BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Penuaan adalah proses

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan secara
perlahan-lahan
untuk
memperbaiki
atau
mengganti
diri
dan
mempertahankan struktur, serta fungsi normalnya yang mengakibatkan
tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan
tersebut (Cunnningham, 2003).
Saat ini, pandangan terhadap proses penuaan telah mengalami
pergeseran. Penyakit dan disabilitas dahulu dianggap sebagai bagian yang
tidak dapat dihindarkan dari satu proses tumbuh kembang.
Saat ini
diketahui, proses penuaan memang meningkatkan risiko untuk munculnya
masalah-masalah kesehatan,
tetapi banyak orang-orang tua yang masih
sehat dan aktif pada usia lanjut. Upaya memperlambat proses penuaan
bertujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup dan usia harapan hidup
aktif, yaitu kondisi bebas penyakit meskipun di usia lanjut. Beberapa hal
yang dapat meningkatkan kesehatan dan memperlambat proses penuaan
antara lain pola makan yang sehat, olahraga dan aktivitas fisik. Selain itu
ada beberapa intervensi yang masih perlu diteliti lebih lanjut dapat
memperlambat proses penuaan adalah konsumsi antioksidan, restriksi kalori
dan suplementasi hormon (NIH, 2010)
8
2
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua melalui
proses penuaan yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa
pada kematian. Pada dasarnya, berbagai faktor itu dapat dikelompokkan
menjadi faktor internal dan eksternal.
Beberapa faktor internal adalah
radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, mediasi,
apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang
utama adalah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah,
polusi lingkungan, stres dan kemiskinan. Jika faktor penyebab itu dapat
dihindari, maka proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan
mungkin dihambat dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Artinya, usia
harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik
(Pangkahila, 2011).
2.2 Penyakit Degeneratif
Penyakit degeneratif adalah suatu penyakit yang muncul akibat proses
kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan normal menjadi lebih buruk.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa munculnya penyakit degeneratif
memiliki hubungan yang cukup kuat dengan pertambahan usia seseorang.
Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula sebagai penyakit yang mengiringi
proses penuaan (Karyani, 2003).
Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang dapat terjadi karena
adanya proses penuaan, tidak termasuk penyakit menular dan berlangsung
3
kronis, contohnya seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes
mellitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008).
2.2.1 Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes
Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014). Menurut Ramachandran,
DM adalah penyakit kronis yang ditimbulkan oleh beberapa faktor dimana
terjadi defisiensi absolut dari insulin atau fungsinya (Nirmala, 2014).
Menurut ADA 2010, diabetes melitus terdiri dari 4 jenis yaitu DM
tipe-1, DM tipe-2, DM tipe lain, DM gestasional (Ndraha, 2014). DM tipe-1
terjadi karena tubuh gagal memproduksi insulin, yang kemudian
menyebabkan penderita memerlukan injeksi insulin atau menggunakan
pompa insulin. Bentuk ini dahulu disebut Diabetes Melitus Tergantung
Insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau diabetes juvenil . DM
tipe-1 dapat disebabkan karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun. DM tipe-2 disebabkan oleh resistensi insulin, yaitu suatu
kondisi dimana sel-sel gagal menggunakan insulin dengan baik, kadangkadang disertai dengan defisiensi insulin absolut. Tipe ini disebut juga
NIDDM (Non insulin-dependent diabetes Mellitus) atau diabetes onset
dewasa (Nirmala,2014). Diabetes Melitus tipe lain terjadi karena etimologi
lain, misalnya pada efek genetik fungsi sel beta, efek genetik kerja insulin,
4
penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik,
infeksi virus dan kelainan genetik lain. Diabetes gestasional terjadi selama
masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada
masa kehamilan, biasanya trimester kedua dan ketiga (Ndraha, 2014).
2.2.2 Diabetes Mellitus tipe-2
Pada penderita DM tipe-2 terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi
insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.
Hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa (Nirmala, 2014).
Etiologi
diabetes melitus tipe-2 secara luas dipahami sebagai
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi, belum ada gen
tunggal yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab DM tipe 2. DM tipe 2
merupakan suatu kondisi yang heterogen dan terdapat banyak gen yang
terlibat pada proses penyakitnya (Chowdhury dan Bhattachaya, 2003).
