BAB II

advertisement
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengantar Pasar Modal
Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen
keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuiti
(saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal
merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya
pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar
modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan
terkait lainnya.
Instrumen keuangan yang diperdagangkan di pasar modal merupakan instrumen
jangka panjang (jangka waktu lebih dari 1 tahun) seperti saham, obligasi, waran, right,
reksa dana, dan berbagai instrumen derivatif seperti option, futures, dan lain-lain.
Pasar Modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena
pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana bagi pendanaan
usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat
pemodal (investor). Dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk
8
pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain, kedua pasar
modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrument keuangan
seperti saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain. Dengan demikian, masyarakat dapat
menempatkan dana yang dimilikinya sesuai dengan karakteristik keuntungan dan risiko
masing-masing instrument.
2.2 Teori Harga Saham
Malkiel (1963) menyatakan bahwa harga sebuah saham dapat dihitung dengan
formula sebagai berikut :
Po = ∑ (Do * ( 1 + gt)t / ( 1 + rt +pt)t)…..
t = 0, 1, 2, . . .
Po = harga saham pada saat ini (periode 0)
Do = tingkat dividen pada periode 0
gt = tingkat pertumbuhan dividen pada periode t
rt = tingkat bunga bebas risiko pada periode t
t = risk premia pada periode t
Perhitungan harga saham tersebut mengasumsikan bahwa perusahaan akan beroperasi
mulai saat sekarang sampai seterus dan dikenal dengan going concern perusahaan. Pada
9
formula tersebut disebutkan bahwa harga saham dipengaruhi oleh tingkat dividen
perusahaan, pertumbuhan dividen perusahaan, tingkat bunga bebas risiko, dan risk
premium dari saham tersebut. Variabel tersebut dapat disebutkan variabel yang
berkaitan dengan perusahaan atau dikenal dengan fundamental perusahaan. Penelitian
ini mencoba membahas mengenai variabel makro yang mempengaruhi tingkat
pengembalian perusahaan sehingga variabel yang tidak disebutkan tidak turut dalam
penelitian. Selanjutnya variabel makro yang mempengaruhi tingkat pengembalian
saham perusahaan akan diuraikan sebagai berikut.
2.3 Indeks Harga Saham
Indeks harga saham ialah suatu indikator yang menunujukkan pergerakan harga
saham dalam satu periode. Indeks ini juga berfungsi sebagai indikator tren pasar.
Pergerakan indeks menjadi indikator bagi investor untuk menentukan apakah mereka
akan menjual, menahan, atau membeli saham. Karena harga-harga saham bergerak
dalam hitungan detik, maka nilai indeks pun bergerak turun naik dalam hitungan detik.
2.3.1 Fungsi Indeks Harga Saham
Umumnya indeks harga saham memiliki beberapa fungsi, yaitu :
Sebagai indikator tren pasar
Indikator return yang diharapkan
Sebagai tolak ukur kinerja portofolio
2.3.2 Jenis Indeks Harga Saham
10
Menurut data Bursa Efek Indonesia, terdapat 11 jenis indeks harga saham.
Indeks – indeks tersebut adalah :
1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Menggunakan semua Perusahaan Tercatat sebagai komponen perhitungan
Indeks. Agar IHSG dapat menggambarkan keadaan pasar yang wajar, Bursa
Efek Indonesia berwenang mengeluarkan dan atau tidak memasukkan satu atau
beberapa Perusahaan Tercatat dari perhitungan IHSG. Dasar pertimbangannya
antara lain, jika jumlah saham Perusahaan Tercatat tersebut yang dimiliki oleh
publik (free float) relatif kecil sementara kapitalisasi pasarnya cukup besar,
sehingga perubahan harga saham Perusahaan Tercatat tersebut berpotensi
mempengaruhi kewajaran pergerakan IHSG.
