POKOK BAHASAN Komunikasi dan Perubahan Sosial DESKRIPSI

advertisement
POKOK BAHASAN
Komunikasi dan Perubahan Sosial
DESKRIPSI
Pokok bahasan komunikasi dan perubahan sosial menjelaskan mengenai pengertian
perubahasan sosial, modernisasi sebagai proses perubahan sosial,
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mampu
menjelaskan mengenai pengertian perubahasan sosial, modernisasi sebagai proses perubahan
sosial
Setiap masyarakat manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan tersebut dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok.
Adapula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula
perubahan-perubahan yang lambat sekali , ada pula perubahan yang cepat sekali.
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, norma-norma sosial, polapola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sabagainya. Karena luasnya bidang dimana
mungkin terjadi perubahan-perubahan tersebut maka bilamana seseorang hendak membuat
penelitian perlulah terlebih dahulu ditentukan secara tegas, perubahan apa yang
dimaksudkannya.
Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun dewasa
ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat, sehingga membingungkan
manusia yang menghadapinya. Perubahan-perubahan mana sering berjalan secara konstan. Ia
memang terikat waktu dan tempat. Namun karena sifatnya yang berantai, maka perubahan-
perubahan akan terlihat terus, walaupun diselingi reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat
yang terkena perubahan.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Auguste Comte, sosiologi statistika social dan
dinamika social. Hingga kini perhatian kita lebih tertuju pada segi statistika struktur social dan
pokok-pokok bahasan seperti kelompok-kelompok, institusi-institusi, startifikasi. Meskipun
pembahasan kita terpusat pada aspek statika masyarakat, namun disana sini kita telah mulai
menyentuh masalah perubahan. Dalam kenyataan statika social dan dinamika sukar
dipisahkan, meskipun secara analitik kita berusaha melakukannya. Kita telah melihat bahwa
satrtifikasi social dapat berubah melalui mobilitas social, seperti teori Marx mengenai perubahan
system feodal menjadi kapitalis dan kamudian sosialis, teori weber mengenai munculnya
kapitalisme dalam masyarakat feodal, teori Durkheim mengenai perubahan solidaritas mekanik
menjadi organic. Sekarang pusat perhatian kita akan beralih pada segi dinamika masyarakat
pada perubahan social.
PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Gillin dan Gillin mengungkapkan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari
cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi ataupun penemuanpenemuan baru (inovasi) dalam masyarakat.
Samuel Koenig mengemukakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasimodifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi terjadi karena
sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa perubahan sosial segala- perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada
lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana
kemudian mempengaruhi segi struktur masyarakat lainnya.
Pola Perubahan Sosial
Pola Linear
Etzioni-Haley dan Etzioni (1973:3-8) mengemukakan bahwa pemikiran para tokoh
sosiologi klasik mengenai perubahan social dapat digolongkan kedalam beberapa pola. Pola
pertama iadal pola linear; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu
pola yang pasti. Contoh yang diberikan Etzioni-Halevy dan Eztioni mengenai pemikiran linear ini
ialah karya Comte dan Spencer.
Pemikiran mengenai pola perkembangan linear kita temukan dalam karya Comte ( lihat
Comte, 1877 dalam Etzioni_Halevy dan Etzioni, ed., 1973 : 14-19). Menurut Comte kemajuan
progresif peradaban manuasia mengikuti suatu jalam yang alami, pasti, sama dan tak
terelakkan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “Hukum Tiga Tahap: Comte
mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban.
Pada tahap pertama yang diberi nama tahap Teologis dan Militer, Comte melihat bahwa semua
hubungan social bersifat militer, masyarakat senantiasa bertujuan menundukkan masyarakat
lain. Semua konsepsi teoritik dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan
adikodrati. Pengamatan dituntun oleh imajinasi, penelitian tidak dibenarkan.
Tahap kedua, tahap Metafisik dan Yuridis, merupakan tahap antara yang menjembatani
masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi
lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.
Pada tahap ketiga dan terakhir, tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri, industri
mendominasi hubungan soail dan produksi menjadi tujuan utama masyarakat. Imajinasi telah
digeser oleh pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritik telah bersifat positif.
