1 UPAYA MEMECAH “BUBBLE” SBI 1 Oleh: Djoko Retnadi, Senior Economist The Indonesia Economic Intelligence, Jakarta Kita masih perlu prihatin karena fundamental ekonomi Indonesia ternyata masih sangat rentan terhadap gangguan eksternal seperti gejolak harga minyak dunia maupun pergerakan suku bunga di negara maju. Terlepas dari masih adanya ketidakpastian kondisi eksternal tersebut, manajemen pengelolaan ekonomi dalam negeri ternyata juga belum dapat memberikan keyakinan bahwa fundamental ekonomi kita ke depan akan lebih aman. Masih lambat dan seretnya pencairan anggaran negara mengindikasikan bahwa pemerintah belum dapat mewujudkan perannya sebagai lokomotif ekonomi yang harapannya akan segera diikuti oleh sektor swasta. Selain itu semakin membanjirnya investasi portofolio asing yang hanya berorientasi profit jangka pendek juga semakin menjauhkan dari tujuan untuk memperbaiki fundamental ekonomi kita. Hasil akhir dari interaksi ketidakpastian tersebut adalah semakin menggelembungnya dana bank yang diparkir di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) di mana per September 2007 telah mencapai Rp. 205 triliun. Meningkatnya jumlah SBI menunjukkan bahwa fundamental ekonomi kita tidak seimbang karena jika seluruh jumlah uang yang ada di SBI dikeluarkan dari BI maka pasokan barang (aggregate supply) tidak akan mencukupi jumlah uang beredar. Hal ini akhirnya akan mendorong tingkat inflasi menjadi sangat tinggi. Dengan GDP sebesar Rp. 3.531 triliun, maka jumlah uang beredar ideal adalah sebesar Rp.179 triliun. Setiap tahun BI menambah jumlah uang beredar sekitar 10% untuk mengimbangi pertumbuhan di pasar barang. Untuk mencegah agar inflasi tidak melonjak yang akan memerosotkan nilai tukar rupiah maka sangat logis jika BI terus melakukan operasi pasar terbuka melalui penerbitan SBI untuk menyerap jumlah uang beredar. Ke depan jumlah SBI diperkirakan akan terus bertambah karena volume pasar barang tidak bertambah secara signifikan, sementara BI harus terus menambah jumlah uang beredar untuk pembayaran bunga SBI, obligasi pemerintah, dan juga untuk mengimbangi nilai lawan rupiah akibat derasnya portofolio asing yang masuk ke Indonesia. Jika penggelembungan SBI ini tidak segera dicarikan jalan keluarnya, maka nasib ekonomi ke depan akan menghadapi ketidakpastian karena terdapat “bubble” SBI yang akan terus membesar dan setiap saat siap memporakporandakan stabilitas ekonomi kita. Makna SBI bagi Ekonomi Sesuai undang-undang BI, maka BI tidak boleh lagi memberikan kredit likuiditas kepada perbankan. Akibatnya, berbagai sumber dana bank yang selama ini mengendap di BI seperti dalam bentuk SBI, Fasilitas BI (Fasbi), dan GWM (Giro Wajib Minimum) yang totalnya sekitar Rp 400 triliun benar-benar menganggur dan semakin membuat sesak BI karena BI harus membayar bunga sebagai bentuk biaya operasi moneter. Di negara lain, operasi pasar terbuka tidak dilakukan dengan instrumen SBI namun dengan Treasury Billl (T Bills) yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. Dengan T Bills jumlah utang dan beban bunga yang akan ditanggung negara sudah dicadangkan dalam APBN sehingga tidak akan menimbulkan bubble ekonomi. Lain halnya dengan SBI sebagai instrumen operasi pasar, jumlah dan beban bunganya tidak dapat dikendalikan karena penerbitan SBI tidak perlu memperoleh persetujuan DPR, karena penentunya semata-mata adalah tingkat inflasi yang 1 Telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Senin 19 November 2007 2 ditargetkan. Sepanjang tingkat inflasi diperkirkan akan meningkat maka BI akan terus menerbitkan SBI untuk menyerap likuiditas pasar. Dengan kondisi tersebut tidak aneh ketika jumlah likuiditas di pasar