Format Penulisan Makalah - Digilib ITS

advertisement
ANALISA KEBIJAKAN PASOKAN GAS BAGI PEMENUHAN KEBUTUHAN
INDUSTRI PUPUK NASIONAL : SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
Datta Anindya Pradhana; Budisantoso Wirjodirdjo; Niniet Indah Arvitrida
Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: [email protected] ; [email protected] ; [email protected]
Abstrak
Sektor pertanian di Indonesia memberi kontribusi signifikan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Beberapa
sektor yang sangat berpengaruh pada sektor pertanian adalah industri petrokimia yang menyediakan pupuk dan
obat-obatan untuk peningkatan hasil pertanian. Pupuk merupakan unsur terbesar dalam industri petrokimia
yang menggunakan gas sekitar 50 % - 60 %. Oleh karena itu, fluktuasi produksi pupuk sangat bergantung pada
harga dan ketersediaan gas nasional. Keterkaitan pelaku antara pemerintah, produsen gas dan produsen pupuk
berperan penting dalam menentukan kebijakan strategis permasalahan ketersediaan gas untuk produksi pupuk.
Dalam penelitian ini, dilakukan permodelan dengan pendekatan dinamika sistem karena obyek dan
permasalahan yang terjadi bersifat makro dan strategis. Selain itu, analisa kondisi diperlukan untuk mengetahui
skenario atau kebijakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang, dimana hal tersebut akan dapat
diperoleh melalui sebuah simulasi. Dalam penelitian ini terdapat beberapa skenario yang digunakan, meliputi
peningkatan alokasi gas dalam negeri untuk kebutuhan produksi pupuk, peningkatan konsumsi gas untuk
produksi pupuk dan kenaikan harga subsidi untuk mengurangi beban anggaran pemerintah. Hasil simulasi
menunjukkan prosentase alokasi gas domestik dapat dinaikkan dari 25% menjadi 30%,kenaikan tersebut akan
menambah kuantitas gas domestik dan meningkatkan penggunaan gas untuk produksi pupuk dari 10,61%
menjadi 20% akan berdampak signifikan memenuhi kebutuhan gas yang digunakan untuk produksi pupuk.
Kenaikan HET sebesar 25% akan mengurangi beban anggaran subsidi pemerintah tanpa merugikan petani. Hal
tersebut sebagai upaya jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan akan subsidi..
Kata kunci : Perpupukan nasional, Pasokan Gas, keterkaitan pelaku, sistem dinamis
Abstract
Indonesia’s agricultural sector contributes significantly to the GDP (Gross Domestic Bruto). Some sectors are
highly influence in the agriculture sector is petrochemical industry that provides fertilizer and pesticides that
may be needed in increasing agricultural ouput. Fertilizer is the largest element in the petrochemical industry in
need of gas around 50%-60%. Therefore, fluctuations in production of fertilizer depend on the price and
availability of national gas. In this research modeling is conducted with system dynamics approach because the
object and the problems are in macro and strategic level. In addition, analysis is needed to know further about
the impact of different scenarios or short term, medium and long term policies, of which can be obtained from
the result of simulation In this research, there are several scenarios that are used, including increased allocation
of domestic gas for fertilizer production needs, increased consumption of gas for fertilizer production and price
subsidies to reduce the burden on government budgets. The simulation results show the percentage allocation of
domestic gas can be increased from 25% to 30%, the increase is going to increase the quantity of domestic gas
and increased use of gas for fertilizer production from 10.61% to 20% will have a significant impact to meet the
needs of gas used for fertilizer production. HET’s price increase of 25% will reduce the burden on government
subsidy budget without harming farmers. This is a long-term effort to reduce dependence on subsidies.
Keywords : The National Fertilizer Industry, Gas Supply, stakeholder linkage, system dynamic
1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki
tiga sektor perekonomian yang menunjang
pembangunan nasional, yaitu sektor manufaktur,
sektor pertanian, sektor jasa dan perdagangan. Salah
satu
sektor
penting
yang
perlu
dijaga
keberlangsungannya dalam perekonomian nasional
adalah sektor pertanian yang memberikan kontribusi
signifikan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)
pada tahun 2006 sebesar Rp.214,34 triliun atau
17,5% terhadap PDB total dan pada tahun 2007
sebesar Rp. 265,09 triliun atau 16,2% terhadap PDB
total (Pusat Data dan Informasi Departemen
Pertanian, 2009). Di sisi yang lain, penduduk usia
kerja di Indonesia sebagian besar bermata pencaharian
petani, sektor pertanian sampai saat ini masih
merupakan sektor yang paling besar dalam hal
penyerapan tenaga kerja jika dibandingkan dengan
sektor ekonomi lainnya, terbukti dari hasil kontribusi
Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009
menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang
1
terbanyak menyerap tenaga kerja sebesar 41,21 juta
penduduk.
Salah satu sektor industri yang sangat
berpengaruh pada keberlangsungan sektor pertanian
adalah industri petrokimia. Industri petrokimia
menyediakan pupuk dan obat-obatan untuk
peningkatan hasil pertanian. Pupuk merupakan faktor
produksi yang penting bagi sektor pertanian. Pupuk
menyumbang 20% terhadap keberhasilan peningkatan
produksi pertanian, khususnya beras antara tahun
1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai
swasembada beras di tahun 1984 (www.setneg.go.id).
Kontribusi pupuk mencapai 15-30% untuk biaya
usaha tani padi. Dengan demikian sangat penting
untuk menjamin kestabilan harga dan kelancaran
distribusi pupuk. Karena unsur terbesar dalam industri
petrokimia (pupuk dan obat-obatan) adalah gas
sekitar 50%-60%, fluktuasi produksi jenis pupuk
sangat bergantung pada harga dan ketersediaan gas
nasional. Meskipun cadangan gas Indonesia sangat
besar, namun sangat ironis mengingat bahwa industri
gas nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan
industri pupuk dalam negeri. Masalah pemenuhan gas
atas industri pupuk sangat terkait dengan dinamika
harga gas alam di dunia. Fluktuasi tersebut banyak
dipengaruhi oleh permintaan gas dari luar negeri serta
naik turunnya harga bahan bakar minyak di pasar
internasional,
sehingga
pemasok gas akan
beriorientasi pada keuntungan. Apabila harga gas di
luar negeri naik, maka pemasok gas cenderung
menjual gas ke luar negeri untuk menghasilkan devisa
lebih banyak, hal tersebut berpengaruh juga dengan
kebijakan pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan
pupuk nasional. Konsumsi pupuk terbesar selama ini
adalah pupuk urea, dengan tingkat konsumsi rata-rata
sebesar 70 %. Tingkat konsumsi paling tinggi
dibandingkan jenis pupuk lainnya, membuat
permintaan terhadap pupuk jenis urea menjadi
semakin elastis (sensitif terhadap harga), dan pupuk
jenis urea ini yang sering terjadi kekurangan pasokan
di pasar (kelangkaan).
Ketersediaan gas alam terkait erat dengan
pemenuhan produksi pupuk. Permasalahan yang
dihadapi industri pupuk yang semuanya berstatus
badan usaha milik negara (BUMN) adalah semakin
besarnya potensi untuk mengalami defisit pasokan
gas. Defisit tersebut diperkirakan semakin meluas ke
seluruh industri pupuk seiring dengan semakin
menipisnya cadangan gas dan kebijakan energi yang
lebih berorientasi pada ekspor (www.inaplas.org).
Ekspor gas yang dilakukan dalam jumlah relatif besar
setiap tahun menyebabkan industri pupuk bekerja
dengan sumber bahan bakar yang sangat
terbatas. Kepastian pasokan gas bagi industri pupuk,
akan menentukan keberhasilan program revitalisasi
pabrik pupuk BUMN yang saat ini sedang
berlangsung. Program revitalisasi rencananya akan
dilakukan oleh Pupuk Sriwidjaja, Pupuk Kaltim,
Pupuk Kujang, Pupuk Petrokimia, dan Pupuk
Iskandar Muda. Oleh karena itu, jika prosentase besar
gas bumi digunakan untuk memenuhi ekspor, maka
revitalisasi pabrik pupuk BUMN dan pemenuhan
kebutuhan pupuk nasional akan terhambat. Kebijakan
ekspor dan impor gas tetap dilihat dari segi
kepentingan keuntungan yang didapatkan pemerintah
terhadap nilai ekonomi yang didapatkan dari
kebijakan yang diambil. Pemerintah memiliki
kepentingan untuk mengamankan pasokan gas dalam
negeri agar tata niaga gas tidak menganggu kegiatan
industri dalam negeri.
