ANALISA KEBIJAKAN PASOKAN GAS BAGI PEMENUHAN KEBUTUHAN INDUSTRI PUPUK NASIONAL : SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Datta Anindya Pradhana; Budisantoso Wirjodirdjo; Niniet Indah Arvitrida Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: [email protected] ; [email protected] ; [email protected] Abstrak Sektor pertanian di Indonesia memberi kontribusi signifikan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Beberapa sektor yang sangat berpengaruh pada sektor pertanian adalah industri petrokimia yang menyediakan pupuk dan obat-obatan untuk peningkatan hasil pertanian. Pupuk merupakan unsur terbesar dalam industri petrokimia yang menggunakan gas sekitar 50 % - 60 %. Oleh karena itu, fluktuasi produksi pupuk sangat bergantung pada harga dan ketersediaan gas nasional. Keterkaitan pelaku antara pemerintah, produsen gas dan produsen pupuk berperan penting dalam menentukan kebijakan strategis permasalahan ketersediaan gas untuk produksi pupuk. Dalam penelitian ini, dilakukan permodelan dengan pendekatan dinamika sistem karena obyek dan permasalahan yang terjadi bersifat makro dan strategis. Selain itu, analisa kondisi diperlukan untuk mengetahui skenario atau kebijakan dalam jangka pendek, menengah dan panjang, dimana hal tersebut akan dapat diperoleh melalui sebuah simulasi. Dalam penelitian ini terdapat beberapa skenario yang digunakan, meliputi peningkatan alokasi gas dalam negeri untuk kebutuhan produksi pupuk, peningkatan konsumsi gas untuk produksi pupuk dan kenaikan harga subsidi untuk mengurangi beban anggaran pemerintah. Hasil simulasi menunjukkan prosentase alokasi gas domestik dapat dinaikkan dari 25% menjadi 30%,kenaikan tersebut akan menambah kuantitas gas domestik dan meningkatkan penggunaan gas untuk produksi pupuk dari 10,61% menjadi 20% akan berdampak signifikan memenuhi kebutuhan gas yang digunakan untuk produksi pupuk. Kenaikan HET sebesar 25% akan mengurangi beban anggaran subsidi pemerintah tanpa merugikan petani. Hal tersebut sebagai upaya jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan akan subsidi.. Kata kunci : Perpupukan nasional, Pasokan Gas, keterkaitan pelaku, sistem dinamis Abstract Indonesia’s agricultural sector contributes significantly to the GDP (Gross Domestic Bruto). Some sectors are highly influence in the agriculture sector is petrochemical industry that provides fertilizer and pesticides that may be needed in increasing agricultural ouput. Fertilizer is the largest element in the petrochemical industry in need of gas around 50%-60%. Therefore, fluctuations in production of fertilizer depend on the price and availability of national gas. In this research modeling is conducted with system dynamics approach because the object and the problems are in macro and strategic level. In addition, analysis is needed to know further about the impact of different scenarios or short term, medium and long term policies, of which can be obtained from the result of simulation In this research, there are several scenarios that are used, including increased allocation of domestic gas for fertilizer production needs, increased consumption of gas for fertilizer production and price subsidies to reduce the burden on government budgets. The simulation results show the percentage allocation of domestic gas can be increased from 25% to 30%, the increase is going to increase the quantity of domestic gas and increased use of gas for fertilizer production from 10.61% to 20% will have a significant impact to meet the needs of gas used for fertilizer production. HET’s price increase of 25% will reduce the burden on government subsidy budget without harming farmers. This is a long-term effort to reduce dependence on subsidies. Keywords : The National Fertilizer Industry, Gas Supply, stakeholder linkage, system dynamic 1. Pendahuluan Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki tiga sektor perekonomian yang menunjang pembangunan nasional, yaitu sektor manufaktur, sektor pertanian, sektor jasa dan perdagangan. Salah satu sektor penting yang perlu dijaga keberlangsungannya dalam perekonomian nasional adalah sektor pertanian yang memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) pada tahun 2006 sebesar Rp.214,34 triliun atau 17,5% terhadap PDB total dan pada tahun 2007 sebesar Rp. 265,09 triliun atau 16,2% terhadap PDB total (Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, 2009). Di sisi yang lain, penduduk usia kerja di Indonesia sebagian besar bermata pencaharian petani, sektor pertanian sampai saat ini masih merupakan sektor yang paling besar dalam hal penyerapan tenaga kerja jika dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya, terbukti dari hasil kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang 1 terbanyak menyerap tenaga kerja sebesar 41,21 juta penduduk. Salah satu sektor industri yang sangat berpengaruh pada keberlangsungan sektor pertanian adalah industri petrokimia. Industri petrokimia menyediakan pupuk dan obat-obatan untuk peningkatan hasil pertanian. Pupuk merupakan faktor produksi yang penting bagi sektor pertanian. Pupuk menyumbang 20% terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara tahun 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984 (www.setneg.go.id). Kontribusi pupuk mencapai 15-30% untuk biaya usaha tani padi. Dengan demikian sangat penting untuk menjamin kestabilan harga dan kelancaran distribusi pupuk. Karena unsur terbesar dalam industri petrokimia (pupuk dan obat-obatan) adalah gas sekitar 50%-60%, fluktuasi produksi jenis pupuk sangat bergantung pada harga dan ketersediaan gas nasional. Meskipun cadangan gas Indonesia sangat besar, namun sangat ironis mengingat bahwa industri gas nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan industri pupuk dalam negeri. Masalah pemenuhan gas atas industri pupuk sangat terkait dengan dinamika harga gas alam di dunia. Fluktuasi tersebut banyak dipengaruhi oleh permintaan gas dari luar negeri serta naik turunnya harga bahan bakar minyak di pasar internasional, sehingga pemasok gas akan beriorientasi pada keuntungan. Apabila harga gas di luar negeri naik, maka pemasok gas cenderung menjual gas ke luar negeri untuk menghasilkan devisa lebih banyak, hal tersebut berpengaruh juga dengan kebijakan pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan pupuk nasional. Konsumsi pupuk terbesar selama ini adalah pupuk urea, dengan tingkat konsumsi rata-rata sebesar 70 %. Tingkat konsumsi paling tinggi dibandingkan jenis pupuk lainnya, membuat permintaan terhadap pupuk jenis urea menjadi semakin elastis (sensitif terhadap harga), dan pupuk jenis urea ini yang sering terjadi kekurangan pasokan di pasar (kelangkaan). Ketersediaan gas alam terkait erat dengan pemenuhan produksi pupuk. Permasalahan yang dihadapi