BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kultur mikrospora merupakan salah satu teknik kultur jaringan yang mulai banyak digunakan untuk produksi tumbuhan haploid melalui jalur embriogenesis. Menurut Maluszynski dkk. (2003), aplikasi kultur miksopora telah tercatat pada lebih dari 250 jenis tumbuhan yang sebagian besar dilakukan pada tumbuhan anggota suku Solanaceae. Brugmansia candida Pers. yang biasa dikenal sebagai kecubung gunung merupakan salah satu tumbuhan suku Solanaceae. Kecubung gunung pada umumnya hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias oleh masyarakat Indonesia karena masih banyak yang belum mengetahui manfaatnya untuk pengobatan. Adanya kandungan senyawa hiosiamin dan skopolamin dalam tumbuhan ini diketahui memiliki khasiat sebagai antikolinergik, antispasmodik dan obat mabuk perjalanan (Yamada, 1994; Marconi dkk., 2008). Kecubung gunung memiliki bentuk mikrospora yang berukuran cukup besar dan bentuk sel yang jelas, sehingga mudah untuk dilakukan pengamatan pertumbuhan selnya ketika dikulturkan. Induksi kultur mikrospora melalui jalur embriogenesis dapat dilakukan dengan pemberian perlakuan stres terhadap mikrospora yang umumnya berada pada stadium uni-nukleat akhir. Mikrospora yang seharusnya berkembang menjadi serbuk sari normal yang matang, dengan diberi perlakuan stres dapat berkembang menjadi embrio (Touraev & Herberle1 2 Bors, 1999). Perlakuan stres pada mikrospora dapat dilakukan melalui berbagai cara diantaranya dengan stres suhu (cold atau heat shock), starvasi nitrogen dan karbohidrat, sentrifugasi, maupun penggunaan agen penghambat mikrotubul seperti kolkisin (Silva, 2012). Stres suhu merupakan perlakuan yang paling umum digunakan dalam kultur mikrospora. Pada beberapa penelitian, induksi stres pada suhu rendah (cold shock) diketahui dapat menghasilkan mikrospora embriogenik yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan heat shock (Silva, 2012). Adanya bantuan sentrifugasi juga diketahui dapat meningkatkan jumlah mikrospora embriogenik dengan perkembangan yang seragam (Bhojwani & Radzan, 1996). Kolkisin merupakan senyawa alkaloid yang dapat menyebabkan mutasi gen, sehingga memicu terjadinya penggandaan kromosom pada sel tumbuhan. Menurut Möllers dkk. (1994), penambahan kolkisin pada kultur mikrospora juga diketahui dapat meningkatkan hasil induksi embriogenesis. Tumbuhan kecubung gunung dikenal memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder alkaloid, derivat kafein, kumarin, dan flavonoid (Wagner & Bladt, 1996). Menurut Yamada (1994), kandungan utama tumbuhan kecubung gunung adalah senyawa alkaloid yang berupa hiosiamin dan skopolamin. Kedua senyawa alkaloid tersebut merupakan senyawa yang sulit disintesis karena membutuhkan proses yang kompleks dan biaya tinggi, sehingga untuk mendapatkan senyawa tersebut biasanya masih dilakukan dengan cara ekstraksi langsung dari tumbuhan. 3 Kultur in vitro, misalnya kultur mikrospora, merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kedua senyawa tersebut. Metode ini diketahui mampu menghasilkan tanaman yang seragam dan lebih stabil tanpa adanya pengaruh musim. Adanya penambahan senyawa elisitor dalam kultur diketahui dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder hasil kultur. Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu jenis elisitor yang biasa ditambahkan dalam kultur jaringan tanaman (Zhao dkk., 2005). Selain sebagai elisitor, MeJA juga memiliki peran dalam proses perkembangan tumbuhan. Penggunaan MeJA dalam konsentrasi besar dapat menghambat pembelahan sel, namun dalam konsentrasi kecil justru dapat meningkatkan pembelahan sel (Creelman & Mullet, 1997). Untuk mengetahui pengaruh kultur mikrospora terhadap kandungan senyawa alkaloid hasil kultur, dapat dilakukan analisis dengan berbagai metode yang salah satunya adalah Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan campuran senyawa yang menggunakan fase diam berupa suatu lempengan sebagai penjerap dan fase gerak yang berupa larutan pengembang untuk mengelusi sampel dalam suatu bejana (Stahl, 1985). KLT dapat digunakan untuk identifikasi senyawa dengan cara menghitung harga Rf yang didapatkan dari perbandingan jarak elusi bercak sampel dengan jarak elusi (Gandjar & Rohman, 2007) Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian perlakuan stres, terutama senyawa kolkisin dan MeJA terhadap 4 kemampuan induksi kultur mikrospora kecubung gunung menjadi embriogenik, dan juga pengaruhnya terhadap profil kandungan senyawa alkaloid hasil kultur. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu: 1. Apakah mikrospora kecubung gunung dapat diinduksi menjadi embriogenik dengan pemberian perlakuan stres dan senyawa kolkisin ? 2. Apakah pemberian MeJA pada mikrospora embriogenik kecubung gunung dapat meningkatkan jumlah pembelahan inti sel ? 3. Apakah pemberian senyawa MeJA dapat mempengaruhi profil kandungan senyawa alkaloid pada kultur mikrospora kecubung gunung secara kualitatif ? C. Tujuan penelitian Tujuan umum dilakukannya penelitian ini untuk mengembangkan obat tradisional dari tumbuhan asli Indonesia, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh perlakuan stres dan penambahan kolkisin terhadap kemampuan induksi mikrospora kecubung gunung menjadi embriogenik. 2. Mengetahui pengaruh pemberian MeJA terhadap pembelahan inti sel mikrospora embriogenik kecubung gunung. 5 3. Mengetahui pengaruh pemberian senyawa MeJA terhadap profil kandungan senyawa alkaloid hasil kultur mikrospora kecubung gunung melalui metode KLT secara kualitatif. D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Brugmansia candida Pers. Brugmansia candida Pers. merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika Selatan. Di Indonesia, tumbuhan ini biasa disebut sebagai kecubung gunung atau bunga terompet. Kecubung gunung banyak ditanam sebagai tumbuhan pagar dan tumbuhan hias. Tumbuhan ini dapat ditemukan di tepi jurang atau di daerah yang lembab dengan ketinggian 700-2100 mdpl (Pitojo, 2002). Klasifikasi kecubung gunung dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Anak Kelas : Asteridae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Brugmansia Jenis : Brugmansia candida Pers. (Van Steenis, 2003) Kecubung gunung merupakan tumbuhan perdu kuat, tegak, dengan tinggi berkisar 2-5 meter. Ujung rantingnya berambut pendek dan sangat rapat. Helaian 6 daun bulat telur atau lanset dengan pangkal daun tumpul atau runcing. Panjang daun sekitar 2-35 cm dan lebar 4-17 cm. Bunga berdiri sendiri dengan kelopak bunga berwarna hijau, berbentuk tabung atau terompet rangkap. Tabung kelopak bunga silindris, berusuk lemah, bersudut 5, bertaju meruncing panjang. Buah buni berbentuk memanjang antara 9-14 cm, tidak berduri tempel, dan berambut halus rapat. Biji berkulit tebal serupa gabus (Pitojo, 2002). Gambar 1. Bunga kecubung gunung Kandungan kimia dalam kecubung gunung adalah senyawa alkaloid, derivat kafein, kumarin, dan flavonoid (Wagner & Bladt, 1996). Menurut Yamada (1994) dan Marconi dkk. (2008), kandungan utama alkaloid tropan pada kecubung gunung yang berupa skopolamin dan hiosiamin mempunyai khasiat sebagai antikolinergik dan antispasmodik untuk pengobatan mabuk perjalanan. 