BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak era globalisasi, krisis keuangan menjadi lebih sering terjadi dari pada sebelumnya. Salah satu alasan utamanya adalah kemajuan dalam teknologi informasi yang sampai batas tertentu, memperbesar gelombang krisis dan mempercepat penyebarannya ke daerah atau negara lain. Alasan lain adalah perkembangan pesat dari sektor keuangan, salah satu contoh adalah munculnya International Financial Integration (IFI). Dalam hal ini, Edison et al. (2002: 1) menjelaskan bahwa IFI mengacu pada “sejauh mana suatu perekonomian tidak membatasi transaksi lintas batas”. Oleh karena itu, karena sistem keuangan yang terintegrasi, timbulnya gangguan keuangan domestik di satu negara dapat mengakibatkan efek domino dengan cara mengacaukan ekonomi terintegrasi lainnya yang mengarah kepada kekacauan keuangan global. Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis keuangan besar terjadi, yaitu Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global 2008. Jika krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas pemerintah yang menyebabkan distorsistruktural serta kebijakan (Corsetti et al., 1999), gejolak ekonomi tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi yang cepat dalam produk keuangan seperti praktek sekuritisasi dan “credit default swap”. Hal ini diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat kredit yang tidak akurat. Pada kedua kasus, perkembangan krisis menyebar ke benua-benua lain dan, dalam 1 waktu singkat, menjadi krisis global karena efek menular di tengah sistem keuangan yang terintegrasi secara global dan persebaran informasi yang cepat. Meskipun sumber krisis dapat bervariasi, konsekuensi dari krisis keuangan selalu dikaitkan dengan indikator makro ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, selama krisis Asia Timur, pertumbuhan ekonomi Asia Timur jatuh dari wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, menjadi wilayah yang beberapa negara anggotanya mencatat pertumbuhan pendapatan yang negatif pada tahun 1998 seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina dan Thailand (Asian Development Bank, 1999). Selanjutnya, Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan harus meminta program pinjaman dana talangan ke Dana Moneter Internasional (IMF). Di sisi lain, selama krisis 2008, meskipun sumber krisis disebabkan oleh runtuhnya lembaga-lembaga keuangan internasional di barat, terutama di Amerika Serikat dan Inggris, beberapa negara Asia Timur seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand juga masuk ke krisis dengan mengalami pembebanan keuangan besar. Namun demikian, statistik menunjukkan bahwa dampak krisis pada tahun 2008 di negara-negara Asia Timur tidak seburuk pada tahun 1997. Selain itu, negaranegara ini berhasil pulih dengan cepat. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat bahwa negara Asia Timur telah belajar banyak pada tahun 1997 dan berhasil menahan krisis pada tahun 2008 melalui fundamental ekonomi yang telah diperkuat. 2 1.1.1 Kondisi Ekonomi Global Tahun 2007 hingga 2008 menjadi tahun yang amat berat bagi ekonomi dunia. Setelah mengalami krisis bahan bakar (fuel) dan pangan (food), saat ini ekonomi dunia dihadapkan lagi pada krisis finansial (financial) yang dampaknya telah begitu terasa dan masih akan terus berlangsung. Untuk krisis terakhir, yaitu krisis finansial, karena berasal dari Amerika Serikat (AS), sebagai pelaku nomor satu ekonomi dunia saat ini, maka dampaknya berimbas pada lebih banyak bidang dan melibatkan lebih banyak negara, termasuk Indonesia. Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), bahkan menyebut krisis ini sebagai ‘once-in-century’ financial crisis-nya yang akan dan terus membawa dampak terhadap perekonomian global. International Monetary Fund (IMF) bahkan menyebutnya sebagai „largest financial shock since Great Depression‟, yang menandakan betapa dalam krisis telah terjadi. Belajar dari pengalaman Indonesia dalam krisis 1997-1998 yang lalu juga menunjukkan bagaimana kegagalan pasar yang berdampak buruk bagi perekonomian, juga menuntut partisipasi pemerintah untuk mengatasi dampak krisis dengan mengalirkan dana untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Hal ini menunjukkan bagaimana kegagalan pasar dalam kapitalisme sebagai akibat perilaku spekulatif dari pelaku pasar. Lebih memperihatinkan adalah fakta bahwa asal muasal krisis sebenarnya adalah kesalahan (atau lebih tepatnya ketamakan) perusahaan finansial dalam mengalokasikan dananya, yang nampak jelas terjadi pada kredit perumahan