IHSG adalah milik Bursa Efek Indonesia. Bursa Efek Indonesia tidak
bertanggung jawab atas produk yang diterbitkan oleh pengguna yang
mempergunakan IHSG sebagai acuan (benchmark). Bursa Efek Indonesia juga
tidak bertanggung jawab dalam bentuk apapun atas keputusan investasi yang
dilakukan oleh siapapun Pihak yang menggunakan IHSG sebagai acuan
(benchmark).
2. Indeks Sektoral
Menggunakan semua Perusahaan Tercatat yang termasuk dalam masing-masing
sektor. Sekarang ini ada 10 sektor yang ada di BEI yaitu sektor Pertanian,
Pertambangan, Industri Dasar, Aneka Industri, Barang Konsumsi, Properti,
Infrastruktur, Keuangan, Perdangangan dan Jasa, dan Manufatur.
11
3. Indeks LQ45
Indeks yang terdiri dari 45 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang
sudah ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan.
4. Jakarta Islmic Index (JII)
Indeks yang menggunakan 30 saham yang dipilih dari saham-saham yang masuk
dalam kriteria syariah (Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Bapepam-LK)
dengan mempertimbangkan kapitalisasi pasar dan likuiditas.
5. Indeks Kompas100
Indeks yang terdiri dari 100 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang
sudah ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan.
6. Indeks BISNIS-27
Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan harian Bisnis Indonesia
meluncurkan indeks harga saham yang diberi nama Indeks BISNIS-27. Indeks
yang terdiri dari 27 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan kriteria
fundamental, teknikal atau likuiditas transaksi dan Akuntabilitas dan tata kelola
perusahaan.
7. Indeks PEFINDO25
Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan lembaga rating PEFINDO
meluncurkan indeks harga saham yang diberi nama Indeks PEFINDO25. Indeks
ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi bagi pemodal
12
khususnya untuk saham-saham emiten kecil dan menengah (Small Medium
Enterprises / SME). Indeks ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang
dipilih dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria seperti: Total Aset, tingkat
pengembalian modal (Return on Equity / ROE) dan opini akuntan publik. Selain
kriteria tersebut di atas, diperhatikan juga faktor likuiditas dan jumlah saham
yang dimiliki publik.
8. Indeks SRI-KEHATI
Indeks ini dibentuk atas kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). SRI adalah kependekan
dari Sustainable Responsible Investment. Indeks ini diharapkan memberi
tambahan informasi kepada investor yang ingin berinvestasi pada emiten-emiten
yang memiliki kinerja sangat baik dalam mendorong usaha berkelanjutan, serta
memiliki kesadaran terhadap lingkungan dan menjalankan tata kelola
perusahaan yang baik.
Indeks ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih dengan
mempertimbangkan kriteri-kriteria seperti: Total Aset, Price Earning Ratio
(PER) dan Free Float.
9. Indeks Papan Utama
Menggunakan saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan
Utama.
10. Indeks Papan Pengembangan
13
Mengguanakn saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan
Pengembangan.
11. Indeks Individual
Indeks harga saham masing-masing Perusahaan Tercatat.
2.4 Saham Perbankan
Terdapat 31 saham perbankan di Bursa Efek Indonesia. Saham saham itu adalah
AGRO, BABP, BACA, BAEK, BBCA, BBKP, BBNI, BBNP, BBRI, BBTN, BCIC,
BDMN, BEKS, BJBR, BKSW, BMRI, BNBA, BNGA, BNII, BNLI, BSIM, BSWD,
BTPN, BVIC, INPC, MAYA, MCOR, MEGA, NISP, PNBN, dan SDRA. Kapitalisasi
pasar saham perbankan cukup besar. Terdapat 5 saham perbankan masuk 15 besar
kapitalisasi terbesar Bursa Efek Indonesia. Ke lima saham tersebut adalah BBCA,
BMRI, BBRI, BBNI, BDMN.
Terjadi banyak kasus negatif terhadap saham perbankan. Saham bank Century
merupakan salah satu contoh berita negatif terhadap sektor perbankan. Kasus
penggelapan dana nasabah oleh pemiliknya mengakibatkan saham ini disuspend sampai
saat ini. Selain itu berita penggelapan dana deposito Elnusa di Bank Mega juga
menambah berita negatif terhadap sektor perbankan.