Dari apa yang telah dikemukkan Comte tersebut-perubahan yang pasti, serupa tak
terelakkan, dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan social bersifat unilinear
Pemikiran uniliear kita jumpai pula dalam karya Spencer (lihat Spencer, 1892 dalam
Etzioni_Halevy dan Etzioni, ed, 1973 : 9-13). Spencer mengamukakan bahwa struktur social
berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan
struktur berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju
secara evolusioner kea rah uikuran lebih besar, keterpaduan, kemajemukkan, dan kepastian
sehingga terjelma suatu bangsa yang beradab.
Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju kea rah
kemajuan. Namun ada pula pandangan unilinear yang cenderung mengagung-agungkan masa
lampau dan melihat bahwa masyarakat berkembang kea rah kemunduran suatu pandangan
yang oleh Wilbert E. Moore (1963) dinamakan “primitivisme.”
Pola Siklus
Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda : kadang
kala naik keatas, kadang kala turun ke bawah. Contoh yang dikemukakan Etzion-Halevy dan
Etzioni ialah karya Oswald Spengler dan Vilfredo Parento.
Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of The West (Judul aslinya : Die Untergang
Des Abendiende, 1926, ikuti dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed 1973 : 20-25) Oswald
Spengler mengemukakan sebagai berikut :
................the great cultures accomplish their majestic wave cycle. The appear suddenly,
swell in splendid lines, flatten again, and vanish …. dan every culture passes thourgh the
age-phases of the individual man. Each hus its childhood, youth, manhood, and old age.
Kutipan-kutipan diatas mencerminkan pandangan bahwa kebudayaan tumbuh,
berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, yang muncul mendadak, berkembang
dan kamudian lenyap : ataupun laksana tahap perkembangan sorang manusia melewati masa
muda, masa dewasa, masa tua dan akhirnya punah. Sebagai contoh Spengler mengacu paa
kebudayaan-kebudayaan besar yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan
Mesir. Menurut Spengler kebudayaan Barat akan mengalami hal serupa oleh karena itu
bukunya diberinya judul The Decline of the West (Pudarnya Barat).
Pandangan mengenai siklus kita jumpai pula dalam karya Valfredo Pareto ( l;ihat Pareto,
1935 dalam Etzioni-Halevy dan Etzioni, ed. 1973 : 26-29). Dalam tulisannya mengenai sirkulasi
kaum elite (the circulation of elies) Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat
terdapat dua lapisan, lapisan bawah atau nonelite dan lapisan atas atau elite, yang terdiri atas
kaum aristocrat dan terbagi lagi dalam dua kelas : elite yang berkuasa dan elite yang tidak
berkuasa, bahwa aristokrasi hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan
akhirnya akan pudar untuk selanjutnyadiganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari
lapisan bawah. Sejarah menuru Pareto merupakan tempat pemakaman bagi aristokrasi.
Aristokrasi yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan segala kekuasaan akhirnya
akan digulingkan melalui gerakan yang disertai kekerasan atau revolusi. Sebagaimana halnya
dengan Spengler, maka disini Pareto pun mengacu pada pengalaman kaum arsitokrat di
Yunani, Romasi, dan sebagainya.
Gabungan Beberapa Pola
Sejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola tersebut diatas, HalevyEtzioni dan Etzionimemberikan dua contoh : salah satu diantaranya ialah teori komplik Karl
Marx. Pandangan Karl Marx bahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan terusmenerus antara kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan
siklus karena setelah suatu kelas berhasil menguasai kelas lainnya menurutnya siklus serupa
akan berulang lagi. Ramalannya mengenai masyarakat komunis yang di dambakan Marx
merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah ada sebelum adanya feodalisme dan
kapitalisme masyarkat yang tidak mengenal pembagian kerja, yang didalamnya konflik diganti
dengan kerjasama. Namun dalam pemikiran Marx kita pun menjumpai pemikiran linear :
menurut perkembangan pesat kapitalisme akan memicu konflik antara kaum buruh dengan
kaum borjuis. Yang akan dimenangkan oleh kaum buruh yang kamudian akan membentuk
masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembanga linear pun tercemin dari
pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses yang dialami masyarakat
Barat.
