ISPA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang diadopsi dari
ARI (Acute Respiratory Infection) dan diperkenalkan pada tahun 1984dalam
lokakarya nasional ISPA di Cipanas (Depkes RI, 1998).
Menurut Depkes (1998), istilah ISPA meliputi tiga unsur, yaitu:
1.
Infeksi
Adalah masuk dan berkembangbiaknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
jaringan tubuh manusia sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.
Saluran pernapasan
Adalah organ tubuh yang dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
3.
Infeksi Akut
Adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut. Dengan demikian ISPA adalah infeksi
saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis
tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan
tidak lebih dari 14 hari.
2.1.2 Klasifikasi ISPA
WHO
(2002)
mengklasifikasikan
ISPA
menjadi
2
bagian
berdasarkanlokasianatomik, yaitu:
1.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPaA), yaitu infeksi
yangmenyerang hidung sampai epiglotis, misalnya rhinitis akut, faringitis akut,
sinusitisakut dan sebagainya.
2.
Infeksi Saluran Pernafasan
Akut bagian
Bawah (ISPbA),
dinamakan
sesuaidengan organ saluran pernafasan mulai dari bagian epiglotis sampaialveoli paru
misalnya laringitis, trakhetis, bronkhitis akut, pneumonia dan sebagainya.
Depkes
(2007)melalui
ProgramPemberantasan
ISPA
(P2-
ISPA),mengklasifikasikan ISPA berdasarkan kelompok umur sebagai berikut:
1.
Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat :Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) :Bila tidak ditemukan tanda tarikan
kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
2.
Kelompok umur 2 bulan -<5 tahun diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat : Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam.
b. Pneumonia :Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 –
<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.
c. Bukan pneumonia : Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per
menit padaanak umur 2 – <12 bulan dan kurang dari 40 kali permenit 12
bulan – <5 tahun.
2.1.3 Faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes (2004) faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas dua
kelompok yaitu:
1.
Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita (balita) yang
memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA yang meliputi
jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status ASI, dan status imunisasi.
2.
Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri penderita
(balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang memudahkan
penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent) meliputi polusi asap rokok, polusi
asap dapur, kepadatan tempat tinggal, keadaan geografis, ventilasi dan
pencahayaan.
2.1.4 Penularan ISPA
Penyakit ISPA termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkanmelalui
udara (air borne disease). Penularan dapat terjadi secara langsung, yaitu saat
penderita ISPA menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk, bersin, atau berbicara
kepada orang di sekitar penderita dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara
terpenting masuknya kuman penyebab ISPA kedalam saluran pernapasan yaitu
bersama udara yang dihirup. Penularan juga dapat terjadi dengan cara penularan tidak
langsung yaitu bila memegang/menggunakan benda yang telah terkena sekresi
saluran pernapasan penderita (Azwar, 1985).
2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA
Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan
gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan
demam (Depkes RI, 2007).
1.
Gejala dari ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu ataulebih
gejala-gejala sebagai berikut :
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C
2.
Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dariISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur, yaitu untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok
umur 2 bulan sampai<5 tahun frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2
sampai<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan sampai
<5 tahun.
b. Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer)
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
3.
Gejala dari ISPA Berat
`
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA
ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Tenggorokan berwarna merah
2.2
Status Gizi
2.2.1 Pengertian Status Gizi
Menurut Supariasa (2002), status gizi adalah tingkat keseimbangan antara
konsumsi dan penyerapan zatgizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan
fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Berbeda dengan
Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuranukuran gizi tertentu.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi
Soekirman (2000) mengutarakan bahwa status gizi seorang anak pada
umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktorsebagai berikut :
1.
Penyebab langsung, yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya.Begitu juga
sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti
lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya.
2.
Penyebab tidak langsungterdiri dari:
a. Ketahanan pangan di keluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari
hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan
daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
b. Pola pengasuhan anak, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain
dalam hal pendekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,
kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Secara keseluruhan,
berhubungandengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental),
status gizi,pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan yang baik,
perandalamkeluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat
kebiasaankeluarga dan masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh
anak.
c. Akses atau keterjangkauan terhadap air bersih danpelayanan kesehatan yang
baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,pertolongan persalinan,
penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan giziserta sarana kesehatan yang
baik seperi posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter,dan rumah sakit.
