Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjunjung hak-hak perempuan melalui berbagai peraturan hukum dan menunjukkannya dengan menjalankan prinsip kesetaraan gender. Kondisi tesebut sejalan dengan konsep emansipasi perempuan yang menempatkan posisi perempuan pada level yang sejajar dengan laki-laki terutama dalam masalah ketenagakerjaan. Pekerja perempuan merupakan faktor tenaga kerja yang potensial (Robbins & Judge, 2009). Perempuan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi terlihat dari kecenderungan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja (BAPPENAS, 2013). Partisipasi perempuan saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya bagi pembangunan dalam masyarakat. Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga, sedangkan peran transisi meliputi peran perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Peran transisi perempuan sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Palupi, 2012). Perempuan yang bekerja memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang tidak bekerja (Shapiro, Ingols & Beard, 2008). Seseorang dapat menemukan makna hidup malalui bekerja dan pengalaman selama hidupnya (Frankl, 1985). Bekerja juga dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan masyarakat, hingga lingkungan berbangsa dan bernegara (Morin, 2003). Terdapat 3 teori utama yang dapat menjelaskan mengenai adanya kebutuhan individu dalam meraih pencapaian karir melalui bekerja, antara lain yaitu teori motivasi kerja dari 1 2 McClelland (dalam Robbins & Jugde, 2009) dan teori self determination dari Deci dan Ryan (2000), teori sosial kognitif dari Bandura (1986) dan teori mengenai karir dari Super (1996). Menurut McClelland (dalam Robbins & Jugde, 2009) terdapat 3 hal yang dapat memotivasi seseorang dalam bekerja, antara lain yaitu karena adanya kebutuhan akan pencapaian (need for achievement), kebutuhan akan kekuatan (need for power) dan kebutuhan akan hubungan (need for affiliation). Kebutuhan akan pencapaian (need for achievement) merupakan dorongan untuk berprestasi dalam mencapai kesuksesan, ditunjukkan dengan adanya kesediaan menerima resiko yang tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik dari lingkungan sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power) adalah kebutuhan untuk mampu mengendalikan dan mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu posisi kepemimpinan untuk memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan memiliki karakter kuat untuk memimpin untuk peningkatan status pribadi. Kebutuhan akan hubungan (need for affiliation) adalah keinginan untuk berhubungan antar pribadi yang ramah, akrab, kooperatif dan hubungan yang penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. Self determination theory dari Deci dan Ryan (2000) menekankan pada pentingnya suatu dorongan yang terdapat dalam diri individu untuk mengembangkan diri dan mengatur sebuah perilaku. Teori motivasi ini meninjau kondisi-kondisi yang dapat menopang atau mengurangi kekuatan motivasi, motivasi sebagai sebuah konsep yang dapat menjelaskan keadaan dalam diri individu yang mencakup energi atau dorongan pada diri individu untuk terlibat 3 dalam suatu aktivitas yang diarahkan demi mencapai suatu kebutuhan ataupun tujuan individu (Deci & Ryan, 2000). Berdasarkan sumber pembentuk dan orientasi individu, terdapat 3 jenis motivasi berdasarkan orientasi sebab-akibat yang dapat mempengaruhi kekuatan motivasi pada sebuah perilaku yaitu motivasi yang terbentuk atas pengaruh dari luar diri individu (motivasi ekstrinsik) dan motivasi yang terbentuk dari diri individu (motivasi intrinsik) dan tidak termotivasi (Deci & Ryan, 2000). Motivasi ekstrinsik menunjukkan perilaku yang termotivasi ekstrinsik dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan suatu hasil yang terpisah dari perilaku/aktivitas itu sendiri. Bandura (1986) berpendapat bahwa perilaku yang