2.5 Inflasi
Secara sederhana inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan
terus menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi
14
kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang
lainnya. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi.
Indikator yang cukup sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sejak
Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei
Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga barang dan jasa tersebut secara
bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis
barang / jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari
suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang
besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah
besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. (Penjelasan lebih detail
mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik
www.bps.go.id)
2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level
harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu
ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar
harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
15
Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7
kelompok
pengeluaran
(berdasarkan
the
Classification
of
individual
consumption by purpose - COICOP), yaitu :
1. Kelompok Bahan Makanan
2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Penelitian mengenai inflasi dengan tingkat pengembaliansaham (stock return)
telah banyak dilakukan terutama di Negara – Negara yang bursa sahamnya telah
dewasa. Penelitian mengenai inflasi dan tingkat pengembalian saham selalu beranjak
dari teori Irving Fisher yang diperkenalkan pada tahun 1930 bahwa nominal tingkat
bunga merupakan hasil jumlah dari tingkat pengembalian yang diharapkan dan tingkat
inflasi yang diharapkan. Tingkat bunga merupakan hasil dari investasi, maka untuk
asset yang berisiko seperti sahamhasilnya adalah capital gain dan dividen, tetapi dividen
tesebut sangat kecil. Oleh karenanya, analis keuangan mencoba melakukan penelitian
mengenai capital atau tingkat pengembalian saham dengan inflasi.
16
Pada tahun 1976, Journal of Finance menerbitkan beberapa artikel mengenai
inflasi dan tigkat pengembalian saham. Nelson (1976) melakukan penelitian mengenai
inflasi dan tingkat pengembalian sahamuntuk periode Januari 1953 samapai Juni 1974.
Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa ubflasi mempunyai hubungan negative
dengan tingkat pengembalian saham. Dalam model regressinya, regressi lag untuk
inflasi digunakan juga memberikan bahwa hubungannya tetap negatif.
Jaffe dan Mandelker
(1976)
melakukan penelitian mengenai tingkat
pengembalian saham dan inflasi untuk periode Januari 1953 sampai Desember 1971.
Hasil model regressinya sebagai berikut :
Rmt = 0.168 – 3.014 It + et
(-2.50)
R2 = .0269; DW = 1.75
Untuk data tahunan dengan menggunakan periode 1875 sampa 1970. Model regressinya
sebagai berikut :
Rmt = 0.032 – 0.0335 It-1 + 0.5181 It-2 - 0.280 It-3
(-0.777) (0.992)
DW = 1.510; R2 = 0.0113; F = 0.54
(0.964)
17
Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi mempunyai hubungan negatif
dan signifikan terhadap tingkat pengembalian saham. Tetapi, inflasi sebelumnya (lag-1,
lag-2, dan lag-3) memberikan hasil bervariasi dan tidak signifikan.
Firth (1979) melakukan penelitian hubungan antara inflasi dan tingkat
pengembalian saham yang menggunakan data British untuk periode 1955 sampai 1976.
Hasil penelitian memberikan kesimpulan sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh
oleh Jaffe & Mandelker, Nelson, dan Bondie yaitu tidak ada kejadian dimana superior
tingkat pengembalian saham pasar secara total dapat diperoleh dari model yang
menggunakan data inflasi yang tersedia secara umum atau hal ini mendukung teori
pasar modal dalam segi semi-strong effisiensi.
Pada tahun 1980 dalam American Economic Review, Feldstein membuat sebuah
model sederhana mengenai bagaimana sebuah tingkat inflasi yang pengurangan
subtansial dalam rasio harga saham terhadap pendapatan sebelum pajak. Feldstein
menyimpulkan bahwa tingginya tingkat effektif pajak pada pendapatan perusahaan
disebabkan oleh biaya penyusutan historis dan pajak pada capital gain yang disebabkan
oleh inflasi, keduanya juga mengurangi net yield riel dimana investor menerima per unit
capital.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli keuangan bahwa tingkat inflasi
mempunyai hubungan negatif dengan tingkat pengembalian saham. Tetapi inflasi
sebelumnya mempunyai hubungan yang positif terhadap tingkat pengembalian saham.
