1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur, serta fungsi normalnya yang mengakibatkan tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Cunnningham, 2003). Saat ini, pandangan terhadap proses penuaan telah mengalami pergeseran. Penyakit dan disabilitas dahulu dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dihindarkan dari satu proses tumbuh kembang. Saat ini diketahui, proses penuaan memang meningkatkan risiko untuk munculnya masalah-masalah kesehatan, tetapi banyak orang-orang tua yang masih sehat dan aktif pada usia lanjut. Upaya memperlambat proses penuaan bertujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup dan usia harapan hidup aktif, yaitu kondisi bebas penyakit meskipun di usia lanjut. Beberapa hal yang dapat meningkatkan kesehatan dan memperlambat proses penuaan antara lain pola makan yang sehat, olahraga dan aktivitas fisik. Selain itu ada beberapa intervensi yang masih perlu diteliti lebih lanjut dapat memperlambat proses penuaan adalah konsumsi antioksidan, restriksi kalori dan suplementasi hormon (NIH, 2010) 8 2 Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua melalui proses penuaan yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa pada kematian. Pada dasarnya, berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, mediasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan. Jika faktor penyebab itu dapat dihindari, maka proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Artinya, usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011). 2.2 Penyakit Degeneratif Penyakit degeneratif adalah suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Beberapa penelitian membuktikan bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup kuat dengan pertambahan usia seseorang. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003). Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak termasuk penyakit menular dan berlangsung 3 kronis, contohnya seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008). 2.2.1 Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014). Menurut Ramachandran, DM adalah penyakit kronis yang ditimbulkan oleh beberapa faktor dimana terjadi defisiensi absolut dari insulin atau fungsinya (Nirmala, 2014). Menurut ADA 2010, diabetes melitus terdiri dari 4 jenis yaitu DM tipe-1, DM tipe-2, DM tipe lain, DM gestasional (Ndraha, 2014). DM tipe-1 terjadi karena tubuh gagal memproduksi insulin, yang kemudian menyebabkan penderita memerlukan injeksi insulin atau menggunakan pompa insulin. Bentuk ini dahulu disebut Diabetes Melitus Tergantung Insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau diabetes juvenil . DM tipe-1 dapat disebabkan karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. DM tipe-2 disebabkan oleh resistensi insulin, yaitu suatu kondisi dimana sel-sel gagal menggunakan insulin dengan baik, kadangkadang disertai dengan defisiensi insulin absolut. Tipe ini disebut juga NIDDM (Non insulin-dependent diabetes Mellitus) atau diabetes onset dewasa (Nirmala,2014). Diabetes Melitus tipe lain terjadi karena etimologi lain, misalnya pada efek genetik fungsi sel beta, efek genetik kerja insulin, 4 penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus dan kelainan genetik lain. Diabetes gestasional terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya trimester kedua dan ketiga (Ndraha, 2014). 2.2.2 Diabetes Mellitus tipe-2 Pada penderita DM tipe-2 terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa (Nirmala, 2014). Etiologi diabetes melitus tipe-2 secara luas dipahami sebagai interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi, belum ada gen tunggal yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab DM tipe 2. DM tipe 2 merupakan suatu kondisi yang heterogen dan terdapat banyak gen yang terlibat pada proses penyakitnya (Chowdhury dan Bhattachaya, 2003). 