7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Pasar Modal Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuiti (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya. Instrumen keuangan yang diperdagangkan di pasar modal merupakan instrumen jangka panjang (jangka waktu lebih dari 1 tahun) seperti saham, obligasi, waran, right, reksa dana, dan berbagai instrumen derivatif seperti option, futures, dan lain-lain. Pasar Modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk 8 pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain, kedua pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrument keuangan seperti saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain. Dengan demikian, masyarakat dapat menempatkan dana yang dimilikinya sesuai dengan karakteristik keuntungan dan risiko masing-masing instrument. 2.2 Teori Harga Saham Malkiel (1963) menyatakan bahwa harga sebuah saham dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : Po = ∑ (Do * ( 1 + gt)t / ( 1 + rt +pt)t)….. t = 0, 1, 2, . . . Po = harga saham pada saat ini (periode 0) Do = tingkat dividen pada periode 0 gt = tingkat pertumbuhan dividen pada periode t rt = tingkat bunga bebas risiko pada periode t t = risk premia pada periode t Perhitungan harga saham tersebut mengasumsikan bahwa perusahaan akan beroperasi mulai saat sekarang sampai seterus dan dikenal dengan going concern perusahaan. Pada 9 formula tersebut disebutkan bahwa harga saham dipengaruhi oleh tingkat dividen perusahaan, pertumbuhan dividen perusahaan, tingkat bunga bebas risiko, dan risk premium dari saham tersebut. Variabel tersebut dapat disebutkan variabel yang berkaitan dengan perusahaan atau dikenal dengan fundamental perusahaan. Penelitian ini mencoba membahas mengenai variabel makro yang mempengaruhi tingkat pengembalian perusahaan sehingga variabel yang tidak disebutkan tidak turut dalam penelitian. Selanjutnya variabel makro yang mempengaruhi tingkat pengembalian saham perusahaan akan diuraikan sebagai berikut. 2.3 Indeks Harga Saham Indeks harga saham ialah suatu indikator yang menunujukkan pergerakan harga saham dalam satu periode. Indeks ini juga berfungsi sebagai indikator tren pasar. Pergerakan indeks menjadi indikator bagi investor untuk menentukan apakah mereka akan menjual, menahan, atau membeli saham. Karena harga-harga saham bergerak dalam hitungan detik, maka nilai indeks pun bergerak turun naik dalam hitungan detik. 2.3.1 Fungsi Indeks Harga Saham Umumnya indeks harga saham memiliki beberapa fungsi, yaitu : Sebagai indikator tren pasar Indikator return yang diharapkan Sebagai tolak ukur kinerja portofolio 2.3.2 Jenis Indeks Harga Saham 10 Menurut data Bursa Efek Indonesia, terdapat 11 jenis indeks harga saham. Indeks – indeks tersebut adalah : 1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Menggunakan semua Perusahaan Tercatat sebagai komponen perhitungan Indeks. Agar IHSG dapat menggambarkan keadaan pasar yang wajar, Bursa Efek Indonesia berwenang mengeluarkan dan atau tidak memasukkan satu atau beberapa Perusahaan Tercatat dari perhitungan IHSG. Dasar pertimbangannya antara lain, jika jumlah saham Perusahaan Tercatat tersebut yang dimiliki oleh publik (free float) relatif kecil sementara kapitalisasi pasarnya cukup besar, sehingga perubahan harga saham Perusahaan Tercatat tersebut berpotensi mempengaruhi kewajaran pergerakan IHSG. IHSG adalah milik Bursa Efek Indonesia. Bursa Efek Indonesia tidak bertanggung jawab atas produk yang diterbitkan oleh pengguna yang mempergunakan IHSG sebagai acuan (benchmark). Bursa Efek Indonesia juga tidak bertanggung jawab dalam bentuk apapun atas keputusan investasi yang dilakukan oleh siapapun Pihak yang menggunakan IHSG sebagai acuan (benchmark). 2. Indeks Sektoral Menggunakan semua Perusahaan Tercatat yang termasuk dalam masing-masing sektor. Sekarang ini ada 10 sektor yang ada di BEI yaitu sektor Pertanian, Pertambangan, Industri Dasar, Aneka Industri, Barang Konsumsi, Properti, Infrastruktur, Keuangan, Perdangangan dan Jasa, dan Manufatur. 11 3. Indeks LQ45 Indeks yang terdiri dari 45 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan. 4. Jakarta Islmic Index (JII) Indeks yang menggunakan 30 saham yang dipilih dari saham-saham yang masuk dalam kriteria syariah (Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Bapepam-LK) dengan mempertimbangkan kapitalisasi pasar dan likuiditas. 