BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak era

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak era globalisasi, krisis keuangan menjadi lebih sering terjadi dari pada
sebelumnya. Salah satu alasan utamanya adalah kemajuan dalam teknologi
informasi yang sampai batas tertentu, memperbesar gelombang krisis dan
mempercepat penyebarannya ke daerah atau negara lain. Alasan lain adalah
perkembangan pesat dari sektor keuangan, salah satu contoh adalah munculnya
International Financial Integration (IFI). Dalam hal ini, Edison et al. (2002: 1)
menjelaskan bahwa IFI mengacu pada “sejauh mana suatu perekonomian tidak
membatasi transaksi lintas batas”. Oleh karena itu, karena sistem keuangan yang
terintegrasi, timbulnya gangguan keuangan domestik di satu negara dapat
mengakibatkan efek domino dengan cara mengacaukan ekonomi terintegrasi
lainnya yang mengarah kepada kekacauan keuangan global.
Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis keuangan besar terjadi,
yaitu Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global 2008. Jika
krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas
pemerintah yang menyebabkan distorsistruktural serta kebijakan (Corsetti et al.,
1999), gejolak ekonomi tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi yang cepat
dalam produk keuangan seperti praktek sekuritisasi dan “credit default swap”. Hal
ini diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat kredit yang tidak akurat. Pada
kedua kasus, perkembangan krisis menyebar ke benua-benua lain dan, dalam
1
waktu singkat, menjadi krisis global karena efek menular di tengah sistem
keuangan yang terintegrasi secara global dan persebaran informasi yang cepat.
Meskipun sumber krisis dapat bervariasi, konsekuensi dari krisis keuangan
selalu dikaitkan dengan indikator makro ekonomi, khususnya pertumbuhan
ekonomi. Sebagai contoh, selama krisis Asia Timur, pertumbuhan ekonomi Asia
Timur jatuh dari wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, menjadi wilayah
yang beberapa negara anggotanya mencatat pertumbuhan pendapatan yang negatif
pada tahun 1998 seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina
dan Thailand (Asian Development Bank, 1999). Selanjutnya, Indonesia, Thailand,
dan Korea Selatan harus meminta program pinjaman dana talangan ke Dana
Moneter Internasional (IMF).
Di sisi lain, selama krisis 2008, meskipun sumber krisis disebabkan oleh
runtuhnya lembaga-lembaga keuangan internasional di barat, terutama di Amerika
Serikat dan Inggris, beberapa negara Asia Timur seperti Malaysia, Singapura, dan
Thailand juga masuk ke krisis dengan mengalami pembebanan keuangan besar.
Namun demikian, statistik menunjukkan bahwa dampak krisis pada tahun 2008 di
negara-negara Asia Timur tidak seburuk pada tahun 1997. Selain itu, negaranegara ini berhasil pulih dengan cepat. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat
bahwa negara Asia Timur telah belajar banyak pada tahun 1997 dan berhasil
menahan krisis pada tahun 2008 melalui fundamental ekonomi yang telah
diperkuat.
2
1.1.1
Kondisi Ekonomi Global
Tahun 2007 hingga 2008 menjadi tahun yang amat berat bagi ekonomi
dunia. Setelah mengalami krisis bahan bakar (fuel) dan pangan (food), saat ini
ekonomi dunia dihadapkan lagi pada krisis finansial (financial) yang dampaknya
telah begitu terasa dan masih akan terus berlangsung. Untuk krisis terakhir, yaitu
krisis finansial, karena berasal dari Amerika Serikat (AS), sebagai pelaku nomor
satu ekonomi dunia saat ini, maka dampaknya berimbas pada lebih banyak bidang
dan melibatkan lebih banyak negara, termasuk Indonesia. Alan Greenspan,
mantan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), bahkan menyebut krisis ini sebagai
‘once-in-century’ financial crisis-nya yang akan dan terus membawa dampak
terhadap perekonomian global. International Monetary Fund (IMF) bahkan
menyebutnya sebagai „largest financial shock since Great Depression‟, yang
menandakan betapa dalam krisis telah terjadi.
Belajar dari pengalaman Indonesia dalam krisis 1997-1998 yang lalu juga
menunjukkan bagaimana kegagalan pasar yang berdampak buruk bagi
perekonomian, juga menuntut partisipasi pemerintah untuk mengatasi dampak
krisis dengan mengalirkan dana untuk menyelamatkan perekonomian nasional.
Hal ini menunjukkan bagaimana kegagalan pasar dalam kapitalisme sebagai
akibat perilaku spekulatif dari pelaku pasar. Lebih memperihatinkan adalah fakta
bahwa asal muasal krisis sebenarnya adalah kesalahan (atau lebih tepatnya
ketamakan) perusahaan finansial dalam mengalokasikan dananya, yang nampak
jelas terjadi pada kredit perumahan sub-prima (subprimemortgage). Kesalahan ini
dengan sendirinya menunjukkan kelemahan mendasar dari sistem ekonomi
3
kapitalis yang semata-mata mendasarkan proyeksi bisnis pada spekulasi atas
kemungkinan pendapatan di masa mendatang, dan tanpa melihat realitas dunia
ekonomi yang tengah berlangsung. Bencana keuangan pun terjadi setelah kredit
macet terjadi dan melumpuhkan sejumlah raksana finansial yang mem-back-upnya. Dimulai dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan
finansial raksasa Bear Stearns.