5 Secara patofisiologi, DM tipe-2 disebabkan karena dua hal yaitu penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin yang dinamakan resistensi insulin, dan penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe-2 diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation yang berdampak pada penurunan respon reseptor insulin dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses terjadinya DM tipe-2. Secara patologis, pada permulaan DM tipe-2 terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri 6 sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. Sedangkan pada DM tipe-2 akhir telah terjadi penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin, dan diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal (Nugroho, 2006). 2.2.3 Hormon Insulin Insulin merupakan hormon yang berperan penting pada berbagai metabolisme dalam tubuh, terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak, dan hepar. Proses sekresi insulin dimulai dengan adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Glukosa melewati membran sel dengan bantuan GLUT (Glucose transporter) yang berfungsi sebagai kendaraan yang mengangkut glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. GLUT 2 terdapat dalam sel beta pankreas. Kemudian, molekul glukosa mengalami glikolisis dan fosforilasi dan membebaskan ATP. Molekul ATP yang terbentuk dibutuhkan untuk pengaktifan dan penutupan K-channel. Penutupan ini mengakibatkan depolarisasi pada membran sel dan terbukanya Ca-channel sehingga terjadi peningkatan kadar Ca intrasel (Munaf, 2006). 7 Proses metabolisme glukosa normal memerlukan aksi insulin yang berlangsung normal di samping mekanisme dan dinamika sekresi insulin yang normal. Sensitivitas insulin yang rendah dan resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etimologi terjadinya diabetes tipe-2 (Manaf, 2006). 2.2.3 Gejala Klinis Diabetes Mellitus Menurut Babar dan Skugor (2009), gejala klinis diabetes terbagi atas : (1) Gejala khas penderita diabetes antara lain: Polidipsia : disebabkan karena diuresis osmotik, akibat peningkatan kadar glukosa darah yang melebihi ambang renal. Poliuria : disebabkan karena hilangnya cairan dan elektrolit dalam tubuh. Polifagia tetapi berat badan menurun tanpa penyebab yang jelas : apabila terjadi defisiensi insulin, yang menyebabkan berkurangnya cairan dalam tubuh dan cepatnya pemecahan lemak dan otot. (2) Gejala tidak khas penderita diabetes antara lain : lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita. 2.2.4 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan 8 Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200mg/dl, diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) ≥ 126mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM (Ndraha, 2014). Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP≥ 126mg/dl, GDS ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200mg/dl. Alur penegakan diagnosis DM dapat dilihat pada skema berikut . Gambar 2.1. Langkah Diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa (GTG) 9 2.2.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe-2 Tatalaksana DM tipe-2 bertujuan untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Menurut konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia tahun 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi (Perkeni, 2011). 2.2.5.1 Edukasi Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengurangi asupan tinggi kalori dan diet tinggi lemak. (Piette, 2003). 2.2.5.2 Terapi Gizi Medis Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu degan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein 10-20%, atrium kurang dari 3 gram, dan diet cukup serat sekitar 25 gram per hari (Perkeni, 2011). 10 2.2.2.3 Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu masing-masing selama kurang lebih 30 menit Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin (Perkeni, 2011). 2.2.2.4 Intervensi farmakologi Terapi farmakologi diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat-obatan yang ada saat ini antara lain: (1) Obat hipoglikemik oral (OHO) a. Pemicu sekresi insulin yaitu : - Sulfonil urea (Glibenklamid) Sulfonil urea dapat meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang. Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk menurunkan kadar glukagon dalam darah, meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor, dan menghambat penghancuran insulin oleh hati (Mycek dkk., 2001). Sulfonil urea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi (Perkeni, 2011). 