Kritik Analisis Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Uji Materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Oleh: RIO SATRIA, SHI) A. Pendahuluan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki salah satu wewenang untuk melakukan judicial review (uji materil) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinjau kembali. Pada asasnya putusan hakim tidak boleh didiskusikan apalagi disalahkan, inilah asas yang berlaku secara universal. Larangan untuk mendiskusikan putusan hakim, termasuk dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menjadi terbuka dalam lapangan akademis, sehingga Penulis termotivasi untuk menganalisis sekaligus mengkritisi Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang putusan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang yang diajukan Dasar oleh Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak yang cukup besar dalam penerapan beberapa aturan hukum di Negara Republik Indonesia. Putusan tersebut mempengaruhi beberapa aturan materil yang selama ini dijadikan sebagai rujukan dalam mengadili sebuah perkara di pengadilan. B. Perkawinan Dalam Aturan Nasional Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (vide pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974). Dalam aturan perkawinan nasional Indonesia ditegaskan bahwa hubungan perkawinan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yang bertujuan RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 1 kenikmatan duniawi semata, tetapi hubungan perkawinan tersebut juga dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci (transcendental). Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, semakin nyata bahwa perkawinan dalam aturan nasional tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia karena dikatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil pernikahan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Syarat materil pernikahan secara umum diambil dari aturan-aturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama yang mayoritas tentunya sangat memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materil perkawinan dalam hukum nasional Indonesia, seperti aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sebagai konsekwensi dari syarat materil, sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil perkawinan baik yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan tersebut dapat dilakukan pencegahan jika perkawinan tersebut baru akan dilangsungkan atau dibatalkan jika perkawinan tersebut telah terlaksana. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materil perkawinan juga mengatur tentang syarat formil perkawinan yang ditentukan oleh Negara dengan tujuan untuk mewujudkan tertib perkawinan di Indonesia. Dimana dalam pasal 2 ayat (2) UU tersebut dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan mesti dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama ini masih terjadi ambiguitas dalam memaknai syarat materil dan formil perkawinan di Indonesia, dalam artian apakan syarat formil hanya sebatas RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 2 berkaitan dengan administrasi perkawinan ataukah mempengaruhi keberadaan syarat materil perkawinan. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan tertib administrasi perkawinan terwujud, pencatatan perkwinan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administratif tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materil perkawinan. Jadi perkawinan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masingmasing, tetapi sebuah perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Ide demikian berkembang di tengah masyarakat. Pada tataran wacana di kalangan akademisi (dunia kampus) berkembang setidaknya dua pandangan: Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama Islam sebagi contoh - bukan bermaksud hanya melihat dari satu sisi agama saja, tetapi sebagai seorang muslim tidak arif rasanya kalau mengutip ketentuan agama lain - pencatatan pernikahan bukanlah rukun perkawinan. Dalam Islam yang dikategorikan sebagai rukun perkawinan (yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah ditaqnin dalam pasal 14 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut padangan yang pertama ini di sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya (pasal 29 ayat [2] UUD tahun 1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain yang berada di luar aturan agama tersebut. Campur tangan Negara dalam menjaga kesucian agama terlihat dengan adanya Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang telah diteguhkan keberadaannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU- RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 3 VII/2009. Malahan barang siapa yang melakukan tindakan penodaan agama diamcam hukuman lima tahun penjara. Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat formil/administrasi perkawinan menjadi syarat materil, dalam artian setiap perkawinan yang tidak tercatat ditetapkan sebagai perkawinan yang tidak sah tidaklah bertentangan dengan agama. Agama Islam sendiri mengajarkan tentang kewajiban bagi setiap warga Negara untuk mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT. Pencatatan perkawian ditegaskan oleh Negara dalam sebuah peraturan perundangundangan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena di era globalisasi saat ini pada sebagian masyarakat sudah mulai luntur nilai sakral perkawinan, sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah perkawinan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi penyimpangan sosial tersebut. Dalam sebuah kaedah fikih islam dikemukakan: ﺗﺼﺮف اﻻﻣﺎم ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻋﯿﺔ ﻣﻨﻮط ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ Artinya: Tindakan seorang pemimpin terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyatnya harus didasarkan asas kemaslahatan. Pencatatan perkawinan dapat dibuktikan bahwa memang ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan, dalam hal ini adalah kepastian hukum atas terjadinya perkawinan sehingga setiap orang yang telah terikat dalam perkawinan tersebut harus melaksanakan segala konsekwensi perkawinan. Hanya saja persoalan saat ini, sehingga masih terjadi perdebatan adalah apakah memang dengan pertimbangan kemaslahatan rukun atau syarat sah nikah yang selama ini telah ditentukan dalam norma agama harus ditambah dengan poin pencatatan pernikahan. RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 4 Menurut pandangan penulis norma asasi perkawinan yang sudah dimuat dalam aturan agama jangan diusik lagi, sehingga rukun atau syarat sah nikah tetap dipertahankan sebagaimana telah diatur dalam agama atau kepercayaan masingmasing. Hanya saja keberadaan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 agar tidak terkesan mendua harus dipertegas bahwasanya “Tiap-tiap perkawinan hanya dapat dibuktikan keabsahannya setelah dicatatkan menurut peraturan perundangundangan”. Sehingga perkawinan yang telah dilangsungkan secara agama belum luzum keabsahannya (belum diakui keberadaanya) di hadapan Negara selama belum dicatatkan. Sebagai solusi hukum terhadap perkawinan yang telah dilakukan tetapi belum dicatatkan maka diberikan kesempatan untuk melakukan permohonan pengesahan nikah (itsbat nikah), sehingga selama perkawinan yang belum tercatat tersebut (istilah yang biasa digunakan nikah sirri) dapat dibuktikan di persidangan pengadilan telah dilangsungkan sesuai dengan aturan agama dapat ditetapkan keabsahannya. Hanya saja, agar subjek hukum tidak semaunya melanggar ketentuan administrasi perkawinan, perlu dipertegas dengan pemberian sanksi secara pidana terhadap pelaku perkawinan tidak tercatat serta setiap pihak yang telah andil memberikan bantuan dalam pelaksanaan perkawinan tersebut. C. Akibat Hukum Perkawinan Sebagai salah satu konsekwensi dari perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak (nasab), kewajiban pemeliharaan anak (hadhanah), dan kewarisan. Sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 42 UU Nomor1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi hukum islam. RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 5 Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hakhak keperdataan lainnya. Berbeda halnya dengan perkawinan yang sah, perkawinan tidak sah tidak memiliki akbibat hukum apapun terhadap pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut. Jika kita hubungkan dengan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 dengan menggunakan interpretasi hukum a contrario perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang dilakukan tidak menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehingga tidak ada hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan tersebut, karena memang secara hukum perkawinan tersebut tidak ada. Maka tidak ada legal standing bagi masing-masing pihak untuk mengajukan gugatan kelalaian kewajiban terhadap suatu pihak tertentu. Satu hal yang menjadi persoalan, bagi seorang laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan di luar nikah sebagai salah satu bentuk perkawinan tidak sah sangat cocok mereka tidak mendapat perlindungan hukum karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut, sehingga sebagai sanksi hukum hak yang semestinya mereka dapatkan tidak diayomi oleh hukum, hal ini adalah sebuah resiko yang sangat logis dan dapat diterima oleh siapapun. Persoalannya adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak sah tersebut apakah ikut menanggung dosa yang telah dilakukan kedua orang tua biologisnya. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sebagai hubungan yang tidak bisa disangkal bersifat alamiah. Di dalam Islam yang dihubungkan nasabnya kepada ayah hanyalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, sebagaimana ketentuan dalam nash syar’i sebagai berikut: RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 6 1. Firman Allah Swt dalam surat Albaqarah ayat: Artinya: Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara sempurna, bagi yang menginginkan untuk menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S. Albaqarah ayat [233]) Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 2. Hadis Rasulullah SAW: 1) Hadis dari Abu Hurairah: اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش وﻟﻠﻌﺎھﺮ اﻟﺤﺠﺮ Artinya: Nasab anak tersebut adalah kepada ayah sedangkan bagi pezina adalah hukuman rajam (H.R. Bukhari dan Muslim) 2) Hadis dari Aisyah: Dari Aisyah Ra. Dia telah berkata: telah terjadi perselisihan antara Sa’ad bin Abi Waqash dengan Abdu bin Zam’ah mengenai seorang anak. Saad berkata: “Wahai Rasulullah! Ini adalah anak saudaraku, Utbah bin Abi Waqash. Jadi dia adalah anak saudaraku menurut pengakuan saudaraku RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 7 itu. Lihat wajah anak ini mirip dengannya”. Abdu bin Zam’ah menyangkal dan mengatakan: “Ini adalah saudaraku, wahai Rasulullah. Dia dilahirkan atas tempat tidur ayahku dengan hamba perempuannya”. Rasulullah memperhatikan anak itu sejenak dan memang anak itu mirip Utbah kemudian beliau bersabda: “Dia adalah untukmu wahai Abdu. Anak adalah berdasarkan kepada tempat tidur dan orang yang berzina hanya mendapat kecelakaan pakailah hijab darinya ya Saudah binti Zamah”. Hal ini sejalan dengan hukum nasional Indonesia selama ini sebagaimana diatur di dalam pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974. Karena anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan dengan ibunya, maka dari ayah biologisnya anak tersebut tidak memiliki hak apapun yang bisa diperolehnya, karena secara hukum baik hukum agama maupun hukum nasional dia tidak memiliki pertalian darah (nasab) dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya. Sehingga oleh sebab itu anak di luar nikah tidak memperoleh hak-hak materil dan moril yang semestinya harus diperoleh oleh seorang anak dari ayahnya, seperti hak pemeliharaan, hak nafkah, hak perwalian nikah bagi anak perempuan, dan hak saling mewarisi ketika terjadi kematian. Anak di luar nikah sering menjadi objek cacian di tengah masyarakat, dengan sebuah sebutan anak haram. Kondisi seperti itu memberikan sebuah ketidak adilan bagi seorang anak, di samping ketidakadilan dari segi tanggung jawab orang tua yang telah menyebabkan dia lahir ke dunia juga ketidakadilan disebabkan tekanan psikis yang dialaminya disebabkan dosa orang tua biologisnya. Kenyataan ini tidak sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: ﻛﻞ ﻣﻮﻟﻮد ﯾﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة Artinya: setiap anak dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa dosa). D. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Uji Materil UU Nomor 1 tahun 1974 RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 8 Pokok permohonan Para Pemohon adalah mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, karena mengenai pencacatan perkawinan yang diatur dalam pasal tersebut menurut penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 tahun 1974 hanya berkenaan dengan administrasi perkawinan tidak menentukan keabsahan perkawinan. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing. Jadi keberadaan akta nikah sama halnya dengan keberadaan akta yang lain, seperti akta kelahiran dan kematian. Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (vide pasal 28 J ayat (2) UUD 1945). Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk menjamin kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti asal-usul anak. Mengenai keberadaan anak di luar perkawinan (vide pasal 43 ayat [1] UU Nomor 1 tahun 1974) Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat bahwa setiap kehamilan pasti diawali dengan pertemuan ovum dengan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui jalan lain sesuai dengan kemajuan teknologi. Sehingga hubungan anak yang dilahirkan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya bukan hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan hubungan darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum. Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 9 stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat perlindungan hukum dari Negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki - laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” E. Analisis Penulis a. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974, bahwa pencatatan perkawinan legal meaningnya adalah sebagai syarat administatif perkawinan, tidak menentukan keabsahan sebuah perkawinan. Hanya saja menurut agar pasal tersebut memiliki taring (kekuatan mengikat) maka redasinya seharusnya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan hanya dapat dibuktikan keabsahannya setelah dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan” sebagaimana telah diakomodir dalam dalam pasal 7 ayat (1) Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aturan perkawinan nasional Indonesia yang sudah ditetapkan sejak tahun 1974 sampai saat ini masih menjadi sumber perdebatan dan apalagi tingkat kesadaran terhadap aturan tersebut oleh sebagian kelompok yang berfaham ‘fiqh sentrik secara sempit’ masih sangat rendah. Jadi, logikanya adalah Negara mengakui bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dijalankan sesuai dengan rukun dan syarat pernikahan di dalam agama dan kepercayaan masing-masing, hanya saja untuk menjamin