Max Weber merupakan tokoh sosiologi klasik lain yang menurut Etzioni-Halevy dan
Etzioni menhasilkan teroi yang berpola siklus (lihat Weber 1958 dn 1947 dalam Etzioni Havely
dan Etzioni, ed. 1973 : 40-53) Pemikiran Weber dinilai mengandung pemikiran siklus ialah
perbedaan siklus ialah pembnedaanya antara tiga jenis wewenang : Kharisnmatik, rasional –
ilegal dan tradisonal. Weber melihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan
beralih-alih tradisional atau nasional-ilegal, kemudian akan muncul lagi wewenang yang diikuti
dengan rutinisasi, dan seterusnya. Dipihak lain, Weber pun melihat adanya perkembangan
linear dalam masyarakat yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.
Pandangan-pandangan para tokoh sosiologi klasik tersebut sudah banyak yang
ditinggalkan oleh para tokoh sosiologi modern. Meskipun banyak tokoh sosiologi modern
khususnya penganut fungsionalisme seperti talcott Parsons dan Neil J. Smelser menganut
pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara evolusioner namun suatu
perkembangan linear laksana teori tiga tahap Conte tidak dianut lagi. Meskipun dikalangan
tokoh sosiologi modern pun terdapat penganut pendekatan konflik seperti misalnya Ralf
Danrendorf, namun mereka yang sudah meninggalkan banyak diantara pemikiran asli Marx.
Perubahan Sosial di Abad ke 20
Teori-teiori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul sebagai reaksi
terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di Eropa
Barat. Dikala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi sejak abad ke 18 seperti
detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrilisasi, perkembangan kapitalisme dan
sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat. Masyarakat-masyarakat nonBarat diluarnya di Asia, Afrika, dan di Amerika latin bukannya idak tersentuh oleh perubahanperubahan yang terjadi di Barat. Praktik-praktik imperealisme dan kolonialisme terhadap
masyarakat-masyarakat non Barat yang mendahului dan menyertai perubahan besar i Eropa
Barat pun memicu perubahan pada masyarakat non Barat, meskioun perubahan yang terjadi
sangat berbeda dengan perubahan Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa lain yang
dialami masyarakat kita sejak abad ke 17 berakibat hilangnya kekauasaan politik dan ekonomi
para penguasa pribumipada tingkat rgional yang diikuti penjajanhan langsung maupun tidak
langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi skala besar oleh pihak swasta maupun Pemerintah
Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.
Berakhirnya perang dunia ke II diikuti perubahan-perubahan besar di kawasan Asia,
Afrika, dan Amerika selatan baik di negara-negara yang telah ada maupun di negara-negara
yang baru yang telah bebas dari penjajahan. Perhatian sejumlah ilmuan sosila mulai dipusatkan
pada proses perubahan dikawasan dimana mayoritas masyarakat hidup, dan sebagai akibat
muncul berbagi teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara dikawasan ini. Pusatpusat studi yang mengkhususkan diri pada masyarakat non Barat ini mulai berkembang di
negara Barat. Negara-negara non Barat ini mulai diberi berbagai julukan seperti : ”Masyarakat
duni ke tiga” (Third World Societes), ”Negara-Negara Terbelakang” (Underdeveloped Countries
atau Less Developed Countries), ”Negara-negara sedang berkembang” (Developing
Countries), atau ”Negara-Negara Seltan” (South Countries).
Istlah masyarakat dunia ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah
diajajah negara-negara Barat dan yang masyarakat yang kebudayaan hidup dari pertanian :
Istilah masyarakat dunia pertama (First World Society) mengacu pada negara-negara yang
industri maju di Eropa Barat, Amerika, Australia, dan jepang dan istilah masyarakat dunia ke
dua ( Second World Societies) mengacu pada negara-negara industri di Eropa Timur (lihat
Giddens : 58-52). Negara-negara ”Sedang Berkembang” tersebut sering pula dijuluki NegaraNegara Selatan (South Countries), karena negara-negara tersebut kebanyakan terletak di
belahan Selatan Bumi.
