BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) Cross Laminated Timber (CLT) merupakan produk canggih, dikembangkan di Swiss pada awal 1990-an, dirancang untuk meningkatkan stabilitas dimensi dan kekuatan dalam sistem sambungan. CLT terbuat dari beberapa lapisan kayu, dengan masing-masing lapisan saling bersilangan. Digunakan untuk bentang panjang di lantai, dinding, atau atap, CLT dapat berupa setengah jadi, yang mengurangi penukaran tenaga kerja, dan sama-sama cocok untuk konstruksi baru dan penambahan bangunan yang ada (wood naturally 2012). CLT dibentuk dengan 3 sampai 7 lapisan kayu atau papan yang disusun secara bersilangan dan direkatkan bersama dengan tekanan hidrolik pada seluruh bagian permukaan atau juga dapat dipaku. Setiap lapisan terdiri dari papan dengan berbagai ketebalan laminasi. Ketebalan panel CLT biasanya dalam kisaran dua inci, tetapi panel dengan tebal 20 inci dapat dibentuk. Ukuran lebar panel berkisar antara 4-10 kaki dan panjangnya 16-50 kaki (Perkins dan McCloskey 2010). Produk CLT yang dikenal juga sebagai X-Lam adalah konstruksi kayu besar prafabrikasi yang digunakan untuk konstruksi penahan beban seperti dinding dan rakitan untuk lantai. X-Lam menjadi semakin terkenal untuk perumahan, dan juga untuk kantor, ritel, serta bangunan industri khususnya di Negara Austria dan Italia. X-Lam tersedia dengan lapisan 3, 5, 7, atau lebih, tergantung pada tujuan dan permintaaan kebutuhan. Lebar papan tunggal biasanya bervariasi antara 80 dan 240 mm, dengan ketebalan antara 10 dan 35 mm (Frangi et al. 2006). Menurut Michael (2008), produk CLT begitu kuat, tahan gempa bumi, dan kebakaran yang dapat digunakan sebagai pengganti beton pada bangunan tingkat menengah. Menurut Perkins dan McCloskey (2010), keunggulan dalam penggunaan produk CLT, antara lain: 4 a. Biaya Efektif - Pemasangan atau pembangunan panel lebih cepat dan keterlambatan konstruksi lebih sedikit karena elemen prafabrikasi. - Pemasangan cepat dan kering, dengan seketika dapat tahan lama. - Limbah di tempat untuk elemen dinding, lantai, dan atap dapat dikurangi. b. Keunggulan Kinerja Bangunan - Perlindungan api. Karena ketahanan terhadap penyebaran dan stabilitas struktural dari ketebalan yang signifikan pada kayu solid. - Kekuatan beban bergerak dan gempa bumi. Pemerintah Jepang telah melakukan tes gempa bumi pada CLT dengan faktor skala 12 Richter. - Stabilitas dimensi. Pengaruh multi-lapisan papan, susut, dan pembengkakan dapat diabaikan. - Peluang mutu terlihat. CLT dapat diketam, diamplas, atau disikat/dikuas. - Kenyamanan tempat tinggal. Sifat insulasi suhu dan kelembaban yang layak. c. Dampak Terhadap Lingkungan Kecil - CLT memiliki potensi untuk menjadi elemen penting dalam konstruksi bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu, dengan sifat mengurangi emisi karbon dan penyimpanan karbon karena kayu berasal dari sumber yang terbarukan atau lestari. - Bangunan karbon netral. Kayu memberikan kontribusi netralitas secara keseluruhan karena lebih banyak karbon akan dihilangkan dari atmosfer dengan pohon yang tumbuh daripada yang dipancarkan selama proses transformasi menjadi produk. Ini berarti produk kayu membawa kredit karbon yang membantu mengimbangi hutang karbon yang dikenakan oleh bahan bangunan lainnya. 2.2 Kayu Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J. W. Grimes) Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon adalah kayunya. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lainnya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30-45 meter dengan diameter batang sekitar 70-80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak 5 berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV-V. Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi subur. Dengan sifat-sifat kelebihan yang dimiliki sengon, maka banyak pohon sengon ditanam ditepi kawasan yang mudah terkena erosi dan menjadi salah satu kebijakan pemerintah melalui DEPHUT untuk menggalakan „Sengonisasiā di sekitar daerah aliran sungai (DAS) di Jawa, Bali dan Sumatra. Bunga tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai berukuran sekitar 0,5-1 cm, berwarna putih kekuningkuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum bunga mekar terdiri dari bunga jantan dan bunga betina, dengan cara penyerbukan yang dibantu oleh angin atau serangga. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, dan panjangnya sekitar 612 cm. Setiap polong buah berisi 15-30 biji. Bentuk biji mirip perisai kecil dan jika sudah tua biji akan berwarna coklat kehitaman,agak keras, dan berlilin (Wikipedia 2012). Menurut Wikipedia (2012), Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0-800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m dpl. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18°27°C. Curah hujan mempunyai beberapa fungsi untuk tanaman, diantaranya sebagai pelarut zat nutrisi, pembentuk gula dan pati, sarana transpor hara dalam tanaman, pertumbuhan sel dan pembentukan enzim, dan menjaga stabilitas suhu. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki 6 curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000-4000 mm. Kelembaban juga mempengaruhi setiap tanaman. Reaksi setiap tanaman terhadap kelembaban tergantung pada jenis tanaman itu sendiri. Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%-75%. Sengon merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur, kering, maupun becek. Jenis tumbuhan ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1500 m dpl. Tinggi pohon sampai 40 meter dan tinggi batang bebas cabang 10 sampai 30 m, serta diameternya sampai dengan 80 cm (Martawijaya et al. 1989). Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), kayu sengon memiliki warna teras dan gubal yang sulit dibedakan, berwarna putih abu-abu kecokelatan atau putih merah kecokelatan pucat. Tekstur kayu sengon agak kasar sampai kasar, arah seratnya terpadu dan terkadang lurus dengan sedikit corak. Menurut Pandit (1989), kayu sengon digolongkan sebagai kayu daun lebar dengan pori berbentuk bulat besar dan sebagian besar soliter dan sisanya merupakan pori gabungan terdiri 2-3 pori. Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), berat jenis rata-rata kayu sengon adalah 0,33 (0,24-0,49) dengan kelas awet IV-V, dan kelas kuatnya IV-V. 2.3 Sistem Sambungan Menurut Hoyle (1973), sambungan merupakan lokasi sederhana yang menghubungkan dua bagian atau lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung-ujung perlekatannya. Menurut Tular et al. (1981), sambungan merupakan titik terlemah dari suatu konstruksi. Dalam pelaksanaan konstruksi kayu, harus diperhatikan cara menyambung, serta menghubungkan kayu tertentu sehingga dalam batas-batas tertentu gaya tarik dan gaya tekan yang timbul dapat diterima atau disalurkan secara baik. Menurut Surya (2007), tujuan penyambungan kayu adalah memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan keinginan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi merupakan titik kritis atau terlemah pada konstruksi tersebut. Oleh karena itu, kayu yang akan disambung harus merupakan pasangan yang cocok, penyambungan tidak boleh sampai merusak kayu yang disambung tersebut, setelah menjadi sambungan 7 hendaknya diberi bahan pengawet agar tidak cepat lapuk dan sebaiknya sambungan kayu yang dibuat terlihat dari luar agar mudah untuk dikontrol. Menurut Surjokusumo (1980), kekuatan sambungan tergantung pada kekuatan komponen penyusunnya, yaitu kayu yang akan disambung dan alat sambungnya. Sesuai dengan teori mata rantai, kekuatan sambungan banyak ditentukan oleh komponen yang terlemah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan sambungan antara lain, kerapatan kayu, besarnya beban yang diberikan, dan keadaan alat sambung. Menurut Wirjoamartono (1977), sambungan kayu dapat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu sambungan desak, sambungan tarik, dan sambungan momen. Alat-alat sambung digolongkan menjadi empat yaitu 1) paku, baut, dan sekrup kayu, 2) pasak kayu keras, 3) alat-alat sambung modern, dan 4) perekat. 