kepastian terlaksananya aturan agama dan kepercayaan tersebut secara baik dan benar maka Negara mengikat kebebasan tersebut RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 10 dengan aturan yang mewajibkan warga negaranya untuk membuktikannya melalui akta perkawinan yang otentik dikeluarkan oleh perangkat resmi yang telah disediakan Negara untuk itu. Untuk setiap perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan masing-masing tetapi tidak dicatatkan kepada perangkat Negara yang ditentukan untuk itu, baik karena kondisi darurat ataupun karena kelalaian maka dibuka penyelesaian masalahnya melalui penetapan sahnya perkawinan oleh lembaga peradilan. Hanya saja jika kejadian tersebut didasarkan atas kelalaian maka yang bersangkutan mesti diberi sanksi (ta’zir dalam istilah pidana Islam yakni sanksi hukum atas perbuatan melanggar hukum negara) sebagai efek jera bagi pelaku pelanggaran atas hukum yang telah ditetapkan oleh ulul amri (pemimpin). b. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materil pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 sehingga pasal tersebut harus dibaca menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan / atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah kita kemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan bagi anak di luar perkawinan tersebut agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma negatif dalam pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orang tuanya. Di dalam agama Islam salah satu tujuan penerapan hukum tersebut adalah untuk maslahah, bahkan dalam mazhab maliki maslahah mursalah dijadikan sebagai salah satu turuq istimbath al-ahkam. Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan harmonisasi kehidupan RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 11 manusia, sehingga beban hukum yang dibawanya bukanlah untuk membinasakan manusia tetapi sebaliknya adalah untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan bukan hanya di akhirat semata tetapi juga di dunia. Menetapkan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan juga tidak boleh mengabaikan kemungkinan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hukum tersebut, maka dalam hukum Islam dikenal sebuah kaedah: درأ اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artinya: menolak kerusakan harus diutamakan dari mewujudkan suatu kemaslahatan. Anak luar perkawinan dalam pandangan hukum nasional Indonesia tidak bisa ditetapkan secara global begitu saja, karena menurut hemat penulis sehubungan dengan UU Nomor 1 tahun 1974, anak luar perkawinan memuat dua makna yang secara prinsip berbeda: a. Anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki yang telah terikat hubungan perkawinan secara agama dengan seorang perempuan, tetapi tidak memiliki legalitas disebabkan perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku. b. Anak yang lahir tanpa pernikahan yang sah, hanya disebabkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing-masing. Mengingat ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, maka terhadap anak sebagaimana dalam poin ‘a’ sudah tepat dikatakan bahwa anak tersebut memiliki hubungan keperdataan yang sempurna baik dengan ibunya maupun bapaknya. Tentunya setelah pernikahan kedua orang tuanya mendapat legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi warga Negara yang beragama Islam sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dua kali pertama dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan kedua dengan UU Nomor RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 12 50 tahun 2009 jo. Pasal 7 ayat (2) Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, perkawinan tersebut mesti ditetapkan keabsahannya terlebih dahulu oleh Pengadilan Agama. Dasar berfikirnya adalah, karena pernikahan yang telah dilangsungkan sesuai dengan aturan agama masing-masing walaupun tidak tercatat adalah sah, maka konsekwensinya anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan tersebut adalah anak sah yang berhak secara sempurna memiliki hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya. Perkawinan adalah perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum yang komplek dan luas sebagaimana hal ini telah dikemukakan dalam pertimbangan mempertimbangkan Majelis Hakim pentingnya Mahkamah dokumen Konstitusi saat perkawinan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 ayat (2) UU Nomo1 tahun 1974. Di antara akibat hukum tersebut adalah melahirkan asal usul keturunan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, dari pertimbangan tersebut dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sepakat bahwa hubungan asal usul anak dengan orang tuanya terutama dengan ayahnya timbul sebagai akibat dari perkawinan sementara dengan ibunya adalah sebuah peristiwa alam yang tidak mungkin disangkal kebenarannya seperti halnya matahari yang terbit di timur dan terbenam di barat, setiap anak yang lahir dari rahim seorang perempuan maka perempuan tersebut adalah ibunya. Sangat logis, jika maksud penambahan pasal 43 ayat (1) oleh Mahkamah Konstitusi sebatas berkaitan dengan