sub-prima (subprimemortgage). Kesalahan ini dengan sendirinya menunjukkan kelemahan mendasar dari sistem ekonomi 3 kapitalis yang semata-mata mendasarkan proyeksi bisnis pada spekulasi atas kemungkinan pendapatan di masa mendatang, dan tanpa melihat realitas dunia ekonomi yang tengah berlangsung. Bencana keuangan pun terjadi setelah kredit macet terjadi dan melumpuhkan sejumlah raksana finansial yang mem-back-upnya. Dimulai dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan finansial raksasa Bear Stearns. Negara Amerika Serikat merupakan negara maju yang dikenal sebagai pusat perekonomian di dunia. Amerika Serikat mencatat sejarah kelam dalam perekonomian karena mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang diawali dengan kebangkrutan Leman Brothers, yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika Serikat. Tidak terduga suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh, celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Masyarakat hidup dalam utang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh utang-utangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, 4 perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia. Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis, yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat. Krisis global berdampak dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi. 5 Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara (%) Negara/Kelompok 2006 2007 2008 Dunia 1. Negara Maju AS Jepang Perancis Italia 2. Negara Berkembang Brasil India Indonesia 5,0 3,0 2,9 2,4 2,0 1,8 7,8 3,8 9,7 5,5 4,9 2,7 2,2 2,1 1,9 1,5 7,9 5,4 9,2 6,3 3,7 1,3 0,5 1,4 1,4 0,3 6,7 4,8 7,9 6,1 2009 3,8 1,3 0,6 1,5 1,5 0,3 6,6 3,7 8,0 6,2 Sumber: IMF, World Economic Outlook, April, 2008 Catatan: Data pertumbuhan ini menggunakan data PDB berdasar perhitungan PPP (Purchasing Power Parity). Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun-tahun yang penuh tantangan bagi ekonomi dunia. Pada kedua tahun tersebut pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun dari 4,9 persen pada tahun 2007 menjadi 3,7 persen pada tahun 2008 dan 3,8 persen pada tahun 2009. Penurunan kegiatan ekonomi dunia ini terutama disebabkan oleh akan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dari 2,2 persen pada tahun 2007 menjadi 0,5 persen pada tahun 2008 dan 0,6 persen pada tahun 2009. Pada periode yang sama dan sebagai akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, pertumbuhan ekonomi di semua negara-negara lain juga akan menurun. Kelompok negara-negara yang sudah maju akan menurun dari sebesar rata-rata 2,7 persen pada tahun 2007 menjadi 1,3 persen pada masing-masing tahun 2008 dan 2009. Kelompok negara-negara yang sedang membangun turun dari 7,9 persen pada tahun 2007 menjadi sekitar 6,7 persen pada dua tahun berikutnya. Suatu pola yang terlihat di sini adalah lebih besarnya tingkat penurunan yang terjadi pada negara-negara yang sudah maju (sekitar 50 persen) daripada di negara-negara yang sedang berkembang (hanya sekitar 15 persen). 6 Terlihat dari perubahan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 menunjukkan Pertumbuhan ekonomi dunia sepertinya masih bergantung pada kondisi perekonomian yang terjadi di negara Adidaya Amerika Serikat (AS). Harus diakui, krisis finansial yang tengah berlangsung saat itu tidak bisa dilepaskan dari the nature of capitalism yang mengakar pada sistem ekonomi mainstream yang saat ini diusung AS dan sebagian besar negara di dunia. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pasar selalu diyakini memiliki kemampuan selfcorrecting yang menjamin tercapainya equilibrium setiap kali terjadi gejolak. Market fundamentalisme yang telah menjadi ideologi dominan ini kemudian menjadi pegangan yang menyebabkan maraknya transaksi berbasis spekulasi yang hanya menambah menggelembungnya ekonomi, Akan tetapi tanpa pijakan yang riil dan kuat (bubble economy), tinggal menunggu waktu untuk meledak sehingga menimbulkan krisis berikut dampak dan efek negatifnya bagi perekonomian. Keyakinan berlebihan dalam market fundamentalisme juga berakibat pada alpanya sebagian besar pelaku ekonomi, bahwa otoritas keuanganlah yang kerap kali berjasa dan harus bertindak setiap kali terjadi krisis. Dalam kasus AS, sejak 1980, sejumlah krisis juga telah terjadi, antara lain krisis perbankan internasional 1982, bangkrutnya Continental Illinois 1984, kegagalan Long-Term Capital Management 1998, dan pada setiap krisis, otoritas keuanganlah yang megucurkan dana untuk menolong perekonomian bangkit kembali