termotivasi secara ekstrinsik hanya akan bertahan secara berkelanjutan selama faktor pendorongnya tetap dipertahankan, dan cenderung berubah jika faktor pendorongnya diganti atau dihilangkan. Hal tersebut dikarenakan hubungan antara faktor ekstrinsik dengan individu dan tindakan dapat berubah-ubah, individu dapat mempelajari kondisi sosialnya. Motivasi intrinsik menunjukkan perilaku yang termotivasi secara intrinsik menggambarkan prototype dari aktivitas yang berkedaulatan diri yang dilakukan secara alami dan spontan saat mereka memiliki kebebasan dalam menentukan keinginan. Kondisi sosial dan lingkungan disekitar individu memiliki peran penting dalam memfasilitasi internalisasi motivasi dengan mendukung atau menghambat kebutuhan dasar psikologis yang dibawa sejak lahir mengikuti apa yang mereka inginkan. Selain itu yang ketiga yaitu tidak termotivasi. Teori belajar sosial dari Bandura (1986) didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri (self regulation). Reciprocal determinism menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terjadi secara 4 terus menerus antara determinan kognitif, perilaku dan lingkungan. Bandura memandang individu belajar melalui observasi dan tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, bukan bergantung oleh adanya penguatan atau reinforcement (beyond reinforcement). Selain itu individu diyakini memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengobservasi lingkungan dan berfikir secara komprehensif (self regulation). Seseorang memilih karir sebagai hasil dari pengalaman yang dimiliki dalam hidup yang diperoleh dari hasil pengamatan diri sendiri, dan lingkungan, sehingga ia mengetahui kerja yang spesifik dengan kemampuan yang dimiliki (Mitchell & Krumboltz, 1987). Individu dipercaya mampu mengatur diri dan berperilaku reaktif dengan kontrol diri yang dimiliki terhadap lingkungannya (Bandura, 1986). Bekerja sebagai salah satu bagian dari tugas perkembangan seorang dewasa, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan menampilkan potensi dan kemampuan terbaik yang dimiliki (Hurlock, 2006). Menurut Karl Marx (dalam Hurlock, 2006) dengan bekerja seseorang dapat menunjukkan identitas dan eksistensi diri yang berpengaruh terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui karir merupakan pilihan yang saat ini diambil oleh perempuan, seseorang akan berupaya untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk dapat meraih pencapaian karir yang lebih tinggi. Berkarir merujuk pada pengembangan kesejahteraan diri mengembangkan diri kemampuan, (Greenhaus, yang pengetahuan 2003). memungkinkan Karir hingga juga seseorang pengembangan sebagai proses membentuk dan memperhitungkan hubungan antara tindakan, usaha, rencana, tujuan, dan 5 konsekuensi dalam membingkai kognisi internal dan emosi (Young & Valach, 1996). Menurut Winkel dan Hastuti (2007), keberadaan diri sendiri merupakan faktor utama dalam perencanaan karir yang memerlukan pengaturan dan pengelolaan potensi diri serta informasi yang diperoleh. Westman (2009) menegaskan bahwa perempuan yang bekerja dan berkarir memiliki pandangan dan perasaan yang lebih positif dibandingkan perempuan yang tidak bekerja. Berkarir merupakan perwujudan konsep diri yang berlangsung sepanjang hayat, dimulai sejak awal kehidupan sampai akhir kehidupan (Super, 1996). Karir merupakan rangkaian sikap dan perilaku berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Tahapan perkembangan karir menurut Super (1996) mengenai life span-life space, menekankan hubungan antara tahapan hidup psikologis dengan peranan sosial untuk mendapatkan gambaran umum mengenai karir. Dimensi life span merupakan tahapan perkembangan karir yang dilakukan sesuai dengan umur, tahapan belajar, hidup dalam masyarakat, bekerja, menikah sampai dengan masa pensiun. Dimensi kedua merupakan dimensi ruang atau life space yaitu dimensi yang berkaitan dengan kondisi