keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 15

advertisement
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15/DPD RI/I/2013—2014
TENTANG
PERTIMBANGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 2014
JAKARTA
2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15/DPD RI/I/2013-2014
TENTANG
PERTIMBANGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 2014
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara;
c. bahwa pertimbangan atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan
dan belanja negara disampaikan secara tertulis oleh Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia selambat-lambatnya empat belas hari sebelum diambil persetujuan
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden;
d. bahwa bahan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite IV, sesuai dengan
lingkup tugasnya, telah membahas dan merumuskan Pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan UndangUndang Republik Indonesia tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2014 sebagai bahan pembahasan antara Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah;
e. bahwa berdasarkan ketentuan dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
tentang Pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
terhadap Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014;
Mengingat :
1. Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
815
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043);
3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2012 tentang Tata Tertib;
4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan UndangUndang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/
DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia Tahun 2007—2009;
Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-5
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Masa Sidang I Tahun Sidang 2013—2014
Tanggal 1 Oktober 2013
Menetapkan
PERTAMA
:
:
KEDUA
:
KETIGA
:
MEMUTUSKAN:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERTIMBANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK
INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA TAHUN ANGGARAN 2014.
Pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pembahasan
antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.
Isi dan perincian pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA
adalah sebagaimana
dimuat dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
keputusan ini.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN
Ketua,
Wakil Ketua,
816
H. Irman Gusman, S.E., M.B.A.
G.K.R. Hemas
Wakil Ketua,
Dr. Laode Ida
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
KEPUTUSAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15/DPD RI/I/2013-2014
TENTANG
PERTIMBANGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 2014
I.
PENDAHULUAN
1. Gejolak perekonomian nasional yang terjadi dalam 2 (dua) bulan terakhir berupa
peningkatan defisit neraca perdagangan, penurunan nilai tukar rupiah, kenaikan
harga bahan pokok, dan perlambatan investasi mempunyai dampak yang merugikan
bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan pembangunan bangsa. Permasalahan
kesenjangan antarkelompok masyarakat dan antardaerah yang terus meningkat juga
memberikan sinyal adanya permasalahan bangsa yang harus segera diatasi.
2. Berbagai permasalahan tersebut menyiratkan adanya ketidaktepatan dalam pengelolaan
anggaran negara atau APBN. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD
RI) berpandangan bahwa pengelolaan anggaran negara masih belum optimal dalam
mendorong fungsi alokasi sumber daya secara efisien untuk menggerakkan perekonomian
nasional, belum efektif dalam menjalankan fungsi distribusi pendapatan dan manfaat
pembangunan ke seluruh wilayah untuk pemerataan kesejahteraan rakyat, kurang optimal
dalam melaksanakan fungsi stabilisasi untuk mengamankan dan menjaga akselerasi
kinerja perekonomian nasional, dan tidak konsisten dengan arahan RPJMN 2010-2014
terkait dengan pewilayahan pembangunan.
3. Sesuai dengan mandat dan tanggung jawab, DPD RI wajib memberikan usulan dan
pertimbangan penyusunan RAPBN dan mengawasi pelaksanaannya. Pertimbangan DPD
RI ini dibuat berdasarkan masukan aspirasi masyarakat melalui dengar pendapat dengan
Pemerintah, para pakar, dan pelaku pembangunan dalam berbagai kesempatan rapat
kerja dan kunjungan kerja ke daerah.
4. Tahun 2014 merupakan tahun terakhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Oleh sebab itu, penyusunan RAPBN
Tahun Anggaran 2014 harus memuat langkah-langkah nyata dan strategis untuk mencapai
target pembangunan yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014.
5. Tahun 2014 juga menjadi titik penting dalam menjaga dan sekaligus menjamin
kelangsungan dan keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
bangsa melalui penyelenggaraan pemilihan umum. Konsekuensi dari politik anggaran
yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa adalah menjaga
kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik dan meningkatkan kinerja
pembangunan. Pemerintah harus tetap konsentrasi pada pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi secara efisien, efektif, dan adil, serta bekerja optimal untuk mencegah pemanfaatan
anggaran negara untuk kepentingan politik yang tidak sejalan dengan kepentingan
bangsa.
817
II. PERTIMBANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO TAHUN 2014
B. Asumsi Ekonomi Makro
1. Perkembangan ekonomi nasional tahun 2013 dan tahun 2014 diperkirakan akan
menghadapi tekanan berat sebagai akibat gejolak eksternal dan permasalahan internal.
Gejolak eksternal berasal dari fluktuasi di pasar uang dan pasar modal internasional
yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan, lambatnya pemulihan ekonomi negaranegara Eropa; belum pulihnya perekonomian Amerika Serikat; dan menurunnya
pertumbuhan ekonomi di Cina dan India. Tekanan tersebut berdampak pada penurunan
permintaan ekspor, perlambatan pertumbuhan investasi, dan perlambatan pertumbuhan
ekonomi nasional pada tahun 2013. DPD RI berpendapat bahwa dampak perlambatan
perekonomian dunia harus diantisipasi dengan cermat dan hati-hati, terutama mencegah
melambatnya perekonomian nasional, meningkatnya penganggguran, meningkatnya
biaya produksi, melambungnya harga kebutuhan pokok rakyat, dan meningkatnya
angka kemiskinan.
2. Permasalahan internal yang menyebabkan perlambatan perekonomian nasional pada
tahun 2013, kemungkinan besar akan berlanjut pada tahun 2014 yang bersumber dari
rendahnya produktivitas nasional, lambatnya pengembangan industri penghasil barang
modal dan barang antara, tingginya ketergantungan impor terutama bahan bakar
minyak dan barang konsumsi, lambatnya pertumbuhan ekspor. DPD RI memandang
permasalahan internal ini disebabkan oleh tidak jelasnya orientasi kebijakan ekonomi
nasional, tidak adanya kebijakan industri yang tegas dan jelas; serta tidak adanya
kesinambungan kebijakan di bidang pertanian, industri pengolahan, investasi, dan
perdagangan. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa perlu reorientasi dan
transformasi kebijakan ekonomi nasional dengan memberikan perhatian yang sungguhsungguh pada pengembangan perekonomian daerah.
3. Dengan pertimbangan tersebut, usulan DPD RI tentang asumsi dasar ekonomi makro
tahun 2014 memasukkan asumsi tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan tingkat
kesenjangan. Dengan memperhatikan perkiraan perkembangan ekonomi global dan
nasional, DPD RI mengusulkan kerangka ekonomi makro dalam penyusunan RAPBN
Tahun Anggaran 2014 sebagai berikut:
(1) pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,23% pada tahun 2013 menjadi 6,00%6,20% pada tahun 2014;
(2) inflasi meningkat dari 5,13% pada tahun 2013 menjadi 5,5%-6,5% pada tahun
2014;
(3) nilai tukar rupiah menurun dari Rp9.000,00 per US$ pada tahun 2013 menjadi
Rp10.450,00-Rp10.650,00 per US$ pada tahun 2014;
(4) tingkat suku bunga SPN dari 5,0% pada tahun 2013 menjadi 5,5%-6,5% pada
tahun 2014;
(5) rata-rata harga minyak dari US$108 per barel pada tahun 2013 menjadi US$105US$110 per barel pada tahun 2014;
(6) lifting minyak dari 930 ribu barel per hari pada tahun 2012 menjadi 900-930 ribu
barel per hari;
(7) lifting gas dari 1.240 mboepd pada tahun 2013 tetap 1.240-1.325 mboepd pada
tahun 2014;
(8) persentase penduduk miskin berkurang dari 11,66% pada tahun 2012 menjadi
11,16% pada tahun 2014;
(9) tingkat pengangguran terbuka berkurang dari 5,6%-5,9% pada tahun 2013
menjadi 5,85% pada tahun 2014; dan
(10) indeks gini menurun dari 0,42 pada tahun 2013 menjadi 0,41 pada tahun 2014.