Giddens (1968) mengemukakan bahwa kesalingtergantungan masyarakat dunia
semakin meningkat. Proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia ini dinamakan
globalisasi (globalization) dan ditandai kesenjangan besar anatar kekayaan dan tingkat hidup
masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga,. Menurutnya tiap
tahun jutaan penduduk mati kelaparan meskipun produksi makanan diseluruh dunia cukup
untuk memberi makan semua orang, sedangkan sejumlah besar bahan makanan tersimpan
atau dimusanakan di negara-negara Eropa Barat. Gejala-gejala perubahan sosial lainnya yang
dicatat Giddens tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru (newly industrialiazed
countries, atau NIC) dan semakin meningkatnya komunikasi antar negara sebagai dampak
teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi di ulas pula oleh Waters, yang mendefinisikannya sebagai ”A
social process in which the constraints of geography on social and cultural arrangement recede
and in which people become increasingly aware that they are recording” (1996:3). Waters
berpandangan bahwa globalisasi berlangsung ditiga bidang kehidupan, yaitu pereonomian,
politik dan budaya. Menurutnya globalisasi ekonomi berlangsung dibidang perdagangan,
prouksi, investasi, ideologi, organisasi, pasar modal dan pasar kerja. Globalisasi politik terjadi
dibidang kedaulatan negara, focus kegiatan pemecahan masalah, organisasi internasional,
hubungan internsional, budaya dan plitik, dan globalisasi budaya terjadi dalam bidang apa yang
dinamakan sacriscape (ide kegamaan), ethnoscape (etnisitas), econoscape ( pola pertuaran
benda berharda), mediscape (produksi dan disribusi gambaran sana ke seluruh dunia) dan
leisurescape (pariwisata)
Teori-Teori Modern Mengenai Perubahan Sosial
Teori-teori yang terkenal ialah antara lain teori-teori modernisasi para penganut
pendekatan fungsioalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teor ketergantungan Andre
Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik dan teori mengenai sistem dunia dari
Wallerstein.
Diantara teori-teori klasik teori-teorui modern kita dapata menjumpai benang merah.
Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara linear
yang dikemukan oleh tokoh-tokoh klasik seperti Comte dan Spencer, maka teori-teori
meodernisasi pun cenderung melihat bahwa perkembangan masyarkat dunia ketiga
berlangsung secara evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak kearah kemajuan
dari tradisi ke modernitas. Para penganut teori konflik, dipihak lain melihat bahwa
perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga justru menuju keterbelakangan dan ketergantungan
pada negara – negara industri maju di Barat.
 Teori modernisasi. Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara
terbelakangakan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat
sehingga kamudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses
modernisasi (lihat Light, Keller and Calhoun, 1989) teori ini berpandangan bahwa
masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berbagai
kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap ”tinggal landas”
(take off) ke arah perkembangan ekonomi. Menurut Etzioni-Halevy dan Etzioni
transisi dari keadaan tradisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi
yang ditandai menurunnya angka kematian dan angka kelahiran, menurunya
ukuran dan pengaruh keluarga terbukanya sistem startifikasi peralihan dari
struktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrai, menurunya pengaruh agama,
beralihnya fungsi pendidikan dan keluarga dan komunitas ke sistem pendidikan
formal, munculnya kebudayaan massa dan munculnya perekonomian pasar dan
industrilisasi (lihat Etzioni_halevy dan Etzioni 1973 : 177)
 Teori ketergantungan, menurut teori ketergantungan (depencia ) yang
didasarkan pada pengalaman negara-negara Amerika Latin ini (lihat antara lain :
Giddens 1989, dan Light Keller and Callhoun 1989) perkembangan dunia tidak
merata, negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negaranegara dunia ketiga secara ekonomis tergantung padanya. Perkembangan
negara-negara industri dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga,
menurut teori ini berjalan bersamaan : di kala negara-negara industri mengalami
perkembangan, maka negar-negara dunia ketiga yang mengalami kolonialism
dan non kolonialisme khususnya di Amerika Latin tidak mengalami ”tinggal
landas” tetapi justru menjadi semakin terbelakang.