5. Indeks Kompas100 Indeks yang terdiri dari 100 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan. 6. Indeks BISNIS-27 Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan harian Bisnis Indonesia meluncurkan indeks harga saham yang diberi nama Indeks BISNIS-27. Indeks yang terdiri dari 27 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan kriteria fundamental, teknikal atau likuiditas transaksi dan Akuntabilitas dan tata kelola perusahaan. 7. Indeks PEFINDO25 Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan lembaga rating PEFINDO meluncurkan indeks harga saham yang diberi nama Indeks PEFINDO25. Indeks ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi bagi pemodal 12 khususnya untuk saham-saham emiten kecil dan menengah (Small Medium Enterprises / SME). Indeks ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria seperti: Total Aset, tingkat pengembalian modal (Return on Equity / ROE) dan opini akuntan publik. Selain kriteria tersebut di atas, diperhatikan juga faktor likuiditas dan jumlah saham yang dimiliki publik. 8. Indeks SRI-KEHATI Indeks ini dibentuk atas kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). SRI adalah kependekan dari Sustainable Responsible Investment. Indeks ini diharapkan memberi tambahan informasi kepada investor yang ingin berinvestasi pada emiten-emiten yang memiliki kinerja sangat baik dalam mendorong usaha berkelanjutan, serta memiliki kesadaran terhadap lingkungan dan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. Indeks ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih dengan mempertimbangkan kriteri-kriteria seperti: Total Aset, Price Earning Ratio (PER) dan Free Float. 9. Indeks Papan Utama Menggunakan saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan Utama. 10. Indeks Papan Pengembangan 13 Mengguanakn saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan Pengembangan. 11. Indeks Individual Indeks harga saham masing-masing Perusahaan Tercatat. 2.4 Saham Perbankan Terdapat 31 saham perbankan di Bursa Efek Indonesia. Saham saham itu adalah AGRO, BABP, BACA, BAEK, BBCA, BBKP, BBNI, BBNP, BBRI, BBTN, BCIC, BDMN, BEKS, BJBR, BKSW, BMRI, BNBA, BNGA, BNII, BNLI, BSIM, BSWD, BTPN, BVIC, INPC, MAYA, MCOR, MEGA, NISP, PNBN, dan SDRA. Kapitalisasi pasar saham perbankan cukup besar. Terdapat 5 saham perbankan masuk 15 besar kapitalisasi terbesar Bursa Efek Indonesia. Ke lima saham tersebut adalah BBCA, BMRI, BBRI, BBNI, BDMN. Terjadi banyak kasus negatif terhadap saham perbankan. Saham bank Century merupakan salah satu contoh berita negatif terhadap sektor perbankan. Kasus penggelapan dana nasabah oleh pemiliknya mengakibatkan saham ini disuspend sampai saat ini. Selain itu berita penggelapan dana deposito Elnusa di Bank Mega juga menambah berita negatif terhadap sektor perbankan. 2.5 Inflasi Secara sederhana inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi 14 kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi. Indikator yang cukup sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang / jasa di setiap kota. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain: 1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. (Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id) 2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan. 15 Pengelompokan Inflasi Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu : 1. Kelompok Bahan Makanan 2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau 3. Kelompok Perumahan 4. Kelompok Sandang 5. Kelompok Kesehatan 6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga 7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi. Penelitian mengenai inflasi dengan tingkat pengembaliansaham (stock return) telah banyak dilakukan terutama di Negara – Negara yang bursa sahamnya telah dewasa. Penelitian mengenai inflasi dan tingkat pengembalian saham selalu beranjak dari teori Irving Fisher yang diperkenalkan pada tahun 1930 bahwa nominal tingkat bunga merupakan hasil jumlah dari tingkat pengembalian yang diharapkan dan tingkat inflasi yang diharapkan. Tingkat bunga merupakan hasil dari investasi, maka untuk asset yang berisiko seperti sahamhasilnya adalah capital gain dan dividen, tetapi dividen tesebut sangat kecil. Oleh karenanya, analis keuangan mencoba melakukan penelitian mengenai capital atau tingkat pengembalian saham dengan inflasi. 