Tabel 1
Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2014
Indikator
No.
2012
2013
Realisasi
RAPBN
RAPBN-P
RAPBN
2014
Usulan DPD RI
1
Pertumbuhan Ekonomi (%)
6,2
6,8
6,2
6,4-6,9
6,00-6,20
2
Inflasi (%)
4,3
4,9
7,2
4,5-5,5
5,50-6,50
3
Suku Bunga SPN 3 Bulan (%)
4
Nilai Tukar (Rp/US$)
5
Harga Minyak ICP (US$/Barel)
6
Lifting Minyak (Ribu/Barel/Hari)
7
Lifting Gas (Mboepd)
8
Persentase Penduduk Miskin (%)
9
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Indeks Gini
10
818
5,0
5,0
5,0
4,5-5,5
5,50-6,50
9.000
9.300
9.600
9.600-9.800
10.450-10.650
105
100
108
100-105
105-110
930
900
840
900-930
900-930
-
1.360
1.240
1.240-1.325
1.240-1.325
11,66
9,5-10,5
9,5-10,5
9,0-10,0
11,16
6,14
5,8-6,1
5,90
5,6-5,9
5,85
0,41
0,42
0,42
0,42
0,41
Sumber: Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2014
4. Penyusunan kerangka ekonomi makro RAPBN TA 2014 harus memberikan
pemihakan yang jelas dan tegas kepada daerah-daerah yang relatif tertinggal dan
rentan terhadap gejolak perekonomian dunia dan nasional. Pengajuan RAPBN TA
2014 harus dilengkapi dengan skenario dampak perubahan perekonomian makro
terhadap perekonomian daerah, terutama dampak terhadap pertumbuhan ekonomi
serta pengangguran dan kemiskinan di setiap provinsi. Selain itu, penyusunan
asumsi dasar ekonomi makro harus diimbangi dengan upaya penajaman kebijakan
dan program pembangunan untuk mengurangi dampak melambatnya perekonomian
global, menjaga momentum percepatan pertumbuhan ekonomi dan menjamin
percepatan pembangunan bagi daerah-daerah yang relatif tertinggal.
C. Pertumbuhan Ekonomi
1. DPD RI mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan mencapai
2,2%-3,1% pada tahun 2013 dan 3,0%-3,8% pada tahun 2014. Peran Cina dan India
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2014 mulai menurun
meskipun masih tetap dominan. Pertumbuhan ekonomi Cina diperkirakan sebesar
6,9%-7,7% pada tahun 2013 dan 7,0%-7,7% pada tahun 2014. Ekonomi India
diperkirakan akan tumbuh 5,6%-5,7% pada tahun 2013 dan naik menjadi 6,3%-6,5%
pada tahun 2014. Ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan tumbuh 1,7%-2,0%
pada tahun 2013 dan 2,7%-2,8% pada tahun 2014. Ekonomi negara-negara Eropa
akan mengalami kontraksi sebesar 0,6% pada tahun 2013 dan tumbuh sebesar
0,9% pada tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi dunia negara-negara ASEAN pada
tahun 2013 dan 2014 terus membaik sehingga memberikan sumbangan bagi
pertumbuhan ekonomi dunia.
2. Prospek perkembangan ekonomi global pada tahun 2014 yang relatif lebih baik
dibanding tahun 2013 diharapkan membawa dampak bagi pertumbuhan ekonomi
nasional pada tahun 2014. Oleh sebab itu, asumsi pertumbuhan ekonomi yang
diusulkan untuk RAPBN Tahun Anggaran 2014 menjadi sekitar 6,0%-6,20%. Risiko
yang akan muncul dalam tahun 2014 adalah tingginya fluktuasi pasar uang dan
tingginya harga komoditas, terutama minyak dan pangan yang akan berpengaruh
terhadap pendapatan dan belanja negara.
3. Dengan membandingkan realisasi dan target RPJMN, kinerja perekonomian
nasional menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2011 lebih tinggi dari
target RPJMN atau APBN, sedangkan realisasi pertumbuhan pada tahun 2012
sebesar 6,23% lebih rendah dari target APBN sebesar 6,5% dan dari target RPJMN
adalah 6,9%. DPD RI mencatat bahwa target pertumbuhan ekonomi ditetapkan
antara 6,4%-6,9% pada tahun 2014 terlalu optimistis dan sulit untuk dicapai.
4. DPD RI berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2014
diperkirakan berada pada kisaran 6,0%-6,2%. Pertumbuhan ekonomi tersebut
didukung oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat sejalan dengan
pelaksanaan pemilu legislatif, perbaikan iklim investasi, dan peningkatan kegiatan
ekspor. Sektor yang diperkirakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi
tersebut adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan dan
komunikasi; sektor pertanian; dan sektor industri pengolahan.
5. Dalam kurun waktu 2008-2012, DPD RI mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi
di 17 provinsi masih berada di bawah rata-rata nasional (6,00%), seperti Aceh
(0,42%), Papua (2,81%), NTB (3,36%), NTT (5,06%), Kepulauan Bangka Belitung
(5,25%), Kalimantan Barat (5,27%), Lampung (5,83%), Kalimantan Selatan (5,83%),
dan Sumatera Barat (5,93%). DPD RI berpendapat bahwa perlu langkah-langkah
percepatan pembangunan melalui peningkatan alokasi belanja kementerian/
lembaga terhadap daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rendah sehingga
dapat memacu kemajuan ekonomi daerah.
6. Provinsi lain yang relatif kaya sumber daya alam dengan pertumbuhan di bawah
rata-rata nasional adalah Riau (4,27%), Daerah Istimewa Yogyakarta (4,97%),
Kalimantan Timur (3,57%), Sumatera Selatan (5,42%), Jawa Tengah (5,78%),
Banten (5,83%), dan Jawa Barat (5,84%). DPD RI mengusulkan pembenahan
kualitas pelayanan publik untuk memfasilitasi perkembangan investasi daerah dan
meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi daerah.
7. Penyusunan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 harus diimbangi dengan
upaya peningkatan produktivitas dan daya saing perekonomian daerah sebagai
pondasi bagi perbaikan produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Oleh
sebab itu, DPD RI mendorong Pemerintah agar (i) melakukan penajaman kebijakan
dan program pembangunan, (ii) meningkatkan belanja modal, terutama belanja
modal untuk pembangunan infrastruktur di daerah di kawasan timur Indonesia, (iii)
melakukan penguatan ketahanan pangan dan percepatan pembangunan energi
untuk memacu perkembangan sektor riil.