Cadangan gas alam Indonesia sangat besar, namun
kondisi tersebut justru membuat industri pupuk
nasional kekurangan pasokan gas. Berdasarkan data
BPPT yang ditunjukkan pada tabel 1.1, volume gas
alam nasional mencapai sekitar 176,6 triliun kaki
kubik (trillion cubic feet/TCF). Sedangkan produksi
kotor pada 2008 baru 3,04 TCF. Sumber energi
ramah lingkungan itu pun sebagian besar lari ke luar
negeri. Dari total produksi gas alam 8,35 miliar kaki
kubik per hari (billion standard cubic feet per
day/Bscfd) per hari, 4,88 Bscfd di antaranya diekspor.
Tabel 1.1. Pemakaian Produksi Gas Nasional
Pemakaian
Jumlah
Prosentase
Gas
(TCF)
(%)
Ekspor
1,64
54
Pemakaian
0,76
25
Domestik
Pemakaian
0,64
21
Sendiri
Total
3,04
100
Sumber : Data BPPT tahun 2005
Pemakaian gas untuk produksi pupuk nasional
digunakan oleh pabrik pupuk berstatus BUMN,
dimana masing-masing perusahaan memiliki kapasitas
produksi pupuk tersendiri. Semakin besar kebutuhan
pupuk, semakin besar pula kebutuhan pasokan gas.
Urea menjadi fokus penelitian ini, karena prosentase
penggunaan gas untuk produksi urea sebesar 46%,
sedangkan PT. Pupuk Kalimantan Timur menjadi
adopsi perusahaan yang dituju, karena memiliki
kapasitas produksi urea terbesar diantara kelima
BUMN produsen pupuk yaitu 37%. Objek penelitian
tersebut dipilih untuk melihat pola kebijakan pasokan
gas secara nasional.
Produksi pupuk nasional sepanjang tahun 1990 –
2004 sebagian besar adalah urea, yaitu sebesar 79,95
persen dari total produksi pupuk nasional (PT. Pusri,
2005). Mengingat begitu besarnya pengaruh
ketersediaan pupuk domestik terhadap sektor yang
terkait, maka sangat penting dilakukan usaha
pengidentifikasian kedinamisan pasokan gas alam
terhadap pemenuhan pupuk nasional. Fluktuasi
pasokan gas alam secara langsung akan
mempengaruhi harga gas secara positif, karena
kenaikan harga gas ini maka produksi gas akan
2
cenderung diekspor dibanding pemenuhan dalam
negeri. Akibat berantai dari proses ini adalah pasokan
gas pada industri pupuk akan berkurang sehingga
produksi pupuk petrokimia akan di bawah kapasitas
terpasangnya, akibatnya sektor pertanian yang akan
menderita karena kelangkaan pupuk..
Penelitian masalah perpupukan nasional pernah
dilakukan oleh Juniar (2006), yaitu meneliti perihal
kebijakan yang berhubungan dengan industri pupuk,
penelitian tersebut menghasilkan usulan kebijakan
untuk pengembangan industri pupuk. Sedangkan
tools yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sistem dinamik dengan melihat dinamika fluktuasi
distribusi gas dan pola kebijakan pasokan gas dari
pemerintah. Penelitian ini dilakukan dengan
memodelkan kondisi eksisting pola pasokan gas ke
produsen pupuk dan selanjutnya disajikan skenario
untuk pengembangan perpupukan nasional yang
efektif.
2. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian akan menjelaskan tahapantahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
Secara keseluruhan, terdapat tiga tahapan utama
dalam penelitian ini, yaitu tahap identifikasi, tahap
pemodelan, dan tahap analisis dan kesimpulan. Tahap
Identifikasi
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
mengenai gambaran umum dari sistem yang akan
diamati. Tahapan ini terdiri atas perumusan masalah,
perumusan tujuan dan manfaat, studi literatur, dan
pengumpulan data. Permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini yaitu seberapa efektif kebijakankebijakan yang telah dan hendak dilakukan oleh
pemerintah terkait dengan dinamika perkembangan
industri pupuk nasional. Setelah ditentukan
permasalahannya, kemudian dapat dirumuskan tujuan
dan manfaat penelitian. Sebagai dasar dalam
penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan pengkajian
terhadap literatur baik berupa buku, jurnal, artikel,
atau penelitian terdahulu yang membahas mengenai
teori dari pendekatan yang digunakan dalam
penelitian serta kondisi pergulaan nasional. Selain
studi literatur, juga dilakukan pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
dengan berbagai pihak dalam pasokan gas nasional
dan penggalian informasi dari berbagai sumber yang
berkaitan, seperti artikel, situs bank data, dan
penelitian sebelumnya.
Tahap Pemodelan terdiri atas konseptualisasi
sistem, formulasi model simulasi, simulasi model,
validasi model, dan penyusunan skenario perbaikan.
Konseptualisasi
model
dilakukan
dengan
mengidentifikasi variabel dalam sistem kemudian
disusun dalam causal loop diagram. Formulasi model
dilakukan dengan software simulasi yaitu Veneta
Simulation (Vensim) yang dilanjutkan dengan simulasi
model. Validasi model bertujuan untuk menguji
apakah model sudah mewakili real system. Jika model
telah valid, dapat dilanjutkan pada penyusunan
skenario perbaikan. Tahap analisis dan kesimpulan
merupakan tahap terakhir yang terdiri atas
perbandingan hasil simulasi perbaikan dan eksisting.
Perbandingan hasil simulasi dilakukan untuk melihat
apakah perbaikan yang dilakukan sudah mampu
meningkatkan
efektifitas
sistem.
Kemudian
dilanjutkan dengan langkah analisis dan interpretasi
data, serta penyusunan kesimpulan dan saran.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.1 Identifikasi Sistem yang Diamati
Ruang lingkup sistem amatan dalam penelitian ini
adalah sistem pasokan gas dimulai dari produksi gas
alam sampai pendistribusian untuk produksi pupuk.
Lingkup penelitian ini ditunjukkan pada gambar 3.1
dengan kotak bergaris merah dalam mapping.
Sedangkan yang berada dalam garis putus-putus
adalah variabel yang mempengaruhinya.
Pemerintah
Produsen
Gas
Produsen Gas
untuk Kebutuhan
Domestik
Konsumen Gas
untuk Luar
Negeri (ekspor)
PT. Pupuk
Kalimantan
Timur
Harga Gas
Indonesia
Kebutuhan
Gas
Domestik
Harga Gas
Dunia
Kebijakan
Dunia
(OPEC)
Gambar 3.1 Ruang Lingkup Pemodelan
Dalam sistem tersebut terdapat beberapa pelaku
utama, yaitu hubungan keterkaitan antar pelaku yang
ditunjukkan dalam kotak berwarna merah. Sedangkan
kotak dengan garis putus-putus merupakan variabel
yang menpengaruhinya. Lingkup dari penelitian ini
adalah pada industri hulu dari sistem perpupukan
nasional, yang terdiri dari:
1. Pemerintah, dalam hal ini adalah PT.
Pertamina (persero).
2. Produsen gas, dalam hal ini adalah PT. Badak
NGL, Kalimantan Timur.
3. PT. Pupuk Kalimantan Timur, dalam hal ini
sebagai produsen pupuk yang menggunakan
pasokan gas dari PT. Badak NGL.
Pelaku industri diatas mempunyai peran besar dalam
interaksi antar model yang akan dilakukan dalam
penelitian.
Adapun
masing-masing
pelaku
industri
mempunyai peranan tersendiri. Produsen gas berperan
sebagai
penyalur
kebutuhan
gas
yang
mendistribusikan gas guna memenuhi permintaan
produsen pupuk untuk produksi pupuk karena gas
merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk.