5
Secara patofisiologi, DM tipe-2 disebabkan karena dua hal yaitu
penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin yang dinamakan
resistensi insulin, dan penurunan kemampuan sel β pankreas untuk
mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar
DM tipe-2 diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai
kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih
banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi
insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan
pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor
atau down regulation yang berdampak pada penurunan respon reseptor
insulin dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain
pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi
reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase
reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase.
Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian
tersebut terjadi pada permulaan proses terjadinya DM tipe-2. Secara
patologis, pada permulaan DM tipe-2 terjadi peningkatan kadar glukosa
plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi insulin yang
berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi
defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin,
terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa
sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik).
Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami adaptasi diri
6
sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan
pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. Sedangkan pada
DM tipe-2 akhir telah terjadi penurunan kadar insulin plasma akibat
penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin, dan diiringi
dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal (Nugroho,
2006).
2.2.3 Hormon Insulin
Insulin merupakan hormon yang berperan penting pada berbagai
metabolisme dalam tubuh, terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini
berfungsi dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh,
terutama otot, lemak, dan hepar. Proses sekresi insulin dimulai dengan
adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Glukosa melewati membran sel
dengan bantuan GLUT (Glucose transporter) yang berfungsi sebagai
kendaraan yang mengangkut glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. GLUT 2
terdapat dalam sel beta pankreas. Kemudian, molekul glukosa mengalami
glikolisis dan fosforilasi dan membebaskan ATP.
Molekul ATP yang
terbentuk dibutuhkan untuk pengaktifan dan penutupan K-channel.
Penutupan ini mengakibatkan depolarisasi pada membran sel dan
terbukanya Ca-channel sehingga terjadi peningkatan kadar Ca intrasel
(Munaf, 2006).
7
Proses metabolisme glukosa normal memerlukan aksi insulin yang
berlangsung normal di samping mekanisme dan dinamika sekresi insulin
yang normal. Sensitivitas insulin yang rendah dan resistensi jaringan tubuh
terhadap insulin merupakan salah satu faktor etimologi terjadinya diabetes
tipe-2 (Manaf, 2006).
2.2.3 Gejala Klinis Diabetes Mellitus
Menurut Babar dan Skugor (2009), gejala klinis diabetes terbagi atas :
(1) Gejala khas penderita diabetes antara lain:
 Polidipsia : disebabkan karena diuresis osmotik, akibat peningkatan
kadar glukosa darah yang melebihi ambang renal.
 Poliuria : disebabkan karena hilangnya cairan dan elektrolit dalam
tubuh.
 Polifagia tetapi berat badan menurun tanpa penyebab yang jelas :
apabila terjadi defisiensi insulin, yang menyebabkan berkurangnya
cairan dalam tubuh dan cepatnya pemecahan lemak dan otot.
(2) Gejala tidak khas penderita diabetes antara lain : lemas, kesemutan,
luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria
dan pruritus vulva pada wanita.
2.2.4 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan
8
Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200mg/dl, diagnosis DM sudah dapat
ditegakkan. Hasil pemeriksaan Gula Darah Puasa (GDP) ≥ 126mg/dl juga
dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM (Ndraha, 2014).
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP≥ 126mg/dl,
GDS ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) ≥ 200mg/dl. Alur penegakan diagnosis DM dapat dilihat pada
skema berikut
.
Gambar 2.1. Langkah Diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan gangguan
toleransi glukosa (GTG)
9
2.2.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe-2
Tatalaksana DM tipe-2 bertujuan untuk mencapai kendali glikemik
dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Menurut konsensus pengelolaan
dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia tahun 2011, penatalaksanaan dan
pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM yaitu:
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi
(Perkeni, 2011).
2.2.5.1 Edukasi
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan obat-obatan, berhenti
merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengurangi asupan tinggi kalori
dan diet tinggi lemak. (Piette, 2003).
2.2.5.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing
individu degan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein 10-20%, atrium kurang dari 3
gram, dan diet cukup serat sekitar 25 gram per hari (Perkeni, 2011).