industri pupuk yang semuanya berstatus badan usaha milik negara (BUMN) adalah semakin besarnya potensi untuk mengalami defisit pasokan gas. Defisit tersebut diperkirakan semakin meluas ke seluruh industri pupuk seiring dengan semakin menipisnya cadangan gas dan kebijakan energi yang lebih berorientasi pada ekspor (www.inaplas.org). Ekspor gas yang dilakukan dalam jumlah relatif besar setiap tahun menyebabkan industri pupuk bekerja dengan sumber bahan bakar yang sangat terbatas. Kepastian pasokan gas bagi industri pupuk, akan menentukan keberhasilan program revitalisasi pabrik pupuk BUMN yang saat ini sedang berlangsung. Program revitalisasi rencananya akan dilakukan oleh Pupuk Sriwidjaja, Pupuk Kaltim, Pupuk Kujang, Pupuk Petrokimia, dan Pupuk Iskandar Muda. Oleh karena itu, jika prosentase besar gas bumi digunakan untuk memenuhi ekspor, maka revitalisasi pabrik pupuk BUMN dan pemenuhan kebutuhan pupuk nasional akan terhambat. Kebijakan ekspor dan impor gas tetap dilihat dari segi kepentingan keuntungan yang didapatkan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang didapatkan dari kebijakan yang diambil. Pemerintah memiliki kepentingan untuk mengamankan pasokan gas dalam negeri agar tata niaga gas tidak menganggu kegiatan industri dalam negeri. Cadangan gas alam Indonesia sangat besar, namun kondisi tersebut justru membuat industri pupuk nasional kekurangan pasokan gas. Berdasarkan data BPPT yang ditunjukkan pada tabel 1.1, volume gas alam nasional mencapai sekitar 176,6 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF). Sedangkan produksi kotor pada 2008 baru 3,04 TCF. Sumber energi ramah lingkungan itu pun sebagian besar lari ke luar negeri. Dari total produksi gas alam 8,35 miliar kaki kubik per hari (billion standard cubic feet per day/Bscfd) per hari, 4,88 Bscfd di antaranya diekspor. Tabel 1.1. Pemakaian Produksi Gas Nasional Pemakaian Jumlah Prosentase Gas (TCF) (%) Ekspor 1,64 54 Pemakaian 0,76 25 Domestik Pemakaian 0,64 21 Sendiri Total 3,04 100 Sumber : Data BPPT tahun 2005 Pemakaian gas untuk produksi pupuk nasional digunakan oleh pabrik pupuk berstatus BUMN, dimana masing-masing perusahaan memiliki kapasitas produksi pupuk tersendiri. Semakin besar kebutuhan pupuk, semakin besar pula kebutuhan pasokan gas. Urea menjadi fokus penelitian ini, karena prosentase penggunaan gas untuk produksi urea sebesar 46%, sedangkan PT. Pupuk Kalimantan Timur menjadi adopsi perusahaan yang dituju, karena memiliki kapasitas produksi urea terbesar diantara kelima BUMN produsen pupuk yaitu 37%. Objek penelitian tersebut dipilih untuk melihat pola kebijakan pasokan gas secara nasional. Produksi pupuk nasional sepanjang tahun 1990 – 2004 sebagian besar adalah urea, yaitu sebesar 79,95 persen dari total produksi pupuk nasional (PT. Pusri, 2005). Mengingat begitu besarnya pengaruh ketersediaan pupuk domestik terhadap sektor yang terkait, maka sangat penting dilakukan usaha pengidentifikasian kedinamisan pasokan gas alam terhadap pemenuhan pupuk nasional. Fluktuasi pasokan gas alam secara langsung akan mempengaruhi harga gas secara positif, karena kenaikan harga gas ini maka produksi gas akan 2 cenderung diekspor dibanding pemenuhan dalam negeri. Akibat berantai dari proses ini adalah pasokan gas pada industri pupuk akan berkurang sehingga produksi pupuk petrokimia akan di bawah kapasitas terpasangnya, akibatnya sektor pertanian yang akan menderita karena kelangkaan pupuk.. Penelitian masalah perpupukan nasional pernah dilakukan oleh Juniar (2006), yaitu meneliti perihal kebijakan yang berhubungan dengan industri pupuk, penelitian tersebut menghasilkan usulan kebijakan untuk pengembangan industri pupuk. Sedangkan tools yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem dinamik dengan melihat dinamika fluktuasi distribusi gas dan pola kebijakan pasokan gas dari pemerintah. Penelitian ini dilakukan dengan memodelkan kondisi eksisting pola pasokan gas ke produsen pupuk dan selanjutnya disajikan skenario untuk pengembangan perpupukan nasional yang efektif. 2. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian akan menjelaskan tahapantahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan, terdapat tiga tahapan utama dalam penelitian ini, yaitu tahap identifikasi, tahap pemodelan, dan tahap analisis dan kesimpulan. Tahap Identifikasi bertujuan untuk mengidentifikasi mengenai gambaran umum dari sistem yang akan diamati. Tahapan ini terdiri atas perumusan masalah, perumusan tujuan dan manfaat, studi literatur, dan pengumpulan data. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu seberapa efektif kebijakankebijakan yang telah dan hendak dilakukan oleh pemerintah terkait dengan dinamika perkembangan industri pupuk nasional. Setelah ditentukan permasalahannya, kemudian dapat dirumuskan tujuan dan manfaat penelitian. Sebagai dasar dalam penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan pengkajian terhadap literatur baik berupa buku, jurnal, artikel, atau penelitian terdahulu yang membahas mengenai teori dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian serta kondisi pergulaan nasional. Selain studi literatur, juga dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan berbagai pihak dalam pasokan gas nasional dan penggalian informasi dari berbagai sumber yang berkaitan, seperti artikel, situs bank data, dan penelitian sebelumnya. Tahap Pemodelan terdiri atas konseptualisasi sistem, formulasi model simulasi, simulasi model, validasi model, dan penyusunan skenario perbaikan. Konseptualisasi model dilakukan dengan mengidentifikasi variabel dalam sistem kemudian disusun dalam causal loop diagram. Formulasi model dilakukan dengan software simulasi yaitu Veneta Simulation (Vensim) yang dilanjutkan dengan simulasi model. Validasi model bertujuan untuk menguji apakah model sudah mewakili real system. Jika model telah valid, dapat dilanjutkan pada penyusunan skenario perbaikan. Tahap analisis dan kesimpulan merupakan tahap terakhir yang terdiri atas perbandingan hasil simulasi perbaikan dan eksisting. Perbandingan hasil simulasi dilakukan untuk melihat apakah perbaikan yang dilakukan sudah mampu meningkatkan efektifitas sistem. Kemudian dilanjutkan dengan langkah analisis dan interpretasi data, serta penyusunan kesimpulan dan saran. 