sosial tempat individu tersebut hidup. Sehingga pada usia tertentu, individu memiliki peran perkembangan yang harus dijalankan sesuai dengan tahapan perkembangannya (Super, 1996). Karir juga merupakan kemajuan atau keberhasilan seseorang dalam dunia pekerjaan yang diperoleh karena keberhasilannya dalam mengembangkan diri (Greenhaus, Callanan, & Godshalk, 2000). Karir sebagai sarana membentuk seseorang agar mampu menemukan secara jelas keahlian, nilai, tujuan karir dan kebutuhan untuk pengembangan, merencanakan tujuan karir dan secara berkesinambungan meningkatkan rencana karirnya (Soetjipto, 2002). Komponen 6 utama karir terdiri dari alur karir, tujuan karir, perencanaan karir dan pengembangan karir. Alur karir adalah pola pekerjaan yang berurutan dan membentuk karir seseorang. Tujuan karir merupakan pernyataan tentang posisi masa depan seseorang yang berupaya mencapainya sebagai bagian dari karir hidupnya yang menunjukkan kedudukan seseorang sepanjang karir pekerjaannya. Perencanaan karir merupakan proses seseorang menyeleksi tujuan karir dan arus karir yang meliputi perbaikan personal yang dilakukan untuk mencapai rencana karirnya ( Keith & Werther, 1996). Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami karir yaitu karir sebagai kualitas individual dan karir sebagai kepemilikan organisasi (Greenhaus, 2003). Pendekatan pertama menyatakan bahwa karir sebagai bentuk kualitas individual yang terbentuk melalui adanya proses perubahan nilai, motivasi dan sikap pada setiap individu, sedangkan pendekatan kedua memahami karir sebagai kepemilikan dari sebuah organisasi, dalam hal ini karir sebagai mobilitas tunggal dalam sebuah organisasi yaitu melalui jalur karir (Greenhaus, 2003). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut definisi karir adalah sebagai pola pegalaman berdasarkan pekerjaan (work-related experiences) yang merentang sepanjang perjalanan pekerjaan yang dialami oleh setiap individu dan secara luas dapat dirinci ke dalam obyective events (Greenhaus, 2003). Perencanaan karir sejak dini akan memudahkan seseorang untuk memperhitungkan karir yang akan mereka inginkan dalam proses pengambilan keputusan karir (Beuder, 2007). Pembangunan bidang politik dalam negeri semakin menjadi area yang strategis bagi pencapaian kesetaraan gender. Sebelum memasuki era reformasi, politik dalam negeri tidak banyak mengalami perubahan. Pengambilan keputusan 7 dan kontrol terhadap pembangunan sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan peran perempuan dalam politik masih terbatas. Memasuki era reformasi, sebagai titik awal munculnya kesadaran baru tentang pentingnya peranan perempuan pada sektor publik sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing yang seimbang antara perempuan dan laki-laki melalui adanya partisipasi perempuan dalam bidang politik. Peranan perempuan ini tidak hanya sebagai sebuah stereotype yang menekan perempuan untuk berkutat hanya disektor domestik, tetapi menjadi sebuah motivasi yang menghasilkan etos kerja yang tinggi (Mckay, 2004). Hingga saat ini partisipasi perempuan dalam partai politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi, hal ini didukung dengan adanya penegakan hak asasi manusia (HAM) pada setiap kerangka kerja demokrasi dan good governance yang memberikan kebebasan dan hak partisipasi politik yang sama bagi laki-laki dan perempuan (Rosidawati, 2010). Partisipasi politik secara umum didifinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok kepentingan, menjadi anggota parlemen, mengadakan hubungan contacting dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen (Blood & Wolfe, 1960). Secara umum, karir di bidang politik berbeda dengan karir dalam sebuah perusahaan. Karir seseorang dalam sebuah perusahaan ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang ada dalam perusahaan tersebut, hal ini terkait dengan sistem pengembangan karir, promosi jabatan, sistem