 Teori sistem dunia. Menurut teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein ini
(lihat Giddens 1989, dan Light, Keller and Calhoun, 1989) perekonomian
kapitalis dunia kini periferi. Negara-negara ini terdiri atas negara-negara Eropa
Barat yang sejak abad 16 mengawali proses industrialisasi dan berkembang
pesat, sedangkan negara-negara semi periferi merupakan negara-negara di
bagia Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang dengan negara-negara
Asia dan Afrika yang semula merupakan kawasan ekstern karena berada di luar
jaringan perdagangan negara-negara inti tetapi kamudia melalui kolonisasi ditarik
kedalam sistem dunia. Kini negara-negara inti (kemudian yang mencakup pula
Amerika Serikatdan Jepang) mendominasi sistem dunia sehingga mampu
memanfaatkan sunber daya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri ,
sedangkan kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan
negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya tidak mengikuti tersusul lagi.
Perubahan Sosial di Asia Tenggara
Kontra antara masyarakat pribumi yang telah mengakibatkan perubahan sosial pada
masyarakat Asia tenggara pun telah menarik perhatian para ilmuan sosial. Kemajemukan
masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara telah memungkinkan munculnya berbagai knsep dan
teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai masyaraklat Asia Tenggara. Dalam
bukunya Sociology of South East Asia : Readings on Social Change and Development, HansDieter Evers menyunting sejumlah tulisan ilmuan social yang mencakup beberapa konsep dan
teori yang diangkat dari pengalaman masyarakat Indonesia seperti konsep dual societes, plural
societes dan involution (lihat Evers 1980)
Dual societies. Pada wal abad ini JH. Boeke, seorang ahli ekonomi Belanda yang
pernah bekerja di Indonesia mempertanyakan mengapa dalam masyarakat Barat kekuatan
kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat. Sedangkan
dalam masyarakat timur kapitalisme justru bersifat merusak. Dengan datanya kapitalisme di
masyarakat Timur ikatan-ikatan komunitas melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun. Di
Asia Tenggara sediri lapisan atas masyarakat mengalami Westernisasi dan urbanisasi.
Sedangkan lapisan bawah menjadi semain miskin (lihat Boeke, dalam Evers 1980 : 26-37 dan
Evers 1980 : 2-3)
Menurut Boeke gejala ini disebabkan karena kapitalisme telah mengakibatkan terjadinya
apa yang dinamakannya ekonomi dualistis (dual economy). Dalam suatu masyarakat dualistis,
menurut Boeke, kita telah menjumpai sejumlah antitesis, yaitu: pertentangan antara:

faktor produksi pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan pada
masyarakat prbumi di pedesaa yang bersifat statis,

Masyarakat perkotaan (yang terdiri atas masyarakat Barat) dengan masyarakat
pedesaan (orang timur),

ekonomi uang dan ekonomi barang

sentralisasi andministrasi dan lokalisasi

kehidupan yang didominasi mesin (pada msyarakat Barat) dan yang didominasi
kekuatan alam (pada masyarakat timur)

perkonomian produsen dan perekonomian konsumen.
Menurut Evers ciri dualistis pada perekonomian masyarakat kolonial mapun pasca
kolonial yang disebut Boeke, yaitu adanya masyarakat yang terbelakang yang hidup
berdampingan dengan masyarakat dengan masyarakat maju memperoleh berbagai tanggpan.
Sejumlah ilmuan sosial mencoba mengembangkan pemikiran Boeke ini, sedangkan ilmuan lain
menolaknya. Evers sendiri mengecam Boeke karane cenderung mempersalahkan masyarakat
pribumi sendiri atas keterbelakangan mereka.
Plural societies.
Konsep masyarakat manajemuk (pural societies) dipopulerkan oleh JS. Furnivall.
Menurut Furnivall (dalam Evers 1980 : 86-96) Indonesia (Hindia Belanda) mrupaka contoh
suatu masyarakat manajemuk, yaitu : ” ......... a society, that is, comprising two or more
elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political unit.”
Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan social yang
hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan
pribumi salin melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan,
sebagaimana nampak dari kutipan berikut :
……. in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as
Siamese twins and, if rent asunder, every element must dissolve in anarcy.
