Namun
arusnya terus melaju
turun, hingga nantinya
menghilir ke Laut
Arafura
Berbaur dengan suku
pedalaman papua,
dengan warna merah,
seakan taka da
perbedaan yang
mendasar di anatar
mereka
Visual:
Shanti meminum
minuman berwarna
kuning khas Kuku
Bima, diikuti oleh
sejumlah warga suku
pedalaman papua
Menambah semangat
dengan minuman
berenergi
Shanti berbaju
merah mengajak
anak-anak suku
untuk segera
berkumpul
Memberi semangat
kepada anak-anak
generasi penerus suku
pedalaman Papua
Visual:
Gambar rumah unik
suku pedalaman
Papua yang sering
disebut sebagai
Honai
Audio:
Lagu sajojo
Visual:
Cris John mengajak
anak-anak suku Dani
yang hidup di sekitar
lembah Baliem
19 | P a g e
Cris John mewakili
manusia modern,
peradaban modern
mengajak suku dani
yang masih asli dan
sederhana.
Sebagai suku yang
masih terjaga
keasliannya,
masyarakat Dani
membuat peralatan
sederhana berbahan
batu dan tulang.
Tulang-tulang itu
mewakili gaharnya
Suku Dani, yang juga
terkenal sebagai
pejuang. Sedangkan
batu menjadi basis
tradisi Bakar Batu,
yakni memasak babi
di atas batu panas
Visual:
Cris John meniru
gerakan salah satu
suku Dani di depan
Honai mereka
menggunakan
tombak panjang yang
sering mereka pakai
untuk berburu dan
berperang
Transfer peradaban,
mencoba berbaur
memahami
peradaban yang ada,
larut dalam budaya
setempat
Visual:
Wajah close Up ketua
suku/ orang yang
disegani di Suku Dani
Menunjukkan power
atau kekuasaan
sebagai perlambang
adanya legitimasi
kekuasaan
Visual:
Shanti bersendagurau
dengan perempuan
suku Dani dengan
adat istiadatnya yang
khas. Perempuan suku
Dani menghias tubuh
mereka dengan totol
warna putih lambang
kecantikan
Visual:
Kepala Suku
memimpin semua
anak buahnya
termasuk Shanti, Doni
dan Cris John untuk
menari Sajojo
20 | P a g e
Adanya kesamaan
antara wanita
modern dengan
kecantikannya
dengan wanita suku
pedalaman papua
dengan ‘kecantikan’
menurut versi
mereka sendiri
Legitimasi
kekuasaan
Visual:
Doni, Shanti dan Cris
John berpakaian
merah khas Kuku
Bima , meminum
produk di depan
anggota suku Dani
yang tengah menari
Sajojo
Ketiganya semangat
karena minum Kuku
Bima energy!!
Visual:
Logo Kuku Bima
Energi!! Dengan tiga
rasa muncul di akhir
Iklan
Semangat dan segala
keperkasaan itu
muncul karena
adanya minuman
energy Kuku Bima
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Iklan mampu membentuk kekuatan untuk mengkonstruksikan sosial atas realitas-realitas
baru yang lebih menarik dan mengkonstruksikan sosial atas realitas-realita baru yang lebih
menarik dan menjanjikan. Namun, hal tersebut cenderung terjadi penyeragaman budaya di
tengah masyarakat, atas perubahan-perubahan pesan yang disampaikan oleh iklan. Suatu waktu
budaya baru muncul dan popular, namun pada waktu tertentu pula budaya tersebut hilang
digantikan budaya lain.
Dan Iklan Versi Tari Sajojo ini sebenarnya merupakan komodifikasi budaya local, alihalih sebagai budaya adiluhung tetapi sebenarnya hanya dimanfaatkan untuk mengemas
keperkasaan lelaki papua yang selalu siap bertempur karena minum minumen berenergi merek
Kuku Bima. Ini jelas terlihat saat Direktur Utama PT Sido Muncul Irwan Hidayat berbicara
sebagai nara sumber saat melakukan peluncuran perdana produk ini.
21 | P a g e
”Kami mengadakan sarasehan sekaligus meluncurkan iklan Kuku Bima Energi versi Tari
Sajojo yang berasal dari Papua, agar masyarakat mencintai dan ikut melestarikan budaya bangsa
khususnya Tari Sajojo agar tidak di klaim oleh bangsa lain, karena ini merupakan salah satu aset
negara kita. Pada tayangan iklan kali ini tergambar dengan jelas akan keindahan alam Papua, di
dua lokasi pengambilan gambar yaitu Lembah Baliem Wamena dan Pantai Amai Jayapura yang
melatar belakangi para penari yang yang merupakan penduduk asli Papua yang ada di Indonesia
Timur ini dan para bintang iklan Kuku Bima Energi Donny Kesuma dan Chris John serta Shanti
ikon terbaru dari Kuku Bima Energi, terang Irwan Hidayat.
Iklan
ini
memiliki beban yang berat karena selain memasarkan produk minuman
berenergi Kuku Bima, Irwan
berharap bisa membuat masyarakat mencintai dan ikut
melestarikan budaya bangsa khususnya Tari Sajojo agar tidak diklaim oleh bangsa lain.