10
2.2.2.3 Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu masing-masing
selama kurang lebih 30 menit
Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan
sensitivitas insulin (Perkeni, 2011).
2.2.2.4 Intervensi farmakologi
Terapi
farmakologi
diberikan
bersama
dengan
peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani.
Terapi
farmakologi terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat-obatan yang
ada saat ini antara lain:
(1)
Obat hipoglikemik oral (OHO)
a. Pemicu sekresi insulin yaitu :
-
Sulfonil urea (Glibenklamid)
Sulfonil urea dapat meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau
kurang.
Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk menurunkan
kadar glukagon dalam darah, meningkatkan pengikatan insulin
pada jaringan target dan reseptor, dan menghambat penghancuran
insulin oleh hati (Mycek dkk., 2001). Sulfonil urea kerja panjang
tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi (Perkeni, 2011).
11
Absorpsi derivat sulfonilurea melalui usus baik sehingga
dapat diberikan per oral. Setelah absorpsi, obat ini tersebar ke
seluruh cairan ekstrasel. Dalam darah sebagian terikat dalam
protein
darah
terutama
albumin
(70-90%).
Glibenklamid
dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui
urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. (Tony dan
Suharto, 2005).
-
Glinid
Glinid terdiri dari repaglinid dan nateglinid, cara kerjanya sama
dengan sulfonil urea namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama, obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemik post
prandial.
b. Peningkat sensitivitas insulin
-
Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal
reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
-
Tiazolidindion
Tiazolidindion
menurunkan
resistensi
insulin
dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa perifer.
12
c. Penghambat glukoneogenesis
-
Biguanid (metformin)
Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
d. Penghambat glukosidase alfa
-
Acarbose
Acarbose berkerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus. Acarbose juga tidak memiliki efek samping hipoglikemi
seperti sulfonilurea. Acarbose mempunyai efek samping pada
saluran cerna yaitu kembung dan flatulens.
(2) Obat suntikan
a. Insulin
b. Agonis GLP-1/ incretin mimetik
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali
baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran
(Ndraha, 2014).
13
Tabel 2.1.
Target pengendalian DM (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011)
Parameter
Risiko Kardiovaskular (-)
Risiko
kardiovaskular
(+)
IMT (kg/m2)
18,5 - <23
18.5- <23
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<130
<130
Tekanan darah diastolik (mmHg)
<80
<80
Glukosa darah puasa (mg/dL)
<100
<100
Glukosa darah 2 jam PP
<140
<140
HbA1c (%)
<7
<7
Kolesterol LDL (mg/dl)
<100
<70
Kolesterol HDL (mg/dl)
Pria > 40
Pria > 40
Wanita > 50
Wanita >50
<150
<150
Trigliserida (mg/dl)
2.3 Tanaman Obat
2.3.1 Definisi Tanaman Obat
Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena
mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau
tanaman yang mengandung efek resultan/sinergi dari berbagai zat yang
berfungsi mengobati, serta digunakan sebagai obat dalam pencegahan
penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).
Senyawa fitokimia merupakan senyawa kimia yang terkandung
dalam tanaman obat mempunyai peranan yang sangat penting bagi
14
kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit
degeneratif (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).
2.3.2 Penggunaan Tanaman Obat
1. Waktu Pengumpulan
Untuk mendapatkan bahan yang terbaik dari tumbuhan obat, perlu
diperhatikan saat-saat pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat.
Pedoman waktu pengumpulan bahan secara umum :
a.
Daun : dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah
menjadi masak.
b.
Bunga : dikumpulkan sebelum atau segera setelah mekar
c.
Buah : dipetik dalam keadaan masak
d.
Biji : dikumpulkan dari buah yang masak sempurna
e.
Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) :
dikumpulkan sewaktu proses pertumbuhan berhenti.
2. Pencucian dan Pengeringan
Pencucian bahan obat diperlukan jika pemakaian segar yang
dibutuhkan untuk pengobatan. Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera
dicuci bersih, sebaiknya dengan air yang mengalir. Selain itu, bahan obat
bisa pula dikeringkan untuk disimpan. Pengeringan bertujuan untuk
mengurangi kadar air dan mencegah pembusukan oleh bakteri. Bahan
kering juga mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk (Tanaman obat,
2012).