kompensasi serta pengukuran kinerja yang obyektif dilakukan dalam menentukan tingkatan karir seseorang. Namun, karir seseorang di partai politik dibentuk dan dibangun oleh 8 individu itu sendiri melalui keaktifannya dalam kegiatan partai, pendekatan terhadap masyarakat, prestasi kerja yang dimiliki dan kedekatan hubungannya dengan para elit politik dalam partai politik. Meningkatnya peluang perempuan dalam berkarir di bidang politik ditandai dengan adanya hak untuk memberikan suara dan mencalonkan diri sebagai anggota partai politik (Ballington, 2011) dan adanya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 semakin membuka peluang bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi aktif di dalam pembangunan politik yang berwawasan gender, serta pasal 65 undang-undang pemilu No. 12 tahun 2008, ayat (1) menyatakan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%. Hal ini diharapkan dapat membawa perubahan pada kualitas legislasi gender yang adil dalam menyelesaikan bebagai permasalahan politik (Undang-Undang Dasar, 1945). Negara Indonesia menduduki urutan ketiga terendah terkait dengan tingkat partisipasi perempuan pada kursi pemerintahan di wilayah Asia Tenggara, keterwakilan perempuan dalam kursi pemerintahan Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti Timor Leste, Laos dan Vietnam pada tahun 2010 (Inter Parliamentary Union, 2010). Saat ini peluang bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik semakin meningkat, namun pengakuan dan penerapan hak-hak politik antara laki-laki dan perempuan masih tetap belum seimbang. Hasil analisis yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) tahun 2014 menunjukkan bahwa secara keseluruhan jumlah calon legislatif perempuan yang terpilih mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hasil pemilu 9 sebelumnya (Susiana, 2014). Menurut Smith, Reingold & Owens (2012), karakteristik masyarakat dapat digunakan untuk memprediksi keberadaan perempuan sebagai kelembagaan. pembuat kebijakan kota, Struktur kepengurusan partai struktur politik pemilihan dan menempatkan kader perempuan pada divisi atau bidang yang kurang strategis. Keterpilihan anggota legislatif perempuan berhubungan dengan keberadaan anggota keluarga di partai politik yang mengusungnya (Sutrisno, 2013). Pimpinan partai politik tersebut memegang kekuasaan untuk menetapkan nomor urut calon legislatifnya (Usha, 2005). Kurangnya sosialisasi mengenai peran gender dalam organisasi partai politik semakin membatasi jumlah perempuan yang mampu bersaing dan memenangkan kepemimpinan partai (O’Neill & Stewart, 2009). Ketidaktersediaan sumber daya perempuan yang memadai untuk menjadi calon legislatif dari partai politik juga menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam organisasi partai politik. Idiologi mengenai kesetaraan gender dalam suatu negara tercermin tersedianya perempuan yang kompeten dalam sebuah kelompok pemberdayaan perempuan, namun organisasi politik tetap tidak mampu menghasilkan representasi perempuan seimbang (Reckhow, 2009). Perempuan dianggap memerlukan waktu lebih lama untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia politik, hal ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan para aktivis perempuan segera mundur dari kancah politik ketika hati nurani mereka tidak bisa memahami intrik internal partai dan cenderung menjauh dari kegiatan politik praktis (UNDP Indonesia, 2010) serta adanya pengaruh budaya patriarki yang dianut masyarakat, adanya dominasi laki-laki atas perempuan yang didukung oleh idiologi gender (Galligan, Yvonne & Clavero, 2008). Penelitian lain 10 menyebutkan bahwa agama juga memiliki dampak yang berbeda terhadap keberadaan perempuan di ranah publik (Lilliefeldt, 2012). Secara spesifik Ballington (2011), menjelaskan bahwa di dalam organisasi partai politik terdapat beberapa kendala yang dialami oleh perempuan yang berusaha meningkatkan