819
Tabel 2
Sumber Pertumbuhan Ekonomi Menurut Pengeluaran dan Sektoral (%)
Sumber
2010
Rata-rata
2011
Rata-rata
(Q1)
2012
Target
2013*
Dari Sampai
Pengeluaran
Konsumsi Rumah Tangga
4,8
4,7
4,9
4,9
4,8
5,2
-0,7
3,2
5,9
6,8
6,7
7,1
PMTB
8,5
8,8
9,9
10,9
11,9
12,3
Ekspor
15,4
13,8
7,8
9,9
11,7
12,1
Impor
17,6
13,5
8,2
11,4
13,5
13,9
Pertanian
3,1
3,0
3,9
3,5
3,7
4,1
Pertambangan
3,6
0,8
2,9
2,0
2,8
3,2
Industri Pengolahan
4,8
6,2
5,7
6,1
6,5
6,9
Listrik, Gas, dan Air Bersih
5,4
4,8
6,1
6,2
6,6
7,0
Konstruksi
7,0
6,7
7,3
7,0
7,5
7,9
Konsumsi Pemerintah
Sektoral
Perdagangan
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan
Jasa-Jasa
8,7
9,2
8,5
8,9
8,9
9,3
13,4
10,8
10,3
11,2
12,1
12,5
5,7
6,0
6,8
6,7
6,3
5,5
6,3
6,2
6,1
6,0
6,5
6,4
Sumber: RAPBN Tahun Anggaran 2014
D. Inflasi
1. Inflasi pada tahun 2013 dan 2014 diperkirakan akan berada pada kisaran 5,50%6,50%. Proyeksi tersebut didasarkan pada perkiraan masih tingginya harga
bahan pangan dan energi di pasar internasional pada tahun mendatang serta
tingginya permintaan domestik sebagai akibat meningkatnya kegiatan persiapan
dan pelaksanaan pemilihan umum. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa
Pemerintah perlu terus menjaga stabilitas harga dan mengurangi potensi kenaikan
inflasi sebagai akibat kenaikan harga pangan, lambatnya pasokan bahan bakar
minyak di beberapa daerah, kenaikan biaya transportasi antardaerah, dan kenaikan
tarif layanan publik lainnya.
2. Pemerintah juga perlu memusatkan perhatian pada inflasi tinggi yang terjadi di
beberapa daerah tersebut yang sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya
pasokan bahan pokok, sulitnya akses transportasi, dan terbatasnya infrastruktur
dasar seperti jalan dan jembatan serta pembangkit tenaga listrik.
E. Nilai Tukar (Rp/US$1)
1. Pada Mei 2013, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,23% ke level Rp9.400,00
per dolar AS atau secara rata-rata melemah 0,95% menjadi Rp 9.254,00 per
dolar AS. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus berlanjut karena tingginya
permintaan valuta asing untuk memenuhi kebutuhan impor, terutama impor BBM,
pembayaran utang luar negeri, repatriasi pendapatan pihak asing, serta tindakan
para pelaku usaha mengamankan portofolio dari gejolak pasar uang sebagai akibat
ketidakjelasan penyelesaian krisis di Eropa.
2. Dengan memperhitungkan perkembangan pasar uang nasional dan global,
DPD RI mengusulkan rata-rata nilai tukar pada tahun 2014 berada pada kisaran
Rp10.450,00-Rp10.650,00 per dolar AS. Dalam upaya menjaga keseimbangan
pasar valuta asing, Bank Indonesia harus terus mengambil langkah-langkah untuk
menjaga kecukupan likuiditas pasar yang didukung dengan penguatan operasi
moneter melalui pengembangan instrumen moneter valuta asing serta memperkuat
koordinasi dengan Pemerintah untuk melakukan mitigasi dampak negatif dari risiko
pemburukan ekonomi global. 3. Dalam menjaga nilai tukar rupiah, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu
memperhitungkan segala risiko yang muncul dari dinamika perekonomian global.
Di satu sisi, nilai tukar rupiah diharapkan memberikan insentif yang cukup bagi para
pelaku dalam kegiatan ekspor dan memberikan daya tarik investasi di dalam negeri.
Di sisi lain, pengendalian nilai tukar rupiah dilakukan dengan memperhitungkan
jaminan kebutuhan impor bahan baku dan barang modal bagi para pelaku usaha di
dalam negeri.
820
F. Tingkat Suku Bunga SPN-3 Bulan
1. Ketidakpastian yang terjadi di pasar uang dan pasar modal internasional
menyebabkan nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan selama bulan AgustusSeptember 2013. Tekanan itu menyebabkan Bank Indonesia meningkatkan suku
bunga SPN menjadi 7,25% pada September 2013. Kenaikan suku bunga SPN
menyebabkan peralihan dana masyarakat dari simpanan perbankan ke SPN
sehingga mendorong perbankan menaikkan suku bunga. Dengan berdasarkan
perkembangan beberapa indikator ekonomi tahun 2013 serta dengan mencermati
kondisi faktor-faktor yang akan berpengaruh pada tahun 2014, tingkat suku bunga
SPN tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,5%-6,5%. Perkiraan tingkat suku bunga
tersebut dilakukan guna mempertahankan tingkat suku bunga riil yang tetap
kompetitif di dalam negeri.
2. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa penyaluran kredit perbankan pada
tahun 2008-2013 masih terpusat di 5 (lima) provinsi di Jawa, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Ketimpangan penyaluran kredit
perbankan menyebabkan investasi juga terpusat di 5 (lima) provinsi tersebut. DPD
RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu bekerja sama dengan perbankan untuk
mendorong penyebaran kredit ke luar Jawa.
Tabel 3
Distribusi Pinjaman Bank Umum dan BPR Tahun 2008—2013
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Total
Nilai Pinjaman (Triliun Rupiah)
Sumber: Bank Indonesia
2008
0,81
4,97
1,28
2,44
0,79
1,67
0,40
1,61
0,25
1,08
36,83
12,66
6,91
0,81
10,15
4,41
1,56
0,96
0,64
1,23
2,31
0,79
0,54
2,42
0,35
0,16
0,15
0,54
0,42
2009
0,91
4,67
1,26
2,44
0,85
1,93
0,42
1,58
0,26
1,08
35,97
12,54
7,04
0,83
10,07
4,04
1,67
1,02
0,82
1,22
2,68
0,83
0,59
2,53
0,32
0,22
0,15
0,57
0,47
2010
0,92
4,14
1,25
2,38
0,80
1,85
0,37
1,55
0,25
0,95
39,13
11,82
6,20
0,74
9,69
4,61
1,60
1,05
0,89
1,14
2,63
0,79
0,51
2,31
0,31
0,16
0,09
0,53
0,41
2011
0,97
4,63
1,37
2,30
1,02
2,25
0,44
1,73
0,33
1,10
33,44
12,41
6,66
0,77
10,00
5,08
1,76
1,22
1,08
1,28
2,95
0,91
0,65
2,59
0,42
0,23
0,16
0,62
0,49
2012
0,88
4,65
1,28
2,19
0,94
2,30
0,45
1,59
0,32
1,21
32,76
12,52
6,63
0,75
10,23
5,61
1,89
1,28
1,04
1,34
2,87
0,86
0,66
2,58
0,46
0,23
0,16
0,65
0,49
2013
0,88
4,60
1,29
2,17
0,95
2,29
0,45
1,58
0,31
1,18
32,31
12,71
6,62
0,75
10,28
5,66
1,95
1,29
1,04
1,39
2,93
0,86
0,67
2,60
0,47
0,24
0,16
0,67
0,49
0,20
0,11
0,22
0,13
0,23
0,12
0,26
0,16
0,25
0,16
0,25
0,16
0,17
0,40
100,00
0,19
0,47
100,00
0,12
0,44
100,00
0,20
0,53
100,00
0,23
0,56
100,00
0,23
0,56
100,00
1.313,87
1.446,81
1.783,60
2.223,68
2.738,05
2.801,04
3. Penyaluran kredit perbankan lebih rendah dibandingkan dengan mobilisasi dana
masyarakat, terutama di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Kalimantan,
dan Sulawesi. Kondisi tersebut tidak kondusif bagi pengembangan usaha mikro,
821
kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK) serta bagi percepatan pembangunan
daerah. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu fokus pada peningkatan
efisiensi perbankan untuk mengurangi biaya intermediasi dan mendorong
pemerataan penyaluran kredit perbankan antardaerah, terutama untuk mendukung
pengembangan UMKMK dan percepatan pembangunan daerah. Dalam kaitan
dengan mobilisasi dana perbankan di daerah dan penyaluran kredit, Pemerintah
perlu mengoptimalkan pengelolaan perbankan wilayah (regional banking) yang
sudah ada, dan membangun perbankan wilayah di daerah pemekaran baru, serta
memberikan prioritas kepada perbankan untuk beroperasi di wilayah tertentu.