atau setidaknya mengambil inisiatif untuk hal tersebut (The New York Time Review of Books ,2008) Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar 7 yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di AS segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia. Pasar modal di AS, Eropa, dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Efek domino dalam perekonomian dunia akibat krisis finansial AS ini memang merupakan konsekuensi logis dari model perekonomian global yang makin terbuka dan menghapuskan batasan-batasan antar negara. Akibatnya semua pelaku ekonomi dunia rentan terkena dampaknya, terlepas dari fakta bahwa pelaku tersebut ikut menikmati hasil perekonomian tersebut atau pun tidak. Di sinilah kemudian pertanyaan mendasar mengenai kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi layak untuk dikemukakan. Benarkah pasar mampu menentukan sendiri dengan tepat dan efisien alokasi ekonomi terbaik bagi masyarakat? Benarkah pasar juga mampu memberikan keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi dunia? Dalam konteks ekonomi global saat ini, globalisasi yang arahnya dianggap menguntungkan pemodal kuat sering disamakan dengan kapitalisme global. Melalui globalisasi inilah wajah kapitalisme global yang serakah bekerja sedemikian rupa menghancurkan banyak sendi-sendi kehidupan ekonomi dunia. Hal inilah yang memunculkan penolakan pada cara-cara kapitalis tersebut. Namun demikian gerakan penolakan pada kapitalisme global ini tidak sepenuhnya homogen. Callinicos (2003), menyatakan bahwa gerakan antikapitalis adalah jauh dari suatu gerakan yang secara ideologis homogen. Kelompok borjuis antikapitalis dapat menerima pandangan neo-liberal bahwa kapitalisme menawarkan solusi pada masalah kemanusiaan (humankind), namun mengritik faham tersebut 8 untuk lebih responsif atas kritik berkaitan dengan pewujudan masyarakat madani (civil society). 1.1.2 Kondisi Ekonomi Indonesia Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, dampak krisis jelas sudah demikian terasa. Selain jatuhnya nilai IHSG di Bursa Efek Indonesia hingga penutupan aktivitas bursa beberapa waktu lalu, dampak krisis juga nampak dari mulai turunnya omset ekspor produk-produk Indonesia ke pasaran dunia, terutama AS, termasuk juga yang dikelola oleh pengusaha bidang UKM. Pemerintah sendiri juga telah melakukan berbagai upaya antisipatif menghadapi kemungkinan terburuk dari krisis tersebut. Di sisi lain, kebijakan pengendalian inflasi melalui kenaikan BI Rate meskipun sedikit tetap berpengaruh positif dalam menjaga inflasi tetap dalam kondisi yang tidak membahayakan perekonomian nasional. Sebagai salah satu pasar yang relatif tidak terproteksi, pasar keuangan Indonesia juga menjadi sasaran dampak krisis AS yang terus menyebar tersebut. Tidak heran jika banyak pihak mengharapkan pemerintah untuk melakukan lebih banyak lagi tindakan untuk mengantisipasi agar krisis tidak meluas. Kekhawatiran bahwa krisis 19971998 akan terulang, bahkan juga ikut melanda banyak pihak. Namun demikian, harus disadari bahwa dibandingkan kondisi pada masa krisis 1997-1998 lalu, saat ini fundamental ekonomi nasional memang tampak memiliki kekuatan yang lebih baik. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan hal tersebut, seperti tampak pada Tabel 1.2 dan tabel 1.3. 9 Tabel 1.2 Indikator Makro Ekonomi 2007.I s/d 2008.III 2007. 2007. 2007. 2008. 2008. Indikator 2007. I II III IV I II 2008. III PDB (yoy) – (%) 6,1 6,4 6,5 6,3 6,3 6,4 5,8 Pengangguran – (%) 9,8 n.a 9,1 n.a 8,5 - - Inflasi IHK – (%) 6,5 5,8 7,0 6,6 8,2 10,1 12,1 Suku Bunga BI Rate 9,00 8,50 8,25 8,00 8,00 9,00 9,25 Uang Beredar (M2) Cadanga Devisa (US$ Miliyar) 15,1 15,8 17,1 18,9 15,3 17,1 12,6 45,7 49,4 51,2 55,0 54,9 57,3 55 8,969 9,239 9,328 9,260 9,257 9,223 Nilai Tukar (US$) 9,111 Sumber: Bank Indonesia, 2008 (diolah) Tabel 1.3 Perbandingan Indikator Ekonomi Nasional, Krisis 1997 dan Gejolak 2008 Indikator Depresiasi Rupiah Inflasi NPI.Perbankan Suku Bunga SBI Suku Bunga PAUB Giro Bank Terhadap GWM Cadangan Devisa Krisis 1997 100% 20% 60% 50% 200% minus Rp2,6 T US$ 22,1 Miliar Gejolak 2008 5% 11.14% 1% 9,25% 12% Surplus Rp3 T US$ 57 Miliar Sumber: Kompas, 13 Oktober 2008 Krisis subprime mortgage yang mengawali krisis finansial dunia saat itu, juga berimbas kepada perekonomian nasional melalui beberapa jalur, antara lain (Partomo, 2007): 1. jalur perdagangan langsung antara Indonesia dan Amerika Serikat; 2. jalur perdagangan Indonesia dan Asia/Eropa; 3. jalur (kenaikan) biaya pinjaman; 4. jalur (apresiasi) nilai tukar rupiah; dan 5. jalur (suku bunga) kebijakan moneter Bank Sentral AS 10 Meskipun hanya berawal dari krisis KPR yang mengakibatkan kredit macet, krisis AS terbukti berdampak lebih besar, antara lain mengingat keterkaitan sektor perumahan dengan sejumlah perusahaan dan pasar keuangan internasional. Secara umum kondisi makro ekonomi Indonesia memang menunjukkan pelemahan akibat dari gejolak krisis AS. Namun secara umum kondisi mikro ekonomi ini relatif jauh lebih baik dibandingkan pada masa krisis moneter yang berimbas pada krisis ekonomi satu dasawarsa lalu. Episentrum krisis yang tidak berada di Indonesia, ditambah belum dominannya investor dalam negeri dalam memanfaatkan produk investasi luar negeri, dan posisi devisa yang aman untuk transaksi luar negeri setidaknya menjelaskan bagaimana kondisi ini bisa terjadi. Di sisi lain, kebijakan pengendalian inflasi melalui kenaikan BI Rate meskipun sedikit tetap berpengaruh positif dalam menjaga inflasi tetap dalam kondisi yang tidak membahayakan perekonomian nasional. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan hal tersebut, di mana pemerintah sendiri dan juga Bank Indonesia telah melakukan sejumlah langkah pengamanan baik di sektor perbankan, pasar modal, maupun jaring pengaman sosial yang diharapkan mampu menahan dampak negatif dari imbas krisis. Namun demikian, dengan kondisi pasar yang demikian terbuka, berbagai dampak tetap akan terasa. Industri dan unit usaha termasuk UKM yang secara langsung berhubungan dengan pelaku ekonomi luar negeri (ekspor dan impor) merupakan yang paling awal merasakan dampak krisis. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi kebijakan pada sektor riil harus lebih diutamakan. 11 Akan tetapi, kadang kala banyak para pelaku usaha dan perusahaan yang tidak memperhatikan adanya hal penting untuk memperoleh tanda-tanda awal kebangkrutan sebagai bagian dari sistem peringatan dini (early warning sistem) bagi manajemen. Manajemen dapat melakukan antisipasi dan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Bagi pemangku kepentingan, terutama pemegang saham dan kreditor, prediksi ini sebagai dasar pengambilan keputusan menghadapi berbagai kemungkinan yang buruk terkait stabilitas keuangan perusahaan di masa depan. Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang rupiah. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah yang harus menanggung utang perbankan dan perusahaan swasta. Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam penyelamat krisis global tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa „selamat‟nya Indonesia dari permasalahan krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB 12 yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang rasio ekspornya mencapai 200 persen dan Malaysia mencapai 100 persen, sedangkan Indonesia sendiri „terselamatkan‟ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29 persen. Fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek domino krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 5,5 persen di tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2008. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak krisis tahun 1998. Ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 6.4 persen pada semester I 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi (qoq) adalah sektor pertanian 5,1 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi 4,1 persen dan sektor listrik, gas dan air bersih 3,6 persen. Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi yang meningkat dari 3,2 persen pada tahun 2006 menjadi 5,0 persen pada tahun 2007 dan diprediksikan akan terus meningkat di tahun 2008 dan 2009. Demikian juga pembentukan modal tetap bruto yang meningkat tajam dari 2,5 persen di tahun 2006 menjadi 9,2 persen (2007). Sementara itu, pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6 persen menjadi 3,9 persen. Pertumbuhan sektor pertanian meningkat dari 3,4 persen (2006) menjadi 3,5 persen (2007). Sektor ekonomi domestik ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global. Indikator lain tampak dari terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD), laju inflasi yang relatif terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan penerimaan dalam negeri (pajak) terus meningkat. 13 Secara regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak global yang hampir dialami oleh semua negara berkembang. Inflasi Indonesia YoY sekitar 12,14 persen pada September 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor seasonality yaitu Bulan Puasa dan Lebaran, di samping karena imported inflation, sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara Vetnam sekitar 27.90 persen dan diikuti oleh Myanmar sekitar 21.40 persen. Ke depan inflasi Indonesia akan terjaga di mana seiring dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan fundamental ekonomi Indonesia yang semakin kuat (Aksa, 2008). 