BAB II NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN TRADISI NYADRAN A. Nilai

advertisement
21
BAB II
NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN TRADISI NYADRAN
A. Nilai Pendidikan Islam
1.
Nilai
a.
Pengertian Nilai
Nilai berasal dari bahasa Latin vale‟re yang artinya berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai
sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan yang paling benar
menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan,
dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat.30 Seorang antropolog melihat
nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat
seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, dan bentuk-bentuk
organisasai sosial yang dikembangkan manusia.31
Menurut Sidi Gazalba yang dikutip oleh Mawardi Lubis
dalam bukunya Evaluasi Pendidikan Nilai mengartikan nilai adalah
sesuatu yang bersifat abstrak, dan ideal. Nilai bukan benda konkret,
bukan fakta, tidak hanya sekedar penghayatan yang dikehendaki dan
30
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-nilai Karakter (Jakarta: PT Persada Grafindo,
2013), hlm.56
31
Ibid., 25.
21
22
tidak dikehendaki, yang disenangi dan tidak disenangi. Nilai terletak
antara hubungan antara subjek penilai dan objek.32
Nilai adalah hasil dari rekayasa manusia sebagai suatu
masyarakat. Nilai merupakan kostruk yang disimpulkan sebagai
sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi
secara perorangan. Nilai menunjuk pada suatu konsep yang dikukuhi
individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai
sesuatu yang diharapkan. Dan berpengaruh terhadap pemilihan cara
maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif.33
Menurut Kurt Bair, seorang sosiolog, yang dikutip oleh
Muhson dan Samsuri dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Moral
nilai berkaitan dengan keinginan, kebutuhan, kesenangan, sampai
pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog
menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang
berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap,
kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai
wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang antropolog melihat nilai
sebagai harga yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti
dalam bahasa, adat, kebiasaan, keyakinan, dan bentuk-bentuk
organisasi sosial yang dikembangkan manusia.34
32
Mawardi Lubis, Evaluasi Pendidikan Nilai, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2009), hlm.
16.
33
Abdul Majid, Wan Hasmah Wan Mamat, Nur Kholis, Character Building Through
Education, (Pekalongan: STAIN PRESS, 2011), hlm.197.
34
Muhson dan Samsuri, Dasar-dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), hlm. 27.
23
Nilai etik atau moral adalah suatu nilai untuk manusia
sebagai pribadi yang utuh, yang berhubungan dengan akhlak, serta
nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh
golongan atau masyarakat.35
Sedangkan pada ilmu filsafat, aksiologi merupakan cabang
filsafat yang berbicara tentang nilai (what is the value). Nilai dapat
diartikan sebagai suatu yang berharga, berkualitas, bemakna dan
bertujuan bagi kehidupan manusia, individu maupun kelompok.
Umumnya orang menimbang nilai dengan kadar baik atau buruk
(etikia), indah atau jelek (estetika). Karena itu, nilai mengarahkan
tindakan, mendasari perbuatan dan pada gilirannya membentuk
„preferensi nilai‟ (sistem nilai).36
Nilai tidak timbul dengan sendirinya. Tetapi ada faktor-faktor
yang
merupakan
prasayarat.
Nilai
timbul
karena
manusia
mempunyai bahasa, maka yang demikian menjadi mungkin adanya
suatu hubungan seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi
masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Di samping itu
penggunaan bahsa sebagai salah satu sarana ekspresi tentulah
mendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan,
dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.37
35
Skripsi Ade Rosiana, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Negeri Lima Menara,
(Pekalongan: STAIN PRESS, 2012),hlm.21.
36
Ibid., hlm. 22.
37
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2013),hlm. 31.
