1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kultur

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kultur mikrospora merupakan salah satu teknik kultur jaringan yang mulai
banyak digunakan untuk produksi tumbuhan haploid melalui jalur embriogenesis.
Menurut Maluszynski dkk. (2003), aplikasi kultur miksopora telah tercatat pada
lebih dari 250 jenis tumbuhan yang sebagian besar dilakukan pada tumbuhan
anggota suku Solanaceae.
Brugmansia candida Pers. yang biasa dikenal sebagai kecubung gunung
merupakan salah satu tumbuhan suku Solanaceae. Kecubung gunung pada
umumnya hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias oleh masyarakat Indonesia
karena masih banyak yang belum mengetahui manfaatnya untuk pengobatan.
Adanya kandungan senyawa hiosiamin dan skopolamin dalam tumbuhan ini
diketahui memiliki khasiat sebagai antikolinergik, antispasmodik dan obat mabuk
perjalanan (Yamada, 1994; Marconi dkk., 2008).
Kecubung gunung memiliki bentuk mikrospora yang berukuran cukup
besar dan bentuk sel yang jelas, sehingga mudah untuk dilakukan pengamatan
pertumbuhan selnya ketika dikulturkan. Induksi kultur mikrospora melalui jalur
embriogenesis dapat dilakukan dengan pemberian perlakuan stres terhadap
mikrospora yang umumnya berada pada stadium uni-nukleat akhir. Mikrospora
yang seharusnya berkembang menjadi serbuk sari normal yang matang, dengan
diberi perlakuan stres dapat berkembang menjadi embrio (Touraev & Herberle1
2
Bors, 1999). Perlakuan stres pada mikrospora dapat dilakukan melalui berbagai
cara diantaranya dengan stres suhu (cold atau heat shock), starvasi nitrogen dan
karbohidrat, sentrifugasi, maupun penggunaan agen penghambat mikrotubul
seperti kolkisin (Silva, 2012).
Stres suhu merupakan perlakuan yang paling umum digunakan dalam
kultur mikrospora. Pada beberapa penelitian, induksi stres pada suhu rendah (cold
shock) diketahui dapat menghasilkan mikrospora embriogenik yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan perlakuan heat shock (Silva, 2012). Adanya bantuan
sentrifugasi juga diketahui dapat meningkatkan jumlah mikrospora embriogenik
dengan perkembangan yang seragam (Bhojwani & Radzan, 1996).
Kolkisin merupakan senyawa alkaloid yang dapat menyebabkan mutasi
gen, sehingga memicu terjadinya penggandaan kromosom pada sel tumbuhan.
Menurut Möllers dkk. (1994), penambahan kolkisin pada kultur mikrospora juga
diketahui dapat meningkatkan hasil induksi embriogenesis.
Tumbuhan kecubung gunung dikenal memiliki kandungan senyawa
metabolit sekunder alkaloid, derivat kafein, kumarin, dan flavonoid (Wagner &
Bladt, 1996). Menurut Yamada (1994), kandungan utama tumbuhan kecubung
gunung adalah senyawa alkaloid yang berupa hiosiamin dan skopolamin. Kedua
senyawa alkaloid tersebut merupakan senyawa yang sulit disintesis karena
membutuhkan proses yang kompleks dan biaya tinggi, sehingga untuk
mendapatkan senyawa tersebut biasanya masih dilakukan dengan cara ekstraksi
langsung dari tumbuhan.
3
Kultur in vitro, misalnya kultur mikrospora, merupakan salah satu
alternatif yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kedua senyawa tersebut.
Metode ini diketahui mampu menghasilkan tanaman yang seragam dan lebih
stabil tanpa adanya pengaruh musim. Adanya penambahan senyawa elisitor dalam
kultur diketahui dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder hasil kultur.
Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu jenis elisitor yang
biasa ditambahkan dalam kultur jaringan tanaman (Zhao dkk., 2005). Selain
sebagai elisitor, MeJA juga memiliki peran dalam proses perkembangan
tumbuhan. Penggunaan MeJA dalam konsentrasi besar dapat menghambat
pembelahan
sel, namun dalam konsentrasi kecil justru dapat meningkatkan
pembelahan sel (Creelman & Mullet, 1997). Untuk mengetahui pengaruh kultur
mikrospora terhadap kandungan senyawa alkaloid hasil kultur, dapat dilakukan
analisis dengan berbagai metode yang salah satunya adalah Kromatografi Lapis
Tipis.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan campuran
senyawa yang menggunakan fase diam berupa suatu lempengan sebagai penjerap
dan fase gerak yang berupa larutan pengembang untuk mengelusi sampel dalam
suatu bejana (Stahl, 1985). KLT dapat digunakan untuk identifikasi senyawa
dengan cara menghitung harga Rf yang didapatkan dari perbandingan jarak elusi
bercak sampel dengan jarak elusi (Gandjar & Rohman, 2007)
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh
pemberian perlakuan stres, terutama senyawa kolkisin dan MeJA terhadap
4
kemampuan induksi kultur mikrospora kecubung gunung menjadi embriogenik,
dan juga pengaruhnya terhadap profil kandungan senyawa alkaloid hasil kultur.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1.
Apakah mikrospora kecubung gunung dapat diinduksi menjadi embriogenik
dengan pemberian perlakuan stres dan senyawa kolkisin ?
2.
Apakah pemberian MeJA pada mikrospora embriogenik kecubung gunung
dapat meningkatkan jumlah pembelahan inti sel ?
3.
Apakah pemberian senyawa MeJA dapat mempengaruhi profil kandungan
senyawa alkaloid pada kultur mikrospora kecubung gunung secara kualitatif ?
C. Tujuan penelitian
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini untuk mengembangkan obat
tradisional dari tumbuhan asli Indonesia, sedangkan tujuan khusus dari penelitian
ini sebagai berikut:
1.
Mengetahui pengaruh perlakuan stres dan penambahan kolkisin terhadap
kemampuan induksi mikrospora kecubung gunung menjadi embriogenik.
2.
Mengetahui pengaruh pemberian MeJA terhadap pembelahan inti sel
mikrospora embriogenik kecubung gunung.
5
3.
Mengetahui pengaruh pemberian senyawa MeJA terhadap profil kandungan
senyawa alkaloid hasil kultur mikrospora kecubung gunung melalui metode
KLT secara kualitatif.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Tanaman Brugmansia candida Pers.
Brugmansia candida Pers. merupakan tumbuhan yang berasal dari
Amerika Selatan. Di Indonesia, tumbuhan ini biasa disebut sebagai kecubung
gunung atau bunga terompet. Kecubung gunung banyak ditanam sebagai
tumbuhan pagar dan tumbuhan hias. Tumbuhan ini dapat ditemukan di tepi jurang
atau di daerah yang lembab dengan ketinggian 700-2100 mdpl (Pitojo, 2002).
Klasifikasi kecubung gunung dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Anak Kelas
: Asteridae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Solanaceae
Marga
: Brugmansia
Jenis
: Brugmansia candida Pers.
(Van Steenis, 2003)
Kecubung gunung merupakan tumbuhan perdu kuat, tegak, dengan tinggi
berkisar 2-5 meter. Ujung rantingnya berambut pendek dan sangat rapat. Helaian
6
daun bulat telur atau lanset dengan pangkal daun tumpul atau runcing. Panjang
daun sekitar 2-35 cm dan lebar 4-17 cm. Bunga berdiri sendiri dengan kelopak
bunga berwarna hijau, berbentuk tabung atau terompet rangkap. Tabung kelopak
bunga silindris, berusuk lemah, bersudut 5, bertaju meruncing panjang. Buah buni
berbentuk memanjang antara 9-14 cm, tidak berduri tempel, dan berambut halus
rapat. Biji berkulit tebal serupa gabus (Pitojo, 2002).
Gambar 1. Bunga kecubung gunung
Kandungan kimia dalam kecubung gunung adalah senyawa alkaloid,
derivat kafein, kumarin, dan flavonoid (Wagner & Bladt, 1996). Menurut Yamada
(1994) dan Marconi dkk. (2008), kandungan utama alkaloid tropan pada kecubung
gunung yang berupa skopolamin dan hiosiamin mempunyai khasiat sebagai
antikolinergik dan antispasmodik untuk pengobatan mabuk perjalanan.
