97 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka ada dua poin yang dapat disimpulkan oleh penulis, yakni: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memberikan jaminan perlindungan terhadap kebebasan beragama bagi warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28E, 28I dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana hak kebebasan beragama dijamin dan dilindungi sebagai bentuk non-derogable rights. Pada sisi ini berdasarkan putusan Mahkamah Konsitusi mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 perlu dibedakan pada wilayah forum internum dan forum eksternum. Pada forum internum hendaknya pelaksanaan hak tersebut bersifat absolut/mutlak sedangkan pada wilayah eksternum hendaknya pemeluk agama tunduk pada pembatasanpembatasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara teroritis, negara telah memberikan ketiga upaya perlindungan bagi kebebasan warga negaranya, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi, dan setelah menganalisis tentang masalah pro dan kontranya Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 sesuai dengan 98 pandangan dan putusan Mahkamah Konstitusi, maka penulis berkesimpulan bahwa undang-undang ini tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap diperlukan untuk menjaga keutuhan toleransi umat beragama serta melindungi kebebasan beragama dan berkepercayaan yang bertanggung jawab. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh negara secara teoritis tetap sesuai dengan isi dari undang-undang tersebut. 2. Peristiwa pembubaran peringatan Asyura adalah bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama seseorang, karena ada usaha individu atau kelompok perorangan yang memaksakan komunitas Syiah untuk menghentikan upacara ibadah mereka, sedangkan upacara tersebut dilakukan di tempat yang tertutup dan tidak mengganggu masyarakat sekitarnya. Dalam kasus ini, negara belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada warga negara dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Oleh karena itu demi hukum, setiap perbuatan individu yang melanggar toleransi ini tentu tidak dapat dibiarkan karena negara harus menegakkan hukum kepada pihak individu yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia agar kasus serupa tidak terjadi kembali. B. Saran Menindaklanjuti hasil penelitian, maka di bawah ini sebagai akhir dari penulisan hukum, penulis memiliki dua saran, yakni: 99 1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Pemerintah hendaknya perlu segera melaksanakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi untuk segera merevisi peraturan perundang-undangan baru yang membahas tentang kebebasan beragama. Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 walaupun tidak bertentangan dengan konstitusi masyarakat dan masih relevan dengan kondisi keberagamaan sekarang ini, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, undang-undang ini masih perlu direvisi dengan lebih baik lagi agar tidak menimbulkan pengertian yang multitafsir dari pihakpihak yang kontra terhadap undang-undang ini. Pemerintah harus merevisinya dengan pengertian bentuk kebebasan beragama yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pengakuan hak asasi manusia internasional. Revisi tersebut akan mengatur seluruh aspek kebebasan beragama secara definitif, komprehensif dan menyeluruh, termasuk bentuk-bentuk penodaan agama yang dimaksud secara jelas dan tidak multitafsir agar pemerintah bisa melakukan pembatasan terhadap manifestasi ajaran agama untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, serta hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain lebih baik lagi menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 100 2. Sekalipun pada tataran ius constitum atau norma hukum positif sudah terdapat perlindungan namun demikian pada tataran ius operatum atau implementasi atas norma tersebut tidak tegas dan cenderung berstandar ganda. Oleh karena itu aparat penegak hukum, harus memberikan penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap para pelaku pelanggaran HAM yang telah merusak toleransi beragama secara imparsial. Hal demikian menurut penulis cukup penting mengingat isu ini sangat sensitif dan dapat menyebabkan ketidakharmonisan dalam masyarakat yang sedang menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Pemerintah harus mampu menjembatani dialog antar sesama pemeluk agama, melakukan mediasi terhadap konflik horizontal di antara mereka serta memberikan keadilan tanpa perlakuan diskriminatif. Artinya, pemerintah bisa menyelidiki apakah benar-benar terjadi upaya penodaan agama atau tidak sehingga selanjutnya bisa diterapkan pembatasan manifestasi yang benar agar tidak mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Kemudian pemerintah juga harus memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelanggaran HAM, sesuai dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa di Indonesia, seorang individu dapat dikenakan pertanggungjawaban, sehingga ketika mereka melakukan pelanggaran tersebut, dengan cara mengintimidasi pemeluk agama dan kepercayaan lain, pemerintah bisa menindaknya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.