Negara Amerika Serikat merupakan negara maju yang dikenal sebagai
pusat perekonomian di dunia. Amerika Serikat mencatat sejarah kelam dalam
perekonomian karena mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang diawali
dengan kebangkrutan Leman Brothers, yang merupakan salah satu perusahaan
investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika Serikat. Tidak
terduga suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh,
celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan
menjalar keseluruh dunia.
Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan
pendapatan yang diterimanya. Masyarakat hidup dalam utang, belanja dengan
kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang
memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena
piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada
lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut harus
bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh utang-utangnya yang mengalami
jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan
finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya,
4
perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan
Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di
seluruh dunia.
Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun
2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang
selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai
negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume
impor menurun drastis, yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara
produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan
oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu
sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di
seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan
ekspornya ke Amerika Serikat.
Krisis global berdampak dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi
dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot
tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam
bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan
jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging
markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu
terjadinya krisis ekonomi.
5
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara (%)
Negara/Kelompok
2006
2007
2008
Dunia
1. Negara Maju
AS
Jepang
Perancis
Italia
2. Negara Berkembang
Brasil
India
Indonesia
5,0
3,0
2,9
2,4
2,0
1,8
7,8
3,8
9,7
5,5
4,9
2,7
2,2
2,1
1,9
1,5
7,9
5,4
9,2
6,3
3,7
1,3
0,5
1,4
1,4
0,3
6,7
4,8
7,9
6,1
2009
3,8
1,3
0,6
1,5
1,5
0,3
6,6
3,7
8,0
6,2
Sumber: IMF, World Economic Outlook, April, 2008
Catatan: Data pertumbuhan ini menggunakan data PDB berdasar perhitungan PPP
(Purchasing Power Parity).
Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun-tahun yang penuh tantangan bagi
ekonomi dunia. Pada kedua tahun tersebut pertumbuhan ekonomi dunia akan
menurun dari 4,9 persen pada tahun 2007 menjadi 3,7 persen pada tahun 2008 dan
3,8 persen pada tahun 2009. Penurunan kegiatan ekonomi dunia ini terutama
disebabkan oleh akan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dari 2,2 persen
pada tahun 2007 menjadi 0,5 persen pada tahun 2008 dan 0,6 persen pada tahun
2009. Pada periode yang sama dan sebagai akibat dari melambatnya pertumbuhan
ekonomi AS, pertumbuhan ekonomi di semua negara-negara lain juga akan
menurun.
Kelompok negara-negara yang sudah maju akan menurun dari sebesar
rata-rata 2,7 persen pada tahun 2007 menjadi 1,3 persen pada masing-masing
tahun 2008 dan 2009. Kelompok negara-negara yang sedang membangun turun
dari 7,9 persen pada tahun 2007 menjadi sekitar 6,7 persen pada dua tahun
berikutnya. Suatu pola yang terlihat di sini adalah lebih besarnya tingkat
penurunan yang terjadi pada negara-negara yang sudah maju (sekitar 50 persen)
daripada di negara-negara yang sedang berkembang (hanya sekitar 15 persen).
6
Terlihat dari perubahan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 menunjukkan
Pertumbuhan ekonomi dunia sepertinya masih bergantung pada kondisi
perekonomian yang terjadi di negara Adidaya Amerika Serikat (AS).
Harus diakui, krisis finansial yang tengah berlangsung saat itu tidak bisa
dilepaskan dari the nature of capitalism yang mengakar pada sistem ekonomi
mainstream yang saat ini diusung AS dan sebagian besar negara di dunia. Dalam
sistem ekonomi kapitalisme, pasar selalu diyakini memiliki kemampuan selfcorrecting yang menjamin tercapainya equilibrium setiap kali terjadi gejolak.
Market fundamentalisme yang telah menjadi ideologi dominan ini kemudian
menjadi pegangan yang menyebabkan maraknya transaksi berbasis spekulasi yang
hanya menambah menggelembungnya ekonomi, Akan tetapi tanpa pijakan yang
riil dan kuat (bubble economy), tinggal menunggu waktu untuk meledak sehingga
menimbulkan krisis berikut dampak dan efek negatifnya bagi perekonomian.
