TINJAUAN PUSTAKA Nilai Kawasan Nilai (value) merupakan persepsi seseorang adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis and Johnson, 1987) Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan konservasi, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely (1994), nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Dengan kata lain, nilai tersebut ditentukan tidak hanya oleh faktor-faktor biolgi dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya kawasan konservasi tersebut. Pearce et al. (1989), mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam nilai yaitu: • Nilai Penggunaan Langsung, adalah manfaat yang langsung diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi. • Nilai Penggunaan Tidak Langsung, yaitu nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. • Nilai Non Penggunaan, yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen (pengguna). Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1999) mengelompokkan tipetipe nilai guna hutan sebagai berikut : Tabel 1. Tipe-tipe Nilai Guna Hutan Nilai Guna Nilai Langsung Nilai Tidak Langsung • Perlindungan Daerah Aliran Sungai • Hasil kayu (kayu bulat, kayu bakar • Hasil non • kayu (sumber pangan, tanaman obat, bahan genetik) Habitat • manusia • • Bentang lahan • • Siklus nutrisi Nilai Bukan Guna Nilai Nilai Pilihan Keberadaan • Penggunaan • Biodiversitas langsung dan (hidupan liar) tidak langsung di masa yang akan datang • Budaya, tradisi Pengurangan polusi udara • Nilai intrinsik Pengatur iklim mikro Penyerapan carbon • Nilai warisan Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna, dengan formulasi sebagai berikut (Pearce, 1992) : NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaatmanfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disishkan untuk pemanenan yang akan datang), apabila terdapat ketidakpastian akan ketersediaan 8 SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan. Sedangkan, nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999). Akan tetapi, Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai total tersebut tidak benar-benar total karena : (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal. Sebelum itu, Manan (1985) menyatakan bahwa dari sudut rimbawan hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan dan tempat wisata. Namun demikian sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi tersebut. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam megalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et.al, 1994). Menurut Munasinghe (1994) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial dan politik. Sebagai contoh, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik, dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut. 9 Metode Penilaian Sumberdaya Alam Pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik yaitu : pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (Pearce dan Moran, 1994). Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan untuk mendapatkan penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuisioner) terdiri atas dua tipe yaitu perolehan ranking (contingent ranking methode) dan perolehan nilai, meliputi keinginan untuk membayar (Willingness to pay) atau ketersediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to accept). Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran, 1994;Munasinghe, 1993; Hufschmidt, 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce and Moran, 1994; Hufschmidt, 1983). Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam valuasi dampak faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak mempunyai nilai pasar. Penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar pengganti. Beberapa ahli ekonomi telah mengembangkan dan mengaplikasikan beberapa metode penilaian manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter. Beberapa metode mencoba untuk menggambarkan permintaan konsumen, sebagai contoh kesediaan membayar konsumen (willingness to payWTP) terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter, atau kesediaan menerima konsumen (willingness to accept – WTA) terhadap kompensasi yang diberikan kepada konsumen untuk manfaat yang hilang 10 dalam satuan moneter. Terdapat lima metode perhitungan ekonomi untuk manfaat yang diperoleh dari sumber daya alam dan lingkungan (Bishop, 1999): (i) Penilaian berdasarkan harga pasar, termasuk pendugaan manfaat dari kegiatan produksi dan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. (ii) Pendekatan harga pengganti, termasuk metode biaya perjalanan, hedonic price, dan pendekatan barang pengganti. (iii) Pendekatan fungsi produksi, dengan fokus pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar. (iv) Pendekatan preferensi, termasuk metode penilaian kontingensi (v) Pendekatan berdasarkan biaya, termasuk di dalamnya adalah biaya penggantian dan pengeluaran defensif. Para ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur manfaat lingkungan yang tidak mempunyai pasar atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ulang (double counting). Pendekatan yang dapat digunakan antara lain adalah CVM (contingent valuation method) yang didasarkan kepada pasar yang dibuat atau pasar hipotetik. Pada pendekatan ini, responden akan ditanya seberapa besar mereka berkeinginan untuk membayar jasa dan barang lingkungan untuk kenyamanan (misalnya untuk tidak terjadi banjir). Konsep dasar dalam valuasi manfaat dan biaya dampak lingkungan adalah didasarkan kepada kemauan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk barang dan jasa lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan harga sebenarnya maupun harga bayangan sehingga distorsi yang disebabkan kebijakan pemerintah dan ketidaksempurnaan pasar dapat diminimalkan. Metode yang juga umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan kepada interaksi dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal ini ada beberapa pendekatan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak 11 (pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan (misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan hara dalam erosi tanah). Setiap teknik dan cara valuasi ini memerlukan persyaratan terutama data, biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan kebijakan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustono (1996) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove di Muara Cimanuk Indramayu