Kedua hipotesa ini yang akan digunakan dalam penelitian untuk kasus Indonesia.
18
2.6 Tingkat Bunga
Tingkat bunga merupakan sebuah tingkat pengembalian asset yang mempunyai
risiko mendekati nol. Biasanya, investor Indonesia menggunakan tingkat bunga ini
sebagai patokan (benchmark) untuk perbandingan bila diinvestasikan dalam bidang lain.
Umumnya tingkat bunga ini mempunyai hubungan negatif dengan bursa saham. Bila
pemerintah menggunakan tingkat bunga akan naik maka investor akan menjual
sahamnya dan berpendapatan tetap (fixed incomesecurities) yang memberikan tingkat
bunga yang tinggi.
Dayananda
dan
Ko
(1994)
melakukan
penelitian
mengenai
tingkat
pengembalian pasar saham (stock market return) dan variabel makro ekonomi dimana
salah satunya tingkat bunga dalam periode 1981 sampai 1989 untuk Negara Taiwan.
Hasil penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa tingkat bunga mempunyai
hubungan negatif tetapi umumnya tidak signifikan baik menggunakan data bulanan
maupun triwulan.
Hogan, dkk (1982) melakukan penelitian mengenai effisien pasar saham dalam
hubungan antara tingkat pengembalian saham, tingkat bunga, dan uang beredar untuk
periode 1968 sampai 1976. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa adanya hubungan
yang kuat antaratingkat bunga dan tingkat pengembalian saham. Korelasi antara tingkat
bunga dan tingkat pengembalian saham tersebut adalah negatif.
19
Flannery dan James (1984) melakukan penelitian mengenai pengaruh perubahan
tingkat bunga terhadap rendemen saham – saham lembaga keuangan untuk periode
1976 sampai 1981. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa rendemen saham
mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan tingkat pengembalian saham.
Disamping itu, penelitian tersebut juga memberikan kesimpulan bahwa pergerakan
rendmen saham bank mempunyai hubungan positif dengan perubahan tingkat bunga
dihubungkan dengan besaran (size) dari berakhirnya perbedaan antara nominal asset
dan kewajiban.
Teori dan hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat bunga mempunyai
hubungan yang negatif dengan tingkat pengembalian saham. Penelitian tersebut dapat
dapat dilakukan dalam rangka menguji effisiensi pasar maupun hubungan langsung
yang menggunakan regressi sekaligus juga menggunakan time lag. Hal ini juga akan
dibahas dalam kasus Indonesia.
2.7 Uang Beredar
Satu variabel makro yang sangat berkaitan dengan harga saham yaitu uang
beredar. Hal ini dapat diuraikan dengan semakin meningkatnya harga saham.
Peningkatan uang beredar dikarenakan peningkatan pendapatan. Ada dua pendekatan
yang digunakan dalam menganalisis uang beredar dan harga saham. Peningkatan uang
beredar dikarenakan peningkatan pendapatan. Ada dua pendekatan yang digunakan
dalam menganalisis uang beredar dan harga saham yaitu studi ekonometrika dan ninekonometrika. Untuk studi nonekonometrika dilakukan oleh Sprinkel pada tahun 1964.
20
Sprinkle pertama kali meniliti rata – rata bergerak enam bulan dari pertumbuhan uang
beredar dan harga saham melalui S&P425. Sprinkle (1964) dalam bukunya Money and
Stock Prices memberikan kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan
uang beredar dengan harga saham, tetapi waktunya tidak selalu konsisten dan
kelihatannya lebih pendek. Palmer (1970) meniliti hubungan antara tingkat
pertumbuhan uang beredar dan pergerakan harga saham dan memberikan kesimpulan
bahwa secara umum perubahan dalam uang beredar membuat perubahan harga saham.
