BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen tertinggi dibandingkan minyak nabati lainnya yaitu dapat menghasilkan 5,5-7,3 ton CPO/ha/tahun (PPKS, 2013 dalam Wiratmoko, 2012). Ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya pada tahun 2013 mencapai 20,5 juta ton yang bernilai 15,8 miliar dolar Amerika (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014 dalam Wiratmoko, 2012). Kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia mengakibatkan tuntutan tanaman kelapa sawit untuk berproduksi yang tinggi tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan. Saat ini Indonesia menempati posisi teratas dalam pencapaian luas areal dan produksi minyak sawit dunia yang mencapai 8,9 juta hektar dengan 6,5 juta hektar berupa tanaman menghasilkan (TM) (Wiratmoko, 2012). Produksi tanaman kelapa sawit dari luasan tanaman menghasilkan tersebut baru mencapai 23,53 juta ton atau masih berkisar antara 3-4 ton TBS/ha per tahun Direktorat Jenderal Perkebunan, (2014) dalam Wiratmoko (2012). Optimalisasi pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya melalui pertanian presisi (precision agriculture). Pertanian presisi merupakan teknik yang menghubungkan antara penerapan input dan output bagi tanaman sesuai dengan kebutuhannya Xiang,et.al. (2007) dalam Wiratmoko (2012). Pengelolaan perkebunan kelapa sawit sampai dengan saat ini berbasis blok yang setiap blok terdiri atas satu umur tanam dengan satuan terkecil 12-30 ha/blok. Pertanian presisi yang dapat dilakukan di perkebunan kelapa sawit sangat beragam dari koleksi data baik data tanaman (pertumbuhan, kondisi hara, kesehatan tanaman, dan produksi), serta kondisi tanah dan lingkungan (hara tanah, aplikasi pemupukan, kondisi iklim) Fairhust, et.al. (2003) dalam Wiratmoko (2012). Pertanian presisi secara mudah yang dapat didefinisikan sebagai sistem modern manajemen yang produktif menggunakan aplikasi teknologi yang 1 berkelanjutan di dalam koleksi, analisis, dan manajemen data dari berbagai faktor produksi seperti genetik tanaman, tanah, iklim dan kondisi agronomi (Romero, 2008). Pertanian presisi bertujuan mendapatkan alokasi produksi berbasis satuan terkecil di lapangan untuk mendapatkan keuntungan optimal, mengurangi biaya produksi dan menekan dampak lingkungan Fairhust, et.al. (2003) ; Romero (2008) dalam Wiratmoko (2012). Tujuan dari pertanian presisi adalah mencocokkan beberapa sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan McBratney A and Whelan BM (1995) dalam Wiratmoko (2012). Batasan pertanian presisi pada penelitian ini adalah koleksi data baik secara langsung berupa data lapangan maupun melalui ekstraksi data citra penginderaan jauh untuk estimasi penentuan umur tanam tanaman kelapa sawit dengan pendekatan topografi dan LAI. Pada tahapan analisis pada penelitian ini dilakukan penggunaan faktor topografi dan umur tanam yang mempengaruhi nilai spektral pada band Inframerah dekat dan band Inframerah tengah pada citra satelit Landsat 8 dalam penyusunan model pemetaan umur tanam dengan menggunakan indeks vegetasi II (Infrared Index) melalui pendekatan topografi yang diintegrasikan dengan nilai LAI kelapa sawit berdasarkan citra satelit maupun pengukuran lapangan sesuai dengan beda umur tanam. Dewasa ini, pengeloaan perkebunan kelapa sawit mulai memanfaatkan teknologi dengan tujuan agar lebih efektif dan hasil sesuai harapan atau maksimal. Perkembangan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dapat membantu penerapan pertanian presisi yang memungkinkan pengelolaan lahan secara cepat untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang optimal yang salah satunya dalam hal monitoring atau pemenejemenan umur tanam kelapa sawit melalui pendekatan index vegetasi. Penerapan berbagai data penginderaan jauh yang berkelanjutan terhadap pertumbuhan tanaman yang dikombinasikan dengan indeks vegetasi menunjukkan kondisi pertumbuhan tanaman secara temporal dan spasial Qi et. al., (1993) dalam Wiratmoko (2012). Peningkatan umur tanaman melalui perubahan pertumbuhan vegetatif diukur melalui LAI yang diukur melalui luas daun di setiap pelepah dalam satu 2 hektar areal kelapa sawit. Perkembangan penginderaan jauh sejauh ini telah memanfaatkan berbagai indek vegatasi salah satunya dalam penelitian Carlson and Ripley (1997) dalam Wiratmoko (2012) memanfatkan normalized different vegetation index (NDVI), LAI dan tutupan vegetasi (fractional vegetation cover). Indeks