24
Nilai-nilai yang menjadi milik bersama di dalam satu
masyarakat menjadi perekat bagi masyarakat itu. Kalau suatu
masyarakat telah mempunyai nilai yang sama tentang yang cantik
dan tidak cantik, tentang yang baik dan buruk,maka masyarakat
seperti itu seolah-olah telah direkat oleh suatu norma yang sama,
sehingga anggota masyarakat itu akan mempunyai rasa solidaritas
yang tinggi. Jadi kalau nilai-nilai itu telah menjadi milik bersama
dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam, maka anggota
masyarakat itu akan bersedia berkorban dan berjuang untuk
mempertahankan nilai-nilai itu seperti halnya sebuahnilai yang ada
pada tradisi di suatu masyarakat.38
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang
berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh
masyarakat. Nilai sebagai harga yang melekat pada pola budaya
masyarakat seperti dalam bahasa, adat, kebiasaan, keyakinan, dan
bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan oleh manusia.
b. Kategori Nilai
Sebagaimana
dikemukakan,
kategorisasi
nilai
adalah
pembagian nilai berdasarkan bidang kehidupan manusia, seperti
ekonomi, politik, budaya, pengetahuan, keagamaan dan lain-lain.
Menurut Spranger, ada 6 orientasi nilai yang sering dijadikan
38
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 10.
25
rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Keenam orientasi
tersebut adalah:39
1) Nilai teoritis
Nilai teoritis melibatkan pertimbangan logis dan rasional
dalam membuktikan kebenaran sesuatu. Kadar kebenaran
teoritis tergantung pada sudut pandang teori yang digunakan
atau bidang kajiannya.
2) Nilai Ekonomis
Nilai ini terkait dengan pertimbangan untung-rugi. Objek
yang ditimbang adalah harga dari suatu barang atau jasa. Nilai
ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi pemenuhan
hidup manusia.
3) Nilai Estetik
Nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada
keindahan, sehingga memunculkan penilaian indah dan tidak
indah.
4) Nilai Sosial
Nilai sosial menyangkut nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dalam masyarakat, yang sangat berguna bagi terciptanya
interaksi sosial dan tatanan sosial yang sehat. Kadar ini bergerak
antara sifat individualistik dan altruistik, yaitu sifat yang
mengutamakan kepentingan orang lain. Nilai tertinggi dalam
39
hlm.53.
Sutarjo Adi Susilo, Pembelajaran Nilai-nilai (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013),
26
kategori ini adalah kasih sayang sesama manusia. Nilai sosial
banyak dijadikan orientasi nilai bagi orang-orang yang suka
bermasyarakat, suka berderma, suka menolong sesama atau
sering disebut sosok filantropik.
5) Nilai Politik
Nilai politik menyangkut nilai-nilai yang menjadi fokus
perhatian
dalam
politik
praktis
dan
penyelenggaraan
pemerintahan. Nilai politik yang paling tinggi adalah kekuasaan.
6) Nilai Agama
Nilai agama merupakan nilai-nilai yang diyakini oleh
para pemeluknya bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu nilai
agama mempunyai kadar kebenaran dan kebaikan yang mutlak.
2.
Pendidikan Islam
a.
Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip oleh Nur Uhbiyati
dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa
Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan
hukum-hukum
agama
Islam
menuju
kepada
terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran, beliau mengatakan
kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yaitu
kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan
27
memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan
bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.40
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Sutrisno &
Muhyidin Albaroris dalam bukunya Pendidikan Islam Berbasis
Problem Sosial, bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Artinya, pendidikan Islam tidak bisa dimaknai sebatas transfer
ofknowledge, akan tetapi juga transfer of value serta berorientasi
dunia-akhirat.41
Secara sederhana istilah pendidikan Islam dapat dipahami
dalam beberapa pengertian, yaitu:
a.
Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islam, yaitu
pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan
nilai-nilai fundamental dalam sumber dasarnya, yaitu al-Quran
dan as-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan
Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang
mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumbersumber dasar tersebut.
40
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV pustaka Setia, 2005), hlm. 9.
Sutrisno &Muhyidin Al Baroris, Pendidikan Islam Bebasis Problem Sosial, (Jakarta:
Ar-Ruzz Media), hlm. 21.
41
28
b.
Pendidikan keislaman/PAI, yaitu upaya mendidik agama Islam
atau ajaran Islam dan nilai-nilainya. Agar menjadi way of life
(pandangan dan sikap hidup) seseorang.
c.