11 Absorpsi derivat sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan per oral. Setelah absorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam darah sebagian terikat dalam protein darah terutama albumin (70-90%). Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. (Tony dan Suharto, 2005). - Glinid Glinid terdiri dari repaglinid dan nateglinid, cara kerjanya sama dengan sulfonil urea namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama, obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemik post prandial. b. Peningkat sensitivitas insulin - Biguanid Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. - Tiazolidindion Tiazolidindion menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer. 12 c. Penghambat glukoneogenesis - Biguanid (metformin) Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi produksi glukosa hati. d. Penghambat glukosidase alfa - Acarbose Acarbose berkerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus. Acarbose juga tidak memiliki efek samping hipoglikemi seperti sulfonilurea. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. (2) Obat suntikan a. Insulin b. Agonis GLP-1/ incretin mimetik Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran (Ndraha, 2014). 13 Tabel 2.1. Target pengendalian DM (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011) Parameter Risiko Kardiovaskular (-) Risiko kardiovaskular (+) IMT (kg/m2) 18,5 - <23 18.5- <23 Tekanan darah sistolik (mmHg) <130 <130 Tekanan darah diastolik (mmHg) <80 <80 Glukosa darah puasa (mg/dL) <100 <100 Glukosa darah 2 jam PP <140 <140 HbA1c (%) <7 <7 Kolesterol LDL (mg/dl) <100 <70 Kolesterol HDL (mg/dl) Pria > 40 Pria > 40 Wanita > 50 Wanita >50 <150 <150 Trigliserida (mg/dl) 2.3 Tanaman Obat 2.3.1 Definisi Tanaman Obat Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau tanaman yang mengandung efek resultan/sinergi dari berbagai zat yang berfungsi mengobati, serta digunakan sebagai obat dalam pencegahan penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008). Senyawa fitokimia merupakan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman obat mempunyai peranan yang sangat penting bagi 14 kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008). 2.3.2 Penggunaan Tanaman Obat 1. Waktu Pengumpulan Untuk mendapatkan bahan yang terbaik dari tumbuhan obat, perlu diperhatikan saat-saat pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat. Pedoman waktu pengumpulan bahan secara umum : a. Daun : dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah menjadi masak. b. Bunga : dikumpulkan sebelum atau segera setelah mekar c. Buah : dipetik dalam keadaan masak d. Biji : dikumpulkan dari buah yang masak sempurna e. Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) : dikumpulkan sewaktu proses pertumbuhan berhenti. 2. Pencucian dan Pengeringan Pencucian bahan obat diperlukan jika pemakaian segar yang dibutuhkan untuk pengobatan. Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera dicuci bersih, sebaiknya dengan air yang mengalir. Selain itu, bahan obat bisa pula dikeringkan untuk disimpan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mencegah pembusukan oleh bakteri. Bahan kering juga mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk (Tanaman obat, 2012). 15 Pengeringan cara bahan obat : o Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat dipotong potong seperlunya terlebih dahulu. o Pengeringan dapat langsung dibawah sinar matahari atau memakai pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan tidak terlalu cepat. o Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan bahan di tempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang aliran udaranya baik (Tanaman obat, 2012). 