15
Pengeringan cara bahan obat :
o Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat dipotong
potong seperlunya terlebih dahulu.
o Pengeringan dapat langsung dibawah sinar matahari atau memakai
pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan tidak
terlalu cepat.
o Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan bahan
di tempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang aliran
udaranya baik (Tanaman obat, 2012).
2.4 Biji Gorek
2.4.1 Definisi Biji Gorek
Biji Gorek (Caesalpinia bonducella) merupakan tanaman obat yang
termasuk dalam famili caesalpiniaceae / fabaceae berbentuk semak-semak
berduri yang banyak terdistribusi di seluruh dunia terutama di India, Sri
Lanka, Andaman dan pulau Nicobar (Singh, 2012).
Genus Caesalpinia
(Caesalpiniaceae) mempunyai lebih dari 500 spesies dan telah banyak
diinvestigasi memiliki potensi aktivitas farmakologi.
Nama spesies
“Bonducella” berasal dari bahasa Arab yang artinya bola kecil yang
mengindikasikan bentuk bijinya yang globular (Moon dkk., 2010).
Karakteristik morfologi biji Gorek dapat dideskripsikan sebagai
berikut: (1) merupakan tumbuhan merambat berbentuk semak yang sangat
16
berduri, cabang berwarna abu-abu berbulu halus dilengkapi dengan duri
berwarna kuning yang keras, tinggi rata-rata 10-20m (2) batang berdiameter
sampai 5cm, biasanya terdapat beberapa duri pada batangnya, (3) daunnya
lebar berwarna hijau, (4) buahnya memiliki kulit yang dilengkapi dengan
duri-duri yang kaku, berisi 1-2 biji, (5) biji memiliki kulit yang keras
berwarna abu-abu kehijauan, terdapat garis-garis sirkuler di permukaan kulit
luar biji, (6) kulit luar biji terdiri dari tiga lapisan, (7) inti biji mengandung
dua kotiledon, berbentuk sirkuler atau oval, diameter 1,23 -1,75 cm, rasanya
sangat pahit, berbau tidak enak dan membuat mual (Singh dan Raghav,
2012).
Klasifikasi ilmiah Caesalpinia bonducella yaitu:
Kingdom
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Divisi
: Magnoliopsida
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Caesalpinia
Spesies
: bonduc
17
Gambar 2.2 Caesalpinia bonducella
Gambar 2.3 Batang Caesalpinia bonducella
Gambar 2.4 Daun Caesalpinia bonducella
18
2.4.2 Kandungan Fitokimia Biji Gorek
Famili Fabaceae / caesalpiniaceae diketahui banyak memiliki
kandungan obat sehingga telah banyak digunakan dalam pengobatan
tradisional.
Kandungan yang umumnya terdapat pada famili ini yaitu
alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan triterpenoid (Singh dan
Raghav, 2012).
Berdasarkan hasil analisis fotokimia biji Gorek yang
dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Udayana didapatkan sebagai berikut:
Gambar 2.5 Hasil analisis fitokimia kuantitatif (Tanin, Flavonoid, Fenol)
Biji Gorek
Hasil analisis fitokimia kualitatif biji Gorek yang dilakukan di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas
Mulawarman didapatkan:
19
Gambar 2.6 Hasil Analisis Fitokimia kualitatif dan uji antioksidan Caesalpinia
bonducella
Beberapa kandungan fotokimia utama Biji Gorek (Caesalpinia
bonducella) yaitu:
(1) Alkaloid
Ekstrak alkaloid mampu menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase
sebesar 61,88% pada konsentrasi 2000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak alkaloid aktif sebagai inhibitor alfa glukosidase (Pamungkas,
2012). Beberapa jenis alkaloid yang mempunyai efek antidiabetes antara
20
lain conophylline, piperine, pipernanoline, dehydropipernanoline (Coman
dkk.,2012).