16 Pada tahun 1976, Journal of Finance menerbitkan beberapa artikel mengenai inflasi dan tigkat pengembalian saham. Nelson (1976) melakukan penelitian mengenai inflasi dan tingkat pengembalian sahamuntuk periode Januari 1953 samapai Juni 1974. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa ubflasi mempunyai hubungan negative dengan tingkat pengembalian saham. Dalam model regressinya, regressi lag untuk inflasi digunakan juga memberikan bahwa hubungannya tetap negatif. Jaffe dan Mandelker (1976) melakukan penelitian mengenai tingkat pengembalian saham dan inflasi untuk periode Januari 1953 sampai Desember 1971. Hasil model regressinya sebagai berikut : Rmt = 0.168 – 3.014 It + et (-2.50) R2 = .0269; DW = 1.75 Untuk data tahunan dengan menggunakan periode 1875 sampa 1970. Model regressinya sebagai berikut : Rmt = 0.032 – 0.0335 It-1 + 0.5181 It-2 - 0.280 It-3 (-0.777) (0.992) DW = 1.510; R2 = 0.0113; F = 0.54 (0.964) 17 Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap tingkat pengembalian saham. Tetapi, inflasi sebelumnya (lag-1, lag-2, dan lag-3) memberikan hasil bervariasi dan tidak signifikan. Firth (1979) melakukan penelitian hubungan antara inflasi dan tingkat pengembalian saham yang menggunakan data British untuk periode 1955 sampai 1976. Hasil penelitian memberikan kesimpulan sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Jaffe & Mandelker, Nelson, dan Bondie yaitu tidak ada kejadian dimana superior tingkat pengembalian saham pasar secara total dapat diperoleh dari model yang menggunakan data inflasi yang tersedia secara umum atau hal ini mendukung teori pasar modal dalam segi semi-strong effisiensi. Pada tahun 1980 dalam American Economic Review, Feldstein membuat sebuah model sederhana mengenai bagaimana sebuah tingkat inflasi yang pengurangan subtansial dalam rasio harga saham terhadap pendapatan sebelum pajak. Feldstein menyimpulkan bahwa tingginya tingkat effektif pajak pada pendapatan perusahaan disebabkan oleh biaya penyusutan historis dan pajak pada capital gain yang disebabkan oleh inflasi, keduanya juga mengurangi net yield riel dimana investor menerima per unit capital. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli keuangan bahwa tingkat inflasi mempunyai hubungan negatif dengan tingkat pengembalian saham. Tetapi inflasi sebelumnya mempunyai hubungan yang positif terhadap tingkat pengembalian saham. Kedua hipotesa ini yang akan digunakan dalam penelitian untuk kasus Indonesia. 18 2.6 Tingkat Bunga Tingkat bunga merupakan sebuah tingkat pengembalian asset yang mempunyai risiko mendekati nol. Biasanya, investor Indonesia menggunakan tingkat bunga ini sebagai patokan (benchmark) untuk perbandingan bila diinvestasikan dalam bidang lain. Umumnya tingkat bunga ini mempunyai hubungan negatif dengan bursa saham. Bila pemerintah menggunakan tingkat bunga akan naik maka investor akan menjual sahamnya dan berpendapatan tetap (fixed incomesecurities) yang memberikan tingkat bunga yang tinggi. Dayananda dan Ko (1994) melakukan penelitian mengenai tingkat pengembalian pasar saham (stock market return) dan variabel makro ekonomi dimana salah satunya tingkat bunga dalam periode 1981 sampai 1989 untuk Negara Taiwan. Hasil penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa tingkat bunga mempunyai hubungan negatif tetapi umumnya tidak signifikan baik menggunakan data bulanan maupun triwulan. Hogan, dkk (1982) melakukan penelitian mengenai effisien pasar saham dalam hubungan antara tingkat pengembalian saham, tingkat bunga, dan uang beredar untuk periode 1968 sampai 1976. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa adanya hubungan yang kuat antaratingkat bunga dan tingkat pengembalian saham. Korelasi antara tingkat bunga dan tingkat pengembalian saham tersebut adalah negatif. 19 Flannery dan James (1984) melakukan penelitian mengenai pengaruh perubahan tingkat bunga terhadap rendemen saham – saham lembaga keuangan untuk periode 1976 sampai 1981. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa rendemen saham mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan tingkat pengembalian saham. Disamping itu, penelitian tersebut juga memberikan kesimpulan bahwa pergerakan rendmen saham bank mempunyai hubungan positif dengan perubahan tingkat bunga dihubungkan dengan besaran (size) dari berakhirnya perbedaan antara nominal asset dan kewajiban. Teori dan hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat bunga mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat pengembalian saham. Penelitian tersebut dapat dapat dilakukan dalam rangka menguji effisiensi pasar maupun hubungan langsung yang menggunakan regressi sekaligus juga menggunakan time lag. Hal ini juga akan dibahas dalam kasus Indonesia. 