Krisis Moneter Jilid II Mengancam Sri Mulyani Indrawati, Plt Menko Perekonomian/Menkeu Senin, 22 September 2008 JAKARTA (Suara Karya): Guncangan di pasar modal dan valas akibat krisis finansial global potensial menimbulkan krisis moneter jilid II di dalam negeri. Krisis tersebut bisa menjadi kenyataan jika pelaku pasar tidak memiliki kepercayaaan diri dan bersikap panik. Direktur InterCafe Iman Sugema dalam percakapan dengan Suara Karya di Jakarta, kemarin, menyebutkan, gelembung (bubble) aset finansial di dalam negeri sudah pecah sejak Januari lalu. Menurut dia, kondisi pasar finansial dan pelaku pasar lokal tidak memiliki daya tahan dalam menghadapi gejolak finansial global. "Kita tidak mempunyai daya untuk menahan gejolak dari luar," ujar Iman. Bubble aset finansial kempes karena tidak didukung oleh perbaikan fundamental. Koreksi tajam atas harga saham beberapa hari terakhir hanya awal koreksi akibat ancaman kredit macet AS yang mulai membayang. Yang lebih mengkhawatirkan, bukan tidak mungkin terjadi arus balik dana jangka pendek (hot money). Ini yang potensial membuka kemungkinan ke arah krisis moneter jilid II di dalam negeri. Iman berpendapat, krisis moneter jilid II sangat tergantung pelaku pasar domestik. Dia mengingatkan, pelaku pasar tak perlu panik dalam menghadapi guncangan di pasar modal maupun pasar valas belakangan ini. "Pelaku pasar harus memiliki tingkat kepercayaan tinggi bahwa guncangan itu bisa diatasi. Dengan demikian, krisis moneter jilid II bisa dihindari," tuturnya. Menurut Iman, tanda-tanda krisis moneter jilid II sudah terlihat. Tanda-tanda itu, antara lain, kurs rupiah sulit dikendalikan serta terjadi arus modal ke luar (capital outflow). Gejolak ekonomi-moneter di Indonesia sangat rentan, terutama karena peningkatan ekspor dan cadangan devisa yang hanya ditopang oleh kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia serta aliran masuk hot money. Perbaikan sektor perbankan sendiri semu karena lebih merupakan hasil infus bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN), dan bukan merupakan hasil penyaluran kredit ke sektor riil. Sementara itu, Plt Menko Perekonomian/Menkeu Sri Mulyani Indrawati menilai, investor domestik mulai memiliki kepribadian sehingga mereka tidak ikut-ikutan panik ketika terjadi krisis di pasar uang dan pasar modal global. "Ngapain ikut-ikutan redemp, wong perusahaan ada di sini, produksi di sini, jualan di sini, dan masih strong," katanya. Sri Mulyani mengakui, pasar modal dan pasar uang domestik menerima imbas krisis keuangan dunia. Namun, katanya, imbasan itu tidak separah di negara-negara lain. Menurut Sri Mulyani, itu merupakan "berkah" lambannya pemulihan ekonomi pascakrisis moneter 1997/1998. "Exposure risiko Indonesia menjadi tidak terlalu banyak, sehingga Indonesia justru asyik dengan momentum growth," katanya. Meskipun tidak separah negara lain, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tetap waspada mengantisipasi kemungkinan dampak krisis finansial global. Sri Mulyani menyebutkan, kalau suasana pasar modal dan pasar uang global tidak stabil, maka exposure risiko diperkecil sehingga dampak buruk suasana pasar itu bisa diminimalisasi. "Kami selalu berkoordinasi dengan BI agar bank tenang. Tak ada gunanya saling 'injak' karena malah akan banyak melahirkan mudarat. Jangan sampai bank, karena belum cukup punya likuiditas, ngincer-ngincer nasabah dengan menawarkan bunga tak rasional. Itu akan membuat pasar terdistorsi," katanya. Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat (AS) siap menggelontorkan dana senilai 700 miliar dolar AS untuk membeli surat-surat berharga terkait kredit properti dan mortgage. "Langkah ini diperlukan untuk menyeimbangkan pasar dunia karena imbas perekonomian AS dapat dirasakan seluruh dunia," kata Menkeu AS Henry Paulson. Dia melanjutkan, bank sentral seluruh dunia diharapkan melakukan koordinasi atau pemantauan terhadap pergerakan mata uang serta kredit. Di lain pihak, Federal Reserve (Bank Sentral AS), Jumat pekan lalu, menyuntikkan dana segar sebesar 20 miliar dolar AS ke dalam sistem perbankan AS yang tertekan. Langkah itu dilakukan dalam sebuah operasi jangka pendek tambahan untuk mengendurkan kredit ketat. The Federal Bank of New York, perantara tradisional Federal Reserve dengan pasar, mengaku telah menerima penawaran 55,15 miliar dolar sebagai pinjaman tiga hari. Angka tersebut hampir tiga kali jumlah yang dipinjamkan, karena bank-bank berebut dana tunai di tengah krisis kredit yang telah mencekam sistem perbankan. (AP/Agus/Kentos)