keefektifannya dalam berkarir di dunia politik antara lain yaitu (1) perempuan dengan sumber biaya independen belum memiliki akses untuk membiayai mobilitas dirinya dalam partai politik, seperti biaya pencalonan, biaya kampaye dan biaya pemilu, (2) kepemimpinan partai politik juga cenderung didominasi laki-laki dan (3) adanya kecenderungan untuk menyeleksi kandidat perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan para elit politik serta (4) kurangnya mobilisasi kaum perempuan dan ketidakmampuan mereka untuk saling mendukung dan bersikap proaktif untuk memperjuangkan hak-haknya serta rendahnya pemahaman mengenai konsep kesetaraan gender di kalangan anggota legislatif perempuan menyebabkan anggota legislatif perempuan yang kurang berkualitas menjadi lebih nampak karena jumlah yang sedikit. Hambatan-hambatan karir sangat bermanfaat digunakan dalam memahami perkembangan karir perempuan dan kaum minoritas (Luzzo,1993, 1995; Luzzo & McWhirter, 2001). Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja politisi dan banyaknya hambatan yang dijumpai oleh kader perempuan dalam berkarir di bidang politik tidak selalu menjadi penghalang bagi perempuan untuk sukses dalam membangun karirnya di bidang politik. Hal ini dibuktikan oleh tokoh politisi perempuan seperti Khofifah Indar Parawansa memulai karir dan terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 1992-1998, kemudian pindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada periode 19982000, ia menduduki kursi DPR sebagai wakil dari PKB dan dilantik sebagai 11 Menteri Pemberdayaan Perempuan pada tahun 1999-2001 dan pada awal 2013, ia memenangkan pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2014-2019 (Teylita & Chotib, 2015). Pada partai berbeda terdapat Marissa Greace Haque Fawzi yang mengawali karirnya dengan bergabung dengan Partai PDIP dan terpilih sebagai anggota DPR-RI pada tahun 2004 serta pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Putri, 2015). Selain itu, Rieke Diah Pitaloka juga merupakan politisi yang berhasil menjajaki dunia politik, ia pernah menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kemudian ia bergabung dengan Partai PDIP dan terpilih menjadi anggota DPR periode 2009-2014 (Wijaya, 2015). Partai politik itu sendiri merupakan suatu kelompok yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita dan terorganisir serta mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum menempatkan caloncalonnya dalam tatanan jabatan publik (Budiarjo, 2008). Oleh karena itu kinerja anggota partai menjadi hal yang sangat penting dan terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Sebuah organisasi partai politik memiliki peran dalam melakukan pembinaan, edukasi, pembekalan, kaderisasi dan penerapan idiologi politik (Firmanzah, 2008), karena setiap organisasi bertanggung jawab dalam menciptakan suatu lingkungan yang mendorong pengembangan secara profesional dengan memperhatikan kebutuhan dalam mengembangkan diri (Cabrera, 1990). Diterimanya perspektif perempuan dan partisipasi perempuan dalam politik adalah sebagai upaya pembangunan demokrasi kontribusi untuk penguatan good governance dan sarana utama untuk mendorong inisiatif pemberdayaan perempuan, meningkatkan proporsi perempuan dalam pemerintahan dalam mepercepat pemberantasan korupsi dan mengubah opini 12 publik mengenai kesetaraan gender, menggalang partai lain untuk berkoalisi dan meningkatkan citra partai di negara lain (Sundstrom & Wangnerud, 2014; Ballington, 2011). Pada konteks jabatan politik, maka partai politik akan menempatkan wakilnya di berbagai jabatan politik agar dapat memenuhi tujuan dari partai dan konstituen partai yang memiliki fungsi untuk merangkum berbagai macam kepentingan dan merumuskannya sebuah kebijakan negara bagi kepentingan masyarakat (Duverger, 1984). Pentingnya peranan dari anggota partai ini tidak sejalan dengan stigma negatif