Templat tugas akhir S1

advertisement
UJI DAYA HASIL TIGA GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum
bicolor (L.) Moench] HASIL IRADIASI GAMMA PADA
VARIETAS PAHAT
IANSYAH WIBI SAKSONO
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Daya Hasil Tiga
Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Hasil Iradiasi Gamma pada
Varietas PAHAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Iansyah Wibi Saksono
NIM A24100029
ABSTRAK
IANSYAH WIBI SAKSONO. Uji Daya Hasil Tiga Galur Mutan Sorgum
[Sorghum bicolor (L.) Moench] Hasil Iradiasi Gamma pada Varietas PAHAT.
Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE dan SOERANTO HUMAN.
Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
keragaan karakter agronomis tiga galur mutan generasi M11 sorgum dan
mengidentifikasi produktivitas biji dan biomassa. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Desember 2013 hingga April 2014. Lokasi penelitian terletak di Lapangan
Percobaan Kaum Pandak, Balai Penelitian Ternak, Desa Pasir Jambu, Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten Bogor. Bahan tanam yang digunakan berupa tiga galur
mutan sorgum G5, G6, dan G7 dan tiga kontrol yaitu varietas PAHAT sebagai
induk, Kawali sebagai kontrol nasional, dan Mandau sebagai kontrol sorgum
manis. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap
Teracak (RKLT) dengan galur tanaman sebagai perlakuan utama. Hasil pengujian
menunjukkan hanya karakter panjang ruas yang memiliki perbedaan yang nyata
untuk karakter agronomi yang diamati. Galur G7 nyata berbeda lebih tinggi dari
kontrol induk, yaitu varietas PAHAT dan galur mutan G5, G6, dan G7 nyata
berbeda lebih tinggi dari varietas Mandau untuk karakter panjang ruas. Hasil
penelitian menunjukkan produktivitas biji dan biomassa galur mutan G5, G6, dan
G7 tidak berbeda nyata dengan tiga kontrol yang diuji.
Kata kunci: biomasa, galur mutan, sorgum, pangan
ABSTRACT
IANSYAH WIBI SAKSONO. Testing the Potential Yield of Three Sorghum
Mutant Line [Sorghum bicolor (L.) Moench] by The Result of Gamma Irradiation
to Sorghum PAHAT Variety. by DIDY SOPANDIE and SOERANTO HUMAN
The objective of this research was to gain an information about the
variability of agronomic characters of three mutant sorghum line and to identify
the yield and biomass productivity. Location of this research was in Kebun
Percobaan Kaum Pandak, Balai Penelitian Ternak, Pasir Jambu village,
Sukaraja Subdistric, - Bogor, West Java, in December 2013 to April 2014. The
plant material was used is three sorghum mutant line G5, G6, and G7 and three
control were PAHAT variety as an original plant, Kawali as a national control,
and Mandau as a control of sweet sorghum. This research was arranged in a
randomized complete block design with genotype become the main treatment. The
result shows that just the length of internode was significantly different for
agronomic character. Mutant line G7 was significantly higher than original plant,
PAHAT and the mutant line G5, G6, and G7 were significantly higher than
Mandau for internode lenght character. The result shows that the yield and
biomass productivity mutant line G5, G6, and G7 were not significantly different
from three control of sorghum was tested.
Keywords: biomass, food, mutant line, sorghum
UJI DAYA HASIL TIGA GALUR MUTAN SORGUM [Sorghum
bicolor ( L.) Moench] HASIL IRADIASI GAMMA PADA
VARIETAS PAHAT
IANSYAH WIBI SAKSONO
A24100029
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Uji Daya Hasil Tiga Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] Hasil Iradiasi Gamma pada Varietas PAHAT
Nama
: Iansyah Wibi Saksono
NIM
: A24100029
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Didy Sopandie MAgr
Pembimbing I
Prof Dr Ir Soeranto Human, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Purwito MScAgr
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Uji Daya Hasil Tiga Galur Mutan Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Hasil
Iradiasi Gamma pada Varietas PAHAT.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua saya, Suprianto dan Sumiati, serta kakak Amri Akbar
Wicaksono yang telah memberikan doa dan semangat selama menenpuh
pendidikan di IPB.
2. Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr sebagai dosen pembimbing I dan Prof
Dr Ir Soeranto Human, MSi sebagai dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan skripsi.
3. Prof Dr Ir Sandra A Aziz, MS selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Puspita Sari yang telah menemani dan memberi dukungan dari jauh.
5. Wilda Kurnia Putri dan Ujang Kurnia sebagai rekan penelitian yang
telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini, beserta temanteman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
6. Pak Agus dan Pak Yunus selaku pengelola Kebun Percobaan Kaum
Pandak yang telah banyak membantu selama proses penelitian.
7. Teman-teman satu perjuangan Samsi, Imam, Ade, Kancil, Putra, yang
telah memberikan berbagai cobaan sekaligus memberikan kesenangan
selama proses pengerjaan tugas akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Iansyah Wibi Saksono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench]
Morfologi Sorgum
Kandungan Gizi
Pemanfaatan Sorgum
METODE
Bahan dan Alat
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Pecobaan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Sorgum
Keragaan Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum dan Varietas Pembanding
PAHAT, Kawali, dan Mandau
Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Galur Mutan Sorgum dan Varietas
Pembanding PAHAT, Kawali, dan Mandau
Produktivitas biji dan biomasa
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
5
5
6
6
6
6
7
8
8
10
12
17
19
20
20
20
20
24
27
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Pertumbuhan tinggi tanaman sorgum pada umur 3 hingga 9 MST
Pertumbuhan jumlah daun tanaman sorgum pada umur 3 hingga 9
MST
Pertumbuhan diameter batang sorgum pada umur 3 hingga 9 MST
Keragaan karakter agronomi galur mutan sorgum dan varietas
pembanding.
Keragaan komponen hasil dan hasil galur-galur mutan sorgum dan
varietas pembanding.
Produktivitas biji dan biomasa galur-galur mutan sorgum dan varietas
pembanding
10
11
12
13
17
19
DAFTAR GAMBAR
1
2
Kondisi lahan dan pertanaman sorgum umur 12 MST
Gejala pertumbuhan abnormal tanaman sorgum
9
9
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Deskripsi sorgum varietas Kawali
Deskripsi sorgum varietas Mandau
Deskripsi Sorgum Varietas PAHAT
Data Curah Hujan Bulanan
26
27
28
29
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang bahan pangan karbohidrat utamanya
adalah beras. Pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri dapat ditempuh melalui
produksi domestik dan impor. Namun pemenuhan kebutuhan beras yang
mengandalkan impor akan menimbulkan kerentanan terhadap ketahanan pangan
nasional. Selain itu pemenuhan kebutuhan beras yang berasal dari produksi dalam
negeri juga dikhawatirkan tidak mampu memenuhi permintaan akibat tingkat
produktivitas padi yang tidak mengalami kenaikan dan alih fungsi lahan pertanian
ke penggunaan yang lain. Oleh karena itu diperlukan adanya diversifikasi pangan
sehingga pangan utama tidak bergantung pada beras.
Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman serealia yang potensial
untuk dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia. Beberapa kandungan nilai
gizi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki oleh beras seperti
protein, lemak, kalsium, besi, fosfor, dan vitamin B-1 (Direktorat Gizi 1992).
Keunggulan kandungan gizi yang dimiliki oleh sorgum tersebut menjadikan
sorgum dapat digunakan sebagai sumber pangan alternatif. Sorgum juga memiliki
beberapa keunggulan, yaitu daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap
kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap
hama dan penyakit dibading tanaman pangan lain (BATAN 2010). Kebutuhan air
sorgum juga sedikit, sekitar 150-200 mm/musim. Kebutuhan air untuk sorgum ini
merupakan setengah dari kebutuhan air jagung, sepertiga kebutuhan air untuk tebu.
Sorgum mampu tumbuh dan berkembang pada lahan marjinal dan pada lahan
yang miring (Balitsereal 2012).
Pemanfaatan sorgum di beberapa negara yaitu sebagai sumber pangan, pakan,
dan bahan baku industri. Sebagai sumber pangan dunia, sorgum menempati
peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung, dan barley. U.S. Grain Council
(2005) menyebutkan bahwa sorgum menempati urutan ke-tiga tanaman sereal
penting di Amerika Serikat dan urutan ke-lima di dunia. Di Indonesia sendiri,
sorgum juga dimanfaatkan sebagai tanaman pangan. Sorgum mulai masuk ke
Indonesia pada tahun 1925 yang dibawa oleh kolonial Belanda, tetapi
perkembangannya baru terlihat pada tahun 1970-an. Hal ini dikarenakan pada
tahun tersebut terjadi krisis pangan khususnya beras pada tahun 1960 sehingga
pemerintah pada saat itu mulai serius mengembangkan komoditas sorgum. Namun
setelah tahun 1970 kondisi perekonomian Indonesia mulai membaik dan beralih
mengonsumsi beras kembali sebagai pangan utama sehingga membuat sorgum
sudah tidak dimanfaatkan lagi secara luas.
Sorgum juga dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol selain untuk pangan.
Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku
bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai ekologi, lebih tahan terhadap hama
dan penyakit, dan memerlukan input yang relatif lebih sedikit dibandingkan
tanaman penghasil bioetanol lain (Human 2007). Bioetanol pada sorgum
bersumber dari nira pada batang sorgum. Sorgum juga dimanfaatkan sebagai
pakan ternak. Biji, limbah tanaman berupa daun, dan ampas batang setelah diperas
niranya dapat digunakan sebagai pakan.
2
Saat ini sorgum mulai dikembangkan lagi untuk mengatasi masalah
ketahanan pangan Indonesia yang bergantung pada beras. Sorgum diharapkan
mampu menjadi tanaman pangan sereal alternatif dan digunakan masyarakat
secara luas sehingga kebutuhan beras dalam negeri dapat ditekan. Beberapa
varietas sorgum yang telah dilepas adalah varietas No. 6C, UPCA S-2, KD4,
Keris, UPCA S-1, Badik, Hegari Genjah, Mandau, Sangkur, Kawali, dan Numbu.
