BBM Naik, Kemiskinan Pasti Makin Parah

advertisement
KESEJAHTERAAN
BBM Naik, Kemiskinan Pasti Makin Parah
Suara Karya : Kamis, 8 Mei 2008
JAKARTA (Suara Karya): Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi niscaya
berdampak memperparah masalah pengangguran dan kemiskinan. Ini tak terhindarkan
karena dampak inflatoar kenaikan harga BBM selama ini sudah terbukti dahsyat. Terlebih
lagi daya beli masyarakat sekarang ini sudah banyak terkikis oleh lonjakan harga komoditas
pangan.
Karena itu, pemerintah harus melakukan survei ulang mengenai jumlah masyarakat
miskin, sekaligus memperhitungkan masyarakat yang tergolong berpotensi menjadi miskin
akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Dengan demikian, program kompensasi kenaikan
harga BBM bisa lebih akurat menyentuh masyarakat miskin.
Demikian penuturan Direktur International Center for Applied Finance and Economics
(Inter-CAFE) IPB Iman Sugema, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, Direktur
Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, dan ekonom Hendrawan Supratikno di
Jakarta, kemarin.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menegaskan, kenaikan harga BBM
bersubsidi sekarang ini sulit dihindari. Menanggapi keluhan masyarakat, dia mengaku
berdosa bila kenaikan harga BBM ini ditunda sampai setelah pemilihan presiden.
Menurut Iman, pemerintah harus memperbarui basis data (data base) masyarakat
yang layak menerima bantuan langsung tunai (BLT) maupun bantuan lain sebagai wujud
kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Dia mengingatkan, jumlah warga miskin
sekarang hampir pasti bertambah banyak akibat lonjakan harga komoditas pangan
belakangan ini. Karena itu, kenaikan harga BBM niscaya menjadi faktor yang memperparah
kondisi.
Karena itu pula, kata Iman, program kompensasi kenaikan harga BBM tak bisa
berpijak pada data lama. "Data base penduduk miskin tahun 2005 harus di-update
(diperbarui). Data tersebut sudah tak valid lagi untuk dijadikan pijakan dalam melakukan
program kompensasi kenaikan harga BBM," ujarnya. Dia mengingatkan, di waktu lalu saja
tak sedikit warga miskin yang tak tersentuh bantuan kompensasi kenaikan harga BBM. Itu
karena basis data tahun 2005 sendiri kurang akurat.
"Jika pemerintah menggunakan kembali data lama, jelas makin banyak lagi banyak
penduduk miskin yang tidak terjaring program kompensasi kenaikan harga BBM. Jadi, up
dating penduduk miskin ini mutlak perlu," ujar Iman.
Sementara itu, Ichsanuddin Noorsy menjelaskan, kenaikan harga BBM otomatis
berdampak meningkatkan dan memperdalam kemiskinan. Menurut dia, selama ini saja
jumlah penduduk miskin naik dari 31,1 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 39,3 juta jiwa
pada tahun 2006. Demikian pula tingkat inflasi naik tajam menjadi 17,75 persen pada tahun
2006 pascakenaikan BBM pada tahun 2005.
Di sisi industri, dua kali kenaikan harga BBM pada tahun 2005 juga mendorong
proses percepatan deindustrialisasi. Jika pada tahun 2004 masih tumbuh 7,2 persen, maka
pada tahun lalu sektor manufaktur hanya tumbuh 5,1 persen.
"Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi, yakni peningkatan biaya produksi
dan merosotnya permintaan akibat penurunan daya beli masyarakat," kata Ichsanuddin.
Selain itu, jumlah penganggur juga bertambah dari 9,9 persen pada 2004 menjadi
10,3 persen pada 2005, dan 10,4 persen pada 2006. "Dampak kenaikan harga BBM pada
2005 itu sangat panjang. Tidak seperti klaim pemerintah yang memprediksikan dampaknya
hanya akan terjadi setahun, setelah itu membaik. Tapi ternyata pertumbuhan ekonomi lebih
rendah dari prediksi," ujarnya.
Sementara itu, Pri Agung Rakhmanto menyatakan, kenaikan harga BBM bisa
mendongkrak pengangguran bertambah 16,92 persen per tahun. Menurut dia, itu
merupakan hasil simulasi model dengan menggunakan time serries data.
Menurut penelitian, solar merupakan jenis BBM yang paling berpengaruh terhadap
peningkatan pengangguran. Kenaikan harga solar sebesar 30 persen berdampak
menumbuhkan pengangguran sebesar 10,83 persen. Ini karena harga solar terkait
kemampuan industri untuk tetap berproduksi.
Dari hasil simulasi dengan model kemiskinan diketahui bahwa kenaikan harga BBM
hingga 30 persen mendongkrak kemiskinan sebesar 8,55 persen per tahun. Minyak
tanah merupakan jenis BBM yang paling besar kontribusinya terhadap peningkatan
kemiskinan ini. Jika simulasi dilakukan dengan menggunakan model Indeks Harga
Konsumen (IHK), maka kenaikan harga BBM sebesar 30 persen menyebabkan
pertumbuhan inflasi 26,94 persen per tahun.
Lalu jika simulasi menggunakan model produk domestik bruto (PDB), maka kenaikan
BBM sebesar 30 persen berdampak menurunkan pertumbuhan sebesar minus 4,11
persen.
Sedangkan Hendrawan Supratikno menilai, pencabutan subdisi BBM sebenarnya
bukan pilihan akhir yang bisa diambil pemerintah. Menurut dia, banyak opsi lain
yang sebenarnya bisa ditempuh pemerintah. Tapi opsi-opsi tersebut hanya
diwacanakan.
"Pemerintah sibuk berwacana tentang pilihan kebijakan untuk menyelamatkan
ekonomi bangsa. Tapi itu ternyata tidak diimplementasikan," kata Hendrawan.
Menurut dia, belum ada satu pun langkah atau kebijakan lain diambil sebelum
memilih opsi menaikan BBM. "Seolah-olah klaim pemerintah menaikan harga BBM
yang akan dilakukan merupakan pilihan terakhir," katanya.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan,
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mendapat banyak reaksi berbagai
kalangan. Itu antara lain melalui SMS ke ponsel Presiden. Umumnya publik meminta
agar kenaikan harga BBM ini dilakukan setelah Pilpres 2009.
"Saya bilang, dosa saya kalau melakukan hal seperti itu (BBM dinaikkan setelah
pilpres). Jadi, yang saya inginkan adalah kenaikan harga BBM ini membawa kebaikan
bagi masyarakat dan bagaimana melindungi masyarakat, khususnya masyarakat
miskin," tutur SBY.
Oleh karena itu, pemerintah sedang berdiskusi dengan DPR mencari opsi terbaik
tentang kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika kemudian pemerintah memutuskan
menaikkan harga BBM, maka keputusan itu bukan merupakan politik praktis.
(Indra/Andrian/Abdul Choir)
Download