masyarakat. Menurut hasil survei yang dilakukan Institut Riset Indonesia (Insis) menunjukkan bahwa mayoritas publik tidak puas dengan kinerja anggota DPR periode 2009-2014. Publik menilai kinerja anggota Dewan tidak baik sebanyak 60,9%, hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah kasus suap, korupsi, tindakan asusila, hingga ketidakdisiplinan yang melibatkan anggota Dewan, dan perpindahan antar kader politik (Gatra, 2013). Perpindahan orang-orang dengan jabatan strategis di partainya sering terjadi karena adanya konflik internal partai, tawaran bergabung dari partai lain, ketidakpuasan terhadap, rendahnya komitmen organisasi pada anggota partai, lunturnya ideologi dan loyalitas anggota partai serta adanya kebutuhan untuk meningkatkan karir politik, potensi diri dan adanya kebutuhan anggota partai politik akan manajemen pengorganisasian partai yang sehat (Nida & Simarmata, 2009; Zaman, 2012; Astrika, 2011). Perpindahan anggota yang terjadi dalam tubuh internal partai menjadikan partai kehilangan dukungan suara yang dibawa oleh kader yang berpindah serta perlunya proses adaptasi kembali karena hilangnya mesin penggerak partai dan rusaknya pembentukan pola kaderisasi (Sutrisno, 2013). 13 Seseorang dapat memaknai karir melalui pengalaman-pengalaman kerja yang dialami sepanjang hidupnya. Pengalaman tersebut dapat berupa pengalaman kegagalan dan pengalaman kesuksesan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Mitchell dan Krumboltz (1987), bahwa kepribadian dan perilaku timbul dari pengalaman belajar yang unik melalui kontak antara analisis kognitif yang positif dan kejadian yang menguatkan seseorang secara negatif. Masalah karir sering berhubungan kepada ketidakmampuan individu untuk membuat pemilihan yang berhubungan dengan apa yang dibutuhkan dalam karirnya. Seseorang yang memiliki keyakinan dalam penilaiannya terhadap diri untuk dapat sukses dalam menghadapi tugas-tugasnya atau memiliki efikasi diri yang baik akan senantiasa berpengaruh terhadap pilihan tindakan karirnya, kemampuan menghadapi tantangan, dan berupaya dalam menemukan solusi dari permasalahan yang dialami di lingkungan kerja (Bandura, 1986). Pajares (1997) juga menyatakan bahwa efikasi diri merupakan salah satu indikator kesuksesan karir individu. Friedman & Greenhous (2000) menyatakan bahwa terdapat 5 dimensi yang harus diperhatikan dalam memahami kesuksesan karir seseorang meliputi, status, time for self, challenge dan security social consideration. Kesuksesan karir didefinisikan dalam dimensi obyektif dan subyektif (Judge, Mueller & Bretz, 2004). Kesuksesan karir obyektif meliputi di dalamnya pencapaian karir yang dapat diukur, seperti dapat dilihat dari tingkat kompensasi atau promosi yang diperoleh individu. Kesuksesan karir subyektif didefinisikan sebagai perasaan individu dalam pencapaian dan kepuasan karir termasuk di dalamnya peningkatan jenjang karir, gaji, dan profesionalisme kerja (Judge, Kringer & Simon, 2010). Kesuksesan karir subyektif ditunjukkan ketika seseorang merasa 14 berkarir sebagai panggilan jiwa (Hall & Chadler, 2005). Sehingga karir didefinisikan sebagai urutan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku nilai-nilai, dan aspirasi seseorang selama rentang hidupnya. Individu dapat meningkatkan kepuasan karir mereka dengan berpartisipasi dalam perilaku manajemen karir (Barnet & Bradley, 2007). Organisasi yang mampu menerapkan altruisme dan nilai-nilai yang positif akan dapat menciptakan kepuasan karir individu dalam bekerja (Valentine, Godkin, Fleishman, Kidwell & Page, 2011). Menurut Bandura, Hackett dan Bitz (dalam Osipow, 1983), dalam mengambil keputusan karir, individu dapat mengamati dan meniru orang lain disekelilingnya dan merealisasikannya menjadi perilaku. Oleh karena itu terdapat pengaruh orang lain terhadap individu dalam perencanaan dan pemilihan karir, hal ini semakin memperkuat adanya pengaruh lingkungan terhadap