Pemanfaatan Cris John, Donny Kusuma dan Shanti yang melambangkan sosok cantik atau
perkasa sebagai mitos dunia modern coba disandingkan dengan suasana tradisional di kawasan
pedalaman suku Dani. Ini sebenarnya merupakan proses komodifikasi budaya local.. Proses
komodifikasi dalam komunikasi terjadi melalui penciptaan pesan dari sejumlah data menjadi
produk-produk yang laku dijual sebagaimana pendapat Vincent Mosco.
Proses komodifikasi menurut Mosco adalah cara kapitalisme mencapai tujuan untuk
mengakumulasi kapital dan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam
sistem tukar. Proses komodifikasi dalam media melalui dua tahap yaitu : pertama, proses
produksi program atau produk media. Kedua, penggunaan periklanan media untuk menciptakan
komodifikasi dalam proses ekonomi.
Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas untuk mendapatkan
keuntungan. Dalam prakteknya ada keterkaitan yang saling mempengaruhi dalam proses
komodifikasi dalam periklanan, yaitu: isi media, jumlag audience dan iklan (Mosco,2009).
Komodifikasi juga menggambarkan bagaimana cara kapitalis mencapai tujuannya dengan
mengakumulasikan kapital serta menyadari bahwa nilai guna dapat menjadi nilai tukar.
Komoditas dan komodifikasi, dua hal yang saling berhubungan sebagai objek dan proses.
22 | P a g e
Ini jelas terlihat adanya komodifikasi tarian Sajojo yang terkenal di tengah masyarakat
Indonesia, dan di’kawinkan’ dengan keperkasaan pria yang muncul dari mitos keperkasaan dari
Kuku Bima. Kata Kuku Bima sendiri merupakan mitos tersendiri, yakni kekuatan kuku dari
Bhimasena –lelaki perkasa keturunan Pandawa yang terkenal dengan kukunya yang luar biasa.
Sebagai ‘kuku dari Bhima’ minuman bernergi ini dicitrakan sebagai kekuatan luar biasa yang
membantu siapapun yang meminumnya agar bisa seperkasa Bhima . Menjadi agak dipaksakan
apabila Kuku Bima disandingkan dengan suku pedalaman Papua yang hidup di lembah Baliem,
mengingat kultur dan keperkasaan Bhimasena yang berakar di tanah Jawa agak berbeda dengan
kultur keperkasaan orang Papua – yang digambarkan lewat sosok lelaki Papua yang siap
bertempur dan berperang lengkap dengan
busur dan anak panahnya. Ini merupakan
komodifikasi dari pihak Kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan dari penjualan produknya di
pasaran,lewat Iklan yang seolah-olah mengangkat keperkasaan lelaki tanah papua dengan latar
belakang tari Sajojo yang sebenarnya bukan berbicara soal keperkasaan atau semangat
berperang, karena pada dasarnya tari Sajojo merupakan tari pergaulan yang menceritakan sosok
perempuan cantik papua yang memikat para pecintanya agar tertarik menari bersama dia.
KESIMPULAN
Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas untuk mendapatkan
keuntungan, adanya komodifikasi tarian Sajojo yang di’kawinkan’ dengan keperkasaan pria
yang muncul dari mitos keperkasaan dari Kuku Bima.
Kata Kuku Bima sendiri merupakan mitos tersendiri, yakni kekuatan kuku dari Bhimasena –
lelaki perkasa keturunan Pandawa yang terkenal dengan kukunya yang luar biasa. Sebagai ‘kuku
dari Bhima’ minuman bernergi ini dicitrakan sebagai kekuatan luar biasa yang membantu
siapapun yang meminumnya agar bisa seperkasa Bhima . Menjadi agak dipaksakan apabila Kuku
Bima disandingkan dengan suku pedalaman Papua yang hidup di lembah Baliem, mengingat
kultur dan keperkasaan Bhimasena yang berakar di tanah Jawa agak berbeda dengan kultur
keperkasaan orang Papua – yang digambarkan lewat sosok lelaki Papua yang siap bertempur dan
berperang lengkap dengan busur dan anak panahnya.
23 | P a g e
Ini merupakan komodifikasi dari pihak Kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan dari
penjualan produknya di pasaran, lewat Iklan yang seolah-olah mengangkat keperkasaan lelaki
tanah papua dengan latar belakang tari Sajojo yang sebenarnya bukan berbicara soal keperkasaan
atau semangat berperang, karena pada dasarnya tari Sajojo merupakan tari pergaulan yang
menceritakan sosok perempuan cantik papua yang memikat para pecintanya agar tertarik menari
bersama dia.
24 | P a g e
Daftar pustaka
Fiske, Introduction to Communication Studies, Sage Publication, 1990
Jefkins Frank, Periklanan, Jakarta ; Erlangga, 1997
Littlejohn, Theories of Human Communication,
Mosco Vincent,The Political Economy of Communication, Sage, 2009
Noviani, Ratna. Jalan Tengah Memahami Iklan Antara Realitas,
Representasi dan Simulasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya,
Sobur Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika &
Analisa Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif – Kualitatif Dan R&D, AlfaBeta, Bandung, 2005,
Rakhmat Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
http://www.sidomuncul.com
25 | P a g e
Download