Keyakinan berlebihan dalam market fundamentalisme juga berakibat pada
alpanya sebagian besar pelaku ekonomi, bahwa otoritas keuanganlah yang kerap
kali berjasa dan harus bertindak setiap kali terjadi krisis. Dalam kasus AS, sejak
1980, sejumlah krisis juga telah terjadi, antara lain krisis perbankan internasional
1982, bangkrutnya Continental Illinois 1984, kegagalan Long-Term Capital
Management 1998, dan pada setiap krisis, otoritas keuanganlah yang megucurkan
dana untuk menolong perekonomian bangkit kembali atau setidaknya mengambil
inisiatif untuk hal tersebut (The New York Time Review of Books ,2008)
Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar
keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar
7
yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di AS segera memicu
gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia. Pasar modal di
AS, Eropa, dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan
jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Efek domino dalam
perekonomian dunia akibat krisis finansial AS ini memang merupakan
konsekuensi logis dari model perekonomian global yang makin terbuka dan
menghapuskan batasan-batasan antar negara. Akibatnya semua pelaku ekonomi
dunia rentan terkena dampaknya, terlepas dari fakta bahwa pelaku tersebut ikut
menikmati hasil perekonomian tersebut atau pun tidak. Di sinilah kemudian
pertanyaan mendasar mengenai kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi layak
untuk dikemukakan. Benarkah pasar mampu menentukan sendiri dengan tepat dan
efisien alokasi ekonomi terbaik bagi masyarakat? Benarkah pasar juga mampu
memberikan keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi dunia?
Dalam konteks ekonomi global saat ini, globalisasi yang arahnya dianggap
menguntungkan pemodal kuat sering disamakan dengan kapitalisme global.
Melalui globalisasi inilah wajah kapitalisme global yang serakah bekerja
sedemikian rupa menghancurkan banyak sendi-sendi kehidupan ekonomi dunia.
Hal inilah yang memunculkan penolakan pada cara-cara kapitalis tersebut. Namun
demikian gerakan penolakan pada kapitalisme global ini tidak sepenuhnya
homogen. Callinicos (2003), menyatakan bahwa gerakan antikapitalis adalah jauh
dari suatu gerakan yang secara ideologis homogen. Kelompok borjuis antikapitalis dapat menerima pandangan neo-liberal bahwa kapitalisme menawarkan
solusi pada masalah kemanusiaan (humankind), namun mengritik faham tersebut
8
untuk lebih responsif atas kritik berkaitan dengan pewujudan masyarakat madani
(civil society).
1.1.2
Kondisi Ekonomi Indonesia
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, dampak krisis jelas sudah
demikian terasa. Selain jatuhnya nilai IHSG di Bursa Efek Indonesia hingga
penutupan aktivitas bursa beberapa waktu lalu, dampak krisis juga nampak dari
mulai turunnya omset ekspor produk-produk Indonesia ke pasaran dunia, terutama
AS, termasuk juga yang dikelola oleh pengusaha bidang UKM. Pemerintah
sendiri juga telah melakukan berbagai upaya antisipatif menghadapi kemungkinan
terburuk dari krisis tersebut.
Di sisi lain, kebijakan pengendalian inflasi melalui kenaikan BI Rate
meskipun sedikit tetap berpengaruh positif dalam menjaga inflasi tetap dalam
kondisi yang tidak membahayakan perekonomian nasional. Sebagai salah satu
pasar yang relatif tidak terproteksi, pasar keuangan Indonesia juga menjadi
sasaran dampak krisis AS yang terus menyebar tersebut. Tidak heran jika banyak
pihak mengharapkan pemerintah untuk melakukan lebih banyak lagi tindakan
untuk mengantisipasi agar krisis tidak meluas. Kekhawatiran bahwa krisis 19971998 akan terulang, bahkan juga ikut melanda banyak pihak. Namun demikian,
harus disadari bahwa dibandingkan kondisi pada masa krisis 1997-1998 lalu, saat
ini fundamental ekonomi nasional memang tampak memiliki kekuatan yang lebih
baik. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan hal tersebut, seperti tampak pada
Tabel 1.2 dan tabel 1.3.
9
Tabel 1.2 Indikator Makro Ekonomi 2007.I s/d 2008.III
2007.
2007.
2007.
2008. 2008.
Indikator
2007. I
II
III
IV
I
II
2008.
III
PDB (yoy) – (%)
6,1
6,4
6,5
6,3
6,3
6,4
5,8
Pengangguran – (%)
9,8
n.a
9,1
n.a
8,5
-
-
Inflasi IHK – (%)
6,5
5,8
7,0
6,6
8,2
10,1
12,1
Suku Bunga BI Rate
9,00
8,50
8,25
8,00
8,00
9,00
9,25
Uang Beredar (M2)
Cadanga Devisa
(US$ Miliyar)
15,1
15,8
17,1
18,9
15,3
17,1
12,6
45,7
49,4
51,2
55,0
54,9
57,3
55
8,969
9,239
9,328
9,260
9,257
9,223
Nilai Tukar (US$)
9,111
Sumber: Bank Indonesia, 2008 (diolah)
Tabel 1.3 Perbandingan Indikator Ekonomi Nasional,
Krisis 1997 dan Gejolak 2008
Indikator
Depresiasi Rupiah
Inflasi
NPI.Perbankan
Suku Bunga SBI
Suku Bunga PAUB
Giro Bank Terhadap GWM
Cadangan Devisa
Krisis 1997
100%
20%
60%
50%
200%
minus Rp2,6 T
US$ 22,1 Miliar
Gejolak 2008
5%
11.14%
1%
9,25%
12%
Surplus Rp3 T
US$ 57 Miliar
Sumber: Kompas, 13 Oktober 2008
Krisis subprime mortgage yang mengawali krisis finansial dunia saat itu,
juga berimbas kepada perekonomian nasional melalui beberapa jalur, antara lain
(Partomo, 2007):
1.
