keanekaragaman tumbuhan bawah yang berpotensi

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati (biological diversity) atau sering disebut dengan
biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumber daya
alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari ekosistem, jenis dan
genetik. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan, yaitu: (1)
keanekaragaman ekosistem, (2) keanekaragaman jenis, dan (3) keanekaragaman
genetik. Oleh karena itu, biodiversity meliputi jenis tumbuhan dan hewan, baik yang
makro maupun yang mikro termasuk sifat-sifat genetik yang terkandung di dalam
individu setiap jenis yang terdapat pada suatu ekosistem tertentu (Brockerhoff et al.,
2009).
Keanekaragaman hayati merupakan konsep penting dan mendasar karena
menyangkut kelangsungan seluruh kehidupan di muka bumi, baik masa kini, masa
depan, maupun evaluasi terhadap masa lalu. Konsep ini memang masih banyak yang
bersifat teori dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit diukur secara tepat, terutama
pada tingkat keanekaragaman genetik serta nilai keanekaragaman belum ada
pembakuan (standarisasi). Pengukuran/pemantauan biodiversity dapat dilakukan
dengan mengukur langsung terhadap objek/organisme yang bersangkutan atau
mengevaluasi berbagai indikator yang terkait (Brockerhoff, et al., 2009).
2.2. Ekosistem Hutan
Universitas Sumatera Utara
Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang
menempati suatu tempat dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan
di luar hutan, sedangkan satuan masyarakat hutan adalah tegakan (Kusmana, 1995).
Luas hutan di seluruh dunia sekitar 2.970 juta hektar, sekitar 40 persennya merupakan
hutan basah di daerah tropis. Dalam hutan basah tersebut terkandung kekayaan
sebesar 10 persen di Zaire, Brazil dan Indonesia (Arief, 1994).
Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang lazimnya dijumpai
di daerah tropis, sub tropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah
kering sekalipun. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang memiliki luas hutan
144 juta hektar atau 75 persen dari total luas daratan. Sekitar 49 juta hektar
merupakan areal hutan lindung, sedangkan 64 juta hektar telah dirancang untuk hutan
produksi dan luas selebihnya sebesar 31 juta hektar disediakan untuk keperluan
perluasan pertanian (Arief, 1994).
Hutan memberikan pengaruh pada alam melalui tiga faktor yang berhubungan
yaitu iklim, tanah, dan pengadaan air. Adanya sampah-sampah pohon (serasah) dalam
hutan hasil rontokan bagian-bagian pohon yang menutupi lantai hutan akan mencegah
rintikan-rintikan air hujan untuk langsung jatuh ke permukaan tanah dengan tekanan
yang keras. Tanpa sampah, tanah akan terpadatkan oleh air hujan, sehingga daya
serapnya akan berkurang. Hal ini berhubungan dengan fungsi serasah yaitu sebagai
penyimpanan air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke tanah
bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur
tanah dan menaikkan kapasitas peresapan (Arief, 1994)
Universitas Sumatera Utara
Hutan ini biasanya dikelola untuk tujuan penelitian. Hutan suaka alam
dipergunakan bagi perlindungan margasatwa agar tidak punah, disamping nilai khas
bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, disebut suaka margasatwa. Sedangkan suaka
alam yang mempunyai perlindungan khas seperti air terjun, gua alam dan lainnya,
disamping flora dan fauna sebagai kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
disebut cagar alam (Arief , 1994).
2.3. Tumbuhan Bawah
Tumbuhan bawah adalah komunitas tanaman yang menyusun stratifikasi
bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak
atau perdu rendah. Jenis-jenis vegetasi ini ada yang bersifat annual, biannual, atau
perenial dengan bentuk hidup soliter, berumpun, tegak menjalar atau memanjat.
Secara taksonomi vegetasi bawah umumnya anggota dari suku-suku Poceae,
Cyperaceae, araceae, asteraceae, paku-pakuan dan lain-lain. Vegetasi ini banyak
terdapat di tempat-tempat terbuka, tepi jalan, tebing sungai, lantai hutan, lahan
pertanian dan perkebunan (Aththorick, 2005).