Makin tersedia air bersih yang cukup untukkeluarga serta makin dekat
jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan saranakesehatan, ditambah
dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, semakin kecilresiko anak terkena
penyakit dan kekurangan gizi.
2.2.3 Penilaian Status Gizi
Metode dalam Penilaian Status Gizi dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
1.
Penilaian secara langsung yang terdiri dari pemeriksaan tanda-tanda klinis, tes
laboratorium, metode biofisik, dan antropometri.
2.
Penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut dengan penilaian
status gizi tidak langsung.
3.
Penilaian dengan melihat variabel ekologi (Hartriyanti, 2007).
Pengukuran antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak
dilakukan dengan beberapa macam pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, tebal lemak, dan sebagainya.
Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan
sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Hasilnya
kemudian dibandingkan dengan suatu standar internasional yang ditetapkan oleh
WHO.
Ada 3 indikator pengukuran dalam menentukan status gizi, yaitu BB/U, TB/U
atau PB/U, dan BB/TB. Indikator BB/U menggambarkan secara sensitif status gizi
saat ini (saat diukur) karena mudah berubah namun tidak spesifik karena BB
dipengaruhi TB selain U. Indikator TB/U atau PB/U menggambarkan status gizi masa
lalu. Indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini.
Indikator pengukuran yang terbaik dilakukan adalah BB/TB (Soekirman, 2000).
Terdapat
beberapa
kategori
status
gizi
untuk
menilai
status
gizi
menurutindikator yang digunakan dan batas-batasnya, seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1. Kategori Status Gizi berdasarkan indikator yang digunakan
Indikator
Status Gizi
Keterangan
BB/U
Gizi Lebih
> +2 SD
Gizi Baik
≥ -2 SD s/d +2 SD
Gizi Kurang
< -2 SD s/d ≥ -3 SD
Gizi Buruk
< -3 SD
TB/U
Normal
≥ -2 SD s/d +2 SD
Pendek
< -2 SD
BB/TB
Gemuk
> +2 SD
Normal
≥ -2 SD s/d +2 SD
Kurus
< -2 SD s/d ≥ -3 SD
Kurus Sekali
< -3 SD
Sumber: Depkes RI, 2002
2.2.4 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Baduta
Masa baduta adalah masa kritis dalam kesehatan dan masa emas dalam
pertumbuhan otak. Namun, usia baduta juga merupakan usia yang rentan terhadap
penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian besar penyebab kesakitan
dan kematian tersebut dikarenakan penyakit seperti ISPA, diare, malaria, campak,
dan malnutrisi (Cicih, 2011).
Gizi kurang terutama kurang energi, vitamin A, Zn, dan Fe menyebabkan
masa bayi dan masa dini anak-anak sering kali mendapat penyakit infeksi. Infeksi
yang diderita pada masa dini anak-anak dan pertumbuhan yang kurang memadai
berlanjut ke masa anak-anak sekolah (Hartriyanti, 2007).
Keadaan gizi kurang dan penyakit infeksi merupakan lingkaran sebab dan
akibat, maka untuk menurunkan penyakit infeksi, seperti ISPA, keadaan gizi perlu
ditingkatkan (Singarimbun, 1988).
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untukterjadinya penyakit infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai
cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi
menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan
tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penurunan
zatantibodi akan mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk ke dalam dinding
usus. Dinding usus dapat mengalami kemunduran dan dapat juga mengganggu
produksi berbagai enzim untuk pencernaan makanan. Makanan tidak dapat dicerna
dengan baik berarti penyerapan zat gizi akan mengalami gangguan, sehingga
dapatmemperburuk keadaan gizi. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi
sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari
terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi (Moehji, 1988).
Penelitian yang dilakukan oleh Rosalina (2008), didapatkan hasil bahwa anak
balita yang menderita infeksi saluranpernapasan akut kemungkinan 6,5 kali status
gizinya kurang dibandingkan dengananak balita yang tidak menderita infeksi saluran
pernapasan akut. Dalam penelitian ini proporsi anakbalita yang status gizinya kurang
secara bermakna proporsinya lebih tinggi padakasus (73,4%) dibandingkan dengan
kontrol (29,8%).