(2) Flavonoid
Bioflavonoid banyak terkandung dalam tanaman secara alamiah telah
diketahui mempunyai banyak aktivitas biologis termasuk sebagai
antidiabetes. Efek antidiabetesnya didapatkan dengan menurunkan
absorpsi glukosa, atau meningkatkan toleransi glukosa. Diketahui juga
bahwa
flavonoid
dapat
meningkatkan
produksi
insulin
atau
insulinmimetik, kemungkinan dengan mempengaruhi mekanisme
pleiotropik untuk mengurangi komplikasi diabetes. Obat-obatan yang
mengandung flavonoid diketahui dapat menstimulasi ambilan glukosa
pada jaringan perifer dan deregulasi aktivitas atau ekspresi enzim-enzim
tertentu
yang
terlibat
dalam
jalur
metabolisme
karbohidrat
(Brachmachari, 2014).
Aktivitas antidiabetes dari biji Gorek (Caesalpinia bonducella)
dihasilkan dari adanya kandungan flavonoid yang diketahui sebagai
antioksidan alami yang melindungi sel β dari kerusakan akibat radikal
bebas.
Lebih lanjut,
penelitian sebelumnya melaporkan bahwa
flavonoid melindungi sel β terhadap kerusakan akibat stres oksidatif
sekaligus meregenerasi sel β (Sharma dan Das, 2008).
21
(3) glikosida
kandungan non-alkaloid pertama yang dapat diisolasi dari biji
Caesalpinia bonducella yang memberi rasa pahit yaitu bonducin
(bonducellin). Bonducellin merupakan golongan glikosida.
(4) Saponin
Saponin mengandung aglykon polisiklik, yang memiliki sifat yang khas
yaitu berbuih saat dikocok dengan air. Saponin menyebabkan rasa pahit
pada tumbuhan. Kandungan saponin juga dilaporkan terdapat dalam biji
Gorek. Saponin dilaporkan dapat menghambat transportasi glukosa di
dalam usus dengan menghambat sodium glucose co-transporter-1 (SGLUT-1). Kandungan Saponin di dalam biji buah Gorek inilah yang
mungkin memberikan efek antihiperglikemik (Sarma dan Das, 2008).
Beberapa enzim seperti protease, urease, amylase, peroksidase, katalase
dan oksidasi dilaporkan juga dimiliki oleh biji Gorek (Singh dan
Raghav, 2012).
(5) Terpenoid
caesalpin, β-caesalpin dan α-caesalpin merupakan tiga diterpenoid
pertama yang berhasil diisolasi dari biji Gorek. Selain itu, terdapat tiga
caesalpin lainnya yaitu E caesalpin, F caesalpin dan Y caesalpin
diisolasi dari inti biji Gorek (Singh dan Raghav, 2012).
22
(6) Tanin
Tanin merupakan substansi fenilik polimer
yang mampu
menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang
dikenal sebagai astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari
tanaman. Tanin dibagi ke dalam dua group, tannin yang dapat dihidrolisis
dan tannin kondensasi. Zat ini digunakan untuk menurunkan kadar glukosa
darah dengan cara memacu metabolism glukosa dan lemak. Tanin
diketahui memacu metabolisme glukosa dan lemak, sehingga timbunan
kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari dan akhirnya
kolesterol dan glukosa darah turun (Subroto, 2006)
Inti biji Gorek mengandung asam lemak (20-24%), tepung,
sukrosa, dua fitosterol, salah satunya diidentifikasi sebagai sitosterol dan
hidrokarbon. Kandungan asam lemak pada inti biji Gorek yaitu stearat,
palmitat, oleat, linocerik, linolenat, dan campuran asam lemak tak jenuh
dengan berat molekul rendah. Inti biji Gorek juga mengandung protein
yaitu: asam aspartat 9,5%, lysin 7,9%, glisin 6,9%, lusin 6,3%, histidin
5,1%, isoleusin 5,1%, sein 3,8%, asam r-amino-butirat 3,7%, tiroksin
3,7%, sitrulin 3,6%, asam glutamat 3,6%, treonin 3,6%, arginin 3,4%,
prolin 3,3%, L-alanin 2,5%, methionin 2,1%, fenil-alanin 1,4%, sistin
1,2%, alim 1,2% dan triptofan 0,8% (Singh dan Raghav, 2012).
