1 Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen untuk

advertisement
Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjunjung hak-hak
perempuan melalui berbagai peraturan hukum dan menunjukkannya dengan
menjalankan prinsip kesetaraan gender. Kondisi tesebut sejalan dengan konsep
emansipasi perempuan yang menempatkan posisi perempuan pada level yang
sejajar dengan laki-laki terutama dalam masalah ketenagakerjaan. Pekerja
perempuan merupakan faktor tenaga kerja yang potensial (Robbins & Judge,
2009). Perempuan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi terlihat dari
kecenderungan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja (BAPPENAS,
2013). Partisipasi perempuan saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak
tetapi juga menyatakan fungsinya bagi pembangunan dalam masyarakat.
Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau
domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah
tangga, sedangkan peran transisi meliputi peran perempuan sebagai tenaga
kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Peran transisi
perempuan sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari
nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang
dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Palupi, 2012). Perempuan yang
bekerja memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan yang tidak bekerja (Shapiro, Ingols & Beard, 2008).
Seseorang
dapat
menemukan makna
hidup
malalui
bekerja
dan
pengalaman selama hidupnya (Frankl, 1985). Bekerja juga dimaknai sebagai
bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan masyarakat,
hingga lingkungan berbangsa dan bernegara (Morin, 2003). Terdapat 3 teori
utama yang dapat menjelaskan mengenai adanya kebutuhan individu dalam
meraih pencapaian karir melalui bekerja, antara lain yaitu teori motivasi kerja dari
1
2
McClelland (dalam Robbins & Jugde, 2009) dan teori self determination dari Deci
dan Ryan (2000), teori sosial kognitif dari Bandura (1986) dan teori mengenai
karir dari Super (1996).
Menurut McClelland (dalam Robbins & Jugde, 2009) terdapat 3 hal yang
dapat memotivasi seseorang dalam bekerja, antara lain yaitu karena adanya
kebutuhan akan pencapaian (need for achievement), kebutuhan akan kekuatan
(need for power) dan kebutuhan akan hubungan (need for affiliation). Kebutuhan
akan pencapaian (need for achievement) merupakan dorongan untuk berprestasi
dalam mencapai kesuksesan, ditunjukkan dengan adanya kesediaan menerima
resiko yang tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik dari lingkungan
sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut. Kebutuhan akan
kekuasaan (need for power) adalah kebutuhan untuk mampu mengendalikan dan
mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu posisi kepemimpinan untuk
memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan memiliki karakter kuat untuk
memimpin untuk peningkatan status pribadi. Kebutuhan akan hubungan (need
for affiliation) adalah keinginan untuk berhubungan antar pribadi yang ramah,
akrab, kooperatif dan hubungan yang penuh sikap persahabatan dengan pihak
lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil
dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Self determination theory dari Deci dan Ryan (2000) menekankan pada
pentingnya
suatu
dorongan
yang
terdapat
dalam
diri
individu
untuk
mengembangkan diri dan mengatur sebuah perilaku. Teori motivasi ini meninjau
kondisi-kondisi yang dapat menopang atau mengurangi kekuatan motivasi,
motivasi sebagai sebuah konsep yang dapat menjelaskan keadaan dalam diri
individu yang mencakup energi atau dorongan pada diri individu untuk terlibat
3
dalam suatu aktivitas yang diarahkan demi mencapai suatu kebutuhan ataupun
tujuan individu (Deci & Ryan, 2000). Berdasarkan sumber pembentuk dan
orientasi individu, terdapat 3 jenis motivasi berdasarkan orientasi sebab-akibat
yang dapat mempengaruhi kekuatan motivasi pada sebuah perilaku yaitu
motivasi yang terbentuk atas pengaruh dari luar diri individu (motivasi ekstrinsik)
dan motivasi yang terbentuk dari diri individu (motivasi intrinsik) dan tidak
termotivasi (Deci & Ryan, 2000). Motivasi ekstrinsik menunjukkan perilaku yang
termotivasi ekstrinsik dipahami sebagai usaha untuk mendapatkan suatu hasil
yang terpisah dari perilaku/aktivitas itu sendiri. Bandura (1986) berpendapat
bahwa perilaku yang termotivasi secara ekstrinsik hanya akan bertahan secara
berkelanjutan selama faktor pendorongnya tetap dipertahankan, dan cenderung
berubah jika faktor pendorongnya diganti atau dihilangkan. Hal tersebut
dikarenakan hubungan antara faktor ekstrinsik dengan individu dan tindakan
dapat berubah-ubah, individu dapat mempelajari kondisi sosialnya.
