BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Nasofaring

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
Nasofaring adalah ruangan berbentuk trapezoid dengan lokasi di
posterior dari koana, kemudian meluas ke inferior ke bagian batas bawah
dari palatum mole. Batas superior dibentuk oleh basisphenoid dan
basisocciput. Batas posterior dibentuk oleh fasia prevertebralis dari atlas
dan axis. Fossa Rosenmuller yang berada di superior dan posterior dari
torus tubarius, merupakan tanda yang penting karena merupakan lokasi
yang paling sering timbulnya karsinoma nasofaring (Jeyakumar et al.
2006).
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu tipe kanker yang
paling dominan di Cina bagian selatan dan Asia Tenggara, lebih dari
50.000 kasus KNF baru dilaporkan setiap tahun di daerah-daerah ini (Lo et
al. 2006). KNF merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan
pada daerah kepala dan leher, di Indonesia prevalensinya adalah 6,2 per
100.000 penduduk setiap tahun dan di Medan prevalensinya adalah 4,3
per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Adham et al. 2012). Di RSUP. H.
Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF
dari 1370 (10,5%)
pasien baru onkologi kepala leher dan pada tahun
2006-2010 ditemukan 335 kasus baru KNF (Lutan 2003; Puspitasari
2011).
Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun, dengan umur
paling banyak antara 50-70 tahun. Di Cina, KNF mulai muncul usia 15-19
tahun. KNF sering ditemukan pada usia 15-34 tahun dan mencapai
puncaknya usia 35-64 tahun kemudian menurun setelah usia tersebut.
KNF lebih sering dijumpai pada pria dibanding wanita yaitu 2-3:1 (Chew
1997; Munir 2009).
Kluster KNF pada suku di Cina Selatan secara kuat menunjukkan
keterlibatannya faktor etiologi mayor termasuk genetik, lingkungan dan
Universitas Sumatera Utara
faktor virus. Faktor etiologi yang penting lainnya pada beberapa tipe dari
KNF adalah EBV (Epstein-barr virus). Klonal EBV DNA telah ditemukan
pada beberapa lesi pre-invasif, menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara EBV DNA dengan proses transformasi. Hubungan lain meliputi
infeksi hidung yang kronis, hygiene yang buruk, ventilasi yang buruk dari
nasofaring, dan paparan dari nitrosamin dan hidrokarbon polisiklik pada
makanan yang diasinkan (Lo et al. 2004; Jeyakumar et al. 2006).
KNF jarang datang berobat sebelum penyakitnya menyebar ke kelenjar
getah bening regional. Skinner et al. menemukan bahwa massa leher yang
unilateral adalah gejala utama pada waktu pertama sekali datang berobat,
muncul pada 36% kasus. Gejalanya juga meliputi obstruksi hidung,
epistaksis, sekret purulen, rhinorrhea yang berdarah, pendengaran
berkurang, tinnitus
dan sakit kepala. Keterlibatan saraf kranial yang
disebabkan invasi basis kranial terlihat pada 25% kasus (Her
2001;
Jeyakumar et al. 2006).
Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang
diambil dari tumor di nasofaring. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik
untuk
KNF
adalah
CT-Scan
dengan
kontras
dan
MRI
dengan
enhancement (Chew 1997; Jayekumar et al. 2006; Wei 2006 ).
KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap
radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher
lainnya. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitizer dan membantu
dalam mengurangi metastasis jauh (Mould & Tai 2002; Guigay et al. 2006).
KNF diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) menjadi 3
tipe histologi, yaitu:
Tipe 1 :Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (keratinizing squamous
cell carcinoma)
Tipe 2 :Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (non keratinizing
squamous cell carcinoma)
Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)
Universitas Sumatera Utara
Tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan Epstein-Barr Virus (Lutzky
et al. 2008).