2. Induksi Embriogenesis Mikrospora Mikrospora adalah sel tunggal yang merupakan prekursor gamet jantan pada tumbuhan dan dapat berkembang menjadi serbuk sari yang tersimpan dalam 7 anther. Pada perkembangan normal gametofit tumbuhan berbunga, mikrospora telah diprogram untuk berdiferensiasi menjadi serbuk sari dan menghasilkan 2 sel sperma. Namun di bawah kondisi khusus, perkembangannya dapat dihambat dan dibelokkan ke arah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan tumbuhan haploid melalui jalur embriogenesis atau yang biasa disebut androgenesis (Silva, 2012). Jalur embriogenesis dapat dilakukan melalui kultur mikrospora atau kultur kepala sari. Namun untuk analisis perkembangan sporofitik pada serbuk sari, kultur mikrospora lebih unggul dibandingkan dengan kultur kepala sari karena tidak adanya pengaruh dari jaringan somatik kepala sari. Secara umum kelebihan kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur kepala sari adalah: a. Tidak tergantung pada genotip b. Semua mikrospora mendapat nutrisi yang sama c. Kemungkinan kontaminasi oleh jaringan somatik dan sel-sel diploid dari dinding kepala sari dapat hilangkan d. Perkembangan mikrospora dapat diamati secara langsung e. Mikrospora dapat dikulturkan sebagai sel tunggal f. Memudahkan proses manipulasi genetik g. Mikrospora dapat berkembang langsung menjadi embrio dan plantlet (Silva, 2012) Kultur mikrospora merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan tanaman yang menggunakan mikrospora dari kepala sari tumbuhan tertentu untuk 8 ditumbuhkan dalam suatu medium pertumbuhan melalui kondisi aseptis (Silva, 2012) Ada beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan dalam induksi embriogenesis melalui kultur mikrospora untuk mendapatkan hasil yang optimal. Faktor-faktor ekstra dan intraselular sangat berpengaruh pada induksi embriogenesis. Berikut ini beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan: a. Kondisi fisiologis tumbuhan donor Faktor lingkungan seperti lamanya penyinaran, intensitas sinar, temperatur dan nutrisi sangat mempengaruhi vigor dari tumbuhan donor dan kualitas dari mikrospora yang dihasilkan (Silva, 2012). b. Stadium perkembangan mikrospora Stadium perkembangan mikrospora biasanya bervariasi pada setiap tumbuhan. Namun untuk induksi androgenesis, mikrospora yang biasa digunakan adalah mikrospora pada stadium uni-nukleat akhir atau bi-nukleat awal. Stadium uni-nukleat perkembangan mikrospora pada kelapa sawit dibagi menjadi beberapa fase: 1) Uni-nukleat sangat awal, dicirikan dengan inti mikrospora di tengah, dinding vakuola sangat tipis, dan tidak memiliki vakuola 2) Uni-nukleat awal, dicirikan dengan inti mikrospora di tengah, dinding vakuola yang semakin kuat, dan vakuola kecil berbentuk sferik 3) Uni-nukleat tengah awal, dicirikan dengan sebagian besar inti mikrospora di tengah dan sebagian kecil di tepi, serta vakuola besar 9 4) Uni-nukleat tengah, dicirikan dengan sebagian besar inti mikrospora di tengah dan sebagian kecil di tepi, serta vakuola yang berukuran dua kali lipat dari vakuola pada fase uni-nukleat tengah awal 5) Uni-nukleat akhir, dicirikan dengan inti mikrospora yang hampir semuanya di tepi, dan vakuola besar berbentuk bulat telur (Latif, 1991) c. Perlakuan stres Perlakuan stres diperlukan untuk memicu perkembangan gametofitik ke arah perkembangan sporofitik. Berbagai perlakuan stres terbukti telah berhasil menginduksi mikrospora