Motivasi intrinsik menunjukkan perilaku yang termotivasi secara intrinsik
menggambarkan prototype dari aktivitas yang berkedaulatan diri yang dilakukan
secara alami dan spontan saat mereka memiliki kebebasan dalam menentukan
keinginan. Kondisi sosial dan lingkungan disekitar individu memiliki peran penting
dalam memfasilitasi internalisasi motivasi dengan mendukung atau menghambat
kebutuhan dasar psikologis yang dibawa sejak lahir mengikuti apa yang mereka
inginkan. Selain itu yang ketiga yaitu tidak termotivasi.
Teori belajar sosial dari Bandura (1986) didasarkan pada konsep saling
menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement),
dan pengaturan diri (self regulation). Reciprocal determinism menjelaskan
tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terjadi secara
4
terus menerus antara determinan kognitif, perilaku dan lingkungan. Bandura
memandang individu belajar melalui observasi dan tingkah laku ditentukan oleh
antisipasi konsekuensi, bukan bergantung oleh adanya penguatan atau
reinforcement (beyond reinforcement). Selain itu individu diyakini memiliki
kemampuan untuk mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan
cara mengobservasi lingkungan dan berfikir secara komprehensif (self
regulation). Seseorang memilih karir sebagai hasil dari pengalaman yang dimiliki
dalam hidup yang diperoleh dari hasil pengamatan diri sendiri, dan lingkungan,
sehingga ia mengetahui kerja yang spesifik dengan kemampuan yang dimiliki
(Mitchell & Krumboltz, 1987). Individu dipercaya mampu mengatur diri dan
berperilaku reaktif dengan kontrol diri yang dimiliki terhadap lingkungannya
(Bandura, 1986).
Bekerja sebagai salah satu bagian dari tugas perkembangan seorang
dewasa, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi diri
dan menampilkan potensi dan kemampuan terbaik yang dimiliki (Hurlock, 2006).
Menurut Karl Marx (dalam Hurlock, 2006) dengan bekerja seseorang dapat
menunjukkan identitas dan eksistensi diri yang berpengaruh terhadap diri sendiri
dan lingkungan sekitarnya. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui karir
merupakan pilihan yang saat ini diambil oleh perempuan, seseorang akan
berupaya untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan potensi yang
dimiliki untuk dapat meraih pencapaian karir yang lebih tinggi. Berkarir merujuk
pada
pengembangan
kesejahteraan
diri
mengembangkan
diri
kemampuan,
(Greenhaus,
yang
pengetahuan
2003).
memungkinkan
Karir
hingga
juga
seseorang
pengembangan
sebagai
proses
membentuk
dan
memperhitungkan hubungan antara tindakan, usaha, rencana, tujuan, dan
5
konsekuensi dalam membingkai kognisi internal dan emosi (Young & Valach,
1996). Menurut Winkel dan Hastuti (2007), keberadaan diri sendiri merupakan
faktor utama dalam perencanaan karir yang memerlukan pengaturan dan
pengelolaan potensi diri serta informasi yang diperoleh. Westman (2009)
menegaskan bahwa perempuan yang bekerja dan berkarir memiliki pandangan
dan perasaan yang lebih positif dibandingkan perempuan yang tidak bekerja.
Berkarir merupakan perwujudan konsep diri yang berlangsung sepanjang
hayat, dimulai sejak awal kehidupan sampai akhir kehidupan (Super, 1996). Karir
merupakan rangkaian sikap dan perilaku berkaitan dengan pengalaman dan
aktivitas kerja yang terus berkelanjutan. Tahapan perkembangan karir menurut
Super (1996) mengenai life span-life space, menekankan hubungan antara
tahapan hidup psikologis dengan peranan sosial untuk mendapatkan gambaran
umum mengenai karir. Dimensi life span merupakan tahapan perkembangan
karir yang dilakukan sesuai dengan umur, tahapan belajar, hidup dalam
masyarakat, bekerja, menikah sampai dengan masa pensiun. Dimensi kedua
merupakan dimensi ruang atau life space yaitu dimensi yang berkaitan dengan
kondisi sosial tempat individu tersebut hidup. Sehingga pada usia tertentu,
individu memiliki peran perkembangan yang harus dijalankan sesuai dengan
tahapan perkembangannya (Super, 1996).