2.
Induksi Embriogenesis Mikrospora
Mikrospora adalah sel tunggal yang merupakan prekursor gamet jantan
pada tumbuhan dan dapat berkembang menjadi serbuk sari yang tersimpan dalam
7
anther. Pada perkembangan normal gametofit tumbuhan berbunga, mikrospora
telah diprogram untuk berdiferensiasi menjadi serbuk sari dan menghasilkan 2 sel
sperma. Namun di bawah kondisi khusus, perkembangannya dapat dihambat dan
dibelokkan ke arah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan tumbuhan
haploid melalui jalur embriogenesis atau yang biasa disebut androgenesis (Silva,
2012).
Jalur embriogenesis dapat dilakukan melalui kultur mikrospora atau kultur
kepala sari. Namun untuk analisis perkembangan sporofitik pada serbuk sari,
kultur mikrospora lebih unggul dibandingkan dengan kultur kepala sari karena
tidak adanya pengaruh dari jaringan somatik kepala sari. Secara umum kelebihan
kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur kepala sari adalah:
a.
Tidak tergantung pada genotip
b.
Semua mikrospora mendapat nutrisi yang sama
c.
Kemungkinan kontaminasi oleh jaringan somatik dan sel-sel diploid dari
dinding kepala sari dapat hilangkan
d.
Perkembangan mikrospora dapat diamati secara langsung
e.
Mikrospora dapat dikulturkan sebagai sel tunggal
f.
Memudahkan proses manipulasi genetik
g.
Mikrospora dapat berkembang langsung menjadi embrio dan plantlet
(Silva, 2012)
Kultur mikrospora merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan
tanaman yang menggunakan mikrospora dari kepala sari tumbuhan tertentu untuk
8
ditumbuhkan dalam suatu medium pertumbuhan melalui kondisi aseptis (Silva,
2012)
Ada beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan dalam induksi
embriogenesis melalui kultur mikrospora untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Faktor-faktor
ekstra
dan intraselular
sangat
berpengaruh
pada
induksi
embriogenesis. Berikut ini beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan:
a.
Kondisi fisiologis tumbuhan donor
Faktor lingkungan seperti lamanya penyinaran, intensitas sinar, temperatur
dan nutrisi sangat mempengaruhi vigor dari tumbuhan donor dan kualitas dari
mikrospora yang dihasilkan (Silva, 2012).
b.
Stadium perkembangan mikrospora
Stadium perkembangan mikrospora biasanya bervariasi pada setiap
tumbuhan. Namun untuk induksi androgenesis, mikrospora yang biasa digunakan
adalah mikrospora pada stadium uni-nukleat akhir atau bi-nukleat awal.
Stadium uni-nukleat perkembangan mikrospora pada kelapa sawit dibagi
menjadi beberapa fase:
1) Uni-nukleat sangat awal, dicirikan dengan inti mikrospora di tengah,
dinding vakuola sangat tipis, dan tidak memiliki vakuola
2) Uni-nukleat awal, dicirikan dengan inti mikrospora di tengah, dinding
vakuola yang semakin kuat, dan vakuola kecil berbentuk sferik
3) Uni-nukleat tengah awal, dicirikan dengan sebagian besar inti
mikrospora di tengah dan sebagian kecil di tepi, serta vakuola besar
9
4) Uni-nukleat tengah, dicirikan dengan sebagian besar inti mikrospora
di tengah dan sebagian kecil di tepi, serta vakuola yang berukuran dua
kali lipat dari vakuola pada fase uni-nukleat tengah awal
5) Uni-nukleat akhir, dicirikan dengan inti mikrospora yang hampir
semuanya di tepi, dan vakuola besar berbentuk bulat telur
(Latif, 1991)
c.
Perlakuan stres
Perlakuan stres diperlukan untuk memicu perkembangan gametofitik ke
arah perkembangan sporofitik. Berbagai perlakuan stres terbukti telah berhasil
menginduksi mikrospora menjadi embriogenik dengan frekuensi yang cukup
tinggi, antara lain: cold shock, heat shock, starvasi nitrogen dan karbohidrat,
sentrifugasi, serta penambahan agen penghambat pembentukan mikrotubula
(misal: kolkisin). Beberapa perlakuan seperti radiasi sinar-γ, pH tinggi, etanol, dan
logam berat juga dapat diberikan untuk menginduksi stres. Namun, perlakuan ini
masih jarang digunakan (Silva, 2012).
d.