menjadi embriogenik dengan frekuensi yang cukup tinggi, antara lain: cold shock, heat shock, starvasi nitrogen dan karbohidrat, sentrifugasi, serta penambahan agen penghambat pembentukan mikrotubula (misal: kolkisin). Beberapa perlakuan seperti radiasi sinar-γ, pH tinggi, etanol, dan logam berat juga dapat diberikan untuk menginduksi stres. Namun, perlakuan ini masih jarang digunakan (Silva, 2012). d. Medium kultur Medium untuk kultur kepala sari dan mikrospora bukan merupakan faktor yang kritis pada induksi embriogenesis. Mikrospora dari beberapa jenis tumbuhan dapat diinduksi menjadi embriogenik dengan mengkulturkan pada medium sederhana yang hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin, myo-inositol, dan gula. Medium yang banyak digunakan untuk kultur mikrospora 10 diantaranya adalah medium N6, Nitsch & Nitsch, MS and B5 (Chu, 1978; Nitsch & Nitsch, 1969; Murashige & Skoog, 1962; Gamborg dkk., 1968). Gambar 2. Perkembangan kultur mikrospora Constantine dkk. (1979) menjelaskan bahwa pembelahan embriogenik pertama melalui jalur sporofitik dapat terjadi secara simetrik atau asimetrik melalui 3 jalur: a. Jalur A, merupakan jalur pembelahan asimetrik yang menghasilkan struktur yang tampak seperti tipe serbuk sari pada umumnya. Umumnya, serbuk sari terdiri dari sel generatif yang berukuran lebih kecil dan sel vegetatif yang berukuran lebih besar. Sel vegetatif membelah menghasilkan prekursor embriogenik sedangkan sel generatif mengalami degenerasi. Jalur ini memiliki variasi yang ditemukan pada Hyocyamus niger yang ditunjukkan 11 dengan membelahnya sel generatif secara berulang-ulang ketika masih melekat pada dinding serbuk sari sebelah dalam, dan menghasilkan proembrio. Hal ini menunjukkan bahwa sel generatif juga mampu membelah secara independen untuk menghasilkan embrioid atau sel induk kalus. b. Jalur B, merupakan pembelahan simetrik yang menghasilkan suatu struktur dengan dua inti sel yang sepadan. c. Jalur C, terjadi ketika ada fusi antara inti sel generatif dengan inti sel vegetatif dan menghasilkan prekursor embrio non-haploid. Gambar 3. Jalur sporofitik pembelahan sel mikrospora 3. Kolkisin Kolkisin merupakan suatu senyawa alkaloid dari tumbuhan Colchicum autumnale L. yang memiliki rumus kimia C22H25O6N (BM 399,44 g/ml). 12 Senyawa tersebut mudah larut dalam air dan biasa digunakan dalam konsentrasi rendah (Anonim, 2012). CH3 O O N H CH3 O CH3 O CH3 O O CH3 Gambar 4. Struktur kolkisin Menurut Hassawi & Liang (1991), kolkisin merupakan agen pengganda kromosom yang banyak dimanfaatkan dalam kultur jaringan tanaman. Kolkisin bekerja dengan mengganggu pembentukan benang spindel pada proses mitosis. Kolkisin akan terikat pada tubulin, protein subunit dari mikrotubul, sehingga menghambat pembentukan mikrotubul dan migrasi polar dari kromosom. Akibat mekanisme tersebut, jumlah kromosom dalam sel menjadi dua kali lipatnya (Levan, 1938). Penggunaan kolkisin pada umumnya dapat dilakukan dengan mencelupkan seluruh tumbuhan selama beberapa jam dalam larutan encer kolkisin (Jensen, 1974). Namun dengan cara tersebut, tingkat mortalitasnya menjadi sangat tinggi dan agak rumit penggunaannya (Chen dkk., 1994). Penggunaan kolkisin dengan menambahkannya pada medium kultur dianggap lebih efektif karena dapat mengurangi tingkat mortalitas dan dapat menghasilkan tumbuhan fertil hingga sekitar 70% (Barnabás dkk., 1991; Mentewab & Sarrafi, 1997). Umumnya kolkisin dapat bekerja secara efektif pada konsentrasi 0,01-1% untuk jangka 13 waktu 6-72 jam, namun pada setiap jenis tumbuhan akan memberikan respon yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo, 1995). 