jalur perdagangan langsung antara Indonesia dan Amerika Serikat;
2.
jalur perdagangan Indonesia dan Asia/Eropa;
3.
jalur (kenaikan) biaya pinjaman;
4.
jalur (apresiasi) nilai tukar rupiah; dan
5.
jalur (suku bunga) kebijakan moneter Bank Sentral AS
10
Meskipun hanya berawal dari krisis KPR yang mengakibatkan kredit macet, krisis
AS terbukti berdampak lebih besar, antara lain mengingat keterkaitan sektor
perumahan dengan sejumlah perusahaan dan pasar keuangan internasional.
Secara umum kondisi makro ekonomi Indonesia memang menunjukkan
pelemahan akibat dari gejolak krisis AS. Namun secara umum kondisi mikro
ekonomi ini relatif jauh lebih baik dibandingkan pada masa krisis moneter yang
berimbas pada krisis ekonomi satu dasawarsa lalu. Episentrum krisis yang tidak
berada di Indonesia, ditambah belum dominannya investor dalam negeri dalam
memanfaatkan produk investasi luar negeri, dan posisi devisa yang aman untuk
transaksi luar negeri setidaknya menjelaskan bagaimana kondisi ini bisa terjadi.
Di sisi lain, kebijakan pengendalian inflasi melalui kenaikan BI Rate meskipun
sedikit tetap berpengaruh positif dalam menjaga inflasi tetap dalam kondisi yang
tidak membahayakan perekonomian nasional.
Beberapa indikator ekonomi menunjukkan hal tersebut, di mana
pemerintah sendiri dan juga Bank Indonesia telah melakukan sejumlah langkah
pengamanan baik di sektor perbankan, pasar modal, maupun jaring pengaman
sosial yang diharapkan mampu menahan dampak negatif dari imbas krisis. Namun
demikian, dengan kondisi pasar yang demikian terbuka, berbagai dampak tetap
akan terasa. Industri dan unit usaha termasuk UKM yang secara langsung
berhubungan dengan pelaku ekonomi luar negeri (ekspor dan impor) merupakan
yang paling awal merasakan dampak krisis. Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi kebijakan pada sektor riil harus lebih diutamakan.
11
Akan tetapi, kadang kala banyak para pelaku usaha dan perusahaan yang
tidak memperhatikan adanya hal penting untuk memperoleh tanda-tanda awal
kebangkrutan sebagai bagian dari sistem peringatan dini (early warning sistem)
bagi manajemen. Manajemen dapat melakukan antisipasi dan langkah-langkah
perbaikan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Bagi pemangku kepentingan,
terutama pemegang saham dan kreditor, prediksi ini sebagai dasar pengambilan
keputusan menghadapi berbagai kemungkinan yang buruk terkait stabilitas
keuangan perusahaan di masa depan.
Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran
dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para
investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat
jatuhnya nilai mata uang rupiah. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan
untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan
hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara
kembalilah yang harus menanggung utang perbankan dan perusahaan swasta.
Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam penyelamat krisis global tahun
2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto)
cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008
lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami
dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya.
Beberapa pihak mengatakan bahwa „selamat‟nya Indonesia dari permasalahan
krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi
ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB
12
yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura
yang rasio ekspornya mencapai 200 persen dan Malaysia mencapai 100 persen,
sedangkan Indonesia sendiri „terselamatkan‟ dengan hanya memiliki rasio ekspor
sebesar 29 persen.
Fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi
efek domino krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa
indikator. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 5,5 persen di tahun
2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2008. Angka tersebut merupakan angka
tertinggi sejak krisis tahun 1998. Ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 6.4
persen pada semester I 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang mengalami
pertumbuhan tinggi (qoq) adalah sektor pertanian 5,1 persen, sektor pengangkutan
dan komunikasi 4,1 persen dan sektor listrik, gas dan air bersih 3,6 persen.
Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi yang meningkat dari
3,2 persen pada tahun 2006 menjadi 5,0 persen pada tahun 2007 dan diprediksikan
akan terus meningkat di tahun 2008 dan 2009.