G. Harga Minyak
1. Total konsumsi minyak dunia pada 2012 telah mencapai lebih 88,8 juta barel per
hari dan akan meningkat pada tahun 2013 menjadi 90,1 juta barel per hari. Produksi
minyak diperkirakan akan naik menjadi 89,7 juta barel per hari pada tahun 2013.
Namun, jumlah produksi minyak belum dapat mengimbangi tingginya permintaan
dunia terhadap minyak. Hal itu menyebabkan harga minyak mentah dunia bergerak
dengan volatilitas yang relatif tinggi. Harga minyak dalam tahun 2014 diperkirakan
berada pada kisaran US$105-US$110 per barel. Proyeksi harga minyak tersebut
didasarkan pada perkembangan di pasar minyak internasional pada tahun 2012
serta prospeknya pada tahun 2014.
2. Pergerakan harga minyak di pasar internasional cenderung berfluktuasi dan secara
bertahap meningkat. DPD RI berpendapat bahwa penetapan harga minyak tahun
2014 masih harus tetap realistis. Pemerintah harus menyiapkan suatu pengaman
untuk mengurangi dampak fluktuasi harga minyak di pasar internasional, termasuk
menetapkan subsidi dan membangun sumber energi alternatif non-BBM. Pemerintah
perlu memperhatikan kebutuhan pasokan BBM di wilayah yang terpencil dengan
menetapkan besaran subsidi yang berbeda untuk setiap wilayah dan penyediaan
infrastruktur pendukung berupa tempat penampungan dan penyimpanan (depo)
BBM di daerah-daerah yang sulit dijangkau transportasi.
H. Lifting Minyak
1. DPD RI memperkirakan lifting minyak dalam tahun 2014 berada pada kisaran
900 ribu-930 ribu barel per hari. Dalam mencapai lifting minyak pada tahun 2014
tersebut, DPD RI meminta Pemerintah agar melakukan pengoptimalan perolehan
dari sumur minyak yang sudah ada dan melakukan percepatan produksi di sumursumur minyak yang baru. DPD RI mencatat bahwa beberapa kilang minyak
telah mulai beroperasi sehingga produksi minyak diharapkan dapat meningkat
lebih tinggi. Penetapan asumsi lifting minyak untuk tahun 2014 perlu diimbangi
dengan penghapusan berbagai hambatan investasi di sektor minyak dengan
mempertimbangkan kepentingan nasional dan daerah. Selain itu, Pemerintah perlu
secara konsisten meninjau kontrak karya yang merugikan negara dan menjamin
bagi hasil yang menguntungkan pemerintah daerah.
2. Dalam upaya mengurangi jebakan ketergantungan pada migas dan menjamin
ketahanan energi dalam jangka panjang, Pemerintah perlu merumuskan strategi
dan kebijakan ketahanan energi dan melaksanakannya secara konsisten sebagai
dasar pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan.
I.
822
Tingkat Kemiskinan
1. Pertumbuhan ekonomi 2010-2012 yang diiringi tingkat inflasi yang rendah mampu
menurunkan persentase tingkat kemiskinan. Berdasarkan data BPS, tingkat
kemiskinan turun dari 13,33% (pada Maret 2010) menjadi 12,49% (pada Maret 2011).
Tingkat kemiskinan itu terus menurun pada September 2011 menjadi 12,36% atau
telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 130 ribu jiwa dibandingkan
bulan Maret 2011. Meskipun kemiskinan menurun, realisasi penurunan kemiskinan
masih lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam APBN dan RPJMN.
2. Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen pada APBN Tahun
Anggaran 2014, target penurunan angka kemiskinan pada kisaran 9,0%-10,0%.
Target penurunan kemiskinan itu kemungkinan tidak akan tercapai tanpa ada upaya
yang tuntas dan terpadu dalam mengatasi akar masalah kemiskinan. DPD RI
beranggapan bahwa sasaran penurunan angka kemiskinan itu kurang fokus, dan,
untuk itu diusulkan agar target penurunan angka kemiskinan ditetapkan pada setiap
sektor dan program. Kegiatan pengurangan kemiskinan yang dilakukan oleh setiap
sektor dan kementerian/lembaga dikoordinasikan dengan baik agar lebih efektif
dalam mengatasi kemiskinan di daerah.
3. Permasalahan kemiskinan merupakan imbas dari belum tuntasnya upaya mengatasi
permasalahan kependudukan, terutama karena melemahnya langkah-langkah
pengendalian pertumbuhan penduduk, memudarnya upaya penyebaran penduduk
antardaerah secara seimbang, kurangnya fasilitas permukiman bagi penduduk,
serta kurang berkembangnya kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai
salah satu jalan keluar dari kemiskinan.
4. Dengan memperhatikan pola pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan,
DPD RI berpendapat bahwa tingkat kemiskinan harus diturunkan dari 11,96% pada
tahun 2012 menjadi 11,56% pada tahun 2013 dan menjadi 11,16% pada tahun 2014
dengan prioritas daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi pada sektor-sektor
yang mempunyai jumlah penduduk miskin yang tinggi seperti sektor pertanian.
Menurut data BPS Maret 2012, persentase kemiskinan di beberapa provinsi masih
di atas rata-rata nasional, seperti di Papua (31,11%), Papua Barat (28,20%), Maluku
(21,78%), Kalimantan Tengah (20,88%), Aceh (19,46%), Bengkulu (17,70%),
Nusa Tenggara Barat (17,33%), Lampung (16,80%), Daerah Istimewa Yogyakarta
(16,05%), Sulawesi Tenggara (15,40%), Jawa Tengah (15,34%), Sumatera Selatan
(13,78%), Gorontalo (13,71%), Jawa Timur (13,40%), dan Nusa Tenggara Timur
(13,24%).
J. Tingkat Pengangguran Terbuka
1. Target penurunan tingkat pengangguran terbuka dalam APBN Tahun Anggaran
2014 sebesar 5,6%-5,9%. Komposisi penyebaran tenaga kerja pada sektor-sektor
ekonomi masih tetap didominasi sektor pertanian walaupun terus mengalami tren
penurunan. Porsi tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2010
mencapai 38,3% dan terus menurun hingga mencapai 35,9% pada tahun 2011.
Penurunan tersebut sejalan dengan penurunan peran sektor tersebut terhadap PDB.
Penyebaran alokasi tenaga kerja di sektor lain yang cukup besar, antara lain, di
sektor perdagangan, sektor jasa, dan industri yang pada tahun 2011 masing-masing
mencapai 21,3%; 15,2%; dan 13,3%. Target penurunan pengangguran tahun 2014
akan sulit tercapai karena adanya perlambatan laju pertumbuhan ekonomi.