Gambar 1: Penataksanaan KNF menurut NCCN 2010
Pada gambar 1 merupakan penatalaksanaan KNF berdasarkan NCCN
2010 dengan pemberian radioterapi bersamaan kemoterapi disebut
Kemoradioterapi konkuren yaitu kemoterapi cisplatin 100 mg/m2 diberikan
pada hari ke-1, 22 dan 43 bersamaan dengan radioterapi ≥ 70 Gy pada
tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran kelenjar getah bening leher
bilateral, kemudian dilanjutkan kemoterapi adjuvant dengan kombinasi
cisplatin 80 mg/m2 bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5
fluorouracil (5 FU) 1000 mg/m2/hari diberikan dengan infus selama 24 jam
pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu, diberikan sampai 3 siklus
(NCCN 2010)
Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:
Tumor Primer (T)
TX
Tumor primer tidak dapat dinilai
T0
Tidak terbukti adanya tumor primer
Universitas Sumatera Utara
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring
dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2
Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3
Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau
sinus paranasal
T4
Tumor dengan perluasan
intrakranial dan/atau terlibatnya
syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke
fossa infratemporal/ruang mastikator.
KGB Regional (N)
NX
KGB regional tidak dapat dinilai
N0
Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1
Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa
supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar
getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang.
N2
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3
Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau
pada fossa supraklavikular:
N3a
Diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b
Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh (M)
M0
Tanpa metastasis jauh
M1
Metastasis jauh
Kelompok stadium :
0
Tis
N0
M0
I
T1
N0
M0
II
T1
N1
M0
T2
N0
M0
Universitas Sumatera Utara
T2
N1
M0
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N0
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
T4
N0
M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
IVB
setiap T
N3
M0
IVC
setiap T
setiap N
M1
III
IVA
2.2
Kemoradioterapi
2.2.1 Radioterapi
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama
bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan
struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap
tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi karena
berada dalam mukosa nasofaring yang melekat erat pada tulang dasar
tengkorak,
lebih
responsif
terhadap
radioterapi
dan
kemoterapi
dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Wei 2006; Guigay et al.
2006).
Radioterapi dilakukan dengan menggunakan radiasi ionisasi yang
menyebabkan kematian sel dengan cara pembentukan radikal bebas,
melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama, yaitu apoptosis yang
menyebabkan kematian sel dalam beberapa jam setelah radiasi.
Mekanisme kedua adalah dengan menginduksi kegagalan mitosis dan
menghambat proliferasi selular, yang kemudian dapat mematikan sel-sel
kanker. Target utama radioterapi adalah kerusakan selular DNA (Lamson
& Brignall 1999; Borek 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada
75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar
leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol
regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Wei 2006).
Radioterapi dapat diberikan secara konvensional, yakni dengan
pemberian dosis total 66,6-75,6 Gy, diberikan 1,8-2 Gy per fraksi, 5 fraksi
per minggu (Yeh et al. 2006). Penelitian oleh Niibe et al. (2004)
menyatakan suatu metode pemberian radioterapi dengan metode
hiperfraksinasi pada karsinoma orofaring, yaitu dengan memberikan
radiasi 2 Gy per fraksi, 2 fraksi per hari dengan jarak 6 jam, 5 hari
seminggu sehingga total dosis sama dengan radioterapi konvensional yaitu
66 Gy atau lebih, memberikan hasil yang lebih baik dalam hal kesintasan
hidup keseluruhan (overall survival rate) dan angka kontrol lokoregional
(loco-regional control rate).
Berdasarkan NCCN 2010, radioterapi definitif diberikan pada karsinoma
nasofaring dengan stadium T1N0M0.
Efek samping akut radioterapi adalah radiomukositis, stomatitis, ngilu
pada gigi dan hilangnya indera pengecapan. Di samping itu, sebagai efek
lanjut juga dapat terjadi xerostomia, trismus, otitis media, pendengaran
menurun, hipotiroidisme, hiperpigmentasi kulit pada lintasan sinar, fibrosis
subkutan atau osteoradionekrosis mandibula. Pada terapi kombinasi
dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan
gastrointestinal (Munir 2009).
2.2.2 Kemoterapi
Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama
kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Bahkan pada pasien yang gagal
dengan radioterapi tunggal atau dengan metastasis sistemik menunjukkan
angka respon (response rate) yang tinggi terhadap penggunaan
kemoterapi. Kombinasi 5FU dan cisplatin (cisdiamine-dichloroplatinum)
telah terbukti mempunyai efek sitostatika secara sinergis pada sel-sel
kanker manusia. Dosis cisdiamine-dichloroplatinum (CDDP) adalah 100
Universitas Sumatera Utara
mg/m2 dengan bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 FU
1000 mg/m2/hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5.