Demikian juga pembentukan modal tetap bruto yang meningkat tajam dari
2,5 persen di tahun 2006 menjadi 9,2 persen (2007). Sementara itu, pengeluaran
pemerintah menurun dari 9,6 persen menjadi 3,9 persen. Pertumbuhan sektor
pertanian meningkat dari 3,4 persen (2006) menjadi 3,5 persen (2007). Sektor
ekonomi domestik ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global.
Indikator lain tampak dari terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
(USD), laju inflasi yang relatif terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan
penerimaan dalam negeri (pajak) terus meningkat.
13
Secara regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak
global yang hampir dialami oleh semua negara berkembang. Inflasi Indonesia
YoY sekitar 12,14 persen pada September 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor
seasonality yaitu Bulan Puasa dan Lebaran, di samping karena imported inflation,
sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara Vetnam sekitar 27.90 persen dan
diikuti oleh Myanmar sekitar 21.40 persen. Ke depan inflasi Indonesia akan
terjaga di mana seiring dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan
fundamental ekonomi Indonesia yang semakin kuat (Aksa, 2008).
1.1.2.1 Dampak Negatif Krisis terhadap Indonesia
Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami
resesi yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat
mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa
pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia, berikut dampak
negatif yang di timbulkan terhadap Indonesia.
1.1.2.1.1 Kinerja Neraca Pembayaran yang Menurun
Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan
permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun
menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI
mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.
Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal
asing dari Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI
14
(Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan
investasi portofolio mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat
pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar
keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor
asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.
1.1.2.1.2 Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah.
Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan
September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang
masih mencatat surplus serta kebijakan makro ekonomi yang berhati-hati. Namun
sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah
memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs rupiah melemah menjadi Rp
11.711,00 per USD pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang
cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,00
per USD. Gambar 1.1 menyajikan pergerakan kurs rupiah selama tahun 2008 dan
awal 2009.
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Gambar 1.1 Pertumbuhan Kurs Rupiah terhadap US
15
Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed
exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Akan tetapi, pada Pemerintahan
berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem
floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini
nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini
berbeda dengan sistem fixed exchange rate, di mana Bank Indonesia berkewajiban
menjaga rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk
menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah.
Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu,
terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat
menurun. Hal inilah yang memberikan efek depresiasi terhadap rupiah. Keketatan
likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga
likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai risiko bisnis yang meningkat akibat
krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam
membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai
menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan yang
mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu
berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya
kredit macet.
Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri,
karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Hargaharga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan
dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara
16
tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia
karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia
meningkat. Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal
yang sama seperti Indonesia, di mana mata uangnya juga mengalami depresiasi.
Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya
menurun. Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat,
bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009 lalu,
disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD
7,15 miliar. Angka ini turun 17,7 persen dibandingkan nilai ekspor pada
Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan
Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36 persen.
1.1.2.1.3 Dorongan pada Laju Inflasi
Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang
mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin
tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur
menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan
harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat dilihat dari gambar
berikut.
Inflasi (Inflation Rates)
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Gambar 1.2 Pergerakan Inflasi di Indonesia
17
Dari Gambar 1.2 menunjukkan terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga
triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh
kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga
tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah
(administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun
karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia.
Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan
Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember
2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal
Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena
menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan.
Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari
keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang
sempat meningkat tajam paska kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi
IHK pada tahun 2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29
persen.
1.1.3 Dampak Krisis terhadap Pasar Modal di Indonesia
Perkembangan perekonomian dan pasar modal di Indonesia tidak terlepas
dari kondisi ekonomi tahun sebelumnya. Sejak awal tahun 2008 pasar modal di
Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif menurun dampak kredit macet
sektor properti (subprime mortgage) di AS terhadap pasar uang dunia. Padahal
pasar modal di Indonesia, beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan cukup
18
besar. Setelah tiga kali menghantam bursa, akhirnya krisis subprime mortgage
menjadi krisis keuangan global yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman
Brothers. Kemudian dijualnya saham Merrill Lynch, bank di AS, yang diambil
alih oleh Pemerintah AS.
Saat ini, sekitar 580 lebih jenis saham diperdagangkan di BEI termasuk
waran seri I dan waran seri II. Berdasarkan sektor atau jenis usahanya, BEI sudah
membuat
9
klasifikasi
saham
sekaligus
indeks
sektoralnya.
Misalnya
pengelompokkan saham-saham di sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor
industri, sektor keuangan dan sebagainya. Pengklasifikasian saham ini dilakukan
oleh JASICA (Jakarta Stock Exchange Industrial Classification).
Berikut ini adalah klasifikasi Sektor Saham di Bursa Efek Indonesia.