2. DPD RI berpendapat bahwa tingkat pengangguran terbuka perlu diturunkan dari
6,40% pada tahun 2012 menjadi 5,90% pada tahun 2013 dan 5,85% pada tahun
2014. Langkah yang harus dilakukan Pemerintah dalam memperluas lapangan
kerja adalah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar wilayah JawaBali untuk menciptakan kesempatan kerja baru, mendorong perbaikan infrastruktur,
dan meningkatkan pelayanan perizinan.
K. Tingkat Kesenjangan
1. DPD RI menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak ada manfaatnya
bagi kesejahteraan rakyat apabila tingkat kesenjangan pendapatan juga meningkat.
Perkembangan indeks gini sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesenjangan
cenderung meningkat dari 0,35 pada tahun 2008 menjadi 0,38 pada tahun 2010;
dan 0,41 pada tahun 2012. Tanpa ada upaya yang terarah, sistematis, dan terpadu,
DPD RI memperkirakan indeks gini pada tahun 2013 meningkat menjadi 0,42.
2. Provinsi dengan kesenjangan tertinggi adalah Papua (0,44), Nusa Tenggara Barat
(0,44), Papua Barat (0,43), Daerah Istimewa Yogyakarta (0,43), Bali (0,43), Sulawesi
Selatan (0,43), DKI Jakarta (0,42), Jawa Barat (0,41), Gorontalo (0,41), Riau (0,40),
Sumatera Selatan (0,40), Sulawesi Tenggara (0,40), dan Sulawesi Barat (0,40).
DPD RI berpandangan bahwa permasalahan kesenjangan yang tidak teratasi
secara tuntas akan berdampak pada peningkatan kecemburuan dan konflik sosial.
Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang terukur, nyata, dan sistematis untuk
mengurangi kesenjangan pendapatan. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa
tingkat kesenjangan harus diturunkan menjadi 0,41 dengan prioritas daerah-daerah
dengan tingkat kesenjangan tinggi dan perhatian yang lebih besar pada peningkatan
kinerja daerah yang tertinggal.
III. PERTIMBANGAN TERHADAP PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2014
1. Penyusunan pendapatan negara tahun 2014 mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) Tahun 2014 dengan tema “Memantapkan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan.” Tema tersebut sesuai dengan empat isu
strategis yang akan dihadapi pada tahun 2014, yaitu peningkatan daya saing, peningkatan
daya tahan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pemantapan stabilitas soisal
dan politik.
2. Salah satu penekanan dari RPJMN 2010-2014 khususnya Buku III adalah pembangunan
berdimensi kewilayahan. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah
perlu menggunakan basis kewilayahan secara konsisten dalam perumusan kebijakan
pendapatan negara dan kebijakan belanja negara. Pemerintah perlu memetakan
secara terperinci kemajuan yang akan dicapai dan kebutuhan fiskal wilayah Papua,
823
wilayah Maluku, wilayah Nusa Tenggara, wilayah Sulawesi, wilayah Kalimantan, wilayah
Sumatera, dan wilayah Jawa-Bali. Dengan pendekatan kewilayahan tersebut, setiap
kebijakan Pemerintah termasuk arah kebijakan fiskal tahun 2014 akan sungguh-sungguh
memperhatikan keseimbangan dan keterkaitan pembangunan antarwilayah. Selain
itu, pemetaan kemajuan dan kebutuhan wilayah akan memberikan kepastian dalam
perencanaan dan penganggaran, terutama menyangkut besaran dan arah belanja pusat
dan dana transfer daerah.
3. Pemerintah menjelaskan bahwa perkembangan realisasi pendapatan negara terus
meningkat dari Rp995,3 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp1.502,0 triliun pada tahun 2013
dan direncanakan menjadi Rp1.662,5 triliun pada tahun 2014. Sumber utama pendapatan
negara berasal dari penerimaan dalam negeri, baik dari penerimaan perpajakan maupun
penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak meningkat dari Rp723,3 triliun pada
tahun 2010 menjadi Rp1.148,4 triliun pada 2013 dan direncanakan meningkat menjadi
Rp1.310,2 triliun pada tahun 2014. Kenaikan penerimaan pajak dalam negeri tersebut
bersumber dari kenaikan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Tabel 4
Ringkasan APBN TA 2010—2013 dan RAPBN TA 2014 (Triliun Rupiah)
2010
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Hibah
B. Belanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
II. Transfer ke Daerah
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit
persen terhadap PDB
E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri
II. Pembiayaan Luar Negeri
Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan
995,3
992,2
723,3
268,9
3,02
1.042,1
697,4
344,7
41,5
-46,8
-0,73
91,6
96,1
-4,6
44,7
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN TA 2014
2011
1.210,6
1.205,3
873,9
331,5
5,3
1.295,0
883,7
411,3
8,9
-84,4
-1,14
130,9
148,7
-17,8
46,5
2012
1.338,3
1.332,6
980,2
352,4
5,7
1.489,7
1.009,2
480,6
-52,8
-151,4
-1,86
173,3
198,4
-25,1
21,9
2013
APBN-P
1.502,0
1.497,5
1.148,4
349,2
4,5
1.726,2
1.196,8
574,8
-111,7
-224,2
-2,38
224,2
241,1
-16,9
0,0
2014
RAPBN
1.662,5
1.661,1
1.310,2
350,9
1,4
1.816,7
1.230,3
586,4
-34,7
-154,2
-1,49
154,2
173,2
-19,0
0,0
4. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah harus bekerja keras untuk mempertahankan
dan meningkatkan penerimaan perpajakan sehingga tax ratio secara bertahap akan
meningkat sekurang-kurangnya 15% dari PDB. DPD RI berpendapat bahwa penerimaan
perpajakan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan reformasi perpajakan secara
total dan menghapuskan mafia pajak dan memberantas korupsi di lingkungan aparat
perpajakan secara tuntas.
5. DPD RI mencatat bahwa layanan di bidang kepabeanan dan cukai masih belum optimal,
terutama di beberapa provinsi yang melayani transaksi ekspor dan impor. Berbagai
langkah pembenahan yang dilakukan Pemerintah saat ini masih belum menunjukkan
hasil yang optimal. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu terus memperbaiki
layanan di bidang kepabeanan dan cukai dengan melakukan perbaikan sistem layanan
di beberapa provinsi dan pengembangan sistem informasi kepabeanan secara terpadu.
6. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengoptimalkan PNBP melalui berbagai
langkah, seperti pengoptimalan penerimaan deviden dan pajak, pengoptimalan
penerimaan dari minyak dan gas, serta pengoptimalian langkah lain yang mendasar.
Sektor pertambangan dan kehutanan yang terkait dengan pertambangan mempunyai
kemampuan yang tinggi untuk meningkatkan penerimaan negara secara substansial, baik
dari pajak maupun PNBP. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan pengelolaan
sektor-sektor tersebut agar potensi penerimaan negara dari sektor itu dapat direalisasikan.
7. DPD RI mencatat bahwa kebutuhan minyak dan gas dalam negeri masih cukup besar,
terutama untuk mencukupi kebutuhan rakyat di daerah pedalaman yang sulit dijangkau
dengan transportasi, seperti di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan. Kesulitan mendapatkan minyak dan gas menyebabkan biaya transportasi
menjadi mahal. Selain itu, kesulitan bahan baku juga berdampak pada peningkatan
biaya produksi bagi para nelayan yang menggunakan perahu motor dan bagi petani
yang menggunakan peralatan pendukung berbahan bakar minyak. Oleh sebab itu, DPD
RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu (i) menyusun peta kebutuhan minyak dan
824
gas di seluruh wilayah sebagai dasar penetapan alokasi distribusi minyak dan gas; (ii)
memperbaiki distribusi minyak dan gas antardaerah dengan memperhatikan kebutuhan
rakyat di setiap daerah, dan (iii) memperbaiki keseimbangan distribusi antardaerah.