2.3
Pemberian ASI
2.3.1 PengertianASI
ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih
dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi
kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan).
ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan
tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi
sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan
tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap
usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi Proses
pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal
ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi
anak lebih mudah terserang penyakit infeksi (Depkes RI, 2004).
2.3.2 ASI Eksklusif
ASI eksklusif atau tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya
diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh,
air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan setidaknya selama 4
bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus
mulai diperkenalkan dengan makanan padat sedangkan ASI dapat diberikan sampai
bayi berusia 2 tahun atau lebih (Roesli, 2000).
Dalam deklarasi Innoceti tentang perlindungan, promosi dan dukungan pada
pemberian ASI antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1991, pemberian
makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir
hingga usia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupannya.
Makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia sekitar 6 bulan.
Selanjutnya, WHO menyelenggarakan konvensi Expert Panel Meeting yang
meninjau lebih dari 3000 makalah riset dan menyimpulkan bahwa periode 6 bulan
merupakan usia bayi yang optimal untuk pemberian ASI eksklusif (Gibney, 2008).
2.3.3 Makanan Pendamping ASI
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan
kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari
ASI. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat
pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2004).
MP-ASI merupakan peralihan asupan yang semata berbasis susu menuju ke
makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik
oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Depkes RI,2000).
Adapun waktu yang baik dalam memulai pemberian MP-ASI pada bayi
adalah umur 6 bulan. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum umur
tersebut akan menimbulkan risiko sebagai berikut :
1.
Rusaknya sistem pencernaan karena perkembangan usus bayi dan pembentukan
enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan memerlukan waktu 6 bulan. Sebelum
sampai usia ini, ginjal belum cukup berkembang untuk dapat menguraikan sisa
yang dihasilkan oleh makanan padat.
2.
Tersedak
disebabkan
sampai
usia
6
bulan,
koordinasi
syaraf
otot
(neuromuscular) bayi belum cukup berkembang untuk mengendalikan gerak
kepala dan leher ketika duduk dikursi. Jadi, bayi masih sulit menelan makanan
dengan menggerakan makanan dari bagian depan ke bagian belakang mulutnya,
karena gerakan ini melibatkan susunan refleks yang berbeda dengan minum
susu.
3.
Meningkatkan resiko terjadinya alergi seperti asma, demam tinggi , penyakit
seliak atau alergi gluten (protein dalam gandum).
4.
Batuk. Penelitian bangsa Scotlandia adanya hubungan antara pengenalan
makanan pada umur 4 bulan dengan batuk yang berkesinambungan.
5.
Obesitas. Penelitian telah menghubungkan pemberian makanan yang berlebih di
awal masa perkenalan dengan obesitas dan peningkatan resiko timbulnya kanker,
diabetes dan penyakit jantung di usia lanjut (Lewis, 2003).
2.3.3 Hubungan Pemberian ASI dengan kejadian ISPA
Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari
ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran
bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum
dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi
membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi
kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila
bayi diberi ASI (Roesli, 2005).
Pemberiaan MP-ASI yang terlalu dini dapat menyebabkan penurunan
produksi ASI. Karena insting bayi untuk mengisap akan menurun sehingga jumlah
ASI yang dikonsumsi juga menurun sehingga kebutuhan bayi tidak tercukupi.
Kekurangan gizi banyak terjadi karena pemberian MP-ASI yang terlalu dini. Selain
itu dapat menyebabkan ganguan pencernaan karena lambung dan usus belum
berfungi secara sempurna sehingga bayi menderita diare, yang apabila terus berlanjut
dapat berakibat buruk berupa status gizi yang kurang atau buruk bahkan tidak jarang
menyebabkan kematian. Kekurangan gizi menyebabkan bayi mudah terserang
penyakit infeksi (Depkes RI, 2002).
MP-ASI dini dan makanan pralaktal akan berisiko diare dan ISPA pada bayi.
Dengan terjadinya infeksi tubuh akan mengalami demam sehingga kebutuhan zat gizi
dan energi semakin meningkat sedangkan asupan makanan akan menurun yang
berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Pada suatu penelitian di Brazil Selatan
bayi-bayi yang diberi MP-ASI dini mempunyai kemungkinan meninggal karena
mencret 14,2 kali lebih banyak daripada bayi ASI eksklusif (Roesli, 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rosalina (2008), didapat hasil
bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 13,8 kali tidak mendapat
ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran
pernapasan akut. Dalam penelitian tersebut, proporsi kasus 80,9% dan kontrol 23,4%.