Menurut Evers konsep ini pun telah mendorong sejumlah ilmuan social untuk
mengunakan, mengembangkannya, dan menguji pada masyarakat lain. Evers sendiri menilai
bahwa baik Boeke maupun Furnivall menganut gambaran yang selalu sederhana mengenai
masyarakat Asia Tenggara.
Involution
Dampak pengaruh kapitalisme terdapat masyarakat pribumi dibahas Clifford Geertz
dalam bukunya Agricultural Involution (Involusi Pertanian : lihat Geertz 1966). Menurut Geertz
kontak dengan kapitalisme Barat tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner pada
masyarakat pedesaan di Jawa, melainkan suatu proses yang dinamakan involusi. Menurut
Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap system sawah di Jawa membawa kemakmuran di
Barat tetapi mengakibatkan sustu proses “tinggal landas” berupa peningkatan jumlah penduduk
pedesaan. Ternyata kelebhan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi., yaitu
suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima
bagian dari panen meskipun bagiannya menjadi semakin mengecil.
Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuan social lainnya antara lain di bidang
perkotaan sehingga kita mengenal pula konsep urban involutionyang dipopulerkan oleh WR.
Armstrong dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers 1980 : 220-234)
Armstrong dan McGee mengaitkan konsep inovolusi dengan system pasa di daerah perkotaan
dunia ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan
konsep involusi dengan perubahan structural di daerah perkotaan, meskipun penduduknya
bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi social.
Pemahaman Modernisasi sebagai bentuk Perubahan Sosial
Proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang-kadang batasnya tak
dapat ditetapkan secara mutlak. Mungkin di suatu daerah tertentu, modernisasi mencakup
pemberantasan buta huruf, di lain tempat proses tadi mencakup usaha-usaha penyemprotan
rawa-rawa dengan DDT untuk mengurangi sumber-sumber penyakit malaria mungkin diartikan
sebagai usaha membangun pusat-pusat tenaga listrik.
Pada dasarnya pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi mencakup
suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti
teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri
negara-negara barat yang stabil.
Karakteristik umum modernisisasi yang menyangkut aspek- aspek sosiodemografis digambarkan dengan istilah gerak sosial. (social mobility). Artinya suatu proses
unsur-unsur sosial ekonomis dan psikologis mulai menunjukan peluang-peluang ke arah polapola baru melalui sosialisasi dan pola-pola perilaku. Perwujudannya adalah aspek-aspek
kehidupan modern seperti misalnya mekanisasi , mass media yang teratur, urbanisasi,
peningkatan pendapatan perkapita dan sebagainya.
Aspek-aspek struktural organisasi sosial diartikan sebagai unsur-unsur dan
norma-norma kemasyarakatan yang terwujud apabila manusia mengadakan hubungan dengan
sesamanya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan
perubahan yang terarah (directed change) yang didasarkan pada perencanaan yang biasa
dinamakan social planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang harus dihadapi
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang sangat
luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema sosial, konflik antar kelompok,
hambatan-hambatan terhadap perubahan dan sebagainya.
SYARAT-SYARAT MODERNISASI






Syarat-syarat modernisasi yaitu:
Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam kelas penguasa
maupun masyarakat. Hal ini menghendaki suatu sistem pendidikan dan pengajaran
yang terencana dan baik.
Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat. Hal ini
memerlukan penelitian agar data tidak tertinggal.
Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat-alat komunikasi massa.
Tingkat organisasi yang tinggi, disatu fihak berarti disiplin, difihak lain berarti
pengurangan kemerdekaan.
Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Prenada Media. Jakarta. 2006
Depari, Eduard & MacAndrews, Colin. Peran Komunikasi dalam Pembangunan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 1978.
Nasution, Zulkarimein. Komunikasi Pembangunan. PT. RajaGrafindo.
Jakarta. 1987
Sutaryo. Sosiologi Komunikasi-Perspektif Teoritik. ArtiBumi Intaran, Yogyakarta, 2005.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990.
Severin & Tankard. Teori Komunikasi:sejarah, metode, dan terapan di
dalam media massa. Prenada Media. Jakarta. 2005
Download