Tumbuhan bawah terdiri dari tumbuhan selain permudaan pohon, misal
rumput, herba, dan semak belukar (Kusmana, 1995), serta paku-pakuan (Ewusie,
1990). Selanjutnya Philips (1959), menyatakan bahwa tumbuhan yang termasuk
tumbuhan penutup tanah terdiri dari herba yang tingginya sampai 0,5 meter sampai 1
meter.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Richard (1981), tumbuhan bawah yang sering dijumpai di kawasan
hutan tropik terdiri atas famili Araceae, Gesneriaceae, Urticaceae, Achantaceae,
Zingiberaceae, Begoniaceae, Rubiaceae, dan tumbuhan menjalar seperti kelompok
Graminae (Calamus sp.), Smilaceae, Piperaceae dan beberapa jenis tumbuhan paku
seperti Selaginellaceae.
Komposisi dari keanekaragaman jenis tumbuhan bawah sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari
pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas
hutan hujan, penetrasi cahaya matahari yang sampai pada lantai hutan umumnya
sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalang oleh lapisan-lapisan tajuk pohon yang ada
pada hutan tersebut, sehingga tumbuhan bawah yang tumbuh dekat permukaan tanah
kurang mendapat cahaya, sedangkan cahaya matahari bagi tumbuhan merupakan
salah satu faktor yang penting dalam proses perkembangan, pertumbuhan dan
reproduksi (Gusmaylina, 1983). Menurut Barnes, et al., (1997), keanekaragaman
tumbuhan bawah memperlihatkan tingkatan keanekaragaman yang tinggi berdasarkan
komposisinya. Perbedaan bentang lahan, tanah, faktor iklim serta perbandingan
keanekaragaman spesies vegetasi bawah, memperlihatkan banyak perbedaan, baik
dalam kekayaan jenisnya maupun pertumbuhannya.
Hutan yang lapisan pohon-pohon tidak begitu lebat, sehingga cukup cahaya
yang dapat menembus lantai hutan, kemungkinan perkembangan vegetasi bawah
bersifat terna, sedangkan pada tempat-tempat kering berupa tumbuhan berkayu antara
lain rumput-rumputan jenis Pennisetum dan Didymocarpus. Pada hutan yang lebat
sehingga intensitas cahaya sedikit, tumbuhan bawah beradaptasi melalui permukaan
Universitas Sumatera Utara
daun yang lebar untuk menangkap cahaya matahari sebanyak-banyaknya (Hafild &
Aniger, 1984).
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah menjaga kelembaban
sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, sehingga dapat
menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Siklus hara akan berlangsung
sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke
pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2007).
2.4. Potensi Tumbuhan Obat di Hutan Tropika Indonesia
Sudah turun temurun berbagai etnis (suku asli) yang hidup di dalam dan
sekitar hutan di seluruh wilayah Nusantara, dari Sabang sampai Merauke
memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dari hutan untuk memelihara kesehatan
dan pengobatan berbagai macam penyakit. Berbagai penelitian etnofitomedikaetnobotani yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui, paling tidak ada 78
spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit
malaria, 133 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit demam oleh 30 etnis,
110 spesies tumbuhan obat untuk mengobati penyakit gangguan pencernaan oleh 30
etnis dan 98 spesies tumbuhan obat digunakan untuk mengobati penyakit kulit oleh
27 etnis (Sangat, et al., 1999).
Hutan alam tropika Indonesia dan budaya, pengetahuan tradisional atau
kearifan lokal berbagai etnis yang hidup dengan ekosistem hutan merupakan aset
bangsa yang tak terhingga nilainya bagi pembangunan kesehatan bangsa. Banyak
pengetahuan tradisional tentang penggunaan tumbuhan obat dari berbagai etnis telah
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan oleh industri jamu dan farmasi menjadi produk jamu atau produk
fitofarmaka yang sangat laku di pasaran, seperti produk merek dagang: fitodiar,
prolipid, enkasari, stimuno dan lain-lain (Zuhud, 2008).