1.1.2.1 Dampak Negatif Krisis terhadap Indonesia Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia, berikut dampak negatif yang di timbulkan terhadap Indonesia. 1.1.2.1.1 Kinerja Neraca Pembayaran yang Menurun Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008. Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI 14 (Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit. 1.1.2.1.2 Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah. Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makro ekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs rupiah melemah menjadi Rp 11.711,00 per USD pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,00 per USD. Gambar 1.1 menyajikan pergerakan kurs rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009. Sumber: Bank Indonesia, 2008 Gambar 1.1 Pertumbuhan Kurs Rupiah terhadap US 15 Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Akan tetapi, pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate, di mana Bank Indonesia berkewajiban menjaga rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah. Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang memberikan efek depresiasi terhadap rupiah. Keketatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai risiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet. Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Hargaharga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara 16 tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat. Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti Indonesia, di mana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7 persen dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36 persen. 1.1.2.1.3 Dorongan pada Laju Inflasi Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat dilihat dari gambar berikut. Inflasi (Inflation Rates) Sumber: Bank Indonesia, 2008 Gambar 1.2 Pergerakan Inflasi di Indonesia 17 Dari Gambar 1.2 menunjukkan terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia. Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam paska kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen. 1.1.3 Dampak Krisis terhadap Pasar Modal di Indonesia Perkembangan perekonomian dan pasar modal di Indonesia tidak terlepas dari kondisi ekonomi tahun sebelumnya. Sejak awal tahun 2008 pasar modal di Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif menurun dampak kredit macet sektor properti (subprime mortgage) di AS terhadap pasar uang dunia. Padahal pasar modal di Indonesia, beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan cukup 18 besar. Setelah tiga kali menghantam bursa, akhirnya krisis subprime mortgage menjadi krisis keuangan global yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers. Kemudian dijualnya saham Merrill Lynch, bank di AS, yang diambil alih oleh Pemerintah AS. Saat ini, sekitar 580 lebih jenis saham diperdagangkan di BEI termasuk waran seri I dan waran seri II. Berdasarkan sektor atau jenis usahanya, BEI sudah membuat 9 klasifikasi saham sekaligus indeks sektoralnya. Misalnya pengelompokkan saham-saham di sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri, sektor keuangan dan sebagainya. Pengklasifikasian saham ini dilakukan oleh JASICA (Jakarta Stock Exchange Industrial Classification). Berikut ini adalah klasifikasi Sektor Saham di Bursa Efek Indonesia. 1. Sektor Penghasil Bahan Baku a. Sektor Pertanian b. Sektor Pertambangan 2. Sektor Industri Pengolahan/Manufaktur a. Sektor Industri Dasar dan Kimia b. Sektor Aneka Industri c. Sektor Consumer Goods (Barang yang dikonsumsi) 3. Sektor Jasa a. Sektor Properti dan Real Estate b. Sektor Infrastruktur (Termasuk transportasi, komunikasi dan sejenisnya) c. Sektor Keuangan 19 d. Sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi Tabel 1.4 menyajikan klasifikasi sektor saham berdasarkan JASICA: Sektor 1 2 3 4 5 6 Tabel 1.4 Jakarta Stock Exchange Industrial Classification Sub Sektor JASICA Agriculture 11 Crops 12 Plantation 13 Animal Husbandary 14 Fishery 15 Forestry 19 Others Mining 21 Coal Mining 22 Crude Petroleum & Natural Gas Production 23 Metal & Mineral Mining 24 Land / Stone Quarrying 29 Others Basic Industri and Chemicals 31 Cement 32 Ceramics, Glass, Porcelain 33 Metal & Allied Products 34 Chemicals 