Siklus diulang setiap 4 minggu. Kemoterapi diberikan 2-4 siklus (Mould &
Tai 2002; Yeh et al. 2006).
2.2.3 Kemoradioterapi konkuren
Kemoradioterapi konkuren adalah pemberian kemoterapi bersamaan
dengan radioterapi. Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan
bahwa
pengunaan
kemoterapi
bersamaan
dengan
radioterapi
meningkatkan kesintasan hidup keseluruhan (overall survival) apabila
dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Dengan cara
kemoradioterapi konkuren ini diharapkan dapat membunuh sel kanker
yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten
menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. Kemoterapi berfungsi sebagai
radiosensitizer dan membantu dalam mengurangi metastasis jauh (Mould
& Tai 2002; Kentjono 2003; Wei 2006).
Kombinasi radiasi dan kemoterapi secara konkuren juga bertujuan
untuk meningkatkan sensitivitas jaringan kanker terhadap radiasi, disebut
radiosensitizer.
Berbagai
jenis
kemoterapi
digunakan
sebagai
radiosensitizer ini, yang terbanyak adalah cisplatin yang mempunyai target
pada sel-sel hipoksik tumor serta menghambat reparasi pita DNA yang
mengalami cedera. Seperti diketahui radiasi menjadi kurang efektif pada
jaringan kanker yang hipoksik. Kelompok paclitaxel menghambat sel agar
tetap berada dalam fase mitosis, suatu fase dalam siklus sel yang paling
sensitif terhadap radiasi (Candelaria et al. 2006).
Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar
kemoterapi pada pasien KNF dengan metastasis, dan terapi lini pertama
yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dengan 5-FU.
Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel
telah menunjukkan angka respon yang baik (Guigay et al. 2006).
Berdasarkan NCCN 2010, untuk karsinoma nasofaring dengan stadium
T1, N1-3; T2-4, setiap N maka diberikan terapi cisplatin 100mg/m2 pada
Universitas Sumatera Utara
hari 1, 22, 43 atau cisplatin 40 mg/m2 setiap minggu bersamaan dengan
radioterapi > 70 Gy pada tumor primer dan 50 Gy pada pembesaran
kelenjar getah bening leher bilateral, serta booster bila perlu.
2.3 Cyclooxygenase (COX)
Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari
prostaglandin (PG), tromboksan dan prostasiklin dari asam arakhidonat.
Terdapat dua bentuk COX yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berfungsi
sebagai housekeeping gen pada hampir semua jaringan normal. COX-2
terangsang selama proses inflamasi, nyeri dan kanker. COX-1 timbul
sebagai respon dari produksi PG dan mempunyai fungsi penting pada
homeostatik. COX-1 berisi 70 kd subunit sedangkan COX-2 berisi 74 kd
protein
yang
mempunyai
60%
homolog
dengan
COX-1.
COX-2
mengandung bermacam-macam stimulasi seperti sitokin, hormon dan
mitogen (Murono et al. 2001; Andrianto 2008; Levita et al. 2009).
Gambar 2: Aktivitas enzim cyclooxygenase (Choy & Milas 2003)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2 menunjukkan, sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat
melalui aktivitas enzim cyclooxygenase. Obat-obatan anti-inflamasi akan
menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase, sedangkan COX-2 selektif
inhibitor
hanya
housekeeping
terangsang
menghambat
gen
selama
pada
COX-2.
hampir
proses
COX-1
semua
inflamasi,
berfungsi
jaringan
nyeri
dan
sebagai
normal.
COX-2
kanker.
Enzim
cyclooxygenase akan mensintesa prostaglandin H (PGH) kemudian akan
dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 merupakan prekursos
umum yang akan berubah menjadi berbagai prostaglandin dan tromboksan
(PGE2, PGF2α, PGD2, PGI2 dan TX) (Choy & Milas 2003).
Sel inflamasi akan membebaskan metabolisme dari asam arakidonat
atau eicosanoid termasuk prostanoid, prostaglandin dan leukotrines.