8. BUMN yang beroperasi di daerah perbatasan, daerah terpencil, dan di kawasan perbatasan
mempunyai potensi strategis untuk membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk,
termasuk pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan komunikasi. DPD RI
berpendapat bahwa pelayanan publik di daerah pedalaman, di kawasan perbatasan,
dan daerah terpencil di Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan
masih belum optimal. BUMN yang beroperasi diwilayah tersebut, seperti PERTAMINA,
INHUTANI, PERTANI, dan DAMRI perlu ditingkatkan kemampuannya membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tersebut. Di satu sisi, DPD
RI meminta kepada Pemerintah untuk mengutamakan pelayanan publik dan mendorong
percepatan pembangunan daerah di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi,
dan Kalimantan, sedangkan di sisi lain, DPD RI meminta Pemerintah untuk (i) melakukan
pembenahan dan restrukturisasi terhadap BUMN yang berkinerja buruk, (ii) melakukan
pembenahan sistem akuntansi dan pelaporan sesuai dengan standar internasional dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta (iii) mendorong reformasi manajamen
BUMN berbasis kinerja yang lebih terukur.
9. DPD RI mencatat bahwa perizinan, perjanjian produksi, dan pengelolaan pertambangan
di beberapa daerah masih menghadapi berbagai hambatan. Pemerintah daerah pada
umumnya harus menanggung biaya pembangunan dan pemeliharaan prasarana
pengangkutan hasil tambang. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah
bersama dengan pemerintah daerah perlu mendorong kontrak karya yang lebih
menguntungkan bagi penambahan PNBP-terutama bagi daerah penghasil-dan
mendorong perusahaan untuk ikut membangun dan memelihara prasarana dan sarana
pengangkutan.
10.DPD RI juga mencatat bahwa pengelolaan sumber daya ikan oleh perusahaan perikanan
masih belum memberikan hasil yang optimal bagi pemerintah daerah. Proses jual-beli
hasil perikanan masih sering dilakukan di tengah laut sehingga tidak tercatat sebagai
penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal itu disebabkan oleh terbatasnya prasarana
pendukung pelabuhan, tempat pelelangan ikan, dan jaringan pemasaran di daerah
penghasil ikan. Selain itu, hambatan yang terjadi di daerah adalah lemahnya pengawasan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan. Oleh sebab itu, dalam
upaya meningkatkan PNBP, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu meningkatkan
prasarana dan sarana pelabuhan ikan, menata kembali pengaturan perusahaan perikanan,
serta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap perusahaan perikanan.
11.DPD RI mencatat bahwa rencana kenaikan tarif dasar listrik akan mendorong kenaikan
harga barang dan jasa dan membawa dampak menurunnya daya beli rakyat, terutama
rakyat miskin. DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu melakukan perbaikan layanan
penyediaan listrik-terutama dalam menjaga pasokan listrik dan memperluas jaringan
distribusi listrik-di daerah-daerah yang selama ini belum mendapat layanan listrik, seperti
di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. DPD
RI menemukan bahwa kemampuan dan daya beli masyarakat serta jangkauan layanan
di setiap wilayah berbeda-beda. Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah
perlu mempertimbangkan penerapan tarif dan subsidi listrik menurut wilayah.
IV. PERTIMBANGAN TERHADAP BELANJA NEGARA TAHUN 2014
1. Belanja negara terus meningkat dari Rp1.042,1 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp1.726,2
triliun pada APBN-P TA 2013 dan Rp1.816,7 triliun pada RAPBN TA 2014. DPD RI
mencatat bahwa persentase belanja Pemerintah Pusat cenderung lebih besar daripada
dana transfer daerah. DPD RI berpendapat bahwa distribusi belanja negara belum sejalan
dengan semangat otonomi daerah.
Tabel 5
Realisasi Belanja Negara APBN TA 2010, APBN TA 2011, APBN TA 2012,
APBN-P TA 2013, dan RAPBN TA 2014
Jenis
Belanja Pemerintah
Pusat
Transfer Ke Daerah
Total
APBN 2010
TriliunRupiah
%
697,4
66,9
344,7
33,1
1.042,1 100,0
APBN 2011
TriliunRupiah
%
883,7
68,2
411,3
31,8
1.295,0 100,0
APBN 2012
Triliun
Rupiah
%
1.009,2
67,7
480,6
32,3
1.489,7 100,0
APBN-P 2013
Triliun
Rupiah
%
RAPBN 2014
Triliun
Rupiah
%
1.196,8
69,3
1.230,3
67,7
529,4
30,7
586,4
32,3
1.726,2 100,0
1.817 100,0
Sumber: Kementerian Keuangan RAPBN TA 2014
825
2. Berkaitan dengan alokasi belanja Pemerintah Pusat, DPD RI berpendapat bahwa kenaikan
belanja pelayanan umum harus diimbangi dengan reformasi birokrasi secara jelas, tuntas,
dan berdampak langsung bagi peningkatan pelayanan publik yang lebih baik, bermutu,
cepat, mudah, adil, efisien, dan efektif bagi kesejahteraan rakyat.
3. DPD RI menganggap subsidi energi, terutama di Jawa, tidak adil karena sebagian besar
subsidi, baik subsidi BBM maupun subsidi listrik dinikmati oleh kelompok penduduk
berpendapatan menengah. DPD RI berpendapat bahwa subsidi energi secara bertahap
dialihkan menjadi dana transfer daerah untuk penguatan ketahanan pangan daerah dan
percepatan pembangunan infrastruktur daerah, terutama di wilayah Papua, Maluku, Nusa
Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.
4. Peran Pemerintah dalam mendukung pembangunan pertanian, kelautan, dan perikanan
selama ini masih belum optimal karena cenderung sporadis, tidak sistematis, dan tidak
efektif dalam memajukan pertanian, kelautan, dan perikanan. Oleh sebab itu, DPD RI
meminta Pemerintah untuk mendukung penyediaan pelayanan publik dan subsidi
yang tepat sasaran dan langkah-langkah afirmatif untuk melindungi dan sekaligus
mengembangkan pertanian, perikanan, dan kelautan sebagai strategi utama untuk
meningkatkan ketahanan pangan, ketahanan energi, dan penanggulangan kemiskinan
serta kesenjangan antardaerah dan antarkelompok masyarakat.
5. Pemerintah mengajukan usulan belanja anggaran kementerian/lembaga tahun 2014
dengan alokasi anggaran terbesar adalah sebagai berikut, yaitu (1) Kementerian
Pertahanan Rp83,43 triliun; (2) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp82,74 triliun;
(3) Kementerian Pekerjaan Umum Rp74,91 trilun; (4) Kementerian Agama Rp49,58 triliun;
(5) Kepolisian Republik Indonesia Rp41,53 triliun; (6) Kementerian Kesehatan Rp44,86
triliun; (7) Kementerian Perhubungan Rp39,15 triliun;
(8) Kementerian Keuangan
Rp18,71 triliun; (9) Kementerian Pertanian Rp15,47 triliun; (10) Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral Rp16,26 triliun; dan
(11) Kementerian Dalam Negeri Rp14,78
triliun. DPD RI berpendapat bahwa pola alokasi anggaran tersebut tidak menggambarkan
prioritas, tidak seimbang, dan tidak mencerminkan kebutuhan rakyat dan daerah. Oleh
sebab itu, DPD RI meminta Pemerintah agar melakukan realokasi anggaran kementerian/
lembaga untuk mendukung peningkatan produktivitas dan ketahanan pangan; mendukung
ketahanan energi; dan mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di wilayah
Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.