3
Dalam hal ini terdapat sinergi antara kebijakan
pemerintah dengan produsen gas selaku perusahaan
yang mengatur pendistribusian gas.
Produsen pupuk sebagai pelaku industri yang
menggunakan gas untuk membuat produk akhir
berupa pupuk. Pupuk yang dimaksud dalam model ini
adalah urea, karena urea adalah pupuk dominan yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan petani
memproduksi tanaman pangan. Pemakaian pupuk
urea merupakan pemakaian dengan kuantitas terbesar
di Indonesia sebesar 10.439.861 ton pada tahun 2009
(Deptan RI, 2009) dan menjadi pupuk dominan yang
digunakan petani untuk memproduksi tanaman
pangan guna memenuhi ketahanan pangan nasional.
Pemerintah berperan sebagai stakeholder pengatur
kebijakan untuk distribusi dan harga jual gas, baik
untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dalam
hal ini peran nyata pemerintah meliputi penetapan
kebijakan terkait besarnya kuantitas gas yang
diekspor, pemenuhan gas untuk kebutuhan domestik,
subsidi harga gas dan lain sebagainya. Indikator
kinerja dari sistem pasokan gas adalah tercukupinya
kebutuhan gas untuk produksi pupuk dilihat dari
keseimbangan pendistribusian antara kebutuhan
domestik dan kontribusi ekspor. Terdapat 3 jenis
variabel yang menunjang indikator kinerja sistem,
yaitu variabel performance, variabel keputusan dan
variabel status (parameter) yang akan dilihat sebagai
acuan keberhasilan sistem. Variabel performance
dalam sistem ini adalah variabel cadangan gas dan
stok gas di produsen pupuk. Variabel cadangan gas
menunjukkan kuantitas cadangan setelah gas
didistribusikan untuk kebutuhan domestik dan
kontribusi ekspor. Sedangkan variabel stok gas di
produsen pupuk menunjukkan kuantitas gas yang bisa
digunakan untuk produksi pupuk urea atau industri
petrokimia lainnya.
Variabel keputusan yang mempengaruhi indikator
kinerja dalam sistem ini adalah variabel berupa fraksi
kebutuhan gas untuk pupuk dan industri petrokimia
dan penetapan harga jual gas oleh pemerintah untuk
pabrik pupuk. Variabel fraksi kebutuhan gas untuk
pupuk dan industri petrokimia ini menunjukkan porsi
pemakaian gas untuk kebutuhan domestik. Sedangkan
variabel penetapan harga jual gas untuk pabrik pupuk
oleh pemerintah menunjukkan besaran harga jual gas
untuk pabrik pupuk, hal tersebut juga merupakan
bentuk subsidi dari pemerintah.
3.2 Konseptualisasi Sistem
Konseptualisasi
model
bertujuan
untuk
menunjukkan gambaran sistem secara umum
mengenai simulasi sistem dinamis yang akan
dilakukan. Konseptualisasi model terdiri atas
identifikasi pelaku, penyusunan input-output diagram,
penyusunan causal loop diagram.
3.2.1 Identifikasi Pelaku
Tahap awal dalam konseptualisasi sistem adalah
mengidentifikasi pelaku yang berpengaruh dalam
sistem. Identifikasi pelaku ini didasarkan pada Big
Picture Mapping yang telah dibuat, brainstorming
dan studi literatur mengenai sistem pasokan gas untuk
perpupukan nasional. Dari identifikasi pelaku ini
kemudian dapat ditentukan variabel lain yang
mempengaruhi masing-masing pelaku. Pada penelitian
ini, pelaku-pelaku yang terlibat dan menjadi fokus
penelitian adalah produsen gas di wilayah Kalimantan,
PT. Pupuk Kalimantan Timur dan kebijakan
pemerintah berkaitan dengan harga gas dan
keseimbangan
ekspor-pemenuhan
kebutuhan
domestik. Model dari masing-masing pelaku ini akan
digambarkan secara terpisah dalam sub-sub model.
Selain pelaku-pelaku tersebut, juga akan
digambarkan pelaku hulu, yaitu pemerintah,
Keseimbangan pemakaian gas antara pemenuhan
domestik dengan ekspor dipengaruhi oleh harga gas
di luar negeri. Harga gas di luar negeri erat kaitannya
dengan kecenderungan ekspor gas. Hal ini didasarkan
pada pendapatan devisa dari menjual gas untuk
ekspor. Harga gas dunia mengikuti tren fluktuasi
harga minyak dunia yang diatur oleh asosiasi negara
penghasil minyak bumi (OPEC) untuk menjaga
kestabilan harga dunia. Sedangkan Indonesia
menetapkan harga minyak bumi melalui ICP
(Indonesia Crude Price). Berikut tabel 3.2
merupakan fluktuasi harga minyak dan gas bumi luar
negeri dengan harga minyak berdasarkan ICP
Tabel 3.2 Fluktuasi Harga Minyak Berdasarkan ICP
Bulan-Tahun
Harga (US$/mmbtu)
Jan-10
76,08
Feb-10
75,34
Mar-10
79,94
Apr-10
85,41
Mei-10
76,81
3.2.2 Input Output Diagram
Input output diagram merupakan interpretasi dari
identifikasi variabel yang telah dilakukan sebelumnya
secara lebih tersistematis dan merupakan diagram
yang menggambarkan apa saja yang merupakan
inputan dalam sistem perpupukan nasional serta
output-nya. Penyusunan diagram input-output ini
dilakukan untuk mengetahui deskripsi secara
sistematis input dan sistem output dari sistem
pergulaan nasional. Gambar 3.2 menunjukkan
diagram input-output dari sistem.
4
Input Tak Terkendali
·
·
·
·
·
·
·
·
Demand Pupuk
Kualitas Produksi
Pupuk
Musim Tanam
Inflasi Harga Gas
Dunia
Harga Gas Domestik
Harga Gas Dunia
Nilai Tukar Mata
Uang
Marjin Keuntungan
Input Terkendali
·
·
·
·
·
Lingkungan
·
·
Kebijakan
Pemerintah Pusat
Kebijakan
Pemerintah Daerah
(yang daerahnya
terdapat sumber
migas)
Output Dikehendaki
·
·
·
Sistem Distribusi
Gas untuk Pupuk
Nasional
Kebutuhan Pupuk
oleh Petani
Kebutuhan Gas
untuk Produksi Urea
Kapasitas Produksi
Pupuk
Supply Gas
Domestik
Supply Gas Ekspor
Peningkatan
Produktivitas
Peningkatan
Pemenuhan Industri
Domestik
Penyeimbangan
antara ekspor dan
impor gas
Output Tak Terkendali
·
·
·
Penurunan
Produktivitas
Penurunan Jumlah
Produksi Gas
Penurunan
Kuantitas Gas
Domestik
Pengelolaan
Gambar 3- 1 Input-Output Diagram
3.2.3 Causal Loop Diagram
Penyusunan causal loop diagram bertujuan untuk
menggambarkan interaksi antar elemen dalam sistem.
Interaksi ini mempunyai 2 kemungkinan, yaitu
interaksi yang positif dan negatif. Hubungan tersebut
bisa bersifat positif jika penambahan pada satu
variabel akan menyebabkan penambahan pada
variabel lain, namun apabila penambahan pada satu
variabel akan menyebabkan pengurangan pada
variabel lain, maka dapat dikatakan bahwa hubungan
antar kedua vairabel tersebut adalah negatif.
3.3 Formulasi Model
Setelah model konseptual tersusun secara
terstruktur, tahap berikutnya adalah formulasi model.
Formulasi dilakukan dengan menggambarkan stock
and flow diagram. Selanjutnya akan disusun pula
formulasi matematis dalam diagram tersebut.
3.3.1 Stock and Flow Diagram
Stock and Flow Diagram merupakan model yang
kemudian akan disimulasikan setelah dilakukan
formulasi matematis. Pada sistem perpupukan
nasional, fokus utama adalah pada stok gas nasional.