Karir juga merupakan kemajuan atau keberhasilan seseorang dalam dunia
pekerjaan yang diperoleh karena keberhasilannya dalam mengembangkan diri
(Greenhaus, Callanan, & Godshalk, 2000). Karir sebagai sarana membentuk
seseorang agar mampu menemukan secara jelas keahlian, nilai, tujuan karir dan
kebutuhan untuk pengembangan, merencanakan tujuan karir dan secara
berkesinambungan meningkatkan rencana karirnya (Soetjipto, 2002). Komponen
6
utama karir terdiri dari alur karir, tujuan karir, perencanaan karir dan
pengembangan karir. Alur karir adalah pola pekerjaan yang berurutan dan
membentuk karir seseorang. Tujuan karir merupakan pernyataan tentang posisi
masa depan seseorang yang berupaya mencapainya sebagai bagian dari karir
hidupnya
yang
menunjukkan
kedudukan
seseorang
sepanjang
karir
pekerjaannya. Perencanaan karir merupakan proses seseorang menyeleksi
tujuan karir dan arus karir yang meliputi perbaikan personal yang dilakukan untuk
mencapai rencana karirnya ( Keith & Werther, 1996).
Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami karir
yaitu karir sebagai kualitas individual dan karir sebagai kepemilikan organisasi
(Greenhaus, 2003). Pendekatan pertama menyatakan bahwa karir sebagai
bentuk kualitas individual yang terbentuk melalui adanya proses perubahan nilai,
motivasi dan sikap pada setiap individu, sedangkan pendekatan kedua
memahami karir sebagai kepemilikan dari sebuah organisasi, dalam hal ini karir
sebagai mobilitas tunggal dalam sebuah organisasi yaitu melalui jalur karir
(Greenhaus, 2003). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut definisi karir adalah
sebagai pola pegalaman berdasarkan pekerjaan (work-related experiences) yang
merentang sepanjang perjalanan pekerjaan yang dialami oleh setiap individu dan
secara luas dapat dirinci ke dalam obyective events (Greenhaus, 2003).
Perencanaan
karir
sejak
dini
akan
memudahkan
seseorang
untuk
memperhitungkan karir yang akan mereka inginkan dalam proses pengambilan
keputusan karir (Beuder, 2007).
Pembangunan bidang politik dalam negeri semakin menjadi area yang
strategis bagi pencapaian kesetaraan gender. Sebelum memasuki era reformasi,
politik dalam negeri tidak banyak mengalami perubahan. Pengambilan keputusan
7
dan kontrol terhadap pembangunan sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan
peran perempuan dalam politik masih terbatas. Memasuki era reformasi, sebagai
titik awal munculnya kesadaran baru tentang pentingnya peranan perempuan
pada sektor publik sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing yang
seimbang antara perempuan dan laki-laki melalui adanya partisipasi perempuan
dalam bidang politik. Peranan perempuan ini tidak hanya sebagai sebuah
stereotype yang menekan perempuan untuk berkutat hanya disektor domestik,
tetapi menjadi sebuah motivasi yang menghasilkan etos kerja yang tinggi
(Mckay, 2004). Hingga saat ini partisipasi perempuan dalam partai politik menjadi
topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi, hal ini didukung dengan
adanya penegakan hak asasi manusia (HAM) pada setiap kerangka kerja
demokrasi dan good governance yang memberikan
kebebasan dan hak
partisipasi politik yang sama bagi laki-laki dan perempuan (Rosidawati, 2010).
Partisipasi politik secara umum didifinisikan sebagai kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Kegiatan
ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok
kepentingan, menjadi anggota parlemen, mengadakan hubungan contacting
dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen (Blood & Wolfe, 1960).