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.1 Identifikasi Sistem yang Diamati Ruang lingkup sistem amatan dalam penelitian ini adalah sistem pasokan gas dimulai dari produksi gas alam sampai pendistribusian untuk produksi pupuk. Lingkup penelitian ini ditunjukkan pada gambar 3.1 dengan kotak bergaris merah dalam mapping. Sedangkan yang berada dalam garis putus-putus adalah variabel yang mempengaruhinya. Pemerintah Produsen Gas Produsen Gas untuk Kebutuhan Domestik Konsumen Gas untuk Luar Negeri (ekspor) PT. Pupuk Kalimantan Timur Harga Gas Indonesia Kebutuhan Gas Domestik Harga Gas Dunia Kebijakan Dunia (OPEC) Gambar 3.1 Ruang Lingkup Pemodelan Dalam sistem tersebut terdapat beberapa pelaku utama, yaitu hubungan keterkaitan antar pelaku yang ditunjukkan dalam kotak berwarna merah. Sedangkan kotak dengan garis putus-putus merupakan variabel yang menpengaruhinya. Lingkup dari penelitian ini adalah pada industri hulu dari sistem perpupukan nasional, yang terdiri dari: 1. Pemerintah, dalam hal ini adalah PT. Pertamina (persero). 2. Produsen gas, dalam hal ini adalah PT. Badak NGL, Kalimantan Timur. 3. PT. Pupuk Kalimantan Timur, dalam hal ini sebagai produsen pupuk yang menggunakan pasokan gas dari PT. Badak NGL. Pelaku industri diatas mempunyai peran besar dalam interaksi antar model yang akan dilakukan dalam penelitian. Adapun masing-masing pelaku industri mempunyai peranan tersendiri. Produsen gas berperan sebagai penyalur kebutuhan gas yang mendistribusikan gas guna memenuhi permintaan produsen pupuk untuk produksi pupuk karena gas merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk. 3 Dalam hal ini terdapat sinergi antara kebijakan pemerintah dengan produsen gas selaku perusahaan yang mengatur pendistribusian gas. Produsen pupuk sebagai pelaku industri yang menggunakan gas untuk membuat produk akhir berupa pupuk. Pupuk yang dimaksud dalam model ini adalah urea, karena urea adalah pupuk dominan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan petani memproduksi tanaman pangan. Pemakaian pupuk urea merupakan pemakaian dengan kuantitas terbesar di Indonesia sebesar 10.439.861 ton pada tahun 2009 (Deptan RI, 2009) dan menjadi pupuk dominan yang digunakan petani untuk memproduksi tanaman pangan guna memenuhi ketahanan pangan nasional. Pemerintah berperan sebagai stakeholder pengatur kebijakan untuk distribusi dan harga jual gas, baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dalam hal ini peran nyata pemerintah meliputi penetapan kebijakan terkait besarnya kuantitas gas yang diekspor, pemenuhan gas untuk kebutuhan domestik, subsidi harga gas dan lain sebagainya. Indikator kinerja dari sistem pasokan gas adalah tercukupinya kebutuhan gas untuk produksi pupuk dilihat dari keseimbangan pendistribusian antara kebutuhan domestik dan kontribusi ekspor. Terdapat 3 jenis variabel yang menunjang indikator kinerja sistem, yaitu variabel performance, variabel keputusan dan variabel status (parameter) yang akan dilihat sebagai acuan keberhasilan sistem. Variabel performance dalam sistem ini adalah variabel cadangan gas dan stok gas di produsen pupuk. Variabel cadangan gas menunjukkan kuantitas cadangan setelah gas didistribusikan untuk kebutuhan domestik dan kontribusi ekspor. Sedangkan variabel stok gas di produsen pupuk menunjukkan kuantitas gas yang bisa digunakan untuk produksi pupuk urea atau industri petrokimia lainnya. Variabel keputusan yang mempengaruhi indikator kinerja dalam sistem ini adalah variabel berupa fraksi kebutuhan gas untuk pupuk dan industri petrokimia dan penetapan harga jual gas oleh pemerintah untuk pabrik pupuk. Variabel fraksi kebutuhan gas untuk pupuk dan industri petrokimia ini menunjukkan porsi pemakaian gas untuk kebutuhan domestik. Sedangkan variabel penetapan harga jual gas untuk pabrik pupuk oleh pemerintah menunjukkan besaran harga jual gas untuk pabrik pupuk, hal tersebut juga merupakan bentuk subsidi dari pemerintah. 3.2 Konseptualisasi Sistem Konseptualisasi model bertujuan untuk menunjukkan gambaran sistem secara umum mengenai simulasi sistem dinamis yang akan dilakukan. Konseptualisasi model terdiri atas identifikasi pelaku, penyusunan input-output diagram, penyusunan causal loop diagram. 3.2.1 Identifikasi Pelaku Tahap awal dalam konseptualisasi sistem adalah mengidentifikasi pelaku yang berpengaruh dalam sistem. Identifikasi pelaku ini didasarkan pada Big Picture Mapping yang telah dibuat, brainstorming dan studi literatur mengenai sistem pasokan gas untuk perpupukan nasional. Dari identifikasi pelaku ini kemudian dapat ditentukan variabel lain yang mempengaruhi masing-masing pelaku. Pada penelitian ini, pelaku-pelaku yang terlibat dan menjadi fokus penelitian adalah produsen gas di wilayah Kalimantan, PT. Pupuk Kalimantan Timur dan kebijakan pemerintah berkaitan dengan harga gas dan keseimbangan ekspor-pemenuhan kebutuhan domestik. Model dari masing-masing pelaku ini akan digambarkan secara terpisah dalam sub-sub model. Selain pelaku-pelaku tersebut, juga akan digambarkan pelaku hulu, yaitu pemerintah, Keseimbangan pemakaian gas antara pemenuhan domestik dengan ekspor dipengaruhi oleh harga gas di luar negeri. Harga gas di luar negeri erat kaitannya dengan kecenderungan ekspor gas. Hal ini didasarkan pada pendapatan devisa dari menjual gas untuk ekspor. Harga gas dunia mengikuti tren fluktuasi harga minyak dunia yang diatur oleh asosiasi negara penghasil minyak bumi (OPEC) untuk menjaga kestabilan harga dunia. Sedangkan Indonesia menetapkan harga minyak bumi melalui ICP (Indonesia Crude Price). Berikut tabel 3.2 merupakan fluktuasi harga minyak dan gas bumi luar negeri dengan harga minyak berdasarkan ICP Tabel 3.2 Fluktuasi Harga Minyak Berdasarkan ICP Bulan-Tahun Harga (US$/mmbtu) Jan-10 76,08 Feb-10 75,34 Mar-10 79,94 Apr-10 85,41 Mei-10 76,81 3.2.2 Input Output Diagram Input output diagram merupakan interpretasi dari identifikasi variabel yang telah dilakukan sebelumnya secara lebih tersistematis dan merupakan diagram yang menggambarkan apa saja yang merupakan inputan dalam sistem perpupukan nasional serta output-nya. Penyusunan diagram input-output ini dilakukan untuk mengetahui deskripsi secara sistematis input dan sistem output dari sistem pergulaan nasional. Gambar 3.2 menunjukkan diagram input-output dari sistem. 4 Input Tak Terkendali · · · · · · · · Demand Pupuk Kualitas Produksi Pupuk Musim Tanam Inflasi Harga Gas Dunia Harga Gas Domestik Harga Gas Dunia Nilai Tukar Mata Uang Marjin Keuntungan Input Terkendali · · · · · Lingkungan · · Kebijakan Pemerintah Pusat Kebijakan Pemerintah Daerah (yang daerahnya terdapat sumber migas) Output Dikehendaki · · · Sistem Distribusi Gas untuk Pupuk Nasional Kebutuhan Pupuk oleh Petani Kebutuhan Gas untuk Produksi Urea Kapasitas Produksi Pupuk Supply Gas Domestik Supply Gas Ekspor Peningkatan Produktivitas Peningkatan Pemenuhan Industri Domestik Penyeimbangan antara ekspor dan impor gas Output Tak Terkendali · · · Penurunan Produktivitas Penurunan Jumlah Produksi Gas Penurunan Kuantitas Gas Domestik Pengelolaan Gambar 3- 1 Input-Output Diagram 3.2.3 Causal Loop Diagram Penyusunan causal loop diagram bertujuan untuk menggambarkan interaksi antar elemen dalam sistem. Interaksi ini mempunyai 2 kemungkinan, yaitu interaksi yang positif dan negatif. Hubungan tersebut bisa bersifat positif jika penambahan pada satu variabel akan menyebabkan penambahan pada variabel lain, namun apabila penambahan pada satu variabel akan menyebabkan pengurangan pada variabel lain, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antar kedua vairabel tersebut adalah negatif. 