Medium kultur
Medium untuk kultur kepala sari dan mikrospora bukan merupakan faktor
yang kritis pada induksi embriogenesis. Mikrospora dari beberapa jenis tumbuhan
dapat diinduksi menjadi embriogenik dengan mengkulturkan pada medium
sederhana yang hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin,
myo-inositol, dan gula. Medium yang banyak digunakan untuk kultur mikrospora
10
diantaranya adalah medium N6, Nitsch & Nitsch, MS and B5 (Chu, 1978; Nitsch
& Nitsch, 1969; Murashige & Skoog, 1962; Gamborg dkk., 1968).
Gambar 2. Perkembangan kultur mikrospora
Constantine dkk. (1979) menjelaskan bahwa pembelahan embriogenik
pertama melalui jalur sporofitik dapat terjadi secara simetrik atau asimetrik
melalui 3 jalur:
a.
Jalur A, merupakan jalur pembelahan asimetrik yang menghasilkan struktur
yang tampak seperti tipe serbuk sari pada umumnya. Umumnya, serbuk sari
terdiri dari sel generatif yang berukuran lebih kecil dan sel vegetatif yang
berukuran lebih besar. Sel vegetatif membelah menghasilkan prekursor
embriogenik sedangkan sel generatif mengalami degenerasi. Jalur ini
memiliki variasi yang ditemukan pada Hyocyamus niger yang ditunjukkan
11
dengan membelahnya sel generatif secara berulang-ulang ketika masih
melekat pada dinding serbuk sari sebelah dalam, dan menghasilkan
proembrio. Hal ini menunjukkan bahwa sel generatif juga mampu membelah
secara independen untuk menghasilkan embrioid atau sel induk kalus.
b.
Jalur B, merupakan pembelahan simetrik yang menghasilkan suatu struktur
dengan dua inti sel yang sepadan.
c.
Jalur C, terjadi ketika ada fusi antara inti sel generatif dengan inti sel vegetatif
dan menghasilkan prekursor embrio non-haploid.
Gambar 3. Jalur sporofitik pembelahan sel mikrospora
3.
Kolkisin
Kolkisin merupakan suatu senyawa alkaloid dari tumbuhan Colchicum
autumnale L. yang memiliki rumus kimia C22H25O6N (BM 399,44 g/ml).
12
Senyawa tersebut mudah larut dalam air dan biasa digunakan dalam konsentrasi
rendah (Anonim, 2012).
CH3
O
O
N
H
CH3 O
CH3
O
CH3
O
O
CH3
Gambar 4. Struktur kolkisin
Menurut Hassawi & Liang (1991), kolkisin merupakan agen pengganda
kromosom yang banyak dimanfaatkan dalam kultur jaringan tanaman. Kolkisin
bekerja dengan mengganggu pembentukan benang spindel pada proses mitosis.
Kolkisin akan terikat pada tubulin, protein subunit dari mikrotubul, sehingga
menghambat pembentukan mikrotubul dan migrasi polar dari kromosom. Akibat
mekanisme tersebut, jumlah kromosom dalam sel menjadi dua kali lipatnya
(Levan, 1938).
Penggunaan kolkisin pada umumnya dapat dilakukan dengan mencelupkan
seluruh tumbuhan selama beberapa jam dalam larutan encer kolkisin (Jensen,
1974). Namun dengan cara tersebut, tingkat mortalitasnya menjadi sangat tinggi
dan agak rumit penggunaannya (Chen dkk., 1994). Penggunaan kolkisin dengan
menambahkannya pada medium kultur dianggap lebih efektif karena dapat
mengurangi tingkat mortalitas dan dapat menghasilkan tumbuhan fertil hingga
sekitar 70% (Barnabás dkk., 1991; Mentewab & Sarrafi, 1997). Umumnya
kolkisin dapat bekerja secara efektif pada konsentrasi 0,01-1% untuk jangka
13
waktu 6-72 jam, namun pada setiap jenis tumbuhan akan memberikan respon
yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo, 1995).