4. Asam Metil Jasmonat (MeJA) Elisitasi adalah salah satu metode yang telah banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder pada tumbuhan. Penggunaan elisitor pada tumbuhan diketahui dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi dan respon pertahanan yang melibatkan ekspresi gen yang terkait dengan produksi metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005). Asam metil jasmonat (MeJA) merupakan salah satu contoh elisitor abiotik yang secara umum terdapat pada tumbuhan sebagai hormon stres yang berperan dalam sistem pertahanan ketika ada perlukaan atau serangan herbivora (Major & Constabel, 1999). MeJA diketahui tetap dapat memberikan respon yang sama pada tumbuhan meskipun diaplikasikan secara eksogen (Kolewe dkk., 2008). O O O Gambar 5. Struktur asam metil jasmonat Mekanisme MeJA dalam menginduksi respon pertahanan pada tumbuhan diawali dengan adanya interaksi antara elisitor dengan suatu reseptor yang terletak pada membran plasma atau sitosol sel tumbuhan (Zhao dkk., 2005). Proses ini 14 dapat menginduksi aktivasi efektor dan transduksi sinyal terkait dengan respon pertahanan dan biosintesis metabolit sekunder (Thomma dkk., 1998). Selain sebagai elisitor, MeJA juga memiliki beberapa fungsi sebagai regulator pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan yang mempengaruhi perkembangan bunga dan buah, perkembangan vegetatif, perkembangan akar, serta perkembangan gamet jantan (Creelman & Mullet, 1997) 5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan campuran senyawa yang menggunakan fase diam berupa lapisan penjerap yang dilapiskan di atas permukaan bidang datar seperti lempengan kaca, lempengan aluminum, atau lempengan plastik (Gandjar & Rohman, 2007). Fase gerak yang digunakan biasanya berupa larutan pengembang dalam suatu bejana. Senyawa campuran yang akan dipisahkan ditotolkan pada fase diam dan dielusi menggunakan fase gerak dalam bejana yang sudah dijenuhkan sebelumnya (Stahl, 1985). Deteksi senyawa yang dipisahkan dengan KLT dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi. Secara fisika dapat dilakukan dengan bantuan radioaktif atau dengan sinar ultraviolet. Secara kimia dilakukan dengan mereaksikan bercak hasil elusi menggunakan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan (Gandjar & Rohman, 2007). 15 KLT dapat digunakan untuk identifikasi senyawa secara kualitatif dengan cara menghitung harga Rf yang didapatkan dari perbandingan jarak elusi bercak sampel dengan jarak elusi. Rf = Jarak bercak Jarak elusi Dua senyawa dikatakan sama jika memiliki nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama. Nilai Rf dipengaruhi oleh kelembaban zat penjerap, penjenuhan bejana kromatografi, suhu, pH fase diam, ukuran sampel dan parameter pelarut (Gandjar & Rohman, 2007). 6. Alkaloid a. Pengertian Alkaloid Alkaloid merupakan metabolit sekunder tumbuhan berupa basa organik yang mengandung atom N yang sebagian besar merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Alkaloid pada umumnya bersifat basa (Dewick, 2002). Sebagian besar alkaloid mempunyai aktivitas biologis tertentu, namun beberapa dilaporkan memiliki sifat beracun (Lenny, 2006). Keberadaan alkaloid pada tumbuhan merupakan bentuk perlindungan diri dari serangga dan herbivora karena sifatnya yang beracun. Alkaloid juga berfungsi sebagai faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan yang mampu menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tumbuhan (Wink, 2008). 