Sampai saat ini masih terus dilakukan pengembangan sorgum untuk mendapatkan
galur-galur yang lebih baik lagi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
melakukan pemuliaan tanaman sorgum dengan teknik mutasi.
Salah satu institusi pemerintah yang melakukan pemuliaan tanaman sorgum
dengan teknik mutasi adalah Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PATIR)-Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Program pemuliaan tanaman sorgum di
PATIR-BATAN dilakukan secara intensif dimulai pada tahun 2001. Selain untuk
pangan, kegiatan penelitian sorgum juga diarahkan untuk mendapatkan sorgum
yang memiliki kadar gula batang tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan baku
bioetanol. Galur mutan harapan yang telah dihasilkan oleh BATAN yaitu Zh-30,
yang saat ini telah dilepas oleh Kementrian Pertanian dan diberi nama Varietas
PAHAT, diberi perlakuan radiasi sinar gamma dengan dosis 300 Gy. Tujuan
dilakukannya perlakuan sinar gamma tersebut adalah untuk mendapatkan tanaman
sorgum menjadi lebih unggul dari induknya, yaitu PAHAT. Setelah dilakukan
proses seleksi hingga tahap uji daya hasil pendahuluan, telah terpilih 10 galur
mutan harapan generasi M11 yaitu G1 hingga G10 dan perlu diuji daya hasilnya
untuk mengetahui potensi dari galur-galur yang diperoleh dan keragaan karakter
yang ada pada setiap galur tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi keragaan
karakter agronomis galur-galur mutan generasi M11 sorgum dan mengidentifikasi
galur yang memiliki potensi hasil biji dan biomasa yang lebih baik dari tetuanya.
Hipotesis
1.
2.
Terdapat perbedaan karakter agronomis diantara galur-galur mutan sorgum
yang diuji.
Terdapat beberapa galur mutan generasi M11 yang memiliki karakter
agronomi dan potensi hasil biji dan biomassa yang lebih baik dari tetuanya.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench]
Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika
Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO
2005), dan cantel di Jawa (Hoeman 2007). Sorgum termasuk dalam Divisi
3
Angiospermae, Kelas Monocotyledonae, Sub-kelas Liliopsida, Ordo Poales,
Famili Poaceae atau Graminae, dan Genus Sorghum (Tjitrosoepomo 2000).
Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum
dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum
propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al.
1970). Sorghum bicolor (L.) Moench merupakan spesies yang sangat populer dan
menjadi tanaman komersial di dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan,
pakan, dan bahan baku berbagai industri (House 1985).
Sorghum bicolor dibagi menjadi lima ras berdasarkan pada tipe spikelet
(bentuk bulir), yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Ras bicolor
memiliki karakteristik bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea
bentuk bulirnya bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum
bentuk bulirnya tidak simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan
durra bentuk bulirnya bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit
(House 1985).
Morfologi Sorgum
Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar-akar primer dan sekunder yang
panjangnya hampir dua kali panjang akar jagung pada tahap pertumbuhan yang
sama (Miller 1916) sehingga merupakan faktor utama penyebab toleransi sorgum
terhadap kekeringan (Thomas et al. 1976 dan Peacock 1979). Selain itu sorgum
juga memiliki akar udara atau akar tunjang. Akar primer muncul pertama kali
pada saat berkecambah, akar sekunder berkembang dari buku pertama, akar ini
berkembang menjadi sistem perkaran yang ektensif. Akar udara muncul kemudian
pada buku paling rendah dan biasanya akan berkembang banyak jika tanaman
tidak adaptif, akar ini tidak efektif dalam menyerap air dan nutrisi (House 1985).
Akar primer bersifat sementara, secara cepat akan digantikan oleh akar sekunder,
yaitu akar-akar adventif yang lebih permanen (Goldworthy dan Fisher 1992).
Menurut Dogget (1970), toleransi sorgum terhadap kekeringan disebabkan karena
pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah
kerusakan akar pada kondisi kekeringan. Sorgum juga efisen dalam penggunaan
air karena didukung oleh sistem perakaran sorgum yang halus dan letaknya agak
dalam sehingga mampu menyerap air dengan cukup intensif (Rismunandar 1989).
Batang tanaman sorgum tegak, lurus berbentuk silindris, beruas-ruas dan
berbuku-buku (Rismunandar 1989). Tanaman sorgum memiliki kurang lebih 7-12
buku dan ruas. Ruas paling panjang dan seragam berada di tengah batang dan ruas
paling pendek berada di dasar batang, tetapi ruas terminal yang berada dekat
pucuk yang menopang malai hampir selalu merupakan yang terpanjang. Pada
setiap buku menopang daun (Bennet et al. 1990). Batangnya padat, walaupun
bagian tengah dapat menjadi seperti bunga karang, dengan ruang-ruang dalam
empulur (Dogget 1970 dan Hultquist 1973). Bagian empulur ada yang manis atau
tawar, berair atau kering (House 1981).
Bentuk daun sorgum menyerupai daun jagung atau padi yang berbentuk pita.
Struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi
secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada buku
atau nodes. Panjang daun sorgum rata-rata satu meter dengan penyimpangan lebih
4
kurang 10-15 cm (House 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai
tergantung varietas (Martin 1970).
Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen
utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama
untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno 1995).
Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun
tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang
dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4
hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai daun
bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan inisiasi
malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting artinya
sebagai pintu transportasi fotosintat.
Bentuk malai sorgum bervariasi dari yang kompak sampai terbuka dengan
panjang malai berkisar 4-25 cm (House 1985). Malai terdiri atas banyak spikelet,
spikelet biasanya tumbuh sepasang, masing-masing tumbuh menjadi sesil dan
pedicle spikelet. Sesil spikelet mempunyai bunga lengkap disebut juga spikelet
fertil yang merupakan bunga sorgum, dan yang satunya lagi disebut pedicle
spikelet yang biasanya steril (Poehlman 1979). Sorgum biasanya berbunga pada
umur 55 hari dari berkecambah (House 1985). Proses pembungaan pada sorgum
diawali dengan penampakan malai sebagai suatu gembungan dalam pelepah daun
bendera (tahap bunting) yang berlangsung kira-kira 6-10 hari sebelum
pembungaan. Ukuran malai ditentukan oleh jumlah spikelet fertil yang sangat
dipengaruhi oleh ukuran tanaman dan laju penimbunaan bahan kering selama
tahapan pembentukan malai (Goldworthy dan Fisher 1992).
Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana pada
setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah.
Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masingmasing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan
dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka
waktu 10-15 hari (House 1985).
Pembungaan terjadi mulai pada pucuk malai kemudian bagian bawah malai.
Proses mekarnya bunga dalam satu malai memerlukan waktu enam sampai
sembilan hari. Umur berbunga yang cepat dipengaruhi oleh photoperiode yang
singkat dan temperatur yang tinggi (Poehlman dan Sleper 1996).
Biji sorgum tertutup oleh sekam, presentase penutupan biji sorgum oleh
sekam bervariasi yaitu 25% biji sorgum tertutup oleh sekam, 50% biji sorgum
tertutup oleh sekam, 75% biji sorgum tertutup oleh sekam, biji tertutup sempurna
oleh sekam, dan sekam lebih panjang daripada biji. Warna sekam pada saat masak
bervariasi di antaranya putih, kuning/coklat muda, coklat, merah, ungu, hitam,
abu-abu. Warna biji sorgum bervariasi putih, kuning, merah, coklat dan kuning
tua (IBPGR dan ICRISAT 1993). Biji sorgum membutuhkan waktu 30 hari untuk
mencapai bobot kering maksimum (masak fisiologi) (House 1985).
Kernel atau karyopsis sorgum disusun oleh tiga bagian penting yaitu perikarp,
endosperma dan embrio. Struktur dari kernel sorgum sangat bervariasi karena
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Epikarp merupakan bagian yang
memiliki porsi yang paling besar, lapisan ini mengandung lilin dan kadang
pigmen. Lapisan kernel sorgum yang mengandung pigmen yang tinggi disebut
testa (Rooney dan Sullines 1977). Perikarp dan testa bersatu memiliki warna yang
5
berbeda-beda coklat, merah dan coklat keungu-unguan (Goldworthy dan Fisher
1992). Zat tanin terdapat pada testa yang berwarna coklat dan bagian perikap.
Mesokarp merupakan jaringan kedua setelah epikarp, jaringan ini mengandung
butiran-butiran tepung. Endosperma merupakan jaringan cadangan makanan. Sel
aleuron pada endosperma berperan penting dalam proses autolisis dan mobilisasi
komponen pada bagian kernel selama berkecambah (Rooney dan Sullins 1977).
Kandungan Gizi
Pati merupakan bentuk simpanan karbohidrat utama di dalam sorgum yang
terdiri atas amilosa (20 - 30%) yaitu polimer glukosa rantai lurus (tanpa cabang)
dan amilopektin (70 - 80%), yaitu polimer glukosa yang memiliki cabang, kadar
ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kandungan karbohidrat dalam
100 g sorgum sekitar 70.7 g lebih rendah dibandingkan beras dan jagung yang
mencapai 76 g dan 73 g per 100 g. Protein merupakan komponen ke-dua terbesar
pada sorgum sekitar 10.4 g per 100 g lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung
masing-masing 7.9 g dan 9.2 g per 100 g. Kandungan zat besi sorgum paling
tinggi dibandingkan serealia lain sebesar 5.4 mg per 100 g sedangkan beras dan
jagung masing-masing 1.8 mg dan 2.7 mg sehingga sorgum sangat cocok
dikonsumsi oleh penderita anemia gizi besi yang merupakan salah satu defisiensi
zat gizi (Susila 2005).