Dan variabel lain yang mempengaruhi akan
digambarkan dalam view yang berbeda. Maka dalam
penyusunan stock and flow diagram, sistem tersebut
mempunyai 5 sub model yaitu :
1. Sub model Cadangan Gas Di Kalimantan,
2. Sub Model Stok Gas di PKT,
3. Sub Model Harga Gas Indonesia,
4. Sub Model Pembiayaan Subsidi,
5. Sub Model Penyerapan Subsidi,
Jumlah cadangan gas yang menjadi fokus utama,
diwakili dengan Sub Model Cadangan Gas di
Kalimantan yang ditunjukkan pada. Selain sub model
produksi, sub model yang menggambarkan harga gas
dicontohkan dalam gambar berikut.
Gambar 3- 2 Causal Loop Diagram
5
Gambar 3- 3 Sub Model Cadangan Gas
Gambar 3- 4 Sub Model Stok Gas di PKT
3.3.2 Formulasi Matematis
Formulasi matematis merupakan tahapan yang
dilakukan ketika penyusunan stock and flow diagram,
sehingga model yang dibuat akan dapat disimulasikan.
Formulasi dilakukan dengan meng-input-kan
keterkaitan antar variabel secara matematis.
Penyusunan formulasi dilakukan untuk semua
variabel. Berikut ini merupakan salah satu contoh
formulasi matematis yang dituliskan pada variabel
Cadangan Gas di Kalimantan.
Gambar 3- 6 Grafik Hasil Simulasi
Gambar 3- 5 Formulasi Matematis
3.4 Simulasi Model
Simulasi model yang telah dibangun dilakukan
dengan menggunakan software Vensim. Simulasi ini
dilakukan dengan tujuan untuk melihat perilaku
model sistem yang telah dibuat, dengan cara
memasukkan nilai-nilai pada konstanta dan tabel
fungsi sesuai dengan kondisi yang terdapat pada
sistem nyata. Perilaku yang dihasilkan dari proses
simulasi awal akan ditunjukkan oleh variabel-variabel
yang
menjadi
referensi
dinamis.
Sebelum
mensimulasikan model, perlu didefinisikan terlebih
dahulu satuan waktu yang digunakan selama simulasi.
Dan simulasi model dari penelitian ini menggunakan
setting satuan waktu bulan. Gambar 3- 6 Grafik Hasil
Simulasi merupakan salah satu hasil dari simulasi
sistem eksisting perpupukan nasional.
3.5 Verifikasi dan Validasi Model
3.5.1.Verifikasi Model
Verifikasi model adalah tahapan untuk
memastikan apakah model yang dibuat sudah berjalan
sesuai dengan persepsi pembuat model dengan
melakukan check model pada software Vensim. Selain
check model, proses verifikasi juga dilakukan dengan
pengecekan unit atau satuan variabel yang terdapat di
model dengan melakukan unit check pada software
Vensim. Dari hasil pengecekan terhadap model,
didapatkan bahwa model dan unit satuan keseluruhan
variabel telah sesuai (ok), sehingga dapat dinyatakan
bahwa model ini dapat diterima.
3.5.2 Validasi Model
Validasi model merupakan pengujian terhadap
model untuk melihat apakah model sudah mampu
mewakili atau menggambarkan sistem nyata dan
sudah benar. Validasi model dilakukan dengan
membandingkan nilai rata-rata dan perbedaan
amplitudo variansi antara hasil simulasi dengan
kondisi aktual sistem (eksisiting). Validasi dilakukan
dengan menggunakan software Minitab dengan
Paired-t Test untuk two-tailed test. Tingkat
kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Validasi
meggunakan hipotesis awal (H0) dan hipotesis
tandingan (H1) sebagai berikut :
H0: μd = μ0 (tidak ada perbedaan data)
H1: μd ≠ μ0 (terdapat perbedaan data)
6
1. Validasi Harga Gas Indonesia
Dalam sistem perpupukan nasional ini, harga gas
bumi dibuat simulasi berdasarkan kesesuaian
cadangan minyak dunia dan cadangan minyak
Indonesia. Kesesuaian ini didasarkan pada periode
waktu yang sama. Misalkan harga gas bumi pada
bulan Februari 2009, maka kesesuaian harga minyak
dunia dan harga minyak Indonesia dilihat pada bulan
dan tahun yang sama, sehingga didapatkan nominal
yang setara pada satuan waktu tersebut. Berikut tabel
3.3 perbandingan antara harga hasil simulasi dengan
harga aktual.
Tabel 3.3 Perbandingan Harga Gas Indonesia Aktual
dan Simulasi
Bulan
Harga Gas Bumi
Harga Gas Bumi
keIndonesia aktual
Indonesia
(US$)
simulasi (US$)
1
3,22
4,646
2
2,85
3,980
3
3,91
4,906
4
4,41
3,996
5
5,3
4,773
Pengolahan dengan software Minitab menunjukkan
hasil sebagai berikut :
Gambar 3- 7 Hasil Validasi Harga Gas di Indonesia
Berdasarkan hasil output dari software Minitab
diperoleh nilai P-value = 0,273. Karena nilai P-value
> α=0,05, maka terima Ho dan dinyatakan bahwa
harga gas Indonesia hasil simulasi tidak berbeda
dengan eksistingnya.
2. Validasi Harga Gas Dunia
Berkaitan dengan sistem perpupukan nasional,
simulas harga gas dunia dibuat berdasarkan rasio yang
diperoleh dari produksi dan konsumsi gas dunia.
Harga tersebut erat kaitannya dengan produksi dan
konsumsi gas dunia. Rasio tersebut diperoleh dari
satuan waktu yang sama yaitu bulan. Misalkan harga
gas dunia pada bulan Januari 2009, maka kesesuaian
produksi-konsumsi gas setara pada bulan dan tahun
yang sama. Berikut tabel 3.4 perbandingan antara
harga hasil simulasi dengan harga aktual.
Tabel 3.4 Perbandingan Harga Gas Dunia Aktual
dan Simulasi
Bulan
Harga Gas Dunia
Harga Gas Dunia
keaktual (US$)
simulasi (US$)
1
7,66
6,7
2
7,58
6,983
3
7,57
8,536
4
7,44
7,169
5
7,45
7,054
Hasil dari validasi dengan software Minitab adalah
sebagai berikut :
Gambar 3- 8 Hasil Validasi Harga Gas Dunia
Berdasarkan hasil output dari software Minitab
diperoleh nilai P-value = 0,473. Karena nilai P-value
> α=0,05, maka terima Ho dan dinyatakan bahwa
harga gas dunia hasil simulasi tidak berbeda dengan
harga gas dunia aktual.
3.6 Penyusunan Skenario Kebijakan
Penyusunan skenario kebijakan terhadap sistem
perpupukan nasional dapat dilakukan dengan cara
mengubah nilai pada variabel yang berpengaruh
terhadap efektifitas sistem. Terdapat 4 skenario yang
akan dilakukan, yaitu :
· Skenario 1
Skenario ini difokuskan pada penyeimbangan
proporsi alokasi gas domestik dengan alokasi gas
untuk ekspor. Skenario dilakukan dengan
meningkatkan proporsi alokasi gas untuk
domestik, selama ini gas untuk domestik sebesar
25% dari total produksi gas, hampir 54%
diekspor dan sisanya untuk kebutuhan lain-lain.
Jika pada sistem eksisting penggunaan gas untuk
produksi pupuk sebesar 25%, maka dalam
skenario 1 ini peningkatan penggunaan gas
produksi pupuk sebesar 30%. Hal tersebut
dilakukan untuk menambah jumlah alokasi gas
domestik, sehingga kebutuhan gas dalam negeri,
khususnya kebutuhan pupuk dapat terpenuhi.
Kenaikan 30% didasarkan pada ketetapan UU no
20 tahun 2000 yang menyebutkan minimal 20%
total produksi dalam negeri digunakan untuk
domestik dan maksimal 75% dapat digunakan
untuk ekspor.
· Skenario 2
Skenario 2 merupakan kelanjutan skenario yang
pertama, setelah alokasi gas domestik dinaikkan
7
·
·
sebesar 30%, maka semakin banyak alokasi
konsumsi gas untuk produksi pupuk dan
petrokimia, sehingga fraksi kebutuhan gas untuk
produksi pupuk dan petrokimia dinaikkan
menjadi 20% dari fraksi awal 10,61%.