23
2.4.3 Kegunaan Biji Gorek
Secara fitokimia, Caesalpinia bonducella memiliki banyak
kandungan antioksidan dan zat-zat aktif lainnya yang berpotensi untuk
digunakan sebagai obat. Meskipun banyak investigasi farmakologi yang
telah dilakukan, penelitian-penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi zat-zat aktif yang terkandung di dalamnya yang
berpotensi sebagai obat. Beberapa manfaat biji Gorek yang telah berhasil
diidentifikasi antara lain:
(1)antidiabetes dan antihiperlipidemia
Bubuk biji Gorek dilaporkan memiliki aktivitas hipoglikemik pada
hewan coba (Parameshwar dkk., 2002). Ekstrak (300mg/dl) dengan
pemberian oral menimbulkan efek hipoglikemik yang signifikan dan
menurunkan level BUN secara signifikan (p<0.05). Pada studi yang
sama, ekstrak ini juga menurunkan level kolesterol dan LDL pada
kondisi hiperlipidemia yang diinduksi diabetes efek antihiperglikemik
dari ekstrak mungkin berhubungan dengan penghambatan absorpsi
glukosa (Kannur dkk., 2006).
(2)Antibakteri
Empat triterpenoids yang diisolasi dari ekstrak metanol biji Gorek
menunjukkan aktivitas penghambatan bakteri gram positif dan gram
negatif spektrum luas (Saeed dan Abir, 2001).
24
(3)antipiretik dan analgesik
ekstrak etanol (70%) Caesalpinia bonducella telah diteliti untuk efek
antipiretik dan antinosiseptif pada tikus albino dewasa dengan dosis
30, 100, dan 300mg/kg secara oral. Hasilnya menunjukkan aktivitas
antipiretik yang nyata (p<0.05) pada kondisi pireksia yang diinduksi
jamur Brewer (Archana dkk., 2005).
(4) Anti filarial
Ekstrak
biji
Gorek
menunjukkan
aktivitas
mikrofilarisidal,
makrofilarisidal dan sterilisasi parasit betina terhadap B.malayi pada
hewan coba (Gaur dkk., 2008).
(5) Antioksidan
Ekstrak etanol biji Caesalpinia bonducella sebagai antioksidan alami
telah diuji pada studi invitro. Aktivitas DPPH dari ekstrak meningkat
dengan dosis dengan pembanding asam askorbat.
Ekstrak etanol
ditemukan dapat menangkap superoksida yang bersifat sebagai
oksidan. Pengukuran kandungan total fenolik menggunakan reagen
Folin-Ciocalteau mengandung 62,50mg/g dari kandungan fenolik.
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar (asam galat).
Ekstrak etanol diketahui juga menghambat radikal hidroksil, nitrit
oksida dan anion superoksid. Kesemua hal ini mengindikasikan bahwa
C.bonducella mempunyai potensi yang signifikan (p<0.05) sebagai
antioksidan alami (Shukla dkk., 2009)
25
(6) Immunomodulator
Konsumsi oral ekstrak etanol Caesalpinia bonducella (200-500mg/kg)
meningkatkan adhesi netrofil secara signifikan dan meningkatkan nilai
titer antibodi. Ekstrak biji Gorek juga mencegah myelosupresi pada
tikus yang diberi siklofosfamid dan menunjukkan respons yang baik
terhadap fagositosis.
Hal ini menunjukkan bahwa biji Gorek
mempunyai potensi terapeutik sebagai imunomodulator dan mencegah
penyakit autoimun (Shukla dkk., 2009).
2.5 Efek Antidiabetes Biji Gorek
Caesalpinia bonducella telah banyak digunakan pada pengobatan
tradisional di India untuk mengontrol kadar gula darah. Ekstrak biji
Gorek ini dilaporkan memiliki aktivitas hipoglikemik pada hewan coba.
Menurut Shukla, pada penelitian dengan multi dosis, ekstrak Caesalpinia
bonducella dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan
(p<0.05). Ekstrak dengan dosis 400mg/kgBB lebih efektif menurunkan
kadar gula darah dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah yaitu
200mg/kgBB dan 300mg/kgBB (Shukla dkk., 2011).