3.3 Formulasi Model Setelah model konseptual tersusun secara terstruktur, tahap berikutnya adalah formulasi model. Formulasi dilakukan dengan menggambarkan stock and flow diagram. Selanjutnya akan disusun pula formulasi matematis dalam diagram tersebut. 3.3.1 Stock and Flow Diagram Stock and Flow Diagram merupakan model yang kemudian akan disimulasikan setelah dilakukan formulasi matematis. Pada sistem perpupukan nasional, fokus utama adalah pada stok gas nasional. Dan variabel lain yang mempengaruhi akan digambarkan dalam view yang berbeda. Maka dalam penyusunan stock and flow diagram, sistem tersebut mempunyai 5 sub model yaitu : 1. Sub model Cadangan Gas Di Kalimantan, 2. Sub Model Stok Gas di PKT, 3. Sub Model Harga Gas Indonesia, 4. Sub Model Pembiayaan Subsidi, 5. Sub Model Penyerapan Subsidi, Jumlah cadangan gas yang menjadi fokus utama, diwakili dengan Sub Model Cadangan Gas di Kalimantan yang ditunjukkan pada. Selain sub model produksi, sub model yang menggambarkan harga gas dicontohkan dalam gambar berikut. Gambar 3- 2 Causal Loop Diagram 5 Gambar 3- 3 Sub Model Cadangan Gas Gambar 3- 4 Sub Model Stok Gas di PKT 3.3.2 Formulasi Matematis Formulasi matematis merupakan tahapan yang dilakukan ketika penyusunan stock and flow diagram, sehingga model yang dibuat akan dapat disimulasikan. Formulasi dilakukan dengan meng-input-kan keterkaitan antar variabel secara matematis. Penyusunan formulasi dilakukan untuk semua variabel. Berikut ini merupakan salah satu contoh formulasi matematis yang dituliskan pada variabel Cadangan Gas di Kalimantan. Gambar 3- 6 Grafik Hasil Simulasi Gambar 3- 5 Formulasi Matematis 3.4 Simulasi Model Simulasi model yang telah dibangun dilakukan dengan menggunakan software Vensim. Simulasi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat perilaku model sistem yang telah dibuat, dengan cara memasukkan nilai-nilai pada konstanta dan tabel fungsi sesuai dengan kondisi yang terdapat pada sistem nyata. Perilaku yang dihasilkan dari proses simulasi awal akan ditunjukkan oleh variabel-variabel yang menjadi referensi dinamis. Sebelum mensimulasikan model, perlu didefinisikan terlebih dahulu satuan waktu yang digunakan selama simulasi. Dan simulasi model dari penelitian ini menggunakan setting satuan waktu bulan. Gambar 3- 6 Grafik Hasil Simulasi merupakan salah satu hasil dari simulasi sistem eksisting perpupukan nasional. 3.5 Verifikasi dan Validasi Model 3.5.1.Verifikasi Model Verifikasi model adalah tahapan untuk memastikan apakah model yang dibuat sudah berjalan sesuai dengan persepsi pembuat model dengan melakukan check model pada software Vensim. Selain check model, proses verifikasi juga dilakukan dengan pengecekan unit atau satuan variabel yang terdapat di model dengan melakukan unit check pada software Vensim. Dari hasil pengecekan terhadap model, didapatkan bahwa model dan unit satuan keseluruhan variabel telah sesuai (ok), sehingga dapat dinyatakan bahwa model ini dapat diterima. 3.5.2 Validasi Model Validasi model merupakan pengujian terhadap model untuk melihat apakah model sudah mampu mewakili atau menggambarkan sistem nyata dan sudah benar. Validasi model dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata dan perbedaan amplitudo variansi antara hasil simulasi dengan kondisi aktual sistem (eksisiting). Validasi dilakukan dengan menggunakan software Minitab dengan Paired-t Test untuk two-tailed test. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Validasi meggunakan hipotesis awal (H0) dan hipotesis tandingan (H1) sebagai berikut : H0: μd = μ0 (tidak ada perbedaan data) H1: μd ≠ μ0 (terdapat perbedaan data) 6 1. Validasi Harga Gas Indonesia Dalam sistem perpupukan nasional ini, harga gas bumi dibuat simulasi berdasarkan kesesuaian cadangan minyak dunia dan cadangan minyak Indonesia. Kesesuaian ini didasarkan pada periode waktu yang sama. Misalkan harga gas bumi pada bulan Februari 2009, maka kesesuaian harga minyak dunia dan harga minyak Indonesia dilihat pada bulan dan tahun yang sama, sehingga didapatkan nominal yang setara pada satuan waktu tersebut. Berikut tabel 3.3 perbandingan antara harga hasil simulasi dengan harga aktual. Tabel 3.3 Perbandingan Harga Gas Indonesia Aktual dan Simulasi Bulan Harga Gas Bumi Harga Gas Bumi keIndonesia aktual Indonesia (US$) simulasi (US$) 1 3,22 4,646 2 2,85 3,980 3 3,91 4,906 4 4,41 3,996 5 5,3 4,773 Pengolahan dengan software Minitab menunjukkan hasil sebagai berikut : Gambar 3- 7 Hasil Validasi Harga Gas di Indonesia Berdasarkan hasil output dari software Minitab diperoleh nilai P-value = 0,273. Karena nilai P-value > α=0,05, maka terima Ho dan dinyatakan bahwa harga gas Indonesia hasil simulasi tidak berbeda dengan eksistingnya. 2. Validasi Harga Gas Dunia Berkaitan dengan sistem perpupukan nasional, simulas harga gas dunia dibuat berdasarkan rasio yang diperoleh dari produksi dan konsumsi gas dunia. Harga tersebut erat kaitannya dengan produksi dan konsumsi gas dunia. Rasio tersebut diperoleh dari satuan waktu yang sama yaitu bulan. Misalkan harga gas dunia pada bulan Januari 2009, maka kesesuaian produksi-konsumsi gas setara pada bulan dan tahun yang sama. Berikut tabel 3.4 perbandingan antara harga hasil simulasi dengan harga aktual. Tabel 3.4 Perbandingan Harga Gas Dunia Aktual dan Simulasi Bulan Harga Gas Dunia Harga Gas Dunia keaktual (US$) simulasi (US$) 1 7,66 6,7 2 7,58 6,983 3 7,57 8,536 4 7,44 7,169 5 7,45 7,054 Hasil dari validasi dengan software Minitab adalah sebagai berikut : Gambar 3- 8 Hasil Validasi Harga Gas Dunia Berdasarkan hasil output dari software Minitab diperoleh nilai P-value = 0,473. Karena nilai P-value > α=0,05, maka terima Ho dan dinyatakan bahwa harga gas dunia hasil simulasi tidak berbeda dengan harga gas dunia aktual. 