2.4
Status Imunisasi
2.4.1 PengertianImunisasi
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan
kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari beberapa jenis
penyakit infeksi bahkan dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit
tersebut. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir
sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan.
(Depkes RI, 2005).
Pada prinsipnya, imunisasi terhadap suatu jenis penyakit dilakukan dengan
cara pemberian vaksin yang terbuat dari sejumlah kecil bakteri atau virus yang justru
menjadi penyebab penyakit tersebut. Tubuh yang mendapatkan vaksin tersebut akan
mengalami rangsangan untuk membentuk antibodi yang memberikan efek kekebalan
terhadap penyakit tertentu (Triton, 2006). Pembuatan vaksin bisa berasal dari bibit
penyakit hidup yang dilemahkan, ada juga yang dibuat dari toksin (racun) yang
dihasilkan oleh bakteri yang kemudian dirubah menjadi toksoid sehingga tidak
berbahaya bagi manusia (Sukarmin, 2009).
Pentingnya
pemberian
imunisasi didasarkan
pada
pemikiran
bahwa
pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan
anak danpada awal kehidupan, anak belum mempunyai kekebalan sendiri (humoral),
hanya immunoglobulin G yang didapatnya dari ibu. Setelah usia 2 sampai 3 tahun,
anak akan membentuk immunoglobulin G sendiri, sedangkan immunoglobulin A dan
M sejak lahir mulai diproduksi dan dengan bertambahnya usia anak maka akan
meningkat produksinya. Dengan demikian, pada tahun pertama anak perlu mendapat
kekebalan yang didapat melalui pemberian imunisasi (Supartini, 2004).
Menurut Supartini (2004), ada dua jenis klasifikasi imunisasi, yaitu:
1.
Imunisasi pasif
Imunisasi pasif terbagi atas dua klasifikasi, yaitu menurut terbentuknya dan
menurut lokasi dalam tubuh.
a. Menurut terbentuknya
Ada dua kategori menurut klasifikasi ini, yaitu imunisasi pasif bawaan
(passive congenital) dan pasif didapat (passive acquired). Imunisasi pasif
adalahpemberian antibodi yang berasal dari hewan ataumanusiakepada
manusialain dengan tujuan memberi perlindungan terhadap penyakit infeksi
yangbersifat sementara karena kadar antibodi akanberkurang setelah
beberapa minggu atau bulan (Depkes RI, 2000). Imunisasi pasif bawaan
terdapat padaneonatus sampai dengan usia enam bulan, yang didapat dari ibu
berupa antibodi melalui vaskularisai pada plasenta, misalnya difteri, tetanus,
campak dan dapat melindungi bayi dari penyakit tertentu sampai usia 12
bulan. Imunisasi pasif didapat (passive acquired immunity) didapat dari luar,
misalnya gama globulin murni dari darah yang menderita penyakit tertentu
(misalnya campak, tetanus, gigitan ular berbisa, rabies).Umumnya imunisasi
ini berupa serum dan pemberian serum ini menimbulkan efek samping berupa
reaksi atopik, anafilatik, dan alergi. Oleh karena itu, perlu dilakukan skin test
sebelumnya.
b. Menurut lokalisasi dalam tubuh
Menurut lokalisasinya, ada dua macam jenis imunisasi, yaitu berasal humoral
dan seluler. Imunisasi humoral (humoral immunity) terdapat dalam
immunoglobulin (Ig), yaitu Ig G, A, dan M. Imunisasi seluler terdiri atas
fagositosis oleh sel-sel sistem retikuloendotelial. Pada dasarnya, imunisasi
seluler berhubungan dengan kemampuan sel tubuh untuk menolak benda
asing dan dapat ditunjukkan dengan adanya alergi kulit terhadap benda asing.
2.