Cyclooxygenase merupakan kunci enzim yang mengontrol rate-limiting
step pada sintesa prostanoid dan sel tumor, serta metabolisme yang
diproduksi oleh aksi cyclooxygenase pada asam arakhidonat menunjukkan
benturan
pada
bermacam-macam
jalur
karsinogenik.
Transformasi
neoplastik dari proliferatif steam cell dan invasif tumor memerlukan suatu
micro enviroment dari aktivasi sel inflamasi dan elemen sel stromal
(Murono et al. 2001; Andrianto 2008).
Peningkatan level prostaglandin telah dideteksi pada kanker di
berbagai lokasi anatomi, termasuk kepala dan leher, dan peran metabolit
tersebut dalam pertumbuhan tumor dan metastasis telah dapat dipastikan.
Prostaglandin (PG), terutama yang seri E, ditemukan mempengaruhi
proliferasi sel dan respon imun host, menunjukkan perannya sebagai
promotor dan memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran tumor (Gallo et
al. 2001).
PG yang berasal dari COX-2 berperan dalam karsinogenesis, inflamasi,
supresi respon imun, inhibisi apoptosis, angiogenesis, invasif sel tumor
dan metastasis (Choy & Milas 2003).
Adanya PG untuk meningkatkan proliferasi sel dengan melakukan
modifikasi biologi seperti polyamines; peningkatan jumlah polyamine
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan peningkatan sintesis DNA, yang menghasilkan
bentuk ornithine decarboxylase activity (ODC). Diduga bahwa ada
hubungan antara PG
ekspresi COX-2, proliferasi sel dan metastasis
(Rishikesh & Sadhana 2003).
Ekspresi COX-2 yang berlebihan ditemukan berhubungan dengan
peningkatan produksi PGE2. Interleukin-1 (IL-1)
yang berhubungan
dengan tumor telah menunjukkan peningkatan ekspresi COX-2. COX-2
dan reseptor tromboksan A2 (TXA2) berhubungan pengaktifan invasi sel
dan
angiogenesis.
Ekspresi
COX-2
memacu
berbagai
sel
untuk
meningkatan produksi PG. PG menekan produksi sel NK (natural killer).
Penekanan ini juga menyebabkan hambatan dari IL-2 dan IFN-α serta
menurunkan pengaturan reseptornya. Ini menunjukkan PG mempunyai
sistem imun yang menekan peranan tumor dalam kanker. Oleh karena itu
secara jelas COX-2 derivat PG mempunyai peranan dalam pertumbuhan
kanker melalui mekanisme biokimia yang meliputi stimulasi pertumbuhan
tumor dan pembentukan pembuluh darah baru (Rishikesh & Sadhana
2003).
2.4 Peran COX-2 Dalam Perkembangan Kanker
COX-2 didorong oleh onkogen ras dan scr, Interleukin-1, hipoksia,
beno(a) pyrene, ultraviolet, epithelial growth factor, transformasi growth
factor dan tumor suppressor p53 menahan ekspresi COX-2. COX-2
mensensitisasi prostaglandin E2 (PGE2) untuk menstimulasi Bcl-2 dan
menghambat apoptosis serta menyokong IL-6 untuk sintesis haptoglobin.
PGE2 dihubungkan dengan tumor metastasis, IL-6 dengan sel karsinoma
invasif sedangkan haptoglobin dengan implantasi dan angiogenesis. Pada
semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang predominan. Latent
membrane protein 1 (LMP1) dideteksi lebih 70% pada karsinoma
nasofaring dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring. Juga diyakini
bahwa LMP1 berperan di dalam karsinogenesis dari karsinoma nasofaring.
Induksi COX-2 yang terjadi sebagian memproduksi Vascular endothelial
Universitas Sumatera Utara
growth factor (VEGF) di LMP1 akan mengekspresikan sel. Oleh karena
LMP1 positif pada KNF maka cenderung menyerang lebih banyak diluar
nasofaring dan kelenjar limfe dari pada LMP1 negatif pada KNF. Induksi
COX-2 oleh LMP1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP1
menambah produksi PGE2 pada sel epitel nasofaring yang ditembus
induksi COX-2. Pada inflamasi kronik dan metabolik produk dari fagositosis
sering disertai dengan pembentukan yang berlebihan dari reaksi oksigen
dan nitrogen yang merusak DNA, lipoprotein dan membran sel (Murono et
al. 2001; Andrianto 2008).