4.
Asam Metil Jasmonat (MeJA)
Elisitasi adalah salah satu metode yang telah banyak dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi metabolit sekunder pada tumbuhan. Penggunaan elisitor
pada tumbuhan diketahui dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi dan
respon pertahanan yang melibatkan ekspresi gen yang terkait dengan produksi
metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005).
Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu contoh elisitor abiotik
yang secara umum terdapat pada tumbuhan sebagai hormon stres yang berperan
dalam sistem pertahanan ketika ada perlukaan atau serangan herbivora (Major &
Constabel, 1999). MeJA diketahui tetap dapat memberikan respon yang sama
pada tumbuhan meskipun diaplikasikan secara eksogen (Kolewe dkk., 2008).
O
O
O
Gambar 5. Struktur asam metil jasmonat
Mekanisme MeJA dalam menginduksi respon pertahanan pada tumbuhan
diawali dengan adanya interaksi antara elisitor dengan suatu reseptor yang terletak
pada membran plasma atau sitosol sel tumbuhan (Zhao dkk., 2005). Proses ini
14
dapat menginduksi aktivasi efektor dan transduksi sinyal terkait dengan respon
pertahanan dan biosintesis metabolit sekunder (Thomma dkk., 1998). Selain
sebagai elisitor, MeJA juga memiliki beberapa fungsi sebagai regulator
pertumbuhan
dan
perkembangan
pada
tumbuhan
yang
mempengaruhi
perkembangan bunga dan buah, perkembangan vegetatif, perkembangan akar,
serta perkembangan gamet jantan (Creelman & Mullet, 1997)
5.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan campuran
senyawa yang menggunakan fase diam berupa lapisan penjerap yang dilapiskan di
atas permukaan bidang datar seperti lempengan kaca, lempengan aluminum, atau
lempengan plastik (Gandjar & Rohman, 2007). Fase gerak yang digunakan
biasanya berupa larutan pengembang dalam suatu bejana. Senyawa campuran
yang akan dipisahkan ditotolkan pada fase diam dan dielusi menggunakan fase
gerak dalam bejana yang sudah dijenuhkan sebelumnya (Stahl, 1985).
Deteksi senyawa yang dipisahkan dengan KLT dapat dilakukan secara
fisika, kimia, dan biologi. Secara fisika dapat dilakukan dengan bantuan radioaktif
atau dengan sinar ultraviolet. Secara kimia dilakukan dengan mereaksikan bercak
hasil elusi menggunakan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan (Gandjar &
Rohman, 2007).
15
KLT dapat digunakan untuk identifikasi senyawa secara kualitatif dengan
cara menghitung harga Rf yang didapatkan dari perbandingan jarak elusi bercak
sampel dengan jarak elusi.
Rf =
Jarak bercak
Jarak elusi
Dua senyawa dikatakan sama jika memiliki nilai Rf yang sama jika diukur pada
kondisi yang sama. Nilai Rf dipengaruhi oleh kelembaban zat penjerap,
penjenuhan bejana kromatografi, suhu, pH fase diam, ukuran sampel dan
parameter pelarut (Gandjar & Rohman, 2007).
6.
Alkaloid
a.
Pengertian Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder tumbuhan berupa basa organik
yang mengandung atom N yang sebagian besar merupakan bagian dari cincin
heterosiklik. Alkaloid pada umumnya bersifat basa (Dewick, 2002). Sebagian
besar alkaloid mempunyai aktivitas biologis tertentu, namun beberapa dilaporkan
memiliki sifat beracun (Lenny, 2006).
Keberadaan alkaloid pada tumbuhan merupakan bentuk perlindungan diri
dari serangga dan herbivora karena sifatnya yang beracun. Alkaloid juga berfungsi
sebagai faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan yang mampu
menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tumbuhan (Wink,
2008).
16
b.