Imunisasi aktif
Imunisasi aktif dapat terjadi apabila terjadi stimulus “sistem imunitas” yang
menghasilkan antibodi dan kekebalan seluler dan bertahan lama dibanding
kekebalan pasif (Depkes RI, 2000). Ada dua imunisasi aktif, yaitu imunisasi
aktif alami dan imunisasi aktif buatan. Imunisasi yang didapat secara alami
(naturally acquired) terjadi bila seseorang menderita suatu penyakit, apabila
sembuh, ia akan kebal terhadap penyakit tersebut. Paparan penyakit terhadap
sistem kekebalan (sel limfosit) tersebut akan beredar dalam darah dan apabila
suatu ketika terpapar lagi pada antigen yang sama, sel limfosit akan
memproduksiantibodiuntuk
mengembalikan
kekuatan
imunitas
terhadap
penyakit tersebut.Imunisasi yang sengaja dibuat dikenal dengan imunisasi dasar
dan ulangan (booster), berupa pemberian vaksin (misalnya, cacar dan polio)
yang kumannya masih hidup tetapi sudah dilemahkan, virus, kolera, tipus, dan
pertusis; toksoid (toksin). Vaksin tersebut akan berinteraksi dengansistem
kekebalan tubuh untuk menghasilkan respon imun. Hasil yang diproduksi akan
sama dengan kekebalan seseorang yang mendapat penyakittersebut secara
alamiah. Namun, orang yang diberikan vaksin penyakit tertentu akan sakit
dan
menimbulkan kompikasi.
2.4.2 Jenis – Jenis Imunisasi Dasar
Terdapat lima imunisasi (vaksin) dasar dalam program imunisasi, yaitu :
1.
BCG (Bacillus Calmette Guerine)
Diberikanpada umur sebelum 3 bulan. Apabila akan diberikan di atas umur 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG diberikan bila
hasil uji tuberkulin negatif.
2.
Hepatitis B
Diberikan segera setelah lahir dan merupakan upaya pencegahan yang sangat
efektif untuk memutus rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu ke
bayi.
3.
DPT (Difteri Pertusis Tetanus)
Diberikan sejak umur 2 bulan (tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu)
sebanyak 3 kali.
4.
Polio
Diberikan segera setelah lahir sesuai Pedoman Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan yang tinggi.
5.
Campak
Diberikan pada umur 9 bulan melalui sub kutan dan memiliki efek samping
seperti terjadinya ruam pada kulit pada tempat suntikan dan panas. Pada umur
kurang dari 9 bulan, kemungkinan besar pembentukan zat kekebalan tubuh anak
dihambat karena masih adanya zat kekebalan yang berasal dari darah ibu.
Umur yang tepat untuk mendapatkan imunisasi adalah sebelum bayi
mendapat infeksi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,sedini mungkin
segera setelah bayi lahir dan diusahakan melengkapi imunisasi sebelum bayi berumur
1 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Menurut Frekuensi, Selang
Waktu dan Umur Pemberian
Pemberian
Selang Waktu
Umur
Keterangan
Vaksin
Imunisasi
Pemberian
BCG
1 kali
0-11 bulan
Untuk bayi
yang lahir di
3 kali
DPT
4 minggu
2-11 bulan
Rumah
Sakit/
(DPT 1,2,3)
Puskesmas
4 kali
Polio
4 minggu
0-11 bulan
Hep-B, BCG
(Polio 1,2,3,4)
dan Polio
Campak
1 kali
9-11 bulan
dapat segera
3 kali
Hepatitis B
4 minggu
0-11 bulan
diberikan
(HB 1,2,3)
Sumber: Petunjuk Pelaksanaan Program Imunisasi di Indonesia, 2008
2.4.3 Penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I)
Depkes (2000) menetapkanbahwa ada tujuh penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, yaitu tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, campak,
dan hepatitis. Berikut ini akan diuraikan tujuh penyakit tersebut satu per satu.
1.
Tuberkulosis
Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosisdan menyerangparuparu, kelenjar, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak pada anak. Penularannya
adalah dengan melalui droplet atau percikan ludah, sementara reservoarnya
adalah manusia.
2.
Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium dyptheriae tipe gravis, milis,dan
intermediusyang menular melalui percikan ludah yang tercemar. Gejala berupa
gangguan pada membaran rongga hidung bahkandapat terjadi obstruksijalan
napas karen amengenai laring, saluran napas bagian atas, tonsil,dan kelenjar
sekitar leher membengkak (bull neck) bahkan dapat mengakibatkan kematian.