pengambilan keputusan karir individu (Okiishi, 1987). Menurut Mitchell & Krumboltz (1987) terdapat empat faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan karir, antara lain yaitu kemampuankemampuan khusus individu, kondisi dan peristiwa lingkungan, pengalaman belajar dan keterampilan dalam menghadapi tugas. Karir juga dimaknai sebagai urutan pegalaman seseorang dari waktu ke waktu (Arthur, Khapova & Wilderom, 2005). Karir berkaitan dengan adanya pengakuan terhadap peran nilai-nilai, minat dan kemampuan dalam pengambilan keputusan pengembangan karir (Super, 1966). Pemahaman mengenai karir dapat dijadikan sarana untuk memotivasi dan mempengaruhi kinerja anggota organisasi (Collin & Young, 2000). Pemahaman mengenai karir berbeda antara laki-laki dan perempuan (Palupi, 2012). Laki-laki mendifinisikan karir sebagai prestasi atau pencapaian tertentu dalam dunia pekerjaan, sedangkan perempuan memandang kesuksesan 15 karir sebagai pencapaian keseimbangan antara karir dalam bekerja dan keluarga (Seibert & Kraimer, 2001). Pemahaman dan pemaknaan terhadap karir bagi politisi perempuan menjadi hal yang penting untuk dimiliki oleh politisi perempuan. Menurut Morisson, Burke dan Green (2007) dorongan untuk bekerja secara produktif berasal dari perasaan terhadap pemaknaan dan tujuan dalam pekerjaan itu sendiri. Perempuan yang berkarir di bidang politik menyadari akan adanya hambatan yang dialami perempuan dalam membangun karir dalam organisasi partai politik, hal tersebut tidak menjadi batasan bagi perempuan untuk mampu mencapai kesuksesan karirnya. Oleh karena itu, penelitian mengenai peran perempuan dalam bidang politik ini menjadi penting dilakukan saat ini. Hal ini dikarenakan pembangunan bidang politik menjadi area yang strategis bagi pencapaian kesetaraan gender dengan memberikan peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif di dalam pembangunan politik yang berwawasan gender. Kontribusi yang diberikan dapat berupa saran pengembangan yang berdasar pada hasil penelitian yang empirik, sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk politisi perempuan dalam membangun strategi sukses bagi perempuan dalam berkarir di dunia politik. Selain itu kontribusi hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi partai politik dalam menumbuhkan kesadaran bagi partai politik terhadap pentingnya upaya pengembangan sistem kaderisisasi berwawasan gender yang tepat dan sesuai bagi politisi perempuan dalam upaya membangun karir di dunia politik dan mengembangkan kemampuan diri sebagai politisi serta diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak-pihak terkait yang mendukung adanya keterlibatan dan representasi perempuan dalam bidang politik. 16 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami makna karir bagi perempuan yang berkarir dalam organisasi partai politik. Pertanyaan Penelitian Berdasar pada fenomena di atas, pertanyaan penelitian ini adalah : 1. Apakah makna karir bagi perempuan yang berkarir dalam partai politik ? 2. Bagaimana dinamika psikologis perempuan yang berkarir dalam organisasi partai politik ? Implikasi Studi Hasil penelitian mengenai karir perempuan dalam organisasi partai politik diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat berkontribusi dalam memperkaya keseluruhan hasil penelitian mengenai karir perempuan dan sebagai petunjuk yang tepat dalam membangun strategi sukses bagi perempuan dalam berkarir di dunia politik serta memberikan informasi dan referensi kepada para akademisi dan peneliti untuk melakukan penelitian sejenis. 2. Praktis Secara praktis penelitian ini dapat digunakan oleh para praktisi dan psikolog Industri dan Organisasi dalam memberikan konsultasi kepada kader perempuan dalam memahami karir di bidang politik serta hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh organisasi partai politik dalam membentuk sistem kaderisasi yang tepat bagi kader perempuan.