2.4 Biji Gorek 2.4.1 Definisi Biji Gorek Biji Gorek (Caesalpinia bonducella) merupakan tanaman obat yang termasuk dalam famili caesalpiniaceae / fabaceae berbentuk semak-semak berduri yang banyak terdistribusi di seluruh dunia terutama di India, Sri Lanka, Andaman dan pulau Nicobar (Singh, 2012). Genus Caesalpinia (Caesalpiniaceae) mempunyai lebih dari 500 spesies dan telah banyak diinvestigasi memiliki potensi aktivitas farmakologi. Nama spesies “Bonducella” berasal dari bahasa Arab yang artinya bola kecil yang mengindikasikan bentuk bijinya yang globular (Moon dkk., 2010). Karakteristik morfologi biji Gorek dapat dideskripsikan sebagai berikut: (1) merupakan tumbuhan merambat berbentuk semak yang sangat 16 berduri, cabang berwarna abu-abu berbulu halus dilengkapi dengan duri berwarna kuning yang keras, tinggi rata-rata 10-20m (2) batang berdiameter sampai 5cm, biasanya terdapat beberapa duri pada batangnya, (3) daunnya lebar berwarna hijau, (4) buahnya memiliki kulit yang dilengkapi dengan duri-duri yang kaku, berisi 1-2 biji, (5) biji memiliki kulit yang keras berwarna abu-abu kehijauan, terdapat garis-garis sirkuler di permukaan kulit luar biji, (6) kulit luar biji terdiri dari tiga lapisan, (7) inti biji mengandung dua kotiledon, berbentuk sirkuler atau oval, diameter 1,23 -1,75 cm, rasanya sangat pahit, berbau tidak enak dan membuat mual (Singh dan Raghav, 2012). Klasifikasi ilmiah Caesalpinia bonducella yaitu: Kingdom : Plantae Filum : Magnoliophyta Divisi : Magnoliopsida Kelas : Angiospermae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Caesalpinia Spesies : bonduc 17 Gambar 2.2 Caesalpinia bonducella Gambar 2.3 Batang Caesalpinia bonducella Gambar 2.4 Daun Caesalpinia bonducella 18 2.4.2 Kandungan Fitokimia Biji Gorek Famili Fabaceae / caesalpiniaceae diketahui banyak memiliki kandungan obat sehingga telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Kandungan yang umumnya terdapat pada famili ini yaitu alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan triterpenoid (Singh dan Raghav, 2012). Berdasarkan hasil analisis fotokimia biji Gorek yang dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana didapatkan sebagai berikut: Gambar 2.5 Hasil analisis fitokimia kuantitatif (Tanin, Flavonoid, Fenol) Biji Gorek Hasil analisis fitokimia kualitatif biji Gorek yang dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman didapatkan: 19 Gambar 2.6 Hasil Analisis Fitokimia kualitatif dan uji antioksidan Caesalpinia bonducella Beberapa kandungan fotokimia utama Biji Gorek (Caesalpinia bonducella) yaitu: (1) Alkaloid Ekstrak alkaloid mampu menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase sebesar 61,88% pada konsentrasi 2000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak alkaloid aktif sebagai inhibitor alfa glukosidase (Pamungkas, 2012). Beberapa jenis alkaloid yang mempunyai efek antidiabetes antara 20 lain conophylline, piperine, pipernanoline, dehydropipernanoline (Coman dkk.,2012). (2) Flavonoid Bioflavonoid banyak terkandung dalam tanaman secara alamiah telah diketahui mempunyai banyak aktivitas biologis termasuk sebagai antidiabetes. Efek antidiabetesnya didapatkan dengan menurunkan absorpsi glukosa, atau meningkatkan toleransi glukosa. Diketahui juga bahwa flavonoid dapat meningkatkan produksi insulin atau insulinmimetik, kemungkinan dengan mempengaruhi mekanisme pleiotropik untuk mengurangi komplikasi diabetes. Obat-obatan yang mengandung flavonoid diketahui dapat menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan perifer dan deregulasi aktivitas atau ekspresi enzim-enzim tertentu yang terlibat dalam jalur metabolisme karbohidrat (Brachmachari, 2014). Aktivitas antidiabetes dari biji Gorek (Caesalpinia bonducella) dihasilkan dari adanya kandungan flavonoid yang diketahui sebagai antioksidan alami yang melindungi sel β dari kerusakan akibat radikal bebas. Lebih lanjut, penelitian sebelumnya melaporkan bahwa flavonoid melindungi sel β terhadap kerusakan akibat stres oksidatif sekaligus meregenerasi sel β (Sharma dan Das, 2008). 