Pemanfaatan Sorgum
Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas, gula, nira,
alkohol, monosodium glutamate, bahan baku pakan ternak dan bahan baku etanol
(DEPTAN 2011). Pemanfaatan yang paling utama adalah sebagai bahan pangan,
pakan, dan industri.
Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan sampai saat ini masih rendah. Hal
ini disebabkan adanya kandungan tanin yang tinggi pada sorgum yaitu sekitar
0.4% - 3.6% sehingga hasil olahannya kurang enak (Sirappa 2003). Kandungan
tanin menyebabkan rasa sepat ketika dimakan. Namun kandungan tanin yang
tinggi juga memberikan keuntungan secara teknik budidaya karena dapat
mencegah malai dimakan oleh burung dan dapat mencegah serangan jamur dan
bakteri sehingga mencegah pembusukan (Noville 1977; Lemmens dan Soetjipto
1992).
Selain sumber diversifikasi pangan, biji dan limbah sorgum juga banyak
digunakan sebagai pakan ternak. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan
ternak bersifat suplemen (subtitusi) terhadap jagung, karena nilai nutrisinya tidak
berbeda dengan jagung. Tanaman sorgum juga memiliki kelebihan dapat dipanen
2-3 kali dalam sekali tanam. Menurut Sirappa (2003), sorgum merupakan tanaman
penghasil pakan hijauan sekitar 15-20 ton/ha/th dan pada kondisi optimum dapat
mencapai 30-45 ton/ha/th dalam bentuk bahan segar.
Sorgum juga dapat diolah menjadi bioetanol yang merupakan energi alternatif.
Sorgum manis menghasilkan gula terlarut berkonsentrasi tinggi dalam nira batang
yang potensial untuk dijadikan bahan baku etanol. Keunggulan sorgum manis
sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan beberapa negara seperti Amerika
6
Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina memberikan perhatian yang tinggi
dan telah mengembangkannya dalam skala industri (Grassi 2001).
METODE
Bahan dan Alat
Bahan tanam yang digunakan adalah tiga galur mutan sorgum G5, G6, dan
G7, serta tiga varietas sorgum untuk tanaman kontrol yaitu sorgum varietas
PAHAT, Kawali, dan Mandau. Galur mutan merupakan hasil perlakuan benih
sorgum varietas PAHAT yang diradiasi sinar gamma bersumber Cobalt-60
dengan dosis 300 Gy dan laju dosis pada saat radiasi 725 Gy/jam. Pupuk yang
digunakan adalah urea (45% N), SP-36 (36% P2O5), dan KCl (50% K2O), dengan
dosis masing-masing 150 kg ha-1, 100 kg ha-1, dan 90 kg ha-1. Pengendalian hama
dan penyakit digunakan pestisida Furadan 3G. Alat yang digunakan berupa
peralatan budidaya tanaman, timbangan analitik, label, tali, jangka sorong,
meteran, sungkup, gunting pangkas, dan refraktometer. Refraktometer merupakan
alat yang digunakan untuk mengukur kadar/konsentrasi bahan terlarut berdasarkan
indeks biasnya. Dalam penelitian ini refraktometer digunakan untuk mengukur
kadar/konsentrasi bahan terlarut yaitu gula pada batang sorgum.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lapangan Percobaan Kaum Pandak, Balai
Penelitian Ternak, Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor
pada bulan Desember hingga April 2014.
Prosedur Pecobaan
Setiap satuan percobaan memiliki ukuran 4 m x 5 m. Jarak tanam yang
digunakan adalah 70 cm x 15 cm. Pembuatan lubang tanam secara tugal dengan 35 benih/lubang tanam. Tiap lubang tanam juga diberikan karbofuran 3G sebanyak
3-5 butir/lubang. Satu minggu setelah tanam, dilakukan penyulaman. Penjarangan
dilakukan saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam, disisakan satu tanaman
setiap lubang.
Pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali. Jarak waktu pengolahan tanah
pertama dengan pengolahan tanah kedua, satu minggu. Penanaman dilakukan satu
minggu setelah pengolahan tanah kedua. Pupuk yang digunakan adalah Urea (150
kg/ha), SP-36 (100 kg/ha), dan KCl (90 kg/ha). Pengaplikasian pupuk urea
dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian saat
tanaman berumur 30 hari setelah tanam atau setelah selesai penjarangan.
Pengaplikasian pupuk SP-36 dan KCl dilakukan pada saat tanam seluruhnya.
Pemberian pupuk di lahan dengan cara alur dengan jarak ± 20 cm dari lubang
tanam.
7
Pemeliharaan tanaman meliputi pengendalian gulma, pengendalian hama dan
penyakit. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cangkul dan kored
pada umur 14 HST. Pengendalian gulma kedua dilakukan bersamaan dengan
kegiatan pembumbunan pada umur 45 HST. Pengendalian hama dan penyakit
dilakukan apabila intensitas serangan pada pertanaman cukup tinggi.
Pengendalian preventif dilakukan dengan pemberian furadan 3G pada saat tanam.
Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 100-105 hari atau 80%
tanaman dalam petak telah masak. Pemanenan berdasarkan kriteria panen yaitu
biji telah masak optimal yang dapat diketahui dengan cara digigit, apabila terasa
keras dan terasa tepungnya, maka sorgum dianggap telah cukup tua.
Pengamatan dilakukan terhadap sepuluh tanaman contoh tiap satuan
percobaan. Tanaman contoh ditentukan dengan metode acak sederhana, tanaman
pinggir tidak diambil sebagai tanaman contoh. Peubah yang diamati meliputi :
1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah hingga ujung malai utama.
2. Diameter batang, diukur menggunakan jangka sorong pada ruas kedua.
3. Jumlah daun
4. Jumlah ruas, diukur dari ruas pertama dekat dengan permukaan tanah hingga
ruas terakhir.
5. Panjang ruas batang kedua, diukur jarak antara dua buku dengan
menggunakan mistar.
6. Umur berbunga dari masing-masing plot, ditentukan pada saat tanaman telah
berbunga 50% dalam satu plot.
7. Umur panen dari masing-masing plot, ditentukan pada saat tanaman telah
masak 80% dalam satu plot.
8. Bobot biomasa, diukur dengan menimbang brangkasan 10 tanaman contoh.
9. Kadar nira, diukur dengan refraktometer, pengukuran dengan cara mengambil
perasan batang sorgum.
10. Panjang malai, diukur dari leher malai hingga ujung malai dengan
menggunakan mistar.
11. Bobot malai kering, diukur setelah malai dijemur selama 3 hari.
12. Bobot biji/malai, diukur dengan menimbang seluruh biji dalam satu malai
setelah biji dirontokkan.
13. Indeks panen, diukur dengan membagi bobot biji/malai dengan bobot
biomasa tanaman.
14. Bobot 1000 biji, diukur bobot 1000 biji setelah biji dikeringkan.
Analisis Data
Terdapat 3 perlakuan galur sorgum yang akan diberikan, yaitu G5, G6, dan
G7. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap
Teracak dengan satu faktor yaitu galur sorgum dengan tiga ulangan. Model linier
aditifnya adalah :
Yij = μ + τi + βj + εij ( i=1, 2, 3, 4, 5, 6 dan j= 1, 2, 3 )
Keterangan :
Yij
= Pengamatan pada perlakuan galur sorgum ke-i dan kelompok
ke-j
8
μ
τi
βj
εij
= Rataan umum
= Pengaruh perlakuan galur sorgum ke-i
= Pengaruh kelompok ke-j
= Pengaruh galat perlakuan terhadap galur sorgum ke-i dan kelompok ke-j
Data diolah dengan menggunakan uji-F. Uji lanjut setelah analisis ragam
menggunakan uji DMRT pada taraf α = 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lapangan Percobaan Kaum Pandak, Desa Pasir
Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Lahan percobaan yang dipakai
kondisinya tidak rata (Gambar 1.a). Penelitian dilaksanakan pada saat musim
hujan, yaitu dari bulan Desember 2013 hingga April 2014. Curah hujan dari bulan
Desember 2013 hingga April 2014 berturut-turut sebesar 405, 714, 420, 343, dan
250 mm (Lampiran 4). Dengan kondisi lahan yang tidak rata dan curah hujan
yang tinggi selama penelitian menyebabkan terjadinya erosi pada lahan penelitian.
Hal ini diperparah dengan arah barisan tanaman yang searah dengan arah
kemiringan lahan, sehingga tidak ada penghambatan aliran permukaan oleh
tanaman. Hal tersebut dapat menyebabkan tanah kehilangan unsur hara yang
diperlukan tanaman sehingga kualitas tanaman menurun. Selain itu, tanah pada
lahan tersebut diduga bersifat masam. Tanah masam menjadi faktor pembatas
produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang komplek, seperti
toksisitas aluminium, besi, dan mangan, serta defisiensi fosfor, kalsium, dan
magnesium (Kochian 1995 dan Akhter et al. 2009). Aluminium dapat menjadi
racun bagi tanaman karena aktivitasnya menghambat pertumbuhan akar
(Marschner 1995; Ma 2000; Kochian et al. 2004). Terhambatnya pertumbuhan
akar tersebut menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak
berkembang yang menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap
unsur hara dan air (Kochian et al 2004; Ma et al 2005). Kondisi ini menyebabkan
tanaman tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun. Gambar 1.b menunjukkan
tanaman sorgum yang terhambat pertumbuhannya.