3.6 Penyusunan Skenario Kebijakan Penyusunan skenario kebijakan terhadap sistem perpupukan nasional dapat dilakukan dengan cara mengubah nilai pada variabel yang berpengaruh terhadap efektifitas sistem. Terdapat 4 skenario yang akan dilakukan, yaitu : · Skenario 1 Skenario ini difokuskan pada penyeimbangan proporsi alokasi gas domestik dengan alokasi gas untuk ekspor. Skenario dilakukan dengan meningkatkan proporsi alokasi gas untuk domestik, selama ini gas untuk domestik sebesar 25% dari total produksi gas, hampir 54% diekspor dan sisanya untuk kebutuhan lain-lain. Jika pada sistem eksisting penggunaan gas untuk produksi pupuk sebesar 25%, maka dalam skenario 1 ini peningkatan penggunaan gas produksi pupuk sebesar 30%. Hal tersebut dilakukan untuk menambah jumlah alokasi gas domestik, sehingga kebutuhan gas dalam negeri, khususnya kebutuhan pupuk dapat terpenuhi. Kenaikan 30% didasarkan pada ketetapan UU no 20 tahun 2000 yang menyebutkan minimal 20% total produksi dalam negeri digunakan untuk domestik dan maksimal 75% dapat digunakan untuk ekspor. · Skenario 2 Skenario 2 merupakan kelanjutan skenario yang pertama, setelah alokasi gas domestik dinaikkan 7 · · sebesar 30%, maka semakin banyak alokasi konsumsi gas untuk produksi pupuk dan petrokimia, sehingga fraksi kebutuhan gas untuk produksi pupuk dan petrokimia dinaikkan menjadi 20% dari fraksi awal 10,61%. Peningkatan tersebut bertujuan untuk menambah stok gas PKT agar dapat digunakan memproduksi pupuk non subsidi lebih banyak untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Skenario 3 Skenario 3 merupakan skenario untuk melihat fluktuasi subsidi pemerintah untuk kebutuhan pertanian. Harga Eceran Tertinggi (HET) urea dari pemerintah sebesar Rp.1600/kg. Sedangkan harga simulasi pupuk urea non subsidi sesuai harga gas bumi berkisar antara Rp.2500Rp.4500 per kg. Selisih harga tersebut meupakan beban anggaran yang dikeluarkan pemerintah. Skenario 3 dilakukan dengan meningkatkan HET urea sebesar Rp.2000 per kg. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban subsidi pemerintah dan mewujudkan masyarakat mandiri yang tidak tergantung pada subsidi. Skenario 4 Skenario 4 merupakan kelanjutan dari skenario 3, yaitu menaikkan rasio harga pupuk terhadap harga beras. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesesuaian korelasi antara harga pupuk urea terhadap harga beras. 4. Analisis dan Pembahasan Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, maka kemudian dilakukan analisis mengenai hasil yang diperoleh. Tahap analisis yang dilakukan mencakup analisis mengenai kondisi sistem amatan, konseptualisasi model, hasil simulasi, dan desain skenario. 4.1 Analisis Kondisi Sistem Perpupukan Nasional Indonesia sebagai negara penghasil minyak dan gas bumi dari eksplorasi dalam negeri, memiliki kewenangan untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Kebutuhan gas dalam negeri digunakan untuk berbagai kepentingan, diantaranya sebagai bahan baku pembuatan pupuk, industri listrik, industri manufaktur dan berbagai kebutuhan lainnya. Sebagai bagian dari asosiasi penghasil minyak dan gas di wilayah Asia, Indonesia tergabung dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), dimana masingmasing anggota OPEC mempunyai kontribusi untuk pemenuhan ekspor. Di Indonesia, terdapat 12 region ekplorasi gas yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam model ini disajikan kondisi eksisting pasokan gas di Kalimantan bagian timur. Kalimantan merepresentasikan produksi gas nasional, karena wilayah Kalimantan memiliki sumur gas dengan produksi terbesar sebanyak 27% dari total penghasil gas di Indonesia. Selain itu, Kalimantan Timur memiliki perusahaan produksi gas dengan kapasitas terbesar di Indonesia, yaitu PT. Badak NGL. Pokok permasalahan model ini adalah tidak adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan domestik dibandingkan dengan pemenuhan gas untuk ekspor. Pemenuhan kebutuhan ekspor dapat dilihat dari harga gas dunia yang dipengaruhi oleh faktor produksi dan konsumsi gas dunia. Sedangkan sisa pemenuhan ekspor digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Kondisi pasokan gas saat ini memiliki kecenderungan untuk menitikberatkan pada kebutuhan ekspor, seperti yang ditunjukkan pada grafik 3.10 berikut. Grafik 4.1 Perbandingan Konsumsi Gas Domestik dan Ekspor Saat ini kebutuhan untuk industri pupuk dalam negeri (dan petrokimia) menempati posisi dengan prosentase sebesar 10,61% dari keseluruhan total pasokan gas dalam negeri. Model ini akan dibagi menjadi 2 variabel, yaitu kebutuhan gas untuk produksi pupuk dan kebutuhan gas selain pupuk. Variabel kebutuhan gas selain pupuk tentunya lebih besar dari pada angka 10,61%, namun prosentase untuk masing-masing pasokan gas lebih kecil daripada 10,61% untuk kebutuhan industri pupuk (dan petrokimia). Pupuk menjadi alasan utama menyerap sebagian besar pasokan gas, karena kebutuhan pupuk erat kaitannya dengan kebutuhan tanaman pangan di sektor pertanian. Konsumsi gas dibagi menjadi 2 rate keluar, yaitu rate konsumsi domestik dan rate konsumsi ekspor. Kedua rate keluar tersebut dipengaruhi oleh fraksi kebutuhan gas saat ini. Rate konsumsi domestik dipengaruhi kebutuhan untuk pupuk dan kebutuhan selain pupuk. Sedangkan rate keluar untuk konsumsi ekspor dipengaruhi oleh harga gas luar negeri berdasarkan produksi dan konsumsi gas dunia. Harga gas luar negeri mempengaruhi fraksi ekspor, karena apabila harga gas di luar negeri tinggi, maka kecenderungan ekspor akan semakin besar, akibatnya adalah pemenuhan gas di domestik menurun. Jika kondisi pemenuhan gas domestik turun, maka akan berpengaruh terhadap pasokan gas, 8 baik untuk kebutuhan industri pupuk maupun kebutuhan selain pupuk. Kondisi eksisting tahun 2009 adalah sekitar sebesar 46% untuk domestik dan 54 % untuk ekspor. Formulasi harga gas bumi yang dibuat akan menghasilkan besaran harga yang menjadi patokan harga jual gas. Harga tersebut ditunjukkan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan penetapan harga. Harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan diberlakukan untuk semua konsumen industri yang menggunakan bahan baku gas di Indonesia, namun pabrik pupuk membeli dengan harga lebih murah dan harga tersebut merupakan mekanisme subsidi dari pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan dan keterjangkauan harga produksi (khususnya pupuk urea). Disparitas antara harga jual gas domestik dan harga jual gas ekspor menjadi tanggungan pemerintah untuk memberi subsidi harga gas kepada pabrik pupuk. Dalam model ini, variabel subsidi merupakan penyajian secara logika menurut pembuat model, karena pemberian subsidi dihitung berdasarkan komponen seluruh perhitungan harga gas setelah gas dieksplorasi dan hal tersebut merupakan kewenangan BP Migas dan pemerintah pusat. 4.2 Kebijakan Subsidi Gas oleh Pemerintah Pemerintah selaku badan negara yang menaungi, memberi kebijakan dan penyaluran gas Indonesia memiliki peran penting. Pemerintah mengatur distribusi dan pasokan gas di semua wilayah Indonesia. Analisa kebijakan pemerintah ini didasarkan pada kondisi eksisting saat ini, dimana kecenderungan ekspor gas masih menjadi konsentrasi pemerintah untuk menghasilkan devisa. Untuk menjaga kestabilan dan keterjangkauan harga, baik itu untuk produksi maupun hasil produksi, pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberi subsidi harga untuk pembelian bahan baku (gas) oleh pabrik pupuk dan memberikan subsidi harga pupuk kepada petani. Hal ini bertujuan agar pabrik pupuk bisa membeli gas dengan harga terjangkau, sehingga hasil produksi berupa pupuk dapat dijangkau oleh petani. Kebijakan pemberian subsidi ini menjadi analisa model, karena pemberian subsidi ini erat kaitannya dengan fluktuasi harga gas dunia. Pemerintah memberikan subsidi harga pupuk tahun 2009 senilai Rp 14.402.000.000. Nilai tersebut digunakan untuk mengcover kebutuhan pupuk sebesar 916.667 kg pupuk urea per bulan. 