meningkat akibat membanjirnya portofolio investasi asing, pembayaran bunga SBI perbankan, dan pembayaran bunga SUN/SPN maka jumlah SBI akan semakin besar karena penambahan likuiditas pasar tidak didukung oleh penambahan jumlah barang di masyarakat. Ketidakseimbangan fundamental ekonomi kita di pasar barang dengan di pasar uang, selain ditunjukkan oleh jumlah SBI yang terus meningkat, juga ditambah oleh selalu lebih tingginya penambahan jumlah DPK (Dana Pihak Ketiga) perbankan dibandingkan dengan jumlah penambahan ekspansi kredit (lihat tabel). Tabel: Kredit, DPK, dan Angka Pertumbuhannya 2000-2007 (Rp miliar) 2000 283,097 Kredit Growth % Growth Rp DPK Growth % Growth Rp LDR 699,860 40.45% 2001 316,059 11.64 32,962 797,360 13.93 97,500 39.64% 2002 371,057 17.40 54,998 835,777 4.82 38,417 44.40% 2003 440,505 18.72 69,448 888,567 6.32 52,790 49.57% 2004 559,470 27.01 118,965 961,002 8.15 72,435 58.22% 2005 695,649 24.34 136,179 1,127,938 17.37 166,936 61.67% 2006 2007 Sep 792,297 913,950 13.89 22.45 96,648 121,653 1,287,102 1400900 14.11 16.21 159,164 113,798 61.56% 65.24% Sumber: Bank Indonesia, diolah. Jalan Ke Luar Ekonomi kita telah terjebak pada perangkat bubble SBI, di mana untuk menjaga tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar maka dengan terpaksa BI harus terus menyedot ekses likuiditas di pasar melalui penerbitan SBI. Dengan melihat kecenderunagn nilai SBI yang terus meningkat (lihat gambar), maka harus segera dicari jalan keluarnya untuk menjamin bahwa stabilitas ekonomi kita tidak dengan mengorbankan likuiditas ekonomi. Gambar: SBI, Kredit, dan Pertumbuhannya 2000-2007 250 SBI dan Kredit (Rp miliar) 900,000 200 800,000 150 700,000 600,000 100 500,000 50 400,000 300,000 0 200,000 -50 100,000 - -100 2000 SBI (Kiri) 2001 2002 Kredit (Kiri) 2003 2004 Growth SBI (Kanan) 2005 2006 2007 Sep Growt Kredit (Kanan) Pertumbuhan SBI dan Kredit 1,000,000 3 Tujuan yang hendak dicapai ke depan adalah terwujudnya fundamental eknomi yang stabil karena didukung oleh keseimbangan di pasar barang (GDP) dengan keseimbangan di pasar uang (likuiditas). Mengingat permasalahan pada saat ini lebih banyak disebabkan kendala yang terjadi di pasar barang (supply side) maka pembenahannya memang harus dimulai dari sisi penawaran, antara lain melalui: pertama, pencairan APBN tidak boleh lagi terhambat. Sampai saat ini Departemen Keuangan sudah optimal dalam menyusun APBN sesuai tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, pencairan oleh departemen terkait tampaknya masih lambat. Apabila kondisi ini tidak segera diatasi maka peran pemerintah untuk mengambil risiko sebagai motor penggerak ekonomi tidak akan terwujud sehingga sektor swasta juga tidak akan mengikuti untuk meningkatkan kapasitas optimalnya. Kedua, pembenahan iklim investasi harus dibenahi. Walaupun jumlah realisasi PMA dan PMDN terus meningkat, namun semakin besarnya jumlah SBI di BI menunjkkan bahwa ekonomi kita masih kelebihan likuiditas karena sektor riil belum bersedia menyerapnya. Ketiga, peningkatan peran UMKM harus terus diperbesar. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah unit usaha UMKM mencakup 99% atau sekitar 48 juta dari jumlah usaha di Indonesia. Dengan memberdayakan peran UMKM berarti akan dapat menggerakkan ekonomi Indonesia, paling tidak melalui kekuatan pinggiran karena kekuatan dari tengah (pengusaha besar) belum juga muncul. Keempat, segera merealisasikan penerbitan SPN (Surat Perbendaharaan Negara) untuk menggantikan SBI. Dengan SPN maka potensi terjadinya bubble akan dapat dihindari karena kemampuan utang dan beban negara dapat diprediksi dari awal, khususnya untuk diseimbangkan dengan kebutuhan likuiditas nasional.