3.
Pertusis
Penyakit infeksi ini sering dikenal dengan istilah batuk rejan atau batuk 100hari.
Penyakit ini disebabkan oleh Bordetella pertusis dengan penularanmelalui
droplet. Pertusis memiliki gejala awal berupa batuk pilek yang kemudian setelah
hari kesepuluh bertambah berat dan sering kali muntah, dan dapat menyebabkan
pnemumonia yang berujung kematian.
4.
Tetanus
Mycobacterium tetani menjadi penyebab tetanus dan berkembang biak secara
anaerobik berupa spora dalam luka terbuka dan membentuk toksin. Tetanus yang
khas terjadi pada anak adalah tetanus neonatorum dan dapat menimbulkan
kejang, sianosis, henti napas, bahkan kematian. Reservoarnya adalah kotoran
hewan atau tanah yang terkontaminasi kotoran hewan dan manusia. Kekebalan
terhadap penyakit ini hanya dapat diperoleh dengan imunisasi lengkap karena
riwayat penyakit tetanus tidak menyebabkan kekebalan pada anak.
5.
Poliomielitis
Penyebab penyakit infeksi ini adalah polio tipe 1, 2, dan 3 yang menyerang
myelin atau serabut otot. Gejala awal tidak jelas, dapat timbul gejala demam
ringan dan ISPA, kemudian timbul gejala paralisis yang bersifat flaksid
mengenaisekelompok serabut otot sehingga timbul kelumpuhan pada anggota
badan,saluran napas, dan otot menelan. Penularannya adalah melalui droplet
atau fecal dengan reservoarnya adalah manusia penderita polio.
6.
Campak
Penyebab penyakit infeksi ini adalah virus morbili yang menular melaluidroplet.
Gejala awal ditunjukkan dengan adanya kemerahan yang mulai timbulpada
bagian belakang telinga, dahi, dan menjalar ke wajah dan anggota badan.Selain
itu, timbul gejala seperti flu disertai mata berair dan kemerahan (konjungtivitas).
Setelah 3-4 hari, kemerahan mulai hilang dan berubah menjadi kehitaman yang
akan tampak seperti bersisik. Komplikasi yang harus dicegah adalah otitis media,
konjungtivitas berat, enteritis, dan pneumonia, terlebih pada anak dengan status
gizi buruk.
7.
Hepatitis B
Penyakit infeksi ini disebabkan oleh virus hepatitis tipe Byang menyerang
kelompok risiko secara vertikal, yaitu bayi dan ibu pengidap,sedangkan secara
horizontal yaitu tenaga medis dan paramedik, pecandu narkotika,pasien
hemodialisis, pekerja laboratorium, pemakai jasa atau petugas akupuntur.
2.4.4 Hubungan Status Imunisasi Dasar dengan Kejadian ISPA pada Baduta
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak,
maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan
ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan DPT.
Anak balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan
umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu, maka jika
ada kuman yang masuk ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi
terhadap kuman tersebut (Depkes RI, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Valentina (2011), diketahui bahwa
ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap) mempengaruhi berkembangnya
ISPA pada anak batita. Proporsi ISPA pada batita yang status imunisasinya tidak
lengkap adalah 63,9%, sedangkan batita yang status imunisasi lengkap40,0%.
2.5
Kerangka Konsep
Konsep dari penelitian yang akan dilakukan merupakan penyederhanaan dari
kerangka teori yang bersumber dari DepkesRI (2004). Dalam penelitian ini, variabel
yang akan diteliti adalahstatus gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi
dasar yang merupakan faktor resiko internal anak dengan kejadian ISPA pada anak
usia 12-24 bulan.Secara skematis kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Variabel Independen
(Bebas)
Status Gizi
Variabel Dependen
(Terikat)
Kejadian ISPA pada Anak
Pemberian ASI Eksklusif
Usia 12 – 24 Bulan
Status Imunisasi Dasar
Gambar 1.Kerangka Konsep Penelitian
2.6
Hipotesis Penelitian
Adapun yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24bulan di
wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat.
2.
Ada hubungan pemberian ASIeksklusif dengan kejadian ISPA pada anak usia
12-24 bulandi wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat.
3.
Ada hubungan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA pada anak usia 1224 bulandi wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat.
Download