4.3 Causal Loop Diagram Causal loop diagram merupakan suatu diagram yang digunakan untuk menunjukkan hubungan keterkaitan antar variabel dalam sistem. Causal loop diagram yang ditunjukkan dalam penelitian ini hanya menggambarkan variabel-variabel secara umum dalam bentuk yang utuh dan belum terbagi ke dalam sub sistem. Untuk memperjelas hubungan sebab akibat yang terjadi, causal loop diagram dapat ditampilkan dalam bentuk Causal Tree diagram. Berikut ini Causal Tree dari beberapa submodel setiap pelaku: · Cadangan Gas di Kalimantan Dari Causal Tree Persediaan Gas di Kalimantan dapat diketahui bahwa jumlah persediaan akan dipengaruhi oleh produksi gas, konsumsi domestik dan konsumsi ekspor. Produksi gas diperoleh dari laju produksi dan produksi gas saat ini. Variabel konsumsi domestik diperoleh dari multiplikasi variabel lain yang mempengaruhinya, yaitu cadangan gas di Kalimantan, fraksi kebutuhan pupuk dan industri petrokimia yang disimulasikan per satuan waktu (bulan), variabel bulan hanya berfungsi untuk konsistensi satuan. Variabel konsumsi untuk ekspor terdiri dari cadangan gas yang variabel-variabelnya berfungsi untuk syarat dalam kondisi diperlukannya ekspor gas. Misalnya ketika harga gas dunia sedang tinggi, maka kecenderungan ekspor dilaksanakan. Hubungan sebab-akibat tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut. Gambar 4.2 Causal Tree Persediaan Gas di Kalimantan Untuk mengetahui keterkaitan antara cadangan gas dengan konsumsi domestik dan konsumsi ekspor dapat dilihat pada gambar 4.3. Konsumsi gas untuk kebutuhan domestik dipengaruhi oleh cadangan gas yang tersedia dengan kuantitas gas yang diekspor. Semakin banyak kuantitas gas yang diekspor, maka semakin sedikit penggunaan untuk kebutuhan dalam negeri, demikian sebaliknya. Gambar 4.3 Causal Tree Konsumsi Gas untuk Kebutuhan Domestik · Harga Gas Bumi Harga gas di Indonesia dalam model ini adalah harga gas yang disesuaikan dengan fluktuasi minyak dunia menggunakan rumusan yang telah ditunjukkan pada bab sebelumnya, dimana terdiri dari prosentase paritas harga minyak bumi dan biaya transportasi. Harga gas bumi sebelum penambahan biaya transportasi terdiri dari lookup harga minyak Indonesia (ICP) yang diprosentasekan dan disesuaikan dengan satuan cubic feet, dimana semakin besar paritas harga minyak dunia dengan Indonesia, maka harga gas juga berbanding lurus dengan kenaikan tersebut. 9 Gambar 4.4 Causal Tree Harga Gas Bumi Setelah harga gas terbentuk dan ditetapkan sebagai harga gas Indonesia, harga tersebut digunakan sebagai harga jual untuk konsumen industri yang menggunakan gas sebagai bahan bakunya tak terkecuali pabrik pupuk. Namun, terdapat perbedaan harga yang diberikan untuk pabrik pupuk, yaitu sesuai ketetapan pemerintah. Hal tersebut bertujuan untuk menjangkau harga beli pupuk urea oleh petani sebagai wujud keberlangsungan pangan nasional. Selisih harga tersebut dapat dilihat sebagai gap dalam model ini. Gap harga tersebut terbentuk dari variabel harga gas Pertamina dengan harga gas sesuai ketetapan pemerintah untuk pabrik pupuk sebesar US$ 2,58. Semakin besar selisih harga gas bumi dengan ketetapan pemerintah untuk pabrik pupuk, maka semakin besar pula beban biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi selisih harga tersebut. Harga gas bumi berpengaruh terhadap harga urea yang diproduksi. Semakin besar harga gas bumi maka semakin tinggi pula harga urea, demikian sebaliknya, karena gas merupakan bahan baku dominan yang digunakan untuk memproduksi urea, maka keterkaitan harga gas bumi erat dengan harga urea. Harga urea bersubsidi saat ini sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp.1600 per kg. Sedangkan dari harga gas bumi dapat diperoleh perkiraan harga urea yang disarankan. HET dengan harga urea yang disarankan mempunyai selisih, selisih tersebut merupakan gap yang menjadi tanggungan pemerintah. Semakin kecil selisihnya maka semakin berkurang tanggungan pemerintah untuk mensubsidi. Untuk mempermudah melihat dinamikanya, maka dalam analisis digunakan hasil simulasi berupa grafik. Hasil simulasi terhadap variabel cadangan gas di Kalimantan dapat dilihat pada grafik 4.5 yang menunjukkan bahwa pada beberapa bulan tertentu persediaan gas akan bernilai rendah. Yaitu sekitar bulan ke-14, 21 dan 36. Pada bulan-bulan tersebut harga gas dunia cenderung naik, sehingga ada kecenderungan mengekspor gas yang mengakibatkan berkurangnya cadangan gas untuk kebutuhan dom Gambar 4.5 Simulasi Hasil Cadangan Gas di Kalimantan Kecenderungan ekspor mengakibatkan penurunan alokasi pemakaian gas untuk kebutuhan domestik. Hal tersebut dipicu oleh kenaikan harga gas dunia. Apabila harga gas dunia sedang tinggi, ekspor akan dilakukan untuk memperoleh keuntungan. Sehingga penggunaan gas domestik akan cenderung berkurang. Seperti pada gambar 4.6 berikut yang menunjukkan bahwa di bulan ke 14, 21 dan 36 terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan, sehingga memacu produsen gas untuk mengekspor gas ke luar negeri sesuai dengan tingginya harga gas dunia. Gambar 4.6 Hasil Simulasi Harga Gas Dunia Harga gas dunia yang naik, membuat alokasi gas untuk ekspor akan naik seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.7. hal tersebut terjadi karena pemasok gas lebih berorientasi pada keuntungan. Dapat dilihat pada bulan-bulan dimana harga gas naik, alokasi gas untuk ekspor juga naik, sementara ketika alokasi gas ekspor naik, alokasi domestik berkurang khususnya untuk kebutuhan pupuk seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.8. 