2.4 Cross Laminated Timber dengan Sambungan Paku Menurut Soehendrodjati (1990), paku sebagai alat sambung sudah banyak digunakan, baik untuk penyambung perabotan rumah tangga, kusen, pintu, jendela maupun pada struktur bangunan. Menurut Yap (1964), beberapa keuntungan penggunaan paku antara lain efisiensi lebih besar, perlemahan sangat kecil kirakira 10% yang terkadang sering diabaikan, kekuatan tidak tergantung arah serat, pengaruh cacat-cacat kurang, lebih kaku, beban pada penampang lebih merata, dan tidak perlu dibor terlebih dahulu jika kayu sambungan tidak terlalu tebal dan tidak keras. Menurut Breyer et al. (2007), paku dapat ditempatkan berdekatan, sangat efektif, dan relatif murah karena biasanya dipakai secara langsung tanpa perlu membuat lubang pada kayu. Menurut Frick dan Maoediartianto (2004), penggunaan paku dalam kayu keras mengharuskan dilakukan pengeboran terlebih dahulu agar pecah pada kayu terhindar. Besarnya lubang bor adalah 0,8–0,9d dan kedalaman lubang 2/3 dari tebal kayu. Menurut Wiryomartono (1977), aplikasi paku sebagai alat sambung pada konstruksi kayu pada dasarnya didesain untuk memikul beban geser dan lenturan. Dari beberapa tipe paku utama yang digunakan dalam aplikasi struktural, maka paku umum dan paku panjang merupakan paku paling sering digunakan di Indonesia. Sama seperti paku lainnya paku umum memiliki ujung paku berbentuk diamond. Dalam buku Design of Wood Structures, ASD/LRFD (2007) 8 dicantumkan panjang paku umum berkisar dari 5.08-15.24 cm dengan diameter berkisar dari 2.87-6.68 mm. Paku umum tersebut terbuat dari kawat baja karbon rendah dengan batang datar (lurus) dan ujung diamond. Karena diameter paku umum lebih besar dibandingkan diameter tipe paku lainnya, paku umum memiliki kecenderungan melentur yang kecil saat dipalu secara manual. Kekuatan lentur paku umum, box dan paku sinker berdasarkan Tabel NDS (National Design Spesification for Wood Construction ASD/LRFD (2005) dari kisaran diameter paku 2.87-6.68 mm adalah 70-100 ksi (4922-7031 kg/cm2). Dalam kaitan dengan nilai desain sambungan paku, PKKI (Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia) 1961 telah mengakomodasikan syarat-syarat yang harus diperhatikan pada sambungan paku, diantaranya kekuatan paku tidak dipengaruhi oleh besarnya sudut penyimpangan antara arah gaya dan arah serat. Apabila dalam suatu baris terdapat lebih dari 10 paku, maka kekuatan paku harus dikurangi dengan 10%, dan jika lebih dari 20 paku harus dikurangi dengan 20%. Jarak paku minimum harus memenuhi syarat sebagai berikut, dalam arah gaya : 12d untuk tepi kayu yang dibebani, 5d untuk tepi kayu yang tidak dibebani dan jarak antara baris-baris paku, sedangkan dalam arah tegak lurus arah gaya : 5d untuk jarak sampai tepi kayu dan 5d untuk jarak antara baris-baris paku (Yap 1964). Berdasarkan hasil penelitian Surjokusumo et al. (1980) serta Wirjomartono (1977), kekuatan sambungan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu. Banyak penelitian menyatakan peranan jenis kayu yaitu, kerapatan kayu atau tebal dinding sel kayu sangat besar dalam mempengaruhi kekuatan sambungan kayu. Penelitian Surjokusumo et al. (1980) menyimpulkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu dan jumlah paku maka kekuatan sambungan akan meningkat, tetapi peningkatan ini tidak bersifat linier. Pemakaian jumlah paku yang besar pada kayu dengan kerapatan tinggi cenderung akan memperbesar perlemahan sambungan. Selanjutnya dikatakan bahwa rata-rata kekuatan per paku akan meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu tetapi cenderung konstan dengan bertambahnya jumlah paku.