Secara umum, karir di bidang politik berbeda dengan karir dalam sebuah
perusahaan. Karir seseorang dalam sebuah perusahaan ditentukan oleh
kebijakan-kebijakan yang ada dalam perusahaan tersebut, hal ini terkait dengan
sistem pengembangan karir, promosi jabatan, sistem kompensasi serta
pengukuran kinerja yang obyektif dilakukan dalam menentukan tingkatan karir
seseorang. Namun, karir seseorang di partai politik dibentuk dan dibangun oleh
8
individu itu sendiri melalui keaktifannya dalam kegiatan partai, pendekatan
terhadap masyarakat, prestasi kerja yang dimiliki dan kedekatan hubungannya
dengan para elit politik dalam partai politik. Meningkatnya peluang perempuan
dalam berkarir di bidang politik ditandai dengan adanya hak untuk memberikan
suara dan mencalonkan diri sebagai anggota partai politik (Ballington, 2011) dan
adanya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 semakin membuka peluang bagi
perempuan Indonesia untuk berpartisipasi aktif di dalam pembangunan politik
yang berwawasan gender, serta pasal 65 undang-undang pemilu No. 12 tahun
2008, ayat (1) menyatakan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat
mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%. Hal ini diharapkan dapat membawa perubahan pada kualitas
legislasi gender yang adil dalam menyelesaikan bebagai permasalahan politik
(Undang-Undang Dasar, 1945). Negara Indonesia menduduki
urutan ketiga
terendah terkait dengan tingkat partisipasi perempuan pada kursi pemerintahan
di wilayah Asia Tenggara, keterwakilan perempuan dalam kursi pemerintahan
Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti Timor Leste, Laos dan Vietnam
pada tahun 2010 (Inter Parliamentary Union, 2010).
Saat ini peluang bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik semakin
meningkat, namun pengakuan dan penerapan hak-hak politik antara laki-laki dan
perempuan masih tetap belum seimbang. Hasil analisis yang dilakukan oleh
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) tahun 2014
menunjukkan bahwa secara keseluruhan jumlah calon legislatif perempuan yang
terpilih
mengalami
penurunan
bila
dibandingkan
dengan
hasil
pemilu
9
sebelumnya (Susiana, 2014). Menurut Smith, Reingold & Owens (2012),
karakteristik masyarakat dapat digunakan untuk memprediksi keberadaan
perempuan
sebagai
kelembagaan.
pembuat
kebijakan
kota,
Struktur kepengurusan partai
struktur
politik
pemilihan
dan
menempatkan kader
perempuan pada divisi atau bidang yang kurang strategis. Keterpilihan anggota
legislatif perempuan berhubungan dengan keberadaan anggota keluarga di
partai politik yang mengusungnya (Sutrisno, 2013). Pimpinan partai politik
tersebut memegang kekuasaan untuk menetapkan nomor urut calon legislatifnya
(Usha, 2005).
Kurangnya sosialisasi mengenai peran gender dalam organisasi partai
politik semakin membatasi jumlah perempuan yang mampu bersaing dan
memenangkan kepemimpinan partai (O’Neill & Stewart, 2009). Ketidaktersediaan
sumber daya perempuan yang memadai untuk menjadi calon legislatif dari partai
politik juga menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam organisasi
partai politik. Idiologi mengenai kesetaraan gender dalam suatu negara tercermin
tersedianya perempuan yang kompeten dalam sebuah kelompok pemberdayaan
perempuan, namun organisasi politik tetap tidak mampu menghasilkan
representasi perempuan seimbang (Reckhow, 2009). Perempuan dianggap
memerlukan waktu lebih lama untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki
dunia politik, hal ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan para aktivis
perempuan segera mundur dari kancah politik ketika hati nurani mereka tidak
bisa memahami intrik internal partai dan cenderung menjauh dari kegiatan politik
praktis (UNDP Indonesia, 2010) serta adanya pengaruh budaya patriarki yang
dianut masyarakat, adanya dominasi laki-laki atas perempuan yang didukung
oleh idiologi gender (Galligan, Yvonne & Clavero, 2008). Penelitian lain
10
menyebutkan bahwa agama juga memiliki dampak yang berbeda terhadap
keberadaan perempuan di ranah publik (Lilliefeldt, 2012).