Hiperglikemia meningkatkan pembentukan radikal bebas dengan
auto-oksidasi
glukosa
dan
terbentuknya
menyebabkan kerusakan sel hati.
radikal
bebas
dapat
Ekstrak biji Gorek, seperti pada
penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui menunjukkan aktivitas
antioksidan kuat dan memiliki efek proteksi terhadap kerusakan DNA
yang disebabkan oleh radikal hidroksil sehingga bermanfaat dalam
26
mengurangi pembentukan radikal bebas akibat diabetes. Mekanisme aksi
antidiabetik ekstrak ini dalam mengurangi kadar gula darah masih belum
diketahui.
Diduga ekstrak biji Gorek dapat menurunkan pelepasan
sitokin inflamasi pada diabetes yang menjadi salah satu penyebab
resistensi insulin (Shukla dkk., 2011).
Tes toleransi glukosa yang dilakukan pada tikus non diabetes,
ekstrak hidroalkoholik (500mg/kgBB) menunjukkan penurunan kadar
gula darah secara signifikan (p<0.05) dalam 90 menit setelah pemberian.
Untuk mengetahui dosis optimal pada hewan diabetes, ekstrak
hidroalkoholik biji Gorek dengan dosis berbeda digunakan pada
penelitian yaitu 250mg/kgBB dan 500mg/kgBB disertai dengan
pemberian glibenklamid sebagai pembanding.
Ekstrak dengan dosis
500m/kgBB memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan
dosis yang lebih rendah maupun dengan pembanding sehingga dapat
disimpulkan bahwa dosis 500mg/kgBB merupakan dosis efektif
menurunkan kadar gula darah (Prashant dan Bhanudas, 2011).
Efek hipoglikemik ekstrak hidroalkohol biji Gorek pada tikus
diabetes menyebabkan penurunan kadar gula darah yang signifikan
terutama pada dosis 500mg/kgBB
(p<0.01) dibandingkan dengan
glibenklamid. Ekstrak mungkin bekerja dengan meningkatkan sekresi
pankreas
atau
meningkatkan
ambilan
glukosa.
Pemeriksaan
histopatologi pankreas, hati dan ginjal menunjukkan perbaikan jaringan-
27
jaringan yang rusak pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan
kelompok kontrol (Prashant dan Bhanudas, 2011).
Aktivitas antidiabetes dari biji buah Gorek (Caesalpinia
bonducella) dihasilkan dari adanya kandungan flavonoid yang diketahui
sebagai antioksidan alami yang melindungi sel β dari kerusakan akibat
radikal bebas. Lebih lanjut, penelitian sebelumnya melaporkan bahwa
flavonoid melindungi sel β terhadap kerusakan akibat stres oksidatif
sekaligus meregenerasi sel β. Selain flavonoid, saponin dilaporkan dapat
menghambat transportasi glukosa di dalam usus dengan menghambat
sodium glucose co-transporter-1 (S-GLUT-1). Kandungan Saponin di
dalam biji buah Gorek inilah yang mungkin memberikan efek
antihiperglikemik (Sarma dan Das, 2008).
Pada penelitian dengan ekstrak hidrometanolik biji Caesalpinia
bonducella pada tikus diabetes menunjukkan adanya perbaikan signifikan
(p<0.05) dari aktivitas enzim-enzim metabolik karbohidrat disertai
dengan perbaikan kadar glukosa puasa dan glikogen dibandingkan
dengan kelompok diabetes yang tidak diberi perlakuan.
Ekstrak juga
menunjukkan perbaikan signifikan (p<0.05) dari aktivitas enzim-enzim
antioksidan seperti katalase dan superoksid dismutase dan perbaikan
kadar lipid peroksidase setelah pemberian ekstrak (Jana dkk., 2012).
Hasil penelitian yang membuktikan bahwa ekstrak hidrometanol
biji Gorek dapat menurunkan kadar glukosa puasa mengimplikasikan
bahwa ekstrak dapat menstimulasi sel-sel β pankreas yang masih
28
berfungsi baik pada tikus diabetes untuk mensekresi insulin atau
mungkin membantu meregenerasi sel β pankreas.