Penggolongan Alkaloid
Alkaloid dapat digolongkan berdasarkan jenis cincin heterosiklik
nitrogennya menjadi 14 golongan alkaloid, yaitu pirol atau pirolidin, norlupinan,
pirolizidin, indol, piridin atau piperidin, indolizidin, tropan, imidazol, quinolin,
purin, isoquinolin, steroid, aphorphin, dan terpenoid (Lenny, 2006).
c.
Alkaloid Tropan
Alkaloid tropan adalah alkaloid yang mengandung inti tropan dalam
struktur kimianya.
N
CH3
H
O
O
CH2OH
Gambar 6. Struktur alkaloid tropan berupa hiosiamin
Alkaloid tropan banyak ditemukan pada familia yang berbeda, seperti
euphorbiaceae, erythroxylaceae, protaceae dan lain-lain, tetapi lebih banyak
ditemukan
pada
familia
solanaceae.
Beberapa
contoh
tumbuhan
yang
mengandung alkaloid tropan diantaranya ada pada tumbuhan dengan genus
Datura, Brugmansia, Atropa, dan Scopolia.
E. Landasan Teori
Kultur
mikrospora
sudah
dikenal
dengan
kemampuannya
untuk
menghasilkan tumbuhan haploid melalui jalur embriogenesis pada berbagai jenis
tumbuhan. Metode ini pertama kali dikenalkan oleh Guha & Maheshwari (1964,
17
1967) yang berhasil menghasilkan tumbuhan haploid melalui kultur kepala sari
pada tumbuhan Datura innoxia. Lalu pada tahun 1990, penelitian mengenai kultur
kepala sari semakin berkembang menuju kultur mikrospora.
Zhao dkk. (1996) menguji pengaruh kolkisin pada kepala sari dan
mikrospora embriogenik pada Brassica napus. Dari hasil penelitiannya diketahui
bahwa kolkisin dapat meningkatkan frekuensi induksi embriogenesis pada kultur
kepala sari dan mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang membelah
simetris. Kolkisin bekerja dengan menghambat penyusunan mikrotubul. Sebelum
pembelahan mitosis yang pertama, kolkisin akan menekan penyusunan
mikrotubula yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada posisinya di
perifer, sehingga pembelahan yang terjadi adalah pembelahan simetri.
Penggunaan elisitor asam jasmonat dan MeJA pada kultur jaringan
diketahui dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Penelitian Menke
dkk. (1999) menyebutkan bahwa pemberian MeJA 0,1 mM merupakan
konsentrasi optimum untuk elisitasi kultur akar Datura stamonium. Konsentrasi
tersebut mampu meningkatkan produksi alkaloid hiosiamin hingga 100%
dibandingkan dengan kontrol. Pauwels dkk. (2007) menyebutkan bahwa pada
kultur suspensi sel Arabidopsis thaliana, sebanyak 70% sel yang berada pada fase
G1 berhasil menuju fase G2 sebanyak 62% melalui pemberian MeJA selama 16
jam dengan konsentrasi 50 µM. Pada konsetrasi yang lebih tinggi, yaitu 200 µM,
perkembangan siklus sel justru dihambat.
18
Pengaruh pemberian kolkisin dan MeJA terhadap perkembangan sel dapat
diamati dengan mikroskop secara langsung dan dengan pengecatan terlebih
dahulu. Adanya perubahan bentuk dan pembelahan sel dapat mempengaruhi
produksi metabolit sekunder dari tumbuhan yang dikulturkan. Metode KLT dapat
digunakan untuk pemisahan dan identifikasi kandungan senyawa pada tumbuhan
(Stahl, 1985). Perbedaan metabolit sekunder yang dihasilkan dari kultur
mikrospora pada tumbuhan dapat diamati secara langsung melalui profil KLT
ekstraknya.
F. Hipotesis
1.
Mikrospora kecubung gunung dapat diinduksi menjadi embriogenik melalui
dengan pemberian perlakuan stres dan penambahan senyawa kolkisin.
2.
Pembelahan inti sel embriogenik mikrospora kecubung gunung dapat
ditingkatkan dengan pemberian MeJA.
3.
Profil kandungan senyawa alkaloid pada kultur mikrospora tumbuhan
kecubung gunung secara kualitatif dapat dipengaruhi oleh penambahan
senyawa MeJA.
Download