Secara spesifik Ballington (2011), menjelaskan bahwa di dalam organisasi
partai politik terdapat beberapa kendala yang dialami oleh perempuan yang
berusaha meningkatkan keefektifannya dalam berkarir di dunia politik antara lain
yaitu (1) perempuan dengan sumber biaya independen belum memiliki akses
untuk membiayai mobilitas dirinya dalam partai politik, seperti biaya pencalonan,
biaya kampaye dan biaya pemilu, (2) kepemimpinan partai politik juga cenderung
didominasi laki-laki dan (3) adanya kecenderungan untuk menyeleksi kandidat
perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan para elit politik serta (4)
kurangnya mobilisasi kaum perempuan dan ketidakmampuan mereka untuk
saling mendukung dan bersikap proaktif untuk memperjuangkan hak-haknya
serta rendahnya pemahaman mengenai konsep kesetaraan gender di kalangan
anggota legislatif perempuan menyebabkan anggota legislatif perempuan yang
kurang berkualitas menjadi lebih nampak karena jumlah yang sedikit.
Hambatan-hambatan karir sangat bermanfaat digunakan dalam memahami
perkembangan karir perempuan dan kaum minoritas (Luzzo,1993, 1995; Luzzo &
McWhirter, 2001). Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja politisi dan
banyaknya hambatan yang dijumpai oleh kader perempuan dalam berkarir di
bidang politik tidak selalu menjadi penghalang bagi perempuan untuk sukses
dalam membangun karirnya di bidang politik. Hal ini dibuktikan oleh tokoh politisi
perempuan seperti Khofifah Indar Parawansa memulai karir dan terpilih sebagai
anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 1992-1998,
kemudian pindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada periode 19982000, ia menduduki kursi DPR sebagai wakil dari PKB dan dilantik sebagai
11
Menteri Pemberdayaan Perempuan pada tahun 1999-2001 dan pada awal 2013,
ia memenangkan pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2014-2019 (Teylita &
Chotib, 2015). Pada partai berbeda terdapat Marissa Greace Haque Fawzi yang
mengawali karirnya dengan bergabung dengan Partai PDIP dan terpilih sebagai
anggota DPR-RI pada tahun 2004 serta pernah menjabat sebagai Ketua Bidang
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Putri, 2015). Selain itu, Rieke Diah Pitaloka
juga merupakan politisi yang berhasil menjajaki dunia politik, ia pernah menjabat
sebagai wakil sekretaris jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
kemudian ia bergabung dengan Partai PDIP dan terpilih menjadi anggota DPR
periode 2009-2014 (Wijaya, 2015).
Partai politik itu sendiri merupakan suatu kelompok yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita dan terorganisir serta
mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum menempatkan caloncalonnya dalam tatanan jabatan publik (Budiarjo, 2008). Oleh karena itu kinerja
anggota partai menjadi hal yang sangat penting dan terkait langsung dengan
kepentingan orang banyak. Sebuah organisasi partai politik memiliki peran dalam
melakukan pembinaan, edukasi, pembekalan, kaderisasi dan penerapan idiologi
politik (Firmanzah, 2008), karena setiap organisasi bertanggung jawab dalam
menciptakan suatu lingkungan yang mendorong pengembangan secara
profesional dengan memperhatikan kebutuhan dalam mengembangkan diri
(Cabrera, 1990). Diterimanya perspektif perempuan dan partisipasi perempuan
dalam politik adalah sebagai upaya pembangunan demokrasi kontribusi untuk
penguatan good governance dan sarana utama untuk mendorong inisiatif
pemberdayaan
perempuan,
meningkatkan
proporsi
perempuan
dalam
pemerintahan dalam mepercepat pemberantasan korupsi dan mengubah opini
12
publik mengenai kesetaraan gender, menggalang partai lain untuk berkoalisi dan
meningkatkan citra partai di negara lain (Sundstrom & Wangnerud, 2014;
Ballington, 2011). Pada konteks jabatan politik, maka partai politik akan
menempatkan wakilnya di berbagai jabatan politik agar dapat memenuhi tujuan
dari partai dan konstituen partai yang memiliki fungsi untuk merangkum berbagai
macam kepentingan dan merumuskannya sebuah kebijakan negara bagi
kepentingan masyarakat (Duverger, 1984).