2.7 Uang Beredar Satu variabel makro yang sangat berkaitan dengan harga saham yaitu uang beredar. Hal ini dapat diuraikan dengan semakin meningkatnya harga saham. Peningkatan uang beredar dikarenakan peningkatan pendapatan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menganalisis uang beredar dan harga saham. Peningkatan uang beredar dikarenakan peningkatan pendapatan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menganalisis uang beredar dan harga saham yaitu studi ekonometrika dan ninekonometrika. Untuk studi nonekonometrika dilakukan oleh Sprinkel pada tahun 1964. 20 Sprinkle pertama kali meniliti rata – rata bergerak enam bulan dari pertumbuhan uang beredar dan harga saham melalui S&P425. Sprinkle (1964) dalam bukunya Money and Stock Prices memberikan kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara pertumbuhan uang beredar dengan harga saham, tetapi waktunya tidak selalu konsisten dan kelihatannya lebih pendek. Palmer (1970) meniliti hubungan antara tingkat pertumbuhan uang beredar dan pergerakan harga saham dan memberikan kesimpulan bahwa secara umum perubahan dalam uang beredar membuat perubahan harga saham. Pendekatan ekonometrika mulai dilakukan pada tahun 70-an dimana model tersebut menggabungkan statistika dengan matematik yang dapat menguji variabel – variabel makro tersebut. Homa and Jaffee (1971) melakukan penelitian untuk periode 1954 sampai 1969 dan hasil modelnya sebagai berikut : Spt = -26.77 + 0.61 Mt + 3.14 Gmt + 1.46 (1.11) (4.13) (3.16) (1.46) Gmt-1 + 0.87 µt-1 R2 = 0.968 DW = 2.14 Selanjutnya, Hamburger – Kochin (1972) melakukan penelitian hubungan antara uang beredar, bursa saham, dan risiko saham untuk periode 1880 sampai 1970. Penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa perubahan dalam uang beredar 21 mempengaruhi tingkat harga saham dan volatility dari uang beredar mempengaruhi risiko saham. Adapun modelnya seperti berikut : Spt =-4.393 + 0.7568 Pt – 7.255 rt + 10.67 ∑ µt-i – 7.644 ∑ yt-i + 2.001 ∑ et-i – 4.47 ∑ pt-i Periode 1956:1 – 1970:2 R2 = 0.975 SEE = 3.56 DW = 1.97 Cooper (1976) juga melakukan penelitian uang beredar dan harga saham untuk periode 1947 sampai 1970 dengan menggunakan data bulanan. Cooper memberikan kesimpulan bahwa ada hubungan uang beredar dan harga saham tetapi analisanya menunjukan bahwa uang bweedarmemperlihatkan hubungan secara konsisten dengan lag tingkat pengembalian saham dari satu sampai tiga bulan. Rozeff (1974) melakukan penelitian kembali return yang dicapai dengan metode perdaganan Sprinkel menggunakan asumsi yang realitis dan menciptakan return yang menggunakan kebijaksanaan buy-and-hold. Dengan menggunakan analisa regressi, Rozeff menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa ada hubungan yang lemah, bila uang beredar mempengaruhi hargasaham, dengan catatan peningkatan dalam kekuatan menerangkannya (explanatory) yang menggunakan perubahan uang beredar yang sesuai (contemporaneous) dan menjumpai peningkatan yang signifikan dalam korelasi bila perubahan uang beredar masa dating dimasukkandalam model tersebut. Tetapi, intinya 22 bahwa perubahan uang beredar adalah sangat penting dimana harga saham memperbesar uang beredar. 2.8 Nilai Kurs Dollar Terhadap Rupiah (KURS) Nilai kurs yaitu harga tukar dari suatu mata uang ke mata uang lainnya. Untuk penelitian ini yaitu nilai konversi satu Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah. Nilai kurs ini tidak selalu tetap tetapi berfluktuasi sesuai dengan permintaan dan oenawaran. Nilai kurs ini tidak dapat diprediksi dikarenakan pemerintah melalui Bank Indonesia telah mengeluarkan jarak antara nilai beli dan jual. Pada 14 Agustus 1997, pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan selisih antara jual dan beli yag dikenal dengan Band Dollar menjadi 12% artinya jarak nilai jual dan beli Dollar Amerika Serikat sebesar 12%. Manurung (1996c) juga menyatakan nilai kurs mempengaruhi indeks. Hermanto (1998) menyatakan bahwa nilai kurs tersebut mempengaruhi tingkat pengembalian saham dan volatilitas pasar. Sakhowi (1999) menyatakan bahwa nilai kurs mempengaruhi tingkat pengembalian saham. Abdalla dan Murinde (1997) melakukan pengujian interaksi antara nilai kurs dengan harga saham untuk pasar yang sedang berkembang (emerging market) seperti India, Korea, Pakistan, dan Filipina. Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa adanya unidirectional causality dari nilai kurs terhadap harga saham. Naik atau turunnya nilai tukar mata uang bisa terjadi dengan berbagai cara, yakni bisa dengan cara dilakukan secara resmi oleh pemerintah suatu negara yang menganut sistem managed floating exchange rate, atau bisa juga karena tarik 23 menariknya kekuatan – kekuatan penawaran dan permintaan di dalam pasar (market mechanism) dan lazimnya perubahan nilai tukar mata uang tersebut bisa terjadi karena empat hal, yaitu : 1. Depresiasi (depreciation), adalah penurunan mata uang nasional berbagai terhadap mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya kekuatan – kekuatan supply and demand di dalam pasar (market mechanism). 2. Appresiasi (Appreciation), adalah peningkatan mata uang nasional berbagai terhadap mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya kekuatan – kekuatan supply and demand di dalam pasar (market mechanism). 3. Devaluasi (Devaluation), adalah penurunan harga mata uang nasional terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah suatu negara. 4. Revaluasi (Revaluation), adalah peningkatan harga mata uang nasional terhadap berbagai mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah suatu negara. 2.9 Harga Minyak Dunia Harga minyak dunia berfluktuasi dengan naik turunnya harga. Organisasi Negara – Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries atau OPEC) selalu mengambil selalu mengambil langkah untuk menjaga harga minyak 24 terkendali. Harga minyak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bursa efek di dunia termasuk juga di Indonesia. Di BEI ada dua faktor, yaitu dampak ekonomi global termasuk harga minyak dunia dan kurs mata uang rupiah terhadap dollar Amerika yang melemah. Harga minyak dunia yang tinggi dapat berdampak secara indirect effect, yakni berpengaruh ke bursa global dan lebih lanjut ke BEI. Indirect effect juga dapat terjadi, yaitu harga minyak dunia yang tinggi akan makin membuat ketimpangan harga minyak dunia dan harga minyak dalam negri. Dampaknya mendorong penyelundupan minyak dari dalam dan ke luar negri dan selanjutnya akan berdampak pada ekonomi nasional dan mempengaruhi kinerja bursa saham. 2.10 Penelitian Sebelumnya Ali et al (2010) menganalisa hubungan kasual antara indikator makro ekonomi dan indeks harga saham di Pakistan. Data dari bulan Juni 1990 sampai Desember 2008 digunakan untuk menganalisis hubungan kasual antara variabel – variabel makro ekonomi dan indeks harga saham di Pakistan. Indikator makro ekonomi meliputi; inflasi, nilai tukar, dan indeks produksi industri, sedangkan indeks bursa saham diwakili oleh harga penutupan indeks bursa efek Karachi, yang merupaan bursa saham terbesar di Pakistan. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini unit root Augmented Dickey Fuller test, Johansen’s co-integrasi dan uji kausalitas Granger. Penelitian ini menemukan co-integrasi antara indeks produksi industri dan harga penutupan indeks bursa efek Karachi. Namun, tidak ada hubungan kasual yang ditemukan antara indikator makro – ekonomi dan harga penutupan indeks di Pakistan. Ini mempunyai arti bahwa 25 indikator kerja makro – ekonomi tidak dapat digunakan untuk memprediksi indeks bursa efek Karachi, dan indeks bursa efek Karachi di Pakistan tidak bisa mencerminkan makro – ekonomi kondisi negara. Mansur (2009) meneliti hubungan SBI dan kurs dollar AS terhadap indeks harga saham gabungan Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2000 sampai 2002. Hasil penelitian menunjukan bahwa besarnya pengaruh dari dalam negeri memberikan hasil bahwa secara bersama – sama tingkat suku bunga SBI dan kurs dollar AS memberikan pengaruh yang signifikan, tetapi secara individual menyimpulkan bahwa tingkat bunga SBI dalamperiode 2000 sampai 2002 ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham gabungan di Bursa Effek Indonesia. Pengaruh yang signifikan diberikan oleh kurs dollar AS dan besarnya pengaruh kurs dollar AS terhadap IHSG BEI sebesar 51,55% dengan arah pengaruh yang negaitf. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dollar AS maka IHSG akan mengalami penguatan.