COX-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya
membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan
terjadi
perubahan
metabolisme
xenobiotik,
yang
meningkatkan
pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan menghambat apoptosis.
Banyak
penelitian
menyatakan
bahwa
COX-2
inhibitor
menekan
pembentukan tumor (Murono et al. 2001; Andrianto 2008).
Peningkatan level COX-2 telah ditemukan pada berbagai lesi
premaligna dan kanker epitel. Peningkatan ekspresi COX-2 telah
dilaporkan pada berbagai macam tumor, seperti kanker kolon, kanker paru,
kanker payudara, kanker lambung, kanker esofagus, kanker kepala dan
leher, yang menunjukkan bahwa COX-2 mungkin terlibat dalam proses
karsinogenesis. Peningkatan regulasi COX-2 pada sel kanker juga
dihubungkan dengan peningkatan angiogenesis dan metastasis (Murono
et al. 2001; Kyzas et al. 2005; Soo et al. 2005; Kaul et al. 2006).
Terdapat berbagai bukti sebagai bahan pertimbangan bahwa COX-2
berperan dalam proses karsinogenesis dan pertumbuhan tumor. Ekspresi
seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis
dan melalui perkembangan tumor dan pertumbuhan invasif tumor. Peran
PG yang berasal dari COX-2 dalam proses karsinogenesis pada manusia
didukung oleh temuan retrospektif dan epidemiologis yang menunjukkan
bahwa pemakaian NSAID secara reguler mengurangi insidensi beberapa
macam kanker pada manusia terutama pada payudara, kolon dan paru.
Universitas Sumatera Utara
Suatu laporan awal menunjukkan bahwa pemakaian aspirin dan
indometasin mungkin memiliki efek analog dalam menunda pertumbuhan
tumor kepala dan leher baik secara eksperimental dan in vivo (Gallo et al.
2001; Choy & Milas 2003).
Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai jenis
kanker pada manusia, termasuk sedikitnya 80% dari kanker payudara,
kolon, esofagus, hati, paru, pankreas, prostat, serviks serta kepala dan
leher (Choy & Milas 2003).
Kontribusi COX-2 yang penting, bahkan prinsipil terhadap pertumbuhan
tumor mungkin perannya dalam menstimulasi pembentukan pembuluh
darah baru tumor atau angiogenesis. Angiogenesis sangat penting bagi
pertumbuhan tumor yang ekspansif, karena tumor tidak dapat tumbuh
melebihi batas suplai darahnya. Proses angiogenesis diatur oleh faktor
pertumbuhan yang dihasilkan sel tumor, sel endotelial, fibroblas dan sel
inflamasi infiltrasi tumor. Faktor pertumbuhan
angiogenik yang paling
poten pada proses angiogenesis tumor adalah VEGF. Produksi VEGF oleh
sel tumor dan perluasan vaskularisasi tumor diukur dengan densitas
pembuluh mikro pada tumor dan merupakan indikator prognostik yang baik
untuk respon terapi dan survival
untuk beberapa tipe kanker (Choy &
Milas 2003).
Prostaglandin yang berasal dari COX-2 menstimulasi produksi faktor
pertumbuhan angiogenik dan beberapa studi telah melaporkan hubungan
antara ekspresi COX-2 pada kanker manusia dengan level produksi VEGF
dan densitas pembuluh darah mikro pada tumor. Inhibisi selektif terhadap
aktivitas COX-2 pada beberapa model hewan berhubungan dengan
pengurangan produksi VEGF tumor, pengurangan pembentukan pembuluh
darah baru, dan peningkatan proses apoptosis sel tumor (Choy & Milas
2003).