Peningkatan tersebut bertujuan untuk menambah
stok gas PKT agar dapat digunakan
memproduksi pupuk non subsidi lebih banyak
untuk kebutuhan domestik maupun ekspor.
Skenario 3
Skenario 3 merupakan skenario untuk melihat
fluktuasi subsidi pemerintah untuk kebutuhan
pertanian. Harga Eceran Tertinggi (HET) urea
dari pemerintah sebesar Rp.1600/kg. Sedangkan
harga simulasi pupuk urea non subsidi sesuai
harga gas bumi berkisar antara Rp.2500Rp.4500 per kg. Selisih harga tersebut
meupakan beban anggaran yang dikeluarkan
pemerintah. Skenario 3 dilakukan dengan
meningkatkan HET urea sebesar Rp.2000 per
kg. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban
subsidi pemerintah dan mewujudkan masyarakat
mandiri yang tidak tergantung pada subsidi.
Skenario 4
Skenario 4 merupakan kelanjutan dari skenario
3, yaitu menaikkan rasio harga pupuk terhadap
harga beras. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan kesesuaian korelasi antara harga
pupuk urea terhadap harga beras.
4. Analisis dan Pembahasan
Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan
data, maka kemudian dilakukan analisis mengenai
hasil yang diperoleh. Tahap analisis yang dilakukan
mencakup analisis mengenai kondisi sistem amatan,
konseptualisasi model, hasil simulasi, dan desain
skenario.
4.1 Analisis Kondisi Sistem Perpupukan Nasional
Indonesia sebagai negara penghasil minyak dan
gas bumi dari eksplorasi dalam negeri, memiliki
kewenangan untuk memenuhi kebutuhan gas dalam
negeri dan kebutuhan ekspor. Kebutuhan gas dalam
negeri digunakan untuk berbagai kepentingan,
diantaranya sebagai bahan baku pembuatan pupuk,
industri listrik, industri manufaktur dan berbagai
kebutuhan lainnya. Sebagai bagian dari asosiasi
penghasil minyak dan gas di wilayah Asia, Indonesia
tergabung dalam OPEC (Organization of the
Petroleum Exporting Countries), dimana masingmasing anggota OPEC mempunyai kontribusi untuk
pemenuhan ekspor.
Di Indonesia, terdapat 12 region ekplorasi gas
yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam model ini
disajikan kondisi eksisting pasokan gas di Kalimantan
bagian timur. Kalimantan merepresentasikan produksi
gas nasional, karena wilayah Kalimantan memiliki
sumur gas dengan produksi terbesar sebanyak 27%
dari total penghasil gas di Indonesia. Selain itu,
Kalimantan Timur memiliki perusahaan produksi gas
dengan kapasitas terbesar di Indonesia, yaitu PT.
Badak NGL.
Pokok permasalahan model ini adalah tidak
adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
domestik dibandingkan dengan pemenuhan gas untuk
ekspor. Pemenuhan kebutuhan ekspor dapat dilihat
dari harga gas dunia yang dipengaruhi oleh faktor
produksi dan konsumsi gas dunia. Sedangkan sisa
pemenuhan ekspor digunakan untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Kondisi pasokan gas saat ini
memiliki kecenderungan untuk menitikberatkan pada
kebutuhan ekspor, seperti yang ditunjukkan pada
grafik 3.10 berikut.
Grafik 4.1 Perbandingan Konsumsi Gas Domestik dan
Ekspor
Saat ini kebutuhan untuk industri pupuk dalam
negeri (dan petrokimia) menempati posisi dengan
prosentase sebesar 10,61% dari keseluruhan total
pasokan gas dalam negeri. Model ini akan dibagi
menjadi 2 variabel, yaitu kebutuhan gas untuk
produksi pupuk dan kebutuhan gas selain pupuk.
Variabel kebutuhan gas selain pupuk tentunya lebih
besar dari pada angka 10,61%, namun prosentase
untuk masing-masing pasokan gas lebih kecil daripada
10,61% untuk kebutuhan industri pupuk (dan
petrokimia).
Pupuk menjadi alasan utama menyerap sebagian
besar pasokan gas, karena kebutuhan pupuk erat
kaitannya dengan kebutuhan tanaman pangan di
sektor pertanian. Konsumsi gas dibagi menjadi 2 rate
keluar, yaitu rate konsumsi domestik dan rate
konsumsi ekspor. Kedua rate keluar tersebut
dipengaruhi oleh fraksi kebutuhan gas saat ini. Rate
konsumsi domestik dipengaruhi kebutuhan untuk
pupuk dan kebutuhan selain pupuk. Sedangkan rate
keluar untuk konsumsi ekspor dipengaruhi oleh harga
gas luar negeri berdasarkan produksi dan konsumsi
gas dunia. Harga gas luar negeri mempengaruhi fraksi
ekspor, karena apabila harga gas di luar negeri tinggi,
maka kecenderungan ekspor akan semakin besar,
akibatnya adalah pemenuhan gas di domestik
menurun. Jika kondisi pemenuhan gas domestik
turun, maka akan berpengaruh terhadap pasokan gas,
8
baik untuk kebutuhan industri pupuk maupun
kebutuhan selain pupuk. Kondisi eksisting tahun 2009
adalah sekitar sebesar 46% untuk domestik dan 54 %
untuk ekspor.
Formulasi harga gas bumi yang dibuat akan
menghasilkan besaran harga yang menjadi patokan
harga jual gas. Harga tersebut ditunjukkan kepada
pemerintah sebagai bahan pertimbangan penetapan
harga. Harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah
akan diberlakukan untuk semua konsumen industri
yang menggunakan bahan baku gas di Indonesia,
namun pabrik pupuk membeli dengan harga lebih
murah dan harga tersebut merupakan mekanisme
subsidi dari pemerintah. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kestabilan dan keterjangkauan harga
produksi (khususnya pupuk urea). Disparitas antara
harga jual gas domestik dan harga jual gas ekspor
menjadi tanggungan pemerintah untuk memberi
subsidi harga gas kepada pabrik pupuk. Dalam model
ini, variabel subsidi merupakan penyajian secara
logika menurut pembuat model, karena pemberian
subsidi dihitung berdasarkan komponen seluruh
perhitungan harga gas setelah gas dieksplorasi dan hal
tersebut merupakan kewenangan BP Migas dan
pemerintah pusat.
4.2 Kebijakan Subsidi Gas oleh Pemerintah
Pemerintah selaku badan negara yang menaungi,
memberi kebijakan dan penyaluran gas Indonesia
memiliki peran penting. Pemerintah mengatur
distribusi dan pasokan gas di semua wilayah
Indonesia. Analisa kebijakan pemerintah ini
didasarkan pada kondisi eksisting saat ini, dimana
kecenderungan ekspor gas masih menjadi konsentrasi
pemerintah untuk menghasilkan devisa.
Untuk menjaga kestabilan dan keterjangkauan
harga, baik itu untuk produksi maupun hasil produksi,
pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberi
subsidi harga untuk pembelian bahan baku (gas) oleh
pabrik pupuk dan memberikan subsidi harga pupuk
kepada petani. Hal ini bertujuan agar pabrik pupuk
bisa membeli gas dengan harga terjangkau, sehingga
hasil produksi berupa pupuk dapat dijangkau oleh
petani. Kebijakan pemberian subsidi ini menjadi
analisa model, karena pemberian subsidi ini erat
kaitannya dengan fluktuasi harga gas dunia.
Pemerintah memberikan subsidi harga pupuk tahun
2009 senilai Rp 14.402.000.000. Nilai tersebut
digunakan untuk mengcover kebutuhan pupuk
sebesar 916.667 kg pupuk urea per bulan.