6. Ketahanan pangan dan energi merupakan jaminan bagi kelanjutan kedaulatan NKRI.
Keduanya harus menjadi target terukur dan terintegrasi lintas kementerian/lembaga dan
daerah. Sektor pertanian menjadi ujung tombak terkait dengan ketahanan pangan dan
ketahanan energi pada masa yang akan datang. DPD RI menganggap koordinasi dan
rencana terstruktur belum terbentuk dan Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh
membangun kemampuannya untuk mewujudkannya dalam 10 tahun ke depan.
V. PERTIMBANGAN TERHADAP KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TAHUN 2014
1. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah
merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk (i)
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, (ii) meningkatkan produktivitas dan
penguatan daya saing daerah, (iii) mempercepat pembangunan daerah, serta (iv)
mendorong pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Selain itu, dana transfer ke
daerah menjadi salah satu instrumen anggaran yang sangat penting untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
2. DPD RI mencatat bahwa rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung tidak
tetap, bahkan menurun. DPD RI berpendapat bahwa kenaikan dana transfer daerah
harus lebih besar dari kenaikan belanja kementerian/lembaga. Pemerintah seharusnya
mengalihkan penambahan belanja kementerian/lembaga menjadi penambahan transfer
daerah. Dengan langkah itu, DPD RI meyakini bahwa RAPBN TA 2014 benar-benar
memberikan manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan percepatan
pembangunan daerah.
Tabel 6
Perkembangan Transfer ke Daerah 2010—2014 (Triliun Rupiah)
Uraian
Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
II. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
a. Dana Otonomi Khusus
b. Dana Keistimewaan DIY
c. Dana Penyesuaian
JUMLAH
I.
826
2011
347,25
96,91
225,53
24,90
64,08
10,42
53,66
411,32
2012
408,35
108,42
273,81
26,12
70,42
11,95
58,47
478,78
APBN-P 2013 RAPBN 2014
445,5
481,8
102,7
107,4
311,1
341,4
31,7
33,0
83,8
104,6
13,4
16,1
0,5
70,4
87,9
529,4
586,4
3. DPD RI berpendapat bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam
pengelolaan dana transfer daerah masih belum optimal dalam memacu pertumbuhan
ekonomi daerah dan mempercepat pembangunan daerah. Kendala yang dihadapi
dalam pengelolaan dana transfer daerah, antara lain, adalah (i) terlambatnya penerbitan
petunjuk teknis yang menyebabkan kesulitan administrasi anggaran yang dilakukan
pemerintah daerah; (ii) kurang tertatanya manajemen pengelolaan DAK sebagai akibat
terlalu banyaknya jenis program DAK; (iii) terlambatnya penyaluran DAK sebagai akibat
keterlambatan penerbitan pedoman dan petunjuk teknis;
dan (iv) meningkatnya
beban aparat pemerintah daerah yang harus menghadapi pemeriksaan auditor sebagai
akibat perbedaan dasar hukum dalam penyusunan dan penggunaan DAK dengan dasar
hukum dalam pemeriksaan penggunaan DAK.
4. DPD RI meminta Pemerintah untuk menata kembali pengelolaan dana transfer ke daerah
sehingga mempunyai dampak nyata dan terukur bagi pengurangan kesenjangan fiskal;
peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah; peningkatan produktivitas, efisiensi, nilai
tambah, dan daya saing daerah; perluasan kesempatan kerja; pengurangan kemiskinan;
peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan daerah; peningkatan efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam; serta pencegahan degradasi dan penurunan daya dukung lingkungan
di daerah.
5. DPD RI mencatat bahwa DAK terus berkembang menjadi 19 bidang. Peningkatan jumlah
komponen bidang akan menyulitkan Pemerintah Daerah dalam memahami kebijakan,
kriteria, dan lingkup kegiatannya. Oleh sebab itu, DPD RI mengusulkan kepada
Pemerintah agar membuat pengelompokan (clustering) 19 bidang DAK tersebut menjadi
5 kelompok bidang, yaitu (i) bidang 1: pengembangan sumber daya manusia; (ii) bidang 2:
pengembangan prasarana; (iii) bidang 3: percepatan pembangunan ekonomi; (iv) bidang
4: pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan (v) bidang 5: penataan
birokrasi dan pelayanan publik.
6. DPD RI mencatat berbagai hambatan dalam pengelolaan dana transfer daerah, antara
lain, adalah (a) adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang sangat cepat
tanpa diikuti oleh sosialisasi; (b) terbatasnya pemahaman aparatur terhadap teknis
penyusunan anggaran dan pengalokasian dana; (c) belum adanya standar pelayanan
minimal sebagai acuan dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah; (d) belum
adanya standar analisis belanja sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur tingkat
kewajaran belanja dan beban kerja; (e) belum semua satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) atau dinas/instansi menggunakan anggaran berbasis kinerja sebagai dasar
penyusunan anggaran; dan (f) DAK masih belum mencapai tujuan dan sasaran seperti
yang diharapkan yang disebabkan lemahnya pengendalian dan evaluasi yang dilakukan
Pemerintah serta terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan dana.
VI. PERTIMBANGAN TERHADAP DEFISIT, PEMBIAYAAN ANGGARAN, DAN RISIKO
FISKAL 2014
1. Kebijakan pengendalian defisit anggaran dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan
fiskal dalam jangka menengah sesuai dengan kerangka fiskal 2010—2014. Kebijakan
pengurangan defisit anggaran secara bertahap akan diikuti dengan pengendalian
kenaikan pembiayaan utang sehingga rasio utang terhadap PDB akan semakin menurun
walaupun nominal stok utang tetap meningkat sebagai konsekuensi kebijakan defisit.
DPD RI berpendapat bahwa Pemerintah perlu membangun kerangka pembiayaan
jangka menengah guna memberikan kepastian bagi Pemerintah dalam perencanaan dan
penganggaran. Pelebaran desifit anggaran sebesar 2%—3% masih mungkin dilakukan
untuk mendorong percepatan pembangunan dengan peningkatan produktivitas dan
daya saing perekonomian daerah dan nasional melalui penguatan ketahanan pangan,
penyediaan energi, dan pembangunan infrastruktur dasar di daerah seperti jalan,
jembatan, air bersih, pelabuhan, lapangan terbang, transportasi, baik darat, laut, sungai
maupun udara.
2. Kebutuhan pasokan tenaga listrik dan air bersih masih cukup besar terutama bagi
rakyat di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Oleh sebab itu, DPD RI berpendapat bahwa penjaminan bagi proyek PT PLN untuk
pembangunan proyek 10.000 MW dan penjaminan bagi PDAM untuk mempercepat
penyediaan air minum sangatlah penting. Dalam hal ini, PT PLN dan PDAM diharapkan
dapat mengelola dana secara efisien dan efektif dalam mendukung penyediaan listrik dan
air bersih di seluruh wilayah.
3. Investasi swasta masih terpusat di Jawa--terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Banten--dan beberapa provinsi. Hal itu disebabkan oleh ketimpangan dalam
penyediaan infrastruktur publik sebagai pendukung utama investasi swasta. DPD RI
berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi
investasi swasta dengan membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif
fiskal bagi investasi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan,
dan Sumatera.