hak pemeliharan dan kepastian dalam mendapatkan pendidikan sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri (setidaknya telah berusia 18 tahun) atau telah melangsungkan perkawinan sebagaimana maksud pasal 45 ayat (1 dan 2) UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 1 yat (1) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, memiliki ayah dan ibu walaupun secara hukum ada di antara hubungan tersebut yang tidak RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 13 didasarkan dengan perkawinan sah, tetapi secara ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya anak tersebut dapat dibuktikan sebagai anak biologis dari yang bersangkutan. Anak memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh orang tuanya. Selama ini anak di luar kawin hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sehingga sebagai dampaknya anak mengalami tekanan batin dalam pergaulannya dan ayah biologisnya seolah-olah terlepas dari tuntutan hukum untuk bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menyebabkan anak tersebut lahir ke dunia. Pada zaman yang tingkat kecenderungan pelanggaran hukumnya semakin meningkat, maka perlu diantisipasi kebebasan individu dalam melanggar norma hukum yang telah ditetapkan oleh Negara, sebagai organisasi kekuasan Negara memiliki otoritas untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap warganya dalam rangka melindungi kepentingan umum atau kepentingan orang lain sesuai dengan norma hukum, sosial, dan agama (vide pasal 28 J UUD tahun 1945). Pembatasan dimaksud dapat melalui pembebanan berupa kewajiban hukum terhadap orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum itu sendiri, sehingga dengan adanya ancaman berupa pengikatan sejumlah kewajiban diharapkan tidak terjadi lagi penyimpangan dari norma hukum yang telah ditetapkan. Seorang ayah biologis mesti ditarik oleh hukum untuk bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya. Perlindungan yang dimaksud adalah sebagai mana maksud pasal 13 (1) UU Nomor 23 tahun 2002 mencakup perlindungan dari: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya. Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Maka kata orang tua di sini semestinya juga RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 14 dimaknai dengan orang tua secara biologis sejauh dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti sah lain menurut hukum. Tetapi penambahan pasal 43 ayat (1) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah sebatas dengan hak perlindungan tetapi memiliki makna yang sangat luas sebagaimana halnya makna yang melekat pada anak sah. Jika hak keperdataan sempurna diberikan kepada anak di luar perkawinan, menurut pendapat penulis akan menimbulkan kerancuan dalam beberapa aspek hukum, seperti asal usul anak. Jika putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 43 ayat (1) dipahami setelah pasal tersebut melekat dalam satu kesatuan sebagai batang tubuh UU Nomor 1 tahun 1974, maka akan melahirkan makna yang sangat luas. Dimana anak luar perkawinan diakui asal usulnya oleh negara dengan laki-laki yang menjadi ayah biologisnya, sehingga dalam akta kelahiran anak tersebut (sebagai akta autentik yang dapat menerangkan asal usul seorang anak vide pasal 55 UU Nomor 1 tahun 1974) dia diterangkan sebagai anak dari ibu dan ayah biologisnya. Perkawinan merupakan salah satu hubungan perdata yang akan melahirkan hubungan-hubungan keperdataan yang lain. Jika anak luar perkawinan telah disamakan keberadaannya dengan anak sah akan timbul persoalan lain bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama tertentu, seperti Islam, di antaranya yakni dalam aspek hukum perwalian nikah dan kewarisan. Dalam agama Islam, salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga kesucian hubungan darah (nasab). Karena dari hubungan nasablah akan timbul hak bagi seorang ayah atau keluarga ayah dari garis keturunan laki-laki untuk menjadi wali nikah atas seorang anak perempuan. Begitu juga dalam aspek hukum waris, hak untuk mewarisi timbul disebabkan dengan adanya perkawinan dan hubungan darah yang timbul akibat perkawinan yang sah. Di dalam agama Islam perkawinan bukan hanya persoalah perdata biasa tetapi di dalamnya terkandung hubungan yang bersifat transendental RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 15 dengan Allah SWT. Sesuai dengan pasal 29 ayat (2) UUD tahun 1945 Negara berkewajiban untuk ikut serta melindungi nilai kesucian agama yang dipeluk oleh setiap warga negaranya. Wali nikah dalam hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah), sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis Rasulullah SAW: ﻻ ﻧﻜﺎح اﻻ ﺑﻮﻟﻲ Artinya: Tidak sah pernikahan yang dilakukan tanpa wali. Aturan ini telah ditaqnin dalam salah satu produk hukum Indonesia yakni pasal 14 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan perubahan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, timbul persoalan jika anak luar perkawinan tersebut adalah anak perempuan dan beragama Islam, siapakah wali nikahnya? Begitu juga halnya dalam aspek hukum kewarisan, ahli waris adalah orang yang pada saat Pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (vide pasal 171 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam). Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari ketentuan tersebut dalam akta kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah laki-laki yang telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya, tentunya atas dasar legal standing tersebut dia akan menuntut hak keperdataannya dari ayahnya. Di antara hak keperdataan tersebut adalah ketika terjadi kematian ayah biologisnya tentu dia memiliki hak secara hukum untuk menuntut hak warisnya, begitu juga sebaliknya. Pertanyaannya adalah, jika anak luar perkawinan tersebut beragama Islam dan ayah biologisnya juga beragama Islam, apakah di antara mereka akan diberikan hak untuk saling mewarisi? Sesuai dengan perubahan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 karena hubungan antara anak luar perkawinan dengan ayah RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 16 biologisnya sudah jelas, jadi dia memiliki hubungan keperdataan sebagaimana halnya anak sah. Tetapi apakah sejauh itu hukum nasional memaksa warga negaranya? sehingga dalam posisi seperti itu harus memaksakan warga negaranya melanggar ketentuan agama yang bersifat suci? Bukankah dalam contoh kasus yang telah dikemukakan jika dalam hal ini umat Islam tetap berpegang dengan norma agama bahwa laki-laki yang tidak terikat perkawinan sah dengan seorang perempuan, maka dia tidak berhak untuk menjadi wali nikah bagi anak biologisnya (jika anak tersebut seorang perempuan) dan dalam hukum kewarisan tidak ada hak untuk saling mewarisi tentu telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut, begitu juga sebaliknya, jika umat Islam secara utuh mengikuti aturan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 yang telah diuji materil oleh Mahkamah Konstitusi tentu di sisi lain juga tidak akan terelakkan terjadinya pelanggaran norma agama. Malahan asas keabsahan perkawinan yang dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, jika dihubungkan dengan kasus anak luar perkawinan setelah terjadinya perubahan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 dengan sendirinya juga akan ikut terlanggar. Kenapa tidak jika seorang anak perempuan yang beragama islam dikawinkan oleh ayah biologisnya sementara di dalam agama Islam dia bukanlah wali nikah yang berhak, maka sebagai konsekwensinya perkawinan tersebut tidak sah secara agama, karena perkawinan itu tidak sah secara agama maka tentunya perkawinan tersebut tidak mendapat pengakuan keabsahan juga oleh Negara. Seharusnya penetapan hubungan keperdataan anak di luar perkawinan mesti disesuaikan dengan agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana halnya ruh hukum perkawinan di Indonesia. Hal demikian sesuai dengan aturan pencatatan pengesahan dan pengakuan anak di luar perkawinan yang sah sebagaimana di atur dalam pasal 49 ayat (2) dan pasal 50 ayat (2) UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 17 Menurut pendapat penulis, dengan mempertimbangkan aspek perlindungan anak di luar perkawinan dan keberagaman agama yang ada di Indonesia, maka dalam tataran diskusi ilmiah penulis memandang bahwa pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 jika diuji dengan UUD tahun 1945 seharusnya berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan/atau bukti lain yang sah secara hukum beserta keluarga ayahnya ditetapkan sesuai dengan agama dan kepercayaannnya itu” Agar anak luar perkawinan benar-benar mendapat perlindungan hokum, tidak ikut serta menanggung dosa turunan dari orang tuanya, dalam pasal 43 UU Nomor 1 tahun 1974 mesti di tambahkan satu ayat yang secara khusus mengikat orang tua biologis anak di luar perkawinan untuk bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Sehingga walaupun agama anak atau ayah biologis anak tersebut menentukan tidak ada hubungan keperdataan antara anak luar perkawinan dengan ayah biologisnya tetapi secara asas kemanusiaan dia dibebani kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya, dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Setidaknya poin tersebut berbunyi: “Anak di luar perkawinan berhak mendapat perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya dari laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan/atau teknologi serta bukti lain yang sah menurut hukum beserta dari keluarga laki-laki sebagai ayahnya tersebut”. F. Penutup Tulisan ini merupakan pandangan Penulis pada tataran diskusi ilmiah atas putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materil Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974. Demikianlah tulisan ini disajikan, jika terdapat kekeliruan mohon dimaafkan. RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 18 G. Sumber Bacaan 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 3. Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 4. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindunagn Anak. 5. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. 7. Kitab Hadis Subulu as-Salam. RIO SATRIA, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 19