35 Plastics & Packaging 36 Animal Feed 37 Wood Industries 38 Pulp & Paper 39 Others Miscellaneous Industri 41 Machinery & Heavy Equipment 42 Automotive & Components 43 Textile, Garment 44 Footwear 45 Cable 46 Electronics 47 Others Consumer Goods Industri 51 Food & Beverages 52 Tobacco Manufacturers 53 Pharmaceuticals 54 Cosmetics & Household 55 Houseware 59 Others Property, Real Estate and Building Construction 61 Property And Real Estate 62 Building Construction 20 Lanjutan Tabel 1.4 7 Infrasructure, Utilities & Transportation 71 Energy 72 Toll Road, Airport, Harbor And Allied Products 73 Telecommunication 74 Transportation 75 Non Building Construction 8 Finance 81 Bank 82 Financial Institution 83 Securities Company 84 Insurance 85 Investment Fund / Mutual Fund 89 Others 9 Trade, Service & Investment 91 Wholesale (Durable & Non•]Durable Goods) 93 Retail Trade 94 Restaurant, Hotel And Tourism 95 Advertising, Printing And Media 96 Health Care 97 Computer And Services 98 Investment Company 99 Others Sumber: IDX Fact Book, 2010 Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di AS adalah jatuhnya bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan AS, Eropa, dan Negara maju lainnya. Negara AS, krisis telah masuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan dan sektor riil Namun di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal, krisis yang terjadi di pasar modal 21 dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keungan Indonesia sangat kecil. Pasar saham dan pasar modal Indonesia pun mengalami kelesuan. Akibat terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti dilaporkan Info bank, sudah mencapai Rp457,31 triliun hanya dalam kurun Oktober 2007-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp1.464,32 triliun menjadi Rp1.007,01 triliun. Dalam setahun (akhir 2008 dibandingkan dengan akhir 2007), kerugian mencapai Rp911,83 triliun (Kompas, 4 April 2009). Pelajaran yang dapat diambil dari masa krisis yang dialami adalah harus adanya sistem peringatan dini (early warning system) atas ketidaknormalan yang terjadi di pasar dan munculnya bahaya krisis sehingga dapat diantisipasi sedini mungkin. Kesulitan keuangan (Financial distress) merupakan salah satu tanda awal kebangkrutan. Suatu perusahaan yang mengalami financial distress secara temporer akan mengalami kesulitan likuiditas untuk memenuhi kewajiban finansialnya. Jika hal ini terus berlanjut, akan berujung kepada kebangkrutan perusahaan. Kesulitan keuangan (financial distress) sering kali dapat diartikan dalam tahap yang dekat dengan kebangkrutan yang ditandai dengan adanya ketidakpastian profitabilitas perusahaan pada masa yang akan datang. Selain itu, financial distress juga didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan sebelum terjadi kebangkrutan. Adapun beberapa peneliti mendefinisikan kondisi kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban 22 perusahaan (Insovency). Dalam kondisi perusahaan mengalami Insovency, memiliki tiga kategori di dalamnya. 1. Kategori Technical Insovency. Bersifat sementara dan munculnya disebabkan karena perusahaan mengalami kekurangan kas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek. 2. Kategori Bankruptcy Insolvency. Kategori bankruptcy insolvency memiliki tingkatan lebih serius dan munculnya ketika total utang melebihi total aset perusahaan atau nilai ekuitas perusahaan dalam keadaan negatif 3. Legal Bankcrupy. Sebuah perusahaan dikatakan sebagai bangkrut secara hukum, kecuali diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang (Emery, dkk., 2004 dalam Suroso, 2006). Dengan adanya financial distress pada perusahaan akan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai perusahaan, yang pada gilirannya juga akan menyebabkan terjadinya penurunan kemakmuran pemilik. Terjadinya kenaikan dan penurunan perusahaan ini akan tercermin pada naik dan turunnya harga saham. Di dalam penelitian ini penulis memberikan coding pada perusahaan yang mengalami financial distress dengan angka (1) dan untuk perusahaan yang tidak mengalami financial distress dengan coding angka (0). Tabel 1.5 Coding Perusahaan Coding Perusahaan terkena financial distress 1 Perusahaan Tidak mengalami financial distress 0 23 Terdapat fenomena yang menarik pada perusahaan-perusahaan di Indonesia yang masuk dalam kategori mengalami kesulitan keuangan (Financial distress), khususnya perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia bahkan financial distress yang sudah mencapai level insolvency bankrupt yaitu ekuitasnya sudah pada kondisi negatif. Tabel 