9
a
b
Gambar 1 Kondisi lahan dan pertanaman sorgum umur 12 MST (a) kondisi lahan
percobaan yang miring, (b) kondisi pertanaman sorgum pada umur 12 MST
Periode awal pertumbuhan, yaitu pada saat fase perkecambahan, semua galur
dan kontrol yang ditanam mampu berkecambah dan tidak ada galur maupun
kontrol yang gagal berkecambah. Memasuki fase vegetatif hingga generatif
tanaman menunjukkan adanya gangguan yang menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat. Gangguan tersebut terutama disebabkan oleh adanya
defisiensi hara karena kondisi lahan yang tidak rata. Tanaman yang mengalami
defisiensi hara menunjukkan gejala klorosis, yaitu daun yang berwarna kuning
(Gambar 2.a) serta tanaman kerdil (Gambar 2.b). Serangan hama burung terjadi
pada saat tanaman memasuki fase pengisian biji. Hanya sorgum varietas Mandau
saja yang tidak terkena serangan burung, hal ini diduga karena kandungan biji
pada sorgum Varietas Mandau banyak mengandung tanin yang dicirikan oleh
warna biji yang berwarna coklat. Kandungan tanin pada biji menyebabkan rasa
sepat dan pahit sehingga burung tidak suka.
a
b
Gambar 2 Gejala pertumbuhan abnormal tanaman sorgum (a) Tanaman
mengalami klorosis, (b) tanaman menunjukkan gejala kerdil pada umur 12
MST
10
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Sorgum
Pertumbuhan tanaman ditunjukkan oleh pertambahan ukuran dan berat kering
yang tidak dapat balik. Pertambahan ukuran dan berat kering dari suatu organisme
mencerminkan bertambahnya protoplasma, yang mungkin terjadi karena baik
ukuran sel maupun jumlahnya bertambah. Fase pertumbuhan vegetatif tanaman
terutama terjadi pada perkembangan akar, daun, dan batang (Harjadi 1979).
Pengukuran laju pertumbuhan sorgum pada penelitian ini dilakukan dengan
mengamati pertambahan tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun.
Pengukuran laju pertumbuhan dilakukan pada saat tanaman berumur 3 hingga 9
MST.
Tinggi tanaman
Pertumbuhan tinggi tanaman sorgum dapat dilihat pada Tabel 1. Pertumbuhan
tinggi tanaman galur G5, G6, dan G7 lebih baik dibandingkan dengan induknya,
yaitu varietas PAHAT, lebih rendah dibandingkan dengan varietas Kawali, dan
pertumbuhan hampir sama jika dibandingkan dengan varietas Mandau. Namun
menurut uji F perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman tersebut tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Tabel 1 Tinggi tanaman sorgum pada umur 3 hingga 9 MST (satuan dalam cm)
Umur
Tanaman
(MST)
tn
3
4tn
5tn
6tn
7tn
8tn
9tn
Galur Tanaman
G5
G6
G7
38.69
49.15
61.66
77.49
82.75
99.37
111.22
36.70
46.97
59.59
73.08
77.44
96.30
108.46
39.07
50.49
63.47
77.51
84.28
102.32
116.58
PAHAT
30.72
39.38
49.64
59.47
63.27
74.41
77.96
KAWALI
MANDAU
37.61
49.78
65.32
84.25
93.93
114.55
127.65
40.26
50.91
64.91
75.72
80.31
97.56
102.91
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak
berbeda nyata
Tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan dan merupakan
hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan (Taiz dan Zeiger 2002).
Karakter tinggi tanaman sangat penting dalam karakterisasi untuk pembentukan
suatu varietas dalam program pemuliaan tanaman dan karakter tersebut mudah
diturunkan, dapat dengan mudah dilihat oleh mata, dan dapat terekspresi pada
seluruh lingkungan (KNPN 2004).
Jumlah daun
Pertumbuhan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil uji F
menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah daun berbeda nyata pada umur 3
hingga 4 MST dan tidak berbeda nyata pada umur 5 hingga 9 MST. Rata-rata
jumlah daun yang tumbuh pada saat tanaman berumur 3 MST yaitu pada rentang
2.93-3.67 helai. Rata-rata jumlah daun tertinggi yaitu pada galur G5 sebanyak
3.67 helai. Pada umur 4 MST, jumlah daun galur mutan G5 tidak berbeda nyata
11
dengan varietas Kawali namun berbeda nyata dengan varietas PAHAT dan
Mandau.
Pertambahan jumlah daun pada galur G5 setiap minggunya secara berturutturut yaitu sebanyak 0.8, 0.06, 0.57, 0.2, 0.9, dan 1 helai; galur G6 sebanyak 0.6,
0.44, 0.4, 0, 0.73, dan 0.77 helai; galur G7 sebanyak 0.5, 0.5, 0.2, 0.13, 0.8, dan
1.4 helai; varietas PAHAT sebanyak 0.2, 0.27, 0.37, 0.2, 0.46, dan 1.57 helai;
varietas Kawali sebanyak 0.73, 0.53, 0.57, 0.43, 0.87, dan 0.43 helai; varietas
Mandau sebanyak 0.5, 0.53, 0, 0.34, 1, dan 0.76 helai.
Apabila dilihat dari rata-rata pertambahan jumlah daun setiap minggunya
dapat dilihat bahwa pertambahan jumlah daun tidak lebih dari 2 helai setiap
minggu. Padahal menurut hasil penelitian Bullard dan York (1985) menyebutkan
bahwa setiap penambahan 1 helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4 hari. Hal
ini disebabkan karena beberapa daun yang telah tumbuh telah kering dan beberapa
ada yang patah, selain itu kondisi lahan yang tidak rata menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat karena kondisi top soil tanah yang terkikis serta
pupuk yang diberikan banyak yang terbawa air hujan melalui run off sehingga
tanaman kekurangan hara.
Galur G5 memiliki rata-rata jumlah daun terbanyak pada saat tanaman
memasuki fase vegetatif akhir yaitu saat berumur 9 MST yaitu sebanyak 7.20
helai, diikuti oleh varietas Kawali sebanyak 6.73 helai, Galur G7 sebanyak 6.7
helai, varietas PAHAT sebanyak 6.20 helai, varietas Mandau 6.23 helai, dan yang
terendah dimiliki oleh galur G6 yaitu 5.87 helai.
Tabel 2 Jumlah daun tanaman sorgum pada umur 3 hingga 9 MST
Umur
Tanaman
(MST)
3*
4*
5tn
6tn
7tn
8tn
9tn
Galur Tanaman
G5
G6
a
3.67
4.47a
4.53
5.10
5.30
6.20
7.20
G7
b
2.93
3.53b
3.97
4.37
4.37
5.10
5.87
PAHAT
b
3.17
3.67b
4.17
4.37
4.50
5.30
6.70
KAWALI
b
3.13
3.33b
3.60
3.97
4.17
4.63
6.20
b
3.17
3.90ab
4.43
5.00
5.43
6.30
6.73
MANDAU
3.10b
3.60b
4.13
4.13
4.47
5.47
6.23
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak
berbeda nyata
Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen
utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama
untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno 1995).
Diameter batang
Pengukuran pertumbuhan diameter batang menunjukkan bahwa varietas
Kawali memiliki pertumbuhan diameter yang paling tinggi apabila dibandingkan
dengan semua galur dan varietas yang ditanam. Varietas Kawali memiliki
diameter batang paling besar pada saat tanaman berumur 3 hingga 9 MST (Tabel
3). Namun menurut hasil uji F menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
nyata diantara galur-galur mutan yang diuji untuk pertumbuhan diameter batang
dari umur 3 hingga 9 MST.
12
Pertumbuhan diameter batang secara berturut-turut dari umur 3 hingga 9
MST untuk galur G5 adalah 0.083, 0.120, 0.177, 0.110, 0.176, dan 0.0.037 cm.
Galur G6 pertumbuhan diameter batangnya secara berturut-turut adalah 0.084,
0.126, 0.140, 0.084, 0.200, dan 0.003 cm. Galur G7 pertumbuhan diameter
batangnya secara berturut-turut adalah 0.080, 0.120, 0.130, 0.130, 0.196, dan
0.010 cm. Varietas PAHAT pertumbuhan diameter batangnya secara berturutturut adalah 0.050, 0.110, 0.110, 0.093, 0.250, dan 0.047 cm. Varietas Kawali
pertumbuhan diameter batangnya secara berturut-turut adalah 0.093, 0.174, 0.193,
0.177, 0.206, dan 0.054 cm. Varietas Mandau pertumbuhan diameter batangnya
secara berturut-turut adalah 0.077, 0.123, 0.120, 0.100, 0.277, dan 0.037 cm.
Apabila dilihat dari pertambahan diameter batang setiap minggunya, pertambahan
diameter paling tinggi terdapat pada 7 MST ke 8 MST.
Tabel 3 Diameter batang sorgum pada umur 3 MST hingga 9 MST (satuan dalam
cm)
Umur Tanaman
(MST)
3tn
4tn
5tn
6tn
7tn
8tn
9tn
G5
0.387
0.470
0.590
0.767
0.877
1.053
1.090
G6
0.363
0.447
0.573
0.713
0.797
0.997
1.000
Galur Tanaman
PAHAT KAWALI
G7
0.327
0.310
0.400
0.407
0.360
0.493
0.527
0.470
0.667
0.657
0.580
0.860
0.787
0.673
1.037
0.983
0.923
1.243
0.993
0.970
1.297
MANDAU
0.293
0.370
0.493
0.613
0.713
0.990
1.027
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak
berbeda nyata
Batang merupakan organ tanaman yang dapat melakukan fotosintesis dan
dapat berfungsi sebagai tempat akumulasi cadangan makanan (Brown 1988).
Pengukuran diameter batang sorgum bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan
tanaman sorgum sebagai hasi dari akumulasi fotosintat pada batang. Pengukuran
pertumbuhan diameter batang diamati pada saat tanaman berumur 3 hingga 9
MST. Diameter batang diukur pada ruas ke-dua.
Keragaan Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum dan Varietas
Pembanding PAHAT, Kawali, dan Mandau
Pengamatan terhadap keragaan karakter agronomi merupakan salah satu cara
untuk mengukur pertumbuhan tanaman. Karakter agronomi yang diamati pada
penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ruas, diameter batang,
panjang ruas kedua, bobot biomasa tanaman, kadar nira, umur berbunga 50%, dan
umur panen 80%. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung
malai utama. Jumlah daun dihitung pada saat vegetatif maksimum. Jumlah ruas
batang per tanaman dihitung dari ruas pertama dekat dengan permukaan tanah
hingga ruas terakhir dekat malai. Diameter batang diukur pada ruas ke-dua
menggunakan jangka sorong. Panjang ruas ke-dua diukur panjang diantara dua
buku, yaitu buku ke-dua dan ke-tiga menggunakan mistar. Bobot biomasa
tanaman diukur bobot seluruh bagian tanaman kecuali akar dalam keadaan segar.