Apoptosis atau kematian sel terprogram adalah bentuk biokimia untuk
sel yang mati. Beberapa sel kanker menunjukkan peningkatan jumlah
COX-2. Kelebihan produksi dari prostaglandin seperti PGE2 dari COX-2
Universitas Sumatera Utara
dapat juga mengirim sinyal ke dalam sel, karena itu stimulasi sel
pertumbuhan menurunkan apoptosis. Gen Bcl-2 penting dalam pengaturan
apoptosis. Gen Bcl-2 juga ditemukan dalam kanker kolon yang
memberikan overekspresi dari isoenzim COX-2. Hubungan yang nyata
antara overekspresi, produksi PG dan ekspresi
dari gen Bcl-2 dalam
kanker telah diselidiki. Hambatan dari hasil isoenzim COX menghasilkan
penurunan produksi bentuk substrat PG seperti asam arakhidonat
(Rishikesh & Sadhana 2003).
Mekanisme NSAID menghambat pertumbuhan tumor masih belum
sepenuhnya dimengerti, tapi mungkin melibatkan blokade COX, yang
menekan produksi eicosanoid, terutama PG dan mungkin mempengaruhi
proliferasi sel, apoptosis dan respon imun (Gallo et al. 2001).
2.5 Ekspresi COX-2 Pada Karsinoma Nasofaring
Tan & Putti (2005) melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2
pada karsinoma nasofaring. Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi
yang tinggi yaitu 60 dari 85 kasus karsinoma nasofaring (71%)
yang
mengekspresikan COX-2 positif, berdasarkan penelitian Loong et al.
(2009) juga menemukan ekspresi COX-2 positif pada karsinoma
nasofaring 71%, penelitian lain dengan proporsi yang sama dilaporkan
83% ekpsresi COX-2 positif pada karsinoma nasofaring (Tan & Putti 2005;
Loong et al. 2009).
Soo et al. (2005) menemukan peningkatan ekspresi COX-2 pada 33
dari 42 kasus karsinoma nasofaring (79%) dengan menggunakan metode
immunohistokimia (Soo et al. 2005).
Sebagian besar undifferentiated carcinoma menunjukkan overekspesi
COX-2 (Moyer 2002). Sari (2004) mendapatkan ekspresi COX-2 positif
43,3% pada T1-T2 dan 87,5% pada T3-T4. Sedangkan ukuran kelenjar
getah
bening
terdapat
seluruh
N2
dan
sebagian
besar
N3
mengekspresikan COX-2 yang berlebihan tapi pada N0 dan N1 lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak yang tidak mengekspresikan COX-2 atau mengekspresikan COX-2
dalam jumlah minimal (Sari 2004).
2.6 Penilaian Imunohistokimia COX-2
Cara penilaian dengan metode konsensus dan terdiri dari intensitas
pewarnaan (0,1,2 atau 3) dan tingkat pewarnaan (0= 0%; 1 = < 10%; 2 =
10-50%; 3 = >50%). Hasil untuk intensitas pewarnaan dan tingkat
pewarnaan yang dikalikan untuk memberikan skor COX-2 pada setiap
kasus, sel-sel tersebut dianggap sebagai COX-2 positif (skor≥ 4 dari 9)
(Tan & Putti 2005).
Gambar 3: Pewarnaan Imunohistokimia COX-2 (Tan & Putti 2005).
Pada gambar 3 di atas menunjukkan (A) Lemah (intensitas: 1 dari 3),
(B) sedang (intensitas: 2 dari 3) dan (C) kuat (intensitas: 3 dari 3). (D)
Universitas Sumatera Utara
Tidak dijumpai COX-2 pewarnaan di daerah epitel nasofaring normal. (E)
COX-2 pewarnaan sedang di daerah epitel nasofaring displastik. (F) CD31
microvessels disorot, dalam dan berdekatan dengan tumor jaringan.
pembesaran asli: (A-E), 600 x; (F), 400 x (Tan & Putti 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Konsep
Infeksi EBV
Inflamasi
Asam arakhidonat
COX-2
Prostasiklin
Prostaglandin
Tromboksan
- Angiogenesis
- Apoptosis
- Proliferasi sel
- Supresi respon imun
- Invasi sel tumor
- Gambaran klinis
- Kadar hemoglobin
- Skor karnofsky
score
Karsinoma nasofaring
Sel-sel hipoksik tumor
Radiosensitizer
- UkuranTumor primer (T)
- Ukuran kelanjar getah
bening leher (N)
- Stadium klinis
Kemoradioterapi
konkuren
Reparasi pita DNA
= Variabel Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4: Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
Download