Pendidikan
dalam
Islam,
atau
proses
dan
praktik
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang
dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuh
kembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama,
ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban, sejak jaman Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang.
Jadi, dalam pengertian yang ketiga ini istilah pendidikan
Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan
ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke
generasi sepanjang sejarahnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakikat pendidikan
Islam tersebut konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis serta
dikembangkan dari al-Quran dan as-Sunnah. Konsep operationalnya
dapat
dipahami,
dianalisis
dan
dikembangkan
dari
proses
pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran agama, budaya
dan peradaban Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan secara
praktis dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses
29
pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi muslim pada
setiap generasi dalam sejarah umat Islam.42
b. Sumber-Sumber Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam, mengatakan
bahwa sumberpendidikan Islam yaitu al-Quran, as-Sunah, ucapan
para sahabat (mazhab al-shahabi), kemaslahatan umat (mashlalih almursalah), tradisi atau adat yang sudah dipraktikkan dalam
kehidupan masyarakat (al-„urf), dan hasil ijtihad para ahli. Sumbersumber pendidikan Islam ini selengkapnya dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1) Al-Quran
Secara harfiah al-Quran berarti bacaan atau yang dibaca.
Hal ini sesuai dengan tujuan kehadirannya, antara lain agar
menjadi bahan bacaan untuk dipahami, dihayati dan diamalkan
kandungannya. Adapun secara istilahi al-Quran adalah firman
Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad bin
Abdullah melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disampaikan
kepada generasi berikutnya secara mutawatir (tidak diragukan),
dianggap ibadah bagi orang yang membacanya, yang dimulai
dengan suratal-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dengan definisi tersebut, maka al-Quran dengan sangat
42
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002),
cet. II, hlm. 29-30.
30
meyakinkan pasti mengandung kebenaran dan jauh dari
kebatilan.43
2) As-Sunah
Sunnah sebagai sumber pendidikan Islam, dapat
dipahami dari hasil analisis berikut.44
i. Nabi Muhammad SAW sebagai yang memproduksi hadis
menyatakan dirinya sebagai guru.
ii. Nabi Muhammad SAW tidak hanya memiliki kompetensi
pengetahuan yang mendalam dan luas dalam ilmu agama,
psikologi, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya,
melainkan juga memiliki kompetensi kepribadian yang
terpuji, kompetensi kepribadian mengajar (teaching skill) dan
mendidik yang prima, serta kompetensi sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa Nabi seorang pendidik yang profesional.
iii. Ketika Nabi Muhammad berada di Makkah pernah
menyelenggarakan pendidikan di Darul al-Arqam dan di
tempat-tempat lain secara tertutup, ketika berada di Makkah.
3) Sejarah Islam
Pendidikan sebagai sebuah praktik pada hakikatnya
merupakan peristiwa sejarah, karena praktik pendidikan tersebut
terekam dalam tulisan yang selanjutnya dapat dipelajari oleh
43
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 73-74.
Ibid., 77-79.
44
31
generasi selanjutnya. Di dalam sejarah terdapat informasi
tentang kemajuan dan kemunduran pendidikan di masa lalu.
Kemajuan dalam bidang pendidikan di masa lalu dapat dijadikan
pelajaran dan bahan perbandingan untuk pendidikan di masa
sekarang dan yang akan datang. Adapun kemunduran dalam
bidang pendidikan di masa lalu dapat dijadikan bahan
peringatan, agar tidak terulang kembali di masa sekarang dan
yang akan datang.
Sejarah telah mewariskan berbagai aspek atau komponen
pendidikan. Selain itu, sejarah perjuangan para Nabi di masa
lalu dalam rangka membimbing dan membina umat juga dapat
digunakan sebagai sumber pendidikan.
4) Pendapat para Sahabat dan Filsuf
Para
sahabat
adalah
orang-orang
yang
memiliki
keinginan dan komitmen yang kuat untuk membangun
kehidupan manusia yang bermartabat. Upaya sahabat Nabi
SAW dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi
perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Dari kalangan
filsuf dan orang-orang bijak (hukama), juga dijumpai pemikiran
yang dapat digunakan sebagai bahan bagi penyusunan ilmu
pendidikan Islam. Bukan hanya berkaitan dengan masalah
agama, melainkan juga masalah dunia. Bukan hanya aspek
spiritual, melainkan juga aspek intelektual, moral, dan sosial.