4.3 Causal Loop Diagram
Causal loop diagram merupakan suatu diagram
yang digunakan untuk menunjukkan hubungan
keterkaitan antar variabel dalam sistem. Causal loop
diagram yang ditunjukkan dalam penelitian ini hanya
menggambarkan variabel-variabel secara umum dalam
bentuk yang utuh dan belum terbagi ke dalam sub
sistem. Untuk memperjelas hubungan sebab akibat
yang terjadi, causal loop diagram dapat ditampilkan
dalam bentuk Causal Tree diagram. Berikut ini
Causal Tree dari beberapa submodel setiap pelaku:
· Cadangan Gas di Kalimantan
Dari Causal Tree Persediaan Gas di Kalimantan
dapat diketahui bahwa jumlah persediaan akan
dipengaruhi oleh produksi gas, konsumsi domestik
dan konsumsi ekspor. Produksi gas diperoleh dari laju
produksi dan produksi gas saat ini. Variabel konsumsi
domestik diperoleh dari multiplikasi variabel lain yang
mempengaruhinya, yaitu cadangan gas di Kalimantan,
fraksi kebutuhan pupuk dan industri petrokimia yang
disimulasikan per satuan waktu (bulan), variabel bulan
hanya berfungsi untuk konsistensi satuan. Variabel
konsumsi untuk ekspor terdiri dari cadangan gas yang
variabel-variabelnya berfungsi untuk syarat dalam
kondisi diperlukannya ekspor gas. Misalnya ketika
harga gas dunia sedang tinggi, maka kecenderungan
ekspor dilaksanakan. Hubungan sebab-akibat tersebut
dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2 Causal Tree Persediaan Gas di
Kalimantan
Untuk mengetahui keterkaitan antara cadangan
gas dengan konsumsi domestik dan konsumsi ekspor
dapat dilihat pada gambar 4.3. Konsumsi gas untuk
kebutuhan domestik dipengaruhi oleh cadangan gas
yang tersedia dengan kuantitas gas yang diekspor.
Semakin banyak kuantitas gas yang diekspor, maka
semakin sedikit penggunaan untuk kebutuhan dalam
negeri, demikian sebaliknya.
Gambar 4.3 Causal Tree Konsumsi Gas untuk
Kebutuhan Domestik
· Harga Gas Bumi
Harga gas di Indonesia dalam model ini adalah
harga gas yang disesuaikan dengan fluktuasi minyak
dunia menggunakan rumusan yang telah ditunjukkan
pada bab sebelumnya, dimana terdiri dari prosentase
paritas harga minyak bumi dan biaya transportasi.
Harga gas bumi sebelum penambahan biaya
transportasi terdiri dari lookup harga minyak
Indonesia (ICP) yang diprosentasekan dan
disesuaikan dengan satuan cubic feet, dimana semakin
besar paritas harga minyak dunia dengan Indonesia,
maka harga gas juga berbanding lurus dengan
kenaikan tersebut.
9
Gambar 4.4 Causal Tree Harga Gas Bumi
Setelah harga gas terbentuk dan ditetapkan
sebagai harga gas Indonesia, harga tersebut
digunakan sebagai harga jual untuk konsumen industri
yang menggunakan gas sebagai bahan bakunya tak
terkecuali pabrik pupuk. Namun, terdapat perbedaan
harga yang diberikan untuk pabrik pupuk, yaitu sesuai
ketetapan pemerintah. Hal tersebut bertujuan untuk
menjangkau harga beli pupuk urea oleh petani sebagai
wujud keberlangsungan pangan nasional. Selisih
harga tersebut dapat dilihat sebagai gap dalam model
ini. Gap harga tersebut terbentuk dari variabel harga
gas Pertamina dengan harga gas sesuai ketetapan
pemerintah untuk pabrik pupuk sebesar US$ 2,58.
Semakin besar selisih harga gas bumi dengan
ketetapan pemerintah untuk pabrik pupuk, maka
semakin besar pula beban biaya yang dikeluarkan
pemerintah untuk menanggulangi selisih harga
tersebut.
Harga gas bumi berpengaruh terhadap harga urea
yang diproduksi. Semakin besar harga gas bumi maka
semakin tinggi pula harga urea, demikian sebaliknya,
karena gas merupakan bahan baku dominan yang
digunakan untuk memproduksi urea, maka
keterkaitan harga gas bumi erat dengan harga urea.
Harga urea bersubsidi saat ini sesuai Harga Eceran
Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar
Rp.1600 per kg. Sedangkan dari harga gas bumi
dapat diperoleh perkiraan harga urea yang disarankan.
HET dengan harga urea yang disarankan mempunyai
selisih, selisih tersebut merupakan gap yang menjadi
tanggungan pemerintah. Semakin kecil selisihnya
maka semakin berkurang tanggungan pemerintah
untuk mensubsidi.
Untuk mempermudah melihat dinamikanya, maka
dalam analisis digunakan hasil simulasi berupa grafik.
Hasil simulasi terhadap variabel cadangan gas di
Kalimantan dapat dilihat pada grafik 4.5 yang
menunjukkan bahwa pada beberapa bulan tertentu
persediaan gas akan bernilai rendah. Yaitu sekitar
bulan ke-14, 21 dan 36. Pada bulan-bulan tersebut
harga gas dunia cenderung naik, sehingga ada
kecenderungan mengekspor gas yang mengakibatkan
berkurangnya cadangan gas untuk kebutuhan dom
Gambar 4.5 Simulasi Hasil Cadangan Gas di
Kalimantan
Kecenderungan ekspor mengakibatkan penurunan
alokasi pemakaian gas untuk kebutuhan domestik.
Hal tersebut dipicu oleh kenaikan harga gas dunia.
Apabila harga gas dunia sedang tinggi, ekspor akan
dilakukan untuk memperoleh keuntungan. Sehingga
penggunaan gas domestik akan cenderung berkurang.
Seperti pada gambar 4.6 berikut yang menunjukkan
bahwa di bulan ke 14, 21 dan 36 terjadi kenaikan
harga yang cukup signifikan, sehingga memacu
produsen gas untuk mengekspor gas ke luar negeri
sesuai dengan tingginya harga gas dunia.
Gambar 4.6 Hasil Simulasi Harga Gas Dunia
Harga gas dunia yang naik, membuat alokasi gas
untuk ekspor akan naik seperti yang ditunjukkan pada
gambar 4.7. hal tersebut terjadi karena pemasok gas
lebih berorientasi pada keuntungan. Dapat dilihat
pada bulan-bulan dimana harga gas naik, alokasi gas
untuk ekspor juga naik, sementara ketika alokasi gas
ekspor naik, alokasi domestik berkurang khususnya
untuk kebutuhan pupuk seperti yang ditunjukkan
pada gambar 4.8.
10
Dari harga gas bumi Indonesia, dapat ditentukan
berapa harga urea subsidi yang disarankan. Berikut
gambar 4.10 hasil simulasi harga urea yang
disarankan sesuai dengan harga gas bumi.
Gambar 4.7 Hasil Simulasi Konsumsi Gas untuk
Ekspor
Gambar 4.10 Hasil Simulasi Harga Urea yang
Disarankan
Simulasi tersebut menggambarkan korelasi harga
gas bumi dengan harga urea. Berdasarkan korelasi
tersebut yang menjadi pertimbangan utama adalah
petani, artinya hasil pertanian ditingkatkan dan harga
jual beras harus meningkatkan daya beli petani. Untuk
meningkatkan hasil panen pertanian secara signifikan
diperlukan pupuk khususnya urea. Pengaruh harga
urea tersebut juga mempengaruhi harga beras, sebagai
bentuk daya beli dan kesejahteraan petani. Korelasi
harga beras ditunjukkan pada gambar 4.11 berikut.
Gambar 4.8 Hasil Simulasi Alokasi Gas untuk
Domestik
Hasil simulasi harga gas Indonesia mempengaruhi
harga urea dan harga beras. Ketika harga gas yang
dipicu oleh kesesuaian harga minyak naik, maka harga
urea juga naik sehingga signifikan terhadap harga
beras. Seperti pada gambar 4.9 yang menunjukkan
harga gas Indonesia dalam satuan USD berikut.
harga beras per ton yang disarankan
20 M
15 M
10 M
5M
0
0
harga gas bumi Indonesia
6
4
8
12
16
20
24
Time (Month)
harga beras per ton yang disarankan : superpower bismillah
4.5
3
1.5
0
0
4
8
12
16
20
24
Time (Month)
harga gas bumi Indonesia : superpower bismillah
28
32
36
40
$/mmscfd
Gambar 4.9 Hasil Simulasi Harga Gas Bumi
Indonesia
Harga gas bumi berfluktuatif, hal tersebut
sesuai dengan harga minyak bumi, baik dunia maupun
Indonesia Crude Price (ICP). Simulasi ini
menggunakan rumusan disparitas harga minyak dunia
dan ICP ditambahkan dengan biaya transportasi yang
didapat dari rata-rata jarak sumur ke konsumen gas.