sebesar Rp. 117.290.000.000/th atau Rp. 14.618.218/ha/th yang terdiri dari penerimaan masyarakat sebesar Rp. 39.490.000.000/th atau 4.921.762/th/ha dan surplus konsumen sebesar Rp. 77.800.000.000/th atau Rp. 9.696.456/th/ha. Selanjutnya penelitian Wildayana (1999) dilakukan untuk melihat parameter sumberdaya lahan kering yang terintegrasi meliputi seluruh fungsifungsi valuasi ekonomi konversi hutan sekunder ke usaha tani lahan kering di Kecamatan Muara Enim Sumatera Selatan. Nilai total ekonomi ekosistem hutan sekunder di Kecamatan Gelumbang yang dihitung berdasarkan manfaat langsung, manfaat tak langsung, manfaat pilihan, manfaat kebanggaan, dan manfaat keberadaan sebesar Rp. 24,4 miliar/kawasan atau sebesar Rp. 2.561.257/ha. Penelitian yang dilakukan Roslinda (2002) menyebutkan nilai ekononi total Hutan Pendidikan Gunung Walat jika dilihat dari nilai yang dikorbankan adalah Rp. 5.711.188.216/th atau 15.908.602/ha/th sedangkan jika dilihat dari surplus konsumennya adalah Rp.8.468.785.997/th atau Rp.23.589.933/ha/th. Penelitian yang dilakukan Handayani (2002) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi sebesar Rp. 2.550.058.083.186 atau Rp. 74.076.824.408/th. Dengan luasan efektif sebesar 55.648,61 ha maka rata-rata nilai ekonomi Taman Nasional Meru Betiri adalah Rp. 1.331.170/ha/th. Penelitian yang dilakukan Nurfatriani (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total kawasan yang direhabilitasi yang meliputi hutan dan lahan pada 12 proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY sebesar Rp. 95.886.082.429/th yang terdiri dari 19,41% nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung sebesar 2,33%, nilai pilihan sebesar 2,05% dan nilai keberadaan sebesar 76,20%. Sementara itu Parera (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan kayu putih di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, provinsi Maluku sebesar Rp. 1.556.719/ha/th yang terdiri dari 98,45% manfaat langsung dan sisanya 1,55% manfaat tidak langsung. DAS (Daerah Aliran Sungai) Menurut Manan (1985), DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya ke dalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau, atau ke laut. Kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam sutu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air. Pengaruh yang sama juga dapat terjadi oleh aktifitas pembalakan hutan yang pada saat ini sedang gencar dilakukan di negara tropis, terutama negara-negara yang memiliki hutan alam yang masih luas. Perubahan dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi yang lain adalah umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumber daya alam (Asdak, 1995). DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan (outlet) di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002 dalam Tim IPB, 2002). Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu Sub DAS yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu 13 dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan (Tim IPB, 2002). GIS dan Remote Sensing Proses pengklasifikasian penggunaan lahan dan penutupan lahan harus dapat menghasilkan suatu derajat kedetilan. Dengan kata lain, level kecermatan peta hasil berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang akan dipilih sebagai rancangan untuk suatu tujuan yang dimaksud. Dewasa ini sebagian banyak survey penggunaan lahan dan penutupan lahan menggunakan citra dari pesawat terbang atau citra satelit dan survey lapangan dibatasi hanya dengan uji lapang dari hasil interpretasi (Lo, 1995). Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi kedalam dua pendekatan dasar klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contohcontoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada klasifikasi tidak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut. Sistim informasi geografis adalah kumpulan yang troganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak komputer (software), data geografi dan pengguna yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, menyajikan dan menjelaskan semua bentuk dan data informasi yang bereferensi geografis, menyajikan dan menjelaskan semua bentuk 14 data dan informasi yang bereferensi geografi atau tempat di permukaan bumi (ESRI 1990). Digital Elevation Models (DEM) telah banyak dikombinasikan dengan citra satelit untuk berbagai macam tujuan, salah satunya adalah untuk menghasilkan citra sintetis yang stereoskopis (lillesand dan Kiefer 1979). Kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani (Greek) “Eye-KOH-Nos” yang artinya sama dengan “citra atau image”. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit sunsynchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 hari, atau setiap 98 menit. Satelit Ikonos yang diluncurkan September 1999 mengorbit pada ketinggian 681 km dengan inklinasi 98,10 pada waktu crossing 10.30 a.m (pike ad Brown 1999) Pita spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multisepektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Pita 4 mengukur refletansi spektrum elektromagnetik pada bagian inframerah-dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (NASA Commercial Remote Sensing Program 2001). Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995), lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi, dan biologi. Penutupan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Pengertian serupa ditambahkan Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan mengambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan: 15 1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia 2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang 3. Tipe pembangunan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1990). Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Campbell (1983) dalam Lo (1995) menambahkan bahwa peta perubahan penggunaan lahan antara dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan. Faktor-faktor penyebab perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah. Penyebab perubahan lahan diperjelas oleh Lillesand dan Kiefer (1990) dalam definisinya mengenai perubahan lahan. Dalam definisi tersebut menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan seperti yang dikutip oleh Meffe dan Carroll (1994) dalam Basuni (2003) terjadi akibat responya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakkan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya. 16