10 Dari harga gas bumi Indonesia, dapat ditentukan berapa harga urea subsidi yang disarankan. Berikut gambar 4.10 hasil simulasi harga urea yang disarankan sesuai dengan harga gas bumi. Gambar 4.7 Hasil Simulasi Konsumsi Gas untuk Ekspor Gambar 4.10 Hasil Simulasi Harga Urea yang Disarankan Simulasi tersebut menggambarkan korelasi harga gas bumi dengan harga urea. Berdasarkan korelasi tersebut yang menjadi pertimbangan utama adalah petani, artinya hasil pertanian ditingkatkan dan harga jual beras harus meningkatkan daya beli petani. Untuk meningkatkan hasil panen pertanian secara signifikan diperlukan pupuk khususnya urea. Pengaruh harga urea tersebut juga mempengaruhi harga beras, sebagai bentuk daya beli dan kesejahteraan petani. Korelasi harga beras ditunjukkan pada gambar 4.11 berikut. Gambar 4.8 Hasil Simulasi Alokasi Gas untuk Domestik Hasil simulasi harga gas Indonesia mempengaruhi harga urea dan harga beras. Ketika harga gas yang dipicu oleh kesesuaian harga minyak naik, maka harga urea juga naik sehingga signifikan terhadap harga beras. Seperti pada gambar 4.9 yang menunjukkan harga gas Indonesia dalam satuan USD berikut. harga beras per ton yang disarankan 20 M 15 M 10 M 5M 0 0 harga gas bumi Indonesia 6 4 8 12 16 20 24 Time (Month) harga beras per ton yang disarankan : superpower bismillah 4.5 3 1.5 0 0 4 8 12 16 20 24 Time (Month) harga gas bumi Indonesia : superpower bismillah 28 32 36 40 $/mmscfd Gambar 4.9 Hasil Simulasi Harga Gas Bumi Indonesia Harga gas bumi berfluktuatif, hal tersebut sesuai dengan harga minyak bumi, baik dunia maupun Indonesia Crude Price (ICP). Simulasi ini menggunakan rumusan disparitas harga minyak dunia dan ICP ditambahkan dengan biaya transportasi yang didapat dari rata-rata jarak sumur ke konsumen gas. 28 32 36 40 Rp/ton Gambar 4.11 Hasil Simulasi Harga Beras per Ton yang Disarankan Simulasi harga beras yang disarankan dipengaruhi oleh harga urea. Harga urea berdasarkan simulasi tersebut merupakan harga urea non subsidi. Kemudian pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) urea kepada petani sebesar Rp.1.600.000 per ton. Sehingga dari HET tersebut harga beras yang layak yaitu sebesar Rp.4.930.000 per ton. Selisih antara harga beras tersebut merupakan keuntungan petani per ton (terlepas dari biaya lain-lain yang tidak dicapture dalam model ini). Grafik hasil keuntungan petani dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut. 11 dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas gas produksi pupuk dan petrokimia. Skenario 2 dilakukan dengan menaikkan fraksi kebutuhan gas untuk pupuk dari kondisi eksisting 10,61% menjadi 20%. Berikut grafik simulasi skenario 2 pada gambar 4.14 Gambar 4.12 Hasil Simulasi Keuntungan Petani dari Penjualan Beras per Ton. 4.4 Analisis Desain Skenario Analisa skenario pertama adalah peningkatan alokasi gas domestik. Kondisi eksisting saat ini, proporsi alokasi gas domestik hanya 25% dari produksi nasional. Sisanya adalah untuk kebutuhan ekspor yang mencapai 54% dan kebutuhan lainnya. Menaikkan alokasi gas domestik sebesar 30% dilakukan untuk meningkatkan kuantitas gas produksi pupuk agar pasokan gas mencapai titik aman (tidak mengalami kekurangan). Berikut hasil kenaikan alokasi gas yang ditunjukkan pada gambar 4.13. Gambar 4.13 Grafik Hasil Simulasi Skenario 1 Peningkatan fraksi alokasi gas domestik sebesar 30% didasarkan pada ketentuan UU no 20 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa minimal penggunaan gas 20% untuk domestik dan maksimal 75% untuk ekspor dan angka 30% sudah memenuhi aturan UU serta menyebabkan keuntungan petani tidak minus. Pada bulan ke 10, terjadi lonjakan stok gas, hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pupuk urea saat itu rendah, karena pada bulan tersebut tanaman yang ditanam adalah kedelai yang sedikit membutuhkan pupuk. Selain itu, kenaikan alokasi gas domestik tidak diikuti dengan kenaikan konsumsi gas untuk produksi pupuk, sehingga stok gas di PKT akan tinggi. Hal tersebut tidak baik, karena akan menambah inventory cost meskipun stok tersebut adalah stok parsial, yaitu stok yang langsung digunakan untuk produksi pupuk. Skenario 2 merupakan lanjutan skenario 1, yaitu peningkatan fraksi penggunaan gas untuk produksi pupuk dan petrokimia. Setelah alokasi kebutuhan domestik pada skenario 1 dinaikkan menjadi 30%, maka alokasi gas domestik akan naik, hal tersebut Gambar 4.14 Grafik Hasil Simulasi Skenario 2. Setelah alokasi gas untuk kebutuhan pupuk dinaikkan, lonjakan yang terjadi pada bulan 10 pada skenario 1 turun. Hal tersebut terjadi karena peningkatan alokasi gas domestik diikuti dengan peningkatan fraksi alokasi gas untuk produksi pupuk, sehingga pemanfaatan gas lebih optimal. Skenario 3 merupakan lanjutan skenario 1 dan 2 yaitu dengan menaikkan Harga Eceran tertinggi (HET) urea, kenaikan dilakukan tidak melebihi batasan variabel harga urea yang disarankan. Peningkatan HET dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran pemerintah untuk mensubsidi. Berikut grafik 4.15 hasil simulasi yang menunjukkan beban anggaran pemerintah berkurang dengan menaikkan HET urea bersubsidi. Grafik 4.15 Hasil Simulasi Skenario 3 Setelah HET urea dinaikkan, maka terjadi penurunan anggaran subsidi pemerintah. Terjadi lonjakan tanggungan pemerintah pada bulan ke 31 karena pada bulan tersebut merupakan musim tanam padi yang membutuhkan urea lebih banyak, sehingga demand urea meningkat dan anggaran subsidi pemerintah juga meningkat. Dampak lain adalah pendapatan petani berkurang. Hal tersebut memang merugikan petani, namun penurunan tersebut tidak terlalu signifikan, dalam artian petani masih 12 mendapatkan keuntungan. Untuk jangka panjangnya diharapkan ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi berangsur turun. Apabila pemerintah melakukan wacana untuk menaikkan HET pupuk urea, petani tidak perlu khawatir, karena tidak menghilangkan pendapatan mereka. Pemerintah juga bisa mengalokasikan anggaran kebutuhan pertanian untuk hal yang lebih penting. Berikut grafik 4.16 penurunan pendapatan petani apabila HET urea bersubsidi dinaikkan dari Rp.1.600.000 per ton menjadi Rp.2.000.000 per ton. Grafik 4.16 Hasil Simulasi Pendapatan Petani ketika HET naik. Ketika menaikkan harga urea, pemerintah diharapkan tidak menaikkan harga diatas harga urea yang disarankan, karena apabila kenaikan tersebut melebihi dari harga urea yang disarankan akan mengakibatkan petani tidak berpenghasilan. Kenaikan harga urea sejatinya meningkatkan harga jual beras, namun selama ini pemerintah telah membuat formula penetapan harga beras melalui badan pemerintah yang menangani masalah perberasan yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Harga beras yang ada di pasaran merupakan harga dari Bulog, sehingga petani tidak memiliki wewenang untuk menaikkan atau menurunkan harga beras. Oleh sebab itu, pemerintah menggunakan subsidi untuk harga gas dan harga pupuk agar petani dapat memproduksi dan memanen hasil pertanian tanpa harus mengalami kerugian. Batasan menaikkan HET dapat dilihat pada grafik 4.17 berikut. Skenario 4 merupakan lanjutan skenario 3 dengan menaikkan rasio harga pupuk dengan harga beras dari 0,41 menjadi 0,5. Rasio tersebut merupakan korelasi harga pupuk terhadap harga beras yang diperoleh dari kesesuaian keduanya. Kenaikan rasio akan berpengaruh terhadap keuntungan petani seperti pada grafik 4.18 berikut. Gambar 4.18 Grafik Skenario 4 Dari keempat skenario, dapat disimpulkan bahwa skenario 2 menempati posisi optimal dalam upaya peningkatan keuntungan petani, yaitu menaikkan alokasi gas domestik sebesar 30% diikuti peningkatan fraksi konsumsi gas untuk produksi pupuk sebesar 20%. 