1.6 menunjukkan kondisi perusahaan-perusahaan yang mengalami Insolvency bankrupt akibat masalah financial distress. Tabel 1.6 Perusahan Non keuangan di BEI dengan Ekuitas Negatif dari Tahun 2008-2012 Tahun Jumlah Perusahaan dengan Ekuitas Negatif (Penambahan / Pengurangan) Perusahaan Ekuitas Negatif 2008 2009 2010 2011 2012 68 99 78 63 75 31 -21 -15 12 Sumber: Bursa Efek Indonesia, 2008 (diolah) Tabel 1.6 menyajikan adanya fenomena perkembangan dan pemulihan ekonomi di Indonesia mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, yang memberi dampak terjadinya penurunan jumlah perusahaan yang mengalami financial distress dalam kondisi Insolvency bankrupt. Tren penurunan tersebut memberikan petunjuk adanya perusahaan yang berhasil lolos dari kondisi financial distress namun ada juga yang tidak berhasil lolos dari kondisi financial distress. 1.2 Keaslian Penelitian Munculnya berbagai penelitian mengenai model prediksi kebangkrutan merupakan antisipasi dan sistem peringatan dini terhadap kesulitan keuangan (financial distress). Oleh karena itu, model tersebut dapat digunakan sebagai 24 sarana untuk mengidentifikasi bahkan memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis atau kebangkrutan (Endri,2009). Terdapat beberapa cara untuk menetukan ukuran keadaan financial distress. Dalam banyak penelitian salah satunya menggunakan metode Z-score (Altman 1968: 589-609). Model Z-score merupakan salah satu model analisis multivariate yang diciptakan oleh Edward I. Altman berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1968, yang berfungsi untuk memprediksi kebangkrutan pada perusahaan dengan tingkat ketepatan dan keakuratan yang relatif dapat dipercaya. Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model prediksi dengan teknik analisis diskriminan yang digunakan untuk memprediksi terjadinya kebangkrutan perusahaan, dengan istilah yang dikenal Z-score. Z-score merupakan skor yang ditentukan dari hitungan standar yang akan menunjukkan kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Z-score untuk memprediksi kepailitan rumus Edwar Altman, adalah formula multivarian ukuran kesehatan keuangan dan alat diagnostic yang kuat bahwa perkiraan probabilitas kebangkrutan memasuki sebuah perusahaan dalam jangka waktu 2 tahun (Altman, 1986). Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbahnisbah keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan sebuah multivariate formula yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan 25 yang bangkrut dan yang tidak bangkrut. Formula Z-score Altman adalah (Weston dan Copeland, 2010:288): Z = 0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,006X4 + 0,999X5 di mana: X1 = working capital to total asset X2 = retained earning to total asset X3 = earning before interest and taxes to total asset X4 = market value of equity to book value of total debt X5 = sales to total asset Z = overall index Z-Score Altman untuk perusahaan yang telah go public ditentukan dengan menggunakan rumus (Munawir, 2002: 309): (Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 di mana: X1 = X2 = X3 = X4 = X5 = Adapun rumusan di atas dapat diterjemahkan menurut Mamduh dan Halim (2009: 274): (Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 di mana: X1 = (aktiva lancar-utang lancar)/ total aktiva yang dinyatakan dalam persen (%) X2 = Laba yang ditahan/ total aktiva yang dinyatakan dalam persen (%) X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/ total aktiva yang dinyatakan dalam persen (%) X4 = Nilai pasar saham biasa dan preferen/nilai buku total utang yang dinyatakan dalam persen (%) X5 = Penjualan/ total aktiva 26 Dengan kriteria penilaian sebagai berikut. 1. Z-Score > 2,99 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan. 2. 1,81 <Z-Score < 2,99 berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun kemungkinan terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya tergantung dari keputusan kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan. 3. Z-Score < 1,81 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan yang sangat besar dan berisiko tinggi sehingga kemungkinan bangkrutnya sangat besar. Di dalam penelitian hubungan atas saham yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) dengan rasio book to market value of equity (BM) ratio ini memberikan pendapat bahwa kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress) berhubungan erat dengan arus kas saat ini dan proyeksi arus kas di masa mendatang. Dalam kesimpulan yang di dapat model pasar didasarkan dari perubahan harga saham