16 b. Penggolongan Alkaloid Alkaloid dapat digolongkan berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogennya menjadi 14 golongan alkaloid, yaitu pirol atau pirolidin, norlupinan, pirolizidin, indol, piridin atau piperidin, indolizidin, tropan, imidazol, quinolin, purin, isoquinolin, steroid, aphorphin, dan terpenoid (Lenny, 2006). c. Alkaloid Tropan Alkaloid tropan adalah alkaloid yang mengandung inti tropan dalam struktur kimianya. N CH3 H O O CH2OH Gambar 6. Struktur alkaloid tropan berupa hiosiamin Alkaloid tropan banyak ditemukan pada familia yang berbeda, seperti euphorbiaceae, erythroxylaceae, protaceae dan lain-lain, tetapi lebih banyak ditemukan pada familia solanaceae. Beberapa contoh tumbuhan yang mengandung alkaloid tropan diantaranya ada pada tumbuhan dengan genus Datura, Brugmansia, Atropa, dan Scopolia. E. Landasan Teori Kultur mikrospora sudah dikenal dengan kemampuannya untuk menghasilkan tumbuhan haploid melalui jalur embriogenesis pada berbagai jenis tumbuhan. Metode ini pertama kali dikenalkan oleh Guha & Maheshwari (1964, 17 1967) yang berhasil menghasilkan tumbuhan haploid melalui kultur kepala sari pada tumbuhan Datura innoxia. Lalu pada tahun 1990, penelitian mengenai kultur kepala sari semakin berkembang menuju kultur mikrospora. Zhao dkk. (1996) menguji pengaruh kolkisin pada kepala sari dan mikrospora embriogenik pada Brassica napus. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa kolkisin dapat meningkatkan frekuensi induksi embriogenesis pada kultur kepala sari dan mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang membelah simetris. Kolkisin bekerja dengan menghambat penyusunan mikrotubul. Sebelum pembelahan mitosis yang pertama, kolkisin akan menekan penyusunan mikrotubula yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada posisinya di perifer, sehingga pembelahan yang terjadi adalah pembelahan simetri. Penggunaan elisitor asam jasmonat dan MeJA pada kultur jaringan diketahui dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Penelitian Menke dkk. (1999) menyebutkan bahwa pemberian MeJA 0,1 mM merupakan konsentrasi optimum untuk elisitasi kultur akar Datura stamonium. Konsentrasi tersebut mampu meningkatkan produksi alkaloid hiosiamin hingga 100% dibandingkan dengan kontrol. Pauwels dkk. (2007) menyebutkan bahwa pada kultur suspensi sel Arabidopsis thaliana, sebanyak 70% sel yang berada pada fase G1 berhasil menuju fase G2 sebanyak 62% melalui pemberian MeJA selama 16 jam dengan konsentrasi 50 µM. Pada konsetrasi yang lebih tinggi, yaitu 200 µM, perkembangan siklus sel justru dihambat. 18 Pengaruh pemberian kolkisin dan MeJA terhadap perkembangan sel dapat diamati dengan mikroskop secara langsung dan dengan pengecatan terlebih dahulu. Adanya perubahan bentuk dan pembelahan sel dapat mempengaruhi produksi metabolit sekunder dari tumbuhan yang dikulturkan. Metode KLT dapat digunakan untuk pemisahan dan identifikasi kandungan senyawa pada tumbuhan (Stahl, 1985). Perbedaan metabolit sekunder yang dihasilkan dari kultur mikrospora pada tumbuhan dapat diamati secara langsung melalui profil KLT ekstraknya. F. Hipotesis 1. Mikrospora kecubung gunung dapat diinduksi menjadi embriogenik melalui dengan pemberian perlakuan stres dan penambahan senyawa kolkisin. 2. Pembelahan inti sel embriogenik mikrospora kecubung gunung dapat ditingkatkan dengan pemberian MeJA. 3. Profil kandungan senyawa alkaloid pada kultur mikrospora tumbuhan kecubung gunung secara kualitatif dapat dipengaruhi oleh penambahan senyawa MeJA.