13
Kadar nira diukur dengan cara mengambil beberapa tetes perasan batang sorgum
dan kemudian diukur kadar gulanya menggunakan refraktometer. Umur berbunga
50% ditentukan pada saat tanaman telah berbunga 50% dalam satu petak. Umur
panen 80% ditentukan pada saat tanaman telah masak 80% dalam satu petak.
Hasil analisis ragam yang ditunjukkan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa
semua karakter agronomi yang diuji tidak berbeda nyata menurut uji F kecuali
karakter panjang ruas.
Tabel 4 Keragaan karakter agronomi galur mutan sorgum dan varietas pembanding.
Peubah
Tinggi Tanaman
(cm)tn
Jumlah Daun
(helai)tn
Jumlah Ruastn
Diameter (cm)tn
Panjang Ruas*
Bobot Biomassa
Tanaman (g)tn
Kadar Nira (°Brix)tn
Panjang Malai (cm)tn
Bobot Malai Kering
(g)tn
Bobot Biji/Malai
(g)tn
Bobot 1000 Butir
(g)tn
Umur berbunga 50%
(HST)tn
Umur panen 80%
(HST)tn
G5
124.47
G6
G7
126.50 146.51
PAHAT Kawali Mandau
86.05
141.57
115.49
5.97
5.23
5.27
4.97
5.47
5.57
7.37
1.183
9.47ab
6.37
1.080
9.23ab
6.80
1.140
9.82a
6.17
1.120
6.59bc
6.97
1.387
9.60ab
6.67
1.187
5.73c
208.09
122.75 139.90
68.45
123.82
80.67
11.220
22.433
9.020 8.530
19.463 25.207
10.710
24.650
9.627
23.983
14.350
22.783
30.15
20.43
32.51
23.04
35.98
30.53
27.22
17.63
29.25
20.47
28.95
25.30
32.33
26.33
24.00
33.00
23.67
30.00
81.0
87.3
84.0
81.0
78.0
82.0
114.7
125.3
118.3
115.0
112.0
116.3
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak berbeda nyata;
Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% dalam
baris yang sama.
Tinggi tanaman
Karakter tinggi tanaman sangat penting dalam karakterisasi untuk
pembentukan suatu varietas dalam program pemuliaan tanaman dan karakter
tersebut mudah diturunkan, dapat dengan mudah dilihat oleh mata, dan dapat
terekspresi pada seluruh lingkungan (KNPN 2004).
Hasil analisis ragam untuk karakter tinggi tanaman menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata diantara galur-galur yang diuji. Nilai tengah karakter tinggi
tanaman untuk galur G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar 124.47, 126.50, dan
146.51 cm sedangkan untuk varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau masingmasing sebesar 86.05, 141.57, dan 115.49 cm (Tabel 4). Tinggi tanaman sorgum
varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau menurut deskripsi varietas yaitu masingmasing sebesar 158 cm (Hoeman 2012), 135 cm dan 153 cm (Lampiran 1 dan 2).
14
Sorgum varietas PAHAT dan Mandau yang digunakan pada percobaan ini
memiliki tinggi tanaman lebih rendah daripada deskripsi varietasnya, sedangkan
untuk Kawali lebih tinggi dari deskripsi varietasnya.
Tinggi tanaman yang dikehendaki pada penelitian ini adalah tanaman yang
tidak terlalu tinggi. Ciri varietas unggul dalam pemuliaan tanaman sorgum
bukanlah tanaman yang tinggi melainkan tanaman yang memiliki tinggi tanaman
berkisar 100-140 cm (Roesmarkan et al 1985). Tanaman yang terlalu tinggi juga
berpotensi mengalami rebah karena angin.
Jumlah daun
Daun merupakan organ tanaman yang dapat melakukan fotosintesis yang
kemudian akan menghasilkan fotosintat sebagai sumber energi (Wahid et al.
1996). Hasil analisis ragam untuk karakter jumlah daun tidak berbeda nyata
diantara galur-galur yang diuji. Jumlah daun untuk galur G5, G6, dan G7 masingmasing sebanyak 5.97, 5.23, dan 5.27 helai, sedangkan varietas pembanding yaitu
PAHAT, Kawali, dan Mandau masing-masing jumlah daunnya sebanyak 4.97,
5.47, dan 5.57 helai (Tabel 4). Berdasarkan deskripsi varietasnya, sorgum varietas
PAHAT, Kawali dan Mandau jumlah daunnya sebanyak 10 helai, 13 helai dan 1012 helai (Lampiran 1,2, dan 3). Gardner et al. (1991) menyebutkan bahwa jumlah
daun sorgum berkisar antara 7-14 helai.
Jumlah daun yang sedikit diantara galur-galur sorgum yang diuji diduga
diakibatkan oleh adanya cekaman abiotik berupa lahan yang tidak rata dan bersifat
masam. Lahan yang kondisinya tidak rata rentan mengalami erosi yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas tanah dan tanah akan
kehilangan unsur hara yang diperlukan tanaman sehingga berpengaruh terhadap
kualitas tanaman. Perkembangan daun yang sempurna dan normal dipengaruhi
oleh faktor lingkungan meliputi temperatur, suplai air, kandungan mineral, dan
cahaya (Nelson dan Larson 1988).
Jumlah ruas
Tabel 4 menunjukkan bahwa galur mutan sorgum tidak berpengaruh nyata
terhadap keragaan jumlah ruas. Jumlah ruas untuk galur G5, G6, dan G7 masingmasing sebanyak 7.37, 6.37, dan 6.80 buah, tidak lebih baik dari pembanding
induk yaitu PAHAT, pembanding kontrol nasional Kawali, dan kontrol sorgum
manis Mandau yang masing-masing jumlah ruasnya sebanyak 6.17, 6.97, dan 6.67
buah. Karakter jumlah ruas berhubungan dengan banyaknya buku yang menyusun
pada batang, semakin banyak ruas akan semakin banyak pula buku pada
batangnya sehingga akan berpengaruh terhadap produksi niranya. Ruas pada
batang tanaman sorgum merupakan sumber nira yang dapat dijadikan sebagai
bahan baku bioetanol sehingga pengukuran jumlah ruas menjadi penting.
Diameter batang
Keragaan karakter diameter batang diantara galur-galur yang diuji
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata berdasarkan uji F. Diameter batang
tiga galur mutan sorgum G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar 1.183, 1.080,
dan 1.140 cm, tidak lebih baik dari tiga pembanding yaitu PAHAT, Kawali, dan
Mandau (Tabel 4). Diameter batang yang kecil cenderung mudah rebah dan dapat
menyebabkan berkurangnya hasil (Okiyo et al. 2010).
15
Batang merupakan organ tanaman tempat berlangsungnya fotosintesis dan
akumulasi cadangan makanan (Brown, 1988). Diameter batang dapat
mengindikasikan besar kecilnya akumulasi hasil fotosintesis sebagai cadangan
makanan dalam pembentukan biji, diameter batang besar menunjukkan akumulasi
hasil fotosintesis yang besar, begitu juga sebaliknya (Goldsworthy and Fisher,
1992).
Panjang ruas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa karakter panjang ruas berbeda
nyata pada taraf α=5%. Galur G7 nyata berbeda lebih tinggi dibandingkan dengan
induknya, yaitu varietas PAHAT. Panjang ruas untuk galur G7 sebesar 9.82 cm,
sedangkan varietas PAHAT panjang ruasnya sebesar 6.7 cm (Tabel 4). Rata-rata
panjang ruas untuk galur G5 dan G6 sebesar 9.467 dan 9.230 cm, tidak berbeda
nyata dengan varietas PAHAT. Galur G5, G6, dan G7 juga tidak berbeda nyata
dengan varietas Kawali yang rata-rata panjang ruasnya sebesar 9.6 cm, namun tiga
galur tersebut nyata berbeda lebih tinggi apabila dibandingkan dengan varietas
Mandau yang rata-rata panjang ruasnya sebesar 5.733 cm. Panjang ruas juga
merupakan faktor penting tanaman sorgum dalam menghasilkan nira pada
batangnya, semakin tinggi panjang ruas, semakin tinggi ruang untuk akumulasi
nira sehingga semakin tinggi pula produksi nira yang dihasilkan.
Bobot biomasa tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa karakter bobot biomasa diantara
galur-galur yang diuji tidak berbeda nyata. Bobot biomassa untuk galur G5, G6,
dan G7 masing-masing sebesar 208.09, 122.75, dan 139.90 g, tidak lebih baik dari
tiga varietas pembanding yaitu PAHAT, Kawali, dan Mandau yang bobot
biomasanya masing-masing sebesar 68.45, 123.82, dan 80.67 g. Bobot biomasa
yang rendah diduga diakibatkan oleh adanya cekaman abiotik berupa lahan yang
tidak rata dan sifat tanah yang diduga bersifat masam sehingga pertumbuhan
sorgum menjadi terhambat dan kerdil sehingga menghasilkan bobot biomasa yang
rendah.
Bobot biomasa merupakan karakter yang mencerminkan akumulasi
pertumbuhan pada tanaman. Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar
matahari dan mengakumulasikan produk fotosintesis dengan cepat akan ditandai
dengan bobot biomassa tinggi, sehingga sering digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno 1995). Bobot biomasa pada
penelitian ini diperoleh dengan menimbang bobot segar seluruh bagian tanaman
kecuali akar.