32
5) Mashlahat al-Mursalah dan „Uruf
Mashalahat
al-Mursalah
secara
harfiah
berarti
kemasalahan umat. Adapun dalam arti yang lazim digunakan,
yaitu undang-undang, peraturan atau hukum yang tidak
disebutkan secara tegas dalam al-Quran, namun dipandang
perludiadakan demi kemaslahatan umat. Berbagai komponen
dan lembaga pendidikan dapat dimasukkan sebagai maslahat
mursalah, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan al-Quran
dan as-Sunah, membawa kemaslahatan, dan bersifat adil untuk
semua. Dengan demikian, atas dasar al-maslahat al-mursalah,
maka undang-undang peraturan, dan berbagai kebijakan
pemerintah tentang pendidikan dapat digunakan sebagai sumber
ilmu pengetahuan.
Selanjutnya yang disebut dengan al-„uruf secara harfiah
berarti sesuatu yang sudah dibiasakan dan dipandang baik untuk
dilaksanakan. Adapun secara terminologi, al-„uruf adalah
kebiasan masyarakat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
kesepakatan
yang dilakukan secara terus menerus dan
selanjunya membentuk semacam hukum sendiri. Dengan
mengikuti al-„uruf tersebut, maka seseorang akan tenang dalam
melakukannya, kerena sejalan dengan akal, diterima oleh tabiat
yang sejahtera, serta diakui oleh masyarakat.45
45
Ibid., hlm. 79-84
33
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat
Muslim memilliki corak tradisi unik, yang berbeda antara
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sekalipun
mereka memiliki kesamaan agama, tapi dalam hidup berbangsa
dan bernegara akan membentuk ciri yang unik. Karena alasan
seperti ini maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal.
Islam Univesal adalah Islam yang yang diajarkan oleh Allah dan
rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan
diberlakukan untuk semua lapisan, mislanya menutup aurat bagi
muslim dan muslimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam
adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat,
sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti
bagaiman bentuk menutup aurat itu, apa memakia celana,
kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan
sebagai acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam, dengan
syarat: 1) tidak bertentangan dengan ketentuan naas, baik alQuran maupun as-Sunah; 2) tradisi yang berlaku tidak
bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta
tidak
mengakibatkan
kedurhakaan,
kerusakan,
kemudaratan.46
46
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006),
cet.-1, hlm.34.
dan
34
Penggunaan al-„uruf atau al-adat ini sejalan dengan
kaidah yang mengatakan: al‟adat muhakamat=hukum itu
menjadi ketentuan. Kata al-„uruf ini seakar dengan kata alma‟ruf, yakni sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.
Penetapan al-ma‟ruf, sebagai sumber pendidikan Islam sejalan
dengan hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa sesuatu yang
oleh umat Islam dianggap baik sebagai yang baik, maka
menurut Allah juga dianggap baik. 47
Dalam sebuah pesan pendidikan disebutkan, „Menjaga
atau melestarikan nilai-nilai lama yang dianggap masih baik
dan menemukan atau mengambil nilai-nilai baru yang lebih
baik.‟ Pesan singkat kalimat tersebut adalah bahwa proses
pendidikan pada dasarnya memiliki fungsi lain antara lain untuk
melestarikan atau mewariskan nilai-nilai historis kepada
generasi baru, supaya diikuti dan dijadikan sebagai landasan
pengembangan pendidikan untuk menemukan nilai-nilai baru
yang sebelumnya belum ada.
Dalam uraian tersebut di dapat ditarik sebuah kongklusi
bahwa, sumber nilai yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
pendidikan Islam secara general atau umum adalah al-Quran dan
Sunnah Nabi, serta hasil ijtihad umat Islam. Di dalam ketiga
sumber tersebut, al-Quran diposisiskan sebagai sumber ideal,
47
Abuddin Nata, op.cit.,hlm. 84.