Pendekatan ekonometrika mulai dilakukan pada tahun 70-an dimana model
tersebut menggabungkan statistika dengan matematik yang dapat menguji variabel –
variabel makro tersebut. Homa and Jaffee (1971) melakukan penelitian untuk periode
1954 sampai 1969 dan hasil modelnya sebagai berikut :
Spt = -26.77 + 0.61 Mt + 3.14 Gmt + 1.46
(1.11)
(4.13)
(3.16)
(1.46)
Gmt-1 + 0.87 µt-1
R2 = 0.968
DW = 2.14
Selanjutnya, Hamburger – Kochin (1972) melakukan penelitian hubungan antara
uang beredar, bursa saham, dan risiko saham untuk periode 1880 sampai 1970.
Penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perubahan dalam uang beredar
21
mempengaruhi tingkat harga saham dan volatility dari uang beredar mempengaruhi
risiko saham.
Adapun modelnya seperti berikut :
Spt =-4.393 + 0.7568 Pt – 7.255 rt + 10.67 ∑ µt-i – 7.644 ∑ yt-i + 2.001 ∑ et-i – 4.47 ∑ pt-i
Periode 1956:1 – 1970:2
R2 = 0.975 SEE = 3.56 DW = 1.97
Cooper (1976) juga melakukan penelitian uang beredar dan harga saham untuk
periode 1947 sampai 1970 dengan menggunakan data bulanan. Cooper memberikan
kesimpulan bahwa ada hubungan uang beredar dan harga saham tetapi analisanya
menunjukan bahwa uang bweedarmemperlihatkan hubungan secara konsisten dengan
lag tingkat pengembalian saham dari satu sampai tiga bulan.
Rozeff (1974) melakukan penelitian kembali return yang dicapai dengan metode
perdaganan Sprinkel menggunakan asumsi yang realitis dan menciptakan return yang
menggunakan kebijaksanaan buy-and-hold. Dengan menggunakan analisa regressi,
Rozeff menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa ada hubungan yang lemah, bila uang
beredar mempengaruhi hargasaham, dengan catatan peningkatan dalam kekuatan
menerangkannya (explanatory) yang menggunakan perubahan uang beredar yang sesuai
(contemporaneous) dan menjumpai peningkatan yang signifikan dalam korelasi bila
perubahan uang beredar masa dating dimasukkandalam model tersebut. Tetapi, intinya
22
bahwa perubahan uang beredar adalah sangat penting dimana harga saham
memperbesar uang beredar.
2.8 Nilai Kurs Dollar Terhadap Rupiah (KURS)
Nilai kurs yaitu harga tukar dari suatu mata uang ke mata uang lainnya. Untuk
penelitian ini yaitu nilai konversi satu Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah. Nilai
kurs ini tidak selalu tetap tetapi berfluktuasi sesuai dengan permintaan dan oenawaran.
Nilai kurs ini tidak dapat diprediksi dikarenakan pemerintah melalui Bank Indonesia
telah mengeluarkan jarak antara nilai beli dan jual. Pada 14 Agustus 1997, pemerintah
melalui Bank Indonesia mengeluarkan selisih antara jual dan beli yag dikenal dengan
Band Dollar menjadi 12% artinya jarak nilai jual dan beli Dollar Amerika Serikat
sebesar 12%. Manurung (1996c) juga menyatakan nilai kurs mempengaruhi indeks.
Hermanto (1998) menyatakan bahwa nilai kurs tersebut mempengaruhi tingkat
pengembalian saham dan volatilitas pasar. Sakhowi (1999) menyatakan bahwa nilai
kurs mempengaruhi tingkat pengembalian saham. Abdalla dan Murinde (1997)
melakukan pengujian interaksi antara nilai kurs dengan harga saham untuk pasar yang
sedang berkembang (emerging market) seperti India, Korea, Pakistan, dan Filipina.
Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa adanya unidirectional causality dari nilai kurs
terhadap harga saham.