1. Sektor Penghasil Bahan Baku
a. Sektor Pertanian
b. Sektor Pertambangan
2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur
a. Sektor Industri Dasar dan Kimia
b. Sektor Aneka Industri
c. Sektor Consumer Goods (Barang yang dikonsumsi)
3. Sektor Jasa
a. Sektor Properti dan Real Estate
b. Sektor Infrastruktur (Termasuk transportasi, komunikasi dan sejenisnya)
c. Sektor Keuangan
19
d. Sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi
Tabel 1.4 menyajikan klasifikasi sektor saham berdasarkan JASICA:
Sektor
1
2
3
4
5
6
Tabel 1.4 Jakarta Stock Exchange Industrial Classification
Sub Sektor
JASICA
Agriculture
11
Crops
12
Plantation
13
Animal Husbandary
14
Fishery
15
Forestry
19
Others
Mining
21
Coal Mining
22
Crude Petroleum & Natural Gas Production
23
Metal & Mineral Mining
24
Land / Stone Quarrying
29
Others
Basic Industri and Chemicals
31
Cement
32
Ceramics, Glass, Porcelain
33
Metal & Allied Products
34
Chemicals
35
Plastics & Packaging
36
Animal Feed
37
Wood Industries
38
Pulp & Paper
39
Others
Miscellaneous Industri
41
Machinery & Heavy Equipment
42
Automotive & Components
43
Textile, Garment
44
Footwear
45
Cable
46
Electronics
47
Others
Consumer Goods Industri
51
Food & Beverages
52
Tobacco Manufacturers
53
Pharmaceuticals
54
Cosmetics & Household
55
Houseware
59
Others
Property, Real Estate and Building Construction
61
Property And Real Estate
62
Building Construction
20
Lanjutan Tabel 1.4
7
Infrasructure, Utilities & Transportation
71
Energy
72
Toll Road, Airport, Harbor And Allied Products
73
Telecommunication
74
Transportation
75
Non Building Construction
8
Finance
81
Bank
82
Financial Institution
83
Securities Company
84
Insurance
85
Investment Fund / Mutual Fund
89
Others
9
Trade, Service & Investment
91
Wholesale (Durable & Non•]Durable Goods)
93
Retail Trade
94
Restaurant, Hotel And Tourism
95
Advertising, Printing And Media
96
Health Care
97
Computer And Services
98
Investment Company
99
Others
Sumber: IDX Fact Book, 2010
Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di AS adalah jatuhnya
bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli
ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi
berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan
kepercayaan pelaku pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli
masyarakat
Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda
dengan AS, Eropa, dan Negara maju lainnya. Negara AS, krisis telah masuk ke
semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan dan sektor riil Namun di
Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal, krisis yang terjadi di pasar modal
21
dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal
dalam sistem keungan Indonesia sangat kecil.
Pasar saham dan pasar modal Indonesia pun mengalami kelesuan. Akibat
terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti
dilaporkan Info bank, sudah mencapai Rp457,31 triliun hanya dalam kurun
Oktober 2007-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp1.464,32
triliun menjadi Rp1.007,01 triliun. Dalam setahun (akhir 2008 dibandingkan
dengan akhir 2007), kerugian mencapai Rp911,83 triliun (Kompas, 4 April 2009).
Pelajaran yang dapat diambil dari masa krisis yang dialami adalah harus
adanya sistem peringatan dini (early warning system) atas ketidaknormalan yang
terjadi di pasar dan munculnya bahaya krisis sehingga dapat diantisipasi sedini
mungkin. Kesulitan keuangan (Financial distress) merupakan salah satu tanda
awal kebangkrutan. Suatu perusahaan yang mengalami financial distress secara
temporer akan mengalami kesulitan likuiditas untuk memenuhi kewajiban
finansialnya. Jika hal ini terus berlanjut, akan berujung kepada kebangkrutan
perusahaan. Kesulitan keuangan (financial distress) sering kali dapat diartikan
dalam tahap yang dekat dengan kebangkrutan yang ditandai dengan adanya
ketidakpastian profitabilitas perusahaan pada masa yang akan datang. Selain itu,
financial distress juga didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan
sebelum terjadi kebangkrutan.
Adapun beberapa peneliti mendefinisikan kondisi kesulitan keuangan
(financial distress) perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban
22
perusahaan (Insovency). Dalam kondisi perusahaan mengalami Insovency,
memiliki tiga kategori di dalamnya.
1. Kategori Technical Insovency.
Bersifat sementara dan munculnya disebabkan karena perusahaan mengalami
kekurangan kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek.
2. Kategori Bankruptcy Insolvency.
Kategori bankruptcy insolvency memiliki tingkatan lebih serius dan munculnya
ketika total utang melebihi total aset perusahaan atau nilai ekuitas perusahaan
dalam keadaan negatif
3. Legal Bankcrupy.
Sebuah perusahaan dikatakan sebagai bangkrut secara hukum, kecuali diajukan
tuntutan secara resmi dengan undang-undang (Emery, dkk., 2004 dalam
Suroso, 2006).