Pentingnya peranan dari anggota partai ini tidak sejalan dengan stigma
negatif masyarakat. Menurut hasil survei yang dilakukan Institut Riset Indonesia
(Insis) menunjukkan bahwa mayoritas publik tidak puas dengan kinerja anggota
DPR periode 2009-2014. Publik menilai kinerja anggota Dewan tidak baik
sebanyak 60,9%, hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah kasus suap, korupsi,
tindakan asusila, hingga ketidakdisiplinan yang melibatkan anggota Dewan, dan
perpindahan antar kader politik (Gatra, 2013). Perpindahan orang-orang dengan
jabatan strategis di partainya sering terjadi karena adanya konflik internal partai,
tawaran bergabung dari partai lain, ketidakpuasan terhadap, rendahnya
komitmen organisasi pada anggota partai, lunturnya ideologi dan loyalitas
anggota partai serta adanya kebutuhan untuk meningkatkan karir politik, potensi
diri
dan
adanya
kebutuhan
anggota
partai
politik
akan
manajemen
pengorganisasian partai yang sehat (Nida & Simarmata, 2009; Zaman, 2012;
Astrika, 2011). Perpindahan anggota yang terjadi dalam tubuh internal partai
menjadikan partai kehilangan dukungan suara yang dibawa oleh kader yang
berpindah serta perlunya proses adaptasi kembali karena hilangnya mesin
penggerak partai dan rusaknya pembentukan pola kaderisasi (Sutrisno, 2013).
13
Seseorang dapat memaknai karir melalui pengalaman-pengalaman kerja
yang dialami sepanjang hidupnya.
Pengalaman tersebut dapat berupa
pengalaman kegagalan dan pengalaman kesuksesan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Mitchell dan Krumboltz (1987), bahwa kepribadian dan perilaku
timbul dari pengalaman belajar yang unik melalui kontak antara analisis kognitif
yang positif dan kejadian yang menguatkan seseorang secara negatif. Masalah
karir sering berhubungan kepada ketidakmampuan individu untuk membuat
pemilihan yang berhubungan dengan apa yang dibutuhkan dalam karirnya.
Seseorang yang memiliki keyakinan dalam penilaiannya terhadap diri untuk
dapat sukses dalam menghadapi tugas-tugasnya atau memiliki efikasi diri yang
baik
akan
senantiasa
berpengaruh
terhadap
pilihan
tindakan
karirnya,
kemampuan menghadapi tantangan, dan berupaya dalam menemukan solusi
dari permasalahan yang dialami di lingkungan kerja (Bandura, 1986). Pajares
(1997) juga menyatakan bahwa efikasi diri merupakan salah satu indikator
kesuksesan karir individu.
Friedman & Greenhous (2000) menyatakan bahwa terdapat 5 dimensi yang
harus diperhatikan dalam memahami kesuksesan karir seseorang meliputi,
status, time for self, challenge dan security social consideration. Kesuksesan
karir didefinisikan dalam dimensi obyektif dan subyektif (Judge, Mueller & Bretz,
2004). Kesuksesan karir obyektif meliputi di dalamnya pencapaian karir yang
dapat diukur, seperti dapat dilihat dari tingkat kompensasi atau promosi yang
diperoleh individu. Kesuksesan karir subyektif didefinisikan sebagai perasaan
individu dalam pencapaian dan kepuasan karir termasuk di dalamnya
peningkatan jenjang karir, gaji, dan profesionalisme kerja (Judge, Kringer &
Simon, 2010). Kesuksesan karir subyektif ditunjukkan ketika seseorang merasa
14
berkarir sebagai panggilan jiwa (Hall & Chadler, 2005). Sehingga karir
didefinisikan sebagai urutan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku
nilai-nilai, dan aspirasi seseorang selama rentang hidupnya. Individu dapat
meningkatkan kepuasan karir mereka dengan berpartisipasi dalam perilaku
manajemen karir (Barnet & Bradley, 2007).
Organisasi yang mampu menerapkan altruisme dan nilai-nilai yang positif
akan dapat menciptakan kepuasan karir individu dalam bekerja (Valentine,
Godkin, Fleishman, Kidwell & Page, 2011). Menurut Bandura, Hackett dan Bitz
(dalam Osipow, 1983), dalam mengambil keputusan karir, individu dapat
mengamati dan meniru orang lain disekelilingnya dan merealisasikannya menjadi
perilaku. Oleh karena itu terdapat pengaruh orang lain terhadap individu dalam
perencanaan dan pemilihan karir, hal ini semakin memperkuat adanya pengaruh
lingkungan terhadap pengambilan keputusan karir individu (Okiishi, 1987).