35
Hadis sebagai sumber operasional, dan ijihad ulama‟ Islam
diposisikan sebagai sumber dinamika pengembangan pendidikan
Islam. Hasil ijtihad dikatakan sebagai sumber dinamika
pengembangan pendidikan Islam, karena pemikiran manusia
(ulama Islam) dalam kurun waktu tertentu dan dalam konteks
sosio-historisnya selalu mengalami perubahan (dinamika). Hal
ini menghendaki pemikiran pendidikan Islam juga harus selalu
berkembang, agar bisa dijadikan sebagai sumber atau landasan
pelaksanaan pendidikan Islam yang kontekstual sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.48
3.
Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Al-Quran memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam
pendidikan Islam. Nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama,
yaitu:
1.
I‟tiqodiyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti
percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, dan takdir,
yang berujuan untuk menata kepercayaan individu.
2.
Khuluqiyah, yang berkaitan dengan dengan pendidikan etika, yang
bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan
menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3.
Amaliyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku seharihari, baik yang behubungan dengan:
48
48-89.
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: Sukses Offset, 2008), hlm.
36
a.
Pendidikan ibadah, yang memuat hubungan antara manusia
dengan Tuhannya, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan nazar,
yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
b.
Pendidikan muamalah, yang memuat hubungan antar manusia,
secara individual maupun institusional.49
Di dalam buku Watak Pendidikan Islam yang ditulis oleh Hery
Noer Ali & Munzier, mengatakan bahwa Isi pendidikan Islam pertama
berkaitan dengan sebuah tujuan besar, yaitu beriman kepada Allah serta
menjalin individu, masyarakat, dan umat manusia dengan al-khaliq
sehingga kehidupan menjadi bertujuan menjadi bertujuan dan memiliki
orientasi yang jelas yang benar menuju rida Allah.
Isi pendidikan Islam selanjutnya ialah amal sholeh, saling
mengingatkan agar menaati kebenaran (isi ini sejalan dengan ilmu yang
bertujuan menyingkap hakikat dan mencari kebenaran), dan saling
mengingatkan
agar
menetapi
kesabaran
(isi
ini
melambangkan
pendidikan akhlak, karena kesabaran merupakan inti akhlak yang disebut
di dalam al-Quran lebih dari seratus kali). Isi pendidikan Islam yang
terakhir ialah pendidikan sosial, mencakup kerja sama dalam
menumbuhkan keimanan dan amal saleh serta saling mengingatkan agar
menaati kebenaran dan menetapi kesabaran.50
49
Abdul Mujib&Jusuf Mudzakkir, op.cit., hlm. 36.
Hery Noer Ali & Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,
2003), hlm.28.
50
37
1.
Nilai Keimanan
Pendidikan Islam berwatak Rabbani.
Watak tersebut
menempatkan hubungan antara hamba dan al-Khaliq sebagai isi
pertama pendidikan Islam. Dengan hubungan tersebut, kehidupan
individu akan bermakna, perbuatannya akan bertujuan, dorongannya
untuk belajar dan beramal akan tumbuh, akhlaknya menjadi mulia,
dan jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan
memiliki kometensi untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan
demikian, pendidikan keimanan merupakan pendidikan rohani yang
unik bagi individu.
Pendidikan rohani sebagai salah satu dimensi pendidikan
Islam tidak hanya ditempuh melalui hubungan antara hamba dan
Penciptanya secara langsung, tetapi juga melalui interaksi hamba
dengan berbagai fenomena alam dan lapangan kehidupan, baik sosial
maupun fisik. Dengan kata lain, pendidikan Islam memperhatikan
pengembangan keimanan tidak hanya melalui perkara gaib,
fenomena rohaniah, dan peribatan semata. Kitab alam yang terbuka
ini dengan segala fenomena alamnya serta berbagai ilmu dan praktik
kehidupan dapat memperkokoh dan berkaitan dengan penanaman
keimanan.
Iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Aklak pada
gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan
38
hakikat, yaitu ilmu, sedangkan ilmu akan menuntun manusia untuk
mengerjakan amal saleh. Jadi, iman merupakan dasar akhlak yang
luhur; akhlak merupakan dasar ilmu yang benar; dan ilmu
merupakan dasar ilmu yang saleh. Inilah konstruksi pendiidkan
Qurani. Setiap komponennya saling terkait secara koordinatif dan
kokoh. Pandangan terhadap kesalingterkaitan ini merupakan
landasan untuk memahami filsafat Qurani. Tanpa pandangan
tersebut, pandangan kita terhadap isi pendidikan Qurani akan kabur,
tidak mampu mendiskripsikan secara sempurna hakikat kehidupan
utama yang dimaksud oleh al-quran.51
2.
Nilai Ibadah atau Syari’ah
Ibadah bermakna menaati yang diungkapkan oleh Allah dan
Al-Quran. Dalam ajaran Islam, ada 5 yaitu: 1) Membaca syahadat,
2) mendirikan sholat, 3) menunaikan zakat,
4) berpuasa,
5) mengerjakan ibadah haji.52
Dilihat dari pelaksanaanya, ibadah dibagi menjadi tiga yakni
1) ibadah jasmaniyah rohaniyah yaitu ibadah yang merupakan
perpaduan jasmani dan rohani, sepertii misalnya, sholat dan puasa
2) ibadah rohaniyah dan maliyah yaitu ibadah perpaduan rahani dan
harta misalnya zakat, 3) Ibadah jasmaniyah, rohaniyah, dan maliyah
sekaligus, contohnya ibadah haji. Ibadah, jika karena itu dilihat dari
51
Ibid., hlm. 29.
Skripsi OviUchrotun Nisa, Nilai-Nilai Pendidikn Islam dalam Novel Munajat Cinta 1,
(Pekalongan: STAIN Press), hlm. 31.
52
39
segi kepentinganya, menyangkut kepentingan perseorangan, seperti
ibadah sholat, dan puasa dan menyangkut kepentingan masyarakat
misalnya zakat dan haji.
Dilihat dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dapat dibagi ke
dalam lima kategori, yaitu: 1) ibadah dalam bentuk perkataan atau
lisan, seperti berdzikir, berdoa, memuji Allah dengan mengucapkan
alhamdulillah dan membaca al-Quran. 2) Ibadah dalam bentuk
perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya seperti misalnya
membantu orang lain, mengurus jenazah. 3) Ibadah dalam bentuk
yang telah ditentukan wujudnya seperti sholat, puasa, zakat, haji.
4) Ibadah yang cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri,
seperti puasa, iktikaf (berada dalam masjid dengan niat melakukan
ibadah, ihram (siap, dalam keadaan suci untuk melakukan ibadah
haji dan umrah). dan 5) ibadah yang sifatnya untuk menggugurkan
hak, misalnya memaafkan orsang lain yang telah melakukan
kesalahan, atau membebaskan orang yang berhutang dar kewajiban
membayar. 53
53
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 245-246.
40
3.
Nilai akhlak atau kesusilan
Kata akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu akhlaq, yang
artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, budi pekerti.
Akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan
secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku dan peruatan.54
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi
pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan al Quran sebagai
referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin:
individu, keluarga, masyarakat, dan umat. Akhlak merupakan buah
Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta
membuat hidup dan kehidupan menjadi lebih baik. Akhlak
merupakan alat kontrol psihis dan sosial bagi individu dan
masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda
dari kumpulan binatang.
Pendidikan akhlak dalam Islam yang tersimpul dalam prinsip
„berpegang pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan
dan kemungkaran‟ berhubungan erat dengan upaya mewujudkan
tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan
beribadah kepada Allah. Hubungan ini sebenarnya merupakan
hubungan semua isi pendidikan Islam.
Pendidikan akhlak dalam Islam pertama-tama menekankan
keikhlasan niat kepada Allah. Penekanan dimaksudkan agar akhlak
54
61.
Masam Aifat, dkk, Akidah Akhlak, (Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1994), hlm. 60-
41
benar-benar berakar, bukan artifisial yang bisa berubah mengikuti
perubahan
situasi
dan
kondisi
serta
lingkungan
pergaulan.
Karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak dalam Islam
ialah praktis; artinya, dapat diterapkan oleh individu dan semua umat
manusia dengan segala perbedaan bahasa, warna kulit, tempat, dan
waktunya. Allah berfirman:
„Dan
tolong-menolonglah
kamu
dalam
(mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.‟ (QS. Al-maidah:2).
4.
Nilai Pendidikan Sosial
Pendidikan
sosial
merupakan
aspek
penting
dalam
pendidikan Islam karena manusia menurut tabiatnya, dalam arti
sesuai dengan hukum penciptaan Allah adalah makhluk sosial:
„Hai manusia, sesungguhnya Kami mencipakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu salign kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.‟ (QS. Al-Hujarat:
49:13).
Pendidikan sosial dalam Islam menanamkan orientasi dan
kebiasaan sosial positif yang mendatangkan kebahagiaan bagi
individu, kekokohan keluarga, kepedulian sosial antar anggota
masyarakat, dan kesejahteraan umat manusia. Di antara kebiasaan
42
dan orientasi sosial tersebut ialah pengembangan kesatuan
masyarakat, persaudaraan seiman, kecintaan insani, persamaan,
saling tolong menolong, kepedulian, musyawarah, keadilan sosial,
dan perbaikan di antara manusia.55
B. Tradisi Nyadran
1.
Pengertian Tradisi Nyadran
Dalam tradisi kebudayaan jawa, persiapan kehadiran bulan
Ramadhan telah dilakukan sejak sebulan sebelumya, yang dalam
penanggalan jawa jatuh pada bulan Ruwah (disadur dari kata arab
„arwah‟ yaitu jiwa orang yang meninggal). Dalam terminologi jawa
kata Ruwah terkait dengan Roh. Bulan Ruwah dipercaya sebagai saat
yang tepat ngluru arwah
(bahasa jawa) atau mengunjungi arwah
leluhur. Selama bulan arwah itu masyarakat jawa mengadakan
upacara nyadran ( berasal dari kata Sraddu), yaitu mengunjungi
makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga.56
2.
Sejarah Tradisi Nyadran
Dalam ajaran Islam, bulan Sya‟ban yang datang menjelang
Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah
melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama
setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam masyarakat
55
Hery Noer Ali & Munzier, Op.cit., hlm. 30-32.
Skripsi Irma Yunita, Budaya Nyadran dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Pekalongan,
STAIN Press, 2009), hlm. 23-24.
56
43
jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa HinduBuda, jauh sebelum agama Islam masuk.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa
keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad
ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun
terakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika
Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad
ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan
ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa
jadi merupakan „modifikasi‟ para wali ketika memperkenalkan agama
Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan
persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan
masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama Islam. Selain
ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa
dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang
dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah,
agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi
untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian
besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus
44
besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul
Fitri. Pada saat mudik nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di
perantauan akan berusaha mengalokasikan anggaran untuk perbaikan
batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang
dihormati.57
3.
Pelaksanaan Tradisi Nyadran
Nydran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut
datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat
Nyadran atau Ruwahan adalah:
a.
menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran,
zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.
b.
melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran
dan rerumputan.
c.
melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang
telah meninggal di area makam.
d.
Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan
Rajab atau saat datangnya bulan Sya'ban. Dalam ziarah kubur,
biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih.
Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang
akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Para
masyarakat yang mengikuti Nyadran biasnya berdoa untuk kakek-
57
Gaung Nugroho, http://soloraya.com/2009/08/20/nyadran-tradisi-bersih-diri-menuju-
bulan-suci/, (dinduh padahari selasa 16 September 2014, pukul 12.11 WIB).
45
nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah
meninggal. Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau
makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan
daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus
membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa
makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati,
urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem,
dan lain sebagainya.58
58
Op.cit,http://njimetamorphose.blogspot.com/2010/03/kebudayaan-nyadran-diindonesia.html, (diunduh pada hari selasa, 16 September 2014 pukul 12.10).
Download