28
32
36
40
Rp/ton
Gambar 4.11 Hasil Simulasi Harga Beras per Ton
yang Disarankan
Simulasi harga beras yang disarankan dipengaruhi
oleh harga urea. Harga urea berdasarkan simulasi
tersebut merupakan harga urea non subsidi.
Kemudian pemerintah menetapkan Harga Eceran
Tertinggi (HET) urea kepada petani sebesar
Rp.1.600.000 per ton. Sehingga dari HET tersebut
harga beras yang layak yaitu sebesar Rp.4.930.000
per ton. Selisih antara harga beras tersebut
merupakan keuntungan petani per ton (terlepas dari
biaya lain-lain yang tidak dicapture dalam model ini).
Grafik hasil keuntungan petani dapat dilihat pada
tabel 4.12 berikut.
11
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas
gas produksi pupuk dan petrokimia. Skenario 2
dilakukan dengan menaikkan fraksi kebutuhan gas
untuk pupuk dari kondisi eksisting 10,61% menjadi
20%. Berikut grafik simulasi skenario 2 pada gambar
4.14
Gambar 4.12 Hasil Simulasi Keuntungan Petani dari
Penjualan Beras per Ton.
4.4 Analisis Desain Skenario
Analisa skenario pertama adalah peningkatan
alokasi gas domestik. Kondisi eksisting saat ini,
proporsi alokasi gas domestik hanya 25% dari
produksi nasional. Sisanya adalah untuk kebutuhan
ekspor yang mencapai 54% dan kebutuhan lainnya.
Menaikkan alokasi gas domestik sebesar 30%
dilakukan untuk meningkatkan kuantitas gas produksi
pupuk agar pasokan gas mencapai titik aman (tidak
mengalami kekurangan). Berikut hasil kenaikan
alokasi gas yang ditunjukkan pada gambar 4.13.
Gambar 4.13 Grafik Hasil Simulasi Skenario 1
Peningkatan fraksi alokasi gas domestik sebesar
30% didasarkan pada ketentuan UU no 20 tahun
2000 yang menyebutkan bahwa minimal penggunaan
gas 20% untuk domestik dan maksimal 75% untuk
ekspor dan angka 30% sudah memenuhi aturan UU
serta menyebabkan keuntungan petani tidak minus.
Pada bulan ke 10, terjadi lonjakan stok gas, hal
tersebut disebabkan oleh kebutuhan pupuk urea saat
itu rendah, karena pada bulan tersebut tanaman yang
ditanam adalah kedelai yang sedikit membutuhkan
pupuk. Selain itu, kenaikan alokasi gas domestik tidak
diikuti dengan kenaikan konsumsi gas untuk produksi
pupuk, sehingga stok gas di PKT akan tinggi. Hal
tersebut tidak baik, karena akan menambah inventory
cost meskipun stok tersebut adalah stok parsial, yaitu
stok yang langsung digunakan untuk produksi pupuk.
Skenario 2 merupakan lanjutan skenario 1, yaitu
peningkatan fraksi penggunaan gas untuk produksi
pupuk dan petrokimia. Setelah alokasi kebutuhan
domestik pada skenario 1 dinaikkan menjadi 30%,
maka alokasi gas domestik akan naik, hal tersebut
Gambar 4.14 Grafik Hasil Simulasi Skenario 2.
Setelah alokasi gas untuk kebutuhan pupuk
dinaikkan, lonjakan yang terjadi pada bulan 10 pada
skenario 1 turun. Hal tersebut terjadi karena
peningkatan alokasi gas domestik diikuti dengan
peningkatan fraksi alokasi gas untuk produksi pupuk,
sehingga pemanfaatan gas lebih optimal.
Skenario 3 merupakan lanjutan skenario 1 dan 2
yaitu dengan menaikkan Harga Eceran tertinggi
(HET) urea, kenaikan dilakukan tidak melebihi
batasan variabel harga urea yang disarankan.
Peningkatan HET dimaksudkan untuk mengurangi
beban anggaran pemerintah untuk mensubsidi.
Berikut grafik 4.15 hasil simulasi yang menunjukkan
beban anggaran pemerintah berkurang dengan
menaikkan HET urea bersubsidi.
Grafik 4.15 Hasil Simulasi Skenario 3
Setelah HET urea dinaikkan, maka terjadi
penurunan anggaran subsidi pemerintah. Terjadi
lonjakan tanggungan pemerintah pada bulan ke 31
karena pada bulan tersebut merupakan musim tanam
padi yang membutuhkan urea lebih banyak, sehingga
demand urea meningkat dan anggaran subsidi
pemerintah juga meningkat. Dampak lain adalah
pendapatan petani berkurang. Hal tersebut memang
merugikan petani, namun penurunan tersebut tidak
terlalu signifikan, dalam artian petani masih
12
mendapatkan keuntungan. Untuk jangka panjangnya
diharapkan ketergantungan petani terhadap pupuk
bersubsidi berangsur turun. Apabila pemerintah
melakukan wacana untuk menaikkan HET pupuk
urea, petani tidak perlu khawatir, karena tidak
menghilangkan pendapatan mereka. Pemerintah juga
bisa mengalokasikan anggaran kebutuhan pertanian
untuk hal yang lebih penting. Berikut grafik 4.16
penurunan pendapatan petani apabila HET urea
bersubsidi dinaikkan dari Rp.1.600.000 per ton
menjadi Rp.2.000.000 per ton.
Grafik 4.16 Hasil Simulasi Pendapatan Petani ketika
HET naik.
Ketika menaikkan harga urea, pemerintah
diharapkan tidak menaikkan harga diatas harga urea
yang disarankan, karena apabila kenaikan tersebut
melebihi dari harga urea yang disarankan akan
mengakibatkan petani tidak berpenghasilan. Kenaikan
harga urea sejatinya meningkatkan harga jual beras,
namun selama ini pemerintah telah membuat formula
penetapan harga beras melalui badan pemerintah yang
menangani masalah perberasan yaitu Badan Urusan
Logistik (Bulog). Harga beras yang ada di pasaran
merupakan harga dari Bulog, sehingga petani tidak
memiliki wewenang untuk menaikkan atau
menurunkan harga beras. Oleh sebab itu, pemerintah
menggunakan subsidi untuk harga gas dan harga
pupuk agar petani dapat memproduksi dan memanen
hasil pertanian tanpa harus mengalami kerugian.
Batasan menaikkan HET dapat dilihat pada grafik
4.17 berikut.
Skenario 4 merupakan lanjutan skenario 3
dengan menaikkan rasio harga pupuk dengan harga
beras dari 0,41 menjadi 0,5. Rasio tersebut
merupakan korelasi harga pupuk terhadap harga beras
yang diperoleh dari kesesuaian keduanya. Kenaikan
rasio akan berpengaruh terhadap keuntungan petani
seperti pada grafik 4.18 berikut.
Gambar 4.18 Grafik Skenario 4
Dari keempat skenario, dapat disimpulkan bahwa
skenario 2 menempati posisi optimal dalam upaya
peningkatan keuntungan petani, yaitu menaikkan
alokasi gas domestik sebesar 30% diikuti peningkatan
fraksi konsumsi gas untuk produksi pupuk sebesar
20%.
5. Kesimpulan
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Alokasi gas yang ditetapkan pemerintah saat ini
sebesar 25% untuk domestik menyebabkan
konsumsi gas untuk produksi pupuk dan
keuntungan petani menurun karena petani
mengalami defisit pupuk, sebab alokasi gas
domestik kurang.
2. Pasokan gas domestik untuk produksi pupuk
mencapai titik aman ketika alokasi kebutuhan gas
untuk produksi naik dari 10,61% menjadi 20%.
Kenaikan pasokan gas tersebut dapat digunakan
untuk menambah produksi non pupuk.
3. Harga gas bumi mempengaruhi harga pupuk
urea. Harga pupuk urea mempengaruhi harga jual
beras. Harga jual beras tersebut merupakan daya
jual petani untuk memperoleh keuntungan.
4. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketetapan
Harga Eceran Tertinggi (HET) urea bersubsidi
dapat dinaikkan hingga Rp.2000 per kg dan tidak
melebihi harga urea yang disarankan berdasarkan
kesesuaian harga gas bumi. Dengan kenaikan
HET, maka beban anggaran subsidi pemerintah
akan berkurang.
5.
Gambar 4.17 Grafik Batas Kenaikan HET Urea
Skenario 2 menaikkan alokasi gas domestik
sebesar 30% diikuti dengan kenaikan konsumsi
gas untuk produksi pupuk sebesar 20% dipilih
sebagai skenario yang baik karena petani tidak
13
mengalami kerugian. Selain itu, hal tersebut
membuat pabrik pupuk tidak mengalami
kekurangan gas untuk produksi pupuk, sehingga
mendukung keberlangsungan sektor pertanian.
6. Daftar Pustaka
Abubakar, Mustafa. (2010). Pernyataan Menteri
BUMN
tgl
5/02/2010
di
<URL:
http://bataviase.co.id/node/84115 diakses tgl
16/02/2010> diakses tanggal 16/02/2010 >
Andrian. (2009). Pasokan Gas Pabrik Pupuk Harus
Jadi Prioritas. Suara Karya. Jakarta. 16
Februari.
Baroroh, Indah. (2008). Analisis Sistem Klaster
Industri Alas kaki di Mojokerto untuk
Merumuskan Kebijakan Pengembangan
yang Keberlanjutan dengan Pendekatan
Sistem Dinamik. Tugas Akhir Jurusan Teknik
Industri ITS.
Boedoyo, M. Sidik dan Sugiyono, Agus. (2000).
Kebutuhan Tenaga Listrik Jangka Panjang di
Indonesia, Jurnal Optimasi Suplai Energi
dalam Memenuhi dalam Wahid, L.O.M.A. dan
E. Siregar, Editor, Pengaruh Krisis Ekonomi
terhadap Strategi Penyediaan Energi Nasional
Jangka Panjang, PP 19-23, ISBN 979-959990-3, BPPT, Jakarta.
Borschev.A, dan Filippov.A. (2006). ‘From system
dynamics and discrete event to practical
agent based modelling:reason, technique,
tools’. Paper of St.Petersburg Technical
University&XJ Technologies, Rusia.
BP Migas. (2009). Kegiatan Usaha Hulu Gas Bumi
di
Indonesia,
<URL
:
http:
//www.bpmigas.com/kegiatan-gas.asp>
diakses tanggal 12/01/2010 >. Diakses 5
Desember 2009
Coyle, Chapman & Hall. (1996). System Dynamic
Modelling. Cranfield University, UK.
Howe, Mark L. dan Lewis, Marc D. (2005). The
importance of dynamic systems approaches
for understanding development. Jurnal
Developmental Review vol 25 PP 247–251
Inaplas. (2009). Revitalisasi Pupuk Terhambat Soal
Gas DPR Desak Pemerintah Kurangi Ekspor
Gas.
URL
<http://www.inaplas.org/index.php?option=co
m
content&view=article&id=3403%3Arevitalisas
i-pupuk-terhambat-soal-gas-dpr-desakpemerintah-kurangi-ekspor-gas&catid
=3%3Apetrochemical&Itemid=5&lang=en.
Diakses 4 Desember 2009
Juniar, Herlas. (2006). Analisa Kebijakan Industri
Pupuk di Wilayah Jawa Barat. Thesis
Industrial Engineering and Management
ITB.
Kementerian Sekretaris Negara RI. (2009). Implikasi
Kebijakan Penurunan Harga BBM.
<URL:http://www.setneg.go.id/Implikasi
Kebijakan Penurunan Harga BBM.htm >
diakses 1 Februari 2009.
Kholil, Muhammad. dan Dwiharyadi, Dedi. (2008).
Model Simulasi Pengembangan Industri
Perikanan di Konawea Selatan dengan
Pendekatan Sistem Dinamik. Penelitian oleh
staff pengajar Universitas Mercu Buana.
Khumairoh, Lilik. (2010). Kajian Keterkaitan Antar
Pelaku Pergulaan Nasional : Suatu
Penghampiran Model Dinamika Sistem.
Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS.
Kodar S. (2010). Tak Ada Gas, Produsen Pupuk
tidak Bisa Tancap Gas. Pikiran Rakyat edisi
18
Jan
2010
<URL
:
http://bataviase.co.id/detailberita10527797.html>. Diakses tanggal 16/02/2010.
Lestari, Indah. (2010). Analisi Kesejahteraan Pelaku
Industri Pengolahan Ikan pada Komunitas
Klaster Masyarakat Nelayan Pesisir : Sebuah
Pendekatan Dinamika Sistem. Tugas Akhir
Jurusan Teknik Industri ITS.
Mantau, Zulkifli dan W. K. Feryanto. (2010).
Evaluasi Kebijakan Subsidi Pupuk di
studi
komprehensif.
Indonesia-suatu
Makalah Pupuk dan Subsidi : Kebijakan
yang Tidak Tepat Sasaran. URL:http:
//feryanto.wk.staff.ipb.ac.id/2010/05/20/kop
erasi-dan-posisi-tawar-petani/ diakses 10
Maret 2010.
Notohamihamijoyo, Setiadi D. dan Sugiyono, Agus.
(2000). Pola Pemakaian dan Distribusi Gas
Bumi di Indonesia pada Periode Pembangunan
Tahap Kedua. Tim Model Energi BPPT..
Purnama, Rauf. (2005). Korelasi Harga Gabah, Urea
dan
Gas.
Tokoh
Indonesia
URL:http://tokohindonesia.com/raufpurnama.html. Diakses tanggal 12/12/2010.
Quader, A.K.M. Abdul. (2003). Natural gas and the
fertilizer industry. Jurnal Energy for
Sustainable Development l Volume 7
PP.442-449.
Safrita, Novie. (2007). Pemodelan Sistem Distribusi
dengan Pendekatan Sistem Dinamik
(Studi Kasus: PT. Trisulapack Indah).
Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS.
Sumiarso, Luluk (2006). Direktur Jenderal Minyak
dan
Gas
Bumi.
Desember.
<URL:
http://www.migas.esdm.go.id/
diakses
16/02/2010.
14
Sunarsip, (2006). Membedah Masalah Perpupukan
Nasional. Jurnal Chief Economist The
Indonesia Economic Intelligence. The
Indonesia Economic Intelligence. PP 12-13.
Syafa’at, N. (2000). Kajian Peran Pertanian Dalam
Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional
Analisis Simulasi Kebijaksanaan dengan
Pendekatan Imbas Investasi (Induced
Investment).
Disertasi.
Program
Pascasarjana. IPB. Bogor
Tasrif, Muhammad. (2005). Metodologi System
Dynamic. Pusat Penelitian Energi. Institut
Teknologi Bandung.
Ummatin, Kuntum U. (2009). Dampak Kebijakan
Harga BBM Terhadap Kemiskinan di
Indonesia : Sebuah Pendekatan Model
Dinamik. Tugas Akhir Jurusan Teknik
Industri ITS.
Wang, Xiuli. (2009). The state-of-the-art in natural
gas production. Journal of Natural Gas
Science and Engineering vol 1 PP 14–24.
Wang, Fei-Yue. (2005). On the abstraction of
conventional dynamic systems: from numerical
analysis to linguistic analysis. Information
Sciences vol 171 PP 233–259
Wicaksono, Anindityo. (2010). BUMN Minta Gas
untuk Pupuk. Media Indonesia edisi 5/02/2010
<URL : http://bataviase.co.id/node/84115.>
diakses tgl 16/02/2010
Widayani, Katri. (1999). Analisis Perancangan
Kebijakan Pengembangan Produksi BuahBuahan Di Indonesia Dengan Pendekatan
Sistem
Dinamik
(Studi kasus pengembangan produksi buah
mangga di Jabar). Thesis Teknik Industri
ITB Bandung.
Yusgiantoro, Purnomo. (2000). Ekonomi Energi
Teori dan Praktik. LP3ES. Jakarta.
15
Download