Menurut Mitchell & Krumboltz (1987) terdapat empat faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan karir, antara lain yaitu kemampuankemampuan khusus individu, kondisi dan peristiwa lingkungan, pengalaman
belajar dan keterampilan dalam menghadapi tugas. Karir juga dimaknai sebagai
urutan pegalaman seseorang dari waktu ke waktu (Arthur, Khapova & Wilderom,
2005). Karir berkaitan dengan adanya pengakuan terhadap peran nilai-nilai,
minat dan kemampuan dalam pengambilan keputusan pengembangan karir
(Super, 1966). Pemahaman mengenai karir dapat dijadikan sarana untuk
memotivasi dan mempengaruhi kinerja anggota organisasi (Collin & Young,
2000). Pemahaman mengenai karir berbeda antara laki-laki dan perempuan
(Palupi, 2012). Laki-laki mendifinisikan karir sebagai prestasi atau pencapaian
tertentu dalam dunia pekerjaan, sedangkan perempuan memandang kesuksesan
15
karir sebagai pencapaian keseimbangan antara karir dalam bekerja dan keluarga
(Seibert & Kraimer, 2001). Pemahaman dan pemaknaan terhadap karir bagi
politisi perempuan menjadi hal yang penting untuk dimiliki oleh politisi
perempuan. Menurut Morisson, Burke dan Green (2007) dorongan untuk bekerja
secara produktif berasal dari perasaan terhadap pemaknaan dan tujuan dalam
pekerjaan itu sendiri.
Perempuan yang berkarir di bidang politik menyadari akan adanya
hambatan yang dialami perempuan dalam membangun karir dalam organisasi
partai politik, hal tersebut tidak menjadi batasan bagi perempuan untuk mampu
mencapai kesuksesan karirnya. Oleh karena itu, penelitian mengenai peran
perempuan dalam bidang politik ini menjadi penting dilakukan saat ini. Hal ini
dikarenakan pembangunan bidang politik menjadi area yang strategis bagi
pencapaian kesetaraan gender dengan memberikan peluang bagi perempuan
untuk berpartisipasi aktif di dalam pembangunan politik yang berwawasan
gender. Kontribusi yang diberikan dapat berupa saran pengembangan yang
berdasar pada hasil penelitian yang empirik, sehingga nantinya diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk politisi perempuan dalam membangun strategi
sukses bagi perempuan dalam berkarir di dunia politik. Selain itu kontribusi hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi partai politik dalam
menumbuhkan kesadaran bagi partai politik terhadap pentingnya upaya
pengembangan sistem kaderisisasi berwawasan gender yang tepat dan sesuai
bagi politisi perempuan dalam upaya membangun karir di dunia politik dan
mengembangkan kemampuan diri sebagai politisi serta diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pihak-pihak terkait yang mendukung adanya
keterlibatan dan representasi perempuan dalam bidang politik.
16
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami makna karir bagi
perempuan yang berkarir dalam organisasi partai politik.
Pertanyaan Penelitian
Berdasar pada fenomena di atas, pertanyaan penelitian ini adalah :
1. Apakah makna karir bagi perempuan yang berkarir dalam partai politik ?
2. Bagaimana
dinamika psikologis perempuan yang
berkarir
dalam
organisasi partai politik ?
Implikasi Studi
Hasil penelitian mengenai karir perempuan dalam organisasi partai politik
diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat berkontribusi dalam memperkaya
keseluruhan hasil penelitian mengenai karir perempuan dan sebagai
petunjuk yang tepat dalam membangun strategi sukses bagi perempuan
dalam berkarir di dunia politik serta memberikan informasi dan referensi
kepada para akademisi dan peneliti untuk melakukan penelitian sejenis.
2. Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat digunakan oleh para praktisi dan
psikolog Industri dan Organisasi dalam memberikan konsultasi kepada kader
perempuan dalam memahami karir di bidang politik serta hasil penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh organisasi partai politik dalam
membentuk sistem kaderisasi yang tepat bagi kader perempuan.
Download