Dengan adanya financial distress pada perusahaan akan mengakibatkan
terjadinya penurunan nilai perusahaan, yang pada gilirannya juga akan
menyebabkan terjadinya penurunan kemakmuran pemilik. Terjadinya kenaikan
dan penurunan perusahaan ini akan tercermin pada naik dan turunnya harga
saham. Di dalam penelitian ini penulis memberikan coding pada perusahaan yang
mengalami financial distress dengan angka (1) dan untuk perusahaan yang tidak
mengalami financial distress dengan coding angka (0).
Tabel 1.5 Coding Perusahaan
Coding
Perusahaan terkena
financial distress
1
Perusahaan Tidak mengalami
financial distress
0
23
Terdapat fenomena yang menarik pada perusahaan-perusahaan di
Indonesia yang masuk dalam kategori mengalami kesulitan keuangan (Financial
distress), khususnya perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia bahkan financial distress yang sudah mencapai level insolvency
bankrupt yaitu ekuitasnya sudah pada kondisi negatif. Tabel 1.6 menunjukkan
kondisi perusahaan-perusahaan yang mengalami Insolvency bankrupt akibat
masalah financial distress.
Tabel 1.6 Perusahan Non keuangan di BEI dengan Ekuitas Negatif
dari Tahun 2008-2012
Tahun
Jumlah Perusahaan
dengan Ekuitas Negatif
(Penambahan / Pengurangan)
Perusahaan Ekuitas Negatif
2008
2009
2010
2011
2012
68
99
78
63
75
31
-21
-15
12
Sumber: Bursa Efek Indonesia, 2008 (diolah)
Tabel 1.6 menyajikan adanya fenomena perkembangan dan pemulihan ekonomi di
Indonesia mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, yang memberi dampak
terjadinya penurunan jumlah perusahaan yang mengalami financial distress dalam
kondisi Insolvency bankrupt. Tren penurunan tersebut memberikan petunjuk
adanya perusahaan yang berhasil lolos dari kondisi financial distress namun ada
juga yang tidak berhasil lolos dari kondisi financial distress.
1.2 Keaslian Penelitian
Munculnya berbagai penelitian mengenai model prediksi kebangkrutan
merupakan antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap kesulitan keuangan
(financial distress). Oleh karena itu, model tersebut dapat digunakan sebagai
24
sarana untuk mengidentifikasi bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada
kondisi krisis atau kebangkrutan (Endri,2009).
Terdapat beberapa cara untuk menetukan ukuran keadaan financial
distress. Dalam banyak penelitian salah satunya menggunakan metode Z-score
(Altman 1968: 589-609). Model Z-score merupakan salah satu model analisis
multivariate yang diciptakan oleh Edward I. Altman berdasarkan hasil
penelitiannya pada tahun 1968, yang berfungsi untuk memprediksi kebangkrutan
pada perusahaan dengan tingkat ketepatan dan keakuratan yang relatif dapat
dipercaya.
Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model prediksi
dengan teknik analisis diskriminan yang digunakan untuk memprediksi terjadinya
kebangkrutan perusahaan, dengan istilah yang dikenal Z-score. Z-score
merupakan skor yang ditentukan dari hitungan standar yang akan menunjukkan
kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Z-score untuk memprediksi kepailitan
rumus Edwar Altman, adalah formula multivarian ukuran kesehatan keuangan dan
alat diagnostic yang kuat bahwa perkiraan probabilitas kebangkrutan memasuki
sebuah perusahaan dalam jangka waktu 2 tahun (Altman, 1986).
Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbahnisbah keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan
perusahaan. Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman
merupakan sebuah multivariate formula yang digunakan untuk mengukur
kesehatan finansial dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio
keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan
25
yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Formula Z-score Altman adalah (Weston
dan Copeland, 2010:288):
Z = 0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5
di mana:
X1 = working capital to total asset
X2 = retained earning to total asset
X3 = earning before interest and taxes to total asset
X4 = market value of equity to book value of total debt
X5 = sales to total asset
Z = overall index
Z-Score Altman untuk perusahaan yang telah go public ditentukan dengan
menggunakan rumus (Munawir, 2002: 309):
(Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
di mana:
X1 =
X2 =
X3 =
X4 =
X5 =
Adapun rumusan di atas dapat diterjemahkan menurut Mamduh dan Halim (2009:
274):
(Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
di mana:
X1 = (aktiva lancar-utang lancar)/ total aktiva yang dinyatakan dalam persen (%)
X2 = Laba yang ditahan/ total aktiva yang dinyatakan dalam persen (%)
X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/ total aktiva yang dinyatakan dalam
persen (%)
X4 = Nilai pasar saham biasa dan preferen/nilai buku total utang yang dinyatakan
dalam persen (%)
X5 = Penjualan/ total aktiva
26
Dengan kriteria penilaian sebagai berikut.
1. Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga
tidak mengalami kesulitan keuangan.
2. 1,81 <Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai
perusahaan yang memiliki
kesulitan keuangan, namun kemungkinan
terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari
keputusan kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan.
3. Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan
keuangan yang sangat besar dan berisiko tinggi sehingga kemungkinan
bangkrutnya sangat besar.
Di dalam penelitian hubungan atas saham yang mengalami kesulitan
keuangan (financial distress) dengan rasio book to market value of equity (BM)
ratio ini memberikan pendapat bahwa kemungkinan perusahaan mengalami
kesulitan keuangan (financial distress) berhubungan erat dengan arus kas saat ini
dan proyeksi arus kas di masa mendatang. Dalam kesimpulan yang di dapat model
pasar didasarkan dari perubahan harga saham mempunyai hubungan yang kuat
terhadap portofolio yang mengalami kesulitan keuangan, hal ini dikarenakan pasar
memberikan reaksi yang kuat atas saham yang negatif. Sebaliknya model
akuntansi menunjukan hubungan yang rendah dengan harga saham, di mana
perusahaan yang mengalami kerugian, sahamnya masih diperjual belikan di pasar
(Ahroni, dkk., 2008).
Bhattacharje et al. (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa suku
bunga merupakan salah satu kompenen yang paling menonjol penyebab
27
ketidakstabilan makroekonomi di China yang memberikan dampak pada
peningkatan financial distress perusahaan. Dari uraian penelitian yang sudah
dilakukan dalam menangani fenomena financial distress, penelitian yang
dilakukan ini akan mengambil objek prilaku perusahaan yang menyebabkan
kesulitan keuangan (financial distress) dapat terjadi dan membandingan penyebab
yang sama sehingga pada perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan
(financial distress) dalam satu industri yang sama non perbankan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Bedasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
melakukan penelitian, “Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesulitan Keuangan
(financial distress) perusahaan pada masa krisis moneter 2008 – 2012”.
1.3
Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang dan pembatasan masalah serta indentifikasi yang
ada dapat di rumuskan permasalah-permasalahnya sebagai berikut.
1.
Apakah likuiditas perusahaan berpengaruh negatif terhadap probabilitas
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)?
2.
Apakah Rasio Utang terhadap Total Aktiva (Total Debt to Total Aset Ratio)
perusahaan
berpengaruh
positif
pada
probabilitas
perusahaan
yang
mengalami kesulitan keuangan (financial distress)?
3.
Apakah ROA (Profitabilitas) perusahaan berpengaruh negatif pada
probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress)?
4.
Apakah Margin EBITDA perusahaan berpengaruh negatif pada probabilitas
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)?
28
5.
Apakah nilai Penjulaan Eksport berpengaruh negatif terhadap total aset pada
probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial
distress)?
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana memprediksi
dan mengukur penyebab faktor-faktor kesulitan keuangan (financial distress) pada
perusahaan non perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2008
– 2012 adalah:
1. menguji
apakah
likuiditas
perusahaan
berpengaruh
negatif
terhadap
probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial
distress);
2. menguji apakah total aktiva (Total Debt to Total Aset Ratio) perusahaan
berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan (financial distress);
3. menguji apakah Margin EBITDA perusahaan berpengaruh negatif terhadap
probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress);
4. menguji apakah ROA (Profitabilitas) perusahaan berpengaruh negatif terhadap
probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress);
5. menguji apakah nilai Penjulaan Ekspor berpengaruh negatif terhadap total aset
pada probabiltas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial
distress).
29
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan menjadi salah satu
acuan dalam mencegah terjadinya kesulitan keuangan (financial distress)
dalam setiap perusahaan dan pelaku bisnis.
2. Bagi para pelaku bisnis dan perusahaan diharapkan agar dapat lebih siap dalam
menghadapi krisis dan mengetahui sejak dini faktor-faktor serta gejala-gejala
yang menyebabkan terjadinya kesulitan keuangan (financial distress), serta
dapat mencegah dan mencari jalan keluarnya.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam
memberikan kebijakan/peraturan sehingga dapat memberikan dampak dan
pengaruh yang positif pada perekonomian dan pelaku usaha/perusahaan.
1.6
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima Bab. Gambaran secara
umum isi dari masing-masing bab secara rinci dapat di uraikan sebagai berikut.
Bab I merupakan Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang, keaslian
penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II
menguraikan tentang Tinjauan Pusaka dan alat analisis, yang di dalamnya
mencangkup tinjauan pusaka, landasan teori, penelitian terlebih dahulu dan
metode analisis yang digunakan. Bab III merupakan Metode Penelitian yang
menguraikan tentang desain peneltian, metode pengumpulan serta penyampelan
30
data dan metode analisis penelitian data dilakukan dengan metode yang ada. Bab
IV Analisis Penelitian dan pembahasan, yang di dalamnya menguraikan tentang
deskripsi data, uji hipotesis dan pembahasan. Bab V Kesimpulan, Saran dan
keterbatasan yang mencangkup kesimpulan, implikasi dan saran serta keterbatasan
penulis dalam menyajikan penelitian ini.
31
Download