21 (3) glikosida kandungan non-alkaloid pertama yang dapat diisolasi dari biji Caesalpinia bonducella yang memberi rasa pahit yaitu bonducin (bonducellin). Bonducellin merupakan golongan glikosida. (4) Saponin Saponin mengandung aglykon polisiklik, yang memiliki sifat yang khas yaitu berbuih saat dikocok dengan air. Saponin menyebabkan rasa pahit pada tumbuhan. Kandungan saponin juga dilaporkan terdapat dalam biji Gorek. Saponin dilaporkan dapat menghambat transportasi glukosa di dalam usus dengan menghambat sodium glucose co-transporter-1 (SGLUT-1). Kandungan Saponin di dalam biji buah Gorek inilah yang mungkin memberikan efek antihiperglikemik (Sarma dan Das, 2008). Beberapa enzim seperti protease, urease, amylase, peroksidase, katalase dan oksidasi dilaporkan juga dimiliki oleh biji Gorek (Singh dan Raghav, 2012). (5) Terpenoid caesalpin, β-caesalpin dan α-caesalpin merupakan tiga diterpenoid pertama yang berhasil diisolasi dari biji Gorek. Selain itu, terdapat tiga caesalpin lainnya yaitu E caesalpin, F caesalpin dan Y caesalpin diisolasi dari inti biji Gorek (Singh dan Raghav, 2012). 22 (6) Tanin Tanin merupakan substansi fenilik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman. Tanin dibagi ke dalam dua group, tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi. Zat ini digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memacu metabolism glukosa dan lemak. Tanin diketahui memacu metabolisme glukosa dan lemak, sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari dan akhirnya kolesterol dan glukosa darah turun (Subroto, 2006) Inti biji Gorek mengandung asam lemak (20-24%), tepung, sukrosa, dua fitosterol, salah satunya diidentifikasi sebagai sitosterol dan hidrokarbon. Kandungan asam lemak pada inti biji Gorek yaitu stearat, palmitat, oleat, linocerik, linolenat, dan campuran asam lemak tak jenuh dengan berat molekul rendah. Inti biji Gorek juga mengandung protein yaitu: asam aspartat 9,5%, lysin 7,9%, glisin 6,9%, lusin 6,3%, histidin 5,1%, isoleusin 5,1%, sein 3,8%, asam r-amino-butirat 3,7%, tiroksin 3,7%, sitrulin 3,6%, asam glutamat 3,6%, treonin 3,6%, arginin 3,4%, prolin 3,3%, L-alanin 2,5%, methionin 2,1%, fenil-alanin 1,4%, sistin 1,2%, alim 1,2% dan triptofan 0,8% (Singh dan Raghav, 2012). 23 2.4.3 Kegunaan Biji Gorek Secara fitokimia, Caesalpinia bonducella memiliki banyak kandungan antioksidan dan zat-zat aktif lainnya yang berpotensi untuk digunakan sebagai obat. Meskipun banyak investigasi farmakologi yang telah dilakukan, penelitian-penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk mengidentifikasi zat-zat aktif yang terkandung di dalamnya yang berpotensi sebagai obat. Beberapa manfaat biji Gorek yang telah berhasil diidentifikasi antara lain: (1)antidiabetes dan antihiperlipidemia Bubuk biji Gorek dilaporkan memiliki aktivitas hipoglikemik pada hewan coba (Parameshwar dkk., 2002). Ekstrak (300mg/dl) dengan pemberian oral menimbulkan efek hipoglikemik yang signifikan dan menurunkan level BUN secara signifikan (p<0.05). Pada studi yang sama, ekstrak ini juga menurunkan level kolesterol dan LDL pada kondisi hiperlipidemia yang diinduksi diabetes efek antihiperglikemik dari ekstrak mungkin berhubungan dengan penghambatan absorpsi glukosa (Kannur dkk., 2006). (2)Antibakteri Empat triterpenoids yang diisolasi dari ekstrak metanol biji Gorek menunjukkan aktivitas penghambatan bakteri gram positif dan gram negatif spektrum luas (Saeed dan Abir, 2001). 24 (3)antipiretik dan analgesik ekstrak etanol (70%) Caesalpinia bonducella telah diteliti untuk efek antipiretik dan antinosiseptif pada tikus albino dewasa dengan dosis 30, 100, dan 300mg/kg secara oral. Hasilnya menunjukkan aktivitas antipiretik yang nyata (p<0.05) pada kondisi pireksia yang diinduksi jamur Brewer (Archana dkk., 2005). (4) Anti filarial Ekstrak biji Gorek menunjukkan aktivitas mikrofilarisidal, makrofilarisidal dan sterilisasi parasit betina terhadap B.malayi pada hewan coba (Gaur dkk., 2008). (5) Antioksidan Ekstrak etanol biji Caesalpinia bonducella sebagai antioksidan alami telah diuji pada studi invitro. Aktivitas DPPH dari ekstrak meningkat dengan dosis dengan pembanding asam askorbat. Ekstrak etanol ditemukan dapat menangkap superoksida yang bersifat sebagai oksidan. Pengukuran kandungan total fenolik menggunakan reagen Folin-Ciocalteau mengandung 62,50mg/g dari kandungan fenolik. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar (asam galat). Ekstrak etanol diketahui juga menghambat radikal hidroksil, nitrit oksida dan anion superoksid. Kesemua hal ini mengindikasikan bahwa C.bonducella mempunyai potensi yang signifikan (p<0.05) sebagai antioksidan alami (Shukla dkk., 2009) 25 (6) Immunomodulator Konsumsi oral ekstrak etanol Caesalpinia bonducella (200-500mg/kg) meningkatkan adhesi netrofil secara signifikan dan meningkatkan nilai titer antibodi. Ekstrak biji Gorek juga mencegah myelosupresi pada tikus yang diberi siklofosfamid dan menunjukkan respons yang baik terhadap fagositosis. Hal ini menunjukkan bahwa biji Gorek mempunyai potensi terapeutik sebagai imunomodulator dan mencegah penyakit autoimun (Shukla dkk., 2009). 2.5 Efek Antidiabetes Biji Gorek Caesalpinia bonducella telah banyak digunakan pada pengobatan tradisional di India untuk mengontrol kadar gula darah. Ekstrak biji Gorek ini dilaporkan memiliki aktivitas hipoglikemik pada hewan coba. Menurut Shukla, pada penelitian dengan multi dosis, ekstrak Caesalpinia bonducella dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan (p<0.05). Ekstrak dengan dosis 400mg/kgBB lebih efektif menurunkan kadar gula darah dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah yaitu 200mg/kgBB dan 300mg/kgBB (Shukla dkk., 2011). Hiperglikemia meningkatkan pembentukan radikal bebas dengan auto-oksidasi glukosa dan terbentuknya menyebabkan kerusakan sel hati. radikal bebas dapat Ekstrak biji Gorek, seperti pada penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui menunjukkan aktivitas antioksidan kuat dan memiliki efek proteksi terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh radikal hidroksil sehingga bermanfaat dalam 26 mengurangi pembentukan radikal bebas akibat diabetes. Mekanisme aksi antidiabetik ekstrak ini dalam mengurangi kadar gula darah masih belum diketahui. Diduga ekstrak biji Gorek dapat menurunkan pelepasan sitokin inflamasi pada diabetes yang menjadi salah satu penyebab resistensi insulin (Shukla dkk., 2011). Tes toleransi glukosa yang dilakukan pada tikus non diabetes, ekstrak hidroalkoholik (500mg/kgBB) menunjukkan penurunan kadar gula darah secara signifikan (p<0.05) dalam 90 menit setelah pemberian. Untuk mengetahui dosis optimal pada hewan diabetes, ekstrak hidroalkoholik biji Gorek dengan dosis berbeda digunakan pada penelitian yaitu 250mg/kgBB dan 500mg/kgBB disertai dengan pemberian glibenklamid sebagai pembanding. Ekstrak dengan dosis 500m/kgBB memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah maupun dengan pembanding sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis 500mg/kgBB merupakan dosis efektif menurunkan kadar gula darah (Prashant dan Bhanudas, 2011). Efek hipoglikemik ekstrak hidroalkohol biji Gorek pada tikus diabetes menyebabkan penurunan kadar gula darah yang signifikan terutama pada dosis 500mg/kgBB (p<0.01) dibandingkan dengan glibenklamid. Ekstrak mungkin bekerja dengan meningkatkan sekresi pankreas atau meningkatkan ambilan glukosa. Pemeriksaan histopatologi pankreas, hati dan ginjal menunjukkan perbaikan jaringan- 27 jaringan yang rusak pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Prashant dan Bhanudas, 2011). Aktivitas antidiabetes dari biji buah Gorek (Caesalpinia bonducella) dihasilkan dari adanya kandungan flavonoid yang diketahui sebagai antioksidan alami yang melindungi sel β dari kerusakan akibat radikal bebas. Lebih lanjut, penelitian sebelumnya melaporkan bahwa flavonoid melindungi sel β terhadap kerusakan akibat stres oksidatif sekaligus meregenerasi sel β. Selain flavonoid, saponin dilaporkan dapat menghambat transportasi glukosa di dalam usus dengan menghambat sodium glucose co-transporter-1 (S-GLUT-1). Kandungan Saponin di dalam biji buah Gorek inilah yang mungkin memberikan efek antihiperglikemik (Sarma dan Das, 2008). Pada penelitian dengan ekstrak hidrometanolik biji Caesalpinia bonducella pada tikus diabetes menunjukkan adanya perbaikan signifikan (p<0.05) dari aktivitas enzim-enzim metabolik karbohidrat disertai dengan perbaikan kadar glukosa puasa dan glikogen dibandingkan dengan kelompok diabetes yang tidak diberi perlakuan. Ekstrak juga menunjukkan perbaikan signifikan (p<0.05) dari aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti katalase dan superoksid dismutase dan perbaikan kadar lipid peroksidase setelah pemberian ekstrak (Jana dkk., 2012). Hasil penelitian yang membuktikan bahwa ekstrak hidrometanol biji Gorek dapat menurunkan kadar glukosa puasa mengimplikasikan bahwa ekstrak dapat menstimulasi sel-sel β pankreas yang masih 28 berfungsi baik pada tikus diabetes untuk mensekresi insulin atau mungkin membantu meregenerasi sel β pankreas. Hal lainnya yang menunjukkan adanya aktivitas regeneratif dari sel β pankreas pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin setelah pemberian ekstrak adalah meningkatnya aktivitas heksokinase, glukosa-6-fosfat dehidrogenasi dan glukosa-6-fosfatase pada hati serta peningkatan kadar glikogen pada hati dan otot rangka. Oleh karena biomarker-biomarker ini dikontrol oleh insulin, maka dapat diperkirakan bahwa ekstrak biji Gorek ini dapat meningkatkan sintesis atau sekresi insulin pankreas karena adanya regenerasi sel β (Jana dkk., 2011). Efek antidiabetik dari ekstrak Caesalpinia bonducella mungkin juga ditimbulkan oleh efek antioksidannya. Penurunan aktivitas katalase dan superoksid dismutase pada kelompok diabetes mungkin disebabkan oleh peningkatan produksi H2O2 dan O2 karena proses auto-oksidasi glukosa dan glikasi non enzimatik. Pemberian C.bonducella menunjukkan penurunan lipid peroksidase yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas superoksid dismutase dan katalase mengindikasikan bahwa ekstrak dapat menurunkan radikal bebas oksigen reaktif dan meningkatkan aktivitas enzim-enzim antioksidan hepar (Jana dkk., 2011). Pada diabetes, serum GOT, GPT dan aktivitas ALP meningkat yang dapat berhubungan dengan kerusakan sel. Ekstrak tumbuhan ini dapat menurunkan kadar enzim-enzim tersebut secara signifikan 29 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji C.bonducella memiliki efek antidiabetik tanpa menyebabkan toksisitas (Jana dkk., 2011). 2.6 Hewan Percobaan 2.6.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, 30 tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Klasifikasi Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mammalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus Species : Rattus norvegicus 2.6.2 Kriteria Tikus Diabetes Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL sampai 135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosanya di atas 135mg/dL (Animalarticle, 2011). Menurut jurnal sebelumnya kadar plasma insulin pada tikus yang normal adalah 5-10 IU/ml (Handayani dkk.,2009) 2.7 LD50 Ekstrak Etanol Biji Gorek Efek toksik suatu bahan obat dapat ditentukan dengan menghitung LD50 (Lethal Dose 50), artinya dosis yang dapat membunuh 50% binatang 31 percobaan. Semakin tinggi nilai LD50, berarti bahan obat tersebut semakin aman untuk dikonsumsi. Nilai LD50 dari ekstrak etanol biji Gorek (Caesalpinia bonducella) yaitu > 2000mg/kg. Ekstrak etanol biji Gorek tidak memberikan efek toksik pada dosis tersebut (Muddapur dkk., 2014). Efek toksisitas akut dari biji Gorek telah diteliti dengan memberikan 2000mg/kgBB ekstrak pada sekelompok tikus, kemudian tikus diperiksa setelah 24 jam. Tidak ada tikus yang mati setelah 24 jam pemberian ekstrak serta tidak ditemukan adanya perubahan perilaku dan sistem saraf sensorik yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis letal dari ekstrak etanol biji Gorek adalah di atas 2000mg/kg (Muddapur dkk., 2014). Pada penelitian lainnya didapatkan bahwa pemberian ekstrak hidro-alkohol biji Gorek mulai dari dosis 1000mg sampai 3000mg/kgBB/hari tidak menimbulkan perubahan perilaku yang signifikan. Pada pemberian oral dosis tunggal, tidak ditemukan efek samping. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak biji Gorek bersifat non toksik pada kondisi di bawah pengawasan (Prashant dan Bhanudas, 2011). Toksisitas sub akut dari pemberian ekstrak etanol biji Gorek juga telah diteliti dengan cara memberikan ekstrak C.bonducella pada dosis 200mg/kgBB selama 14 hari. Tidak ada kematian tikus yang terjadi setelah pemberian ekstrak selama 14 hari (Muddapur dkk., 2014)