827
4. Porsi portofolio penanaman modal asing (PMA) semakin besar sehingga berpotensi
mengancam penguasaan sumber daya ekonomi oleh pihak asing. DPD RI berpendapat
bahwa Pemerintah perlu mendorong peningkatan peran penanam modal domestik
(PMDN) dengan memberikan berbagai fasilitas, insentif fiskal, dan berbagai kemudahan
lainnya. DPD RI menemukan bahwa salah satu hambatan dalam pengoptimalan investasi
swasta adalah kurang memadainya pengetahuan aparat tentang investasi global,
kelembagaan investasi, instrumen, dan pasar keuangan global sehingga aparat masih
terlalu fokus pada “hulu” dibandingkan pada “hilir” dalam investasi. Hambatan lainnya
adalah lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah serta rumitnya proses persetujuan
dan pelaksanaan investasi di daerah. Selain itu, DPD RI menemukan berbagai keluhan
yang dialami oleh calon penanam modal, antara lain, yaitu (a) lambatnya prosedur dan
proses untuk memulai usaha, terutama menyangkut lambatnya pemberian izin usaha,
tingginya biaya perizinan, dan lemahnya dukungan permodalan; (b) rumitnya urusan di
bidang ketenagakerjaan, terutama menyangkut kontrak kerja, upah minimum, jam kerja,
dan jaminan pemutusan hubungan kerja; dan (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di
bidang perpajakan, termasuk jumlah jenis pajak dan proses pembayaran pajak.
VII. PERTIMBANGAN DPD RI TENTANG BELANJA PEMERINTAH PUSAT MENURUT
ORGANISASI
1. Dari rencana anggaran belanja kementerian/lembaga untuk tahun 2014 terdapat 11
lembaga yang mendapat alokasi terbesar. Sesuai dengan besarnya, kementeriankementerian itu adalah (i) Kementerian Pertahanan, (ii) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, (iii) Kementerian Pekerjaan Umum, (iv) Kementerian Agama, (v) Kepolisian
RI, (vi) Kementerian Kesehatan, (vii) Kementerian Perhubungan, (viii) Kementerian
Keuangan, (ix) Kementerian Pertanian, (x) Kementerian ESDM, dan (xi) Kementerian
Dalam Negeri. DPD RI mencatat bahwa beberapa kegiatan kementerian banyak berkaitan
dengan pembangunan daerah dan potensi pelayanan publik yang dapat memberikan
kesempatan kerja yang banyak sehingga dapat mengurangi penduduk miskin.
2. Dalam hubungan dengan itu kementerian-kementerian yang perlu mendapat perhatian
yang lebih besar adalah (i) pendidikan, (ii) pekerjaan umum, (iii) kesehatan, (iv)
perhubungan, (v) pertanian, serta (vi) kelautan dan perikanan. Dukungan anggaran
perlu dikembangkan di sektor-sektor tersebut untuk membangun perekonomian daerah
dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan kualitas penduduk dan masyarakat.
Sektor-sektor strategis tersebut memerlukan desain pembangunan yang terpadu yang
didukung pembiayaan yang memadai.
3. Kebijakan pembiayaan anggaran yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan, seperti pendidikan, DAU, kesehatan, dan dana otsus, perlu dikaji pelaksanaanya
dalam RAPBN TA 2014 agar sesuai dengan arahan yang ditetapkan. DPD RI menganggap
Pemerintah belum sepenuhnya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut, terutama untuk pendidikan, DAU, dan kesehatan.
Berikut adalah rekap tabulasi dari mandatory spending RAPBN TA 2014.
Mandatory APBN RAPBN 2014
Alokasi Anggaran
Keterangan
(%)
(%)
Pendidikan
20%
10,79%
Kurang
DAU
26%
23,84%
Kurang
Kesehatan
5%
1,50%
Kurang
Dana Otsus/Dana Keistimewaan
2% dari DAU
4,86%
Lebih dari cukup
Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
VIII. PERTIMBANGAN TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN INVESTASI
1. Investasi langsung dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, termasuk ke daerah, secara
umum sangat rendah. Hal itu disebabkan lingkungan bisnis yang tidak kondusif. Faktor
utama penyebabnya adalah (a) birokrasi Pemerintah yang tidak efisien; (b) penyediaan
infrastruktur yang tidak memadai; (c) kebijakan yang berubah-ubah; (d) akses pembiayaan;
(e) tenaga kerja yang tidak cukup terdidik; (f) etika kerja yang rendah; (g) pemerintahan
yang berubah-ubah; dan (h) tingkat pajak dan retribusi yang tidak tepat.
2. Hambatan khusus bagi investor dalam negeri adalah lemahnya koordinasi antara pusat
dan daerah serta rumitnya proses persetujuan dan pelaksanaan investasi di daerah,
termasuk di antaranya (a) lambatnya prosedur dan proses untuk memulai usaha, terutama
menyangkut lambatnya pemberian izin usaha, tingginya biaya perizinan, dan lemahnya
dukungan permodalan; (b) rumitnya urusan di bidang ketenagakerjaan, terutama
menyangkut kontrak kerja, upah minimum, jam kerja, dan jaminan pemutusan hubungan
kerja; serta (c) tidak jelasnya prosedur dan proses di bidang perpajakan, termasuk jumlah
jenis pajak dan proses pembayaran pajak.
828
3. Investasi swasta masih terpusat di Jawa--terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Banten--dan beberapa provinsi, yang disebabkan oleh ketimpangan dalam
penyediaan infrastruktur publik sebagai pendukung utama investasi swasta. DPD RI
berpendapat bahwa Pemerintah perlu mengembangkan prioritas wilayah sebagai lokasi
investasi swasta dengan membangun infrastruktur dan memberikan berbagai insentif fiskal
bagi investasi di wilayah luar Jawa. Konsep kawasan pengembangan ekonomi terpadu
di wilayah Indonesia bagian timur agar dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan.
IX. PENUTUP
1. Selama kurun waktu tahun 2010-2013, pertumbuhan ekonomi daerah amat bervariasi.
Sementara itu, angka inflasinya dalam kurun waktu 2010-2013 jauh lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonominya. Kenyataan itu harus menjadi perhatian dalam upaya
penetapan kebijakan fiskal, kebijakan fiskal untuk tahun 2014 menjadi sangat penting
untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan antardaerah.
2. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui anggaran transfer ke daerah
merupakan salah satu instrumen fiskal yang harus dikelola secara optimal untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, penguatan
daya saing daerah, dan percepatan pembangunan daerah serta untuk mendorong
pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
3. Korupsi di lingkungan aparat birokrasi, dunia usaha, dan lembaga legislatif telah mengurangi
efektivitas dan efisiensi APBN. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi perlu terus
ditingkatkan, mulai dari sistim perencanaan anggaran sampai pemanfaatan anggaran,
termasuk kebijakan-kebijakan yang mendorong terjadinya tindak korupsi.
4. Usulan DPD RI terhadap tambahan format APBN yang selama ini telah disepakati menjadi
tantangan baru bagi Pemerintah. Format tambahan APBN adalah penampilan anggaran
berdasarkan wilayah provinsi dan target yang telah direncanakan dapat dicapai pada
setiap tahunnya.
Jakarta, 1 Oktober 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
PIMPINAN
Ketua,
H. Irman Gusman, S.E., M.B.A.
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
G.K.R. Hemas
Dr. Laode Ida
829
830
Download