mempunyai hubungan yang kuat terhadap portofolio yang mengalami kesulitan keuangan, hal ini dikarenakan pasar memberikan reaksi yang kuat atas saham yang negatif. Sebaliknya model akuntansi menunjukan hubungan yang rendah dengan harga saham, di mana perusahaan yang mengalami kerugian, sahamnya masih diperjual belikan di pasar (Ahroni, dkk., 2008). Bhattacharje et al. (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa suku bunga merupakan salah satu kompenen yang paling menonjol penyebab 27 ketidakstabilan makroekonomi di China yang memberikan dampak pada peningkatan financial distress perusahaan. Dari uraian penelitian yang sudah dilakukan dalam menangani fenomena financial distress, penelitian yang dilakukan ini akan mengambil objek prilaku perusahaan yang menyebabkan kesulitan keuangan (financial distress) dapat terjadi dan membandingan penyebab yang sama sehingga pada perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan (financial distress) dalam satu industri yang sama non perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Bedasarkan latar belakang tersebut, maka penulis melakukan penelitian, “Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesulitan Keuangan (financial distress) perusahaan pada masa krisis moneter 2008 – 2012”. 1.3 Rumusan Masalah Atas dasar latar belakang dan pembatasan masalah serta indentifikasi yang ada dapat di rumuskan permasalah-permasalahnya sebagai berikut. 1. Apakah likuiditas perusahaan berpengaruh negatif terhadap probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)? 2. Apakah Rasio Utang terhadap Total Aktiva (Total Debt to Total Aset Ratio) perusahaan berpengaruh positif pada probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)? 3. Apakah ROA (Profitabilitas) perusahaan berpengaruh negatif pada probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress)? 4. Apakah Margin EBITDA perusahaan berpengaruh negatif pada probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)? 28 5. Apakah nilai Penjulaan Eksport berpengaruh negatif terhadap total aset pada probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana memprediksi dan mengukur penyebab faktor-faktor kesulitan keuangan (financial distress) pada perusahaan non perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2008 – 2012 adalah: 1. menguji apakah likuiditas perusahaan berpengaruh negatif terhadap probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress); 2. menguji apakah total aktiva (Total Debt to Total Aset Ratio) perusahaan berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress); 3. menguji apakah Margin EBITDA perusahaan berpengaruh negatif terhadap probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress); 4. menguji apakah ROA (Profitabilitas) perusahaan berpengaruh negatif terhadap probabilitas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress); 5. menguji apakah nilai Penjulaan Ekspor berpengaruh negatif terhadap total aset pada probabiltas perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress). 29 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan menjadi salah satu acuan dalam mencegah terjadinya kesulitan keuangan (financial distress) dalam setiap perusahaan dan pelaku bisnis. 2. Bagi para pelaku bisnis dan perusahaan diharapkan agar dapat lebih siap dalam menghadapi krisis dan mengetahui sejak dini faktor-faktor serta gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya kesulitan keuangan (financial distress), serta dapat mencegah dan mencari jalan keluarnya. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan kebijakan/peraturan sehingga dapat memberikan dampak dan pengaruh yang positif pada perekonomian dan pelaku usaha/perusahaan. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima Bab. Gambaran secara umum isi dari masing-masing bab secara rinci dapat di uraikan sebagai berikut. Bab I merupakan Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II menguraikan tentang Tinjauan Pusaka dan alat analisis, yang di dalamnya mencangkup tinjauan pusaka, landasan teori, penelitian terlebih dahulu dan metode analisis yang digunakan. Bab III merupakan Metode Penelitian yang menguraikan tentang desain peneltian, metode pengumpulan serta penyampelan 30 data dan metode analisis penelitian data dilakukan dengan metode yang ada. Bab IV Analisis Penelitian dan pembahasan, yang di dalamnya menguraikan tentang deskripsi data, uji hipotesis dan pembahasan. Bab V Kesimpulan, Saran dan keterbatasan yang mencangkup kesimpulan, implikasi dan saran serta keterbatasan penulis dalam menyajikan penelitian ini. 31