Kadar nira
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa peubah kadar nira tidak berbeda
nyata. Kadar nira untuk galur G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar
11.220 °Brix, 9.020 °Brix, dan 8.530 °Brix, tidak lebih baik dari kontrol sorgum
manis yaitu varietas Mandau yang kadar niranya sebesar 14.350 °Brix.
Produktivitas bioetanol dengan sumber nira batang sorgum manis sangat
ditentukan oleh kandungan gula total pada nira batangnya (total sugar = TS),
bobot batang, dan produksi nira (stem juice). Gula terlarut (total sugar) pada
batang sorgum manis yang umum diukur dan sangat menentukan produktivitas
bioetanol adalah glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Kandungan total sugar pada
16
batang sorgum manis bervariasi dan tergantung pada varietas, umur panen, dan
posisi buku atau internode (Perkins 2006).
Galur mutan G5 berpotensi untuk dikembangkan sebagai sorgum dengan
hasil bioetanol yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari karakter kadar gula nira yang
tidak berbeda nyata dengan sorgum varietas Mandau yang merupakan kontrol
sorgum manis. Selain itu karakter bobot biomasa tinggi yang dimiliki oleh galur
mutan G5 juga merupakan keunggulan yang penting yang perlu dilihat dalam
menghasilkan produksi nira yang tinggi. Semakin tinggi bobot biomasa yang
dimiliki oleh tanaman maka akan semakin tinggi pula bobot batang yang
dihasilkan oleh tanaman tersebut, sehingga produksi nira akan semakin tinggi pula
karena sumber nira yang dihasilkan oleh sorgum berasal dari batangnya.
Umur berbunga
Umur berbunga ditentukan ketika 50% populasi tanaman dalam satu petak
telah berbunga. Berdasarkan uji F, karakter umur berbunga 50% tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata diantara galur-galur yang diuji (Tabel 4).
Umur berbunga 50% galur mutan yang diuji berkisar antara 81.0-87.3 HST,
sedangkan pembanding induk, Kawali, dan Mandau umur berbunganya masingmasing 81.0, 78.0, dan 82.0 HST.
Umur berbunga 50% untuk varietas PAHAT, Kawali dan Mandau lebih lama
jika dibandingkan dengan deskripsi varietasnya. Berdasarkan deskripsi
varietasnya, umur berbunga 50% untuk varietas PAHAT, Kawali dan Mandau
masing-masing 58-71, 70, dan 65 HST (Lampiran 1, 2, dan 3). Flores et al. (1991)
menyatakan bahwa sorgum yang mengalami cekaman abiotik berupa kandungan
Al tinggi pada tanah mengalami penundaan waktu berbunga.
Berdasarkan Laporan Akhir Tahunan Pelestarian Plasma Nutfah Tanaman
Pangan 1999/2000 dalam Yusro (2001) umur berbunga dapat diklasifikasikan
menjadi 3, yaitu umur berbunga berumur sedang (61-70 HST), berumur dalam
(71-80 HST), dan sangat dalam (> 85 HST). Berdasarkan klasifikasi tersebut,
semua galur mutan yang diuji termasuk tanaman yang berumur sangat dalam.
Umur panen
Karakter umur panen ditentukan pada saat tanaman telah masak 80% dalam
satu plot. Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
diantara galur-galur yang diuji untuk karakter umur panen. Umur panen galur G5,
G6, dan G7 masing-masing sebesar 114.7, 125.7, dan 118.3 HST dan untuk
varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau umur panennya masing-masing 115, 112,
116.3 (Tabel 4).
Umur panen 80% untuk varietas PAHAT, Kawali dan Mandau lebih lama
jika dibandingkan dengan deskripsi varietasnya. Berdasarkan deskripsi
varietasnya, umur panen 80% untuk varietas PAHAT, Kawali dan Mandau
masing-masing 88-101, 100-110, dan 91 HST (Lampiran 1, 2, dan 3). Flores et al.
(1991) menyatakan bahwa sorgum yang mengalami cekaman abiotik berupa
kandungan Al tinggi pada tanah mengalami penundaan waktu berbunga.
Penundaan waktu berbunga ini juga akan berpengaruh terhadap penundaan waktu
panen.
Berdasarkan Laporan Akhir Tahunan Pelestarian Plasma Nutfah Tanaman
Pangan 1999/2000 dalam Yusro (2001) umur panen dapat diklasifikasikan
17
menjadi 3, yaitu umur panen sedang (91-100 HST), berumur dalam (101-110
HST), dan sangat dalam (> 110 HST). Berdasarkan klasifikasi tersebut semua
galur dan kontrol yang diuji memiliki umur panen sangat dalam (Tabel 4).
Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Galur Mutan Sorgum dan Varietas
Pembanding PAHAT, Kawali, dan Mandau
Komponen hasil dan hasil yang diamati yaitu panjang malai, bobot malai
kering, bobot 1000 biji, bobot biji/malai, dan indeks panen. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata untuk semua karakter
komponen hasil dan hasil yang diamati.
Tabel 5 Keragaan komponen hasil dan hasil galur-galur mutan sorgum dan
varietas pembanding.
Peubah
Panjang Malai
(cm)tn
Bobot Malai
Kering (g)tn
Bobot Biji/Malai
(g)tn
Bobot 1000 Butir
(g)tn
Indeks Panen
G5
G6
G7
PAHAT
Kawali
Mandau
22.43
19.46
25.21
24.65
23.98
22.78
30.15
20.43
32.51
23.04
35.98
30.53
27.22
17.63
29.25
20.47
28.95
25.30
32.33
26.33
24.00
33.00
23.67
30.00
0.20
0.16
0.21
0.28
0.22
0.30
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak berbeda nyata;
Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% dalam
baris yang sama.
Panjang malai
Hasil analisis ragam menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata diantara
galur-galur yang diuji untuk karakter panjang malai. Panjang malai untuk galur
G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar 22.43, 19.46, dan 25.21 cm sedangkan
untuk varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau masing-masing sebesar 24.65, 23.98,
dan 22.78 cm (Tabel 5).
Karakter panjang malai dari tiga galur mutan yang diuji tidak berbeda nyata
dengan varietas Kawali yang merupakan kontrol sorgum nasional dengan hasil
biji yang tinggi, sehingga galur-galur mutan tersebut berpotensi untuk
dikembangkan sebagai galur sorgum yang memiliki produktivitas tinggi. Karakter
panjang malai sorgum varietas PAHAT dan Kawali yang didapat pada penelitian
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan deskripsi varietasnya yaitu masingmasing sebesar 28-29 dan 30.41-34.32 cm (Lampiran 1 dan 3). Sedangkan untuk
varietas Mandau karakter panjang malainya hampir sama dengan deskripsi
varietasnya yaitu sebesar 23 cm (Lampiran 2).
Panjang malai merupakan komponen penting pada sorgum karena tempat biji
sorgum tumbuh dan berkembang terletak pada malainya. Semakin panjang malai,
maka ruang untuk biji tumbuh dan berkembang akan semakin banyak sehingga
semakin meningkat pula bobot biji/malainya.
18
Bobot malai kering
Bobot malai kering diukur pada saat malai telah dijemur selama tiga hari.
Berdasarkan hasil analisis ragam, tidak ada perbedaan yang nyata diantara galurgalur yang diuji untuk karakter bobot malai kering. Bobot malai kering galur G5,
G6, dan G7 masing-masing sebesar 30.15, 20.43, dan 32.51 g, sedangkan untuk
kontrol sorgum varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau masing-masing sebesar
23.04, 35.98, dan 30.53 g (Tabel 5).
Bobot 1000 biji
Bobot 1000 biji dapat menggambarkan ukuran besar kecilnya biji. Biji yang
berukuran besar ditunjukkan oleh bobot 1000 biji yang berat. Hasil analisis ragam
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara galur-galur yang diuji
untuk karakter bobot 1000 biji. Galur G5, G6, dan G7 bobot 1000 biji masingmasing sebesar 32.33, 26.33, dan 24.00 g, sedangkan untuk kontrol pembanding
varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau masing-masing sebesar 33.00, 23.67, dan
30.00 g.
Berdasarkan deskripsi varietasnya, bobot 1000 biji untuk varietas PAHAT,
Kawali dan Mandau masing-masing sebesar 27.19-28.83, 30 dan 25-30 g
(Lampiran 1, 2, dan 3). Karakter Bobot 1000 biji untuk varietas Kawali hasil
pengamatan di lapang lebih rendah dibandingkan dengan deskripsi varietasnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya serangan ulat pada malai. Serangan ulat ini
menyebabkan bentuk biji tidak sempurna sehingga mempengaruhi terhadap bobot
biji. Karakter bobot 1000 biji untuk varietas Mandau sama dengan deskripsi
varietasnya, sedangkan untuk varietas PAHAT karakter bobot 1000 biji yang
didapat pada penelitian lebih besar dibandingkan dengan deskripsi varietasnya.
Bobot biji/malai
Bobot biji/malai merupakan hasil tiap individu tanaman dan merupakan
karakter yang sangat penting karena sangat menentukan hasil biji per satuan luas
(Sungkono 2010). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang nyata diantara galur-galur yang diuji untuk karakter bobot biji/malai. Galur
G5, G6, dan G7 bobot biji/malainya masing-masing sebesar 27.22, 17.63, dan
29.25 g, sedangkan untuk varietas pembanding PAHAT, Kawali, dan Mandau
masing-masing sebesar 20.47, 28.95, dan 25.30 g (Tabel 5).
Berdasarkan penelitian Sungkono (2010), hasil bobot biji/malai untuk varietas
Kawali dan Mandau masing-masing sebesar 64.45 dan 56.81 g, jauh lebih tinggi
daripada bobot biji/malai yang didapatkan pada penelitian ini yang hanya 28.95 g
untuk Kawali dan 25.30 g untuk Mandau. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya
cekaman abiotik dan tanah yang bersifat masam. Sungkono (2010) menyatakan
keragaan pertumbuhan tanaman mengikuti hubungan source (sumber) dan sink
(penampungan). Jika source terganggu akibat adanya cekaman Al dan defisiensi
hara pada tanah masam, maka kapasitas sink tidak akan optimal.