Secara umum dapat diketahui bahwa tidak kurang 82 % dari total spesies
tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada ketinggian
hingga 1000 meter di atas permukaan laut. Saat ini ekosistem hutan dataran rendah
adalah kawasan hutan yang paling banyak rusak dan punah karena berbagai kegiatan
manusia baik secara legal maupun tak legal. Ekosistem hutan tropika Indonesia
merupakan wujud proses evolusi, interaksi yang kompleks dan teratur dari komponen
tanah, iklim (terutama cahaya, curah hujan dan suhu), udara dan organisme termasuk
sosio-budaya manusia untuk mendukung kehidupan keanekaragaman hayati, antara
lain berbagai spesies tumbuhan obat (Zuhud, 2008).
2.5. Keanekaragaman Tumbuhan Obat Berdasarkan Familinya
Berdasarkan kelompok familinya, spesies-spesies tumbuhan obat yang ada
dapat dikelompokkan ke dalam 203 macam famili, di mana jumlah spesies tumbuhan
obat yang terbanyak termasuk dalam famili fabaceae, yaitu sebanyak 110 spesies.
Secara umum terdapat 22 macam famili yang memiliki spesies tumbuhan obat lebih
dari 20, sedangkan 181 famili lainnya memiliki jumlah spesies tumbuhan obat yang
kurang dari 20, (Zuhud, 2008). seperti disajikan Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Spesies Tumbuhan Obat Berdasarkan Kelompok Familinya
NO
1
2
3
NAMA FAMILI
Fabaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
JUMLAH SPESIES
110
94
77
Universitas Sumatera Utara
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Rubiaceae
Poaceae
Zingiberaceae
Moraceae
Myrtaceae
Annonaceae
Asteraceae
Apocynaceae
Cucurbitaceae
Piperaceae
72
55
49
46
45
43
40
39
34
30
Lanjutan Tabel 1.
NO
14
15
16
17
18
19
20
21
NAMA FAMILI
JUMLAH SPESIES
Menispermaceae
Melastomataceae
Arecaceae
Verbenaceae
Rutaceae
Acanthaceae
Sterculiaceae
Myristicaceae
30
26
25
23
23
22
21
21
Sumber : (Zuhud dan Siswoyo. 2001)
2.6. Kandungan Metabolit Sekunder
Tanaman memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu,
yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan
bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi
mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya (Fessenden &
Fessenden, 1986). Kandungan metabolit sekunder terdiri dari:
2.6.1. Alkaloid
Alkaloid menurut Winterstein dan Trier didefinisikan sebagai senyawa yang
bersifat basa, mengandung atom nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan.
Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan
fisiologi yang menonjol, jika digunakan secara luas dalam bidang pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Alkaloid biasanya tidak bewarna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan
berbentuk kristal hanya sedikit yang berbentuk cairan (misalnya: nikotina) pada suhu
kamar. Secara umum, golongan senyawa alkaloid mempunyai sifat – sifat sebagai
berikut : a) biasanya merupakan kristal tak bewarna, tidak mudah menguap, tidak
larut dalam air, larut dalam pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform. b)
Bersifat basa, pada umumnya beberapa pahit, bersifat racun, mempunyai efek
fisiologis secara optis aktif. Senyawa alkaloid banyak terkandung dalam akar, biji,
kayu maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid dapat dipandang
sebagai hasil metabolisme dari tumbuhan atau dapat berguna sebagai cadangan bagi
biosintesis protein (Annaria, 2010).
Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan
hama, penguat tumbuh-tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Alkaloid sangat
penting dalam industri farmasi karena kebanyakan alkaloid mempunyai efek
fisiologis. Pada umunya alakaloid tidak ditemukan dalam Gymnospermae,
Bryophyta, Pterydophyta dan tumbuhan rendah lainnya (Annaria, 2010).
Hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan
memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup sehingga tidaklah
mengherankan jika manusia dari dulu sampai sekarang selalu mencari obat-obatan
dari berbagai ekstrak tumbuhan. Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini
belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid
diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur
Universitas Sumatera Utara
tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion
(Fessenden & Fessenden, 1986).
2.6.2. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol
yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab terhadap
zat warna ungu, merah, biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan.
Berdasarkan strukturnya senyawa flavonoid merupakan turunan senyawa induk
“flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan lazim ditemukan,
yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula. Sebagian besar flavonoid
yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai glikosida, dan dalam
bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa tunggal. Disamping itu
sering ditemukan campuran yang terdiri dari flavonoid yang berbeda kelas.
Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi : a) Sebagai pigmen warna b)
Fungsi
patologi
dan
sitologi
c)
Aktivitas
farmakologi
Dianggap berasal dari rutin (glikosida flavonol) yang digunakan untuk menguatkan
susunan kapiler, menurunkan permeabilitas dan fragilitas pembuluh darah dll
(Fessenden, 1986).
Menurut Fessenden (1986) menyatakan bahwa flavonoid dapat digunakan
sebagai obat karena mempunyai bermacam – macam bioaktivitas seperti
antiinflamasi, antikanker, antifertilitas, antiviral, antidiabetes, antidepresant, diuretik
dll. Flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara
tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati, silimirin dari Silybum marianum
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk melindungi membran sel hati dan menghambat sintesis
prostaglandin, penghambatan reaksi hidroglisis pada mikosom. Dalam makanan
flavonoid dapat menurunkan agregasi platelet dan mengurangi pembekuan darah.
Pada kulit, flavonoid menghambat pendarahan (Annaria, 2010).
Kegunaan lain dari flavonoid antara lain; pertama terhadap tumbuhan, yaitu
sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus.
Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap kanker dan ginjal,
menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik untuk
melakukan penyerbukan (Annaria, 2010).
Flavoniod mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian
besar merupakan pigmen berwarna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik,
mudah terurai pada temperatur tinggi (Hart, 1990). Pada tumbuhan tinggi, flavonoid
terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga,
flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga (Hart,
1990).
2.6.3. Steroid
Steroid adalah golongan lipid yang mempunyai karakteristik dari struktur
penyatuan cincin karbon. Steroid tidak mengandung asam lemak ataupun gliserol,
karenanya tidak dapat mengalami penyabunan. Steroid meliputi empat golongan,
yaitu kolesterol, hormon, adrenokortoid, hormon seksual, dan asam empedu (Hart,
1990).
Universitas Sumatera Utara
Kolesterol ditemukan dalam semua organisme dan merupakan bahan awal
untuk pembentukan asam empedu, hormon stereoid, dan vitamin D. Walaupun
kolesterol esensial bagi makhluk hidup, tapi berimplikasi terhadap pembentukan
“plek” pada dinding pembuluh nadi (suatu proses yang disebut pengerasan
pembuluh), bahkan dapat mengakibatkan penyumbatan. Gejala ini penting terutama
dalam pembuluh yang memasok darah ke jantung. Penyumbatan pada pembuluh ini
menimbulkan kematian akibat serangan jantung (Hart,1990).
2.6.4. Terpenoid
Senyawa terpenoid adalah senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat
pada lemak/minyak esensial, yaitu sejenis lemak yang sangat penting bagi tubuh. Zatzat terpenoid membantu tubuh dalam proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel
tubuh. Harum atau bau dari tanaman disebabkan oleh fraksi minyak esensial. Minyak
tersebut merupakan metabolit sekunder yang kaya akan senyawa dengan struktur
isopre disebut terpen dan terdapat dalam bentuk diterpen, triterpen, tetraterpen,
hemiterpen dan sesquiterpen. Bila senyawa tersebut mengandung elemen tambahan
biasanya oksigen disebut dengan terpenoid. Contoh umum terpenoid adalah metanol
dan camphor (monoterpen), famesol dan artemisin (Fessenden &Fessenden, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Download