5. Kesimpulan Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Alokasi gas yang ditetapkan pemerintah saat ini sebesar 25% untuk domestik menyebabkan konsumsi gas untuk produksi pupuk dan keuntungan petani menurun karena petani mengalami defisit pupuk, sebab alokasi gas domestik kurang. 2. Pasokan gas domestik untuk produksi pupuk mencapai titik aman ketika alokasi kebutuhan gas untuk produksi naik dari 10,61% menjadi 20%. Kenaikan pasokan gas tersebut dapat digunakan untuk menambah produksi non pupuk. 3. Harga gas bumi mempengaruhi harga pupuk urea. Harga pupuk urea mempengaruhi harga jual beras. Harga jual beras tersebut merupakan daya jual petani untuk memperoleh keuntungan. 4. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) urea bersubsidi dapat dinaikkan hingga Rp.2000 per kg dan tidak melebihi harga urea yang disarankan berdasarkan kesesuaian harga gas bumi. Dengan kenaikan HET, maka beban anggaran subsidi pemerintah akan berkurang. 5. Gambar 4.17 Grafik Batas Kenaikan HET Urea Skenario 2 menaikkan alokasi gas domestik sebesar 30% diikuti dengan kenaikan konsumsi gas untuk produksi pupuk sebesar 20% dipilih sebagai skenario yang baik karena petani tidak 13 mengalami kerugian. Selain itu, hal tersebut membuat pabrik pupuk tidak mengalami kekurangan gas untuk produksi pupuk, sehingga mendukung keberlangsungan sektor pertanian. 6. Daftar Pustaka Abubakar, Mustafa. (2010). Pernyataan Menteri BUMN tgl 5/02/2010 di <URL: http://bataviase.co.id/node/84115 diakses tgl 16/02/2010> diakses tanggal 16/02/2010 > Andrian. (2009). Pasokan Gas Pabrik Pupuk Harus Jadi Prioritas. Suara Karya. Jakarta. 16 Februari. Baroroh, Indah. (2008). Analisis Sistem Klaster Industri Alas kaki di Mojokerto untuk Merumuskan Kebijakan Pengembangan yang Keberlanjutan dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS. Boedoyo, M. Sidik dan Sugiyono, Agus. (2000). Kebutuhan Tenaga Listrik Jangka Panjang di Indonesia, Jurnal Optimasi Suplai Energi dalam Memenuhi dalam Wahid, L.O.M.A. dan E. Siregar, Editor, Pengaruh Krisis Ekonomi terhadap Strategi Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang, PP 19-23, ISBN 979-959990-3, BPPT, Jakarta. Borschev.A, dan Filippov.A. (2006). ‘From system dynamics and discrete event to practical agent based modelling:reason, technique, tools’. Paper of St.Petersburg Technical University&XJ Technologies, Rusia. BP Migas. (2009). Kegiatan Usaha Hulu Gas Bumi di Indonesia, <URL : http: //www.bpmigas.com/kegiatan-gas.asp> diakses tanggal 12/01/2010 >. Diakses 5 Desember 2009 Coyle, Chapman & Hall. (1996). System Dynamic Modelling. Cranfield University, UK. Howe, Mark L. dan Lewis, Marc D. (2005). The importance of dynamic systems approaches for understanding development. Jurnal Developmental Review vol 25 PP 247–251 Inaplas. (2009). Revitalisasi Pupuk Terhambat Soal Gas DPR Desak Pemerintah Kurangi Ekspor Gas. URL <http://www.inaplas.org/index.php?option=co m content&view=article&id=3403%3Arevitalisas i-pupuk-terhambat-soal-gas-dpr-desakpemerintah-kurangi-ekspor-gas&catid =3%3Apetrochemical&Itemid=5&lang=en. Diakses 4 Desember 2009 Juniar, Herlas. (2006). Analisa Kebijakan Industri Pupuk di Wilayah Jawa Barat. Thesis Industrial Engineering and Management ITB. Kementerian Sekretaris Negara RI. (2009). Implikasi Kebijakan Penurunan Harga BBM. <URL:http://www.setneg.go.id/Implikasi Kebijakan Penurunan Harga BBM.htm > diakses 1 Februari 2009. Kholil, Muhammad. dan Dwiharyadi, Dedi. (2008). Model Simulasi Pengembangan Industri Perikanan di Konawea Selatan dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Penelitian oleh staff pengajar Universitas Mercu Buana. Khumairoh, Lilik. (2010). Kajian Keterkaitan Antar Pelaku Pergulaan Nasional : Suatu Penghampiran Model Dinamika Sistem. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS. Kodar S. (2010). Tak Ada Gas, Produsen Pupuk tidak Bisa Tancap Gas. Pikiran Rakyat edisi 18 Jan 2010 <URL : http://bataviase.co.id/detailberita10527797.html>. Diakses tanggal 16/02/2010. Lestari, Indah. (2010). Analisi Kesejahteraan Pelaku Industri Pengolahan Ikan pada Komunitas Klaster Masyarakat Nelayan Pesisir : Sebuah Pendekatan Dinamika Sistem. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS. Mantau, Zulkifli dan W. K. Feryanto. (2010). Evaluasi Kebijakan Subsidi Pupuk di studi komprehensif. Indonesia-suatu Makalah Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran. URL:http: //feryanto.wk.staff.ipb.ac.id/2010/05/20/kop erasi-dan-posisi-tawar-petani/ diakses 10 Maret 2010. Notohamihamijoyo, Setiadi D. dan Sugiyono, Agus. (2000). Pola Pemakaian dan Distribusi Gas Bumi di Indonesia pada Periode Pembangunan Tahap Kedua. Tim Model Energi BPPT.. Purnama, Rauf. (2005). Korelasi Harga Gabah, Urea dan Gas. Tokoh Indonesia URL:http://tokohindonesia.com/raufpurnama.html. Diakses tanggal 12/12/2010. Quader, A.K.M. Abdul. (2003). Natural gas and the fertilizer industry. Jurnal Energy for Sustainable Development l Volume 7 PP.442-449. Safrita, Novie. (2007). Pemodelan Sistem Distribusi dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi Kasus: PT. Trisulapack Indah). Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS. Sumiarso, Luluk (2006). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Desember. <URL: http://www.migas.esdm.go.id/ diakses 16/02/2010. 14 Sunarsip, (2006). Membedah Masalah Perpupukan Nasional. Jurnal Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence. PP 12-13. Syafa’at, N. (2000). Kajian Peran Pertanian Dalam Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional Analisis Simulasi Kebijaksanaan dengan Pendekatan Imbas Investasi (Induced Investment). Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor Tasrif, Muhammad. (2005). Metodologi System Dynamic. Pusat Penelitian Energi. Institut Teknologi Bandung. Ummatin, Kuntum U. (2009). Dampak Kebijakan Harga BBM Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Sebuah Pendekatan Model Dinamik. Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS. Wang, Xiuli. (2009). The state-of-the-art in natural gas production. Journal of Natural Gas Science and Engineering vol 1 PP 14–24. Wang, Fei-Yue. (2005). On the abstraction of conventional dynamic systems: from numerical analysis to linguistic analysis. Information Sciences vol 171 PP 233–259 Wicaksono, Anindityo. (2010). BUMN Minta Gas untuk Pupuk. Media Indonesia edisi 5/02/2010 <URL : http://bataviase.co.id/node/84115.> diakses tgl 16/02/2010 Widayani, Katri. (1999). Analisis Perancangan Kebijakan Pengembangan Produksi BuahBuahan Di Indonesia Dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi kasus pengembangan produksi buah mangga di Jabar). Thesis Teknik Industri ITB Bandung. Yusgiantoro, Purnomo. (2000). Ekonomi Energi Teori dan Praktik. LP3ES. Jakarta. 15