Indeks Panen
Hasil analisis ragam untuk pengamatan indeks panen menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata diantara galur-galur mutan dan kontrol yang diuji. Galur
mutan G5, G6, dan G7 indeks panennya masing-masing sebesar 0.20, 0.16, dan
0.21, sedangkan untuk kontrol varietas PAHAT, Kawali, dan Mandau indeks
panennya masing-masing sebesar 0.28, 0.22, dan 0.30.
19
Indeks panen merupakan proporsi atau perbandingan antara bobot panen dan
bobot tanaman secara keseluruhan (Johnson et al. 1986). Pada penelitian ini
indeks panen sorgum didapatkan dengan membagi bobot biji per tanaman sebagai
bobot panen dan bobot biomasa tanaman sebagai bobot tanaman secara
keseluruhan. Indeks panen menunjukkan kemampuan tanaman dalam
mengalokasikan bahan kering ke bagian yang dapat dipanen, semakin tinggi nilai
indeks panen maka semakin tinggi pula kemampuan tanaman dalam
mengalokasikan bahan kering ke bagian yang dapat dipanen, dalam hal ini untuk
tanaman sorgum bagian yang dapat dipanen adalah bijinya.
Produktivitas biji dan biomasa
Tanaman sorgum mempunyai banyak manfaat. Pemanfaatan yang paling
utama adalah sebagai bahan pangan, pakan, dan industri. Sorgum sebagai bahan
pangan berhubungan dengan produktivitas bijinya sedangkan sebagai bahan pakan
dan bahan baku industri berhubungan dengan produktivitas biomasanya.
Tabel 6 Produktivitas biji dan biomasa galur-galur mutan sorgum dan varietas
pembanding
Produktivitas
Produktivitas biomassa
Genotipe
biji (ton/ha)tn
(ton/ha)tn
G5
2.0
15.6
G6
1.3
9.2
G7
2.2
10.5
PAHAT
1.5
5.1
KAWALI
2.2
9.3
MANDAU
1.9
6.0
**= berbeda nyata pada taraf α=1%, *= berbeda nyata pada taraf α=5%, tn= tidak berbeda nyata;
Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5% dalam
baris yang sama.
Produktivitas biji untuk galur G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar 2.0, 1.3,
dan 2.2 ton/ha, sedangkan untuk varietas pembanding PAHAT, Kawali, Mandau
masing-masing sebesar 1.5, 2.2, dan 1.9 ton/ha (Tabel 6). Produktivitas tertinggi
dari ketiga galur mutan yang diuji dimiliki oleh galur G7 yaitu sebesar 2.2 ton/ha,
sama dengan kontrol nasional sorgum varietas Kawali yang merupakan kontrol
sorgum dengan produktivitas biji yang tinggi yaitu sebesar 2.2 ton/ha. Namun
hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata diantara
galur-galur yang diuji. Berdasarkan deskripsi varietasnya, rata-rata hasil biji untuk
varietas Kawali sebesar 2.96 ton/ha dengan potensi hasil mencapai 4-5 ton/ha
(Lampiran 1), lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang didapatkan pada
percobaan ini yang hasil bijinya hanya 2.2 ton/ha. Begitu juga dengan sorgum
varietas PAHAT, berdasarkan deskripsi varietasnya rata-rata hasil bijinya sebesar
4.71 ton/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang didapat pada
penelitian ini yaitu hanya 1.5 ton/ha. Rendahnya produktivitas biji ini dapat
diakibatkan oleh adanya cekaman abiotik berupa lahan yang tidak rata dan tanah
yang bersifat masam.
20
Produktivitas biomasa untuk galur G5, G6, dan G7 masing-masing sebesar
15.6, 9.2, dan 10.5 ton/ha, sedangkan varietas pembanding PAHAT, Kawali, dan
Mandau masing-masing sebesar 5.1, 9.3, dan 6.0 ton/ha (Tabel 6). Hasil tertinggi
dimiliki oleh varietas galur G5 yaitu sebesar 15.6 ton/ha dan terendah dimiliki
oleh varietas PAHAT yaitu 5.1 ton/ha, namun berdasarkan analisis ragam tidak
ada perbedaan yang nyata diantara galur-galur yang diuji. Meskipun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata diantara galur-galur mutan dan kontrol yang
diuji, galur mutan G5 masih berpotensi untuk dikembangkan sebagai sorgum
dengan produktivitas bioetanol yang tinggi jika dilihat dari tingginya
produktivitas biomasa yang didapat pada penelitian ini. Selain itu produktivitas
biomasa tinggi yang dimiliki oleh tanaman sorgum juga berpeluang untuk
dikembangkan sebagai sorgum penghasil hijauan untuk pakan ternak.
Agar tanaman sorgum dapat menghasilkan bioetanol yang tinggi, maka
tanaman tersebut harus memiliki nilai total sugar (TS) yang tinggi dan hasil nira
pada batang tinggi (Sungkono 2010). Untuk dapat mendapatkan hasil nira pada
batang yang tinggi, maka tanaman sorgum harus memiliki batang yang bobotnya
tinggi dan secara tidak langsung harus memiliki bobot biomasa yang tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hanya karakter panjang ruas kedua yang berbeda nyata diantara galur-galur
mutan generasi M11 sorgum yang diuji dengan varietas pembanding PAHAT,
Kawali, dan Mandau untuk karakter agronomi. Tidak ada perbedaan yang nyata
untuk komponen hasil, hasil, produktivitas biji dan biomasa diantara galur-galur
mutan generasi M11 sorgum yang diuji dengan varietas pembanding PAHAT,
Kawali, dan Mandau. Galur mutan G5 berpotensi untuk dikembangkan sebagai
tanaman sorgum dengan produktivitas bioetanol yang tinggi karena hasil bobot
biomasa yang tinggi serta kadar gula nira yang dimiliki oleh galur mutan G5 tidak
berbeda nyata dengan kontrol sorgum manis yaitu varietas Mandau.
Saran
Sebaiknya penelitian dilakukan pada lahan yang secara keseluruhan datar
dan merupakan tanah yang sehat, yang tidak mengalami defisiensi hara mineral,
sehingga keragaman yang tampak benar-benar karena pengaruh genetik dan
pengaruh lingkungan kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Akhter A, SH Khan, E Hiroaki, K Tawaraya, M Rao, P Wenzl, S Ishikawa, T
Wagatsuma. 2009. Greater contribution of low-nutrient tolerance to sorghum
and maize growth under combined strees conditionwith high aluminum and
21
low nutrient in solution culture simulating the nutrient status of tropical acid
soils. Soil Sci. Plant Nutr. 55: 394-406.
[BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2010. Pemuliaan tanaman sorgum
[Sorghum bicolor (L.) Moenc] di Patir - Batan. http : // www.batan.go.id/
patir/ berita/ pert/ sorgum. html. [16 Desember 2012].
[Balitsereal] Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2012. Sorgum untuk Pangan dan
Bioetanol. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/. [17 Desember 2013].
Bennett, William F, Tucker, Billy B, Maunder AB. 1990. Modern Grain Sorghum
Production. Iowa State University Press.
Brown RH. 1988. Growth of the green plant, p. 153-173. In M.B. Tesar (Ed).
Physiological Basis of Crop Growth and Development.American Society of
Agronomy Crop Science Society of America Madison, Wisconsin.
Bullard RW, York JO. 1985. Breeding for bird resistance in sorghum and maize.
In Progress in Plant Breeding 1. G.E Russel (Ed.). Butterworthand Co. Ltd.
London. 325 p.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2011. Sorgum. http : // www.deptan.go.id/
ditjentan/ admin/ rb/ sorgum. pdf. [27 November 2011].
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1992. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bhratara, Jakarta. 57 hal.
Dogget H. 1970. Sorghum. Longman, London.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Building on gender,
agrobiodiversity and local knowledge. A Training Manual. Publishing
Management Service, Information Division FAO.
Flores CI, Gourley LM, Pedersen JF, Clark RB. 1991. Inheritance of acid-soil
tolerance in sorghum (Sorghum bicolor) grown on an ultisol, p. 1081-1093. In
R. J. Wright et al. (Eds.). Plant-Soil Interactions at Low pH. Netherlands.
Freeman JE. 1970. Development and Structure of The Sorghum Plant and Its Fruit.
Dalam Sorghum Production and Utilization: Major Feed and FoodCrops in
Agriculture and Food Series. Editor: Joseph S. Wall dan William M. Ross.
The Avi Publishing Company, Connecticut. pp. 28-72.
Frere M. 1982. Physical Enviromental of Sorghum and Millet-Growing Areas in
South Asia. Proceeding of International Symposisum ICRISAT. ICRISAT.
India. p 34.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Penerjemah Herawati Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 428 hal.
Goldworthy PR, Fisher NM. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik
(diterjemahkan dari: The Physiology of Tropical Field Crops, penerjemah:
Tohari). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 874 hal.
Grassi G. 2001. Sweet sorghum: one of the best world food-feed-energy crop.
Latin America Thematic Network on Bioenergy (LAMNET).
Harjadi SS. 1979. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT Gramedia.
Human S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis. Makalah
pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku
Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 10 hal.
Human S. 2012. Pemuliaan Sorgum dengan IPTEK Nuklir. [diunduh 2014 juli 16].
Tersedia pada : http : www. batan. go. Idpatir 2012p_ 0301_
orgpertpemuliaan AIN %20Sorgum. pdf
22
House LR. 1981. The sorghum plant. Growth stages and morphology’ dalam A
guide to sorghum breeding, hal. 16-31. ICRISAT, Patancheru P.O. 502 324.
India.
House LR. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. 2nd Ed. International Crops
Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT), Patancheru, India.
Hultquist JH. 1973. ‘Physiologic and morphologic investigation of sorghum
(Sorghum bicolor (L.). 1. Vascularisation. II. Response to internal drough
stress’. PhD Thesis, University of Nebraska, Lincoln, Nebraska, USA.