Naik atau turunnya nilai tukar mata uang bisa terjadi dengan berbagai cara,
yakni bisa dengan cara dilakukan secara resmi oleh pemerintah suatu negara yang
menganut sistem managed floating exchange rate, atau bisa juga karena tarik
23
menariknya kekuatan – kekuatan penawaran dan permintaan di dalam pasar (market
mechanism) dan lazimnya perubahan nilai tukar mata uang tersebut bisa terjadi karena
empat hal, yaitu :
1. Depresiasi (depreciation), adalah penurunan mata uang nasional berbagai
terhadap mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya
kekuatan – kekuatan supply and demand di dalam pasar (market
mechanism).
2. Appresiasi (Appreciation), adalah peningkatan mata uang nasional berbagai
terhadap mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya
kekuatan – kekuatan supply and demand di dalam pasar (market
mechanism).
3. Devaluasi (Devaluation), adalah penurunan harga mata uang nasional
terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh
pemerintah suatu negara.
4. Revaluasi (Revaluation), adalah peningkatan harga mata uang nasional
terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh
pemerintah suatu negara.
2.9 Harga Minyak Dunia
Harga minyak dunia berfluktuasi dengan naik turunnya harga. Organisasi
Negara – Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries
atau OPEC) selalu mengambil selalu mengambil langkah untuk menjaga harga minyak
24
terkendali. Harga minyak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bursa efek
di dunia termasuk juga di Indonesia. Di BEI ada dua faktor, yaitu dampak ekonomi
global termasuk harga minyak dunia dan kurs mata uang rupiah terhadap dollar
Amerika yang melemah. Harga minyak dunia yang tinggi dapat berdampak secara
indirect effect, yakni berpengaruh ke bursa global dan lebih lanjut ke BEI. Indirect
effect juga dapat terjadi, yaitu harga minyak dunia yang tinggi akan makin membuat
ketimpangan harga minyak dunia dan harga minyak dalam negri. Dampaknya
mendorong penyelundupan minyak dari dalam dan ke luar negri dan selanjutnya akan
berdampak pada ekonomi nasional dan mempengaruhi kinerja bursa saham.
2.10 Penelitian Sebelumnya
Ali et al (2010) menganalisa hubungan kasual antara indikator makro ekonomi
dan indeks harga saham di Pakistan. Data dari bulan Juni 1990 sampai Desember 2008
digunakan untuk menganalisis hubungan kasual antara variabel – variabel makro
ekonomi dan indeks harga saham di Pakistan. Indikator makro ekonomi meliputi;
inflasi, nilai tukar, dan indeks produksi industri, sedangkan indeks bursa saham diwakili
oleh harga penutupan indeks bursa efek Karachi, yang merupaan bursa saham terbesar
di Pakistan. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini unit root Augmented
Dickey Fuller test, Johansen’s co-integrasi dan uji kausalitas Granger. Penelitian ini
menemukan co-integrasi antara indeks produksi industri dan harga penutupan indeks
bursa efek Karachi. Namun, tidak ada hubungan kasual yang ditemukan antara indikator
makro – ekonomi dan harga penutupan indeks di Pakistan. Ini mempunyai arti bahwa
25
indikator kerja makro – ekonomi tidak dapat digunakan untuk memprediksi indeks
bursa efek Karachi, dan indeks bursa efek Karachi di Pakistan tidak bisa mencerminkan
makro – ekonomi kondisi negara.
Mansur (2009) meneliti hubungan SBI dan kurs dollar AS terhadap indeks harga
saham gabungan Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2000 sampai 2002. Hasil
penelitian menunjukan bahwa besarnya pengaruh dari dalam negeri memberikan hasil
bahwa secara bersama – sama tingkat suku bunga SBI dan kurs dollar AS memberikan
pengaruh yang signifikan, tetapi secara individual menyimpulkan bahwa tingkat bunga
SBI dalamperiode 2000 sampai 2002 ternyata tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap indeks harga saham gabungan di Bursa Effek Indonesia. Pengaruh
yang signifikan diberikan oleh kurs dollar AS dan besarnya pengaruh kurs dollar AS
terhadap IHSG BEI sebesar 51,55% dengan arah pengaruh yang negaitf. Artinya
apabila rupiah terdepresiasi terhadap dollar AS maka IHSG akan mengalami penguatan.
Download