vegetasi seperti NDVI merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang menonjolkan aspek vegetasi seperti kerapatan, pertumbuhan vegetatif, LAI dan konsentrasi klorofil (Danoedoro,2012). Chemura (2011) dalam Wiratmoko (2012) memanfaatkan citra Worldview-2 dalam penentuan umur tanaman kelapa sawit dengan metode object based image analysis (OBIA). Fadli (1995) dalam Wiratmoko (2012) memanfaatkan citra nilai kecerahan SPOT terhadap pola spectral umur tanaman kelapa sawit. Kamaruzaman dan Pathan (2009) dalam Wiratmoko (2012) menggunakan airborne hyperspectral sensing dalam pemetaan tanaman kelapa sawit secara individu. Kamaruzaman (2009) dalam Wiratmoko (2012) menggunakan airborne remote sensing dalam estimasi tanaman kelapa sawit menghasilkan atau dapat diproduksi. (Ramdani, 2012) melakukan penelitian beberapa indeks vegetasi dalam pemetaan komposisi tutupan tajuk tanaman kelapa sawit yang dilanjutkan dengan transformasi Tasseled Cap. Pada data foto udara format digital Agtasari (2006) dalam Wiratmoko (2012) melakukan penelitian penghitungan tajuk kelapa sawit secara otomatis di Kalimantan Barat. Penggunaan citra Formosat-2 dengan resolusi spasial multispektral 8 m dan pankromatik 2 m melalui analisis tekstur dan multispektral klasifikasi tanaman kelapa sawit memiliki nilai akurasi yang lebih tinggi dibandingkan klasifikasi yang hanya menggunakan band multispektral Gandarum (2009) dalam Wiratmoko (2012). Penanganan manajemen kebun kelapa sawit selama ini belum mengedepankan manajemen secara spasial sehingga informasi spasial kondisi pertumbuhan tanaman estimasi pertumbuhan vegetatif yang berkaitan dengan produksi tanaman belum dapat optimal tersaji (Wiratmoko, 2015). Sehingga salah satu pengaplikasian penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat membantu dalam pengolahan ataupun pemenejemenan perkebunan kelapa sawit dalam hal monitoring maupun dalam hal pemetaan umur tahun tanam kelapa sawit 3 melalui pendekatan nilai indeks vegetasi yang dipengaruhi oleh perbedaan topografi. 1.2 Rumusan Masalah 1. LAI dan Infrared Index merupakan salah satu metode yang digunakan dalam pengolahan data penginderaan jauh, namun masih jarang yang menerapkan metode ini dalam bidang perkebunan kelapa sawit. 2. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi di bidang perkebunan kelapa sawit yang menunjang konsep pertanian presisi terutama pemanfaatan data Citra Landsat 8 OLI 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Adakah korelasi LAI dengan Infrared Index yang dihubungkan dengan 5 umur tanam tanaman kelapa sawit ? 2. Seberapa baik pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI dalam menyajikan informasi spasial terkait pemetaan umur tanam kelapa sawit ? 1.4 Tujuan 1. Mengkaji hubungan Infrared Index dengan LAI untuk pemetaan umur tanam kelapa sawit. 2. Melakukan pemetaan umur tanam kelapa sawit di kebun Sei-Aek Pancur Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara dengan pemanfaatan citra penginderaan jauh Landsat 8 OLI tahun perekaman 2015 1.5 Manfaat 1. Memberikan informasi spasial terkait pemetaan umur tanam kelapa sawit di perkebunan Sei-Aek Pancur untuk memudahkan dalam hal pengembangan dan monitoring dalam perkebunan kelapa sawit bagi instansi terkait maupun masyarakat sekitar. 4 2. Memperkaya aplikasi citra Landsat 8 OLI dan pengembangan ilmu penginderaan jauh untuk pemetaan umur tanam tanaman kelapa sawit khususnya dalam bidang perkebunan. 1.6 Batasan Penelitian 1. Daerah spesifik yang dipetakan yaitu kebun Sei-Aek Pancur yang merupakan bagian dari kebun percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). 2. Daerah kajian merupakan 5 umur tanam (Tanaman belum menghasilkan, Muda, Remaja dan Tua) yang memiliki beda topografi (datar dan berbukit) dalam satu umur tanam. 3. LAI diambil dengan luas 900 m2 , karena mengacu pada nilai spektral Citra Landsat 8 OLI (operational land imager) dan menggunakan nilai spektral band 5 (Inframerah dekat) dan band 6 (inframerah tengah). 4. Pemetaan umur tanam yang dipetakan pada penelitian ini diambil dari nilai pendekatan indeks vegetasi Infrared index yang diintegrasikan dengan nilai LAI lapangan dengan perbedaan topografi pada setiap umur tanam. 5. Data citra penginderaan jauh Landsat 8 OLI yang digunakan merupakan perekaman tahun 2015 bulan Februari dapat diindikasikan bahwa pengaruh nilai spektral tanah merupakan tanah basah yang disebabkan oleh musim basah atau hujan. 5