Hal lainnya yang
menunjukkan adanya aktivitas regeneratif dari sel β pankreas pada tikus
diabetes yang diinduksi streptozotocin setelah pemberian ekstrak adalah
meningkatnya aktivitas heksokinase, glukosa-6-fosfat dehidrogenasi dan
glukosa-6-fosfatase pada hati serta peningkatan kadar glikogen pada hati
dan otot rangka. Oleh karena biomarker-biomarker ini dikontrol oleh
insulin, maka dapat diperkirakan bahwa ekstrak biji Gorek ini dapat
meningkatkan sintesis atau sekresi insulin pankreas karena adanya
regenerasi sel β (Jana dkk., 2011).
Efek antidiabetik dari ekstrak Caesalpinia bonducella mungkin
juga ditimbulkan oleh efek antioksidannya. Penurunan aktivitas katalase
dan superoksid dismutase pada kelompok diabetes mungkin disebabkan
oleh peningkatan produksi H2O2 dan O2 karena proses auto-oksidasi
glukosa dan
glikasi
non enzimatik.
Pemberian
C.bonducella
menunjukkan penurunan lipid peroksidase yang berhubungan dengan
peningkatan
aktivitas
superoksid
dismutase
dan
katalase
mengindikasikan bahwa ekstrak dapat menurunkan radikal bebas oksigen
reaktif dan meningkatkan aktivitas enzim-enzim antioksidan hepar (Jana
dkk., 2011).
Pada diabetes, serum GOT, GPT dan aktivitas ALP meningkat
yang dapat berhubungan dengan kerusakan sel. Ekstrak tumbuhan ini
dapat menurunkan kadar enzim-enzim tersebut secara signifikan
29
(p<0.05).
Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biji C.bonducella
memiliki efek antidiabetik tanpa menyebabkan toksisitas (Jana dkk.,
2011).
2.6 Hewan Percobaan
2.6.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba
Percobaan ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang
percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang
lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan
kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga
mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi
biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006).
Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan
sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya
mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu
besar.
Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya.
Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang
lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi
yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus
putih tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan.
Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih
besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium,
30
tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan
memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum
mengalami proses penuaan intrinsik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Klasifikasi Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah
sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
2.6.2 Kriteria Tikus Diabetes
Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL
sampai 135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung
pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar
glukosa pada tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosanya di atas
135mg/dL (Animalarticle, 2011). Menurut jurnal sebelumnya kadar plasma
insulin pada tikus yang normal adalah 5-10 IU/ml (Handayani dkk.,2009)
2.7 LD50 Ekstrak Etanol Biji Gorek
Efek toksik suatu bahan obat dapat ditentukan dengan menghitung
LD50 (Lethal Dose 50), artinya dosis yang dapat membunuh 50% binatang
31
percobaan. Semakin tinggi nilai LD50, berarti bahan obat tersebut semakin
aman untuk dikonsumsi. Nilai LD50 dari ekstrak etanol biji Gorek
(Caesalpinia bonducella) yaitu > 2000mg/kg. Ekstrak etanol biji Gorek
tidak memberikan efek toksik pada dosis tersebut (Muddapur dkk., 2014).
Efek toksisitas akut dari biji Gorek telah diteliti dengan memberikan
2000mg/kgBB ekstrak pada sekelompok tikus, kemudian tikus diperiksa
setelah 24 jam. Tidak ada tikus yang mati setelah 24 jam pemberian ekstrak
serta tidak ditemukan adanya perubahan perilaku dan sistem saraf sensorik
yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis letal dari ekstrak
etanol biji Gorek adalah di atas 2000mg/kg (Muddapur dkk., 2014). Pada
penelitian lainnya didapatkan bahwa pemberian ekstrak hidro-alkohol biji
Gorek mulai dari dosis 1000mg sampai 3000mg/kgBB/hari tidak
menimbulkan perubahan perilaku yang signifikan. Pada pemberian oral
dosis tunggal, tidak ditemukan efek samping. Hal ini mengindikasikan
bahwa ekstrak biji Gorek bersifat non toksik pada kondisi di bawah
pengawasan (Prashant dan Bhanudas, 2011).
Toksisitas sub akut dari pemberian ekstrak etanol biji Gorek juga
telah diteliti dengan cara memberikan ekstrak C.bonducella pada dosis
200mg/kgBB selama 14 hari. Tidak ada kematian tikus yang terjadi setelah
pemberian ekstrak selama 14 hari (Muddapur dkk., 2014)
Download