[IBPGR; ICRISAT] International Board for Plant Genetic Resources;
International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics. 1993.
Descriptors for Sorghum [ Sorghum bicolor (L.) Moench]. International
Board for Plant Genetic Resources, Rome, Italy; International Crops Research
Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, India. 1-44 p.
[KNPN] Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2004. Panduan Karakterisasi Tanaman
Pangan: Jagung dan Sorgum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Kochian LV. 1995. Celluler mechanism of aluminum toxicity and resistance in
plant. Ann. Rev. Plant Physiol. Mol. Biol. 46: 237-260.
Kochian LV, Hoekenga OA. 2004. How do crop plants tolerance acid soil?
Mechanism of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annu.Rev.
Plant Biol. 55: 459-493.
Lemmens RHMJ, Soetjipto NW, Van Der Zwan RP, Parren M. 1992. Dye and
Tannin-producing plants, p 17-31. Plant Resources of South-East Asia
3.PROSEA. Bogor.
Ma JF. 2000. Role of organic acids in detoxification of aluminum in higher plants.
Plant Cell Physiol. 41(4): 383-390.
Ma JF, Nagao S, Huang CF, Nishimura M. 2005. Isolation and characterization
of a rice mutant hypersensitive to Al. Plant and Cell Physiology Advance
Access Published. 41p.
Martin JH. 1970. History and Classification of Sorghum. Dalam Sorghum
Production and Utilization: Major Feed and Food Crops in Agriculture and
Food Series. Editor: Joseph S. Wall dan William M. Ross. The Avi
Publishing Company, Connecticut. pp. 1-27.
Miller EC. 1916. Comparative study of the root systems and leaf area of corn and
the sorghum’, J. Agric. Res., 6 : 311-332.
Nelson CJ, Larson KL. 1988. Seedling growth, p. 93-129. In M.B. Tesar (Ed).
Physiological Basis of Crop Growth and Development. American Society of
Agronomy Crop Science Society of America Madison, Wisconsin.
Novillie L. 1977. Beverages from Shorgum and Millets. Proceedings of a
Symposium on Sorghum and Millets For Human Food. Trofical Product
Institute. London. Hal 73-78.
Okiyo T, Gudu S, Kiplagat O, Owouche J. 2010. Combining drought and
alumunium toxicity tolerance to improve sorghum productivity. African Crop
Science Journal 18(4): 147-154.
Peacock JM. 1979. ‘The effect of water on a growth, development dan yield of
sorghum ( Sorghum bicolor) CV. RS 610’, dalam Dryland farming research
scheme (DLFRS) Botswana. Final scientific report phase II. Sorghum
23
physiology and crop climate studies, hal. 29-52. Govermnment printer,
Gaberones.
Perkins J. 2006. Sorghum: The sweet alternative. Institute for Agriculture and
Trade Policy, USA.
Poehlman JM. 1979. Breeding Field Crops. New York: University of Missouri.
USA. 415 p.
Poehlman JM, Sleper DA. 1996. Breeding Field Crops 4th Ed. Lowa: Lowa State
Univ Press. USA. 494 p.
Rismunandar. 1989. Sorgum tanaman serba guna. Sinar baru. Bandung. 62 hal.
Rooney LW, Sullines RD. 1977. The Structure of Sorghum and Its Relation to
Processing and Nutritional Value. Proceedings of a Symposium Sorghum and
Millets for Human Food. Trofical Product Institute. London. p. 91-109.
Sirappa MP. 2003. Aspek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas
alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 4:133140.
Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 412 hal.
Sungkono. 2010. Seleksi Galur Mutan (Sorghum bicolor (L.) Moench) Untuk
Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam Melalui Pendekatan
Particitory Plant Breeding. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.144 hal.
Susila BA. 2005. Keunggulan Mutu Gizi dan Sifat Fungsional Sorgum (Sorghum
vulgare). Prosiding Seminar Nasional Teknologi lnovatif Pascapanen untuk
Pengembangan lndustri Berbasis Pertanian. Hal 527-534.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Inc.,
Publishers. Sunderland, Massachusetts. 690p.
Thomas JC, Brown KW, Jordan WR. 1976. ‘Stomata response to leaf water
potential as affected by preconditioning water stree in the field’, Agron. J.,
68: 706-708.
Tjitrosoepomo G. 2000. Taksonmi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. 477 hal.
US GRAIN COUNCIL. 2005. Sorghum Handbook: White Sorghum, the New
Food Grain. All About White Sorghum.
Wahid A, Rasul E, Rao AR, Iqbal RM. 1996. Photosynthesis in Leaf, Stem,
Plower, and Fruit. In Handbook of Photosynthesis (Ed.) Mohammad
Pessarakli. New York: Marcel Dekker.
Yusro. 2001. Pengelompokan Varietas/Galur Sorgum (Sorghum bicolor (L.)
Moench) Berdasarkan Ciri-Ciri Morfologinya. Institut Pertanian Bogor.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor. Skripsi.18 hal.
24
25
LAMPIRAN
26
Lampiran 1 Deskripsi sorgum varietas Kawali
Tanggal dilepas
Asal
Umur berbunga 50%
Umur panen
Tinggi tanaman
Sifat tanaman
Kedudukan tangkai
Bentuk daun
Jumlah daun
Sifat malai
Bentuk malai
Panjang malai
Sifat sekam
Warna sekam
Bentuk / sifat biji
Ukuran biji
Warna biji
Bobot 1000 biji
Rata-rata hasil
Potensi hasil
Kerebahan
Ketahanan
Kadar protein
Kadar lemak
Kadar karbohidrat
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
22 Oktober 2001
India
± 70hari
± 100-110 hari
± 135 cm
Tidak beranak
Di pucuk
Pita
13 helai
Kompak
Ellips
28-29 cm
Menutup sepertiga bagian biji
Krem
Bulat / mudah dirontok
3.2; 3.0; 3.4 mm
Krem
30 g
2.96 t/ha
4-5 ton/ha
Tahan rebah
Agak tahan hama aphids, tahan penyakit karat dan
bercak daun
8.81%
1.97%
87.87%
27
Lampiran 2 Deskripsi sorgum varietas Mandau
Nama Varietas
SK
Tahun
Tetua
Potensi Hasil
Pemulia
Umur
Panen
Sifat tanaman
Tinggi tanaman
Bentuk daun
Panjang daun
Lebar daun
Jumlah daun/batang
Kedudukan tangkai malai
Sifat malai
Bentuk malai
Panjang malai
Sifat sekam
Warna sekam
Warna biji
Bobot biji per malai
Bobot 1000 butir biji
Jumlah biji per malai
Sifat biji
Kerebahan
Rasa nasi
Kadar protein
Kadar lemak
kadar karbohidrat
Kadar tanin
Ketahanan terhadap hama
Ketahanan terhadap
penyakit
Mandau
:
114/Kpts/TP.240/3/1991
:
tanggal 9
Maret 1991
1991
:
693: (CS 110), Introduksi dari IRRI
Filipina
4,0-5,0
:
ton/ha
Soegiani
:
Slamet, Yayuk Aneka Bety,
Sukarno Rusmarkan, dan Solihin
berbunga
:
50%: 65 hari
91 :hari
Kadang-kadang
:
beranak dan bercabang
153: cm
Pita
:
80-110
:
cm
10-20
: cm
10-12
: helai
Tegak
: pada pucuk batang
Semi
: kompak
Piramide
:
23 :cm
Menutup
:
sepertiga bagian biji dan
berbulu halus
Coklat
:
kehitaman
Coklat
:
muda
25-40
: gram
25-30
: gram
2900
: butir
Bentuk
:
bulat, memipih bagian lembaga,
mudah dirontok dan mudah disosok
Tahan
:
Sedang
:
12,0%
:
3,0%
:
76,0%
:
0,16%
:
Tahan
: penggerek batang
Tahan
: karat dan Anthracnose
28
Lampiran 3 Deskripsi Sorgum Varietas PAHAT
Asal
Umur berbunga 50 %
Umur panen
Sifat tanaman
Tinggi tanaman
Bentuk daun
Jumlah daun
Kedudukan tangkai
Sifat malai
Bentuk malai
Panjang malai
Berat kering malai
Sifat sekam
Warna
Bobot 1000 biji
Sifat biji
Ukuran biji
Kerebahan
Potensi hasil
Hasil rata-rata
Ketahanan hama
Ketahanan penyakit
Varietas Zhengzu dari China, iradiasi gamma
300 Gy
58-71 hari
88-101 hari
Tidak beranak, dapat diratoon
142.71-151.58 cm
Agak lebar memanjang
10 helai
tangkai Tegak
Setengah kompak
Elips
30.41-34.32 cm
78.46-104.52 g
Menutup 1/3 bagian biji
biji Putih
27.19-28.83 g
Mudah rontok dan mudah disosoh
Relatif kecil
Tahan rebah
5.03 ton/ha
4.71 ton/ha (di musim kering)
Sangat disukai burung
Tahan penyakit karat daun
29
Lampiran 4 Data Curah Hujan Bulanan
Lokasi
Lintang
Bujur
Elevasi
Bulan
: Cibinong
: 06° 27΄37.5΄΄ LS
: 106° 51΄23.1΄΄ BT
: 146 m
Desember
(2013)
Januari
(2014)
Februari
(2014)
Curah
405
714
Hujan
Sumber : BMKG 2014
Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor
420
Maret
(2014)
April
(2014)
Mei
(2014)
343
250
332
30
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Gresik pada tanggal 2 September 1991. Penulis
merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan putra dari
pasangan Suprianto dan Sumiati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Petrokimia Gresik pada tahun 1998 hingga 2004 dan sekolah menengah pertama
di SMPN 1 Gresik pada tahun 2004 hingga 2007. Tahun 2007 penulis
melanjutkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Gresik dan lulus pada tahun
2010, kemudian diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 juga.
Download